Some Day

By FinaWRD3

66.1K 6.5K 181

Hanya sebuah kisah dimana mereka yang menjadi bagian dalam percintaan rumah tangga. More

- Satu -
- Dua -
- Tiga -
- Empat -
- Lima -
- Enam -
- Tujuh -
- Delapan -
- Sembilan -
- Sepuluh -
- Sebelas -
- Duabelas -
- Tigabelas -
- Empatbelas -
- Enambelas -
- Tujuhbelas -

- Limabelas -

2.3K 287 6
By FinaWRD3

-Happy reading-

Dalam sekejap mata, Hinata kembali diliputi oleh perasaan emosional saat melihat sosok tak asing terbaring dengan kimono hime putihnya yang berukir bunga ungu muda diujung lengannya.
Mengamati jarak sedekat ini pada sosok yang begitu sering muncul dimimpinya.

Perasaan apa ini ? Hinata bertanya pada dirinya sendiri, menyadari bahwa ada semacam beban berat yang dijatuhkan mendadak dibahunya, hingga membuat tubuhnya tersentak dan jatuh ke lantai.

"Hinata, " Sasuke berlari meraih tubuh Hinata yang lunglai dan jatuh diatas lantai keramik dingin.

Istrinya terlihat begitu bersedih akan sesuatu, dan wajah menangis itu membuat Sasuke merasakan sakit yang teramat sangat menghujam jantungnya.
Mendekap Hinata yang terisak, membawa tubuh lemah istrinya kedalam dekapannya yang erat.

"Tidak apa-apa, sayang. Semuanya baik-baik saja."

Berbisik dengan suara pelan, mencium kening Hinata dengan perasaan cinta yang mengalir ke setiap uratnya.
Sasuke ikut merasakan sakit didadanya, untuk alasan yang bahkan ia sendiri tidak tau apa.

"Anata, kenapa aku merasa sehancur ini ?"

Hinata hanya merasakan perasaan sakit yang mendalam, juga kerinduan besar yang bersarang dihatinya dan kini membeludak keluar begitu saja.
Seperti dirinya yang begitu tersiksa selama ini, seperti ia yang merasakan perih seumur hidupnya untuk sesuatu tak kasat mata, dan tidak pernah diketahuinya.

Sakura mengusap pipinya yang basah, sementara Naruto merangkulnya untuk menenangkan istrinya yang emosional.
Shikamaru tidak yakin dengan apa yang dipikirkannya, tapi dugaan terbesarnya adalah, perasaan yang mengalir keluar dari dalam diri Hinata bersumber pada arus cakra mereka yang terhubung.
Sai menghela napas dengan berat saat menyaksikan adegan dramatis itu, jujur saja lelaki itu merindukan kekasihnya, Yamanaka Ino.
Shino memejamkan mata dengan erat saat lagi-lagi harus melihat Hinata yang menangis didepan matanya, ingatan akan masa kecil mereka serasa berterbangan memenuhi kepala.

Urashiki nampak tersenyum sendu melihat hal itu, mulai menyadari tentang bagaimana kesulitan yang dialami oleh ibu anak itu selalu terhubung selama ini.
Mereka terikat atas benang cakra yang tidak bisa diputuskan dengan mudah, bahkan sekarang semakin kuat karena adanya bayi di kandungan Hinata yang semakin menghubungkan aliran cakra mereka.

"Okaa-san, apa yang harus aku lakukan padamu ?"

"Transfer cakra."

Pertanyaan Hinata dijawab oleh Urashiki, dimana lelaki itu mendekat kearah Hinata yang kini memberinya tatapan bingung atas jawaban itu.

"Apa maksudnya ?"

"Dewi Bulan membutuhkan cakranya agar bisa kembali ke tempat asalnya. Dan cakra itu ada didalam dirimu."

Hinata memahami situasinya yang tidak biasa, dimana ia yang bahkan tidak pernah membayangkan akan ada hal semacam itu dalam dirinya.
Mengerling pada Sasuke yang nampak khawatir setelah mendengar perkataan Urashiki, Hinata yakin jika suaminya sudah tau tentang ini sebelumnya.

"Tunggu dulu, biar aku luruskan ini. Jadi, okaa-san membutuhkan cakranya yang ada dalam diriku, dan aku harus melakukan transfer cakra untuk membuat okaa-san kembali ke bulan ? Begitu ?"

Anggukan mantap dari Urashiki dan Sasuke menjadi jawaban paling mutlak atas presentasi singkat yang dilakukan Hinata untuk meluruskan alasan kenapa ia ada disini dan untuk misi ini.

"Bagaimana mungkin ? Hinata sedang hamil, bukannya itu akan membahayakannya ?"

Sakura bereaksi keras atas semua hal tidak masuk akal ini, dengan pikiran paling logis yang bisa dikatakannya.

"Tidak seperti itu, nona Haruno." Urashiki masih sangat sabar menghadapi Sakura yang emosinya mulai tersulut.

"Omong kosong. Transfer cakra, itu artinya Hinata harus mengirimkan cakranya pada perempuan entah siapa itu namannya. Bukankah ...."

Ucapan Sakura terputus ketika Naruto membekap mulut istrinya dengan telapak tangan, membawanya keluar darisana dengan dibantu Sai.
Jika dibiarkan, Sakura akan terus mengomel.
Dan meskipun itu bentuk kepeduliannya pada Hinata, perempuan itu tidak paham atas duduk masalah yang sebenarnya.

Hinata terdiam cukup lama, berpikir kembali atas semua hal yang dialaminya belakangan ini.
Kedatangan ibunya didalam mimpi, sesuatu yang menuntunnya untuk pergi dan sebuah pesan yang dikatakannya sebelum hari ini.

Putriku, jadilah kuat untuk dirimu dan keluargamu.
Tidak akan ada yang bisa menyakiti dirimu, selama kau bertahan untuk tetap berdiri dalam kebenaran itu.
Tetap bersama orang yang kau cintai yang siap mendekapmu.

Hinata, ibu hanya meminta sedikit saja.
Hanya sedikit dari apa yang kau miliki, agar ibu bisa menjagamu dari kejauhan.
Agar kau tidak lagi terluka, putriku.

Hatimu yang hangat dan selembut sutra itulah yang sering melukaimu.
Perasaan kasih dan welas asih itulah yang sebenarnya memberi jalan padamu.
Dan kegigihanmu yang selalu memberi kekuatan luar biasa.

Hinata, kau akan bahagia, sayangku.
Kau akan bahagia dengan hidupmu sendiri.
Jangan ragu, ibu tidak akan pernah menyakitimu.
Ibu akan melindungimu.

Bukankah seharusnya Hinata sudah sadar atas apa yang dikatakan ibunya.
Cakra, ibunya meminta sedikit cakra dalam dirinya, yang akan membawanya kembali ke tempatnya.
Tapi, apakah itu masuk akal ? Hinata tidak yakin.

Ketika tangannya terulur untuk menyentuh tangan hangat ibunya yang hanya berbaring dengan mata terpejam, sengatan itu jelas terasa diantara mereka.
Ibunya masih hidup, bahkan telapak tangan putih itu masih terasa hangat.

"Aku akan melakukannya." Katanya dengan suara mantap.

"Hinata,," Sasuke terlihat tidak bisa menerima apa yang dikatakan Hinata,  meraih bahu istrinya dengan kedua telapak tangan, meremasnya pelan saat tatapan mereka bertemu.

Hinata bukannya tidak menyadari arti tatapan itu, Sasuke melarangnya.
Suaminya tidak setuju atas apa yang akan dilakukannya.
Tapi Hinata hanya menampilkan senyum lembutnya, meringsek dan mendekap tubuh Sasuke dengan erat.
Menyandarkan kepalanya di dada bidang suaminya, memejamkan mata untuk menikmati kehangatan itu.

"Sasuke-kun, kumohon.," Mendongak dengan tatapan berkaca-kaca, wajah anak anjing malang yang menggemaskan, tatapan yang tidak akan bisa ditolak oleh Sasuke.
Sialann, bagaimana bisa Hinata membuat ekspresi semenggemaskan itu ?

Pada akhirnya, Sasuke hanya bisa mengangguk pasrah dengan wajah tidak rela.
Berbanding dengan sangat kontras pada wajah tersenyum Hinata yang kini nampak lega,seperti sesuatu yang berat diatas bahunya terangkat sempurna.

"Terimakasih, anata." Mengucapkannya dengan tulus, mengangkat telapak tangan Sasuke dan menciumnya dengan lembut.

Sasuke tidak bisa berkata-kata, merasa begitu haru saat melihat Hinata yang seperti itu.
Sebuah pikiran terbersit dalam kepalanya, tentang bagaimana Hinata yang begitu mau berkorban untuk seseorang yang bahkan belum diketahui apakah itu keluarganya atau bukan.
Jadi, bagaimana bisa Sasuke meragukan ketulusan dan kebaikan hati istrinya.

....

Duduk disamping ranjang yang tidak terlalu tinggi, mengulurkan tangannya dan menyentuhkan telapak tangannya pada dada ibunya, tepat dijantungnya.
Tidak ada instruksi khusus dari Urashiki mengenai bagaimana Hinata harus mentransfer cakra yang ada dal dirinya.
Hanya penjelasan singkat seperti ini,

Fokuskan aliran cakra pada satu titik.

Terdengar sangat remeh dan begitu mudah untuk dilakukan, tapi kenyataannya tidak semudah itu.
Hinata sudah dua kali mencoba melakukannya, tapi gagal karena aliran cakra mereka tidak bisa terhubung dengan baik.
Dan sekarang dipercobaan ketiganya, Hinata benar-benar berusaha keras untuk membuat cakranya terhubung dengan cakra ibunya yang melemah.

Bukan hanya Sasuke yang was-was saat melihat adegan mendebarkan itu, Sakura bahkan mencak-mencak saat melihat Hinata terpental karena gesekan arus cakra yang tidak beraturan.
Memang benar, bicara jauh lebih mudah daripada prakteknya secara langsung.

"Arghh ..." Hinata menjauhkan telapak tangannya dengan spontan, saat merasakan sesuatu yang panas tertempel ditelapak tangannya, terasa menyakitkan.

"Ada apa Hinata ?"

"Seperti ada besi panas yang ditempelkan disini." Hinata mengulurkan telapak tangannya kearah Sasuke, menemukan sebuah segel hitam muncul disana.

Segel dengan bentuk rumit yang membuat Urashiki menampilkan wajah lega, sementara yang lain nampaknya tidak lega sama sekali, justru semakin khawatir.

"Kau hampir berhasil, putri bulan. Lakukanlah."

"Apa kau gila ? Hinata terlihat kesakitan begini, kau malah menganggapnya berhasil ?"

Sarkasme Sakura yang sangat meningkat belakangan ini, menyahut dengan tajam saat mendengar perkataan Urashiki.
Sasuke kalah cepat dari Sakura, karena sebenarnya ia juga ingin mengatakan itu.

Hinata hanya sedang mencoba menganalisis arti bentuk gambaran segel yang muncul ditelapak tangannya, seperti dilukis dengan tinta hitam yang pekat dan tahan air.
Tidak sama seperti segel milik Naruto atau milik Sasuke yang dibuat orochimaru, segel milik Hinata seperti sebuah gambaran dimana bunga lotus mengelilingi bentuk bulan, bumi dan matahari.
Tapi anehnya, ada semacam garis memanjang sebagai pagar atau pembatasnya, Hinata tidak yakin.

Kembali meletakkan telapak tangannya didada ibunya, memfokuskan pada aliran cakra yang kini memunculkan sebuah cahaya merah yang berasal dari tangannya.
Perlahan tapi pasti, rasa panas yang berpusat ditelapak tangannya menyebar hingga ke seluruh tubuhnya, membawa sensasi menggetarkan yang membuat jantungnya berdebar kencang.

Sasuke mengamatinya dengan was-was sekaligus takjub, ketika hal itu terjadi didepan matanya dan dilakukan oleh istrinya.
Hinata terlihat begitu tangguh, sebuah visual menawan dari seorang dewi perang yang perlahan muncul diwajah istrinya.
Garis rahang lembut itu perlahan mengeras, dengan kelopak mata terpejam.

"Wahh, Hinata." Sakura menggumam dengan mata terbuka lebar, mengamati pemandangan yang belum pernah dilihatnya dari sosok kalem Hinata yang lemah lembut pada kesehariannya.
Sakura mungkin terlihat tangguh, tapi ia tidak lebih tangguh dari sosok perempuan yang tubuhnya mengeluarkan pendar cahaya ungu itu.

Hinata tidak yakin dengan apa yang dirasakannya, ketika ia seperti terhisap dalam sebuah dimensi dimana hanya ada dirinya dan seorang perempuan berkimoho hime putih dengan lengan lebar.
Hinata tau siapa itu, sosok yang sering muncul dalam mimpinya.
Berdiri membelakanginya, dalam cahaya terang yang mengelilingi sosoknya.

"Ibu," Hinata memanggil dengan suara lirih, membuat perempuan itu memutar tubuhnya dengan dramatis.

Senyum simpul yang menawab dalam sorot mata hangat, menyambutnua dengan binar terang dalam netranya yang penuh dengan tatapan damba.

"Kemarilah putriku," merentangkan kedua lengannya, menyambut Hinata dalam pelukan yang siap mendekap tubuh lelah dari putri cantiknya.

Hinata berjalan mendekat, seperti sebuah magnet yang menariknya agar berada disana.
Dalam sekejap mata, ia sudah berada dalam pelukan hangat yang terasa erat, membawa Hinata dalam melodrama yang kini berputar pada dirinya, emosinya yang tercampur aduk tidak menentu.

"Kau lelah, sayangku ?" Tepukan lembut dibahunya membuat Hinata tergugu, entah sejak kapan ia menangis.

"Tidak. Aku tidak lelah, bu." Berbisik dengan suara yakin, melepaskan pelukannya secara perlahan.

Dalam jarak sedekat ini, Hinata benar-benar bisa melihat sosok ibunya yang begitu menawan.
Tanda wajik ungu itu nampak bercahaya, ketika telapak tangan halus itu membingkai wajahnya, mengusapnya dengan hati-hati dengan ujung jarinya.

"Terimakasih, Hinata. Ibu sangat berterimakasih, sayangku."

Hanya sepersekian detik selanjutnya, Hinata merasakan perputaran gravitasi yang terlalu cepat dibawah kakinya.
Tubuhnya terasa terguncang, seperti zona kejut yang membuat kesadarannya perlahan menghilang.
Dalam ketidakpastian yang memutar tubuhnya, Hinata bisa merasakan sebuah lengan kekar yang memeluk pinggangnya, mendekapnya erat didada.
Hanya itu ingatan terakhirnya sebelum benar-benar merasa lenyap, terhisap sesuatu yang membawanya dalam zona terendah yang bisa diinjaknya.
Hinata tidak merasa yakin jika ia masih hidup saat ini.

Dalam titik akhir kesadarannya, tangan lemahnya memeluk perutnya sendiri.
Menyelubunginya, memastikan bayinya berada dalam keadaan baik-baik saja.
Insting seorang ibu yang selalu melindungi anaknya muncul dengan posesif, membuatnya kembali merasa teraduk dalam berbagai pusaran memusingkan yang perlahan melenyapkannya.
.
.
.
Vote please ❤❤

Continue Reading

You'll Also Like

39.9K 3K 8
[COMPLETED] - (Hurt&Drama) "Jika bertahan lebih mudah daripada melepaskan, luka ini tidak akan seperih ini." - Hinata Sasuhina, Gaahina Start : 16 De...
68.6K 8.3K 15
Menjelang kematiannya, Neji berpesan pada Naruto sang sahabat agar menjaga adik kesayangannya. Hinata. Tentu Naruto tak bisa menolak, tapi semakin l...
370 18 5
Senja Bagaimana senja mu hari ini, senjaku sedang tidak baik baik saja dia sedang pergi dan meninggalkan kegelapan, tapi senjaku tidak jahat dia han...
43.6K 7.5K 15
this is our school, our dormitory, and our life.