[Selesai] Perfectly Imperfect

By twelveblossom

173K 17.6K 6.4K

Sempurna. Bagaimana jika Nayyara Judistia Putri Hartadi menjadi perempuan yang paling sempurna bagi Javas? Ja... More

0. Tokoh Yang Ada
1. Titik Awal
2. Bertemu Pilihan Lain
3. Soal Cemburu
4. Bersamamu itu Segalanya
5. Melewati Batas
6. Alasan Yang Keliru
7. Jalan Pintas
8. Dia Yang Kelabu
9. Kamu dan Buku yang Tertutup
10. Meragukan dan Diragukan
11. Tentang Rindu
[GIVEAWAY] HI DECEMBER!
13. Dua Peran
14. Sebuah Permainan
15.1. Menjadi Kita
15.2 Menjadi Kita
16. The Heaven
17. Yang Diperbaiki, Tidak Ada
18. Kenangan Untuk Yang Pergi
19. Untuk Melepaskan
20. Bicara Soal Pernikahan
21. Bagian Terbaik Dalam Hidupku
22. He Brings The Heaven To Her
23. Terluka dan Kembali Sembuh
24. Rumah Kita
25. Perasaan Yang Terombang-Ambing
26. Lebih Dari Ego
27. Hiruk Pikuk
28. Katanya, Cinta Itu Mengusahakan Segalanya
29. Membakar dan Terbakar
30. Ketenangan Yang Sebentar
31. Kita Akan Bicara Besok
32. Yang Ditunggu Datang Juga
33. Sebelum Kelahiran Bintang Yang Ditunggu
34. Comfort Zone (Final)
35. Bagaimana Kalau Berlanjut? (S2 Perfectly Imperfect)
36. Mereka Pun Mulai Bahagia

12. Terikat Asa

3.7K 425 135
By twelveblossom


Asa - Twelveblosoom

Kata mereka, asa adalah harapan.
Asaku ialah kamu.
Jika kamu itu harapan.
Boleh kah aku mengikatmu?

Agar aku tidak kehilangan harapan.
Agar tahu harapanku bisa jadi nyata.
Agar aku tak perlu menjadi serpihan,
Karena asaku yang hilang begitu saja.

-oOo-

Jika Nara bicara tentang Javas, dia membutuhkan waktu berjam-jam. Nara pun juga memerlukan banyak halaman untuk menuliskan kisah mengenai Javas. Bukan karena Javas itu manusia dengan segudang cerita penuh drama. Namun, Nara dengan ketelitian luar biasa ingin mendeskripsikan semua tentang Javas, baik melalui tulisan mau pun ucapan. Nara mengingat dengan baik seperti apa Javas, mulai dari hal kecil sampai sesuatu yang besar. Dia enggan melupakan Javas sebab pria itu masuk ke dalam daftar manusia-manusia yang penting dalam hidupnya.


Nara ingin memperjelas arti penting itu. Javas adalah bagian dari dunianya, sama seperti bumi yang memiliki pohon untuk keseimbangan ekosistemnya―Javas harus tetap ada agar Nara waras. Javas mungkin bukan satu-satunya manusia yang tinggal dalam dunia Nara, ada Damar, Wira, dan mendiang orang tuanya.

Setiap manusia yang diizinkan Nara memasuki dunianya memiliki tugas. Damar sebagai saudara yang bertugas menjaganya, Wira sebagai sahabat baik yang membuatnya bahagia, orang tuanya selalu ada sebagai kenangan yang dia rindukan, dan Javas yang Nara cintai serta mencintainya. Nara mengartikan semua tugas mereka sebagai hal penting. Yang artinya ketika mereka telah melupakan atau tidak menjalankan tugas tersebut, maka Nara enggan menyebut mereka sebagai manusia penting lagi.

Terkesan egois, Nara tahu. Nara berusaha menjadi orang paling logis, toh ada teori komunikasi yang menyatakan jika manusia menjalin hubungan karena memiliki kepentingan. Nara percaya akan hal tersebut. Meskipun mereka mengatakan jika kasih yang diberikan kepadanya adalah bentuk dari ketulusan hati―Nara yakin apabila ada sesuatu yang mereka dapatkan dari gadis itu. Nara meyakininya sebab ingin mengurangi rasa bersalahnya, dia menganggap dirinya sebagai benalu―terlalu banyak yang Nara dapatkan dari Javas, Wira, dan Damar.

Terasa berat bagi Nara, apabila dia memikirkan lagi semua hal yang orang lain berikan untuknya. Dia merasa berhutang budi, pada satu sisi lain Nara ingin terlepas dari semuanya. Namun, gadis itu telah sampai pada zona nyaman. Nara nyaman terus merepotkan Damar. Nara nyaman memiliki Wira yang seperti vitamin tertawanya. Nara nyaman sebagai kekasih Javas.

Aku akan tetap menjadi benalu bagi mereka, batin Nayyara.

"Hah," Nara menghela nafas panjang, mengakhiri pikirannya yang terus berputar. Nara masih sempat melamun, padahal dirinya sedang berada di tengah keramaian.

Nara datang ke acara pertunangan putri dari Manggala Mavendra yang dihadiri oleh kolega bisnis keluarga itu. Ternyata tidak banyak keluarga Mavendra yang ke sini, hanya Theo dan Thiery sebagai wakil dari ayahnya, Ariadna, Lituhaya serta Sydney. Kakek dan nenek Mavendra enggan datang sebab hubungan mereka dengan anak termuda―Manggala Mavendra memang tidak cukup baik. Nara bersyukur akan hal itu karena dia juga belum siap bertemu dengan pion utama dari Mavendra.

Nara sungguhan merasa terasing di sini. Memang banyak undangan yang hadir. Akan tetapi, mereka adalah manusia-manusia yang biasa Nara lihat di televisi. Kalangan artis dan desainer baik dari dalam negeri mau pun luar negeri. Sementara Javas sedang sibuk menemani ibunya berkeliling menyapa koleganya, meninggalkan Nara di meja melingkar yang berisi para sepupu. Masalahnya, sepupu-sepupu Javas sama gilanya dengan kekasih Nara. Mereka ingin tahu sejauh mana hubungan antara Javas dan Nara. Bahkan sepupu yang paling kecil―Leandra Harley Mavendra yang bertunangan hari ini menanyakan kiat khusus agar pria tidak bisa berpaling darinya. Leandra sangat mengagumi Javas yang menyukai Nara hampir seumur hidupnya tanpa berusaha mencintai wanita lain.

Young lady, kamu tidak tahu kalau si Javas ini sudah berkali-kali tidur dengan banyak wanita, rutuk Nara dalam serebrumnya.

"Kalau dilihat dari wajahnya Jason tipe pemuda culun. Jadi, dia pasti gak aneh-aneh, Baby Girl," kata Ariadna, dia memotong kecil-kecil steak. "Kalau dia berani berpaling darimu, Lea ... aku akan langsung meledakkan kepalanya," lanjut Aria dengan suara santai dan seringai.

Nara terperangah ketika Aria mengerling kepadanya. Nara merasa jika tatapan Aria juga ditujukan untuknya―artinya sama dengan 'jika kamu berani berpaling dari Javas, aku akan meledakkan kepalamu juga'.

"Hayolo hayolo," kata Theo yang hari ini sedikit menyerupai manusia terhormat karena memakai jas. Walaupun, mulutnya tetap saja cabul. "Hayolo kalau berani selingkuh didor sama Aria," sambung Theo yang langsung mendapatkan perhatian para sepupu.

"Theo bilang lo pernah selingkuh sama si pemain piano itu ya, Kak?" Thiery yang sedari tadi sibuk makan es krim pada akhirnya ikut bicara. Thiery adalah adik laki-laki Theo yang berusia sembilan belas tahun. Tak seperti Theo yang bodoh, Thiery lebih pintar―dia kuliah di Jepang untuk menyalurkan kewibuannya. Thiery mendapatkan beasiswa full sebab orang tuanya tidak ingin mengeluarkan sepeser pun uang sebagai hukuman atas sikap melawannya.

Nara bingung harus menjawab apa, dia hanya menggeleng.

"Oh, si dada ayam itu ya?" Leandra sang sepupu cantik pun ikut bertanya penasaran.

Alis Nara bertaut. Dada ayam?

"Adyasta, Baby Girl. Namanya gak ada sangkut pautnya sama dada ayam―"

"―Tapi Kak Aria bilang Adyasta rasanya yummy kayak dada ayam mekdi," potong Lea yang terlampau jujur.

Nara menatap Aria yang bersemu merah. Dia jarang sekali menangkap ekspresi malu-malu kucing pada wajah Aria. Ariadna Arkadewi lebih mirip predator, bukan gadis muda yang seharusnya tersipu.

Nara tak bisa menghentikan rasa penasarannya, "Apa kamu sudah pernah bertemu dengan Wira?"

Aria mengerjapkan mata. "Pertemuan yang tidak disengaja," katanya.

"Bukannya kalian dijodohkan?" Thiery menyahut.

"Lo belum tahu rasanya dijejelin sepatu?" Aria mulai emosi.

"Ya gak tau lah, Aria. Sebagai manusia yang normal gue menghindari sepatu sebagai menu makanan," jawab Thiery, langsung mendapatkan tatapan mematikan dari Aria.

Nara mendengar Lea terkikik geli. "Sepertinya, dalam waktu dekat kita akan berkumpul lagi untuk pernikahan Kak Aria."

"No, no, Baby Girl. Kami belum sejauh itu."

"Oh, kalau gitu kalian berencana membuat bayi dulu terus baru menikah―sakit―bego! Sakit, Aria!" celetukan tidak bermoral dari Thiery berubah menjadi protes kesakitan ketika Aria melempar sendok ke sepupunya.

Nara hanya dapat menatap mereka bingung. Semuanya terdengar asing, dia baru tahu jika mereka mengenal Wira. Bahkan ada perjodohan antara Aria dan Wira. Ini sudah jaman modern dan keluarga ini masih memegang prinsip perjodohan.

Theo yang berada di sisinya berbisik kepadanya, "Perjodohan antara Aria dan Wira dicetuskan baru-baru ini. Kayaknya Javas ikut campur dalam rencana mereka karena cemburu sama kedekatan lo dengan Wira." Theo menghela nafas. "Gila emang pacar lo itu," sambungnya.

Nara bungkam, sementara dalam hatinya bertanya-tanya mengenai dirinya yang menjadi penyebab Javas turut campur dalam rencana perjodohan Aria dan Wira. Jujur saja, Nara tidak rela. Hatinya berat. Nara tahu jika Aria adalah perempuan baik-baik―hanya saja dia juga seorang Mavendra. Membayangkan Wira masuk ke dalam keluarga ini kemudian diminta mengikuti segala tradisi dan peraturan―teman baiknya tersebut pasti akan tersiksa. Nara terlampau khawatir memikirkannya.

Nara tersentak ketika tangan Javas tiba-tiba menyentuh bahunya dari belakang. "Sudah selesai?" kata Nara sembari menoleh ke arah Javas.

Javas yang sempurna dengan setelan jas hitam pun mengangguk sembari menampilkan senyum, tapi tidak berselang lama saat Javas menyadari raut muka Nara yang pucat. "Are you okay, Darling?" tanya Javas. Dia memberikan tatapan tajam kepada para sepupunya. "Apa mereka mengganggumu?" sambung Javas dengan nada menuduh.

Respons mereka berbeda-beda. Aria memutar bola mata. Theo dan Thiery menggeleng takut. Leandra melejitkan bahu sembari tersenyum sebab gadis itu mendapati Jason―tunangannya berjalan ke arahnya.

"Kami hanya membahas Kak Aria dan Adyasta, Kak Javas. Thiery bilang ada perselingkuhan di antara Kak Nara dan Adyasta," jelas Lea cuek karena dia kini sibuk memeluk tunangannya, Jason Ganendra.

Javas melirik ke Theo yang dia yakini membocorkan informasi yang entah apa―Theo adalah manusia paling bacot di antara mereka. Meskipun begitu, Javas tidak banyak bicara atau memulai pertengkaran karena enggan merusak acara bahagia Lea dan Jason. Apalagi, perhatian para sepupunya juga tertuju kepada Jason.

Jason Ganendra memiliki wajah rupawan yang tenang. Dia tipe laki-laki yang bisa menghangatkan hati wanita melalui tatapan matanya yang teduh serta lesung pipinya yang dalam. Tampaknya Jason sudah sangat terbiasa dengan gerak tubuh Leandra, buktinya dia langsung meraih gadis itu saat Lea hampir tersandung. Terlihat sekali jika Jason sangat menjaga Lea.

"Jassy, apa kita sungguhan harus berdansa?" tanya Lea, wajahnya tampak muram.

"Tidak harus, kita bisa melakukan apa pun yang kamu inginkan malam ini," jawab Jason.

"Tapi, Papi bilang kita harus berdansa meskipun tidak ingin. Aku benci berdansa di tengah kerumunan orang," rajuk Lea.

Jason tertawa, "Kalau begitu kita bisa berdansa di halaman belakang. Papi kamu bilang, hanya perlu berdansa malam ini, dia tidak mengatakan harus di sini."

"Ah benar juga, Jassy!"

Nara menjadi pendengar, tampaknya Javas juga karena interaksi mereka ini terlampau lucu sekaligus membuat iri. Terutama Nara yang tampak iri karena Jason memberikan penawaran lain agar Lea tidak terikat dengan kata 'harus'.

"Mereka kelihatan sangat serasi," vokal Nayyara ketika netranya mengiringi kepergian Jason dan Lea.

Javas yang meraih tangan Nara agar gadisnya berdiri pun mengangguk, pria itu menawarkan diri menjadi partner dansanya. "Kita juga serasi, Nara. Ah bukan, aku yang terlalu beruntung karena bisa berada di samping kamu," kata Javas.

Nara rupanya masih bisa tersenyum, lantaran hatinya khawatir akan Wira. Dia mengamati orang-orang yang langsung memberi mereka ruang. Tampaknya kehadiran Nara yang berada di sisi Javas mengundang perhatian.

"Mereka memperhatikan kita," ucap Nara. Dia dengan canggung menatap Javas yang mulai meletakkan tangannya di pinggang Nara.

"Well, itu karena kamu terlalu cantik malam ini, mereka tidak bisa melepaskan pandangannya darimu."

Nara mendengus. "Jangan coba-coba merayuku," timpal Nara sambil bergerak mengikuti musik klasik yang menjadi latar mereka berdansa.

Javas tertawa, dia meraih Nara agar raga gadis itu semakin melekat kepadanya. Javas ingin mereka tahu apabila perempuan yang kini berdansa dengannya adalah miliknya dan mereka harus menghormati Nara sama seperti cara mereka patuh kepada Javas.

"Itu bukan rayuan, aku bicara soal fakta."

Nara merebahkan kepalanya di bahu Javas. Ia membiarkan dirinya semakin terlena dan terpesona akan wangi parfum prianya. "Padahal kamu tidak perlu melakukan hal sejauh itu, aku pun tidak bisa lepas darimu," gumam Nara pelan merujuk kepada Javas yang ikut campur dalam kehidupan percintaan Wira sekaligus Aria.

Tampaknya, setelah ini Nara sungguhan harus bicara tentang turut campurnya Javas terhadap perjodohan Wira dan Aria. Mungkin akan ada pertengkaran di antara mereka.  Nara tidak ingin temannya menderita karena dirinya.

-oOo-

"Sampai kapan kamu terus ngeliatin aku gitu, Chatu?" tanya Nara yang kini berbaring diranjang salah satu apartemen Javas yang berada di daerah Jakarta Pusat. Nara akan pindah ke apartemen ini mulai minggu depan. Jadi setelah pesta usai, Javas mengajak Nara tidur di sini sembari memeriksa apa yang mungkin kekasihnya butuh kan.

Javas yang sudah melepaskan jas dan dasinya pun hanya tersenyum. Dia sedang senang karena Nara yang telah memakai piama ada di tempat tidur bersamanya dan berbaring di sisinya. Javas membayangkan betapa indah dunianya apabila Nara ialah orang pertama yang ia lihat selepas tidur dan orang terakhir yang dirinya tatap sebelum memejamkan mata. Sepertinya, Javas ingin sekali menikahi Nara. Pengendalian dirinya akan raga Nara memang lumayan kuat. Namun, membiarkan gadis itu berada di pelukannya, menyentuhnya, dan menciumnya tidak akan cukup. Javas berharap Nara sepenuhnya berada dalam kuasanya, mengerangkan namanya, dan menyatu dengan gadis itu―menciptakan keindahan lain.

"Chatu," panggil Nara lagi.

Javas yang pikirannya sibuk membayangkan hal tidak-tidak pun segera membersihkan serebrumnya. Dia membiarkan Nara mendekatinya, berada di atasnya kemudian menciumi pipi Javas. Selama ini Javas mengenal Nara sebagai perempuan pemalu, kendati demikian saat berduaan dengan Javas, Nara akan menjadi pihak yang selalu memberikan sentuhan kecil terlebih dahulu. Nara pintar memancing gairah Javas.

"Kenapa, Sayang?" tanya Javas. Dia membiarkan jari-jari Nara mempermainkan surainya.

"Thiery tadi bilang sesuatu sama aku," Nara memulai ceritanya. Gadis itu menatap Javas. "Tentang Wira dan Aria. Apa kamu yang menjodohkan mereka?" Gadis itu langsung saja meluncurkan pertanyaan. Nara enggan menebak-nebak.

"That brat," rutuk Javas. Dia menghela nafas panjang. "Perjodohan mereka telah lama diatur, Darling. Hanya saja, aku meminta Aria untuk tidak membuat masalah," lanjutnya.

"Kenapa kamu melakukan itu?"

"Agar si Bekantan tidak mengganggumu lagi―"

"―Aku tidak merasa terganggu," potong Nara.

"Wira menyukaimu dan kamu merasa tidak terganggu. Apa kamu berencana membalas perasaannya?" simpul Javas.

Nara bangun dari tidurnya. Dia emosi karena penekanan suara pada argumen Javas terkesan menuduhnya. "Kenapa kalau iya? Toh, banyak perempuan di luar sana yang menyukaimu dan aku tidak protes saat kamu tidur dengan mereka."

Javas diam karena yang dikatakan Nara ialah fakta. Nara memang selalu menjadi pihak yang mentoleransi segala tabiat Javas. Namun, Nara tidak tahu jika apa pun yang dilakukannya kepada gadis lain―Javas selalu memikirkan satu orang―itu adalah Nara.

"Kenapa? Gak bisa jawab kan?" Nara mencercanya.

Alis Javas naik satu. "Kamu tidak marah karena tidak cemburu. Apa kamu tahu kalau cemburu itu bagian dari rasa cinta?"

Nara membuang muka. "Aku terpaksa cinta sama kamu," kata Nara tanpa berpikir.

"Nara―sama sekali tidak lucu."

Nara cemberut. "Aku itu kesal, Chatuuuu. Kenapa Wira gak boleh suka sama aku sedangkan banyak perempuan lain yang suka sama kamu dan gak papa?"

"Karena perempuan lain itu sama sekali tidak berharga di mataku. Mereka berada jauh di belakang kamu sampai aku tidak bisa melihat mereka. Kamu berbeda Nara. Nayyara selalu menjadi manusia pertama yang ada di pikiranku," Javas menjelaskan. Pria itu menekan harga dirinya sampai titik terendah saat kembali berujar, "Sementara kamu menjadikan Wira berada di garis yang sama denganku. Aku cemburu. Aku ini manusia egois, Nara. Aku tidak suka ada laki-laki lain yang kamu anggap penting, selain aku dan Damar."

Nara mendekati Javas. Dia meletakkan telapak tangannya untuk merangkum paras laki-laki itu. "Aku memang bukan perempuan pertama yang tidur sama kamu, Javas. Tapi, aku harap ... bisa menjadi yang terakhir," lirihnya.

"Tidak semudah itu."

"Hah?"

Javas menyeringai, "Ada satu hal yang harus kamu lakukan agar kamu menjadi yang terakhir."

"Apa?"

"Kita harus menikah," jawab Javas singkat.

Nara langsung mendengus. "Tidak mau."

"Hanya dengan pernikahan aku bisa terikat dan berkomitmen, Nara."

"Jadi maksudmu, kamu tetap bisa tidur dengan perempuan lain walaupun sudah menjadi pacar aku," Nara mulai emosi ketika memahami maksud Javas.

Pria itu mengangguk.

Ada bagian dari diri Nara yang hancur saat itu. Apa tidak bisa jika mereka saling memiliki tanpa harus menikah?

"Ibaratnya, aku ini barang yang rusak, Javas. Aku tidak ingin kamu menghabiskan waktu dengan manusia seperti diriku," bisik Nara.

Javas menghembuskan nafas lelah. Dia sungguhan sudah bosan dengan pembahasan ini, tapi Javas berusaha untuk tidak terlalu emosional. "Kamu bukan barang, Nara. Kamu juga tidak rusak. Jangan mengatakan kamu tidak bisa memiliki keturunan sebelum mencoba bercinta denganku. Kita bisa terus mencobanya bahkan untuk ribuan kali."

Nara menggenggam tangan Javas. "Jika hanya itu, kita bisa melakukannya tanpa menikah. Kita bisa tidur bersama, lakukan apa pun yang kamu inginkan―"

"―Nayyara," Javas memotong ucapan tidak waras gadis itu. "Aku memang berengsek pada perempuan lain, tetapi tidak dengan kamu. Ini pertama kalinya aku ingin melakukan sesuatu dengan benar, Nara."

"Aku hanya takut kamu menyesal."

"Aku akan menyesal jika memiliki kamu dengan cara yang salah," timpal Javas.

"Aku butuh waktu untuk memikirkannya," kata Nara selang beberapa sekon yang diam.

Javas mengangguk. Paling tidak, Nara tak langsung menolak. Dia hanya perlu meyakinkan gadis ini. "Kamu bisa berpikir selama proses kepindahanmu ke Jakarta." Itu artinya, Javas enggan memberikan waktu untuk Nara.

"Apa kita bisa mengakhiri perdebatan ini sekarang?" tanya Nara. Dia memberikan tatapan memohon kepada Javas. "Aku tidak suka mendapati Chatu melihatku dengan ekspresi marah," lanjutnya.

Javas mulai melunak. Dia meraih Nara untuk kembali berbaring di sisinya. "Kita berdebat dengan tujuan baik, Nara. Setiap pasangan membutuhkan waktu untuk menyamakan pikiran," gumam Javas. Dia mengambil nafas sebentar sebelum melanjutkan, "Kamu jadi tahu apa yang aku harapkan dari hubungan ini setelah perdebatan kita tadi."

Nara yang mulai mengantuk karena jari-jari Javas membelai puncak kepalanya pun masih sempat bertanya, "Memangnya, apa yang kamu inginkan?"

"I want you to be my wife, my true love―my one and only, Darling."

Nara tersenyum. Javas memang manusia paling manis di dunianya.

-oOo-


"Supraiiiissssss!"

"Surprise not suprais, Aria!" Wira membenarkan dengan sangat jengkel. Dia cemberut.

Kekacauan ini disponsori oleh kehadiran Aria dan Wira yang datang pagi-pagi ke apartemen Javas―calon tempat tinggal baru Nara. Nara yang baru mandi pun harus lekas membuka pintu karena bel yang berdering tak sabar. Tampak wajah Wira yang tersenyum kecut lalu diikuti Aria yang tersenyum cemerlang. Mereka berdua membawa rantang makanan cap ayam jago.

"I knew, Adyasta. Gue hanya pengen kelihatan lebih cute aja supraisnya," jawab Aria yang menyenggol Wira lantas membuat laki-laki itu terhuyung.

"Cute kepala lu, kalau barbar ya tetep aja. Lo itu kayaknya manusia yang gennya kecampur orang utan, jadi macam cutenya lebih kehewani bukan kemanusian," Wira sudah berceloteh.

Nara heran. Wira bukan tipe orang yang akan banyak bicara, apalagi kepada orang yang baru dikenal. Hm, interaksi antara Wira dan Aria yang kelihatan akrab ini menimbulkan kecurigaan.

"Kalau gue orang utan berarti lo kawin sama orang utan, dong minggu lalu!" Aria tidak ingin kalah.

Hah? Kawin? Mata Nara sudah melotot kepada mereka yang masih berantem di depan pintu.

"Definisi kawin itu pergumulan antara dua orang yang sadar. Gue lagi gak sadar waktu itu jadi gak kehitung," Wira mendengus.

Aria tertawa renyah. "Mana ada orang yang gak sadar tapi minta lagi!"

"Ya karena uda sifat naluriah laki-laki kalau―"

"―Stop it," Nara memotong pertengkaran mereka yang terdengar seperti pembicaraan vulgar. Nara enggan memahami kehidupan reproduksi antara dua orang abstrak ini. "Kalian ke sini bukan untuk berantem kan?"

Wira menggeleng, dia menunjukkan barang bawaannya. "Bawain lo sama Javas saparan," katanya.

Nara menaikkan alis. "Apa datangnya harus berdua?"

Aria tersenyum kemudian menyelonong masuk ke apartemen mewah itu. "Bapak Adyasta yang terhormat gak tahu alamatnya," jawab sepupu Javas yang mengenakan dress biru tua.

Wira memeluk Nara singkat sebelum mengikuti Aria. Mereka berdua duduk di kursi ruang santai seolah apartemen ini tempat tinggal mereka sendiri.

"Kamu kan bisa telepon aku, Wira," kata Nara. Dia duduk di sebelah Wira hanya untuk menatap wajah temannya. Tidak banyak perubahan pada Mahawira Adyasta, kecuali dia mudah emosi di dekat Aria. "Aku gak nyangka kalian dekat sekali sampai membicarakan kawin-kawin begitu," lanjut Nara.

Aria membuka rantang makanan. Dia mulai mengunyah walaupun mendapatkan tatapan tajam dari Wira. Wira yang membeli kudapan itu untuk Nara merasa kesal karena Aria yang justru menghabiskan.

"Lo uda tahu kan kami ini dijodohkan. Well, memang kami uda kenal tapi gak akrab banget. Hanya saja minggu lalu Wira ketemu gue di klub, terus jadi lebih menyatu," jelas Aria.

"Gue yakin si Ulet Bulu ini masukin sesuatu ke minuman gue," Wira menimpali. Dia memberikan ekspresi ngeri sekaligus menuduh seolah Aria adalah om-om mata keranjang yang sudah merebut keperawanannya. Kenapa jadi terbalik begini?

"Gue ini terkenal cantik. Coba tanya ke semua orang pasti kenal kecantikan Ariadna Arkadewi. Jadi gue gak butuh obat untuk narik lo ke kasur. Alam bawah sadar lo itu sudah terpikat sama gue," Aria tidak mau kalah.

Wira membuang muka, dia enggan menimpali ucapan Aria karena terlalu dongkol hmmm atau Wira sebenarnya memang terpesona dengan kecantikan Aria. Kualitas bibit dari Keluarga Mavendra tidak diragukan. Baik laki-laki dan perempuan yang terlahir dari Mavendra selalu mempunyai raga yang rupawan. Jadi, sungguhan susah menolak untuk tidak terpikat dengan mereka.

"Kalian berantem terus, sih. Lama-lama aku bawa ke KUA, loh," hardik Nara.

"Ogah!" Aria dan Wira menjawab kompak.

Nara pun tertawa. "Oke deh, tunggu ya, aku buatin minum dulu." Gadis itu beranjak membuatkan teh hangat untuk tamunya yang urakan.

"Si Kadal mana?" tanya Wira, matanya menyapu ruangan. Dia mengikuti Nara ke dapur.

"Masih tidur," balas Nara.

Wira mengangguk. "Lo beneran mau pindah ke sini, Nayyara?"

"Iya, kamu bilang bakal senang kalau aku pindah ke Jakarta."

Wira mengangguk dengan terpaksa. "Rasanya aneh gak ketemu lo berhar-hari, kayak ada yang kurang. Kemarin-kemarin rasanya pengen ketemu lo segera gitu."

Wira mendapati Nara menarik sepasang sudut bibir. Nara tidak sering menunjukkan senyumnya, tapi sekali dia tersenyum mampu melumerkan hati Wira. Bibir gadis itu membentuk simpul yang mengartikan kelembutan. Nayyara adalah figur wanita anggun yang selalu membuat segan siapa saja.

"Itu namanya kangen, Wira," ujar Nara. Dia menatap Wira dengan matanya yang teduh. "Aku juga kangen sama kamu," lanjut Nara yang membuat jantung lawan bicaranya berdebar.

"Sayangnya, gue gak seharusnya mengaku kangen sama lo," gumam Wira ketika menggantikan Nara mengangkat teko berisi air panas.

Nara bersandar di nakas memperhatikan Wira yang cekatan meracik teh hijau itu. "Kenapa?" bibir Nara menguraikan pertanyaan.

Wira melengkungkan ujung bibirnya, dia tersenyum hambar enggan memberikan jawaban untuk Nara. Karena kangen itu salah satu bagian dari rasa sayang, Nayyara. Gue gak seharusnya terlihat menyangyangi lo―cukup merasakan tanpa mengakui. Batin Wira yang membalas.

Nara menghormati Wira, tidak memaksa pria itu menjawabnya. Dia mengikuti Wira kembali ke ruang santai dengan teh yang berada di nampan. Javas sudah ada di sana masih dengan celana pendek dan kaus biru tua. Javas tampak mengobrol dengan Aria yang masih sibuk makan. Kekasih Nara itu pun langsung memberikan atensinya kepada Nara ketika si wanita mendekatinya.

"Kalian itu seserasi ini, bikin iri," komentar Aria ketika melihat gerak-gerik Javas yang langsung menyesuaikan diri atas keberadaan Nara.

Netra biru Aria mengamati sepupunya. Javas yang langsung memberikan ruang agar Nara duduk di sebelahnya, membiarkan kekasihnya bersandar dalam posisi nyaman. Javas yang mengizinkan Nara memainkan jari-jari pria itu, padahal Javas selama ini adalah tipe manusia yang tidak suka dipegang-pegang. Well, Aria sempat mendengar dari 'kawan-kawan' wanita Javas yang pernah bercinta dengan si Berengsek itu kalau Javas tidak membiarkan mereka menggerayanginya. Kecuali mereka izin terlebih dahulu. Konyol sekali bangsat satu ini, ya kali mau enak-enak pakai izin―dikira lagi sekolah, pikiran Aria bicara.

"Butuh belasan tahun buat bisa kayak Nara dan gue," ujar Javas congkak―sengaja begitu agar Wira tersinggung. Apalagi, mata Javas sudah melotot ke arah Wira.

Wira berdecap. "Belasan tahun sama-sama, tapi dipepet tiga bulan aja sudah gonjang-ganjing," sindir Wira.

"Kenapa sewot, Nyet? Jiwa kejombloan lo meraung-raung sekarang?" Javas menimpali tidak kalah menyebalkan.

Nara menghembuskan nafas, tampaknya Javas dan Wira memulai adu mulutnya. Nara mencolek Aria agar gadis itu menengahi sebab menurutnya, Aria, Javas, dan Wira itu satu spesies. Mereka sama-sama punya kepala batu dan tidak ingin mengalah.

"Gue gak jomblo ya sori, uda ada ini si Manusia Ulet Bulu," Wira menyombongkan perjodohan mereka. Tangan Wira menunjuk Aria yang sedang sibuk mencocolkan potongan tahu ke sambal matah.

Javas tertawa. "Kalau model kayak Aria gini di pasar loak juga banyak―"

"―Wah fukboi, model kayak lo juga banyak dikali kuning-kuning ngambang," potong Aria yang merasa dihina-hina.

Lantaran membela Aria, Wira malah setuju, "Iya bener juga, Bra. Kayak Aria ini uda banyak di Taman Lawang. Nah yang perempuan asli kayak Nayyara itu jarang―"

"―Wah sialan, lo kira gue gak asli? Coba pegang ini asli bukan kawe-kawean!" Aria menyahut kembali. Namun, lagi-lagi dia diabaikan oleh Javas dan Wira yang kini adu bacot dengan tema yang berbeda.

Sementara Nara?

Nara tertawa mendengar kebodohan mereka yang menghibur. Siapa sangka manusia yang menyandang nama Mavendra dan Adyasta bisa bersikap selucu mereka? Padahal keluarga tersebut memiliki citra serius, sukses, dan terpandang.

-oOo-

"You look so happy after meet that Bekantan," kata Javas saat dia dan Nara berada di balkon apartemen pada sore hari selepas kepergian Aria serta Wira.

Nara merasakan tangan Javas melingkari pinggangnya pun hanya diam. Dia suka cara Javas memeluknya dari belakang, terkesan protektif―melalui itu Nara merasa jika dia selalu dalam perlindungannya.

"Aku tidak sabar kamu akan tinggal di sini sebentar lagi. Kita bisa bertemu setiap hari. Aku sudah membeli apartemen tepat di samping," oceh Javas.

"Kamu membuang uangmu lagi, Chatu."

"Itu investasi, Nara," balas Javas. Dia tersenyum ketika Nara mengusap lembut tangannya yang mendekap si gadis. "Investasi kebahagiaan," lanjutnya.

"Aku juga senang berada di dekat kamu, sekaligus takut karena saat aku di Jakarta itu berarti proses pengobatan mulai berjalan."

"Apa yang kamu takutkan, Darling?"

Nara membalikkan tubuhnya agar bisa melihat raut kasihnya. "Aku takut hasilnya tidak terlalu bagus," katanya.

"Kamu ini mengkhawatirkan hal yang tidak perlu, Nara. Tante Lituhaya mengatakan jika sakitmu ini bukan masalah besar." Javas merangkum paras Nara. "Aku berjanji akan segera membuatmu hamil satu bulan setelah kita menikah. Jangan meragukan kehebatan―Aduh!" Perkataan Javas berubah menjadi keluhan ketika Nara memukul bahunya.

"Dasar mesum. Apanya yang hebat?" cerca Nara yang sudah berkacak pinggang.

Javas tertawa. "Ya gak boleh bilang sekarang, biar nanti kejutan," kelakarnya.

Nara hanya cemberut, tapi tidak lama karena Javas sudah memeluknya lagi. Mereka berdua terbuai dalam rayuan satu sama lain.

"Javas Chatura Mavendra," bisik Nara seolah nama itu adalah sebuah mantra ajaib yang menimbulkan efek kupu-kupu beterbangan di perutnya.

"Hm?" suara serak Javas menjawab.

"Aku sayang banget sama kamu," ucap Nara yang suaranya teredam karena wajahnya bersembunyi dalam kungkungan sang kekasih.

Javas mendorong pelan Nara. Dia mengeluarkan sesuatu dari kantong celana kainnya. "Dan itu adalah alasan yang kuat untuk kamu memakai ini," ucapnya sembari memasangkan cincin di jari manis Nara.

Javas tadinya ingin merencanakan suatu lamaran yang tidak terlupakan untuk Nara. Mungkin dia akan berlutut, menghadiahi Nara dengan ratusan mawar, dan segala macam hal yang indah. Namun, bagi Javas keindahan dari seluruh dunianya adalah Nayyara dan cinta gadis itu―tidak ada lagi yang mampu menyainginya. Lagi pula, Nara ialah perempuan yang menyukai kesederhanaan. Nara hanya memerlukan Javas berada di sisinya, menemaninya.

"Kita harus menikah," lanjut Javas. Sesuai dengan karakternya, ada ketegasan yang memaksa. Meskipun begitu, Nara yang menjadi lawan bicaranya sama sekali tidak terganggu.

"Seriously, Javas? Kamu melamarku di balkon apartemen dekat jemuran baju," Nara menggoda Javas lantas membuat pria itu memberengut. Ia enggan menunggu Javas bicara, Nara berjinjit untuk memberikan satu kecupan singkat di pipinya. "Kamu sudah memasangkan cincin ini padaku artinya Javas Chatura Mavendra telah memahami ketentuan dan syarat yang berlaku," sambung Nara.

Alis Javas naik. "Memangnya, apa syarat dan ketentuannya?"

Nara tersenyum. Dia menggenggam tangan Javas. "Pertama selama kamu dan aku bersama, kamu dilarang tidur dengan wanita lain―"

"―Tidak akan," potong Javas yakin.

Nara menutup mulut Javas agar dia diam dan mendengarkan. "Jika kamu ketahuan satu kali saja tidur atau berselingkuh, maka aku tidak akan memaafkan kamu. Kedua, kalau aku ingin kita berpisah―kamu harus merelakan hubungan ini tanpa perlawanan―"

"―Kamu tidak adil," Javas berseru karena dia merasa dirugikan.

Nara menghela nafas. "Hal itu juga berlaku untukmu. Apabila suatu hari nanti kamu berhenti mencintaiku ―"

"―Itu tidak akan mungkin terjadi," Javas menyela lagi tapi langsung bungkam saat Nara melotot ke arahnya.

"Apabila suatu hari nanti kamu berhenti mencintaiku, aku akan merelakan kamu tanpa bertanya," ulang Nara. Ada berat di hatinya sebab membayangkan Javas yang meninggalkan dirinya terdengar pilu. "Kamu harus setuju atau aku akan membuang cincin ini," Nara memberikan dua pilihan. Baru kali ini gadis itu tegas terhadap Javas.

Javas enggan menjawab melalui ucapan. Giliran dirinya yang mencium Nara, kali ini di bibir gadis itu―kecupan yang membuat lawannya kehilangan akal sehat. "Sebagai tanda setuju," katanya sembari menyeringai melanjutkan tautannya menjadi dalam dan lama.

-oOo-

Halo semuanya, akhirnya aku bisa update part ini setelah ngebut nulis. Part ini seharusnya up pas hari Minggu tapi aku tiba-tiba ada acara huhuhu. Semoga kalian suka ya.

Aku ngadain giveaway di postingan dengan judul 'Hi December' hari ini terakhir ya gaes untuk jawab pertanyaannya. Hehehehe. Makasih yang uda ikut ngeramain giveawaynya.

Hm, makasih juga buat kalian yang sudah membaca sampai sejauh ini dan meninggalkan komentar. Aku seneng baca komentar dari kalian satu-satu kayak jadi tahu setelah ini harus nulis apa.

Oke kalau gitu part selanjutnya kalian berharap Javas jadi nikah sama Nara atau ikut Wira ke Australia?

Sampai jumpa di part selanjutnya~

P.s: kalau kalian ingin chit-chat masalah exo atau cerita ini bisa follow twitterku @.twelveblossom

Continue Reading

You'll Also Like

730K 34.9K 39
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
76.5K 3.5K 7
meskipun kau mantan kekasih ibuku Lisa😸 (GirlxFuta)🔞+++
214K 23.5K 16
[Brothership] [Re-birth] [Not bl] Singkatnya tentang Ersya dan kehidupan keduanya. Terdengar mustahil tapi ini lah yang dialami oleh Ersya. Hidup kem...
78.2K 10.1K 108
This is just fanfiction, don't hate me! This is short story! Happy reading💜