Serendipity

By DililaDenata_

136 15 6

Dalam hidup ini, selalu ada hal menarik yang terselip di setiap kisah kita. Akan selalu ada orang-orang yang... More

02. Ekstrakulikuler
03. Berbelanja
04. Hari Jadi Pernikahan
05. Gosip

01. Ini Kisahku

50 5 2
By DililaDenata_

01.

Ini Kisahku.

◇◇◇

Berlin, 2025.

Hawa dingin semakin menusuk hingga ke tulang seiring dengan waktu yang terus berjalan. Kuhela napasku pelan di balik selimut seraya menatap seorang pria di sampingku yang tertidur pulas dengan plester penurun demam menempel di keningnya.

Aku tersenyum tipis. Perlahan kuarahkan tangan kiriku untuk mengusap pucuk kepala pria itu dengan lembut. "Cepat sembuh," ucapku. Setelahnya, aku beranjak dari tempat tidur, berjalan menuju meja kerjaku di sudut kamar.

Kubuka laptop hitamku yang setia berada di atas meja, berdampingan dengan satu botol air hangat lengkap dengan satu kotak kopi dan susu. Seraya menunggu laptop itu menyala dan menunjukkan halaman utama, aku menatap ke luar jendela yang sedikit berembun.

Butiran salju di luar sana turun menyapa bumi lebih banyak dari sebelumnya. Ditambah dengan embusan angin yang cukup kencang sehingga membuat pepohonan bergoyang, sempurna sudah musim dingin di akhir tahun ini.

Aku menghela napas panjang. Saat musim dingin seperti ini, memang sangat cocok apabila kita berhibernasi. Bergelung dalam selimut, rebahan setiap saat.

Ting!

Aku mengerjap perlahan dan kembali berfokus pada laptopku. Tanganku mengarahkan kursor pada sebuah folder bertajuk "RAHASIA NEGARA 2", lalu membukanya. Di antara sekian banyak file di folder itu, aku membuka sebuah file bertuliskan "TUGAS DUBES 2025".

Meskipun nama file-nya seperti itu, isi yang sesungguhnya bukanlah tentang tugasku sebagai duta besar tahun ini, melainkan sebuah cerita tentang dua insan yang dipertemukan oleh Semesta melalui sebuah skenario yang berujung manis.

Aku mengulas senyum tipis. Tanpa menunggu lama lagi, tanganku segera menari lincah mengetikkan satu demi satu kata.

Ya, ini adalah kisahku dan dia.

Semua ini bermula ketika aku masih menginjak bangku SMA. 10 tahun yang lalu.

***


Semarang, 2015.

Seorang gadis dengan balutan seragam putih-abu-abu berlari secepat mungkin menuju gerbang sekolah yang hampir ditutup sempurna oleh seorang satpam berambut cepak.

Ya, gadis itu adalah aku, Vanya. Aku yang dengan bodohnya bangun kesiangan hanya karena ponselku mati sehingga alarm tidak berfungsi. Orang tuaku? Mereka bahkan sudah bekerja sebelum aku bangun. Wajar, mereka merupakan seorang workaholic.

"Pak, Pak! Tunggu bentar!"

Dengan napas terengah-engah, aku menahan gerbang dengan kedua tanganku sekuat mungkin. "Pak, tolongin saya lah," ucapku memelas menatap satpam yang kuketahui bernama Pak Ridwan. Pegangan tanganku pada gerbang semakin menguat saat Pak Ridwan tetap kekeuh tak ingin membiarkanku masuk.

"Tunggu di sini sampai kira-kira 30 menit lagi, Mbak. Biar Bu Ayu yang mengurus."

Aku tetap menggeleng. Aku semakin memelaskan wajahku agar Pak Ridwan luluh. "Saya mana kenal Bu Ayu, Pak! Ini hari pertama saya sekolah, Pak. Masa Bapak tega, sih, biarin murid baru telat begini?"

Pak Ridwan menatapku tajam dari ujung rambut hingga ujung kaki. Aku bergiding ngeri ditatap sedemikian jelinya oleh seseorang, terlebih orang itu merupakan om-om.

"Murid baru kok udah pakai seragam? Seragamnya baru dibagiin kemarin, 'kan?" tanya Pak Ridwan curiga.

Aku mengusap rambut frustasi. Kenapa, sih, pakai acara introgasi segala? Ingat waktu, Pak! "Ini saya seragamnya beli sendiri," jawabku asal.

Aku menatap Pak Ridwan penuh harap. Dia tampak menimang-nimang sesuatu.

"Ya udah, cepat masuk, Mbak."

Aku tersenyum penuh kemenangan ketika gerbang kembali dibuka. Tanpa berlama-lama lagi, aku segera berlari menuju lapangan karena akan ada upacara pembukaan semester baru.

Aku berjalan mengendap di barisan belakang. Karena aku tidak tahu di mana barisan kelasku berada, akhirnya aku memilih berbaris secara asal di belakang seorang cewek gempal berambut sebahu. Di sebelah kiriku, berdiri seorang cowok berpostur tinggi yang menatap ke samping kiri.

Aku terus menoleh ke mana-mana untuk memastikan apakah di belakang ada guru yang mengawasi atau tidak. Takut apabila aku tertangkap basah tidak mengenakan atribut lengkap, terutama topi. Kulihat hanya ada sekelompok anggota PMR dengan rompi birunya yang berdiri di belakang. Aku pun menghela napas lega.

"Lo anak baru?"

Aku terlonjak kaget saat cowok di sampingku membuka suara. Aku menoleh patah-patah dan mendongak menatap cowok itu. "Iya, kenapa?" Aku balik bertanya.

Bukannya menjawab, cowok itu justru tertawa kecil. Hal itu membuatku mengernyitkan dahi. Apa ada yang lucu? "Kenapa?" tanyaku lagi.

"Nggak apa-apa," ucapnya mengulas senyum dan kembali menatap ke depan.

Aku menatap cowok itu dengan seksama. Jujur, untuk sesaat dia berhasil membuatku terpana karena wajah tampannya. Rahang tegas, tatapan yang tajam, dan jangan lupakan senyum tipis yang manis tadi.

Aku menepuk kedua pipiku. Sadar, Vanya, dia itu cowok nggak jelas!

Tak mau semakin tenggelam dalam pesona cowok itu, aku memutuskan untuk menatap lurus ke depan. Iseng, aku menilik badge kelas milik beberapa siswa di depanku. Karena cowok di sampingku tidak memakai badge kelas, aku jadi begini.

Aku langsung menepuk dahi begitu mengetahui bahwa aku tersesat di barisan kakak kelas, lebih tepatnya kelas 11. Pantas saja cowok tadi menertawakanku.

Bego banget, sih!

Aku terus menunduk sampai upacara selesai. Begitu barisan dibubarkan, aku segera menahan tangan cowok di sampingku agar tidak beranjak dari tempatnya seperti yang dilakukan siswa lain.

"Apa?"

"Mau tanya, Kak. Boleh?"

"Nggak."

Aku mencibir. "Kelas 10 IPS 1 di mana, ya?" Aku tetap bertanya.

"Kan gue bilang nggak boleh tanya."

"Kelas 10 IPS 1 di mana?"

Dia tertawa mendengkus. Kemudian, dia mengangkat tangan kanan ke atas, menunjuk sebuah kelas yang berada di lantai dua gedung B ini.

Aku manggut-manggut mengerti. Lumayan dekat juga ternyata, tapi cukup menguras tenaga untuk menaiki tangga. "Oke, makasih, Kak," ucapku sebelum beranjak menuju kelas baruku.

Greb!

Langkahku terhenti ketika pergelangan tanganku ditahan oleh seseorang. Menoleh, aku terkejut saat cowok tadi menatapku intens. "Apa lagi, sih, Kak?" tanyaku sebal.

"Bareng."

Aku hanya melongo dan mengikuti saja langkah cowok itu. Dia menarikku menaiki tangga yang menghubungkan lantai dasar dengan lantai dua, lalu berbelok ke arah kanan. Aku menatap papan kelas yang menggantung di tengah-tengah pintu tiap kelas. 10 IPA 6, 10 IPA 7. Cowok itu menghentikan langkahnya di kelas samping 10 IPA 7. 10 IPS 1. Kelasku.

"Waktu OSPEK kuliah besok, jangan bolos lagi makanya," ucap cowok itu sebelum akhirnya kembali melangkah meninggalkan koridor kelas 10.

"Woi!"

Rangkulan seseorang di bahuku membuatku tersentak dari lamunanku. Kualihkan pandanganku ke samping, lantas tersenyum lebar dan memeluk cewek yang merangkulku itu. "Nabila, ternyata kita sekelas beneran!" ucapku.

Nabila menarikku masuk ke dalam kelas. Dia membawaku ke sebuah meja di sudut belakang kelas, lalu meletakkan tasku di bangku kosong dekat tembok. "Udah gue booking-in bangku buat lo, nih. Baik 'kan gue?"

Aku segera duduk dan meletakkan kepalaku di atas meja dengan lesu. Pikiranku masih tertuju kepada kejadian yang bersumber dari kebodohanku pagi tadi. Siapa gerangan cowok itu? Bagaimana dia bisa tahu kalau selama MOS tiga hari kemarin aku membolos?

"Eh, iya, Nya." Nabila menyerongkan posisi tubuhnya menghadapku. "Tadi Fina bilang, lo diantar Kak Reygan ke kelas, bener?"

"Fina siapa? Kak Reygan siapa?"

Nabila menghela napas panjang. Telunjuknya menunjuk seorang cewek yang tengah dikerumuni oleh banyak cowok di kelasku. "Itu Fina," ucapnya. "Kalau Kak Reygan, dia itu ketua ekskul silat yang udah dapat sabuk hitam. Hebat banget dia bisa juara 1 di tingkat nasional. Padahal baru kelas 11," tambahnya.

Aku manggut-manggut mengerti. Sedikit terkagum dengan Kak Reygan yang diceritakan oleh Nabila. "Terus?"

"Kok terus, sih? Jawab pertanyaan gue, dong, Vanya!"

"Emang lo tanya apa?"

"Lo beneran diantar Kak Reygan ke kelas?" Nabila mengacak rambut frustasi. "Lo itu dari SMP masih aja lemot, ya, Nya. Untung gue sabar."

Aku terkekeh melihat reaksi Nabila. Jujur, aku hanya iseng membuat Nabila mengulang pertanyaannya. Ya, namanya juga gabut.

"Oh, jadi itu cowok namanya Reygan?"

"Nah, jadi bener?!" Nabila berteriak heboh sampai seisi kelas menoleh ke arah kami. "Lo beneran diantar sama Kak Reygan?!"

Gara-gara suara Nabila yang seperti toa masjid itu, semua siswi di kelasku langsung mengerubungi meja kami. Mereka kompak menanyakan hal yang sama.

"Lo ada hubungan apa sama Kak Reygan?"

"Itu beneran? Lo nggak halu, 'kan?"

Aku mendengkus gusar. "Apa, sih? Kepo amat jadi orang," ucapku sangsi.

Nabila tertawa renyah di antara keheningan yang tiba-tiba menyelimuti. "Iya. Cuma diantar, kenapa pada heboh, sih?"

Mendengar Nabila berkata demikian, aku merotasikan kedua mataku seraya tertawa sinis. "Lo bahkan lebih heboh, Bil."

"Ah, lo mah kayak nggak kenal gue aja!" Nabila menyenggol bahuku. Dia tertawa keras, menyembunyikan rasa dongkolnya.

Setelah satu per satu temanku kembali ke tempat duduknya masing-masing, barulah aku menatap tajam Nabila secara intens. "Volume suara lo nggak bisa dikecilin dikit apa, ya?" tanyaku.

Jika orang lain akan menunduk takut jika dibentak sekaligus dipelototi sedemikian rupa, berbeda dengan Nabila. Cewek itu justru tersenyum lebar menampakkan deretan giginya yang rapi.

***

Awalnya, niatku untuk menghabiskan waktu istirahat adalah dengan bermain game online multiplayer memanfaatkan wifi kelas yang sedang lancar jaya seperti sekarang. Tapi, niat tinggallah niat yang tidak tercapai.

Sekarang aku justru terjebak di kantin, duduk di tengah-tengah rombongan cewek kelasku yang sudah seperti pasukan tawuran. Kalau bukan karena Nabila yang menyeretku, sudah pasti aku akan tetap bertahan di bawah sejuknya AC kelas.

"Lo mau pesan apa?"

"Hm?" Aku mendongak menatap Nabila. Sedikit tidak minat. "Samain punya lo aja," jawabku sebelum fokusku kembali tertuju pada layar ponselku.

Sesekali aku melirik teman-temanku satu per satu, dan kembali menatap ponsel saat aku tertangkap basah menatap mereka. Meletakkan ponsel dalam posisi mati, aku kembali menatap mereka seraya sesekali menggaruk tengkuk.

Oh, ayolah. Di antara banyaknya kumpulan cewek ini tidak ada satu pun yang berniat membuka obrolan? Haruskah aku yang memulainya?

Tidak, tidak. Meskipun aku merupakan sosok cewek yang jika bicara tidak bisa berhenti, aku akan menjadi sosok pendiam jika bertemu dengan orang baru. Canggung.

"Woi! Kenapa pada diem-dieman, sih?" Nabila datang kembali. Setelah duduk di kursinya, dia menyodorkan ponselnya ke tengah-tengah kami. "Nih, cogan yang dikepoin Kintan kemarin."

Aku ikut mendekatkan tubuhku. Penasaran, aku juga melihat apa yang terpampang di layar ponsel Nabila.

Aku membulatkan bibirku begitu mendapati foto-foto di Instagram seorang cowok ganteng. Di profil itu tertulis namanya, Andryastha Melvin.

"Parah, Kak Melvin ganteng banget!" Kintan berseru heboh. Dia berulang kali menepuk-nepuk dada seraya menghentakkan kedua kakinya bak orang kesetanan.

"Udah ganteng, anak silat, anak paskib lagi! Sempurna emang," Reta ikut menambahkan.

Aku sebenarnya juga setuju. Jika kalian juga melihat fotonya, pasti kalian akan berpikiran sama dengan teman-temanku. Ditambah dengan rambutnya yang berwarna kecoklatan dan iris birunya, kalian pasti akan semakin larut dalam pesonanya.

Tapi, justru pesona Kak Melvin itulah yang membuatku tidak seheboh temanku.

Bukan bermaksud SARA, tapi aku lebih menyukai cowok-cowok dengan tipe wajah oriental dibandingkan dengan cowok-cowok western.

Karena bagaimanapun, kita harus mencintai produk lokal, girls!

"Eh, Nya, diem aja lo!" celetuk Fina pada akhirnya. "Ganteng, 'kan?"

"Gue nggak suka bule," ungkapku.

Aku menatap mereka yang tiba-tiba berhenti bicara dan menatapku aneh. "Gue lebih suka cowok Asia," tambahku.

Entah ada apa dengan ucapanku sehingga Fina langsung tersenyum dan mencondongkan tubuhnya mendekatiku. "Kak Reygan?"

Aku melotot seketika. Kenapa jadi dia? Bahkan, aku sama sekali tidak mengenalinya. Hanya karena secara kebetulan kami bertemu tiba-tiba, bukan berarti ada sesuatu di antara kami, 'kan?

"Hoki banget lo, bisa dianterin Kak Reygan."

Aku mengangkat bahu. Apakah benar pertemuan tadi adalah sebuah keberuntungan yang diciptakan oleh Semesta untukku? Atau justru sebaliknya?

Entahlah, aku tidak tahu. Yang jelas, Tuhan telah merancang skenario terbaiknya. Untuk kedepannya, siapa yang tahu? Bahkan, para malaikat pun tidak memiliki informasi apapun mengenai skenario tersebut. Apalagi manusia yang tidak bisa dan tidak mengetahui apapun.

Kita hanya mampu mengikuti jalan cerita yang telah ditetapkan oleh Tuhan dalam buku kehidupan kita masing-masing.

》CUT!《

Halo, semuanya!

Setelah vakum beberapa abad lamanya sampai akun ini usang dan penuh debu, akhirnya saya kembali! Yey! ovo)v

Dan, yah ... sebagai tanda kembalinya eksistensi saya di dunia oren ini, saya kembali menuliskan sebuah cerita klasik.

Hanya saja, untuk kali ini dan seterusnya, genre semua cerita saya akan berbeda jauh dari sebelumnya. Jika sebelumnya saya hanya menulis Fanfiction, sekarang saya tertantang untuk menulis lika-liku dan suka-duka kehidupan remaja ~'-')~

Oke, mungkin hanya itu saja yang bisa saya sampaikan.

SELAMAT DATANG DI KISAH KLASIK ANTARA REYGAN, VANYA, NABILA, DAN TOKOH LAIN DI SINI! ♥

Sweet Love,

Seia | Dilila Denata.

Continue Reading

You'll Also Like

1M 19.5K 46
Gadis cantik yang masih duduk di bangku SMA terpaksa menjalankan misi misi aneh dari layar transparan di hadapannya, karena kalau tak di jalankan, ma...
881K 6.3K 10
SEBELUM MEMBACA CERITA INI FOLLOW DULU KARENA SEBAGIAN CHAPTER AKAN DI PRIVATE :) Alana tidak menyangka kalau kehidupan di kampusnya akan menjadi sem...
809K 22.9K 55
Zanna tidak pernah percaya dengan namanya cinta. Dia hanya menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang merepotkan dan tidak nyata. Trust issue nya so...
4.3M 98K 48
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+