Peluk

By birgittaajeng

7.6K 321 55

Setiap manusia pernah jatuh ke titik terendah hidup, waktu yang membedakannya. Haira mengalami itu semasa kul... More

1 - Di Koridor Lantai Dua
2 - Meja Bundar
3 - Cipelang
4 - Lorong Gulita
5 - Si Don Juan
6 - Kafe Transit
7 - Untukku Bukan Dirimu
8 - Memilih
9 - Ciuman Basah
10 - Menunggu Dia Berpaling
11 - Nol Sentimeter*
12 - Cinta yang Berubah Bentuk
13 - Wajahnya
14 - Tatapan Tajam
15 - Pertemuan
16 - Luka Berdarah
(TAMAT) - Surat untuk Gama

17 - Peluk

474 15 0
By birgittaajeng

Tiga malam telah berlalu. Haira masih menimbang-nimbang jawaban untuk Sagala. Di novel Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis, Paulo Coelho, Haira mengingat satu kalimat. Cinta adalah perangkap. Ketika ia muncul, kita hanya melihat cahayanya, bukan sisi gelapnya.

Dahulu, cinta pernah datang dan memperlihatkan sisi terang kepada Haira. Namun, cinta pula yang mendorongnya ke sisi gelap. Haira menangis, meratap, bahkan nyaris gila. Sampai-sampai, ia bimbang ketika setitik cahaya datang. Sagala hadir dan mengulurkan tangan hendak menyelamatkan, tapi Haira ragu. Haira seperti sudah nyaman dengan rasa sakit.

Ketika semua terasa membingungkan, ponselnya menjerit. Ia lupa mengganti mode dering menjadi hening menjelang tidur malam.

"Haira apa kabar?" ujar suara di seberang telepon.

"Baik," Haira menjawab dengan suara parau, lantaran sudah mengantuk. "Ini siapa?"

"Gama."

Haira tidak percaya dengan yang ia dengar. Ia langsung terjaga dan berusaha keras mencerna. Jantungnya berdetak lebih cepat, sama seperti yang selalu terjadi, ketika ia berada di dekat pemilik nama itu.

"Haira? Kamu masih di sana?"

"Ya," Haira menjawab singkat.

"Apa kabar, Haira?"

"Baik."

"Syukur kalau begitu."

"Ada apa malam-malam begini?"

"Aku mau membicarakan sesuatu," ujar Gama.

"Tentang?"

"Aku punya pacar."

"Apakah itu penting?"

"Tunggu, aku belum selesai bicara."

Semakin lama, dada Haira semakin sesak.

"Kamu enggak usah tahu namanya."

"Itu memang enggak perlu," Haira menyahut.

"Pacar aku bilang, dia sering memimpikan aku dan kamu pergi berdua. Gara-gara itu, dia menyuruh aku menyelesaikan yang belum selesai di antara kita."

"Lalu?"

"Menurut kamu, apa yang belum selesai di antara kita?"

"Aku enggak tahu," Haira menjawab sekenanya.

Mereka terdiam. Kemudian, Haira bicara pelan dan terbata-bata, "Mungkin, ada perasaan atau pengakuan-pengakuan yang belum terungkap."

"Oke, kalau begitu, aku mau ketemu kamu untuk menyelesaikan semua."

"Apakah itu perlu?"

"Aku mau kita ketemu besok," Gama mendesak.

"Terlalu mendadak."

"Tiga bulan ke depan, aku enggak ada di Jakarta."

Haira terjebak di kelakarnya sendiri. Meski harinya tidak presisi, tapi peristiwanya benar-benar terjadi. Selera humor Semesta melebihi seluruh pelawak di muka Bumi. Bagaimana mungkin Semesta mengabulkan gurauan Haira kepada Sagala malam itu, bahwa Haira ingin bertemu mantan?

"Bagaimana, Haira?"

"Ayo, kita bertemu besok," Haira berkata dengan yakin.

"Di Warung Sabang, ya, sekaligus merayakan ulang tahun aku di sana."

"Jam berapa?"

"Tujuh malam."

"Oke," Haira menutup telepon. Malam itu, ia tidak bisa tidur. Ia memikirkan apa yang bakal terjadi besok. Apa yang harus ia kenakan, katakan, lakukan di hadapan laki-laki yang pernah ia cinta.

***

Haira menceritakan semuanya kepada Sagala. Mereka berbicara di taman kantor, setelah makan siang. Sagala tidak mengintervensi. Ia justru menanggapi dengan tabah,"Aku akan mengantar kamu ke sana nanti malam."

Sagala tidak ikut masuk ke dalam, begitu mereka tiba di sebrang Warung Sabang. Setelah memastikan Haira masuk ke kedai itu, Sagala langsung pulang.

Di lantai dua Warung Sabang, Haira melihat laki-laki berambut pendek di antara banyak orang asing. Ia adalah Gama. Laki-laki itu kemudian menyadari keberadaan Haira. Ia melambaikan tangan kepada Haira. Lalu, Gama mempersilakan Haira duduk. Kursi-kursi dan meja-meja disusun menyamping.

Selang beberapa saat, perempuan bertubuh mungil berambut panjang sepunggung menghampiri Gama yang duduk di dekat lift sambil membawakan kue ulang tahun.

"Itu pacarnya, ya?" Perempuan di kiri Haira berbisik kepada perempuan di depannya.

"Kayaknya deh."

"Wartawan, bukan?"

"Bukan, dia guru."

Haira menguping sambil memperhatikan Gama meniup lilin kue ulang tahun dengan wajah semringah. Saat itu juga, Haira gelisah. Ia sibuk menebak-nebak alasan Gama mengundangnya ke situasi yang tidak menyenangkan. Haira mau pergi, tetapi itu hanya akan mempermalukan dirinya sendiri. Ia berusaha keras mengalihkan pikiran dengan mengobrol bersama orang asing yang tadi membicarakan perempuan mungil itu. Dim sum di hadapannya terabaikan. Ia kehilangan selera makan.

Haira hanya menyeruput teh hangat untuk mengusir dingin yang membungkus ujung tangan sampai kaki, karena angin malam dan rasa gugup.

Detik demi detik berlalu, Haira masih menunggu kesempatan untuk berbicara dengan Gama. Itu tujuan utama mereka bertemu. Namun, peluang tersebut seperti tidak pernah datang. Gama asyik sendiri dengan teman-teman di dekatnya.

Malam semakin larut. Suasana menjadi semakin rikuh bagi Haira. Ia kecewa. Ia pamit pulang kepada beberapa orang yang sempat mengobrol dengannya. Kesabarannya habis. Lagi pula, ia takut ketinggalan kereta terakhir.

Gama mendekat, ketika Haira menunggu lift. Gama melemparkan beberapa pertanyaan basa-basi, kemudian berkata, "Jangan marah, Haira."

Pintu lift terbuka. Sebelum beranjak, Haira berujar, "Aku enggak marah kok."

Begitu keluar dari Warung Sabang dan melangkahkan kaki di trotoar, air mata Haira tumpah. Ia kalut. Ia membayangkan dan memikirkan ketabahan Sagala yang membikin ia merasa bersalah. Ia ingin menceritakan kepada Sagala betapa sia-sia pertemuan itu, tapi ia malu. Haira hanya berani mengirim pesan bahwa ia sudah bertemu dengan Gama. Sagala membalas sekadar untuk mengingatkan, agar Haira berhati-hati selama di perjalanan pulang.

Haira terus berjalan dengan dada sesak. Setelah melewati dua toko, ia mendengar melodi yang tidak asing di telinga. Itu milik lagu yang pernah menemaninya di masa-masa terpuruk, setelah perpisahan dengan Gama. Lagu tersebut datang dari Kedai Kopi Semasa. Haira terbawa suasana, tergerak untuk masuk, dan membuka pintunya.

Lagu Broken Vow yang dinyanyikan Josh Groban mengalun merdu dari pengeras suara di setiap sudut langit-langit. Haira memesan minuman, kemudian duduk. Ia menyesap secangkir caramel macchiato hangat, meski tahu perutnya akan bergejolak kelak. Namun, ia butuh alasan supaya bisa duduk sejenak demi bisa menaruh telinga pada lagu itu. Pelan. Lagu tersebut merambat perlahan ke telinga.

Lagu itu tidak segan-segan menyapa sebuah ingatan usang dari ceruk memorinya. Haira benar-benar terduduk di bawah kenangan tentang Gama. Begitu sampai pada reff, tubuhnya gemetaran dan kedinginan, lantaran mengulang kembali memori yang memilukan.

Ia kira hujan musim lalu telah membawa pergi semua tentang Gama. Namun, ia keliru. Gama tetap hidup di setiap inci tubuhnya bukan dalam bentuk cinta, melainkan kebencian.

Haira memejamkan mata dan meresapi semua. Sejurus kemudian, ia melihat laki-laki berdiri tidak jauh di hadapannya. Laki-laki itu mengembangkan senyum sempurna. Haira berdiri dan mengedipkan mata berulang kali untuk memastikan bahwa itu semua ilusi. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Gama hadir, tidak hanya di dalam ingatan. Ia benar-benar muncul di hadapan Haira.

Di dalam tatapan mata Gama, Haira seperti mendengar namanya dipanggil. Haira ingin sekali berlari dan rubuh di dalam pelukannya, tapi ia hanya bisa berdiri. Kakinya seperti terpasak ke tanah, dan ia menjatuhkan setetes air mata.

Buru-buru, Haira menyekanya. Selagi ia tegak di tempat semula, Gama menghampirinya. Dengan jarak yang sangat dekat, Gama berkata, "Aku kangen kamu."

Haira masih tidak percaya dengan yang terjadi. Sambil terheran-heran, Haira bertanya, "Ini benar-benar kamu?"

"Ya."

"Tapi...," Haira terbata, "Aku enggak mau lagi percaya sama kamu."

Bukannya menanggapi ucapan Haira, Gama malah membuka kedua tangannya seperti ingin memeluk. Haira spontan mundur satu langkah.

"Kamu harus percaya bahwa aku sudah berubah menjadi lebih baik," Gama menarik mundur kedua lengannya.

"Kamu mengabaikan aku tadi, padahal kita sudah sepakat kemarin."

"Karena itu, aku datang ke sini."

"Kenapa enggak di sana?"

"Sinta tiba-tiba datang. Ada hati yang harus aku jaga."

"Jadi, nama pacar kamu Sinta?"

"Ya."

"Dia yang memimpikan kita? Tapi rasanya mustahil, ya. Aku dan dia enggak pernah ketemu. Bagaimana bisa aku ada di mimpinya?"

"Sebenarnya bukan dia, melainkan aku yang memimpikan kita."

"Kenapa kamu bohong?"

"Aku malu mengatakan kalau aku selemah itu. Aku bahkan bermimpi kita menikah."

"Untung hanya mimpi."

"Kenapa untung? Bukankah kamu tergila-gila kepadaku?"

"Aku pernah menyayangi kamu, tapi enggak sampai gila. Aku lebih mencintai diri sendiri, daripada kamu. Aku mau pulang. Ini sudah larut malam," Haira beranjak.

Namun, Gama menahan dengan menggenggam salah satu pergelangan tangan Haira, "Sebentar saja."

Haira berbalik. Lalu, laki-laki itu berkata, "Kita enggak akan pernah bertemu lagi di hari-hari mendatang. Kita hanya bisa mengharapkan kebetulan-kebetulan yang entah kapan. Aku ingin memeluk kamu, sekali ini."

"Untuk apa?"

"Supaya aku bisa mengenang kamu."

"Kita sudah punya banyak kenangan."

"Tetapi semua menyakitkan. Aku mau kita punya kenangan berbeda," Gama meminta.

Haira menggeleng.

Syahdan, Gama berkata, "Aku masih menyayangi kamu. Aku enggak layak mendapat penolakan, karena aku enggak mengerti cara menyayangi kamu dulu."

"Sayang? Aku bukan orang yang bisa melawan kamu. Aku enggak bisa menjadi seperti yang kamu minta. Aku terlalu baik. Itu penilaianmu tentangku dulu. Lalu, bagaimana mungkin kamu bilang kalau kamu masih menyayangi aku?"

"Aku keliru. Enggak ada satu pun yang bisa melawan aku, karena itu enggak perlu. Aku cukup menjadi diri sendiri dan..."

"Dan cuma aku yang selalu menunggu kamu," Haira menyela ucapan Gama.

Kemudian, mereka terdiam. Haira menatap Gama lekat-lekat. Selain rambutnya yang dipangkas pendek, segala sesuatu yang ada padanya, matanya, hidungnya, bibirnya, tubuhnya, tetap sama. Tidak ada yang berubah pada diri laki-laki di hadapannya. Gama masih seorang laki-laki berkharisma. Haira adalah perempuan yang pernah dan masih menyayanginya.

Akan tetapi, kehidupan telah maju dan berubah. Haira tidak mau menjatuhkan diri ke dalam pelukan laki-laki itu hanya untuk menciptakan satu kenangan manis di antara yang pahit.

"Kita enggak perlu mempertaruhkan hidup hanya untuk mengulang atau menciptakan kenangan di antara kita. Mari kita pulang," ucap Haira.

"Enggak. Kita enggak sedang mengulang masa lalu. Pelukan adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan semua yang belum selesai, menyembuhkan jiwa yang pernah terluka, dan melepaskan semua kemarahan dan dendam."

Haira tidak menggubrisnya. Mendadak, Gama melangkah sambil menarik tubuh Haira ke dalam dekapannya. Haira tidak mampu melawan, karena tangan yang memeluknya sangat erat.

"Sekali ini saja, Haira," kata Gama, "Dulu, kita jarang berada sedekat ini, kan?"

Dua kali, Gama. Kita pernah sedekat ini dua kali. Sekarang, semua terulang. Nol sentimeter jarak antara tubuh kita yang tidak lama lagi akan menjadi ratusan, jutaan, bahkan tak terhingga jauhnya, karena kita memang tidak bisa bersama. Haira berkata di dalam hati.

"Bukan hanya kamu yang menderita, aku juga," kata Gama.

"Maksudnya?" Haira masih di dalam pelukan Gama.

"Mimpi kamu terus-menerus itu seperti kutukan. Entah cinta macam apa yang pernah tumbuh di antara kita waktu itu. Rasanya begitu dalam, tetapi kita tidak bisa saling memahami lebih jauh. Atau itu semua karena kebodohanku?"

"Aku merasa seperti ada tembok besar di antara kita."

"Ah, ya, kamu benar."

"Kita sama-sama bodoh, karena pada akhirnya aku diam saja di depan tembok itu."

"Haira, aku minta maaf kalau ada hal yang tidak berkenan."

Akhirnya, Gama mengucapkan kalimat yang Haira tunggu selama bertahun-tahun. Kalimat sederhana dengan satu kata maaf, tapi mampu mengobati luka berdarah Haira yang selama ini menganga. Kalimat itu membuat mata Haira basah. Ia mengerjap-ngerjap, supaya air mata tidak menetes lagi di pipi. Dengan dada gemetar, Haira pun melingkarkan tangannya ke tubuh Gama perlahan. Lama-lama, semakin erat.

"Aku sudah memaafkan kamu. Lagipula masa muda itu tempatnya melakukan kesalahan," kata Haira.

Gama tersenyum. Ia ingat, ia pernah mengucapkan kalimat itu untuk Haira. Mereka pun perlahan melepaskan dekapan masing-masing.

"Semua urusan kita sudah selesai. Setelah ini, aku akan pulang dengan belok ke arah kanan, dan kamu kembali ke pesta ulang tahunmu ke arah kiri. Takdir kita juga demikian, selalu berlawanan arah sejak kali pertama kita berjumpa," kata Haira.

Gama tersenyum, "Semoga kamu selalu bahagia, Haira."

"Semoga kamu juga selalu bahagia, Gama," Haira ikut tersenyum.

Gama beranjak pergi. Haira masih terngiang akan lagu Broken Vow tadi, terutama bagian akhirnya.

Dulu, Haira menganggap lagu itu tentang patah hati dan pengkhianatan. Namun, ternyata, lagu itu bercerita tentang memaafkan dengan melepaskan seseorang yang tercinta. Sambil duduk, ia merenungkan segala sesuatu yang ia rasa ketika itu.

Kita pernah bertatapan, saat kita berdiri berjauhan.

Detak jantung kita pernah berdebar-debar,

saat kita duduk berdampingan.

Kita pernah saling memeluk, merangkul, dan mencium.

Namun aku tak pernah benar-benar mengenal kamu,

dan kamu tak pernah benar-benar mengenal aku.

Hingga gelombang takdir yang begitu kencang

harus segera mengantar kita pulang.

Kamu harus melangkah dari barat ke timur,

sementara aku harus berjalan dari timur ke barat.

Continue Reading

You'll Also Like

222K 4.8K 41
Keisya Anatasya, seorang gadis yang dijadikan bahan taruhan oleh Kevin Pratama. Sakit bukan? Jika kita telah menaruh hati pada seseorang lalu ia mema...
294K 9.3K 35
High Rank #8 in cintasma #1 in truthordare Permainan Truth Or Dare yang mendorong sosok Kendria sang primadona sekolah mendekati ketua osis sekaligus...
28.5K 559 72
Disini tempatku bercerita, akan rasa yang tak kunjung usai. Sebuah rasa yang masih saja mekar. Ini bukan juga ceritaku dan dia. Cerita ini bisa juga...
16.5K 1.1K 44
Satu tahun lebih pacaran online pas ketemu ternyata sepupu sendiri (Sudah Tamat )#jan lupa vote😊