[Selesai] Perfectly Imperfect

By twelveblossom

173K 17.6K 6.4K

Sempurna. Bagaimana jika Nayyara Judistia Putri Hartadi menjadi perempuan yang paling sempurna bagi Javas? Ja... More

0. Tokoh Yang Ada
1. Titik Awal
2. Bertemu Pilihan Lain
3. Soal Cemburu
4. Bersamamu itu Segalanya
5. Melewati Batas
6. Alasan Yang Keliru
7. Jalan Pintas
8. Dia Yang Kelabu
9. Kamu dan Buku yang Tertutup
11. Tentang Rindu
[GIVEAWAY] HI DECEMBER!
12. Terikat Asa
13. Dua Peran
14. Sebuah Permainan
15.1. Menjadi Kita
15.2 Menjadi Kita
16. The Heaven
17. Yang Diperbaiki, Tidak Ada
18. Kenangan Untuk Yang Pergi
19. Untuk Melepaskan
20. Bicara Soal Pernikahan
21. Bagian Terbaik Dalam Hidupku
22. He Brings The Heaven To Her
23. Terluka dan Kembali Sembuh
24. Rumah Kita
25. Perasaan Yang Terombang-Ambing
26. Lebih Dari Ego
27. Hiruk Pikuk
28. Katanya, Cinta Itu Mengusahakan Segalanya
29. Membakar dan Terbakar
30. Ketenangan Yang Sebentar
31. Kita Akan Bicara Besok
32. Yang Ditunggu Datang Juga
33. Sebelum Kelahiran Bintang Yang Ditunggu
34. Comfort Zone (Final)
35. Bagaimana Kalau Berlanjut? (S2 Perfectly Imperfect)
36. Mereka Pun Mulai Bahagia

10. Meragukan dan Diragukan

3.4K 458 169
By twelveblossom

"Bukan masalah meragu. Tapi, orang yang sungguh-sungguh mencintaiku tidak akan lelah untuk meyakinkan aku yang meragu kapan pun itu."

-oOo-

"Apa kamu ingin kita putus karena aku mungkin tidak bisa melahirkan?" Ucapan Nara itu menjadi satu bilah pisau yang langsung mengarah kepada Javas.

Javas menyadari keraguan dalam suara Nara. Gadis itu selalu ragu akan dirinya, kasihnya, dan seluruh perhatian yang Javas berikan. Seolah Javas memberikan segalanya dengan maksud tertentu, padahal pria ini sangat tulus. Javas jelas tersinggung saat Nara mempertanyakan mengenai dalamnya perasaannya.

Nara mengira Javas akan dengan mudah meninggalkannya hanya karena gadis itu sakit. Apa Nara mengira cintanya sedangkal itu? Setelah semua yang Javas korbankan, dia mengira Nara bisa merasakan kesungguhannya. Namun, Nayyara Judistia Putri Hartadi tetap memandang sebelah mata kasih sayang yang selama ini diberikan Javas. Javas marah karena hal tersebut.

Javas memberikan tatapan serta ekspresi dingin kepada gadis itu. Dia lelah selalu menjadi pihak yang meyakinkan, sementara Nara terus meragu.

"Javas," panggil Nara. Dia meraih tangan kekasihnya yang terkepal. "Aku minta maaf karena tidak sempurna," lanjutnya.

Sampai kapan, Nara? Sampai kapan kamu tidak menghargai dirimu sendiri? Javas hanya membalas lewat pikirannya. Javas lelah menguraikan betapa ia tidak membutuhkan kesempurnaan, dia ingin Nara―hanya Nara berada di sisinya, membalas cintanya, dan bahagia.

"Jawab aku, Javas," pinta Nara, memohon dengan suara berduka.

Javas meraup wajahnya. "Apa kamu kira aku bisa mengakhiri perasaanku setelah merasakannya sekian lama, Nara?"

"Aku ... aku takut kamu pergi. Aku takut ditinggalkan." Nara mendekati Javas. Gadis itu menekan harga dirinya pada titik paling bawah. "Aku berusaha untuk menolak kamu karena ada kemungkinan tidak dapat memberikanmu keturunan. Tapi, pada akhirnya aku tidak bisa. Aku terlalu cinta sama kamu ... aku ... aku tidak sanggup melihat kamu pada akhirnya pergi dari sisiku," Nara menjelaskan dengan terbata-bata karena dia mulai menangis.

"Apa kamu pikir aku sejahat itu, Nara?" Javas terluka menyadari cara Nara memahaminya.

"Kamu meninggalkan perempuan yang pernah kamu ajak berkencan dengan mudah seolah mereka boneka―"

"―Kamu berbeda dari mereka. Berapa kali aku harus bilang?" putus Javas dengan lelah yang tergambar.

Nara menunduk. Dia membiarkan air matanya jatuh. Aku butuh ribuan kali untuk kamu yakinkan karena mendapati kamu mencintaiku sebesar ini terasa serupa mimpi-mimpi yang sangat indah, batin Nara.

Semua jawaban tersebut Nara ungkapkan melalui hatinya, lantaran bibir itu hanya mengucapkan maaf yang semakin membuat Javas jengkel. Kerja pikiran, hati, dan vokalnya tidak berkorelasi dengan baik.

Javas memejamkan mata. Permasalahan sederhana, kenapa Nara memandangnya secara rumit?

Pria itu beranjak dari ranjang. Javas sedang lelah, Nara terlampau emosional―bukan waktu yang tepat untuk berbincang. Jadi, Javas memutuskan pergi.

"Darling, listen carefully. Aku sayang kamu, Nara. Itu menjadi alasan kuat, aku tetap di sisimu sampai saat ini dan nanti," ucap Javas tegas, kemudian mengecup puncak kepala Nara sebelum meninggalkan rumah Keluarga Hartadi.

Javas harus mencari cara, memperbaiki segalanya. Dia tak akan dengan mudah menyerah terhadap hubungan ini. Narayya yang sempurna di matanya harus tetap demikian sampai nanti.

Javas menghubungi Tante Lituhaya, dokter terhebat yang dimiliki Keluarga Mavendra sekaligus adik dari ayahnya. Seberapa pun sakit hatinya, Javas harus bertindak berdasarkan logika.

-oOo-

Wira sendiri enggan mengerti cara logikanya bekerja. Dia langsung menyesali keputusannya untuk menceritakan keadaan Nara kepada Javas tadi pagi. Wira hanya ingin semuanya belum terlanjur jauh ―karena akan lebih menyakitkan hubungan antara Javas dan Nara berakhir setelah banyak cinta yang diungkapkan.

Wira awalnya yakin apabila Javas tidak akan memutuskan Nara semudah itu. Namun, yakinnya meluruh ketika ia melihat Javas meninggalkan kamar Nara begitu saja sementara gadis itu menangis keras. Wira tertegun di depan pintu kamar Nara yang terbuka, hanya dapat menatap dari jauh. Hati Wira ikut berduka mendapati cara menangis Nara yang tergugu.

Wira paling tidak sanggup mendapati perempuan menangis. Terlalu banyak air mata wanita yang telah dilihatnya, baik dari Maminya yang dulu menunggu sepanjang malam karena sang suami jarang pulang dan Violetta yang terus saja berharap. Semua air mata yang mereka jatuhkan memang bukan untuk diri Wira. Lantaran begitu, Wira merasa selalu bertanggung jawab menghapusnya.

Alasan tersebut yang memaksa langkah Wira perlahan mendekati Nara. Dia menyentuh bahu Nara yang bergetar, kemudian memeluknya erat. Gadis itu tidak menolak, seolah membutuhkan seseorang agar dirinya tak pecah berantakan.

"Ada gue di sini," kata Wira pelan.

Wira paham jika ucapannya mungkin tidak berarti apa-apa bagi Nayyara. Wira adalah orang luar yang kebetulan mampir dalam hidup gadis ini. Akan tetapi Wira tahu apabila Nayyara benci ditanggalkan sendiri. Dia berkata begitu agar si gadis tahu masih ada Wira yang berada di sisinya, siap membelanya apa pun yang terjadi.

"Kamu jahat, Wira," kata Nara di tengah isakannya. "Tapi aku tidak bisa marah sama kamu karena cepat atau lambat Javas pasti akan tahu," lanjutnya.

Wira tak menjawab dia hanya menepuk lembut punggung Nara. Wira tidak minta maaf sebab kesalahannya ini memang sukar untuk dimaafkan.

Berlainan dengan Nara yang hanya bisa menangis. Wira harus menerima pukulan telak di wajahnya dari Damar. Satu hantaman keras yang sukses membuat hidung dan ujung bibirnya berdarah.

"Itu karena lo terlalu ikut campur," desis Damar yang masih memakai Snelli, tampaknya sang kakak bergegas pulang setelah mendapatkan kabar dari Javas.

Damar tadi langsung meninggalkan ruang praktiknya ketika Javas menelepon. Si berengsek itu mengabarkan jika keadaan Nara sedang tidak baik dan dia enggan menjaganya. Tentu saja itu di luar kebiasaan Javas yang tak pernah meninggalkan Nara dalam kondisi tertekan, mengingat Nara memiliki trauma masa kecil.

Javas yang tak acuh kepada Nara membuat Damar kelewat khawatir sekaligus bertanya-tanya. Apa kesalahan yang dibuat Nara sehingga Javas meninggalkannya begitu saja? Jawabannya, dia dapatkan setelah Lituhaya Mavendra―salah satu direktur rumah sakit ternama di Jakarta meneleponnya. Damar sebagai wali dari Nayyara diminta untuk segera membawa gadis itu ke Jakarta―melakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Sesuai dugaan Damar, Wira Adyasta memiliki andil dalam masalah yang terjadi antara Javas dan Nara. Dia mengerti bahwa Wira terlalu khawatir dengan keadaan Nara, tapi Damar melarang laki-laki itu ikut campur sebelum Nara memberitahu mereka. Bukan Wira namanya apabila menaati aturan. Sifat pembangkangnya jelas telah mendarah daging, Damar murka karena itu.

"Dengan begini adik lo gak jadi pembohong," gertak Wira. "Dari dulu kalian biarkan Nayyara menutupi perasaannya. Seolah dia selalu baik-baik aja dan gak ada masalah. Lo itu kakaknya, lo tahu adik lo lagi sakit tapi diam aja!"

Damar mencengkeram leher kaus Wira. Mereka membuat keributan di halaman rumah. "Nara selalu punya alasan. Dia hanya takut ditinggalkan Javas itu aja. Nara terlalu banyak kehilangan, dia cuma gak pengen Javas pergi―"

"―Kenyataannya Javas pergi," sergah Wira. Dia membuat tatapan mengancam. "Dia pergi karena capek lihat Nara yang terus ragu. Pikir! Kalau dia memang sayang sama adik lo, gak ada kata capek buat meyakinkan Nara lagi, lagi, dan lagi."

Damar mengendurkan cengkeramannya. Semua ucapan Wira terdengar benar di telinganya, tapi egonya menolak. Ada perdebatan dalam serebrum Damar.

Wira menepis tangan Damar. "Hubungan mereka gak sehat. Nayyara terlalu diatur. Dia harus begini dan begitu. Intinya Nayyara wajib menjadi sempurna karena Javas. Adik lo bukan robot dan dia juga gak bisa selalu tergantung sama Javas. Kalian memang berhutang budi sama Keluarga sialan itu, tapi bukan berarti harus dibalas dengan menyerahkan kehidupan kalian sendiri." Wira mencerca, lalu pergi dari hadapan Damar.

Wira menuangkan semua pikirannya selama hampir tiga bulan ini tinggal bersama mereka. Wira ingin Nayyara memilih hidupnya sendiri dan berekspresi sesuai yang gadis itu inginkan. Nara memang terlihat bebas, tapi dia sebenarnya terkurung melalui penjara yang Javas ciptakan. Javas memberi nama penjara itu sebagai cinta dan kasih sayang.

Cinta yang buta. Kasih sayang tanpa batas yang mengikat. Tak hanya perasaan yang terikat, tapi juga mimpinya.

Banyak impian Nara yang diungkapkan kepada Wira secara tidak sengaja. Salah satunya yang terjadi baru-baru ini secara tak sengaja Nara ceritakan. Waktu itu Nara sedang berada di halaman rumahnya, seperti biasa si gadis kerap melamun―di salah satu ayunan yang katanya dibuat sendiri oleh ayahnya. Wira yang setia dan tahu Nara tidak suka sendirian pun bergegas menemani.

"Terima kasih susu coklatnya," kata Nara ketika Wira mengangsurkan susu coklat panas. Dia tersenyum sampai matanya membentuk bulan sabit.

Wira duduk di samping Nara. Pria itu menatap paras Nara, dia menolak melihat langit yang penuh bintang. Bagi Wira, raut Nara yang tersenyum jauh lebih indah daripada segalanya.

"Lagi dengerin apa?" Tanya Wira mengisi keheningan mereka.

Nara mengangsurkan salah satu headset agar Wira bisa iku mendengarkan lagu yang diputar ponselnya "Lagunya Lolo Zouaï. Aku suka banget dia mencampurkan lirik dalam Bahasa Inggris dan Perancis."

"Ah, Lolo. She's gorgeus. Gue suka suaranya dan karakternya."

Nara menatap Wira. "Kamu kayak uda pernah ketemu secara personal sama dia," kata Nara.

"Waktu gue konser di Paris, gue kerja sama dengan salah satu produser yang kebetulan ayahnya. Lolo menonton konser gue beberapa kali yang di London sama Paris."

Nara terkejut, tingkah Wira yang absurd memang sering membuatnya lupa jika pria itu adalah pianis terkenal. "Enak ya, jadi kamu bisa keliling dunia. Hehehehe. Aku juga pengen kayak gitu. Dulu aku sempat dapat beasiswa pertukaran pelajar selama satu tahun di Jepang, tapi gak jadi."

"Kenapa?"

"Karena Javas bilang gak boleh."

"Padahal susah banget tesnya. Aku uda pengen pertukaran pelajar itu dari lama―"

"―Dan kamu langsung nyerah gak berangkat karena Javas?" potong Wira, suaranya naik. Entah mengapa Wira marah.

Nara menghela nafas. "Kata Javas aku bakal kesepian dan gak ada yang jagain di sana. Dia gak bisa nemenin karena waktu itu harus mengurusi salah satu proyek keluarga mereka." Nara menunduk, dia melihat alas kakinya. "Lagi pula, aku gak bisa nolak permintaan Javas. He gives me a lot of things."

Wira tertawa hambar. "Andai kita ketemu lebih cepat, Narayya."

Mungkin kalau kita ketemu lebih cepet, lo gak bakal terlalu ngerasa berutang budi sama si kampret itu. Wira melanjutkan dalam pikirannya.

Well, karena Wira rela menemani Nayyara kapan saja dan ke mana pun yang perempuan itu inginkan. Tanpa berusaha memaksakan kehendak, tanpa Nara harus membalasnya. Meskipun, Wira pada akhirnya jatuh cinta kepada Nara―laki-laki itu tidak akan membuat Nara merasa harus menyadari perasaannya. Wira akan tetap berada di sisi Nara, tanpa terlihat. Menjaganya dari jauh sembari membiarkan Nara bebas bahagia.

Kebebasan. Satu-satunya yang tidak dapat Javas berikan kepada kasihnya dari segalanya yang telah ia peruntukan bagi Nayyara.

-oOo-

"Kenapa wajah kamu lebam gitu?" tanya Nara saat dia duduk di kursi makan, berhadapan dengan Wira yang mengaduk malas serealnya.

Wira cemberut, enggan menjawab.

"Kok diem, sih. Tumben," kata Nara lagi.

Gadis itu tampak jauh lebih baik pagi ini. Nara mengurung diri selama seharian kemarin, dia berusaha memperbaiki emosinya. Nara melatih dirinya untuk bersikap biasa seolah tidak ada hal besar yang terjadi. Dia juga menerima dengan lapang dada sikap Javas, meskipun laki-laki itu sama sekali belum menghubunginya. Mungkin Javas sibuk, berulang kali Nara meyakinkan pikirannya.

"Lo seharusnya marah sama gue karena―"

"―Uda aku bilang kan. Wira kamu kamu gak salah."

Wira mendengus. "Ya udah, makanya karena lo gak mau marah sama gue. Gue aja yang marah sama lo." Wira berkacak pinggang, dia berperilaku seperti bocah yang kebanyakan makan gula.

Nara mengulum senyum. Ekspresi Wira dan perilaku laki-laki itu mirip seperti anak kecil. "Apaan sih kayak bocah aja?!" Nara akhirnya tertawa.

"Nah, gitu kan ketawa." Wira ikut menarik bibir lebar. "Narayya, lo mau nggak temenin gue main Paralayang?" Wira menawarkan.

Alis Nara naik satu. "Hah? Kamu mau main paralayang? Memang bisa?" Nara berkata tidak percaya.

Paralayang bukan hal yang asing bagi Nara. Selama Javas berada di Malang, dia sering menemani pria itu untuk terbang. Javas terobsesi pada olah raga yang berhubungan dengan langit, bahkan dia sampai mengikuti ujian untuk mendapatkan lisensi pilot paralayang dari Federasi Air Sport Indonesia (FASI).

"Nggak bisa, cuma pengen lihat aja. Dari dulu pemgen belajar tapi sama manajer gue kagak boleh karena risiko cidera," jelas Wira. Dia mengunyah roti bakar coklat madunya sebelum melanjutkan. "Berhubung sebentar lagi gue pulang ke Jakarta, makanya paling nggak gue pengen lihat aja."

Nara mengangguk sembari mengoleskan selai coklat ke rotinya. "Aku sering sih ke Gunung Banyak buat nganterin Javas, tapi paling bagus buat lihat orang main ya di Landing Paralayangnya."

"Oke hari ini kita ke sana," simpul Wira.

Nara menggeleng. "Aku harus kerja," tolak Nara.

"Udah bolos aja. Lo butuh recovery karena si Bangsat itu."

"Hah?" Nara terdengar syok dan enggan. Namun, pada akhirnya dia mengikuti anjuran sesat dari Wira. "Boleh juga," jawab Nara singkat sebelum Wira memberikan umpatan lain untuk Javas.

Logikanya sedang kabur, dia ingin lari sebentar dari rutinitasnya. Nara pun juga merasa di terlalu sedih untuk bisa berkonsentrasi. Daripada banyak kesalahan, mending dia bolos saja sekalian.

-oOo-

Berkendara bersama Wira adalah hal yang sudah sangat biasa Nara lakukan tiga bulan terakhir ini. Pria itu tidak mempunyai banyak kegiatan dalam masa penyembuhan tangannya, itulah alasan Wira menjadi sopir tetap Nara hampir setiap hari. Nara sudah biasa duduk di kursi penumpang sementara Wira mengemudi. Awalnya Nara mengira, Wira adalah tipe pengemudi mobil yang bakal berkonsentrasi, tegang dan hati-hati karena pria itu dulu pernah mengalami kecelakaan lalu lintas di London. Kenyataannya, Wira tipe orang yang ramai saat menyetir―ada saja yang disuarakan mulai curhatan aneh mengenai dirinya yang tergabung dalam tim Sobat Ambyarnya Didi Kempot sampai menggumamkan lagu-lagu dari bahasa asing yang Nara tidak mengerti artinya. Wira cenderung santai dibalik kemudi, sesekali menggoda Nara jika mendapatinya melamun.

"Ampun deh kamu berisik banget," komentar Nara setelah hampir dua puluh menit Wira enggan berhenti mengoceh.

Mereka sedang dalam perjalanan ke landing paralayang yang letaknya di Kota Batu. Nara dan Wira berangkat pukul dua sore. Cuaca hari ini bagus, jadi tidak ada kendala dalam rencana mereka. Nara juga sudah menyiapkan berbagai kudapan kalau seumpama mereka bisa piknik di pinggir landing paralayang.

"Biar lo gak ada kesempatan mikirin Javas."

"Javas itu gak salah apa-apa―"

"―Kayaknya di dunia ini yang salah cuma lo. Aneh tau gak lo itu, dikit-dikit nyalahkan diri sendiri," potong Wira. "Cendol cendol dawet lima ratusan," Wira melanjutkan nyanyian sobat ambyarnya yang sangat tidak ada korelasinya dengan perkataanya tadi.

Nara memutar bola mata. Dia enggan protes mobilnya dijadikan tempat pemutaran lagu dangdut yang dinyanyikan oleh Nella Kharisma dan Didi Kempot. Nara jadi heran sejak kapan Wira menjadi Sobat Ambyar. Hah. Wira ini sama sekali tidak punya sisi elegan. Dia manusia yang sungguhan bebas mengekspresikan diri dan tidak punya urat malu.

"Memang kamu ngerti arti lirik lagunya?" tanya Nara penasaran saat Wira mulai ikut menyanyikan lagu Pamer Bojo dengan bahasa Jawa yang berlepotan.

"Nggak tahu."

"Terus kamu sok nyanyi dengan bahagia gitu padahal liriknya kan soal diselingkuhi."

Wira tertawa. "Oh jadi ini lagu soal perselingkuhan. Tapi, gue lihat video di Youtube yang nyanyi joget-joget gitu. Apalagi penontonnya uda kayak orang kesurupan bahagianya."

"Hahahaha. Ngomong apa sih, Wira? Kamu lucu banget." Nara menarik bibir sekali lagi. Mudah sekali perempuan ini tertawa karena Wira. "Ini pertama kalinya aku gak tidur waktu perjalanan naik mobil―selain ke kantor."

"Lah, emamgnya lo selalu tidur di mobil?"

"Iya, karena aku gampang capek. Jadi, Javas selalu nyuruh aku tidur sebanyak mungkin waktu perjalanan karena kebiasaan gitu aku jadi sering ketiduran."

Wira berdecak. "Sampe tidur aja diatur," gumamnya sinis, namun ucapannya tidak ditangkap oleh Nayyara karena gadis itu asyik melihat ke kaca mobil yang membingkai Kota Malang.

Nara memiliki banyak kenangan di sepanjang jalan ini. Tentunya bersama Javas. Seumur hidup Nara selalu ada Javas, laki-laki tersebut menjadi orang pertama yang menemani Nara melakukan banyak hal. Apa pun yang Nara lakukan baik secara sengaja atau tidak, Javas berada dalam pikirannya. Nara sendiri belum pernah membayangkan jika alur cerita hidupnya tanpa Javas. Mungkin terasa ada yang hilang, seperti sekarang―aneh rasanya dia mengunjungi landing paralayang tanpa Javas.

Biasanya gadis itu akan menunggu Javas mendarat seusai terbang. Makanya, Nara kerap membawa makanan ringan agar dia tidak bosan. Hatinya selalu khawatir saat Javas berada di atas sana dan melayang. Nara selalu mengenali Javas yang berada di langit. Javas mempunyai kebiasaan berlari ke arah Nara ketika dia sudah turun serta bebas dari parasutnya, kemudian bertanya, "Kamu bosan di sini?" Jawaban Nara selalu tidak―sebab Javas terlihat bahagia saat itu cukup menghapus perasaan bosannya.

Ah, kenangan. Di tempat sama dengan orang yang berbeda pun pikiran ini tetap tertuju kepada Chatu.

Nara hanya terpaku di tempat saat ia berhasil sampai di landing paralayang dengan Wira di sisinya. Gadis itu langsung memindai pemandangan yang berada di sekitarnya. Landing paralayang Batu adalah lapangan yang luas di kelilingi gunung dan bukit―di tengah hamparan terdapat garis melingkar yang menjadi tanda mendarat. Yang paling menyenangkan dari sana bisa melihat secara langsung orang-orang yang berolahraga paralayang dan yang akan mulai terbang dari atas tebing.

"Kayaknya mau ada acara," komentar Wira sembari menunjuk area landing paralayang yang separuh lapangannya ditutup panggung dan ada tenda bazar. "Konser musik folk, jam 7 malam. Bintang tamunya lumayan. Mau nonton, gak?" Wira tetap cerewet kali ini sembari membaca baliho besar.

Nara belum pernah mendapat suasana malam di landing paralayang. Mungkin akan cantik karena ada lambu kerlap-kerlip. Entah mengapa Nayyara mengangguk. Dia hanya ingin lari sebentar dari masalahnya dan menurut Nara, Wira bisa jadi teman yang baik untuk mengobrol.

"Kita lihat bentar aja orang main paralayang terus keliling kota ini dan cari makan sambil nunggu waktu konser," putus Wira setelah Nara memasrahkan jadwal mereka untuk sore ini.

Semuanya berjalan sesuai kemauan mereka. Wira dan Nara berjalan bersisian, melewati waktu yang terasa singkat. Langit yang cerah berubah gelap perlahan ketika mereka memasuki area mini konser yang disebut Forest Music yang khusus mengundang band folk.

Penonton diminta untuk menikmati musik sembari duduk, ada yang membawa alas berupa koran. Sayangnya, Wira dan Nara tidak membawa alas. Lantas Wira melepas jaket jeansnya agar Nara bisa duduk tanpa takut pakaiannya kotor. Panggung yang menjadi atensi penonton tidak terlalu tinggi. Lampu-lampu kerlap-kerlip, suasana hutan yang penuh magis, dan musik folk membawa mereka seolah berada di dunia yang berbeda.

"Bagus banget ya suasananya. Aku seneng bisa nonton ini semua. Makasih Wira uda ngajakin," Nara berucap bahagia.

"Bulannya juga bagus," kata Wira saat jeda dari satu band ke band lain membuat pencahayaan panggung meredup.

Nara yang duduk di sebelah Wira pun menengok langit. Ada bulan sabit di sana. "Kamu suka fase bulan sabit," lebih seperti pernyataan yang Nara tuturkan.

Wira tersenyum hingga lesung pipinya terlihat. "Semuanya jadi bagus kalau kamu ada di samping aku. Semuanya akan jadi kesukaan aku kalau kamu di sini," Wira sendiri tidak mengerti alasannya berubah sangat halus bahasanya. Hanya saja, pikirannya menyatakan apabila dia sesuka ini dengan Nara―gadis itu pantas mendapatkan pujian darinya.

Nara menatapnya. Suasana yang begitu pas. Lagu cinta dengan nada menyentuh yang menjadi latar. Memang sempurna dan tepat Wira mengatakan itu. Nara pun selalu berdesir saat Wira terkadang dengan bebasnya menunjukkan perasaannya. Lantaran membalas, dia kerap mengabaikan Wira. Nara yakin ucapan Wira hanya bentuk dari gaya bercanda .... Bukan hanya itu, sebenarnya Nara menolak meyakini Wira karena ada Javas. Javas yang harus dia cintai.

Lagi-lagi soal Javas.

Nara jadi bertanya-tanya, apa jadinya jika dia bertemu Wira lebih awal?

Apa jadinya apabila Javas tidak pernah ada?

Apa aku harusnya lebih bahagia tanpa Javas? Terbesit dalam pikiran Nara.

Wira meraih bahu Nara agar gadis itu lebih mendekatinya karena angin berembus kencang. Wira tidak ingin Nara kedinginan karena si laki-laki tak punya jaket lagi untuk melindungi Nara.

"Kamu bisa menolak," kata Wira.

Tidak, Nara justru menyandarkan kepalanya ke bahu Wira.

Wira selalu memberikan kebebasan agar Nara memilih. Sementara Javas tidak.

Lalu, apa jadinya jika aku punya pilihan untuk pergi dari Javas?

Andai saja aku bisa sebebas ini.

Andai saja ... aku memiliki keberanian sebesar Wira dalam menghadapi segalanya. Mungkin, aku tidak akan merasa lelah setiap hari hanya untuk memenuhi kesempurnaan untuknya.

Semua teriakan dalam benaknya, memaksa Nara untuk memanggilnya dengan hangat, "Wira."

"Iya?" timpal Wira, netranya yang fokus ke platform segera tertuju kepada Nara. Dia selalu menatap Nara dengan mata yang sama, seolah dalam pandangannya Nara itu bukan pusat dunianya. Namun, Nara menjadi satu-satunya manusia yang harus dia bahagiakan.

"Andai saja, kamu datang lebih cepat," gumam Nara.

Pasti aku akan lebih sayang sama kamu, Nara melanjutkan dalam hatinya.

Wira menarik ujung bibirnya membentuk simpul rupawan. "Ini belum terlambat, Nara," vokalnya. Dia mengambil jeda sejenak, jarinya menelusuri surai Nara. "Ini sama sekali belum terlambat untuk kita," ulangnya.

Iya, dia mengulangi.

Wira mengulangi agar Nara tidak meragu, dia sanggup mengulangi apa pun untuknya―sepanjang waktu yang Nara butuh kan untuk menjadi yakin.

Mereka berdua menikmati suasana, tanpa tahu dan tanpa curiga ada seseorang yang sedang mengawasi. Potret Wira dan Nara berpelukan ialah hasil dari pengawasan pria asing yang sedari tadi mengikuti mereka. Dia perpanjangan tangan Javas yang menjadi mata dan telinga untuk Javas ketika pria itu jauh dari kekasihnya.

-oOo-

Javas Chatura Mavendra membidikkan pelurunya pada papan target. Semuanya tepat sasaran. Kegiatan yang membutuhkan akurasi dan kecepatan ini selalu pandai ia lakukan. Javas berlatih menembak sejak usia dini, Tirtayasa Mavendra selaku ayah Javas mewajibkan anak-anaknya untuk cakap menggunakan revolver. Menurut beliau, keluarga mereka rentan akan bahaya jadi paling tidak apabila dihadapkan dalam sesuatu yang mengancam, mereka bisa membela diri.

"Jangan terlibat kekacauan atau perkelahian. Tapi, jika kalian terpaksa atau terlanjur ada di dalamnya, jangan sampai menyisakan jejak. Lenyapkan lawan." Itu yang didoktrinkan Tirtayasa kepada Jesse dan Javas.

Lama kelamaan menembak menjadi sangat membosankan. Javas jarang sekali berlatih karena Nara yang takut pada suara tembakan. Namun, Javas akan kembali ke arena menembak apabila sedang dalam batas murka yang luar biasa atau ada masalah.

"You still good with that things," suara yang familiar bagi telinga Javas bergema.

Ariadna Arkadewi, pikiran Javas mengenali. Tanpa berniat untuk menghentikan bidikannya. "Bukan hanya good. Gue selalu great dalam menembak," desis Javas, setelah melepaskan amunisi terakhirnya.

Aria menyeringai, jenis senyum mengejek khas yang dimiliki anggota Keluarga Mavendra secara turun temurun. "Lagi ada masalah?" tanya si gadis yang membiarkan surainya tergerai. Ariadna hanya mengenakan kaus putih kebesaran dan jeans, terlihat biasa. Semuanya berubah seksi ketika si gadis mulai meraih senapan, lalu membidik sasaran. Perempuan itu adalah Javas versi perempuan―caranya bertingkah dan ucapannya sama. "Biasanya kalau lo ada masalah itu selalu berkaitan dengan Nara," lanjutnya.

Ariadna Arkadewi tentu mengenal dengan baik Nayyara. Beberapa tahun lalu Aria yang baru kembali dari New York sempat membuat Nara cemburu. Javas memang tidak langsung memperkenalkan Aria sebagai sepupunya, dia hanya mengatakan bahwa Ariadna ialah salah satu dari sekian banyak perempuan yang sungguhan ahli dalam menembak. Mulai dari itu, Nara enggan membiarkan Javas berlatih menembak―ada saja alasannya. Pada akhirnya Javas menjelaskan siapa Aria, tentunya Nara menjadi sangat malu. Aria dan Nara berteman baik begitu saja setelahnya.

"Bukan masalah besar, hanya saja Nara mulai menuntut gue untuk memiliki kesabaran ekstra," jawab Javas, dia mengisi pelurunya.

"But, unfortunately, you are not patient person," tangkas Aria.

Javas mendengus. "Soal Nara, gue bisa jadi orang yang sabar selama ini. Tapi, ada beberapa hal di luar kuasa gue."

"Lo mau gue menyingkirkan penghalang itu?" tebak Aria tepat sasaran. Dia melipat tangan di depan dada. "Atau melenyapkan sesuatu yang bukan dalam kuasa lo?" sambung Aria.

Ariadna Arkadewi adalah kepala dari 'penyelesai' masalah dari Keluarga Mavendra, sesuatu yang tidak dapat diselesaikan dengan cara baik-baik. Aria memiliki timnya sendiri dalam membuat celaka lawan bisnis Keluarga Mavendra.

"Gue mau lo yang turun tangan sendiri," kata Javas. Dia mengangsurkan beberapa lembar foto yang ada di meja. Potret itu mengabadikan Nara dan Wira yang sedang berjalan berdua, bergandengan, dan tertawa bersama.

"Seriously Javas, lo mau menggunakan jasa gue karena cemburu sama kecoak kayak gini?"

"He is a Adyasta―Mahawira Adyasta," kata Javas.

Nama keluarga yang lantas membuat Aria bungkam. Adyasta adalah salah satu dari sekian banyak perusahaan yang berkecimpung di industri farmasi, salah satu yang terbaik―pesaing dari industri farmasi dan kesehatan yang berada di bawah pimpinan Lituhaya Mavendra. Ibu kandung Aria adalah Lituhaya yang sangat cinta perdamaian pun bermaksud untuk membuat lawan menjadi kawan. Jadi lah sebuah rencana perdamaian dibuat. Rencana itu berkaitan dengan bersatunya kedua perusahaan, tentu saja melibatkan Ariadna dan Mahawira.

"Ah, sialan. Dia―Mahawira Adyasta yang mau dijodohin Mom sama gue. Wah anjing bener."

Javas memutar bola mata, sepupunya ini sama sekali jauh dari definisi anggun atau kalem yang kerap ia lihat dari Nara. "Itu alasan gue manggil lo ke sini. Tolong itu calon manusia yang bakal dikenalin ke lo sebagai calon tunangan segera di kandangkan."

"Gue lebih suka sama Daniswara Adyasta si anak yang diakui, daripada Wira―anak dari hasil si Tua Bangka Adyasta yang tidur sama pelakor," Aria terus saja mengeluarkan kalimat pedas.

"Aria, language."

"Gue cuma bisa bicara fakta karena Wira itu anak yang gak diinginkan―"

"―He is a great pianist. Bisa dibilang yang terbaik dilihat dari pengalamannya."

Aria memicingkan mata. "Kesannya lo kayak belain si Adyasta."

Javas menyeringai. "Well, gue hanya menunjukkan sisi baiknya. Siapa tahu lo nafsu sama dia?"

Ariadna mengerucutkan bibir membuat aura kejamnya berangsur hilang. "Ogah gue. Maaf aja ya Pak Javas Bossy Mavendra selera gue bukan yang kayak kecoak begitu. Gue juga uda menyusun rencana buat menggagalkan ide gila Mom. Jadi, silakan tangani urusan percintaan lo sendiri."

Javas mengangguk dengan wajah datar, tangannya meraih lengan Aria membuatnya berhenti. Dia menyelipkan foto di tangan Ariadna. Gadis itu langsung saja melotot saking terkejutnya.

"Dari mana lo dapat ini?!" Tanyanya dengan nada tinggi sampai suaranya yang cempreng hampir menulikan Javas.

Ariadna Arkadewi jelas terkejut sebab yang ditampilkan dalam foto itu adalah dirinya yang sedang tidur-tidur manja dengan salah satu model asal Korea yang usianya baru delapan belas tahun. Sebuah tindak asusila yang jika menyebar bisa membuat sang Mom―Lituhaya mendapatkan alasan yang tepat untuk menggantung putrinya sendiri. Apalagi, pose Ariadna yang sedang menungging bukan hal baik yang boleh ditunjukkan kepada publik.

"Foto ini akan terkirim ke email Tante Ituh dalam waktu ...." Javas menggantung perkataannya, dia melirik ke arah jam tangannya. "Sepuluh detik, mulai dari sekarang."

Sumpah keberengsekannya si bangsat ini sungguhan turunan dari Mavendra asli tanpa kawe-kawean, rutuk Ariadna dalam hati. Javas licik, tai jin, kurang ajar, mother fucker, fuckboy, laki-laki jahanam penghuni neraka, anjing kangguru, kupu-kupu Amazon―semua itu umpatan yang dipilih Ariadna untuk sepupunya. Akan tetapi, apa daya Ariadna sudah kalah telak. Alhasil, dirinya hanya dapat menelan kembali sumpah serapah itu.

Ariadna dengan amat sangat super luar biasa terpaksa setuju. "Oke, oke. Gue akan membuat si kecoak bertekuk lutut dengan keanggunan gue yang melebihi Nayyara."

"No, no. Just be your self. Gue rasa perempuan agresif, gak tahu malu, dan bar-bar kayak lo―pasti mengundang perhatiannya."

"Wah sialan―"

"―Ariadna, language," Javas memperingatkan sekali lagi, dia memberikan raut mengancam dengan foto lain yang berayun di depan wajah Aria. "Good girl," kata Javas saat melihat Ariadna mengangguk patuh.

Ah, anjing peliharaan baru, gumam Javas puas.

-oOo-

Halo, semuanya apa kabar? Hehehehe.

Aku harap kalian nggak bosen sama ceritanya ini. Satu-persatu tokoh dalam Perfectly Imperfect bakal terbuka daaan akan berhubungan sama cerita baru aku selanjutnya hehehee soal Lendra Harley Mavendra dan Papi Manggala Mavendra.

Adakah yang setuju Wira sama Aria atau tetep sama Nara aja?

Btw, Nara di sini kayak ambigu. Dia udaa jadian sama Javas malah pengen sama Wira. Huhuhuhu

Makasih sudah baca sampai sejauh ini, semoga suka. Aku tunggu vote dan komentarnya yaaaaaaa. Biar semangat nulisnya wkwkwk. Byeeeee.

P.s: Aku sukaaaa banget sama foto teasernya Sehunnnn huhuhu. Kalian uda lihat teaser ExO belum? :"D

Continue Reading

You'll Also Like

90.1K 7.9K 81
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
3.4M 266K 65
Diana Anggita Dwitama, gadis dengan kondisi tubuh sakit-sakitan bahkan untuk berjalan saja dia kesulitan. Kecewa pada diri sendiri ditambah dengan ke...
182K 28.7K 52
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
6.2M 605K 96
Yang Haechan tahu dia dijodohkan dengan laki-laki lugu yang bernama Mark Jung, tapi siapa sangka ternyata dibalik cover seorang Mark lugu Jung terdap...