monotone (terjemahan)

By natsumi-shirayuki

163K 15.5K 7.3K

More

Chapter 1. Calm (Tenang)
Chapter 2: Chance (Kesempatan)
Chapter 3: Something (Sesuatu)
Chapter 4: Lullaby (Pengantar Tidur)
Chapter 5: Clouded (Mendung)
Chapter 6: Golden (Keemasan)
Chapter 7: Frozen (Beku)
Chapter 8: Glass (Kaca)
Chapter 9: Human (Manusia)
Chapter 10: Fracture (Retakan)
Chapter 11: Shatter (Hancur)
Chapter 12: Alone (Sendirian)
Chapter 13: Easier (Lebih Mudah)
Chapter 14: Unsteady (Goyah)
Chapter 15: Clarity (Kejernihan)

Chapter 16: Butterflies (Kupu-kupu)

14K 917 800
By natsumi-shirayuki


--




--


Wei Ying masih tertidur. WangJi tidak terkejut, mengingat bahwa Wei Ying normalnya tidak akan bangun setidaknya sampai pukul sebelas siang. Entah kenapa, dia tertidur lebih larut semalam, sibuk bertukar pesan dan menyeringai pada apa pun yang dia bahas dengan temannya. WangJi sudah mencoba mengintip apa yang mereka bicarakan, tapi Wei Ying terus berguling menjauh darinya dengan rona samar di wajahnya. Baru beberapa jam kemudian, Wei Ying menguap dan bergeser mendekat padanya, terlelap dalam hitungan detik.

Sekarang baru jam sembilan pagi. WangJi ragu kalau Wei Ying akan bangun sebentar lagi. Dia menunduk menatap lelaki yang sekarang meringkuk di dadanya; rambut Wei Ying menyelubungi separuh wajahnya dan WangJi curiga jika dia sudah ngiler di tubuhnya lagi. Usai malam pertama mereka di sini, Wei Ying menghabiskan sepanjang pagi berikutnya untuk terus-terusan meminta maaf karena sudah ngiler di tubuh WangJi; katanya itu kebiasaan buruknya dan dia tidak bisa apa-apa. WangJi meyakinkannya bahwa itu tidak masalah. Lucu, malah.

Dia tetap diam, tatapannya menjelajahi wajah Wei Ying. Betapa anehnya, sebelum bertemu Wei Ying lagi, WangJi sempat yakin bahwa dia sudah melupakan bagaimana rupa wajahnya. Bahkan kakaknya, si pelukis, pernah sekali mencoba melukis Wei Ying untuk WangJi sebagai upaya untuk menghiburnya, kendati gagal. Meskipun kemampuan artistik kakaknya memang luar biasa, WangJi pikir sapuan kuas itu tidak bisa dibandingkan dengan yang asli—tentu saja tidak. Cat minyak yang dipakai XiChen memang cerah, tapi tidak secerah senyum Wei Ying.

Kini, saat WangJi menatap lelaki yang tengah terlelap di sisinya ini, dia mematri wajah itu dalam ingatannya; lekuk lembut hidungnya, bibir bawahnya yang lebih penuh dari yang atas, lebat bulu matanya dan bagaimana itu menciptakan bayangan di pipinya.

WangJi menyelipkan helai rambut yang menggelitik wajah Wei Ying dengan lembut. Selama sepersekian detik, hidung Wei Ying berkedut. Dia bergumam sedikit lalu menggeliat-geliut makin merapat ke WangJi. Kerutan di keningnya menghilang dan dia kembali mendengkur.

WangJi merasakan kehangatan dalam dirinya seperti mekar. Dia terus mengelus rambut Wei Ying, membiarkan pikirannya mengembara entah ke mana, ke mana saja. Saat ini, dia puas. Damai. Dia bsia saja memikirkan kembali keabadian yang menantinya dan itu tidak akan mengganggunya, tidak ketika Wei Ying sekarang di sini bersamanya.

Tapi apakah dia akan tetap ada?

Tangannya membeku.

Itu benar. Dia memiliki keabadian, sedangkan Wei Ying hanya memiliki beberapa decade lagi. Dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghindari itu.

Kehangatan dalam diri WangJi berganti menjadi bongkahan es. Dia menarik napas panjang dan dalam, membiarkan detik-detik berlalu hingga pikirannya tenang kembali. Dia tidak boleh serakah. Sekarang dia memiliki Wei Ying dan itu sudah cukup. Untuk sekarang.

Meskipun dia begitu putus asa mengulang-ulangi itu, dia tidak bisa mengabaikan rasa takut yang menggerogotinya dari dalam bahwa dia akan kehilangan Wei Ying lagi.

Tidak.

WangJi menarik napas lagi. Tarik napas, embuskan. Tarik napas. Dia menyelipkan rambut Wei Ying ke belakang telinga dan menengadah menatap langit-langit kamar. Dia tidak boleh menyia-nyiakan masa sekarang dengan terlalu fokus pada masa depan. Dia akan mengkhawatirkan ketakutan itu begitu waktunya tiba. Untuk sekarang ... Untuk sekarang dia memiliki Wei Ying.

Untuk sekarang, dia punya kencan dengan Wei Ying.

Bibirnya berkedut memikirkan itu. Apa yang dia rasakan pada Wei Ying benar-benar tidak bisa terlukiskan; seringkali dia sendiri tidak bisa memahaminya, apalagi menuangkannya dalam kata-kata. Kencan. Kedengarannya begitu sepele, begitu manusia.

WangJi tidak pernah repot-repot berurusan dengan hal semacam itu. Sewaktu kakaknya masih pemimpin sekte di Gusu, para tetua seringkali memaksanya untuk mencari istri. Namun desakan itu segera berhenti begitu XiChen mencapai keabadian. Dia baik-baik saja sendirian—atau, dia takut jika diharuskan bersama orang lain.

Meski begitu, dia sadar XiChen punya lebih banyak pengalaman berkencan dibandingkan WangJi. Banyak yang berasumsi bahwa kakaknya adalah perwujudan dari kebajikan dan pengendalian diri, tapi tidak—XiChen bisa dengan mudah tenggelam pada emosi dan keinginannya sendiri. Alasan kenapa XiChen begitu kukuh untuk menempuh perjalanan sendiri, bukannya tinggal bersama WangJi selama beratus-ratus tahun mereka hidup, adalah karena hal ini. WangJi tahu kakaknya mencoba mencari apa artinya hidup, atau setidaknya kenapa mereka masih hidup.

WangJi berpikir dia tidak akan pernah menemukannya. Pada akhirnya, XiChen selalu kembali, masih memalsukan senyum, masih lelah dengan kehidupan seperti WangJi.

Dia ragu XiChen pernah berkencan belakangan ini, tapi dia pasti tahu lebih banyak daripada WangJi. Jika ada yang bisa memberinya saran, maka orang itu pasti adalah kakaknya. Lagipula kakaknya lebih antusias pada hal terkait membaur dengan umat manusia. XiChen benar-benar mencoba beradaptasi dengan teknologi dan temuan aneh lainnya, sedangkan WangJi tidak melihat ada gunanya melakukan itu.

Kakaknya pasti bisa membantunya bersiap diri untuk kencan ini.

Dia pun bergeser ke samping, meraih ponselnya.

WangJi menunggu kakaknya sembari mendengarkan dengkuran Wei Ying di sampingnya. Dulu saat Wei Ying masih seorang Yiling Laozu, dia ingat mereka pernah menghabiskan seharian bersama di Yiling. Bisakah itu dianggap kencan? Mungkin tidak. Wei Ying saat itu tidak punya perasaan apa pun padanya ... tapi memangnya WangJi berhak mengatakan bahwa Wei Ying sekarang juga punya perasaan padanya? Mustahil mengetahui apa yang ada di dalam pikiran Wei Ying.

Ponselnya bergetar.

Hmm. Sepertinya, dengan standar masa kini, WangJi sudah melakukan apa yang harus dilakukan dalam hal menjalin hubungan asmara (courting). Itu cukup melegakan. Meskipun Wei Ying jarang menyuarakan keluhannya, WangJi khawatir kalau lelaki itu akan menepisnya karena dia tidak punya pengetahuan tentang masyarakat modern.

WangJi mengerjap. Itu ... Itu tidak terduga. Pandangannya berkelebat ke Wei Ying lagi. Bibirnya terbuka sedikit dan ada jalur liur yang tercipta di pakaian WangJi. Dia ingin mencium Wei Ying, tapi kenapa ada waktu spesifik untuk mencium seseorang saat kencan?

Dia tidak yakin harus menanggapi itu bagaimana. WangJi tidak yakin kalau dirinya menginginkan itu. Untuk waktu yang terlalu lama, dia menatap layar ponsel, membaca teks itu berulang-ulang kali. Diharuskan tidur bersebelahan dengan Wei Ying setiap malam saja sudah cukup untuk membuatnya gila. Dia ... Dia tidak akan memikirkan itu. Dia tidak boleh membiarkan pengendalian dirinya terlepas.

WangJi ingat Wei Ying pernah menyebutkan bahwa dia sudah pernah bersama orang lain. Pikiran itu membuatnya dipenuhi perasaan pahit, terlebih lagi saat dia mulai memikirkan bagaimana hubungan itu kemungkinan besar melibatkan seks. Wei Ying sangat tampan dan mempesona; di masa lalu, WangJi bukanlah satu-satunya yang mengaguminya.

Genggamannya pada ponsel makin erat dan dia memaksakan pikiran itu menyingkir dari benaknya. Wei Ying adalah orang dewasa yang bisa melakukan apa pun yang dia inginkan dengan tubuhnya. WangJi tidak punya hak untuk merasa cemburu atau posesif.

Meminta saran kakaknya ternyata tidak seberhasil seperti yang WangJi duga, tapi ini bukan salah XiChen. Metode aneh dari masyarakat modern tentang menjalin hubungan-lah yang tidak ingin WangJi lakukan. Dia memang pernah menepis Wei Ying, dulu saat lelaki itu masih tersenyum seperti matahari cerah dan tidak peduli apa kata dunia. Setiap hari WangJi menjalani hidupnya yang sangat-sangat panjang dengan menyesali hari-hari itu.

Tangannya terulur ke meja nakas lagi, menaruh ponsel pada tempatnya. Sayang sekali, pergerakannya membangunkan Wei Ying. Dia mengerang kecil, sebelah matanya membuka.

"Selamat ... pagi ..." Dia menguap. Kelopak matanya sudah menutup lagi. "Jam ... Jam berapa sekarang ...?"

"Sembilan."

"Huh ... Masih pagi ... Aku mau tidur lagi ..."

Wei Ying kembali meringkuk di atas dadanya, menggunakan WangJi sebagai bantal manusia seperti malam-malam belakangan ini. Dia menggumamkan sesuatu, menepuk-nepuk pundak WangJi.

Kemudian dia langsung duduk. Matanya membelalak lebar.

"Ah, sial. Aku ngiler di tubuhmu lagi," ujar Wei Ying. Dia menarik lengan bajunya dan mencoba mengusap jalur basah di pakaian WangJi. "Lan Zhan, kenapa kau tidak mendorongku saja setiap kali aku mulai ngiler? Ini sangat memalukan."

Semua tekanan yang WangJi rasakan pagi ini langsung terangkat saat melihat Wei Ying mencoba mengusap pakaiannya dengan panik. Dia menahan pergelangan tangan Wei Ying, menggelengkan kepalanya.

"Tidak apa-apa," jawabnya.

Ada rona samar di pipi Wei Ying tapi dia malah mengangkat bahu dan menarik tangannya, duduk lagi.

"Kau sudah bangun sejak tadi?"

WangJi menggeleng lagi, walaupun sebenarnya dia sudah terbangun tiga jam yang lalu. Dia tidak yakin apa yang akan Wei Ying pikirkan jika tahu WangJi tidak melakukan apa-apa selain mengaguminya selama ini.

Wei Ying meregangkan lengan dan menguap untuk yang kedua kalinya. Dia menghabiskan beberapa detik mengerjap ke kejauhan sebelum mengayunkan kakinya dari ranjang. WangJi menyaksikannya, tidak menyangka Wei Ying akan turun dari ranjang seawal ini. Masih ada tanda-tanda kantuk di matanya saat dia menyusupkan jarinya ke rambut, mencoba menyisir bagian yang kusut.

"Bagaimana kalau kita mengunjungi Jiejie dulu, baru mulai kencannya setelah itu?" tanyanya. "Itu tidak apa-apa, kan?"

WangJi mengangguk. Wei Ying tersenyum lebar padanya.

Dengan begitu, mereka sudah bersiap memulai hari. Lebih mudah melupakan kekhawatirannya setiap kali Wei Ying bangun. WangJi bisa fokus padanya saja, entah tersenyum dalam hati mendengar Wei Ying menyanyi di kamar mandi, atau mengerutkan kening saat Wei Ying dengan nada bercanda memintanya kalau dia bisa mengikat rambutnya seperti ekor babi.

WangJi terlarut dalam senyum Wei Ying. Dia tidak akan bisa lolos dari sana.



--



"Kau kelihatan sangat tampan untuk kencanmu."

Itulah yang pertama Jiejie katakan pada Wei Ying begitu melangkah masuk ke kamar inapnya. Jiang Cheng juga ada di sana, tidak terlalu mengagumi pakaian Wei Ying seperti Jiejie. Malahan, dia mengerutkan kening saat memandanginya tapi Wei Ying ragu kalau itu ada hubungannya dengan apa yang sedang dia kenakan.

Dia menggaruk tengkuknya dan duduk di sebelah ranjang Jiejie. Wanita itu terlihat sama baiknya seperti kemarin. Baguslah kalau tidak ada masalah lain.

"Kalian harus lihat Lan Zhan. Dia memakai setelan jas," ujar Wei Ying.

Wei Ying nyaris terkena serangan jantung saat Lan Zhan melangkah keluar dari kamar mandi dan terlihat seperti hendak menghadiri pernikahan bangsawan. Yang menyebalkan adalah, ternyata dia cocok memakainya. Lan Zhan bisa saja belanja keperluan harian dalam balutan setelan jas paling mewah dan tidak akan ada yang bertanya-tanya karena ada aura pada dirinya yang seperti meneriakkan 'Lelaki Kaya yang Seksi'.

Jadi, ya; Lan Zhan mengenakan setelan jas hari ini. Setelan jas yang terlihat sangat bagus juga. Warnanya abu-abu muda, hampir putih—tapi Lan Zhan tetap cocok memakainya. Jika ada orang lain yang mengenakan jas dengan warna itu, Wei Ying pasti akan memutar bola matanya dan menghujat selera fesyen itu. Sebagai orang yang seluruh pakaiannya sembilan puluh persen berwarna hitam, Wei Ying tidak akan pernah terlihat memakai setelan jas putih. Atau setelan jas pada umumnya.

Lan Zhan bahkan memakai dasi. Pasti kalian akan mengira dia dan Wei Ying akan menikah bukannya pergi kencan (kedua).

Tetapi Wei Ying tidak mengeluh. Lan Zhan memang terlihat sangat tampan. Terlalu tampan, sebenarnya.

Tetap saja, itu tetap menimbulkan masalah, yaitu penampilan mereka agak tidak cocok hari ini. Tidak mengherankan kalau Wen Qing tidak mengemas setelan jas atau apa pun yang terkesan formal di koper Wei Ying. Tak bisa dihindari lagi, dia hanya membawa celana jeans, jadi dia menjajal celana hitamnya yang terbaik. (Well, menurutnya yang terbaik karena celana itu membuat pantatnya terlihat lebih bagus dari biasanya). Dia memadukan celana itu dengan sweater V-neck merah dan jaket kulit hitam. Pakaian yang imut. Jika resleting jaket itu ditarik untuk menyembunyikan sweater merahnya, dia akan terlihat seperti berpakaian serba hitam dan siap merampok bank—atau rumah Lan Zhan, mengingat lelaki itu berpakaian seperti seorang miliarder.

"Memangnya kalian akan melakukan apa?"

Suara Jiang Cheng menyeretnya keluar dari lamunan. Wei Ying menoleh padanya, membelalak lebar. Dia tidak pernah berhenti terkejut setiap kali Jiang Cheng benar-benar bicara padanya.

"Aku masih belum tahu. Kau punya ide?"

Menggelengkan kepala, Jiang Cheng melipat lengan dan menghela napas. Itu helaan napas yang sama seperti saat mereka kecil dulu, setiap kali Wei Ying melakukan hal bodoh dan Jiang Cheng tepat di belakangnya, menggerutu tentang bagaimana Wei Ying selalu, selalu saja mencari masalah. Ujung bibir Wei Ying berkedut untuk membalas dengan cengiran tapi terhenti sebelum benar-benar muncul. Mereka bukan anak kecil lagi. Dia juga ragu Jiang Cheng akan membalas senyumnya.

"Bagaimana bisa kau pergi kencan tanpa membuat rencana?" tanya Jiang Cheng.

"Kencan spontan kedengarannya bagus juga," Jiejie menimpali.

Wei Ying memincingkan mata ke Jiang Cheng. "Memangnya kau pernah pergi kencan?"

Seketika Jiang Cheng kelihatan seperti gunung berapi yang akan meletus. "Apa-apaan pertanyaan itu? Hanya karena kau pernah berkencan sekali bukan berarti kau bisa bertingkah sok agung dan berkuasa!"

"Well, kau pernah tidak?"

"Ya, pernah! Sekarang urusi urusanmu sendiri!"

Wei Ying duduk kembali dan bertukar pandang dengan Jiejie. Wanita itu menyembunyikan senyum di balik tangannya, tapi dia tidak benar-benar berbuat apa pun saat sorot matanya berbinar dengan kegembiraan.

Dia menegakkan duduknya, tangan terulur menyentuh kalung yang dipakai Wei Ying hari ini.

"Ini bagus. Dapat dari mana?"

Wei Ying menunduk. Itu adalah kalung rantai, cukup pendek sampai nyaris seperti choker. Liontinnya berupa sekeping batu opal hitam berbentuk koin.

"Oh, ini pemberian Wen Qing di ulangtahunku beberapa tahun yang lalu," ujar Wei Ying, menyentuh liontin halusnya. Benda itu seharusnya menjadi jimat keberuntungan. Setidaknya begitulah yang Wen Qing katakan.

"Wen Qing?"

"Kakaknya Wen Ning."

Dia mendengar dengusan dari Jiang Cheng yang sama sekali tidak disembunyikan.

"Oh ya," ujar Jiejie. "Aku ingat Wen Ning. Kalian masih saling menghubungi?"

Wei Ying menunduk. Tentu saja Jiejie ingat Wen Ning. Mereka bertemu sekitar waktu Paman Jiang dan Bibi Yu meninggal; dulu saat Wei Ying perlahan mulai menjauhkan diri dari Jiang Cheng karena mengira itulah keputusan yang terbaik. Pantas saja Jiang Cheng tidak senang dengan pergantian topik ini.

"Dia sekarang mengelola kafe. Aku sering ke sana."

Jiejie tersenyum. "Kau harus membawaku ke sana saat aku kembali."

Senyumnya begitu sulit untuk ditatap. Wei Ying menunduk, melihat Jiang Cheng juga menunduk dari sudut matanya. Saat dia kembali ... Entah siapa yang tahu apakah Wei Ying masih bisa menemui Jiejie begitu kembali?

Seolah menyadari tekanan di suasana ini, Jiejie menepuk tangannya. "Aku tidak percaya seminggu sudah berlalu. Jam berapa penerbanganmu besok, A-Cheng?"

Jiang Cheng berdeham. "Tujuh pagi."

Besok? Cepat sekali?

"Kau akan pergi besok?" tanya Wei Ying. Jiang Cheng mengangguk padanya.

Terakhir kali mereka berada di Gusu, mereka terlibat pertengkaran terburuk ... di antara semua pertengkaran yang ada setiap kali mereka berpapasan. Apa mereka akan kembali ke rutinitas itu karena Jiejie tidak lagi ada untuk membuat mereka patuh? Wei Ying tidak akan terkejut kalau memang begitu, meskipun dia harus mengakui bahwa rasanya tetap menyakitkan. Dia sudah lama menerima bahwa mereka tidak akan bisa kembali seperti dulu, tapi bukan berarti dia ingin terus bertengkar.

"Kembali kerja, huh?" gumam Wei Ying, lebih seperti desakan untuk mengatakan sesuatu.

Jiang Cheng mengangguk lagi. "Yeah."

Percakapan mereka berhenti di situ. Tidak peduli seperti apa Jiejie berusaha keras membuat keduanya bicara, mereka tetap terjebak di jalan buntu. Semua yang mereka katakan selalu canggung. Waktu sepuluh tahun mungkin sudah memisahkan mereka tapi Wei Ying cukup mengenal Jiang Cheng sehingga bisa mendengar ketegangan suaranya setiap kali bicara dengannya. Dia tahu dirinya juga terdengar sama.

Jin ZiXuan dan Jin Ling bergabung setengah jam kemudian. Percakapan mengalir lebih baik dengan bertambahnya orang di ruangan ini, terlebih lagi Jin Ling yang mudah saja dia goda tentang rasa sukanya pada seseorang. Semakin pemuda itu mencoba menyangkalnya, semakin jelas kelihatannya.

Kalau dipikir lagi, Wei Ying ingat pernah menggoda Lan SiZhui kalau dia punya rasa suka pada Jin Ling beberapa minggu yang lalu ... Saat itu Wei Ying hanya bercanda, tapi reaksi SiZhui tampaknya mirip dengan bagaimana Jin Ling bereaksi saat ini, meskipun tidak separah si drama queen Jin Ling.

Menarik.

Wei Ying tetap menutup mulut. Seperti Jiang Cheng, hubungannya dengan Jin Ling juga masih bergeronjal. Dia tidak akan menghancurkan itu lagi dengan melemparinya dengan pertanyaan tentang siapa kemungkinan orang yang disukainya.

Meski demikian, itu tetap saja lucu. Kakak Lan Zhan sepertinya juga sering chatting dengan Jiang Cheng setiap malam sampai fajar menyingsing ... Kalau ternyata benar SiZhui yang Jin ling sukai, ya ampun, Keluarga Lan benar-benar tambah liar.

Tak lama kemudian, sudah pukul tiga sore. Waktu berlalu seperti terbang kalau kau terjebak di tengah-tengah perkumpulan keluarga yang canggung di mana setengahnya benar-benar membencimu. Wei Ying mengucapkan sampai jumpa, berusaha keras tidak merona saat Jiejie dengan penuh antusias mendoakan kencannya berjalan lancar. Jin ZiXuan menyeringai, Jin Ling menggerutu sesuatu yang Wei Ying kira seperti sampai jumpa, dan Jiang Cheng ... well, Jiang Cheng masih seperti Jiang Cheng yang biasa.

Wei Ying menghela napas begitu keluar dari ruangan. Dia langsung menemukan Lan Zhan, sedang duduk dengan sangat anggun dan terlihat seperti sedang menunggu photoshoot bukannya menunggu dia.

"Lan Zhan, kenapa kau tidak pernah masuk ke ruangan Jiejie bersamaku? Rasanya sangat canggung dengan Jiang Cheng," ujar Wei Ying, melangkah menghampirinya.

Lan Zhan berdiri. Wei Ying menyadari kerahnya sedikit miring jadi dia mengulurkan tangan untuk membenarkannya, menepuk kemeja Lan Zhan begitu selesai.

"Aku yakin Jiejie tidak akan keberatan jika kau masuk. Jiang Cheng mungkin akan memelototimu, tapi dia juga begitu ke semua orang," lanjutnya, suaranya memudar menjadi gumaman begitu dia ingat Jiang Cheng tidak akan ada di sini lagi besok. "Tapi itu juga tidak ada artinya. Dia akan pergi besok."

Wei Ying menggeleng. Sudah cukup memikirkan itu.

Dia menggandeng lengan Lan Zhan dan tersenyum lebar padanya. Seperti biasa, Lan Zhan memberinya tatapan datar yang sama seperti yang dia berikan ke orang lain meskipun ada kilatan lembut di sorot matanya yang membuat senyum Wei Ying makin lebar.

"Ngomong-ngomong, sudah saatnya kita menjelajahi Cleveland! Ada tempat yang ingin kaukunjungi?"

"Mana saja."

Wei Ying mengerutkan bibir, mengernyit menatap langit-langit ruangan. Mereka belum sarapan dengan benar sebelum datang ke sini; hanya kopi dan beberapa camilan yang dibelikan Lan Zhan kemarin. Kalau dipikir-pikir lagi, Lan Zhan bahkan tidak makan camilan itu sedikit pun.

"Hmm ... Ayo cari makan dulu. Aku lapar."

Dengan lengan saling bertaut, mereka meninggalkan rumah sakit dan melangkah ke jalanan terang di Cleveland. Wei Ying menunjuk-nunjuk semua bangunan yang dia kenal, memberitahu Lan Zhan ini-itu (Ada restoran-restoran favoritku—wow, masih ada sampai sekarang? Lan Zhan, lihat, toko bunga itu dulunya toko mainan seks! Haha, jangan tatap aku begitu! Oh—oh! Toko kue itu menjual roti kayu manis terbaik. Ayo beli beberapa lain kali, oke?)

Dia segera menarik Lan Zhan menjauh dari jalan tempat bar-bar dan kelab malam yang pernah dia datangi. Bangunan-bangunan itu sekarang tutup karena masih siang; jika datang ke sana saat malam, bangunan itu pasti akan menyala terang benderang, memancing semua orang dengan musik dan alkohol. Wei Ying dulu menyukai itu; kebisingannya, kekacauannya. Sesuatu yang membuatnya merasa lebih hidup di saat segalanya terasa hampa.

Lucu rasanya itu semua terasa begitu hampa sekarang ini. Wei Ying makin merapat ke Lan Zhan, bersenang hati untuk melupakan tempat-tempat itu.

Lan Zhan mendengarkan semua ocehannya; entah tentang betapa bagusnya cuaca hari ini, atau saat Wei Ying mulai melantur dan menyebutkan semua film favoritnya selain Shrek. Cara Lan Zhan menatapnya saja sudah membuat Wei Ying ingin bicara makin banyak. Dan dia benar-benar melakukannya.

"Kalau aku tidak salah ingat, tempat ini selalu ada banyak makanan ... Restoran tempatku bekerja dulu ada di sini tapi kurasa sekarang sudah tutup sejak pemiliknya pindah ke Gusu—oh, ada truk makanan!" Wei Ying menunjuk sebuah truk berwarna cerah di kejauhan.

Dia sedang beruntung; truk makanan itu menjual taco. Wei Ying tanpa ragu menyambar botol saus sriracha dan menumpahkan separuh isinya ke atas makanannya. Dia merasakan tatapan Lan Zhan padanya sepanjang waktu, mengernyit pada lautan merah terang yang kini menenggelamkan semua makanannya. Lan Zhan sendiri memesan taco vegetarian dan tidak menyentuh sausnya sedikit pun. Taco miliknya terlihat menyedihkan dan hampa sampai Wei Ying menawarkan diri kalau Lan Zhan ingin mencicipi taconya sedikit.

Mata Lan Zhan memincing. Dia tidak menjawab, hanya menatap saus sriracha selama beberapa menit sebelum menggigit sekali. Wei Ying menunggu reaksinya. Lan Zhan menarik diri dan mengunyah. Sangat, sangat lambat. Wajahnya sehampa biasa.

Kemudian, dia terbatuk. Itu adalah suara batuk tercantik dan terpelan yang pernah Wei Ying dengar. Melihat bagaimana Lan Zhan memincing dan mengernyit pada taco-nya, Wei Ying pun menganggap itu pertanda bahwa Lan Zhan tidak ingin menggigit lagi. Wei Ying menelan kembali tawanya yang terancam akan meledak.

Wei Ying hendak membiarkan Lan Zhan memakan taco yang tampak hambar itu saat dia menyadari ada noda merah kecil yang masih menempel di bibirnya.

"Tunggu!" Dia menyondongkan tubuhnya ke depan, ibu jarinya mengusap bibir bawah Lan Zhan. "Ada saus di bibirmu."

Dia menarik diri, mengabaikan bagaimana jempolnya terasa menggelenyar sedikit. Dasar bodoh, batinnya. Dia tidak bermaksud aneh-aneh. Lan Zhan tidak bisa berjalan-jalan dengan saus di bibirnya, bukan? Kenapa Wei Ying mendadak begitu malu pada hal sekecil itu?

Seperti dugaannya, Lan Zhan tetap terdiam. Matanya menunduk—apa dia sedang memandang bibir Wei Ying? Tidak, tidak mungkin. Lan Zhan memalingkan wajahnya, begitu cepat sampai Wei Ying langsung menepis semua imajinasinya.

Mereka lanjut makan dalam diam. Wei Ying berusaha tidak memikirkan betapa lembut bibir Lan Zhan saat bersentuhan dengan ibu jarinya tadi.

Taco yang mereka pesan hanya berukuran kecil; nyaris tidak bisa memuaskan rasa lapar mereka sama sekali. Wei Ying melirik jam tangannya dan mendapati bahwa sekarang masih belum jam empat. Mungkin mereka perlu menunggu sampai nanti untuk makan malam bersama ... Dia tahu banyak restoran mewah di Cleveland; salah satunya pasti sempurna untuk kencan norak ini.

Baiklah, dia memang tidak tahu-menahu tentang apa yang seharusnya mereka lakukan di kencan ini. Mereka hanya punya waktu beberapa jam untuk dihabiskan sampai waktu makan malam dan Wei Ying baru menyadari bahwa merencanakan kencan itu memang bisa menolong. Tanpa ada tempat untuk dituju, dia mengarahkan Lan Zhan ke taman, menemukan bangku taman di dekat danau yang bisa mereka duduki.

Tidak ada banyak orang di tempat ini karena sekarang bukan akhir pekan. Hanya ada beberapa pasangan yang sedang piknik di lahan rumput, tapi tentu saja mereka terlalu sibuk saling menatap mata pasangan masing-masing sehingga tidak menyadari orang lain. Wei Ying menarik napas dalam-dalam dan melepaskan jaketnya.

"Lan Zhan, ayo saling mengenal lebih jauh," ujarnya. "Kita sudah menghabiskan banyak waktu bersama tapi aku tidak tahu banyak tentangmu."

Lan Zhan bersandar pada bangku itu, lututnya condong ke arahnya. Angin semilir memainkan helai panjang rambutnya. "Apa yang ingin kau tahu?"

Wei Ying memperhatikan lelaki itu. Dia punya beberapa pertanyaan yang sudah di ujung lidah; sesuatu yang berkaitan seperti, Kenapa kau punya bekas luka cambuk di sekujur punggungmu? Bagaimana kau bisa punya luka bakar itu? Apa kau menyukaiku?

Dia ... mungkin tidak perlu menanyakan itu.

"Bagaimana kalau begini saja; aku tanya, kau jawab, kemudian kau bisa tanya baik, lalu akan kujawab? Terus begitu bergantian."

Lan Zhan mengangguk.

Wei Ying mengelus dagu. "Hmm ... Aku akan mulai dulu." Baiklah. Jangan menanyakan pertanyaan canggung ... tanyakan saja pertanyaan yang normal dan aman. "Apa ... Apa yang biasanya kauperhatikan kalau mencari pasangan?"

Sialan.

Itu bukan pertanyaan yang normal dan aman untuk ditanyakan!

"Tidak pernah kuperhatikan."

Wei Ying menelengkan kepala. "Hah?"

"Dia selalu mengejutkanku."

Apa maksudnya itu? Seribu pertanyaan lainnya terancam lolos dair bibirnya. Wei Ying menahannya sekuat tenaga, berjaga-jaga kalau dia malah mendapat pertanyaan yang tidak ingin dia dengar.

"Oke ... Kau bisa tanya sekarang," Wei Ying menyemangatinya.

Lan Zhan mengangguk padanya. "Apa yang kauperhatikan saat mencari pasangan?"

Wei Ying menghela napas. Dia seharusnya membuat peraturan yang melarang mengajukan pertanyaan yang sama.

"Aku ... kalau dipikir-pikir, aku juga tidak pernah memperhatikan ..." Dia mengangkat bahu. "Kurasa siapa saja yang bisa membuatku nyaman sudah cukup untukku."

Dia sudah menyerah pada segala hal romantis sejak dulu. Alih-alih mencari seseorang, dia malah mulai mencari pengalih perhatian.

Tapi dia tidak akan membahas itu dengan Lan Zhan.

"Kalau kau punya mesin waktu, kau akan pergi ke mana? Ke masa lalu atau masa depan?" tanya Wei Ying selanjutnya.

Lan Zhan langsung menjawab. "Masa lalu."

"Benarkah? Kebanyakan orang akan menjawab masa depan."

"Kau ingin pergi ke masa depan?"

Wei Ying mengangguk. "Yeah. Aku ingin lihat mobil terbang, kau tahu? Atau kalau kita bisa tinggal di Mars kelak."

Lan Zhan benar-benar terlihat seperti mengkritiknya. Wei Ying akan tersinggung seandainya ekspresi Lan Zhan yang biasanya datar itu tidak terlihat lucu.

"Tinggal di Mars?"

Sambil nyengir, Wei Ying menggeleng dan menyikutnya sedikit. "Hei, kau sudah menanyakan satu pertanyaan. Sekarang giliranku. Kau percaya alien itu ada?"

Sekarang kerutan di kening Lan Zhan makin mendalam. "Tidak."

"Tidak? Tapi alam semesta itu sangat luas, Lan Zhan!"

"Konyol," gumam lelaki itu. "Apa hal yang selalu ingin kaulakukan?"

Wei Ying berhenti berpikir sejenak. Itu adalah pertanyaan sulit, mengingat bagaimana dia tumbuh menjadi orang yang agak sinis. Dia mencari-cari dalam kepalanya, mencoba menemukan jawaban. Satu-satunya yang muncul adalah orangtuanya, berdiri di samping tempat tidurnya dan menceritakan petualangan mereka.

"Aku ingin ... pergi menjelajah dengan orang yang kucintai," gumam Wei Ying, menunduk menatap tangannya. Oh sialan, itu terdengar sangat payah kalau diucapkan keras-keras. "Memang picisan, aku tahu, tapi orangtuaku selalu menjelajah dan mereka selalu menceritakan perjalanan mereka saat aku kecil. Aku ingin sesuatu yang mirip seperti itu."

Dia melihat Lan Zhan mengangguk dari sudut matanya. "Kedengaran bagus."

"Ngomong-ngomong," gumam Wei Ying, mendongak. Yang pertama dia lihat adalah bibir Lan Zhan. "Bagaimana rasanya ciuman pertamamu?"

Kini giliran Lan Zhan yang menatap kejauhan. Kerja bagus, Wei Ying. Sekarang kau membuat keadaannya makin canggung.

"Sudah lama sekali," ujarnya kaku. "Itu ... salah. Aku hilang kendali dan dia tidak tahu kalau aku yang melakukannya."

"Apa maksudmu?"

Lan Zhan menggeleng. "Giliranku bertanya."

"Hei, kau hampir tidak menjawab pertanyaanku!"

"Ciuman pertamamu. Bagaimana rasanya?"

Wei Ying cemberut. "Kau tidak adil, Lan Zhan."

Ciuman pertamanya ... Sialan, apa buruk kalau dia tidak bisa mengingat siapa ciuman pertamanya? Dia mabuk, hanya segitu yang dia ingat. Dia juga tahu malam itulah dia kehilangan keperawanannya. Pokoknya itu bukanlah pengalaman yang sangat romantis.

"Ciuman pertamaku... Well, aku tidak terlalu ingat. Saat itu aku mabuk. Aku bahkan tidak tahu siapa orangnya."

Mata Lan Zhan memincing. Kenapa dia menatap Wei Ying seperti itu?

Mungkin dia benci cinta satu malam ... Lan Zhan kelihatannya bukan tipe orang yang suka tidur dengan sembarang orang.

Tangan Wei Ying meremat-remat lengan sweater-nya. Kenapa dia harus menyarankan permainan ini? Satu-satunya pertanyaan dalam kepalanya adalah: Berapa banyak orang yang pernah kautiduri—dan tidak, dia tidak akan menanyakan itu. Kalau melihat bagaimana perilaku Lan Zhan, dia pasti akan langsung menanyakan itu balik dan hanya Tuhan yang tahu bahwa mustahil menghitung berapa banyak orang yang pernah Wei Ying tiduri.

Dia mengamati wajah Lan Zhan lagi. Dengan sabar menunggu Wei Ying menanyakan sesuatu, sehingga bisa saja dia salah disangka sebagai patung marmer. Apalagi dia juga setampan itu.

"Apa kau ..." Apa kau menyukaiku? "Apa kaupikir aku ini tampan?"

"Ya."

Jawaban itu begitu cepat keluar dari bibir Lan Zhan dan Wei Ying hampir saja melewatkan itu. Dia tertawa. "Well, kau sendiri juga tidak buruk, Mr. Lan ..."

Tatapan Lan Zhan melunak. Wei Ying mulai tahu bahwa itulah cara Lan Zhan tersenyum; tatapan mata keemasannya yang menghangat menjadi amber setiap kali menatap Wei Ying seperti ini. Alhasil, perut Wei Ying seperti diaduk-aduk dan tak lama kemudian, dia merasa harus memutus kontak mata. Efek Lan Zhan padanya terlalu kuat. Ini tidak adil.

"Apa yang kaulakukan saat tinggal di sini?" tanya Lan Zhan.

Kehangatan di tubuhnya pun mendingin dengan tak nyaman. Dia bergeser duduk dan mengalihkan pandangan, tiba-tiba terlalu sadar akan intensitas tatapan Lan Zhan.

"Hanya ... bekerja dan semacamnya. Kau tahu kepala sekolah di tempatku bekerja sekarang? Shen Yuan? Dulu aku pernah tinggal di sini dengannya."

"Tinggal dengannya?"

"Kami teman serumah. Saat dia kembali ke Gusu, dia menawariku pekerjaan. Kurasa dia kasihan padaku.

"Kenapa ... dia kasihan padamu?"

Wei Ying tertawa pahit. Dia menengadah pada gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi. Saat muda, dia ingin mengalami kehidupan di perkotaan. Yunmeng memang damai—rumah baginyatapi Wei Ying begitu naif dan selalu penasaran ingin melihat segala hal lain yang ditawarkan padanya. Dia ingin tinggal di tempat yang segalanya begitu hidup, dikelilingi orang-orang bermata gemerlap seperti dirinya dulu.

Kemudian, segalanya hancur. Dia memang bisa tinggal di perkotaan seperti harapannya, tapi itu bukanlah hiruk-pikuk cerah yang dia harapkan. Wei Ying dikelilingi orang-orang asing yang namanya akan dia lupakan esok hari. Tempat yang sepi, dan gelap, dan mencekik.

"Aku dulu benar-benar menyedihkan. Cleveland kota yang bagus tapi kenangan yang kupunya di sini tidaklah terlalu bagus ..." Suaranya memudar menjadi helaan napas. "Dan hei, kau sudah bertanya tiga kali berturut-turut. Jangan curang!"

Wei Ying memaksakan cengiran di wajahnya, dengan ringan menyikut Lan Zhan. "Sekarang aku bisa bertanya tiga kali juga—"

Perkataannya terpotong. Dia mendengar suara gonggongan di belakang mereka. Seketika, sekujur tubuhnya membeku dan matanya membelalak. Gonggongan itu makin nyaring, makin dekat. Wei Ying mengerang dan menyambar lengan Lan Zhan, memegangnya seerat mungkin. Matanya terpejam rapat. Tenanglah, tenanglah. Ada suara tawa gadis cilik dari kejauhan, berteriak pada anjingnya untuk menangkap tongkat—tapi hanya suara gonggoman itu yang bisa Wei Ying dengar dan dia tidak melihat gadis cilik dengan piarannya; dia melihat lemari sempit itu, orangtuanya tergeletak tak bernyawa dari celah lemari, dan gigi taring anjing yang terpampang dan menunggunya di luar.

"Wei Ying." Suara Lan Zhan seperti lentera dalam memorinya. Dia menoleh dan hanya fokus pada kehangatan warna matanya. "Ayo pergi."

Wei Ying membiarkan Lan Zhan membantunya berdiri. Suara gonggongan itu masih terlalu keras di telinganya; dia hampir tidak sadar lengan Lan Zhan melingkari pundaknya, membimbingnya pergi.

Begitu suara gonggongan hilang, Wei Ying sadar bahwa Lan Zhan sudah membawanya ke bagian lain taman itu. Dia meneguk ludah. Mereka berada di bawah paviliun besar berhadapan dengan taman bermain anak-anak. Lan Zhan duduk bersamanya di salah satu bangku, mengelus punggung Wei Ying sampai semua ketegangan beranjak pergi dari tubuhnya. Butuh beberapa saat untuk menyingkirkan memori yang melekat padanya. Suara tawa dan jeritan anak kecil mengisi kesunyian, orangtua mereka membuntuti tak jauh dari sana.

"Ada anjing saat orangtuaku meninggal," ujar Wei Ying, menyaksikan para orangtua itu. Dia tidak punya ingatan orangtuanya membawa Wei Ying ke taman. Mungkin memang pernah; tapi satu-satunya kenangan yang bisa Wei Ying simpan adalah cerita-cerita mereka. Suara tawa para bocah di kejauhan mulai memudar.

Lan Zhan berhenti mengelus punggungnya. Dia bersandar sedikit, menggenggam tangan Wei Ying, mendengarkan seperti biasa.

"Aku tidak ingat banyak hal. Saat itu umurku enam tahun," ujar Wei Ying. "Beberapa orang menerobos masuk ke rumah kami dan membunuh Ayah dan Ibu. Ayah menyembunyikanku di dalam lemari sebelum mereka bisa menemukan kami, dan yang bisa kulihat lewat celah lemari adalah anjing-anjing itu. Aku tidak ... Aku tidak tahu siapa yang membunuh orangtuaku. Aku tidak lihat—A-Aku memalingkan pandangan tapi ... Aku melihat jasad tanpa nyawa mereka setelah itu. Terkadang aku masih memimpikan itu."

Dia bisa merasakan genggaman Lan Zhan makin erat. Wei Ying menunduk menatap tangan mereka.

"Ini konyol," gumamnya. "Aku tahu bukan anjing itu yang membunuh mereka tapi ... tetap saja."

Lan Zhan menggeleng. "Tidak konyol."

Wei Ying meremas balik genggaman tangannya. Dia benci mengingat-ingat kenangan itu, tapi memberitahu Lan Zhan ... rasanya tidak terlalu buruk. Tangannya hangat. Aman.

"Penyusup itu ... Apa mereka tertangkap?" tanya Lan Zhan.

"Kurasa ... tidak. Aku terlalu muda untuk mengerti. Paman Jiang dulu polisi seperti Jiang Cheng. Kurasa dia mencoba menginvestigasi tapi tidak pernah menemukan apa-apa."

Sepanjang yang Wei Ying ingat, peristiwa itu telah dicatat sebagai serangan penyusup. Sebagai seorang bocah, satu-satunya hal yang bisa dia mengerti adalah bahwa memang ada orang jahat di dunia ini. Keluarganya adalah salah satu yang tidak beruntung yang diserang para penjahat.

Sekarang, dia tidak tahu. Itu sudah terjadi lama sekali.

Dia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya. Entah kenapa, Lan Zhan mengerutkan keningnya sendiri. Tidak peduli berapa kali Wei Ying menyenggolnya, dia tetap tidak bergerak atau berkedip. Dia mengibaskan tangan di depan wajahnya, memanggil namanya beberapa kali.

"Lan Zhan, kau baik-baik saja?" tanya Wei Ying.

Dengan lambat, Lan Zhan duduk makin tegak. Dia mengangguk, keluar dari lamunannya.

"Ya."

Wei Ying tersenyum. "Ayo pergi dari taman ini. Kita sudah cukup lama di sini."

Karena semakin mendekati waktu makan malam, mereka pun mencari tempat untuk makan. Lan Zhan bukanlah penggemar saus sriracha di atas taco seperti tadi, sehingga Wei Ying pun menyimpulkan bahwa Lan Zhan tidak suka makanan pedas. (Sayang sekali). Mereka pun berjalan santai di kota itu, seringkali berhenti untuk mengintip jendela restoran dan menunya dari pintu masuk. Setelah sekian lama, mereka menemukan sebuah restoran Perancis yang terlihat mewah.

"Tempat ini kelihatan agak mahal ..." gumam Wei Ying, memincing menatap menunya. Agak mahal mungkin saja pernyataan yang kurang; dia bisa saja membeli tiga makanan penuh dengan harga satu hidangan pembuka di sini! "Mungkin kita perlu pergi ke tempat lain."

Lan Zhan sudah mengarahkannya masuk. "Aku yang bayar."

Wei Ying memutar bola mata. "Selalu kau yang bayar."

Begitu mereka melangkah masuk, Wei Ying langsung menyadari bahwa tempat ini memang penuh oleh pasangan. Sejauh matanya memandang, akan ada pasangan yang saling menatap mata! Seluruh tempat ini berpencahayaan remang-remang, tapi sudah cukup bagi Wei Ying untuk melihat bahwa dia benar-benar seharusnya memakai sesuatu yang lebih formal daripada jeans hitam dan jaket kulit. Dia bergeser ke Lan Zhan; mungkin jika dia berdiri di sebelahnya, maka Lan Zhan Zhan bisa dianggap cukup mewah bagi mereka berdua.

Mereka diarahkan ke sebuah meja yang untungnya berada di daerah yang jarang orang. Wei Ying mengambil tempat duduk, memandangi bunga mawar dan lilin yang ada di depannya. Dia tergoda untuk menyentuh kelopaknya, tapi kalau melihat peruntungannya, dia pasti akan menyenggol lilin itu tanpa sengaja dan membuat seluruh tempat ini kebakaran. Dia menahan tangannya di pangkuan saja, memainkan lengan pakaian.

Di sisi lain, Lan Zhan benar-benar cocok dengan tempat ini. Dia terlihat seperti seorang pangeran dari negeri dongeng, dikelilingi bunga-bunga dan cahaya lilin yang muram—dan dari mana datangnya gambaran itu? Pangeran? Dongeng? Sialan, dia benar-benar mulai bertingkah lebay.

Wei Ying menyambar buku menu, bersembunyi di baliknya sebelum pikirannya mulai menampilkan apa pun yang lebih memalukan lagi.

Dia tidak tahu bahwa berada di restoran Perancis berarti menunya akan memakai bahasa Perancis juga. Dia memincingkan mata pada semua kata asing itu, mencoba memahami apa yang perlu dia makan. Bahkan gambar saja tidak ada! Satu-satunya yang bisa dia mengerti adalah harganya yang besar dan Wei Ying lebih memilih untuk tidak mengerti bagian itu!

Wei Ying mengintip Lan Zhan dari atas menu. Lelaki itu tidak terlihat mengalami kesulitan sedikit pun. Barangkali Lan Zhan memang tahu bagaimana bicara dalam bahasa Perancis.

Terlalu cepat, seorang pelayan wanita mendatangi meja mereka untuk menanyakan pesanan.

Dengan panik Wei Ying memilih hidangan pembuka secara asal. Foie gras—entah apa artinya itu. (Grass [rumput]? Mungkin salad?) Untuk hidangan utama, dia mengenali kata steak sehingga dia memilih itu karena tidak akan pernah ada yang salah dengan steak.

Tak mengejutkan lagi, Lan Zhan menyebutkan kata-kata dalam bahasa Perancis dengan sempurna. Si pelayan agak terlalu antusias menurut Wei Ying, bahkan sampai merespons Lan Zhan dalam bahasa Perancis. Wei Ying tidak tahu apa yang dia katakan pada Lan Zhan, tapi dia tetap saja memincingkan mata. Dia ragu bahasa Perancis Lan Zhan-lah yang membuat pelayan perempuan itu bersemangat. Tak diragukan lagi dia merasa tergila-gila pada Lan Zhan. Aku sedang kencan dengannya, batin Wei Ying dengan pahit. Syuh. Pergilah.

Yang Lan Zhan lakukan hanya mengangguk pada pelayan itu, kembali memusatkan perhatian ke Wei Ying begitu selesai memesan. Setelah si pelayan pergi, Wei Ying pun menghentikan pelototannya.

"Aku tidak tahu kau bisa bahasa Perancis," gumamnya. "Apa ada bahasa lain yang kau bisa?"

"Hm. Bahasa Jepang, Italia ... Latin. Dan beberapa yang lain."

"Latin?"

Lan Zhan mengangguk.

Kenapa Wei Ying masih terkejut sampai saat ini? Memangnya ada sesuatu yang tidak bisa dikuasai Lan Zhan? Lelaki itu benar-benar tampan, kaya, bagus dalam bermusik, cukup pintar sampai menjadi dosen universitas, dan dia juga bisa bicara dalam beberapa bahasa. Daftarnya semakin lama akan semakin panjang.

Itu mengesankan, walaupun itu membuatn Wei Ying penasaran kenapa Lan Zhan malah pergi kencan dengan dirinya di antara begitu banyak orang lain. Apabila (entah dengan alasan yang tidak bisa dimengerti) dia memang menyukai Wei Ying ... bagaimana bisa? Dibandingkan dengannya, Wei Ying tidaklah begitu spesial. Malah benar-benar sebaliknya. Mereka berdua sangatlah tidak cocok.

Sejak awal, Lan Zhan selalu mau membantunya. Sialan, bahkan sejak pertama kali bertemu, Lan Zhan tidak ragu menanyakan pada Wei Ying kalau dia ingin diantarkan pulang. Sejak saat itu dia selalu muncul di mana-mana, seorang gentleman yang sempurna.

Mungkin dia memang sebaik ini ke semua orang. Jangan berpikir berlebihan.

Dia mengangguk sendiri. Entah karena alasan apa, dia tidak seharusnya memusingkan itu. Setidaknya jangan malam ini.

Tak lama kemudian, hidangan pembuka mereka telah tiba. Wei Ying terkejut, foie gras yang dia pesan bukanlah benar-benar rumput atau semacam sayuran. Dia tidak tahu apa itu saat pertama melihatnya; mungkin semacam daging mengilat? Penasaran, dia memotong sebagian dan memakannya.

Alis Wei Ying terangkat. Gigitan itu serasa lumer dalam mulutnya. Ada rasa mentega pekat yang nyaris lembut di lidahnya, diikuti dengan rasa asin. Sausnya juga dihidangkan dengan baik; lebih mengarah ke manis, tapi bisa mengimbangi rasanya dengan baik.

"Ini enak," ujar Wei Ying. Dia menawarkan sepotong kecil untuk Lan Zhan dengan garpunya. "Ingin coba? Aku janji kali ini tidak pedas."

Lan Zhan mencondongkan badannya ke depan dan Wei Ying menyaksikan bibirnya melingkupi garpunya. Dia duduk tegak kembali, mengunyah dengan perlahan. Setelah sekian lama, dia mengangguk setuju. Lan Zhan juga membiarkan Wei Ying mencicipi apa yang dia pesan, yang mana berupa kue tarcis keju kambing dengan zaitun dan tomat kering. Wei Ying benci zaitun; dia bersyukur Lan Zhan memberinya segarpu penuh tanpa benda menjijikkan itu.

"Tidak buruk," ujar Wei Ying, mengangguk juga.

Hidangan utama mereka datang tak lama setelah mereka menyelesaikan hidangan pembuka. Begitu makanan itu diganyang dengan begitu sukacita, Wei Ying baru tersadar bahwa dia sudah melupakan hal terpenting yang harus dilakukan saat sedang kencan.

"Tunggu! Jangan makan dulu!" seru Wei Ying. "Aku harus post ini di Instagram dulu!"

Lan Zhan mengerutkan kening, menaruh garpunya. "Instant ... gram?"

Wei Ying mengangguk, menjepret makanannya dari berbagai sudut. Apa bagusnya pergi kencan kalau tidak bisa memamerkannya secara online?

"Yeah, kau punya akun kan?" ujarnya. "Mau lihat?"

Sambil tersenyum lebar, Wei Ying menunjukkan foto yang baru saja dia upload di Instagram. Bukannya bermaksud menyombong, tapi Wei Ying punya banyak followers sehingga tidak mengejutkan lagi kalau sudah ada banyak like dan komentar di postingannya dalam hitungan detik.


[t/n: wei.cuterthanu bacanya mirip way cuter than you, artinya jauh lebih imut daripada kamu]


Lan Zhan menatapnya seperti terhibur. Sepanjang sisa waktu makan, mereka membicarakan apa saja. Wei Ying bertanya bagaimana kabar SiZhui di Gusu; Lan Zhan memberitahunya bahwa pemuda itu baik-baik saja, menikmati tinggal bersama kakaknya. Lan Zhan membiarkan Wei Ying mencicipi salmon yang dia pesan, dan Wei Ying berkomentar bahwa rasanya akan jauh lebih enak kalau ada cabai di atasnya. Dan benar saja, Lan Zhan tidak sependapat.

Begitu mereka selesai makan (termasuk hidangan pencuci mulut juga), Wei Ying hampir tidak bisa berjalan. Dia mengerang, menepuk perutnya sambil meninggalkan restoran. Dia bahkan tidak mau melihat tagihannya. Lan Zhan bersenang hati (atau, well, dengan wajah datar) mengeluarkan kartu kredit dan membayar semuanya.

"Aku kenyang sekali, Lan Zhan! Tadi benar-benar enak," ujar Wei Ying, menggandeng lengannya lagi.

"Hm."

Wei Ying memindai sekeliling. Sekali lirik pada ponselnya dan dia tahu sekarang sudah hampir jam delapan malam. Apa waktu memang berjalan secepat itu?

"Cleveland kelihatan indah saat malam. Seingatku dulu aku suka berjalan di sekitar sini saat gelap." Dia menarik lengan Lan Zhan. "Ayo ke alun-alun. Selalu ada yang terjadi di sana."

Jika ada satu hal yang Wei Ying sukai tentang kehidupan di perkotaan; itu adalah cahaya benderang saat malam. Walaupun dia tidak lagi menyukai kekacauan dan kebisingannya, Wei Ying selalu menyukai semua warna-warni cahaya lampu malam. Terkadang jika dia tidak sedang tenggelam dalam mengoreksi pekerjaan murid, dia akan meninggalkan apartemennya dan berjalan-jalan di sekitar Gusu. Kehidupan malam di sana tidak ada bandingannya dengan Cleveland tapi cahaya terang yang menyinari kegelapan juga begitu cantik.

Alun-alun ini dipenuhi kehidupan seperti biasa, lebih dari yang diingat Wei Ying. Dia pun tahu alasannya tak lama kemudian. Wei Ying menarik lengan Lan Zhan dengan senang, menunjuk ke bagian tengahnya.

"Lihat! Mereka punya lapangan seluncur es!" ujarnya sambil meloncat-loncat. Dia sudah bertahun-tahun tidak skating. "Kau pernah skating, Lan Zhan?"

Lan Zhan menggelengkan kepala.

"Kalau begitu, ayo!"

Wei Ying menariknya ke arena, dan tidak lama kemudian dia sadar bahwa Lan Zhan—di luar segala talenta dan kesempurnaannya—ternyata tidak bisa skating. Anggota tubuhnya terlalu panjang dan kaku; dia berdiri di sana memandangi Wei Ying seperti anak anjing yang tersesat. Entah kenapa, melihat dia kesulitan ice skating selagi mengenakan setelan jas mewah malah membuat Wei Ying meledak tertawa.

"Aaw, Lan Zhan, sekarang akhirnya aku melihat sesuatu yang tidak kaubisa!" godanya, tertawa saat lelaki itu malah memincingkan mata. Wei Ying mengedipkan sebelah mata dan berputar beberapa kali di sekelilingnya, bahkan tidak menyembunyikan fakta bahwa dia sedang memamerkan kemampuannya. Tidak sekali pun pandangan Lan Zhan terlepas darinya, mengikutinya mengitari arena es sambil berputar-putar dan tertawa.

"Kau hebat," ujar Lan Zhan. Dia tersandung sedikit, dan selama sedetik, Wei Ying mengira lelaki itu akan jatuh tepat di pantatnya. Untung saja dia kembali menyeimbangkan diri.

"Jiang Cheng dan aku dulunya sering pergi ke arena es di Gusu sepanjang waktu. Dia selalu kesal karena aku lebih baik darinya sehingga aku mencoba mengajarinya bagaimana caranya skating," Wei Ying menjelaskan. Dia mengulurkan tangan, bergegas ke arah Lan Zhan. "Sini, pegang tanganku."

Lan Zhan berpegangan padanya, nyaris tersandung maju. Sambil tertawa kecil, Wei Ying menyeimbangkannya.

"Jangan khawatir. Seimbangkan dirimu, Lan Zhan. Aku akan menjagamu." Sebagai bukti, Wei Ying mengeratkan genggaman tangannya, meluncur beberapa langkah ke belakang dan perlahan menarik Lan Zhan bersamanya. "Lihat, kan? Tidak buruk juga, huh? Tetaplah berpegangan padaku."

Bibir Lan Zhan berkedut sedikit. "Oke."

Dia tersandung lagi, hampir berbenturan kepala dengan Wei Ying.

Saat itu Wei Ying baru menyadari betapa dekat tubuh mereka berdua. Dia terus menatap wajah Lan Zhan, mencari reaksi apa pun. Setelah tak menemukan apa-apa, dia pun perlahan melingkarkan lengannya ke sekeliling leher Lan Zhan dan menariknya sedikit lebih dekat lagi.

"Pegang pinggangku," ujar Wei Ying lirih.

Jantungnya berdegup kencang memukul rusuk saat Lan Zhan benar-benar melakukannya. Dia bertemu pandang dengan Lan Zhan selama sedetik lamanya dan bergegas mengalihkan pandangan, wajahnya memanas dalam hitungan detik. Ini gawat, pikirnya. Ini gawat, sangat gawat.

Rasanya seperti semua film romantis yang selalu dia tonton bersama Wen Qing; film sama yang pada akhirnya dia tangisi karena kenapa hidup tidak bisa seperti itu? Di mana Pangeran Mempesona miliknya yang menggendongnya a la bridal style? Lan Zhan tidak sedang menggendongnya seperti itu karena dia tidak bisa skating, tapi fuck, jantung Wei Ying tidak bisa berhenti berdegup kencang. Beginikah rasanya kalau ada kupu-kupu dalam perutmu? Dia bisa-bisa memuntahkan foie gras kalau begini terus.

"Kau sudah mulai bisa," gumam Wei Ying. "Kau ingin kulepaskan?"

"Tidak."

Terkejut, Wei Ying menunduk, berusaha keras menyembunyikan senyum yang merekah di bibirnya. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk tidak mencari tahu apa perasaan ini dan lebih memilih untuk menyandarkan kepalanya di pundak Lan Zhan, mata terpejam.

Hanya ada keheningan, tapi dia mulai menyukai keheningan semacam ini bersama Lan Zhan. Rasanya nyaman dengan seseorang meskipun dia menyerocos tanpa henti atau tidak punya apa pun untuk dikatakan. Wei Ying mengarahkan mereka berkeliling lingkaran, mendengarkan suara lembut napas Lan Zhan.

Mereka bisa saja terus seperti itu selamanya dan itu rasanya tetap tidak cukup bagi Wei Ying. Bahkan saat mereka meninggalkan arena es, mereka masih berpegangan tangan. Pikiran Wei Ying lebih kacau dari biasanya. Tanpa tujuan, mereka berjalan-jalan mengitari alun-alun. Sekali ini dia tidak tahu harus berkata apa di sekeliling Lan Zhan karena semua kalimat koheren dalam otaknya sudah tenggelam dalam jeritan mental tanpa henti dalam hatinya. Denyut nadinya tidak mau tenang dan dia cukup yakin Lan Zhan bisa merasakan betapa berkeringat telapak tangannya. Dia melirik lelaki itu dari sudut mata, tahu betul bahwa dia sedang menunggu Wei Ying mengatakan sesuatu.

Wei Ying tidak ingin kencan ini berakhir—tapi sekarang sudah cukup larut. Mereka seharusnya kembali, bukan?

Dia menghentikan langkahnya, menunduk menatap tanah.

"Hari ini menyenangkan. Aku sudah bersenang-senang denganmu, Lan Zhan," ucapnya, memaksakan diri untuk menatapnya langsung. "Kurasa kita harus ... kita harus kembali, bukan? Sekarang sudah agak larut."

Tidak ada yang bergerak. Lan Zhan menatapnya begitu intens sampai-sampai Wei Ying bisa saja mengetahui apa yang ingin dia katakan—tapi tentu saja, dia tidak bisa. Lan Zhan selamanya menjadi misteri. Wei Ying menjilat bibir dan menunggu.

Semilir angin lembut berembus ke arah mereka. Wei Ying pun menggigil, bergeser makin dekat ke Lan Zhan yang hangat, dan tinggi, dan baik. Sebagai balasan, Lan Zhan juga bergerak mendekat, menundukkan kepalanya sedikit.

Persetan, batin Wei Ying, menyambar dasi Lan Zhan dan menariknya turun untuk bertemu bibirnya.

Sedetik. Sedetik mereka berdua sama-sama membeku. Kemudian, saat Wei Ying membatin sial sial sial, Lan Zhan sudah memegangi pinggangnya dan menempelkan bibir mereka bersama. Rasa leganya begitu kuat dan kupu-kupu serasa sedang berlomba lari dalam perut Wei Ying. Kedua lengannya melingkar di leher Lan Zhan dan semakin merapat ke dadanya, matanya terpejam.

Bibir Lan Zhan lebih lembut dari yang dia kira. Ciuman itu awalnya lembut, seolah-olah mereka memiliki seluruh waktu di dunia dan semuanya, segalanya di sekeliling mereka tidak lagi penting. Suara kecil lolos dari bibirnya saat dia merasakan lidah Lan Zhan menerobos masuk ke dalam mulutnya; selama sedetik, Wei Ying seakan-akan menjadi remaja lagi dan ini adalah ciuman pertamanya, ciuman pertama yang membuat jantungnya berdegup kencang, ciuman pertama yang membuatnya menginginkan lebih. Dia semakin merapat, membenamkan tangannya ke rambut panjang Lan Zhan dan menggumam puas di bibirnya. Dan sekarang, ciuman itu tidak lagi lembut. Dia sadar bahwa dirinya sedang berusaha dengan canggung mengimbangi setiap buaian dan rasa dari lidah Lan Zhan. Lewat desakan itu, dia samar-samar menyadari getaran di tubuh Lan Zhan, jemarinya semakin mengerat di pinggangnya.

Wei Ying mendesah di mulutnya. Dia lupa bahwa mereka sedang berada di tengah alun-alun. Dia ingin lebih.

Wei Ying selalu penasaran seperti apa rasanya saat ada letupan-letupan saat mencium seseorang; dalam arti benar-benar menikmati seperti orang di film-film romantis. Sekian lama ini, dia mulai merasa bahwa film-film itu hanya melebih-lebihkan saja. Ciuman hanya ciuman; basah dan membosankan.

Tapi tidak. Ini enak. Terlalu enak. Wei Ying-lah yang pertama menarik diri, kewalahan, merona begitu parah sampai kepalanya terasa akan meledak.

Dia mengangkat tangannya yang gemetar ke bibir, napasnya terengah-engah.

"Oh. Um. Maaf," gumamnya. "Aku ... Aku ... Kau tidak keberatan, kan?"

Lan Zhan tidak menjawab. Matanya seperti kobaran api keemasan. Malahan, dia memberi Wei Ying seulas senyum langka; dan seolah-olah itu belum cukup untuk membuat jantung Wei Ying berhenti, Lan Zhan mengelus pipinya, menariknya ke ciuman lagi.

Wei Ying tersenyum dalam ciuman itu. Dia akan anggap itu sebagai jawaban tidak.

Mereka berciuman sampai Wei Ying merasa pusing dan tidak bisa lagi bernapas. Sampai titik ini, dia sudah menarik pita yang mengikat rambut Lan Zhan dan dengan bahagia membenamkan jemarinya ke rambut itu. Mereka melepaskan diri setiap beberapa menit, dan Wei Ying tertawa malu, dalam hati ingin memukul dirinya sendiri karena bertingkah seperti remaja yang dimabuk cinta.

Tidak terlalu buruk, tidak saat Lan Zhan menghadiahinya seulas senyum dan menariknya lagi untuk berciuman beberapa kali berturut-turut. Dia tidak lelah dengan cara Lan Zhan menciumnya; lembut di awal, kemudian seolah-olah pengendalian dirinya perlahan menghilang dan berakhir dengan Wei Ying terengah-engah kehabisan napas, lututnya melemas.

Begitu dia yakin mereka sudah berdiri di sana dan bercium-ciuman selama lima belas menit, Wei Ying pun menekankan jarinya ke bibir Lan Zhan dan tertawa. Dia tidak bisa menghentikan cengiran di wajahnya dan bagaimana tatapan Lan Zhan melembut saat mendengar tawanya, nyaris membuat Wei Ying ingin menariknya dan menciumnya lagi.

Dia mengendalikan diri dan berbisik di telinga Lan Zhan.

"Ayo pulang, Lan Zhan," ujarnya. Kupu-kupu di dalam perutnya benar-benar seperti mati karena gagal jantung. "Aku ... Aku rasa melakukan ini di tempat umum bukanlah ide bagus."

Dia menarik diri, menegang saat melihat tatapan lapar di mata Lan Zhan. Tangannya di pinggang Wei Ying mengencang.

"Kita bisa lanjutkan ini di hotel," Wei Ying berjanji. Dia sulit bicara saat napasnya serasa tersangkut di tenggorokan. Dia menjilat bibir, tidak melewatkan bagaimana pandangan Lan Zhan mengikuti lidahnya.

Wei Ying mengelus rambut Lan Zhan, menatap matanya lekat-lekat. "Aku juga menginginkanmu."

Lan Zhan menarik napas dalam-dalam. "Pegang kata-katamu," ujarnya. Suaranya lebih serak, lebih kasar. Hampir saja membuat Wei Ying membatin persetan dengan asusila publik dan menyarankan mereka bisa melakukannya di atas rumput di sini.

Dia sudah hilang kemampuan untuk bicara. Satu-satunya yang bisa Wei Ying lakukan hanyalah melepaskan diri dari Lan Zhan, menyambar tangannya dan menyeretnya ke jalanan menuju hotel mereka.



--



--

Bersambung



( ͡° ͜ʖ ͡°)( ͡° ͜ʖ ͡°)( ͡° ͜ʖ ͡°)


Continue Reading

You'll Also Like

231K 34.7K 63
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
433K 34.6K 65
"ketika perjalanan berlayar mencari perhentian yang tepat telah menemukan dermaga tempatnya berlabuh💫"
150K 15.2K 39
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...
43.2K 3.1K 47
"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layakn...