FORSAKEN

By ksxiluvu

889 101 10

yang ditinggalkan; seseorang atau sesuatu. More

0.0 | interlude
1.3 | nothing can change the fate
3.3 | how long?

2.3 | rain sobs

186 23 0
By ksxiluvu

Hujan turun menampar kota Seoul malam itu.

Miran menyeduh kopi panas selagi mengobrak-abrik berkas kasus yang belum tuntas. Komputer dinyalakan. Dia meletakan gelas berisi air panas yang mengepulkan uap semu di samping benda bercahaya itu, lalu mengambil setumpuk kertas untuk dicek ulang. Yoongi bilang rangkuman kasus berat atau pro bono ada di sana. Miran cuma perlu meneliti sebelum bertindak ke lapangan sekaligus menghubungi rekan jaksanya, Kim Seokjin, untuk beberapa bantuan. Sudah lumrah bagi mereka saling membantu seperti itu meski sama-sama sibuk. Lagipula Seokjin sendiri yang menawarkan, jadi tidak masalah, apalagi mereka sudah berteman semenjak SMA.

Well, cara pandang Seokjin yang acap kali mengutamakan logika sangatlah mempermudah kinerja Miran, sementara wanita tersebut seringnya menggunakan perasaan guna menganalis motif kejahatan atau kemungkinan alasan emosional terselubung pemicu terjadinya konflik, ditemani Psikolog kesayangannya, Ahn Soonyoung. Selain itu, setiap kasus yang diikutcampuri Seokjin sangat membantunya dalam memberikan hukuman pantas bagi si pelaku kejahatan. Ini menyangkut traumanya, aku Seokjin, dan sangat privasi. Miran sendiri tidak terlalu memusingkan hal itu. Toh, setiap masalah tak harus diceritakan jika akhirnya tidak memiliki tujuan apapun.

Setiap kasus yang diberitahukan pada Seokjin hanyalah beberapa yang memang ditangani ke Mitra Hukum tempat dia bekerja. Jika tidak, Miran takkan berani membocorkannya barang sedikit. Itu sangat dilarang, lebih-lebih pada orang asing. Dan karena kebetulan Mitra Hukum tersebut kerap jadi langganan kasus-kasusnya di Ilsan, mereka sering bersibobrok; entah itu di TKP, kedai sederhana atau kantor masing-masing.

Mereka menyebut pekerjaan itu simbiosis mutualisme--walau sebenarnya tidak sesering itu, sih--lantaran ada Hoseok, sang Profiler, yang jelas profesinya lebih membantu ketimbang seorang Jaksa Penuntut. Tetapi, entahlah, mungkin karena bekerja sama dengan si Kim itu dapat memberi efek jera bagi narapidana. Pun, Miran takkan membantah kalau berbincang dengan Seokjin membuat hari-harinya kian menyenangkan.

Singkatnya; Seokjin, Sooyoung, Hoseok, Yoongi dan Miran saling bekerja sama bila ada kasus rumit yang penuh teka-teki menjengkelkan.

Belum satu paragraf Miran berjibaku dengan file tersebut, bel rumah tiba-tiba menyentak rungu. Dia pun bergerak membuka pintu, melihat Seokjin berdiri di sana dengan ekspresi yang sulit ditebak; tertunduk membiarkan air hujan jatuh lewat poni-poni yang terbelah oleh tamparan hujan (tanpa menggigil kedinginan padahal seluruh tubuhnya serupa diguyuri segentong air).

"Astaga!" Miran memekik, secara paksa ditariknya lelaki itu ke dalam apartemen. "Kau sengaja hujan-hujanan supaya besok bisa menganggur, begitu?" Decakan keluar dari mulutnya begitu mendelik pada Seokjin. "Konyol sekali. Jangan minta aku untuk merawatmu saat demam nanti."

Miran mengeluarkan desahan kentara mendapati Seokjin diam saja, crap, lantainya jadi basah. Lihatlah, dia akan mengomeli Seokjin habis-habisan! Tetapi sebelum itu, dia harus membawakan sebuah handuk agar pria ini tidak terlalu kelihatan menyedihkan. Hanya saja, niat baik itupun harus tertunda lantaran Seokjin tiba-tiba menarik tangannya.

Dwinetra mereka bertemu.

Di keheningan, Miran menemukan kedalaman absolut di balik tatapan Seokjin. Mata itu bergulir gelisah bersama jakun yang bergerak naik turun seolah-olah sedang kesusahan mengeluarkan karbondioksida. Miran tidak mengerti artinya. Namun, jelasnya, di sana ada kemarahan serta rasa sakit.

Canggung akan momen tersebut, pun gejolak harap-harap cemas seketika menggigit ulu hati, Miran berdehem agar Seokjin melepas tangannya.

"Jangan bilang kau mau aku buatkan kopi panas. Tapi, well, melihatmu seperti hilang kewarasan begini agaknya aku harus berbaik hati."

Tanpa menunggu Seokjin menyahut, Miran buru-buru melengos pergi, mengenyahkan firasat buruk selagi berpikir barangkali lelaki itu tengah duduk di sofa.

Sehabis berkunjung ke rumah keluarga Miran di Daegu, Seokjin jadi sering bersikap aneh serupa pemuda yang menolak dijodohkan, entah mengapa. Dilihat dari kemurungan di wajah itu, Miran rasa telah terjadi sesuatu yang kurang mengenakan. Barangkali Seokjin datang kemari untuk mencurahkan isi hati. Semoga saja tidak terlalu buruk.

Begitu dia kembali dengan handuk dan pakaian, Kim tidak terlihat di ruang mana pun.

Hanya tertinggal sebuah pistol basah di atas meja.

Astaga. Pintunya pun terbuka. Kenapa Seokjin keluar tanpa pamit? Tidak lucu jika berniat hujan-hujanan lagi. Kim Seokjin adalah tipe orang yang paling anti bercerita perihal kehidupan pribadi. Ditilik dari caranya menghindar, kali ini Miran yakin masalahnya tidak sesederhana itu.

Wanita bermarga Ree tersebut langsung menarik payung di belakang pintu guna mengejar Seokjin, dicengkeramnnya senjata tersebut oleh tangan kiri. Entah mengapa Miran merasa harus membawanya. Mungkin teman jaksanya itu belum pergi terlalu jauh. Dan benar saja, Seokjin masih di area motel, terdiam di tengah-tengah lapangan gelap, dihiasi cahaya rintikan hujan bak aktor yang sedang menjalankan peran dramatis. Miran berdecak kesal, ada-ada saja. Dia berjalan cepat untuk memayungi Seokjin. Akan tetapi, sebelum Miran melenyapkan kebingungannya lewat gerutuan, Seokjin telah lebih dulu mengangkat mantel hitam--yang sedari tadi bergantung di lengannya--lalu diayunkan ke punggung untuk dikenakan.

Sekonyong-konyong Miran membatu--ingatan demi ingatan buruk terbentang--buat dia gemetar ketika melihat manset tersebut.

"20 tahun lalu," pekik Seokjin, tertahan, menelusuri setiap pergerakan Miran. "Kim Seung Jo, pria yang memakai manset ini, di gang sempit tepat jam delapan malam---"

"Tidak." Miran mengintrupsi.

Dengan waspada, dia mundur satu langkah. Seokjin cepat-cepat mengikis jarak, melempar kasar payung Miran hingga benda itu terguling di atas aspal dan terdorong angin. Si wanita nyaris memekik, menegang di tempatnya selagi alis berkedut lantaran air langit secara paksa menampar-nampar kelopak mata. Detak jantung kian mengamuk. Dingin menyiksa seluruh kulit. Miran tidak yakin dia gemetaran karena udaranya atau karena mendadak presensi Seokjin jadi misterius. Hanya saja, lelaki itu terlihat seperti bukan dirinya, wajah kaku serta tatapan dingin di sana seakan mampu membumihanguskan tubuh Miran.

Tidak. Bukan. Tidak ada pedofil gila itu di sini. Pria itu Seokjin. Dia Seokjin.

Miran terus memandang muka temannya, enggan turun pada apa yang dia pakai.

"S-seokjin, kau sedang main-main, kan? Berengsek. Candaan murahan macam apa ini, huh?!" Miran bicara agak lantang sebab air hujan sangat bising. "Masuklah, aku akan siapkan--"

Sebuah pistol menempel ke dahi Miran. Sangat tiba-tiba. Seorang bapak yang berlari untuk meleraikan mereka terkena imbas tembakan Seokjin. Jeda di situ, Miran mengambil kesempatan untuk mundur, siap siaga mengangkat senjata yang tadi Seokjin letakan di mejanya.

Jadi begitu, Seokjin melayangkan bendera pertarungan. Tapi, kenapa? Apa hubungannya dengan pria bermantel hitam?

Mereka saling menodongkan senjata.

Miran mengerejap, nyaris kesulitan mengenyahkan memori-memori keparat karena penampilan Seokjin. Sial. Itu terlalu menjijikan baginya.

Tarik napas. Dia Seokjin. Ingat baik-baik, Miran, dia Seokjin.

Sejemang berikutnya suara tembakan mengudara. Seokjin yang memulai itu. Miran tidak punya pilihan bagus selain melumpuhkan lawan. Sangat sulit. Seokjin sudah dianggap lebih dari sekadar teman, tapi setidaknya dia harus lari tanpa terluka.

Peluru kedua berhasil menembus paha Seokjin, membuatnya terpincang-pincang saat berusaha mengarahkan senjata.

Miran berniat kabur, akan tetapi, mendapati Seokjin kesakitan, hatinya meleleh tak tega. Dia temannya. Dan, oh ayolah, kejadian itu sudah lama hilang. Traumanya sedikit-sedikit telah melebur seiring waktu.

Lupakan. Lupakan. Lupakan.

Miran harus menyelamatkan Seokjin. Dia pria baik-baik. Tidak ada hubungannya dengan kejadian sialan itu.

Penyesalan tiba-tiba merangsek ke tenggorokannya. Apapun yang terjadi, persetan dengan niat Seokjin, Miran harus menghubungi ambulans. Dia tidak tahu menahu soal luka yang dialami Seokjin, bagaimana bila berakibat fatal seperti ... kehabisan darah? Miran tidak mungkin meninggalkannya sendiri.

Sementara itu, meraung nyeri tanpa menjatuhkan lututnya ke tanah, Seokjin bersusah payah tegak dan menaikan pistolnya.

Ada banyak yang ingin mereka katakan satu sama lain, tapi hujan kian menulikan pendengaran, berteriak hanya akan membuang tenaga.

Kendati demikian, mumpung kondisi Seokjin lengah, Miran memanfaatkan keadaan; ia berjalan ke arah Seokjin, memutar lengan si pria untuk kemudian ditarik ke belakang punggungnya. Seokjin merintih kesakitan dan pistolnya jatuh. Itu bagus, namun Miran tetap bergumam maaf.

"DAMMIT!" Seokjin menyumpah, berusaha lepaskan sikut Miran di tenggorokannya serupa binatang yang enggan dimasukan ke dalam kandang.

Tidak. Seokjin masih temannya, Miran sangat yakin. Membangun permusuhan tidak semudah membalikan tangan bagi mereka yang telah merasakan kebaikan masing-masing.

"I'LL KILL YOU!" teriak Seokjin sebelum jatuh ke tanah. "FUCK!"

Dengan napas panjang, Miran membuat Seokjin ambruk setelah memukul tekuknya. Ia bergumam, "Kau tidak butuh waktu lama jika memang itu yang kau inginkan semenjak menginjakan kaki di apartemenku."

Seokjin sedang berupaya melawan sisi jahatnya, Miran tahu. Terbukti dari pelurunya yang sering melesat, padahal pria itu sangat handal bermain senjata, memiliki hobi berburu hewan terbang. Mustahil Seokjin kesulitan menghadapinya walau sedang hujan.

Erangan Seokjin terdengar lirih kala berusaha menahan napasnya. Sepertinya peluru Ree Miran telah membuat tulang kakinya retak, sekecil apa pun gerakannya berakibat nyeri tak tertahankan.

Mereka pun tiba di pintu keadiaman Miran.

Lantas, tanpa dugaan sama sekali, tepat saat pintu dibukakan, Seokjin menangkis kaki si wanita yang tengah membopongnya hingga berakhirlah jatuh berdua; sama-sama meneriaki umpatan.

"Seokjin! Kau---"

Kim bergerak ke atasnya, dengan sebuah pistol yang ditempelkan ke leher Miran---telak di bagian yang berdenyut. Napas hangat nan tak keruan milik Seokjin membelai wajah Miran diikuti tetesan air dari rambutnya yang jatuh ke pipi satu demi satu seperti detik jam dinding.

Tangan Miran berkeliaran mencari senjata yang tadi dibawanya--sebab akan repot bila dibiarkan di jalanan--untuk ditodongkan pada jantung Seokjin, berharap aksinya akan membuat si Kim menjauh. Namun, apes beribu apes, pria itu malah menyunggingkan senyum.

Sial!

"Don't move. Jika kau mengelak sedikit saja, jariku akan menarik pelatuknya dengan sangat mudah," desis Seokjin. Giginya bergemeletuk. "Do you remember this? Di saat pedofil itu menyentuh kulitmu--" terkekeh, dia semakin mendekatkan wajah tatkala dapati lawannya terpejam menahan pekikan. "No, baby, look at me."

"Kau gila, Seokjin." Miran dapat merasakan seluruh inci indranya gemetar hebat.

"Yeah. Ketidakadilan yang mengubah beberapa orang jadi gila, Miran, you clever enough." Jeda. Seokjin mengerang kentara menahan nyeri di pahanya. Meski dengan napas tersendat-sendat, dia tidak lengah untuk terus berbicara. "Before you die, I wanna tell you something ..., twenty years ago, someone you've accused as pedophile..., he's my father." Tawa kecil mengiringi air mata Seokjin yang jatuh ke pipi Miran. "DIA! KIM SEUNG JO-AYAHKU-YANG MENYELAMATKANMU MALAM ITU, SETAN!"

Teriakan Seokjin diakhiri dengan erangan panjang, terlalu sakit menerima kenyataan yang telah secara kasar mengejeknya habis-habisan. "Kenapa kau malah menuduhnya, huh?" tanyanya pelan, berhiaskan getir yang mengeruk segenap kekuatannya.

Sesaat, Seokjin tidak mampu menahan tekanan di dadanya yang menghimpit. Air matanya menghimpun dengan air hujan, bergulir turun ke leher dan menetes di jakunnya yang menonjol.

Di bawah isak tangis pria itu, Miran kehilangan fokusnya, berusaha menyimpulkan namun berakhir linglung--tak kuasa harus bereaksi bagaimana.

Dengan benci, sebelah tangan kosong Seokjin meremas rambut si gadis. Ringisannya membuat si pelaku tertawa parau.

Apapun itu, Miran tahu malam ini akan berakhir buruk dan bakal menjadi hari yang paling dibencinya. Kendati demikian, bila yang Seokjin katakan adalah kebenaran ..., "M-maafkan aku."

"Pity. Ayahku ... dia pria baik-baik. Terakhir kali kudengar suaranya di telepon--" Kim Seokjin larut akan ceritanya, sengaja, agar Miran tersiksa penyesalan, "---beliau bilang dengan panik seorang gadis kecil telah mengalami kejadian buruk. Lalu, tiba-tiba ada teriakan massa. Aku tidak mengerti, Miran, sungguh, apa pun mengenai kejadian malam itu." Seokjin meraup serakah sang udara, air mata sudah mengering, tersisa kerongkongan yang berpilin nyeri. "Satu-satunya harapan saat itu adalah kesaksian korban. Tapi, kau tahu--"

"Let go of me!" Kini giliran Miran yang terisak. "Please!"

Seokjin tersenyum pilu, jelas mengabaikan permohonan Miran. "You know, she easily justified everything what police said. And some bullshit they asked, as well," lanjutnya sambil menatap mata basah Miran. "Seung Jo dihukum mati, tanpa pengacara, tanpa dukungan siapa pun selain aku. Apa yang kaulakukan, Miran? Aku hanya seorang anak yatim. Hidupku sudah sangat buruk bahkan sebelum kau melenyapkan ayahku."

"M-maafkan aku, Seokjin. Sungguh." Miran tidak tahu apa pun. Itu semua trauma masa kecilnya. Dia mengiyakan segala yang ditanyakan tanpa berpikir. Pun, dia sangat ketakutan saat itu, hingga sekarang masih berusaha mengenyahkannya. Barangkali setengah ingatannya telah hancur. "Maafkan aku. Tolong lepaskan!"

Miran cukup menderita di bawah tekanannya, namun justru itulah yang diinginkan Seokjin.

"Katakan itu pada ayahku saat kau menemuinya nanti...."

Suara hentakan senjata menguar ke langit-langit rumah. Mengisi telinga dengan dengung kentara yang membuat tubuh tersentak ngeri nan terpaku. Dwimanik membeliak, lupa cara bernapas, sementara bibir tiada henti mengucapkan nama dan kenyataan.

Seokjin.

Seokjin.

Apa yang baru saja terjadi?

Lelaki itu terkulai di sebelahnya, mulut terbuka dengan dada kembang-kempis meraup udara disertai kening yang berkedut menahan nyeri. Matanya yang berma semakin berma. Mengirim sejuta kepanikan hebat ke dalam relung Miran.

"A-apa yang kulakukan... tidak, tidak, Seokjin. KIM SEOKJIN!" Miran membawa pria itu kepangkuan, bibirnya bergetar sedangkan tangan bergerak kaku kala menyentuh wajah Seokjin. "Apa yang kulakukan ... APA YANG KULAKUKAN?!"

Seokjin membuat Miran tetap di sampingnya, digenggam erat tangan pucat Miran seolah semua harapan hidupnya ada di sana. "Memang ini yang kuinginkan," jelasnya serak. Darah memuncrat di mulut, terbatuk-batuk. "Ah, aku tidak pantas menciummu."

Itu dia. Karena Seokjin memajukan mukanya, Miran dikuasai masa-masa kelam, takut luar biasa, semua ototnya mengerut sehingga tanpa sadar membuat pelatuknya tertarik.

Tapi, kenapa? Mencium? Apa yang pria tolol itu inginkan? Persetan dengan semua itu. "Aku harus menghubungi--"

"Hear me out."

"What the fuck should I listen to you?!"

"Ini bisa jadi terakhir kalinya aku bicara denganmu, Ree." Diusapnya bibir Miran yang gemetar, tersenyum. "Aku selalu ingin merasakannya. Tetapi biar itu jadi hukuman paling menyiksa untukku sebelum mati." Bibir pucat Seokjin mengerut di bawah dagu Miran seolah dia bisa saja berteriak kesakitan jika tidak menutupnya saat itu juga. "I'm a monster."

"No. You're not."

"I've just killed my uncle." Seokjin tertawa kelu. Bagaimana pun, sang paman membawa andil besar dalam setiap penderitaannya sejak kecil bersama Kim Seung Jo.

Miran benar-benar acuh tak acuh pada masalah itu sekarang, dia hanya butuh lari untuk menelepon ambulans. Seraya menangis, dia berusaha melepas pegangan Seokjin, namun pria itu tidak menyerah meski dalam keadaan sekarat. Kelakuannya membuat Miran tersulut, "Why you being like this!"

"I have to---"

"No!"

"There's nothing you can do!" bentak Seokjin seraya menahan napas sebab pergerakan itu mengirim sengatan rasa sakit yang luar biasa ke lukanya, terutama area dada. "I'm gonna die," tambahnya terengah-engah. Mata Seokjin kian menggelap, dia sendiri tahu waktunya takkan bertahan lama. "Sit beside me."
 
He mean it.

"I really can't take this anymore, Seokjin." Miran menunduk terisak, di sana kening mereka saling bersentuhan.

"Either did I ... from this fucking life," sahut Seokjin, dibelainya pipi milik Miran sebelum memohon pelan sekali, "Would you let me? I beg you."

Ada banyak yang ingin Miran lakukan. Ada banyak yang ingin dikatakan. Ada banyak rasa sakit yang sulit dideskripsikan. Ada banyak kebungkaman akan ketakutan. Kendati demikian, kuasa telah diambil alih oleh tangisan. Dan Miran hanya dapat mematung di sana, mendengarkan Seokjin juga berharap ini bukan untuk yang terakhir. Sampai kapanpun dia takkan sudi melepaskan Seokjin. Namun, apakah hidup memang sudah sangat menyiksanya? Lantas, atas dasar apa Miran harus menolak permintaan idiot itu?

"I always knew I'd take a bullet for you," Seokjin berkata di sela-sela napas yang semakin mencekik, pusing melanda, serta sensasi membakar di area dadanya. Pelukan Miran bergetar, dia mengeratkan pegangannya pada kaos putih Seokjin yang sekarang berubah merah pekat. Mata sayu Seokjin memancarkan kehangatan kala dirinya melanjutkan, "And I always knew you wouldn't take over for me. There is no happy ending to this ... to me."

Karena tatkala Seokjin memandangi Miran sebagai keindahan di cakrawala, wanita itu hanya melihat Yoongi sebagai dunianya. Seokjin hanyalah segelintir cerita yang masuk ke kehidupan Miran tanpa berarti apa-apa selain teman masa remaja.  Tidak masalah. Lagipula, sejak lama, cinta dan kasih sayang tak pernah berpihak pada Seokjin.

"This," Seokjin terbatuk kecil, mengalirkan darah hingga ke leher sementara di sebelah tubuhnya cairan merah telah mencium lutut Miran. Bahkan, pandangannya mulai tertutupi titik-titik hitam. "Is not your fault, okay?"

"Stop lying."

"I-I'm not," bantah Seokjin, melepaskan desahan kentara. Jalur pernapasannya semakin menghimpit dibawah kesadaran yang nyaris lenyap karena kekurangan darah. Namun, setidaknya dia harus berkata sesuatu sebelum matanya benar-benar terkatup rapat.

"I love you. I love you ... Ree Miran."

"No, wait!"

Kelopak mata Seokjin kian melayu.

"Don't you dare!" Miran mengguncang tubuh itu keras-keras. "No, not in my hand!"

Seokjin pergi membawa mati cintanya, meninggalkan kepiluan absolut untuk Miran. Yang tersisa cuma pelukan serta teriakan kehilangan di ruangan abu itu. Langit masih menangis, berikut kilatnya yang menyuarakan kesedihan. Miran terus berseru nama Seokjin dan mempertanyakan segalanya, entah untuk berapa lama hingga terdengarlah hentakan langkah kaki.

"MIRAN--" Yoongi, bersama rasa khawatir membumbung di pundaknya, sekonyong-konyong merosot di pintu masuk, mengatur napas serta keterkejutannya mendapati Seokjin tergeletak tak berdaya.

Seorang bapak yang tadi kakinya tertembak pasti telah menghubungi polisi.

[]

Continue Reading

You'll Also Like

146K 13.4K 26
[Update: Senin-Selasa] "I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian...
174K 15K 82
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
9.7M 880K 51
#1 In Horor #1 In Teenlit (20.05.20) Tahap Revisi! Vasilla Agatha yang dijauhi orang tuanya dan tak memiliki teman satupun. Dia menjalani setiap har...