[Selesai] Perfectly Imperfect

By twelveblossom

173K 17.6K 6.4K

Sempurna. Bagaimana jika Nayyara Judistia Putri Hartadi menjadi perempuan yang paling sempurna bagi Javas? Ja... More

0. Tokoh Yang Ada
1. Titik Awal
2. Bertemu Pilihan Lain
3. Soal Cemburu
4. Bersamamu itu Segalanya
5. Melewati Batas
6. Alasan Yang Keliru
7. Jalan Pintas
8. Dia Yang Kelabu
9. Kamu dan Buku yang Tertutup
10. Meragukan dan Diragukan
[GIVEAWAY] HI DECEMBER!
12. Terikat Asa
13. Dua Peran
14. Sebuah Permainan
15.1. Menjadi Kita
15.2 Menjadi Kita
16. The Heaven
17. Yang Diperbaiki, Tidak Ada
18. Kenangan Untuk Yang Pergi
19. Untuk Melepaskan
20. Bicara Soal Pernikahan
21. Bagian Terbaik Dalam Hidupku
22. He Brings The Heaven To Her
23. Terluka dan Kembali Sembuh
24. Rumah Kita
25. Perasaan Yang Terombang-Ambing
26. Lebih Dari Ego
27. Hiruk Pikuk
28. Katanya, Cinta Itu Mengusahakan Segalanya
29. Membakar dan Terbakar
30. Ketenangan Yang Sebentar
31. Kita Akan Bicara Besok
32. Yang Ditunggu Datang Juga
33. Sebelum Kelahiran Bintang Yang Ditunggu
34. Comfort Zone (Final)
35. Bagaimana Kalau Berlanjut? (S2 Perfectly Imperfect)
36. Mereka Pun Mulai Bahagia

11. Tentang Rindu

3.6K 457 156
By twelveblossom

"Jika bicara tentang rindu, aku susah menjelaskannya. Memang aku ini tidak hanya merindukanmu saja. Namun, dari deretan orang yang aku rindukan―kamu selalu berada di posisi paling depan. Kamu menyisihkan yang lainnya, seolah-olah di dunia ini hanya ada kamu." ―Nayyara Judistia Putri Hartadi

-oOo-

Nara meletakkan ponselnya. Dia menatap benda itu hambar menunggu teleponnya berdering karena hampir tiga hari Javas tak mengabarinya. Pria itu seolah hilang ditelan bumi. Nara tidak mendapatkan jejaknya sama sekali sehingga sekali lagi harus menyimpan rindu untuknya sembari pura-pura bahagia.

Wira sempat mengusulkan agar Nara yang menghubungi Javas terlebih dahulu. Jelas, Nara langsung menolak―lebih tepatnya dia takut ditolak. Nara masih mengingat Javas yang terlihat marah saat pertemuan terakhir mereka. Bagaimana jika Javas memang sengaja menghindarinya? Hm, jangan-jangan saat Nara berusaha mencari Javas, pria itu justru membentaknya. Ah, Nara pasti jauh lebih patah hati. Oleh karena itu, Nara lebih memilih diam dan menunggu.

"Lo kayak orang bodoh, tau gak?" itu ejekan Wira saat Nara membantu si pianis untuk packing. Wira kesal mendapati Nara bengong, linglung kayak orang yang kurang makan. Wira kan jadi tak tega kalau Nara ditinggalkan dalam kondisi begitu.

Wira akan kembali ke Jakarta, memulai aktivitasnya lagi. Dia berencana menghadiri audisi New South Wales Philharmonic. Wira ingin memulai kariernya lagi dari titik nol. Meskipun, mereka yang berkecimpung di dunia musik telah mengenal seorang Mahawira Adyasta. Wira beranggapan, jika yang mereka kenal adalah Adyasta dengan tangan sempurnanya, kini Wira memiliki banyak kekurangan dengan jari-jari baru sembuhnya. Tentunya, dari segi teknik serta cara bermainnya akan berbeda. Wira harus belajar lagi, lagi, dan lagi.

"Kamu ini uda mau pergi masih ngajak berantem," kata Nara, dia cemberut. Tangan gadis itu melipat baju-baju Wira ke dalam koper. "Perasaan waktu datang ke sini kamu cuma bawa tas buluk itu, pulangnya bawa koper besar," Nara mengomel.

"Ya kan gara-gara lo yang ngajakin dan beliin gue baju tiap keluar―"

"―Baju dari aku bisa ditinggal di sini aja. Kamu kan punya baju banyak di Jakarta," potong Nara enggan kalah.

"Kenapa minta gue ninggal baju? Hm, pasti biar lo punya alasan buat minta gue balik atau kalau gue ke sini sewaktu-waktu bisa nginep tanpa bingung baju ganti," goda Wira yang kala itu memakai celana training norak berwarna hijau neon dan kaus merah muda.

"Ih ge-er!" Nara memukul Wira.

Wira cengengesan. "Gak apa-apa, Nara. Kalau lo kangen gue, tinggal telepon aja. Gue pastikan segera ke sini―"

"―Meskipun kamu lagi audisi di Australia?" sela Nara.

"Meskipun gue lagi ngapain aja," Wira mengoreksi.

Nara mendengus. "Javas dulu juga gitu, tapi sekarang aku kangen dia gak muncul."

"Lah, lo kangen gak mau telepon ngabarin Si Kadal Air. Lo kira Kadal itu dukun yang bisa nerawang lo kangen atau kagak? Hidup jangan dibuat ribet, Sayangnya Wira. Jaman uda canggih, lo hanya perlu ngimrim chat, ngetik 'Kakanda Chatu, adek Nayyara kangen'."

"Aku manggil dia gak pakai Kakanda," Nara protes.

"Terus apa dong?"

"Chatu aja."

"Kaku banget kalian kayak kanebo kering. Bukannya uda temenan dari kecil?" Wira yang sewot.

"Ya beda, dulu kan temenan sekarang kan pacaran," Nara berkata pelan, wajahnya bersemu merah. Hubungannya dengan Javas yang naik tingkat terasa begitu asing, tapi menyenangkan.

"Ya udah telepon si Chatu Aja lo itu," Wira meraih ponsel Nara yang tergeletak di nakas. Dia membukanya tanpa permisi, foto langit malam landing paralayang yang penuh bintang menjadi wallpaper, lantas membuat Wira terdiam sebentar. Butuh tiga sekon bagi Wira untuk sadar. Ia mencari nama Chatu di ponsel Nara, tanpa aba-aba panggilan itu tersambung. "Halo, Kadal?" sapa Wira saat mendengar suara Javas yang mengangkat telepon dengan 'Iya, Sayang' mengira yang menghubunginya sang kekasih.

Wira menyeringai, dia menggunakan mode loud speaker.

"Di mana Nara, Nyet? Hpnya kenapa ada di lo?" suara tegas Javas langsung meninggi ketika mendapati Wira yang meneleponnya.

"Kata lo, gue bekantan sekarang monyet," Wira malah protes soal hal yang tak penting padahal Nara sudah melotot ke arahnya.

"Bekantan itu juga monyet ordo primata."

"Bodo amat, kita kagak lagi pelajaran Biologi."

Javas mendengus. "Bilang aja otak lo gak sampe. Lo gobloknya satu tingkat sama Theo―"

"―Goblokan dia, Anjing," Wira menyela karena tidak suka disamakan dengan Theodore Mavendra playboy kelas teri yang suka muncul di Lambe Turah karena kedapatan berkencan dengan artis-artis di bawah umur.

"Gue bukan anjing. Kata lo, gue kadal."

"Seneng banget dikatain kadal," Wira mencibir.

"Nara mana, Nyet?" Javas mendesak.

"Monyet kagak elit, Brother."

"Brodar-broder ogah gue punya saudara macam lu," sambar Javas kejam.

Nara semakin mengerucutkan bibir mendengar Wira dan Chatu yang saling melemparkan cacian untuk satu sama lain. Sepertinya mereka jauh lebih akrab, walaupun setiap pertemuan hanya ada pertengkaran. Paling tidak mereka bertengkarnya hanya secara verbal bukan fisik. Nara tidak suka jika Wira dan Javas menyakiti satu sama lain.

"Aku gak mau," kata Nara super pelan saat Wira menyerahkan ponsel si gadis. Tampaknya Wira terlampau puas menyelesaikan adu bacotnya dengan Javas yang sangat tidak berfaedah.

"Nayyara gak mau ngomong sama lo, katanya lo bau," Wira bersuara pada handphone.

"Kamu jangan nambah-nambahin ya! Aku gak bilang Chatu bau," gertak Nara.

"Ya udah, bilang sendiri kalau Chatu gak bau," Wira mendengus menyodorkan ponsel itu.

"Sayang, kenapa nggak mau ngomong sama aku?" Javas bertanya lembut, dia paham jika Nara bisa mendengarnya.

"Itu uda dipanggil sayang sama si Anjing. Njing, Kata Nayyara dia kangen, minta disamperin ke sini," Wira membocorkan rahasia curahan hati Nara tadi.

Nara refleks melempar tas plastik yang berisi sepatu ke arah Wira. "Diem, kamu monyet!" Perintah Nara yang lantas mendapatkan gelak tawa dari Javas di ujung panggilan.

"Hancur itu hatinya Wira, dipanggil monyet sama pujaan hati," Javas berkomentar.

Wira mencebik, dia mengelus kepalanya yang benjol. Bibirnya berkomat-kamit mengatakan betapa kejahatan Nara sudah menyerupai Nenek Lampir.

Nara meraih ponselnya dari tangan Wira, lalu bergegas menuju kamarnya sendiri. "Kamu jadi ketularan receh kayak Wira," Nara berucap kepada Javas.

Javas menyisakan sedikit tawa kemudian berkata, "I miss you, Nayyara."

"Kamu bilang kangen tapi gak telepon aku," ada nada protes.

"Aku merasa bersalah karena membuat kamu menangis. Jadi, aku menunggu saat yang tepat untuk meminta maaf," jawab Javas.

Well, meminta maaf adalah hal yang sulit bagi Javas sebab dia jarang sekali melakukan itu. Biasanya, Nara yang mengalah dengan memohon maaf terlebih dahulu. Akan tetapi, kali ini berbeda―Nara justru melupakan kesalahan Javas. Kesedihannya meluruh sedikit demi sedikit karena sering curhat ke Wira. Mungkin Nara merasa lega karena ada teman yang bisa menampung ceritanya.

"Dunia ini keburu kiamat kalau menunggu kamu minta maaf, Chatu," gumam Nara.

"Sorry," Javas berucap pelan dan cepat.

Nara lantas menghembuskan nafas panjang. "Aku merasa kita jalan di tempat. Tidak ada yang berubah dalam hubungan kita―"

"―No, jangan mengatakan hal yang akan kamu sesali, Nara. Aku sudah meminta bantuan Tante Lituhaya untuk menyembuhkan apa pun yang membuatmu sakit," sela Javas. Pria itu mengambil jeda kemudian berkata kembali, "Aku membaca segala hal mengenai itu dan ada banyak cara untuk menyembuhkan kamu."

"Bagaimana kalau aku tetap tidak sembuh?"

"Just try it, Darling. Jangan berpikiran pesimis," Javas meyakinkan.

"Jawab, bagaimana kalau aku pada nantinya tidak bisa sembuh?"

Javas mendengus nafas lelah. Dia sungguh tidak bisa tenang dengan penekanan dalam suara Nara yang menuntut. Javas tak suka dibantah.

"Apa kamu akan pergi?" Nara bertanya kembali setelah Javas diam. "Atau kamu akan mencari wanita lain yang bisa menggantikan aku―"

"―You crossed the line, Nayyara Hartadi," desis Javas marah, kesabarannya sudah di ujung tanduk. "Kamu itu bukan benda yang bisa digantikan. You more precious than the thing," tegasnya.

Nara terenyak. Dia mengubah posisinya menjadi duduk tegak di atas ranjang. Andai saja Javas berada secara fisik di hadapannya pasti Nara sudah memeluknya.

"Chatu," panggil Nara sedikit manja.

Javas yang tadi bersiap meledak marah, mengubah emosinya secepat kilat mendengar panggilan sayang dari Nara. Dia dengan teramat lembut menjawab, "Yes, Darling?"

Nara tersenyum. "Chatu, aku sayang kamu." Ada rasa menggelitik di perut Nayyara saat mengungkapkannya. Mungkin, ini baru pertama kalinya Nara menyatakan sayangnya tanpa harus dipaksa dan tak ada pertimbangan.

Javas pun kelewat bahagia. Perjuangannya selama ini tampaknya tidak terlalu sia-sia karena Nayyara memang patut untuk diperjuangkan. "I know, Darling. I know," jawabnya khidmat.

-oOo-

Nayyara agak murung belakangan ini karena rumahnya kosong akibat perginya Wira. Baru dua hari Wira berpamitan kepadanya, tapi rasanya sesepi ini. Nara sudah terbiasa menghadapi Wira yang suka sekali merecoki dan mengoceh mengenai topik tidak penting. Kini tidak ada lagi laki-laki konyol yang selalu mengikutinya justru membuatnya hampa.

Nara masih mengingat betapa dramatisnya adegan saat dia dan Damar mengantar Wira ke bandara. Pria yang tak mempunyai sisi elegan dalam hidupnya itu meraung-raung serupa anak kucing yang ditinggalkan induk. Nara yang pintar mengontrol raut dan emosinya pun hanya menatap kesal, padahal hatinya malu setengah mati. Ah, tidak yang benar, hatinya ingin Wira jangan pergi.

Wira rajin menghubungi Nara dan mengirimkan beberapa fotonya yang sedang berlatih dengan berbagai macam pose aneh. Wira memintanya segera pindah ke Jakarta agar mereka bisa bertemu lagi sebelum pria itu pergi ke Australia. Wira sangat senang ketika Nara berencana pindah ke Jakarta karena kantornya memberikan promosi. Hah. Mengingat dirinya yang tiba-tiba dipindah tugaskan ke Jakarta membuat Nara menghela nafas berat. Ada campur tangan seseorang dalam keputusan pihak manajemen kantornya―tentunya dengan memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki.

Siapa lagi yang sanggup bertindak semena-mena selain si Javas Chatura Mavendra? Benak Nara menyatakan demikian.

Javas telah mendaftarkan Nara menjadi pasien utama di salah satu rumah sakit milik keluarga besarnya. Javas berniat memboyong Damar dan Nara agar dia dapat mengawasi kekasihnya secara intensif melakukan pengobatan. Damar sangat setuju dan rela akan keputusan Javas karena itu yang terbaik bagi Nara.

"Kamu harus mulai mengenal anggota Keluarga Mavendra yang lain," itu alasan kedua Javas saat menjelaskan manfaat pindahnya si gadis. Seolah-olah mereka akan menikah buru-buru sehingga harus lekas tinggal berdekatan dan memahami keluarga besar masing-masing pihak.

Nara memang mengenal Javas sejak kecil. Namun, dia hanya tahu beberapa orang saja dalam anggota Mavendra, yaitu kakak perempuan Javas―Jessse, Tiga bersaudara T (Theo, Thierry, dan Theresia) beserta orang tua mereka, Ariadna Arkadewi, Lituhaya Mavendra, dan ayah serta ibu Javas. Selebihnya Nara hanya mendengar nama mereka melalui cerita dari mulut Javas.

Javas berencana mengajak Nara ke acara pertunangan salah satu sepupunya―yang termuda minggu depan. Nama sepupunya Leandra baru berusia tujuh belas tahun yang katanya akan ditunangkan dengan salah satu model sekaligus desainer terkenal Jason Ganendra. Ganendra bukan nama yang asing di telinga Nara. Ganendra group bergerak di bidang media massa, produk pakaian, dan memiliki ratusan Mall yang tersebar di seluruh Indonesia. Sebenarnya, bukan hal yang mengejutkan kedua keluarga itu bersatu sebab Keluarga Mavendra menyukai manusia yang dapat meningkatkan derajat dan kekuasaan mereka. Nara yakin si Leandra hanya korban akan buasnya orang dewasa lain yang menyandang nama Mavendra.

Mungkin aku juga akan masuk ke dalam lingkaran setan Mavendra sebentar lagi, gerutu pikiran Nara.

"Bengong terus nanti kesurupan," Damar membuyarkan lamunan adiknya.

Nara yang sedari tadi duduk di kursi makan, sementara tangannya terus mengaduk sereal pun hanya memberikan ekspresi datar. Dia menatap Damar yang telah berpakaian rapi padahal seingat Nara hari ini kakaknya libur.

"Mau ke mana?" tanya Nayyara.

Damar menunjukkan paper bag yang tampaknya berisi dokumen. "Menyerahkan ini ke rumah sakit. Kan kakak mulai minggu depan sudah pindah kerja ke laboratoriumnya Mavendra Group," jawabnya sembari tersenyum lebar.

Nara tahu Damar sangat ingin menjadi tim peneliti Mavendra. Namun, harus terkendala karena menjaga Nara di sini. Itu yang membuat Nara setuju atas perintah Javas karena dengan pindahnya mereka ke Jakarta ada banyak hal yang dapat Damar raih.

"Kamu sendirian di rumah gak masalah kan? Bentar lagi Javas datang buat jemput kamu," vokal Damar lagi.

Nara melihat jam dinding sejenak, pukul tiga sore. Javas datang ke Malang karena ada rapat penting yang tak dapat diwakilkan. Sebab Javas tidak punya hal lain yang dikerjakan seusai bekerja, pria itu akhirnya memutuskan menemani Nara belanja pakaian untuk hari pertunangan Leandra.

"Gak masalah," kata Nara. Dia mengunyah serealnya sebentar sebelum melanjutkan, "Uda biasa ditinggal sendiri."

Damar tidak jadi pergi saat mendengar vokal adiknya. "Lagi curcol? Kesepian ditinggal Wira?"

Nara memutar bola mata. "Wira itu hanya tamu yang jelas bakal pergi sewaktu-waktu," kata si gadis bersurai coklat itu.

Damar tersenyum. "Tapi, kayaknya Wira pergi sambil mencuri sesuatu," kelakarnya.

"Maling apa lagi dia, Kak? Sebelum pergi dia diam-diam masukin stok Momogi aku ke kopernya―"

"―Your heart, Nayyara. Ada sebagian hati kamu yang dibawa sama dia. You look different. Waktu ada Wira kamu gampang sekali ketawa, kayaknya tawa kalian selalu heboh bikin rumah ini ramai. Kamu sekarang murung," jelas Damar.

Damar memang memahami Nara. Ada sesuatu yang seolah membuat Nara merasa dia bukan dirinya lagi. Hal ini terjadi saat pertama kali Wira datang ke kehidupannya, menukar Nara yang selalu sedih menjadi Nara yang mudah tertawa. Kini Nara kembali pada dirinya dulu yang justru terasa asing ... kosong. Dia suka menjadi Nara yang bahagia, tapi Nara tidak akan bisa begitu tanpa Wira.

"Ya memang kan dulu ada Wira yang bikin ketawa. Kalau aku sekarang ketawa-ketawa sendiri bisa dibilang gila, dong? Apa Kak Damar mau punya adik gila?" sifat judes Nara justru keluar. Dia tidak ingin Damar menilai bahwa dirinya menginginkan Wira berada di sisinya.

Damar angkat tangan. "Mulai galaknya," Damar bergidik ngeri. Dia beranjak kemudian berpamitan, "Kakak pergi dulu, ya. Kalau ada apa-apa telepon." Damar mengusap puncak kepala Nara lembut sebelum meninggalkan ruang makan.

Nara mendengus. Dia kesal. Dulu Nara cukup menderita dengan merindukan Javas yang tak dapat ditemuinya setiap hari. Kini justru ada satu lagi manusia ajaib yang sungguhan ia rindukan, bedanya Nara tidak punya alasan untuk memintanya datang.

-oOo-

"Kata Damar, kamu kangen Wira," Javas berucap sembari fokus menyetir menyusuri jalanan Kota Malang pada malam hari. Javas dan Nara baru menyelesaikan acara belanja mereka.

Pria itu mengenakan kemeja putih lengan panjang yang sudah digulung sesiku. Pakaian sederhana, tapi sempurna membalut raganya. Sedari tadi Nara sangat ingin memuji penampilan Javas, tapi dia malah diam karena aura Javas berbeda. Javas tidak banyak bicara hari ini. Mungkin sedang capek, begitu pikir Nara meyakinkan diri. Jujur saja Nara sedikit kehilangan kepercayaan diri ketika Javas dengan terang-terangan menepis genggaman tangan Nara, pria itu justru menjaga jarak sepanjang mereka belanja. Nara tidak suka Javas yang diam dan terlihat marah, sedih rasanya.

"Nara, apa kamu ingin Wira kembali?" Javas justru bertanya.

Nara tidak menjawab, dia menatap paras rupawan kekasihnya. Mereka duduk bersebelahan, namun kenapa Javas seolah membangun tembok dingin? Apalagi, nada pertanyaan Javas seolah menuduh.

"Kamu cemburu," itu vokal Nara. Pikiran Nara menganalisis seluruh sikap Javas yang uring-uringan karena cemburu.

Sebagian dari diri Nara kesal kepada Damar yang terlalu ember. Masalahnya keemberan Damar berpotensi memicu pertengkaran antara dirinya dan Javas.

"Aku tidak suka pertanyaanku dijawab dengan pertanyaan, Nayyara," gertak Javas.

Nara menghela nafas kasar. "I'm so tired, Chatu," keluh Nara pelan.

Lantas Javas meminggirkan mobil yang mereka tumpangi. Dia tidak dapat berkonsentrasi atas apa pun saat hendak memulai perdebatan dengan Nara.

"Kenapa?" tanya Javas kaku.

"Sadar nggak sih kamu sama aku selalu berantem? Kita gak pernah damai. Aku capek," Nara kembali berucap. Dia menatap Javas. "Aku kangen Wira itu jelas karena tiga bulan ini ke mana-mana sama bocah itu. Tapi, ada satu orang yang selalu aku rindukan. Jangankan satu hari terlewat, lihat dia pergi baru satu detik aja aku sudah pengen dia balik. Sayangnya, orang sialan itu justru selalu ngajak berantem waktu ketemu. Dia nyebelin tapi aku sayang," Nara mengoceh.

Javas semakin kesal, merasa saingannya tidak hanya Wira.

Nara menyentuh tangan Javas yang mencengkeram kemudi. "Orang itu kamu," kata Nara lagi.

Wah sialan, Javas mengumpat dalam dirinya ketika perlahan ujung bibirnya terangkat naik membentuk senyum. Javas merasa bahwa harga dirinya sangat murah jika berhadapan dengan Nayyara. Javas mudah sekali marah kemudian tersenyum seolah kemurkaannya tadi tidak pernah ada. Nayyara mengendalikan secara penuh emosi Javas. Padahal Javas Chatura Mavendra tidak suka dikendalikan.

"Siapa yang ngajari kamu gombal begini?" Javas menutupi salah tingkahnya dengan pertanyaan.

"Kamu yang maksa aku buat jadi tukang gombal. Kalau gak digituin, kamu bakal cemberut terus kayak balita," Nara beringsut menyelipkan tangannya ke lengan Javas―sesuatu yang sangat ingin dia lakukan sejak tadi.


Javas mengulum senyum, membiarkan Nara bermanja-manja kepadanya sembari dia mencium puncak kepala kekasihnya. "Perbandingan kangen kamu ke aku sama kamu ke Wira berapa persen? Masih lebih besar kangen ke aku kan, Sayang?" Javas mengajukan pertanyaan.

Nara memberikan spasi di antara mereka. "Beneran mau tahu? Aku takut kamu nyesel, Chatukuuu," Nara menggodanya.

Sungguhan Javas amat sangat bahagia sewaktu mendengar Nara menyebutnya sebagai 'Chatuku'. Javas merasa jika dirinya mirip anak yang mengalami pubertas awal dan baru pertama kali berkencan. Padahal jika stock opname, perempuan yang pernah menjadi mantan Javas Chatura Mavendra tidak cukup dihitung menggunakan jari tangan serta kaki.

"Nara, aku serius tanya," Javas berujar dengan sok galak.

Nara tersenyum. "Kamu dengerin aku sambil nyetir, biar cepet sampai rumah," jawabnya yang kemudian dituruti oleh Javas.

Javas mulai menjalankan kembali mobilnya. Kini tangannya yang menganggur, menggenggam jari-jari Nara. "Jawab, Sayang," Javas mengingatkan.

Nara tersenyum. "Kamu sama Wira itu gak bisa dibandingkan," kata Nara.

"Kenapa? Apa karena Wira terlalu mirip monyet?" Javas berucap tajam.

"Hahahaha ... kalian beneran kayak bocah, deh," Nara membalas. Nara melihat wajah Javas lalu menarik tangan mereka yang saling menggenggam. "Kangen aku ke Wira itu bukan tipe kangen romantis. Aku kangen dia karena banyak hal yang udah kami lakukan bersama dan aku seneng. Sama kayak kangen aku ke temen-temen sekolah dan kangen aku ke Kak Damar. Kangen aku ke kamu itu beda. Aku kangen semua hal soal Chatuku gak hanya yang seneng-seneng aja, mulai dari kamu yang nyebelin, kamu yang suka nyuruh, kamu yang ketawa sampai mata kamu hilang, dan semua hal soal kamu. Aku bisa gak waras kalau kelamaan kangen sama kamu, Chatu. Daaaannn waku aku kangen kamu, gak cukup diobati sama suara kamu ditelpon. Aku harus lihat kamu secara fisik, peluk kamu, dan memastikan kamu sehat," Nara mengoceh panjang lebar.

Lantaran segera menanggapi Nara, Javas justru diam. Kelakuan Javas mendapatkan ekspresi bingung dari kekasihnya. Nara menarik-narik kemeja Javas, takut jika dia salah bicara. "Are you okay, Mister?" tanya Nara.

Javas menggeleng. "No, because I want to kiss you really bad here, right now," desis Javas.

"Di sini? Tapi kan kita lagi ada di tengah jalan," ejek Nara.

Javas menginjak pedal gasnya. "Maka dari itu kita harus segera sampai," sambar Javas yang tak sabar.

-oOo-

Apa Nara sudah pernah cerita kalau Javas yang sedang tidur itu lucu? Posisi tidur favorit Javas itu terlentang, harus ada guling di sisi kanan dan kirinya―soalnya dia takut jatuh dari ranjang. Mirip bayi kan? Apalagi, dia tidur dengan wajah sangat tenang, serupa aktor yang sedang beradegan dalam drama. Javas melipat tangan di atas perut. Dia butuh spasi banyak karena lebih suka meletakkan tubuhnya di tengah ranjang. Namun, Javas rela ruang untuknya tidur menyempit ketika dia meminta Nara tidur siang di sisinya. Nara yang tidak terbiasa tidur siang, terpaksa menuruti kemauan si Bayi Besar.

"Ini simulasi kalau kita menikah nanti. Kamu bakal tidur di sisi aku selamanya," begitu cara Javas merajuk.

Javas kelihatan lebih protektif dan selalu ingin di dekat Nara setibanya gadis ini di Jakarta kemarin malam. Nara yang ke Jakarta karena mendapatkan undangan khusus dari Manggala Mavendra untuk menghadiri acara pertunangan putrinya pun tak dapat berkutik. Toh, Nara juga suka Javas yang terus saja menempel kepadanya, apalagi melihat tatapan iri perempuan lain yang memuja Chatunya. Dia merasa beruntung sekaligus berdosa.

Nara tidak pernah bisa berhenti berpikir jika Javas memberi gadis itu terlalu banyak hal, sedangkan dia adalah pihak pasif yang hanya bisa diam sebagai penerima. Bukannya Nara tidak berusaha, tapi Javas yang selalu mencegahnya berbuat atau memberi sesuatu untuknya.

Javas hanya sekali meminta, "Kamu tidak usah ngasih aku segalanya. Kamu hanya perlu selalu sayang sama aku dan selalu di samping aku."

Dua hal yang terdengar sederhana, tapi menjadi inti dari kehidupan manusia. Javas meminta sesuatu yang tidak dapat dibelinya dengan uang, yaitu perasaan seseorang dan kebebasan. Licik dan penuh tipu daya, sifat khas yang dimiliki Javas. Nara sadar jika dirinya dibodohi. Kendati demikian, sekali lagi Nara menikmati semua rencana yang sedang dijalankan Javas.

"Are you awake, Darling?" suara serak Javas terdengar.

Nara yang sedari tadi terlentang di sisi Javas pun segera menoleh ke arah sumber suara. Dia tersenyum cantik, beringsut mendekat―yang langsung mendapatkan pelukan dari Javas. Indra penciuman Nara menangkap wangi parfum Javas yang selalu mengingatkannya pada rumah dan secangkir teh hangat. He feels like home, batin Nara menilai.

"Geli, Nara hahaha," kata Javas ketika gadis itu mengusapkan hidung di pipi kekasihnya. "Kamu butuh tidur karena nanti malam pasti acaranya berakhir lama," lanjut Javas.

"Aku tidak biasa tidur siang, Chatu."

"You must," tegas Javas yang mengartikan Nara tak boleh menawar. Javas mulai menepuk-nepuk pelan kepala Nara, dia tahu kalau kekasihnya ini paling lemah kalau ada yang puk-puk kepalanya.

"Curang," protes Nara, dia membenarkan posisi berbaringnya. "Sing a lullaby for me, Chatu," lanjutnya.

"Kamu bukan balita yang harus dinina bobokkan."

"Chatu, please," pinta Nara.

Javas berdeham untuk menetralkan suaranya. "Nara bobo oOoOoOo Nara bobo kalau tidak bobo digigit Javas," nyanyi Javas dengan nada sumbang.

Nara tidak berhenti tersenyum dalam pelukan Javas. Javas memang sempurna, mungkin sebagian orang menilai begitu. Mereka tidak tahu, satu kekurangan Javas―suaranya terlampau sumbang. Nyanyian pria itu langsung bisa menghibur Nara karena lucu.

"Nara gak mau tidur, ah, soalnya Nara mau digigit Javas," gumam Nara asal, dia sudah mulai mengantuk.

Lah, pikiran Javas sudah ke mana-mana. Apalagi, Javas jarang sekali membawa perempuan tidur di ranjangnya, tanpa 'bermain' sesuatu dengannya. Pengendalian diri Javas akan Nara perlu mendapatkan tepuk tangan.

"Jangan mancing, nanti ditanggapi nangis minta berhenti," balas Javas pelan sambil mencium puncak kepala Nara yang sekarang sedang tertawa.

"Chatu."

"Hmm?"

"Aku bahagia ada kamu."

"Aku juga, Sayang. Aku juga," jawaban Javas ini mampu membuat Nara tidur dengan nyenyak.

-oOo-

a.n:

Halo, semuanya~
Terima kasih sudah membaca sampai sejauh ini huhuhu uda part 11 aja. Semoga kalian suka ya. Dalam part ini aku hanya ingin nulis yang bahagia-bahagia soal mereka karena memang minggu ini sangat membahagiakan bagi EXO L.

Aku mau minta maaf karena part 11 lebih pendek dari sebelumnya. Alasannya karena aku dalam kondisi gak enak badan daaann aku harus beneran sembuh sebelum tgl 23 November huhuhuhu.

Oh ya, bagi teman-teman yang nonton konser EXO have fun yaaah. Hati-hati di jalan dan utamakan keselamatan hahahahaha.

Selamat berakhir minggu, aku tunggu vote dan komentar kalian biar aku semangat nulis huhuhu <3. Sampai jumpa di part selanjutnya!~

P.s: jika kalian ingin chit chat sama aku, fangirling bareng, tanya soal Javas Nara Wira atau gibah bareng hehehe. Bisa follow Twitter aku @.twelveblossom, mention untuk folback yaaaah :D

Continue Reading

You'll Also Like

178K 19.5K 40
Xiao Zhan kabur dari kejaran orang-orang yg ingin melecehkannya dan tidak sengaja memasuki sebuah ruangan, ruangan dimana terdapat seorang pria yg se...
99K 8.4K 83
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
362K 38.1K 35
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ° hanya karangan semata, jangan melibatkan...
35.8K 4.5K 23
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...