[Selesai] Perfectly Imperfect

By twelveblossom

173K 17.6K 6.4K

Sempurna. Bagaimana jika Nayyara Judistia Putri Hartadi menjadi perempuan yang paling sempurna bagi Javas? Ja... More

0. Tokoh Yang Ada
1. Titik Awal
2. Bertemu Pilihan Lain
3. Soal Cemburu
4. Bersamamu itu Segalanya
5. Melewati Batas
6. Alasan Yang Keliru
7. Jalan Pintas
8. Dia Yang Kelabu
9. Kamu dan Buku yang Tertutup
10. Meragukan dan Diragukan
11. Tentang Rindu
[GIVEAWAY] HI DECEMBER!
12. Terikat Asa
13. Dua Peran
15.1. Menjadi Kita
15.2 Menjadi Kita
16. The Heaven
17. Yang Diperbaiki, Tidak Ada
18. Kenangan Untuk Yang Pergi
19. Untuk Melepaskan
20. Bicara Soal Pernikahan
21. Bagian Terbaik Dalam Hidupku
22. He Brings The Heaven To Her
23. Terluka dan Kembali Sembuh
24. Rumah Kita
25. Perasaan Yang Terombang-Ambing
26. Lebih Dari Ego
27. Hiruk Pikuk
28. Katanya, Cinta Itu Mengusahakan Segalanya
29. Membakar dan Terbakar
30. Ketenangan Yang Sebentar
31. Kita Akan Bicara Besok
32. Yang Ditunggu Datang Juga
33. Sebelum Kelahiran Bintang Yang Ditunggu
34. Comfort Zone (Final)
35. Bagaimana Kalau Berlanjut? (S2 Perfectly Imperfect)
36. Mereka Pun Mulai Bahagia

14. Sebuah Permainan

3.1K 415 222
By twelveblossom

"Kita bicara tentang kesalahan. Kita bicara tentang jatuh cinta. Kita bicara tentang kebersamaan. Namun, kita tidak pernah bicara tentang kita sebagai aku atau kamu, dua individu yang berbeda. Kita tak dapat menjadi kita, jika kita tak mengenal dekat kita sebagai aku dan kita sebagai kamu." ―Nayyara untuk Chatunya

-oOo-

“The reason it hurts so much to separate is because our souls are connected,” Nara menggumamkan kutipan favoritnya dari Nicholas Sparks. Ada rasa sesak karena kutipan itu sama dengan yang dialaminya sekarang.

Nara sedang gundah-gulana. Hatinya dalam fase melankolis sebab apa pun yang dirinya kerjakan merujuk kepada Javas. Sedari kemarin, kemarinnya lagi, dan kemarin kemarinnya lagi―pikiran Nara bertanya-tanya, apa dirinya yang salah atau Javas? Apa kesalahannya begitu besar sehingga Javas memutuskannya dengan mudah, setelah memperjuangkan Nara selama ini?

Apabila Javas mengakhiri hubungan ini segampang itu, percuma perjuangan Nara untuk meminum semua obat terapi kesuburan. Sia-sia juga dia menyisihkan waktunya untuk datang ke rumah sakit. Yang paling penting, Nara merasa jika ungkapan Javas soal betapa berharganya Nara pun ternyata kebohongan besar. Kalau Nara memang berharga bagi laki-laki itu, seharusnya tidak mudah bagi Javas melepaskannya.

Hah. Nara ingin melupakan, serebrumnya terasa akan meledak.

Aku harus move on, pikiran Nara berkata begitu. Lantaran yang terjadi sebaliknya, Nara terlalu memikirkan Javas hingga tak dapat memikirkan hal lain.

Aku sungguhan bisa gila. Nara menggerutu.

Nara tidak dapat melakukan banyak hal hari ini. Dia hanya duduk di kursi kerja, kubikelnya terletak di lantai lima. Nara belum mengenal banyak rekan satu unit yang jumlahnya hampir dua sepuluh orang. Sifat Nara yang lumayan tertutup dan Lucas―bosnya yang sering menghampirinya membuat rekan kerja Nara sungkan untuk sekedar mengakrabkan diri dengan gadis itu. Jadi lah, Nara sendirian di ruangan  ketika yang lain makan siang. Bukannya Nara tidak diajak, dia cuma sedang tidak enak badan serta pikiran. Nara enggan membuat semuanya semakin canggung akibat suasana hati yang buruk.

Nara menyibukkan diri dengan memainkan ponsel. Beberapa kali dia membuka dan menutup aplikasi chatting berharap ada satu nama yang muncul menanyainya sudah makan atau belum. Nara menunggu Javas menghubungi meskipun tahu jika pria itu marah. Satu minggu lamanya, Nara tak mendapatkan kabar dari Javas. Nara merasa satu minggu itu seperti neraka. Nara terlampau biasa mendengarkan suara dan keberadaan Javas. Kini Javas sungguhan menghilang, salah satu hal yang paling dibenci Nara ialah Javas yang tiba-tiba lenyap begini.

Nara tidak mengira jika pertengkaran kecil mereka berbuah asam. Menurutnya, dia hanya sedikit salah bicara. Kesalahan super kecil yang Nara kira akan dimaafkan Javas dengan mudah. Baiklah, selama ini memang Nara yang selalu meminta maaf, tapi Javas itu tipe orang yang bakal melupakan kesalahan Nara. Javas satu-satunya orang yang memaklumi Nara. Mungkin Javas sudah terlalu lelah untuk bertoleransi terhadap keegoisan kasihnya.

Apa Nara tidak mencoba menghubungi Javas terlebih dahulu?  Sudah, Nara berulang kali meneleponnya tapi Javas tidak mengaktifkan ponsel. Nara bertanya kepada Olivia, ternyata Javas pergi ke London pada malam setelah pertengkarannya dengan Nara. Pria itu sama sekali tak memberitahu Nara tentang kegiatannya, membiarkan Nara terpontang-panting bersama pikiran negatif.

“Kita sungguhan berpisah,”  Nara meracau, dia menutupi wajahnya dengan telapak tangan. “Ini sangat sulit karena kamu tidak memberikan kesempatan agar aku minta maaf,” lanjutnya. Suara Nara teredam dan begitu pelan.

Nara menekan dahi pelan, dia demam. Mungkin Nara sedang tidak dalam kondisi fit. Gadis itu susah tidur pada malam hari membuatnya merasa lelah sepanjang waktu. Apalagi, saking sakit kepalanya, Nara makan es krim berharap dia jadi lebih bahagia. Well, ada yang bilang es krim itu pelipur lara. Namun, Nara justru bertambah sakit tenggorokan karena kebanyakan mengonsumsi es krim.

“Kamu kelihatan berantakan,” suara Lucas tiba-tiba terdengar.

Nara langsung menengadahkan kepala, mendapat Lucas berdiri di depan meja sembari melambai.

“Pak Lucas,” bibir Nara menyapa.

Lucas tersenyum. Dia mengangsurkan paper bag yang berisi beef filone dan hot caramel macchiato Starbucks kepada Nara―menu favorit gadis itu. “Kamu belum makan siang. Dimakan ya jangan dibuang,” kata Lucas sembari berbalik pergi.

“Pak Lucas, terima kasih,” balas Nara.

Lucas tersenyum. “Bukan saya yang belikan. Itu dari teman saya. Dia baru balik dari London,” Lucas tampak berpikir sejenak kemudian menyeringai jahil sementara menunjuk jendela dekat lorong. “Teman saya tadi lihat kamu dari jendela itu. Dia gak tega kamu terkapar, tapi gengsi mau ngasih sendiri. Makanya, saya deh yang harus jadi Pak Pos.”

Otak Nara yang kadang lemot ini bertanya-tanya. Dia terlambat meminta detail dari bosnya karena Lucas buru-buru pergi seolah ada seseorang yang memanggilnya.

Nara menghela nafas, gak mungkin Javas kan? Javas masih di London.

Nara menatap makanan favoritnya yang tergeletak di meja. “Enaknya, dimakan gak ya? Kan gak boleh nerima makanan dari orang asing,” Nara jadi menggerutu. Dia mencolek-colek bungkusan roti. “Tapi kan ini temannya Pak Lucas jadi bukan orang asing, dong. Keliatannya enak banget Ya Tuhan, Nara lapar huhuhuhu,” Nara masih tetap mengoceh, dia sama sekali tak sadar jika di luar ruangan ada dua orang yang sedang diam-diam mengamati.

-oOo-

Gemes banget ya cewek gue,” Javas yang sedari tadi mengamati Nara dari jendela pun berkata kepada Lucas. Teman baiknya itu dengan sukses mengantarkan makanan. Javas tadi sempat harus jongkok untuk bersembunyi ketika Lucas dengan jahilnya menunjuk tempat Javas mencuri pandang.

“Kenapa gak lo sendiri yang nyamperin?” Lucas berdecap. Dia mendapati temannya tersenyum terus.

“Gue kangen, satu minggu gak ketemu dia,” Javas malah curhat. Untung kantor lagi sepi karena jam makan siang. “Gue lagi marah sama Nara. Tapi, gue gak bisa marah beneran, gimana dong? Siapa yang bisa marah sama cewek secantik Naranya gue?” Javas berjalan menuju ruangan Lucas dengan gerakan gelisah ala anak ABG.

Gendheng,”  Lucas sudah memaparkan cara mengumpat ala Jawa.

“Lo belum pernah cinta sampai buta. Cinta sampai segoblok Theo.” Javas membawa nama Theo karena Theo ialah definisi tolol dalam kamus Javas.

“Alasan lo macem kampret, bilang cinta tapi lo masih bikin cewek lo belingsatan kayak gitu,” Lucas berkomentar, dia duduk di kursi kerjanya sementara Javas dengan santai berbaring di sofa, seolah kantor ini rumah sendiri.

“Gue cuma pengen dikejar-kejar sama Nara. Selama ini gue yang usaha, gantian dia,” jawab Javas enteng.

Lucas memutar bola mata. “Lo masih tetap si Bangsat yang jancok,”  komentar Lucas sambil lalu karena dia sibuk membuka dokumen. Lucas bukan Javas Chatura Mavendra yang bisa bersantai sepanjang hari tapi tetap berlumuran uang. Kalau Lucas lengah sebentar saja, jabatannya ini sudah diambil orang.

Javas tertawa. Dia mengambil cincin yang berada di saku celana kainnya, Javas membawa benda itu ke mana pun dia pergi seperti jimat keberuntungan. “Gue ngerasa lagi menebus dosa atas karma buruk―“

“―Karena lo selama ini jadi laki-laki busuk yang buang-buang uang dan main perempuan.”

“She doesn't wants me as much as I want her.” Javas mengoreksi tebakan Lucas.

Lucas menyeringai mendengar pernyataan lawan bicaranya. Dia tahu apa yang ada dalam pikiran Javas. “Itu membuat harga diri Mavendra terluka, merasa tidak diinginkan.”

Kedekatan Lucas dengan Keluarga Mavendra membuatnya tahu sifat turun-menurun yang disandang oleh mereka. Merasa tidak diinginkan juga merupakan alasan Lucas mengakhiri hubungannya dengan pacar pertamanya Alenka―Theresia Alenka Mavendra. Seorang Mavendra memiliki keyakinan jika mereka selalu diinginkan, dibutuhkan, dan dinomor satukan―apabila satu hal saja tak didapatkan maka harga diri mereka akan terluka. Masalahnya, Mavendra akan melakukan apa pun agar mencapai keinginannya ... dan itu mengerikan.

“Sekedar mengingatkan, kalau lo gitu terus tinggal tunggu waktu Nara ninggalin lo beneran,” nada Lucas dimirip-miripkan dengan ibu-ibu yang memberi wejangan. “Karena kalau lo keterusan egois bikin pasangan lo sesak nafas dan terlalu dikekang. Akhirnya bakal kayak gue sama Ale,” lanjut Lucas―matanya berkaca-kaca mengingat masa lalu dia diperbudak Alenka.

“Halah basi, lonya aja yang kurang kompeten memuaskan Alenka, pantas dia pilih putus.”

Bad ass, Bedes,” Lucas mengumpat lagi, dia sungguhan ingin mengusir Javas dari ruangannya, tetapi tak punya daya.

-oOo-

“Lo sakit, ya?” tanya Wira.

Wira datang ke kantor Nara dengan kaus coklat bergaris hitam dan celana jeans. Dia tadi kebetulan berada di studio musik salah satu muridnya yang lokasinya dekat dengan kantor baru Nara. Nah, waktu dia telepon buat ngajak Nara makan, suara Nara kedengaran serak. Makanya, Wira berniat antar Nara pulang karena menurut Wira perempuan itu sedang sakit. Tebakan Wira pun benar, saat Nara keluar dari lift dia kelihatan pucat.

“Cuma batuk dikit, kebanyakan makan es krim―“

“―Lah kan lo gampang radang, malah makan es krim. Gue anter ke dokter, ya?” potong Wira. Dia langsung memakaikan jaketnya yang sedari tadi ditenteng ke bahu Nara.

“Gak mau,” tolak Nara yang membiarkan Wira menggandeng tangannya.

Wira menghela nafas berusaha sabar karena di lobi masih banyak manusia. Dia tidak ingin berdebat dengan Nara lantas menjadi tontonan orang-orang. Wira pun mengajak Nara ke arah mobilnya terparkir.

“Aku tadi uda telepon Kak Damar buat dibawain obat batuk. Terus dia go send, obatnya uda aku minum,” kata Nara setelah melihat Wira menunjukkan wajah khawatir. “Aku gak papa Wira, makasih  sudah peduli,” lanjut Nara sembari mengusap lembut kepala Wira yang mulai melajukan mobil.

“Gue bakal selalu peduli." Pria itu meraih selimut yang ada di kursi belakang sewaktu lampu merah, dia memberikannya kepada Nara. “Kalau gitu tidur, ya. Habis minum obat pasti ngantuk,” imbuh Wira.

Nara menggeleng, ia justru menatap Wira. “Kata kamu dulu, aku boleh tidur atau nggak waktu perjalanan―“

“―Tapi kan kamu kebiasaan bobo kalau lagi perjalanan,” sela Wira.

“Aku gitu kalau lagi deket Javas aja. But when I am with you, I want to still awake.

“Biasanya kalau lo gak mau tidur, pengennya curhat. Ayo cepet mulai ceritanya. Gue kan tempat sampah terbaik.”

Nara menggeleng. “Tenggorokan aku lagi sakit. Aku gak bisa cerita, kamu aja yang dongengin aku.”

“Mau soal apa?”

Nara berpikir sebentar. “About your life, about Aria, and anything.”  Nara bersedekap, dia menunggu.

“Gue bakal berangkat ke Australia tiga hari lagi buat audisi tahap kedua. Tangan gue udah mulai membaik. Gue bakal berusaha lebih keras biar bisa tampil karena lo janji bakal jadi penonton yang duduk paling depan.”

Nara tersenyum. “Iya, aku akan jadi penonton yang duduk paling depan dan paling bangga sama Mahawira Adyasta.”

Great,” tukas Wira senang.

“Kalau hubungan kamu dengan Aria?” tanya Nara, suaranya bercicit.

Wira melihat Nara sebentar sebelum menjawab. “I don't know. Bagi gue membangun hubungan yang serius sekali lagi kedengarannya tidak mudah.”

“You should try to open yourself so Aria can take your heart,” Nara berusaha menasihati.

Wira justru tersenyum remeh. “Aria can't take it because my heart has already been taken by someone else,” dia mengatakan dengan penuh penekanan.

Nara menghela nafas. Dia tidak suka dengan cara Wira menyampaikan perasaannya seolah Nara ikut andil dalam kegamangan hati Wira. “Still Joana Violetta, right?” Nara berucap, kendati demikian Wira memilih diam karena jawabannya adalah tidak.

Nara menggigit bibir, benci dengan sunyinya mereka. Gadis itu menyandarkan kepala pada jendela memilih untuk menatap jalan Jakarta yang tak pernah usai ramainya.

“Lo lagi marahan sama si Kadal Air Amazon, ya?” Wira tiba-tiba memberikan topik baru.

Alis Nara bertaut. Dia hendak menyangkal, namun Wira justru menyela lagi, “Jangan bohong. Kalau kalian gak lagi marahan pastinya bukan gue yang ngantar lo pulang. Apalagi, lo lagi sakit gini―pasti Javas uda yang paling depan siap siaga.”

“Sedikit berdebat.” Nara menjawab, menyerah.

“Cincin lo hilang.”

Nara menghela nafas berat. Dia menatap jari manisnya yang kosong. “Diambil sama Javas, katanya biar aku bebas. Aku bebas sekarang tapi aku gak tau harus ke mana dan ngapain hehehehe. Bodo ya aku,” cicit Nara.

“Dia pasti marah gara-gara gue waktu itu datang ke apartemen lo.”

“Hah? Kan kita cuma ngobrol aja.”

Wira menyeringai. “Ngobrol terus lo ketiduran di pelukan gue hahaha. Eh mau gue pindahin, si Kadal datang. Terus dia mau gendong lo ke kamar tapi lo nya malah gak mau, minta sama gue.” Wira tampak mengingat sebentar, “Kayaknya waktu itu lo ngelindur.”

Nara melotot. “Ya jelas aku ngelindur lah masa aku milih kamu daripada Javas.”

“Eits, alam bawah sadar lo milih gue dong. Berarti jauuuuuuuuh di dalam diri lo lebih suka deket gue,” Wira tidak mau mengalah.

Nara memutar bola mata. “Iya, jauuuuh banget sampe aku males sadar.”

“Nayyara kok jahat ya padahal sudah di antar pulang.”

“Kamu sih bikin aku sama Javas salah paham terus berantem.”

Wira mendengus. “Itu cuma akal-akalan si kadal air biar dikejar sama lo. Javas kayaknya sudah lama gak cemburu sama gue. Apalagi dia tahu kalau sudah pasti gue bakal nikah sama Mak Lampir Aria.”

“Emangnya Javas itu childish kayak kamu. Gak mungkin dia kayak gitu.”

Wira menepuk kepala Nara. “Gue uda bilang ya, awas aja kalau lo merasa tertipu. Dia itu Javas yang bangsatnya melebihi setan jadi lo jangan mudah percaya-percaya aja dia ngambek. Kalau dia beneran cemburu sama gue, gak bakalan gue masih di sini. Pasti dia uda bertindak biar gue dideportasi.”

“Kalau bener kayak gitu kenyataannya, justru bikin semuanya lebih buruk.”

Wira mengernyitkan dahi. “Kenapa?”

“Hidupku ini sudah cukup berat untuk bermain-main, Wira. Perasaanku sama Javas ini nyata, tapi dia dengan mudah ngambil cincin itu dari aku di saat kami sudah membuat kesepakatan dan janji. Menurutmu, apa orang seperti itu pantas dipertahankan?” Nara menjelaskan dengan hati berat. Dia menunduk sebentar kemudian menatap Wira. “Mungkin, bagi Javas yang selalu memiliki kebahagiaan, sedikit mempermainkan perasaan seseorang tidak masalah. Namun, bagiku yang hanya menjadikan dia sebagai sumber kebahagiaan itu―terasa menyakitkan.”

-oOo-

Nara mematut kecantikan dirinya di depan cermin. Dia menangkap bayangannya yang memakai dress hitam dengan bagian bahu terbuka, riasannya agak beda―dia ingin tampil dewasa, sengaja melapisi bibirnya menggunakan gincu merah, dan sepatu hak tinggi yang jarang sekali dipakai.

Nara mendapatkan undangan pesta salah satu anak perusahaan Mavendra Group. Dia ditunjuk Lucas sebagai wakil dari perusahaannya bersama lima orang lain yang mempunyai posisi penting di perusahaan tempat Nara bekerja. Tentunya, Nayyara telah mendapatkan firasat jika diundangnya dia dalam pesta ini merupakan bentuk lain dari turut campurnya Javas. Mengingat karyawan biasa serupa Nara tidak seharusnya mendapatkan undangan.

“Aku akan mengikuti permainan kamu Javas Chatura Mavendra,” desis Nara.

Jujur saja, Nara mendapatkan pencerahan dari ucapan Wira kemarin. Javas sedang membuat permainan yang menurut pria tersebut menyenangkan. Nara pun akan menunjukkan sebebas apa dia tanpa Javas dan menjadikan permainannya menyedihkan.

Lamunan Nara berhenti saat ada ketukan pintu. “Wira uda nunggu di depan,” suara Damar mengabarkan kehadiran Wira sebagai partner pestanya malam ini.

Nara keluar dari kamar mendapati Wira yang luar biasa menarik, mengenakan jas hitam, dasi, dan kemeja formal. Nara jarang melihat Wira berpakaian rapi seperti ini. Pria itu tersenyum tengil, seperti biasanya.


“Kalian pulangnya jangan malam-malam, ya. Lo juga jangan pegang-pegang adik gue,” Damar mengingatkan.

Kakak laki-laki Nara itu sedari tadi protes soal betapa kurang bahannya baju adiknya. Namun, Damar hanya bisa pasrah menerima kepergian Nara serta Wira karena adiknya itu tipe manusia keras kepala.

“Iya, Kak. Wira gak bakal berani pegang aku karena aku pasti uda ninju dia dulu,” Nara berkata, menenangkan kakaknya.

Wira cemberut. “Gue bukan orang cabul, astaga,” keluhnya sembari melambai kepada Damar untuk meninggalkan apartemen.

Mereka berjalan bersisian menuju basemen tempat Wira memarkirkan Audinya. Wira membiarkan sang gadis sibuk melamun sembari sesekali meraih tangan Nara agar tidak menabrak sesuatu. Wira tahu Nara sedang banyak pikiran, mungkin karena sesi terapinya, pekerjaan, dan Javas―si Bangsat. Akan tetapi, dari banyak hal yang Wira dapat tebak, Nara yang memintanya menjadi pasangannya untuk menghadiri pesta ini yang paling membuatnya bingung.

Apa dia ingin membuat Javas cemburu?

Itu yang paling masuk akal sebab peran Wira selama ini ialah menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka. Meskipun Wira tak ingin, dia tetap berada di sela mereka. Wira muak dengan itu, di satu sisi dia tak dapat menolak Nara.

“Aku harap kamu sudah minta izin ke Aria untuk datang ke pesta bersamaku,” tukas Nara  saat mereka sudah berada di mobil dan Wira bersiap melaju.

Wira mendengus. “Gue gak butuh izin siapa pun untuk pergi ke mana aja. Ini badan gue, jadi suka-suka gue mau ngapain.”

Nara tersenyum. “Good answer,” balas Nara.

By the way, you look super pretty tonight. Sengaja dandan cantik biar Javas menyesal, ya?”

Nara meremas tas kecil yang berada di pangkuan. “Nggak, aku dandan karena pengen aja. Semua yang aku lakuin selama ini selalu untuk Javas, aku sekarang mau melakukan hal untuk diriku sendiri.”

Wira tertawa, “Good answer.” Dia menimpali dengan menirukan nada Nayyara.

“Kamu pasti ngerasa lagi dimanfaatkan sama aku,” tiba-tiba Nara berkata setelah diam selama belasan menit.

“Gak juga. Gue selalu seneng nemenin lo ke mana pun dan ngelakuin apa saja. Meskipun gue berada di opsi kedua,” balas Wira sembari melejitkan bahu.

Wira menjawab dengan jujur. Dia rela melakukan apa saja demi perempuan yang duduk di sampingnya. Terkesan picisan, tapi Nayyara sudah menjadi bagian dari hidupnya yang menggantikan Joana Violetta. Nara yang membantunya melupakan sedikit demi sedikit kenangan buruk. Banyak kemungkinan dari perasaan Wira, tapi satu hal yang pria tersebut yakini―Wira menyayangi Nayyara. Entah jenis rasa sayang apa yang ada dalam hatinya ... Wira berusaha menekan sayang yang tidak berguna  menjadi rasa sayang yang bisa membuat Nara bahagia.

“Akan lebih bagus kalau kamu merasa dimanfaatkan―“

“―Kenapa?” potong Wira, dia membelokkan Audi ke pelataran parkir Aleanor Hotel.

Nara meraih tangan Wira, dia menggenggamnya. “Apa kamu tahu tanda jika manusia mencintai seseorang dengan tulus, Wira?”

Wira belum menjawab sampai dia menghentikan mobilnya. Pria itu menatap mata Nara yang tertuju kepadanya, serupa pandangan sedih dan penuh penyesalan. Itu yang membuat Wira tak ingin memberikan jawaban.

“Mereka tetap melakukan apa pun untuk orang yang dicintainya secara tulus, meskipun itu menyakitkan,” bisik Nara. Jarinya beranjak mengusap rahang Wira. “Aku gak pengen kamu kayak gitu. Kamu mesti tahu kapan harus pergi dan berhenti,” tambahnya kemudian berusaha tersenyum.

Jantung Wira berdetak kencang dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Wira merasa Tuhan terlampau tidak adil ketika menciptakan wanita ini. Nara sempurna, dia terlihat, terdengar, dan terasa sempurna. Terlalu sempurna hingga Wira tidak bisa  berhenti menyangyanginya.

Gue terlalu bodoh untuk tahu waktu untuk berhenti dan pergi, Nayyara. Naluri dan logika Wira menyatakan hal yang serupa.

-oOo-

Javas melihat mereka, Nara dan Wira yang melangkah serasi dengan pakaian masing-masing menegaskan keselarasan. Sementara diri Javas hanya duduk di salah satu meja bar yang letaknya di area sayap ruangan. Ada beberapa wanita yang singgah di sekitar Javas, mereka berusaha mengajak bicara pria itu, tapi Javas menanggapinya dengan enggan. Wanita-wanita itu adalah beberapa rekan Abercio di dunia malam, mereka mengenal Javas yang digosipkan akan menjadi penerus ‘kerajaan Tirtayasa Mavendra’ selanjutnya.

Pesta ini semi-formal, lantai dansa tidak diiringi dengan musik klasik yang membosankan. Tersedia alkohol serta kudapan lain yang disukai anak muda. Sambara Abercio Lakeswara ialah penggagas pesta ini untuk merayakan berjalannya klub malam yang dimilikinya.

Javas sengaja mengundang Lucas dan antek-anteknya karena ia tahu temannya itu pasti mengajak Nara. Namun, Javas tak pernah mengira jika perempuan yang dicintai tersebut justru memilih Wira sebagai pasangan. Padahal, mereka bertengkar karena Wira. Seolah Nara ingin menyiramkan bensin di antara api yang menyala.

Javas sedari tadi mengamati Nara dan Wira yang terus saling menempel. Kedua orang itu jalan menyapa beberapa orang yang dikenal. Javas tidak sadar kalau ada wanita yang entah siapa sudah bersandar di bahunya.

“Pergi lo,” tolak Javas kasar pada perempuan itu.

Suasana hati Javas sedang buruk, dia tidak suka beramah-tamah hari ini. Javas berusaha menahan amarahnya. Ia mengingatkan diri agar kembali kepada rencana untuk membuat Nara mengejarnya. Terdengar kekanakan, Javas tahu. Namun, ia sungguhan ingin tahu sebesar apa kegelisahan Nara tanpa dirinya. Kini Javas justru menelan kekecewaan sebab gadis itu terlihat baik-baik saja.

Buset, Nara datang sama si pemain piano,” Theo duduk di samping sepupunya, mengusir mereka yang sedari tadi ingin menggoda Javas.

“Diem lu,” Javas berdesis.

“Halo, Kak Javas,” sapa seorang gadis yang datang bersama dengan Theo. Nama perempuan muda itu Kimberly Ganendra, panggilannya lucunya Kimi. Kimi kesayangannya Theo.

“Halo juga Kimi. Sini jangan dekat-dekat si belalang,” Javas berkata ramah menunjukkan sisi softnya karena Kimberly ini mengingatkan dia pada sepupu termudanya―Leandra.

Theo cemberut, dia menarik Kimi agar beringsut kepadanya, jauh-jauh dari Javas. Kimi ini sempat ngefans gitu sama Javas karena ganteng.

“Itu pacar lo urusin. Lah mereka mau joget bareng. Gila ya Nara cantik banget. Itu kenapa tangan si gemblung pegang pinggangnya ....” Theo tak melanjutkan ucapannya sebab mata Javas telah menyala. Ibaratnya ada gunung merapi yang siap meledak. Bisa-bisa dengan paksa Javas akan membubarkan pesta si Tuan Muda Abercio. “Ingat, ini acaranya Cio. Lo kagak boleh macem-macem―bisa digorok kita sama Aria.”

Kimi mengikuti arah pandangan mereka. “Mahawira Adyasta. Bukannya dia pianis terkenal itu? Wah, hebat dia juga datang.”

Theo berdecap. “Dia bukan pianis.”

Kimi melirik Theo. “Gue yakin itu dia―“

“―Itu pegulat yang meremukkan hati Javas,” sela Theo dramatis.

“Apaan sih alay, dasar om-om,” cela Kimi kesal. Akan tetapi perasaan kesal itu berubah menjadi kasihan saat Theo mendapatkan pukulan di kepalanya dari Javas. “Aduh Kak Javas, kok dipukul Theonya nanti makin bego,” Kimi cemas-cemas ngeselin.

“Jahat bet ya si belalang kupu-kupu kalau lagi cemburu ea ea ea mereka joget bareng,” Theo semakin menjadi, mirip orang kesurupan kuda lumping ketika melihat Nara dan Wira turun ke lantai dansa.

“Diem lu bacot,” Javas semakin emosi. Dia meninggalkan pasangan beda masa itu.

Langkah Javas sungguhan cepat. Javas hanya membutuhkan sepuluh detik untuk datang ke Nara, lalu detik berikutnya dia sudah meraih tangan gadis itu.

“Javas!” seru Nara terkejut, begitu pun dengan Wira.

Wira yang tahu Javas hendak menyeret paksa Nara pun segera bertindak. Mereka sekarang mirip adegan sinetron yang peran laki-lakinya saling tarik-menarik tangan pemeran wanita utama.

“Jangan ikut campur lo,” desis Javas, dia enggan mencuri perhatian orang di sekitar mereka.

Wira membolakan mata. “Kalau lo gak pengen gue ikut campur, jangan kasar,” tukas Wira.

Nara menarik nafas dia menyentakkan tangan mereka berdua. “Apa yang kamu mau dari aku? Bukannya kamu lagi sibuk sama cewek-cewek itu.” Nara berucap, nadanya datar.

“Kita harus bicara,” jawab Javas.

“Kalau gitu bicara di sini,” Nara membalas, dia menatap mata Javas. Tak ada rasa gentar dalam diri wanita tersebut.

“Kita butuh banyak hal yang harus dibicarakan, Nara―“

“―Tapi, aku gak bisa meninggalkan Wira. Aku meminta dia buat jadi pasangan aku malam ini. Tidak sopan kalau aku lebih memilih mengobrol dengan kamu,” jelas Nara tegas. Dia menghela nafas. “You should go  away, You make us uncomfortable” usirnya ditujukan untuk Javas.

Wira tercengang, Javas apalagi.

“Kalau kamu gak mau pergi, biar aku aja,” sambung Nara karena baik Javas atau pun Wira sama sekali enggan merespons.

Tidak biasanya Nara bersikap begini. Gadis itu bahkan langsung melenggang pergi tanpa menoleh sedikit pun.

Wira menepuk bahu Javas, “Bentar, Bro. Biar gue yang bicara sama dia dulu. Santai, kayaknya dia lagi super badmood lihat lo,” kata Wira sementara Javas hanya diam.

“Nayyara, hei tunggu!” Wira mengejar gadis itu yang sudah sampai di pintu keluar hotel. “Kaki lo nanti lecet kalau jalannya cepet gitu,” lanjutnya setelah berhasil mendahului. Wira berada di hadapan Nara, menghentikannya.

Wira terkejut saat melihat Nara yang pucat, ekspresinya seperti menahan tangis. Jelas, Nara sangat kesal kepada Javas sampai mau menangis. Kebiasaan Nara ialah menahan emosi yang sebenarnya dia rasakan. Nara tadi tidak ingin tampak sedih di hadapan Javas, makanya dia memilih untuk jahat. Namun, Nara terlalu memaksakan diri―kini justru matanya yang berkaca-kaca.

“Aku gak pengen nangis di sini,” gumam Nara memohon kepada Wira.

Wira mengerti, dia langsung menarik lembut gadis itu untuk segera berjalan ke mobil mereka. Untungnya, Nara menurut. Wira diam sepanjang jalan, dia membiarkan Nara beringsut dalam dekapannya.

“Kamu tunggu di sini, ya. Aku cariin minum,” kata Wira setelah mengantar Nara ke mobil dan memastikan si gadis duduk dengan nyaman.

“No, please just stay.”

Wira mengangguk. Dia beranjak ke kursi kemudi. “Kenapa lo kelihatan kacau?”

Nara enggan menjawab dia memejamkan mata. Dia tidak jadi menangis sebab merasa sangat konyol kalau sampai begitu. Nara bukan anak remaja yang baru putus cinta, dia kini ialah wanita dewasa yang sepatutnya bisa mengendalikan diri.

“Nayyara, are you okay?” Wira yang khawatir.

I’m okay,” balasnya pelan.

Bohong, Nara sedang tidak baik-baik saja. Dia marah juga sedih melihat Javas yang masih dengan santainya berada di dekat perempuan lain. Netra Nara sedari tadi mengamati Javas melalui sudut mata. Pria itu sama sekali tak menolak saat wanita-wanita yang ada di sana berusaha menggodanya. Padahal, Javas sudah berjanji hanya dimiliki oleh Nayyara.

“Aku Cuma butuh waktu buat tenang,” imbuh Nara.

Ponsel Wira berbunyi sebelum dia bisa menanggapi Nara, Javas meneleponnya. Dia keluar dari mobil untuk mengangkat panggilan―tak ingin Nara semakin emosi.

Di mana, Nyet?” Javas langsung bertanya saat Wira menekan tombol hijau di ponsel.

“Tempat parkir lantai bawah. Dia kayaknya lagi gak baik. Mau gue ajak pulang.”

“Oke kalau gitu, tolong jagain cewek gue.”

“Gila lu ya. Gak pengen ngajak ngobrol Nara baik-baik?” Wira jadi emosi dengar Javas yang menurutnya terlalu santai.

“Nara gak mau ngomong sama gue. Gue masih harus ketemuan sama Aliana. Shes my partner tonight.”

“Jav,” panggil Wira terdengar menggantung. “Dont play on her heart. Gue dengan suka rela berhenti mengusahakan Nara karena dia cinta sama lo. Tapi, kalau dalam prosesnya justru lo nyakitin dia. Jangan menyesal kalau Nayyara gak akan pernah kembali ke lo,” ancam Wira kemudian mematikan sambungan.

“Javas telepon kamu?” pertanyaan Nara menyambar Wira. Gadis itu sudah berada di belakang Wira.

“Eh, kaget gue kaget!” Wira malah latah. Dia melotot ke arah Nara. “Buset uda kayak setan aja lo,” Wira melanjutkan.

Nara memutar bola mata. “Antar aku ke kadal air,” pinta Nara lebih seperti perintah.

Lah? Tadi nolak ketemu si Kadal, sekarang malah mau nyamperin. Apa pikiran perempuan memang seabstrak ini? Wira jadi bingung sendiri, tapi dia tidak menyuarakan karena Nara sudah melipat tangan di depan dada serta menunggu dengan ekspresi jahatnya.

“Oke, oke ayo.” Wira menguatkan mentalnya, berharap tidak akan ada perang dunia antara Nayyara dan Javas.

Please Javas jangan sampai waktu Nara nyusulin lo ke sana, lo lagi enak-enak sama cewek lain.


-oOo-

Hai, uda sampai part ini ya. Huhuhu. Terima kasih yang sudah membaca cerita ini.

Aku menunggu komentar dan vote kalian hehehehe.

Sampai jumpa di part selanjutnya. 😂

P.s: part selanjutnya akan aku posting setelah melebihi 200 vote dan 200 komentar  😁. Hahaha agak lama kayaknya biar bisa segitu, jadi aku bisa istirahat dulu.

Continue Reading

You'll Also Like

37.2K 4.7K 23
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...
363K 38.1K 35
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ° hanya karangan semata, jangan melibatkan...
178K 19.5K 40
Xiao Zhan kabur dari kejaran orang-orang yg ingin melecehkannya dan tidak sengaja memasuki sebuah ruangan, ruangan dimana terdapat seorang pria yg se...
297K 3.4K 78
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...