TUGAS WATN

By NamikazeHana

65 4 0

Kumpulan tugas-tugas dari grup LINE WATN More

Tugas 1

Tugas 2

22 1 0
By NamikazeHana

Tugas 2 : Cerpen
Tema : Kesempatan

The Historix

AC dingin dari bus kuning yang ditumpangi oleh dua puluh satu siswa harusnya tidak dinyalakan ketika salju turun. Bising suara percakapan dari segala penjuru, kecuali di sisiku yang kosong melompong. Kaca berembun hingga sulit bagi mata ini menganalisis posisi saat ini. Lagi pula guru sejarah dengan senang hati membuat peta dengan teliti. Tidak asal ambil dari internet, dibuat sendiri lebih seru ketimbang copy paste katanya.

Musim dingin di Scharat, kota penuh dengan mistis katanya. Dalam rangka kegiatan sekolah, aku terpaksa ikut ke sana. Mantel super tebal sudah kupakai, teman-teman masih bertahan dengan cuaca dingin. Iri sekali aku dengan mereka. Seandainya aku tidak begitu sensitif dengan suhu di luar ruangan. Serius, AC ini harusnya diganti jadi penghangat!

"Inikah tempatnya?" bisik-bisik orang di depanku.

Aku sontak menengok ke arah jendela. Gedung putih tanpa noda, kecuali gundukan salju di atasnya. The Historix, museum yang baru dibuka untuk umum setelah lima tahun pembangunannya selesai. Entahlah apa yang membuat bangunan bersejarah ini lama dibeberkan pada publik. Aku tidak begitu tertarik mencari tahu.

"Turunlah dari bus berpasang-pasangan. Kalian boleh memisahkan diri dan mencari tour guide pilihan masing-masing," ujar Mrs Sydney. Wanita muda dengan kacamata merah itu mendekap erat papan dada berisikan papan tulis.

Aku melirik ke samping. Kosong, tidak ada pasangan. Mrs Sydney akan khawatir jika aku pergi sendirian. Namun, bersembunyi di bus pun membuatku tidak nyaman dengan udara dingin AC dan bau keringat bercampur pengharum kopi yang amat tidak cocok. Kali ini aku merutuki Waner, laki-laki itu harusnya bisa menunda demamnya!

"Rachie, semua sudah ke bawah, kenapa kamu tidak? Kamu baik-baik saja?" ujar Mrs Sydney.

Aku menggeleng lemah. "Aku baik, Mrs. Hanya saja pasanganku tidak ada. Bolehkah aku berjalan sendirian?"

"No!" sanggah cepat wanita tersebut, "kalau kamu tidak malu. Jalan saja dengan wali kelasmu ini."

"Maafkan aku, Mrs. Tahu rumor yang beredar tentangku? Aku tidak ma—"

"Aku tidak menerima tolakan dalam hal apa pun. Lagipula Mrs Sydney yang hebat dan cantik ini tahu seluk-beluk The Historix." Aku memaksakan tersenyum. Padahal aku tahu, kecemburuan sosial akan terjadi. Terlebih pada mereka yang menyatakan mataku melihat segalanya, tanganku yang terkutuk atau pendengaranku mengubah segala hubungan yang ada.

Untuk sekarang, aku tidak mau memedulikan hal itu dulu. Kami masuk ke dalam museum dan menjadi perhatian sebagian murid. Mrs Sydney tersenyum, kebiasaannya. Berdongeng bagaimana dan sejarah mengenai apa yang kuperhatikan. Dia begitu ekspresif.

"Rachie, di antara semua artefak yang tersisa. Tahukah kamu apa yang paling berharga dari tempat ini?" tanya Mrs Sydney.

"Emm ...." Aku menggeleng. Percuma saja menerka satu per satu. Bagiku semua yang terlihat sama-sama berharga. Jika tidak, kenapa semua benda-benda itu ada di The Historix.

"Gedung ini dibangun lima tahun lalu untuk mengenang Historix School. Kecerobohan saat menulis, pendirinya masih anak-anak. Percaya?"

"Historix School?"

Mrs Sydney lalu berjalan, aku tidak tahu ke mana. Di tengah-tengah ada dua belas patung anak. Laki-laki dan anak perempuan yang di tengahnya pun menjadi perhatianku dibanding patung lainnya. Entah yang kulihat ini salah atau sebaliknya, tetapi mata Mrs Sydney berkaca-kaca.

Aku memiringkan kepala; adakah yang membuatnya bersedih?

"Saat pembangunan, kesebelas murid Historix School ini menolak untuk dibangun museum. Biarkan itu jadi kenangan mereka saja. Sayangnya, walikota bersikukuh. Museum pun dibuka untuk umum sesuai perjanjian, hari ini.

"Historix, laki-laki yang memperjuangkan ilmu pengetahuan. Tanpa kerja kerasnya mereka dan juga kita semua tidak akan merasakan apa itu belajar seperti pada bangsawan. Jangankan itu, bahkan kita akan jadi manusia buta huruf seumur hidup," jelas Mrs Sydney padaku.

Sebelas? Bukankah jumlah muridnya dua belas? Apakah aku harus bertanya padanya? Informasi yang terlalu cepat, bahkan aku baru mengetahui jika Historix adalah nama orang!

Belum sempat suaraku keluar. Pekikan dari seberang sana mengganggu suasana. Mrs Sydney bertindak seperti ibu, dia memegang pundakku. "Ada sesuatu, kamu tunggu di sini."

Rintihan dari seorang gadis terdengar baik olehku. Entahlah apa yang terjadi, aku tidak peduli—karena mereka pun sama tidak pedulinya padaku—sudah ada Mrs Sydney yang menangani. Aku kembali melihat patung-patung unik.

Patung batu yang diukir sedemikian rupa, menyambung perasaan bagi kesebelas siswa. Historix, anak laki-laki yang masih kecil tetapi berjasa. Aku tahu menyentuh apa pun di museum tidak diperkenankan. Namun ada dorongan kuat dari hati pada tangan untuk menyentuh batu-batu ukir itu.

Patung Historix yang aku sentuh, begitu keras tetapi hangat mengalir ke hati. Bisik-bisik dari semua penjuru terdengar padaku. Ini menyebalkan. Akhirnya aku mau tidak mau melepaskannya.

oOo

Semua data sudah kucatat, biarlah Waner yang membuat laporannya. Dia harus menanggung tugas ini! Seenaknya sakit dan membuatku sendirian. Sejak aku memasuki bus, Mrs Sydney tidak lagi terlihat.

".... Aku kasihan pada gadis kelas sebelah. Bagaimana bisa salju ada di dalam ruangan dan membuatnya tergelincir?" Sayup-sayup kudengar suara tersebut, semakin lama semakin keras.

"Hei, tidakkah kamu berpikir Rachie yang melakukannya? Memang seharusnya dia tidak perlu ikut."

Aku bergeming. Semua hal yang tidak logis terjadi disangkutpautkan denganku seperti biasanya. Bahkan lupanya penjaga sekolah yang memegang kunci kelas pun pernah mereka sangkutkan padaku. Menyebalkan, bukan?

"Permisi, bolehkah aku duduk di sini?" Suara serak yang begitu dekat, tidak dikenali olah otak dan aku hanya membalasnya dengan anggukkan.

Suara mesin lalu mengikuti, kendaraan yang ditumpangi agak bergetar, pertanda mesin memanas. Namun, tidak mengerti kenapa enggan rasanya hati meninggalkan tempat ini.

Aku membuka mata dirasa mobil mulai berjalan. Pemandangan putih, monoton. Memang apa yang diharapkan dari awal musim dingin? Natal masih lama. Pantulan mantel merah dari kaca membuatku heran. Itukah orang yang meminta izin padaku?

Aku diam-diam meliriknya. Hidung mancung dengan bola mata hijau seperti daun di musim panas. Kulit pucat menyatu dengan musim dingin. Serta rambut pirang yang begitu nyentrik layaknya warna pisang segar di supermarket. Aroma kayu manis tiba-tiba tercium oleh hidungku. Entah kenapa membuatku lapar akan kue. Hey, Rachie, sadarlah! Orang di sampingmu bukan makanan. Aku lalu geleng-geleng, membenarkan apa yang ada di dalam benak.

"Apa ada yang salah dalam wajahku?" ucap laki-laki tersebut dan bodohnya aku pun menggangguk.

"Haha." Kedua mata itu bersembunyi. Senyum merekah membuat pipiku merona. Tidak pernah ada orang yang bertingkah aneh seperti ini. Sebelum ia melanjutkan, "Historix, itulah namaku."

"Hah?!"

Butuh beberapa detik otakku nyambung dengan kenyataan. Butuh lima menit pula aku meratapi diri ketika satu bus menertawakan, tidak ada Mrs Sydney membuat mereka lebih leluasa tertawa. Nama Historix jelas masih menempel dalam benakku. Itu patung. Bukan manusia.

"Kenapa kamu berteriak? Seperti baru lihat batu bicara saja," ledek laki-laki tersebut padaku. Dan jelas kamulah batunya, Historix.

"Maaf, aku baru sadar ada orang di sebelahku," balasku datar. Aku memilih membuang muka merah padam. Hati masih berdegup-degup, oh siapa pun tolong buat hatiku tenang. Jangan pinta dia memelukku, karena hatiku akan menjadi tidak waras.

"Mendengar ucapanmu, kamu enggak berniat punya teman?" Aku membelalak. Beraninya Historix gadungan ini menerka-nerka.

"Tidak, aku punya Waner. Dia tidak masuk, demam meminta dia tinggal," balasku ketus.

Historix kembali tertawa renyah, membuatku ingin mengambil satu egg roll dalam tas. "Ya, tapi Waner tidak ada. Aku juga lihat dengan jelas bagaimana kamu sendirian di museum, Rachie."

Aku menelan ludah atas pernyataan dan sapaannya. Aku tidak pernah menyebutkan nama, tetapi bagaimana bisa dia tahu?

"Jangan menatap seolah aku ini hantu, Rachie. Aku bukan cenayang. Tasmu ada namanya, kupikir itu namamu," jelas Historix dengan senyum yang kembali terpatri.

Aku bungkam. Mungkin imajinasiku saja yang terlalu gila.

oOo

Keesokan pagi, Historix muncul, tidak ada yang mempertanyakan. Seolah-olah mereka memang dekat sejak lama. Aku masih tidak paham, bahkan jika dia murid sekelas denganku, harusnya kami saling kenal. Kenyataannya tidak.

Aku memilih duduk diam tanpa membuka suara hingga bel sekolah berbunyi. Tepat, ketika itu terjadi seorang laki-laki membanting pintu. Semua mata hanya memandang ke sana sambil tertawa.

"Sehari sakit kamu tetap saja telat," cibirku ketika dia mulai berjalan mendekat dan duduk berdampingan denganku.

Waner hanya tertawa. Bola-bola biru itu seolah menenangkan, padahal mengesalkan. Dia yang membuatku sendirian kemarin!

"Jangan marah begitu, biar tugasnya aku yang mengerjakan. Rachie manis kalau memerah jadi ingin aku lahap," candanya.

Sesegera mungkin aku menjitak laki-laki itu. "Aku ingatkan, aku bukanlah makanan, Waner. Ngomong-ngomong, kamu mengenal dia?"

"Itu Sissy, kamu amnesia?"

"Bukan gadis kepang dengan kacamata serupa denganmu! Laki-laki jangkung itu, kamu kenal?" Waner tampak menopang dagu, dia menggeleng. Oh syukurlah bukan aku satu-satunya yang tidak tahu di sini!

"Kamu aneh, Rachie. Buat apa menanyakan orang yang kalau kamu enggak kenal pada kembaranmu ini?" balas Waner santai.

Aku meneguk ludah. Benar ucapannya. Kami besar bersama, pergaulan sempit dan saling membantu sejak pakai popok. Mengapa pula aku harus menanyakan Historix pada Waner?

"Ngomong-ngomong Miss Lucy hari ini tidak masuk ya?" Aku menaikkan alis. Sekarang lebih aneh.

"Tunggu? Sekarang jadwal sejarah, Waner!" sanggahku cepat.

"Nah, kamu pasti tidak cek grup kelas. Wali kelas tercinta di rumah sakit, bertanggungjawab pada kejadian—entah apa aku tidak tahu. Jadi pelajaran pun ditukar dengan Biologi."

Buru-buru aku membuka ponsel. Benda kotak berwarna merah yang kuanggap tidak penting, informasi bisa berdatangan dengan menunggu Waner berkicau.

Apakah ini ada hubungannya dengan Historix? Tunggu tidak mungkin.

"Ada yang harus aku bicarakan denganmu," ujar Historix yang entah kapan sudah berada di belakangku. Udara dingin menerpa kami. Jarak terhalang oleh Waner yang duduk di sampingku.

"Wow, Bung! Kalau kamu mau mengajak Rachie, Waner tampan ini pun harus ikut," balas Waner mewakiliku.

"Tapi ini hanya boleh diketahui oleh dia saja." Historix tetap bersikukuh dengan keinginannya, Waner pun tidak mau kalah.

Aku menggelengkan kepala. "Oke, Historix, aku akan mendengarkanmu. Waner, kamu masih harus mengerjakan tugas perjalanan kita."

"Ah, aku sudah mencatat hal penting untuk teks eksposisi," sela Historix. Mataku membelalak, kenapa jadi dia yang mengerjakannya? Historix yang lagi seperti cenayang kembali melanjutkan ucapan, "kemarin aku menemani Rachie, jadi aku pikir catatan ini bakal membantu."

Waner tidak mengeluarkan kata-kata sejak bibirnya maju beberapa sentimeter. Matanya berkilat pada Historix. Namun, ujung-ujungnya dia mengambil catatan milik Hisorix. Tidak lama laki-laki aneh itu menarikku keluar, menelusuri tangga yang mengarah pada atap. Dia harusnya tahu kalau di atas itu terlalu beresiko untuk terjatuh karena di sana terlalu banyak salju.

"Jadi ada apa?" tanyaku sambil melipat tangan di depan dada.

"Aku tahu, kamu satu-satunya orang yang sadar keanehan ini," jelasnya. Aku membelalak. Tunggu, dia mengakui kalau keberadaannya aneh?

"Sudah aku duga!" ucapku kesal, "kamu, kamu patung di museum The Historix, 'kan? Tidak mungkin nama kamu kebetulan sama dengan pendiri sekolah Historix."

Historix mengangguk. 'Sudah kuduga', kalimat itu berulang-ulang terucap dalam benak selagi aku menggeleng tidak percaya. Mulutku kembali berucap, "Bagaimana bisa?!"

Historix mengembuskan napasnya. Aku mencoba membayangkan bagaimana Historix berubah dari patung menjadi manusia berambut pisang segar. Namun, laki-laki itu menyangkalnya.

"Selama bertahun-tahun, jiwaku tersegel di sana. Aku tidak bisa ke Nirvana sebelum bertemu adikku," ceritanya.

Historix menceritakan jika pada zamannya, masih ada yang tidak suka atas perjuangannya menjunjung tinggi pendidikan. Mereka para bangsawan mengancam untuk memburu semua murid Historix. Aku bisa melihat ekpresinya yang lalu berubah menjadi murung. Namun kembali senyum terukir saat dia bilang jiwanya menjadi lepas dari sana ketika sekolahku datang.

Para bangsawan membunuhnya. Mengubur tubuhnya yang sekarat di bawah gedung Museum. Mereka membiarkan adiknya hidup sendirian. Satu penyesalan Historix yang tidak bisa menyampaikan pesan terakhirnya, salam perpisahan mereka.

"Tolong aku, Rachie. Aku merindukan adikku, Oliver. Bantulah aku mencarinya." Permohonan dan ceritanya mengusik hatiku.

"Tapi tidak mungkin mencari orang yang bahkan aku gak tahu seperti apa rupanya, Historix," tolakku.

Historix menggeleng. "Aku yakin, kamu dan Oliver terhubung, Rachie. Jika tidak, kenapa kamu tahu keadaan ini aneh?"

Aku bergeming membenarkan apa yang Historix katakan. Kenapa aku tahu keadaan ini aneh di saat semua merasa familier tanpa curiga?

oOo

Hampir tiga minggu aku meminta bantuan Waner mencari tahu tentang Historix sekaligus Oliver. Tidak ada informasi apa pun tentang mereka membuat otak buntu. Aku benar-benar membutuhkan Mrs Sydney sekarang. Tapi apa yang aku dengar sekarang?

"Wali kelas kita kena hukuman, mau bagaimana lagi. Mrs Sydney juga tidak bisa kita hubungi, Rachie," ujar Waner.

"Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Waner. Kamu tahu bagaimana Historix mengacak-acak kehidupanku! Tidak ada titik cerah untuk menemukan adiknya di antara puluhan ribu orang bernama Oliver. Artikel yang membicarakan Historix saja sedikit!

"Huh ... mereka menyembunyikan sejarah atau apa sih? Bahkan selain Mrs Sydney, tidak ada yang tahu soal Historix. Setidaknya mereka harus memberitahu kapan Mrs Sydney kembali," tegasku pada Waner dan Historix. Aku mengembuskan napas. Mengedarkan pandanganku pada perpustakaan yang sepi, tidak ada penjaga perpus; beberapa waktu lalu beliau meminta kami menjaga perpustakaan.

Buku-buku usang di antara lemari sudah hilang dan kami baca semua. Informasi yang dicari tidak ada. Memang sepelik apa sih kehidupan Historix sampai sejarah enggan menuturkannya pada sebuah data?

Aku lihat Historix duduk sambil menutupinya dengan buku paket sejarah. Dia berguman di sana, tidak terdengar jelas. Apa dia juga menyerah?

"Historix?" tanyaku hingga dia menjauhkan buku dari wajahnya. Menatapku dengan sendu. Namun Historix tidak sedikit pun menjawab dan malah sibuk menulis di atas buku. Aku lirik apa yang ditulisnya. Pelajaran sejarah, bahkan sudah jadi arwah penasaran pun Historix belajar? Padahal jika aku melirik orang yang menapak tanah di sebelahku malah sibuk memainkan ­game di ponselnya.

"Aku rasa kita harus berhenti," ujar Historix. Mataku membelalak. Aku coba menghidu kebohongan dari ucapannya, tapi percuma saja. Hidungku tidak bisa mengetahui kebohongan sebaik mataku menerawang.

"Terus kamu bakal jadi hantu gentayangan? Oh! Tidak, tidak! Aku rasa kamu belum tahu kalau hantu itu menyeramkan," tolak Waner.

Aku menggeleng. Sebagian kecil aku tidak setuju dengan pendapat sahabatku. "Harusnya kamu berkata seperti itu jika kita belum sejauh ini."

"Tenanglah, Waner, aku tidak akan menjadi hantu. Aku ingin kita berhenti, karena waktuku tidak akan lama lagi."

Awalnya aku ingin menganggap apa yang Historix katakan hanyalah candaan. Tetapi memasuki minggu keempat dia menghilang. Jelas aku mengingat selama satu minggu sebelumnya Historix seperti lampu flip-flop, sekejap ada sekejap itu pula dia menghilang. Waner tidak banyak tanya. Tidak, bahkan aku merasa aneh dengan laki-laki itu.

Aku membuka buku sejarah dan mencatat bahasan penting yang menjadi tugas belakangan ini. Mrs Sydney mungkin tidak akan kembali, bahkan terlambat sudah untuk aku mengetahui siapa Oliver. Historix sudah menghilang, di atas data juga dari pandanganku.

"Rachie," panggil Waner, "kenapa Mrs Sydney menyuruh kita mengumpulkan tugas laporan perjalanan? Memangnya kita pernah pergi?"

"Kita udah buat kok, Waner. Masa kamu lupa?! Kamu tidak ikut ke museum karena demam," jelasku sambil geleng-geleng. Kembali aku membaca buku sejarah tanpa menghiraukan ekspresi Waner saat ini.

"Kapan? Teman-teman sekelas saja bingung."

Serius! Aku menatapnya dengan tajam. Tidak mungkin dia lupa. Aku mencoba kembali bertanya, "Waner kamu tahu Historix?"

"Siapa? Teman barumu? Kenapa tidak kamu kenalkan padaku?" Kali ini aku benar-benar terperanjat. Berdiri dari tempatku duduk dan menarik kerah bajunya. Aku coba lihat kedua mata samuderanya itu. "Kamu kenapa sih, Rachie?"

"Waner, masa iya kamu melupakan ...."

"Selamat pagi murid-murid, duduklah dengan rapi sebelum kita memulai pelajaran." Apa lagi ini? Aku mencoba memperhatikan seorang guru di sana. Entahlah aku harus bahagia atau marah, hati ini sudah tercampur aduk. Mrs Sydney ada di sana.

Waner meminta aku melepaskan cengkaraman, dia lalu duduk di bangkunya kembali. Sementara Mrs Sydney memanggil kami satu per satu. Hingga dia berheti di satu nama yang membuat semua anak, kecuali aku, melipat dahinya sendiri.

"Historix?" Aku bisa melihat matanya membulat sempurna, butuh beberapa detik sampai guru sejarah tersebut mengucap nama lain. Mrs Sydney tidak menunggu absen Historix, mungkinkah dia juga tidak peduli? Tunggu tidak begitu.

Mrs Sydney sempat menghiraukan namanya. Aku bukan satu-satunya yang menyadari hal ini! Kembali Mrs Sydney melantunkan melodi mimpi buruk tentang tugas laporan perjalanan dan rangkuman. Semua serentak mempertanyakannya, tetapi tetap pada putusan. Tugas diganti, semua sepakat dan mengerjakan tugas.

Tidak lama, Mrs Sydney memanggilku ke ruangannya. Kesempatan bagus untuk bertanya. Di ruangan minimalis Mrs Sydney, dia menyodorkan kertas absensi ke arahku.

"Sejak kapan ada murid baru dikelasmu, Rachie?"

"Dia bukan murid baru. Jangan menatap aku horor begitu, Mrs. Dia itu hantu, aku tahu Mrs Sydney tidak percaya. Namun, Mrs, dia benar-benar Historix!" Penjelasanku tidak berakhir di sana. Aku menceritakan bagaimana Historix duduk di sampingku kala pulang dari museum. Memintaku untuk mencari adkinya dan berakhir dengan Waner yang seolah lupa. "Dia ingin menyampaikan pesan bahwa 'aku sangat menyayaingi adikku. Maaf karena meninggalkanmu sendirian dan terima kasih untuk masa-masa bahagia itu.'"

"Tidak mungkin, itu sudah lama sekali kejadiannya ...." Aku tiak paham. Mrs Sydney lalu menarik absensi itu mendekat. Mengetukkan pena tepat pada nama Historix.

"Mrs Sydney kenal Historix?" Spontan pertanyaan itu keluar dari mulutku.

Aku lihat matanya yang berkaca-kaca lalu mengangguk. "Dia ... kakaknya Mrs, Rachie. Orang yang kalian cari selama ini."

"Apa?!" ucapku agak berteriak tidak memercayai apa yang kudengar.

"Sulit dipercaya ya? Mrs terpaksa mengubah nama sejak diadopsi keluarga kaya. Menikah dan berganti nama keluarga," jelas Mrs Sydney. "Rachie, terima kasih kamu sudah menyampaikan pesannya padaku."

oOo

"Rachie!" Aku terperanjat dan segera membuka mataku lebar-lebar. Mataku begitu panas dan perih seakan baru saja menangis. Kulihat sekeliling menatapku begitu aneh. Tunggu kenapa aku bisa di kelas? Aku yakin, tadi aku masih di ruangan Mrs Sydney. "Sudah kubilang jangan tidur di kelas sejarah."

"Kelas sejarah?" gumamku. Sosok wanita yang berdiri di hadapanku bukan Mrs Sydney. Lalu siapa? Padahal teman sekelasku masih sama. Ada Waner pula di sana.

"Rachie, sekarang tulis rangkuman bab 9, 10 dan 11. Itu hukumanmu!" ujar guru tersebut dengan garang. Aku hanya diam menunduk. Apa benar yang aku alami hanya mimpi belaka?

Aku membuka buku tulis. Jelas tulisanku masih sama seperti terakhir kali. Ah sudahlah! Mungkin memang aku hanya bermimpi. Lebih baik aku kembali bekerjasama dengan buku dan pena. Terselip sekilas tempelan kertas di antara halaman terakhir bukuku, aku tidak pernah memakainya. Aku ambil tempelan kertas dengan pena biru yang menimpanya.  

"Terima kasih telah membantuku, Rachie. Dapatkah kamu melihat apa yang kulihat? ---Historix"

Aku menutup mulutku sendiri, tanpa sadar air mataku menetes perlahan. Tulisan itu persis dengan tulisan Historix yang kulihat di waktu yang telah berlalu. Ini tidak mungkin mimpi. Aku yakin. Namun, apa yang terjadi dalam tiga bulan terakhir masih simpang siur didengar mereka. 

Tidak peduli seberapa banyak aku menggali informasi tentang tiga bulan terakhir, jawaban mereka tetap serupa. Tidak ada yang berbeda, terlalu meyakinkan dan semua mengira aku yang bermimpi. Bukti kuat karena aku sempat terlelap di kelas sejarah. Waner menghampiriku ketika bel pulang berbunyi.

"Kamu aneh," ucapnya, "sempat-sempatnya tidur di kelas sejarah."

Aku mengembuskan napas, "justru yang aneh di sini kalian. Kenapa bisa-bsany kalian melupakan Historix?"

"Itu kan emang gak ada, Rachie. Seberapa kali aku mencari nama Historix, Google hanya menampilkan kata paling mendekati History. Jadi wajar dong aku gak tau," balas laki-laki tersebut padaku.

"Ya, setidaknya tugas karyawisata, Mrs Rachie tiadkak kalian lupakan." Sindiranku seperti angin yang berlalu, bahkan Waner tidak menanggapi ucapanku.

Tangannya yang dua kali tangan seorang gadis malah menetap di atas rambutku. Mengacak-acak pelan sambil tertawa ringan padaku. "Kamu mungkin kelelahan."

Aku geram sekaligus jengah dengan sikapnya. Aku turunkan tangan Waner lalu mengambil buku catatan. Jelas-jelas tulisan Historix ada di sana. Waner meliriknya dengan seksama. Aku harap dia memercayaiku sekarang. 

"Bagaimana?"

Alis matanya saling mendekat. Tidak lama dia melirik ke arahku, "Aku bingung, kamu mau nujukkin apa dari catatan kosong itu, Rachie."

oOo

Continue Reading

You'll Also Like

17.4K 586 27
روايه اماراتيه تتكلم عن مثايل وحيده امها وابوها الي عانت من الم الانفصال الام : نوره الاب : محمد تاريخ الكتابه : 19/3/2023 تاريخ التنزيل : ..
339K 9.3K 70
Everybody knows the Dutton Family but none of them have made a name for themselves quite like the youngest, Mae Evelyn Dutton. She's a force to be re...
5.3M 46.3K 57
Welcome to The Wattpad HQ Community Happenings story! We are so glad you're part of our global community. This is the place for readers and writers...
186K 6.9K 13
2 tom dylogii ,,Agony"