Grow Up [ โœ“ ]

By HwangLuv

548K 68.1K 18K

[ Telah dibukukan. ] โYou did well, Hyunjin-ah...โž Sepanjang Hyunjin melewati mereka, dia dihormati. Dia diha... More

01. Memory
02. Am i fine?
03. I'm sorry, I can't..
04. Bleedin'
05. I'm Scared
06. Hematoma
07. Family Goals
08. Secret Untold
09. Hallway
10. Not that Easy
11. Going Over
12. Re-
13. DrUNk
14. Back To 2009
15. Tears
16. Selfish
17. So?
18. Again
19. The Final
20. Suicide?
21. Return
22. HAPPY BIRTHDAY HWANG JANIM! <3
23. The Bells of Happiness
24. Kang Sowoon
25. ACCIDENT!
26. End
27. Tears.2
29. After All
30. SINGLE CONCERT : HI HYUNJIN!
Last but not Least
31. A Second Chance
day by day:: 2021.
GROW UP COMPLETED, other works?
OTHER NOVEL?
RESTOCK SEKARANG!

28. Sweet Scars

13.5K 1.7K 553
By HwangLuv

•••

Laki-laki itu berjalan gontai menuju ujung lorong ruang inap di lantai tiga.

Tangannya yang gemetar itu terangkat, menyentuh lonceng yang menempel di sana. Dokter Kang belum sepenuhnya menerima, tapi dia tidak bisa menyalahi takdir.

"Saya iri. Saya iri tiap denger orang lain bisa bunyiin lonceng itu. Saya mau, Dokter. Saya mau juga."

"Saya bunyikan untuk kamu, Hyun." Dokter Kang menguatkan hatinya. Dia membunyikan lonceng itu untuk Hyunjin. Terlepas dari kalah-menangnya dia melawan kanker, Hyunjin layak membunyikan lonceng ini karena dia telah berjuang.

Harusnya lonceng itu dibunyikan beberapa kali.

Tapi untuk Hyunjin,

Dokter Kang membunyikannya hanya sekali.


Lalu satu-persatu pasien menengok keluar,  pintu mereka terbuka secara serempak; seluruhnya melirik ke ujung lorong. Karena suara lonceng itu nyaring, sedang lorong dalam keadaan senyap tanpa satupun suara.

"Kenapa hanya satu kali, Dokter?" Tanya gadis kecil yang berada di ruangan nomor satu, paling dekat dengan Dokter Kang.

Orang-orang mulai bertanya, siapa gerangan yang sudah terbebas dari kanker hari ini? Kenapa Dokter Kang sendirian? Dimana orang yang sembuh itu? Pertanyaan seperti itu terdengar dimana-mana.

Dokter Kang merendahkan tubuhnya, berjongkok di hadapan si gadis yang ditemani ibunya.

"Dia gugur." Ujar Dokter Kang terdengar sedih.

"Dia nggak sembuh?" Tanya si gadis polos.

Dokter Kang terdiam sesaat. Perbincangan keduanya cukup keras, orang lain bisa mendengarnya dengan jelas.

"Belum sempat." Balasnya ragu-ragu.

"Siapa? Siapa Dokter?" Gadis kecil itu kembali bertanya, menggoyangkan lengan Dokter Kang–mendesaknya.

"Ruangan nomor dua." Dokter Kang tidak bisa lagi menahan tangisannya. Mengingat kegagalan terbesar yang telah dia lakukan;  satu pasiennya gagal diselamatkan.

Lalu laki-laki yang telah berumur di ruangan seberangnya menyahut, "Dia pasti anak yang baik. Tuhan begitu menyayanginya, tidak sabar untuk menemuinya. Karena itu dia dijemput lebih cepat." Katanya pelan, memajukan kursi rodanya agar dia mendekat pada Dokter Kang.

Sekitar lima menit kemudian, semua pasien mendadak keluar kamar berbarengan. Mereka membawa setangkai bunga, yang entah berasal dari mana–sepertinya dari vas yang disediakan di dalam.

"Ini untuk Hwang Hyunjin." Satu-persatu dari mereka menaruh setangkai bunga tadi di depan pintu kamar Hyunjin. Bergantian, sampai belasan bunga menumpuk di sana.

Kemudian mereka menempelkan kertas di dinding, bersebelahan dengan lonceng. Di antara banyaknya kertas tanda bersyukur, mereka menulis banyak-banyak terima kasih untuk Hyunjin yang telah mau berjuang selama ini.

"Nanti kita bertemu lagi, Hwang Hyunjin." Ujar laki-laki yang terakhir menempelkan kertas berwarna merah muda di sana.

Dokter Kang tidak terkejut. Dia tahu semua orang menyayangi sosok Hyunjin dengan teramat. Bahkan yang belum pernah saling menyapa-pun merasa kehilangan.

Setelah itu, Dokter Kang mengumpulkan bunga yang ada. Dia menyatukannya, untuk kemudian di tempel di pintu kamar Hyunjin.

'Penghuninya telah beristirahat.' Tulisnya di bawah bunga-bunga itu.

•••

Dokter Kang terus mengusap kedua matanya yang sudah perih. Melihat dua lelaki datang ke dalam ruangannya. Dia membenarkan posisi duduknya menjadi lebih tegak. Jungwoo dan Jaejin menghampiri, dan duduk di kursi yang berhadapan dengan meja Dokter Kang.

"Saya cabut hak kamu sebagai dokter, Jungwoo-ya." Terang Dokter Kang tanpa basa-basi.

"A-apa? Kenapa?" Jungwoo jelas terkejut. Dia baru saja duduk sedetik yang lalu dan tiba-tiba Dokter Kang mengejutkannya.

"Untuk apa? Kamu tidak pantas lagi disebut dokter." Balas Dokter Kang begitu murka.

"Kalian berdua—Ah," Dokter Kang menunduk, menutup wajah dengan kedua tangannya.

Tidak menyangka, penyebab Hyunjin meninggal ternyata dua lelaki yang mengaku sebagai ayahnya. Ternyata benar apa yang dikatakan Hyunjin dulu. Dia tidak mau ditangani oleh Dokter Jungwoo, takut diracuni katanya. Dan sekarang bukan hanya diracuni, namun juga dibunuh. Dokter Kang teramat menyesal. Jika saja dia tidak sepercaya itu terhadap Jungwoo dulu, maka ini tidak akan terjadi.

Hyunjin, tidurlah dengan tenang.

"Kamu nggak bisa cabut hak dia." Jae menyela. "Dia masih layak disebut dokter." Jae melanjutkan.

"Anda siapa?" Dokter Kang menggebrak meja. Membuat Jae sedikit bergetar. Ketiganya tidak beradu pandang sedari tadi. Rasa takut, marah, dan sedih, semuanya bercampur aduk.

"Euthanasia, Dokter Kang." Jae membela Jungwoo mati-matian. Karena di mata Jae, Jungwoo memang tidak salah apa-apa.

Dokter Kang terperanjat.

"Saya nggak kuat lihat dia terus-terusan sakit. Sedangkan anda juga nggak bisa menjamin kapan Hyunjin bisa bangun. Kita nunggu Hyunjin bangun dari koma-nya, padahal anda sendiri tahu Hyunjin tidak pernah menunjukkan tanda-tanda dia akan segera sadar." Ujar Jaejin.

"Saya sudah menandatangani surat untuk ini. Saya bertanggung jawab. Jika ada suatu kekeliruan, saya bisa disalahkan. Tapi nggak dengan Jungwoo. Dia hanya melakukan apa yang saya suruh." Lanjutnya dengan sarkastik.

"Anda menyuruh dokter untuk membunuh pasiennya? Anda menyuruh Jungwoo untuk membunuh anak anda sendiri? Anak anda sendiri." Dokter Kang menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak percaya. Se-ringan itu bagi Jae untuk menandatangani surat pengajuan Euthanasia. Tanpa pikir panjang pula.

"Tuhan pasti marah pada anda, Jaejin-ssi." Ucap Dokter Kang.

"Tuhan belum tentu senang dengan keinginan anda mempertahankan putra saya." Jae meng-skak mat.

Dokter Kang terdiam.

"Kalian bisa keluar." Katanya. Tanpa sedikitpun melihat ke arah Jae maupun Jungwoo.

"Dokter—" Jungwoo menyela. Namun segera terpotong kembali oleh Dokter Kang.

"Keluar!" Teriaknya.

Kemudian, keduanya lekas pergi dari ruangan Dokter Kang.

Dokter Kang tidak akan menghapus nama Hyunjin dari daftar pasiennya lagi seperti dulu. Dia merasa sangat hina, teramat gagal. Dia gagal menyelamatkan Hyunjin dua kali. Dia ikut bertanggung jawab atas ribuan orang yang menangis karena kabar ini.

[ Read : Euthanasia adalah tindakan untuk mengakhiri hidup seseorang tanpa rasa sakit. Eutanasia juga sering kali disebut sebagai tindakan bunuh diri yang dilakukan di bawah pengawasan dokter. Euthanasia biasanya dilakukan 'demi kebaikan' pasien. ]

•••

Semesta tidak baik-baik saja semenjak hari itu. Langit terus mendung. Burung berhenti berkicau. Bunga menunda rekahannya. Dan anak-anak Stray Kids, senyuman mereka lenyap tertelan bumi.

"Huft," rasanya selalu ada yang menekan dada. Entah apa. Tidak berwujud. Namun hadir di setiap hembusan nafas.

Sesak.

Felix berjalan menuju dapur untuk mengambil air. Dia menginap di rumah Seungmin minggu ini. Anak-anak diberi waktu dua minggu untuk menenangkan diri. Dan Felix, memilih rumah Seungmin sebagai tempat singgahnya. Karena tidak mungkin juga untuk pulang ke Australia.

"Masak pasta aja apa gimana?" Tanya Seungmin yang juga baru masuk ke dapur. Felix sedang mengisi gelas dengan air hangat dari dispenser.

"Gue belum ada mood makan. Tapi kalo lo mau masak aja, nanti gue nyicipin." Kata Felix.

Seungmin mengangguk. Dia mengambil sebungkus pasta dari dalam lemari. Sedangkan Felix berjalan menuju ruang televisi dan duduk di sofa panjang.

Rumah Seungmin kosong. Kedua orang tuanya sengaja memberi ruang untuk mereka berdua. Orang tua Seungmin pergi ke rumah saudaranya. Juga dengan saudara kandung Seungmin.

"Nggak usah nonton," Seungmin tiba-tiba berteriak.

Padahal tangan Felix sudah memegang remot televisi dan siap menekan tombol power.

"Lo tau apa yang bakal muncul di televisi. Jangan." Lanjut Seungmin.

Ah, ya. Pasti kabar buruk itu lagi. Media seakan tidak bisa berhenti membicarakan kepergian Hyunjin yang bisa dibilang tiba-tiba.


"Jenguk Jisung aja, bisa nggak? Gue belum liat dia lagi soalnya." Felix mengubah topik pembicaraan. Dia kembali berbaring. Menyimpan kepalanya di tangan sofa.

"Nanti aja lah sore." Balas Seungmin dari dapur.

Jika pertanyaan yang muncul adalah "Kenapa mereka tidak menangis lagi?" Maka jawabannya adalah, "Karena air mata mereka telah habis."

Sedangkan sisa waktu yang ada tidak mungkin hanya dipakai untuk melamun. Maka ketujuhnya berusaha untuk bangkit. Secepat mungkin. Mereka harus bisa membawa nama Hyunjin juga melambung kembali. Tetap dalam Stray Kids.

Mereka memang tidak lagi menangis. Tapi mereka juga lupa caranya untuk tersenyum.

***

"Cukup, ya, hari ini terapinya. Lusa kita belajar jalan lebih cepat. Oke?"

Jisung mengangguk cepat dengan sangat semangat. Sekarang kemampuannya untuk kembali berjalan sudah mulai kembali. Dia bisa berjalan dengan hati-hati, meski tetap berpegangan. Tapi, dokter juga berkata jika Jisung menunjukkan progres yang sangat cepat.

Dia duduk di tepian kasurnya. Kakinya terasa kaku dan masih pegal. Tapi dia mampu tersenyum lebar. Bangga pada dirinya sendiri. Ditatapnya kakak beserta dokter yang ada di sana. Dengan tatapan mata yang sumringah.

Ini minggu kedua, setelah Hyun—setelah Jisung bangun dari komanya.

"Saya ke bawah dulu sebentar, ada kakak kamu disini. Kalau ada apa-apa bisa minta tolong sama dia." Dokter itu menepuk pundak Jisung. Kakaknya yang berdiri di sebelah Jisung mengangkat dua ibu jari, menyatakan semuanya akan baik-baik saja. Kemudian, dia pamit keluar dari ruangan Jisung.

Setelah pintunya benar-benar tertutup rapat, kakak Jisung mengambil sesuatu di atas meja. Sebuah box kecil, yang sudah tertebak isinya adalah makanan. Dia kembali mendekat pada Jisung yang masih setia dengan posisinya. Duduk menggantung kaki di tepian ranjang.

"Dek, mau ini, nggak?" Kakak Jisung membuka mini box tadi. Isinya pancake stroberi. Kedua bola mata Jisung membulat. Sudah lama dia tidak menemukan makanan ini. Mana mungkin juga sengaja disediakan di rumah sakit.

"Nggak usah nanya kalau udah tau jawabannya," tangan Jisung langsung reflek merebut kotak tadi dari kakaknya.

"Duduk dulu yang bener. Selonjorin kakinya." Perintah sang kakak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tingkah adiknya memang tidak pernah berubah sejak dulu. Bahkan sejak kecil. Instingnya terhadap makanan teramat kuat.

Jisung langsung menurut. Dia meluruskan kedua kakinya di atas kasur. Kini, Jisung duduk berselonjor kaki menghadap televisi dengan sebuah pancake stroberi. Tanpa ba-bi-bu lagi, Jisung langsung melahap kue itu.

Dia mengunyahnya. Kakak Jisung ikut duduk di kasur, menghadap pada adiknya. Ternyata benar, Jisung makan mirip seperti seekor tupai.

Tapi tiba-tiba, Jisung berhenti. Dia berhenti mengunyah dan mendadak tatapan matanya kosong. Kakak Jisung mengerutkan dahi, "Dek? Nggak enak ya pancakenya?" Tanyanya khawatir.

Jisung tidak menjawab. Yang dia rasakan sekarang adalah sakit. Sakit yang entah berasal dari mana. Tidak, bukan dari kakinya. Rasa sakit ini berpusat di dada. Menyebabkan tekanan hebat. Menyebabkan Jisung sesak, sehingga dia harus beberapa kali menghembuskan nafas dengan kasar supaya sesak itu bisa hilang.

Dia tidak punya asma. Dan hembusan nafas kasar itu juga nyatanya tidak membantu.

Justru rasa sesak yang ada semakin menjadi-jadi. Jisung tidak tahu apa iu. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi pada tubuhnya. Jisung semakin kuat berusaha untuk bernafas dengan normal dan rasanya sulit sekali.

Dan sampai pada titik dimana satu tetes air mata tiba-tiba saja meluruh.

"Sung, kenapa? Ada apa?" Tanya kakaknya semakin cemas, mendekat dan menyentuh pundak Jisung. Memintanya untuk menjelaskan apapun.

"Sakit." Mata Jisung terlihat merah dan terus-menerus berair. Bibirnya gemetaran. Jisung menangis sesegukan. Dan dia, masih tidak tahu penyebabnya apa.

"Mana? Mana yang sakit?" Tanya kakaknya.

"Gue nggak tau." Jisung menggeleng sambil menyeka kedua matanya.

Logikanya berusaha keras mencari alasan. Mencari cara agar dia berhenti menangis. Mencari penyebab dari tangisan yang tiba-tiba. Namun, logikanya ternyata lemah. Dia berusaha semampunya untuk berhenti menangis dan tetap saja tidak bisa.

Kakaknya semakin panik.

Tiga menit setelah Jisung menangis, dia baru menyadari sesuatu.

Jika logika tidak punya alasan. Mungkin saja hati punya. Jisung mencoba merasakan apa yang menyebabkannya menangis. Dia menutup mata. Dadanya masih sesak tanpa sebab yang pasti. Lalu, tiba-tiba dia menyadarinya. Jisung mengetahui apa yang membuatnya mendadak sedih.

Rasa kehilangan.

Dia membuka matanya kembali, perlahan. Pipinya sudah basah karena terguyur. Dia menatap sepotong pancake stroberi yang ada di tangan kanannya. Jisung merasa ada yang tidak asing dengan pancake stroberi. Dia coba mengingat. Sampai akhirnya menyadari,

"Kak, Hyunjin suka pancake stroberi."

***

Pukul delapan malam, lewat beberapa menit.

Jisung sedang asyik berbicara lewat smartphone, dengan seseorang bersuara bass. Dia beberapa kali tertawa mendengar guyonan yang dilontarkan oleh Felix. Hampir tiga puluh menit mereka berkomunikasi. Kakak Jisung tadi pergi untuk mengambil pakaian ke rumah, Jisung ditinggal sementara.

Felix undur menjenguk Jisung hari ini. Niatnya esok hari, supaya kedua orang tua Seungmin bisa ikut.

Ia kemudian bercerita bahwa Jisung sempat menangis pagi tadi. Felix bertanya kenapa? Kemudian Jisung menjawab, "Gue nggak tau. Awalnya gue lagi seneng-seneng makan pancake tadi. Tapi tiba-tiba gue ngerasa nyeri dada, sesak, gue tiba-tiba nangis. Kakak gue nanya ada apa, gue nggak bisa jawab. Gue nggak tau gue kenapa, tapi yang jelas gue ngerasa sakit. Gue ngerasain pake hati. Tapi logika gue nggak punya alesan buat itu."

"Terus, gue inget, terakhir kali gue makan pancake sama Hyunjin."

Desiran nafas Felix terdengar lembut. "Coba damai sama keadaan, Ji,"

"Damai? Emang sejak kapan gue musuhan sama keadaan? Gue nerima semuanya, kok," Jisung tidak setuju dengan ucapan Felix. Lagi pula, dia sama sekali tidak punya masalah belakangan ini. Dia juga tidak punya beban pikiran. Untuk apa juga Jisung berusaha berdamai?

Felix lupa, jika Jisung belum mengetahui semuanya.

Akhirnya Felix menutup telepon, beralasan ingin beristirahat. Jujur saja, batin Felix tidak sekuat itu. Dia sendiri masih sulit untuk berdamai dengan keadaan, dengan kenyataan. Tapi dia berusaha keras.

Setelah panggilan itu dihentikan, Jisung merasa kesepian. Dia menyimpan ponsel ke atas nakas di samping ranjangnya. Lalu meraih remote control. Dilihatnya jam yang menempel di dinding. Masih pukul sembilan kurang. Biasanya, dia akan tertidur ketika pukul sepuluh.

"Nonton jangan, ya?" Jisung berucap sendiri.

Entah kenapa, untuk menonton televisi saja dia ragu. Selama dia tinggal di rumah sakit, semua orang melarangnya untuk menonton. Di ponselnya juga, beberapa aplikasi sosial dengan sengaja di hapus. Memblokir sembarangan berita supaya tidak masuk begitu saja.

Dia kemudian menekan tombol power. Jarak televisi yang cukup besar itu hanya beberapa meter dengan ranjangnya. Tanpa kacamatapun, Jisung masih bisa menonton dengan jelas.

Fyi, Jisung punya minus yang cukup besar. Dia selalu pakai softlens, kadang juga pakai kacamata. (True)

Beberapa kali Jisung mengganti stasiun televisi, untuk menemukan yang pas. Tidak ada film kartun yang tayang malam-malam begini. Paling juga acara gosip dan drama, telenovela. Jisung sangat-sangat tidak suka drama korea.

Saat mengganti channel lagi,

"Stray Kids belum terlihat muncul setelah kepergian Hwang Hyunjin. JYP tidak memberi komentar."

Jisung mengulum bibir bawahnya kuat-kuat. Hyunjin pergi kemana? Apa dia pergi ke luar negeri untuk pengobatan? Kenapa tidak ada yang memberi tahu Jisung?

Air matanya kembali turun untuk yang kesekian kalinya hari ini. Acara itu kembali menayangkan cuplikan ketika Hyunjin terjatuh di panggung kala itu. Dulu, sebelum semuanya terbongkar. Lalu mereka menampilkan beberapa video kebersamaan Stray Kids yang masih dengan Hyunjin, bahkan masih dengan Woojin.

"Hyunjin pergi di usia emas. Dia meninggalkan Stray Kids dengan tujuh anggota. Meninggalkan kedua orang tuanya, dan satu anjing kesayangan."

Tangan Jisung mengepal remot tadi dengan sekuat-kuatnya. Apa maksud semua ini?

Jisung mendengarkan bahasan kali itu dengan sangat teliti. Telinganya menangkap suara dan otaknya reflek menebak apa maksud dari semua ini. Dia sebenarnya sudah mengerti. Jujur saja. Jisung sudah paham maksud dari semua ini.

Tapi dia masih mempercayainya sebagai lelucon. Jisung menganggap ini hanya gurauan padahal sudah tentu tidak mungkin.

"Selamat tinggal, Hwang Hyunjin, semesta menyayangimu."

Jisung yang mengulum bibirnya kemudian berdecak. Dia mematikan televisi itu. Bibir bawahnya terasa sangat sakit, perih. Jisung menggigitnya terlalu kuat dan menyebabkan luka yang cukup dalam. Bahkan, dia terlihat seperti habis muntah darah.

Tak tentu arah, dia melempar remot tadi. Dia berteriak sekuat-kuatnya. Sama persis ketika dia mengetahui Hyunjin kanker. Kemudian meluapkan semuanya di studio. Dengan berteriak sendirian. Tanpa ada yang mendengar.

"Lo dimana? Hyunjin!"

"Jawab gue,"

"Lo disini kan? Sama gue?"

"Lo munafik, Hyun. Lo nggak selamanya ada buat gue."

"Lo orang jahat. Lo nggak nepatin janji lo buat bareng-bareng terus sama gue."

"Kasih gue waktu,"

"Hyun,"

Suaranya melemah. Dia membuat ranjangnya berantakan. Berusaha merobek selimut, melempar bantal, membanting lampu tidur yang ada di atas nakas.

Dia menjambak rambutnya dengan kuat. Sampai beberapa helai terasa lepas dan itu tentu menyakitkan. Namun rasa sakit yang ada, tidak sebanding saat pertama kali mendengar berita di televisi.

Remuk.

Jisung merasa seluruh hidupnya hancur dalam beberapa detik. Hatinya hancur, berantakan. Dia tidak bisa lagi mendeskripsikan bagaimana rasa sakit hatinya. Saking besarnya beban yang menimpa dada, dia kesulitan untuk bernafas. Sama seperti tadi.

Ternyata luka tersakit yang pernah dialami Jisung bukanlah hampir lumpuh. Bukan patah jari kelingking. Bukan luka sobek.

Tapi Hyunjin.

Darah yang menetes dari bibir membasahi pakaian putihnya. Jisung menangis sendirian. Kakaknya belum juga datang. Begitu juga dengan dokter yang sepertinya sedang menangani pasien lain.

Jisung sendirian. Dia menangis. Dia merasa sakit. Tapi Hyunjin tidak ada untuk menghapus air matanya. Hyunjin tidak ada untuk mengobati lukanya. Hyunjin tidak ada untuk merangkulnya dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.

Justru Hyunjin penyebab dari semua itu.

"Hyun, gue belum jenguk lo ya? Lo marah, ya? Gue jenguk lo sekarang, gue ke sana. Lo kemarin di rawat di ruangan berapa, Hyun?" Racaunya terdengar begitu menyedihkan.

"Gue kesana, Hyun,"

Jisung berusaha untuk berdiri. Luka di bibirnya tidak lagi dia pedulikan meski itu sangat sakit dan rasa darah juga terasa oleh lidahnya. Kaki Jisung gemetaran, dan rasanya sangat berat untuk melangkah.

Dia meraih kantong infusan. Lalu perlahan berjalan keluar ruangan.

Tangan kirinya menekan kenop pintu ke bawah. Pintunya terbuka dan dia segera berjalan ke luar. Lorong lantai lima terlihat sangat kosong, lenggang. Entah kenapa. Jisung berpegangan pada tembok, dia berjalan perlahan menuju ke lift.

Dia memang belum lancar berjalan lagi. Namun Jisung memaksakan.

"Gue dateng, Hyun. Lo masih disini, kan?" Dia lagi-lagi berbicara sendirian.

Liftnya terbuka. Dua orang suster terlihat ada di dalam. Ketika bertatapan dengan Jisung, kedua suster tadi terlihat sangat terkejut. Apalagi melihat pakaian Jisung yang berdarah-darah dan ekspresi wajahnya yang terlihat stres berat.

Kedua suster itu tadinya akan turun di lantai dasar. Tapi keduanya berganti haluan dan akhirnya ikut turun ketika Jisung keluar menuju lantai tiga. Jisung berusaha untuk berlari, dan sudah pasti mustahil.

Banyak orang di lantai tiga yang memperhatikan langkah kaki Jisung yang terlihat aneh. Tapi dia sendiri tidak peduli. Dia terus bergumam sendirian sambil berjalan menuju ujung lorong, ruangan dahulu ketika Hyunjin belum koma.

Banyak orang mengira Jisung pasien sakit jiwa.

Dengan susah payah, dan banyak keringat. Jisung akhirnya sampai. Tak usah tanyakan bagaimana histerisnya tangisan Jisung ketika itu. Kedua suster yang mengikuti Jisung berdiri di belakangnya. Jisung tahu pintunya sudah pasti dikunci.

Tapi dia berusaha untuk membukanya. Dengan sebelah tangan memegang infusan dan satu tangan berusaha membuka pintu.

Dugaannya salah, pintu itu tidak terkunci.

Pintunya langsung terbuka lebar dan mengarah ke ranjang lama Hyunjin.

Dokter Kang ada di sana, sedang menaruh setangkai bunga di atas kasur Hyunjin yang sudah ditata rapih. Ketika mendengar ada yang membuka pintu, dia lekas menengok. Dan mendapati Jisung terduduk lemas di ambang pintu. Dua suster terlihat menghampirinya.

•••

— maap bangeud kalo chapt ini gaje, terus feelnya keburu ilang gara-gara aku updatenya kelamaan wkwk. Dimaapin ya kan ya hehe. ☃️

Hwang Hyunjin, the sweet scars.

— wanna check @/hwang.luv on instagram for me, ya? 🙇🏼‍♀️

Continue Reading

You'll Also Like

367K 4K 82
โ€ขBerisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre โ€ขwoozi Harem โ€ขmostly soonhoon โ€ขopen request High Rank ๐Ÿ…: โ€ข1#hoshiseventeen_8/7/2...
304K 25.6K 37
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...
139K 14K 37
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...
804K 57.8K 47
[Brothership] [Not bl] Tentang Rafa, hidup bersama kedua orang tuanya yang memiliki hidup pas-pasan. Rafa tidak mengeluh akan hidupnya. Bahkan ia de...