[✔] The Second World [Bahasa]

By vocedeelion

17.4K 1.8K 529

I draw a way out of this mess, and it leads into a second world; a world where you are free. • Markhyuck • T... More

II

I

10.6K 949 247
By vocedeelion

Hello! ^^ Seperti yang aku bilang, aku bakal ngepublish one/two-shot cerita fantasi MarkHyuck: genie! Mark dan human! Haechan. Dan inilah ceritanya :3 Aku greget banget tauu pas ngepublish cerita ini, nggak sabar lihat tanggapan kalian!!! ><

Oh iya, konsep per-jin-an di sini terinspirasi oleh BARTIMAEUS TRILOGY karya Jonathan Stroud. Serius, itu bagus banget buat kalian pecinta fantasi. Dan seri lain punya Jonathan Stroud yang Lockwood & Co. juga bagus banget. Baca yah kalo belum ^^ Oh iya, mungkin di sini beberapa penjelasan soal konsep per-jin-an agak kurang jelas, karena bisa jadi aku hanya jelasin seadanya. Buat teman-teman yang nggak mudeng, bisa tanyain kejelasan di komen aja yah ^^ Oh iya, dan inspirasi buat cerita ini juga datang dari lagu 2nd World - HVOB dan Don't You Give Up on Me - Milo Greene.

Mungkin segini aja bacotnya, please enjoy this story and don't forget to leave your thoughts by the comments and votes!

Happy reading~ 💖

:::

Soundtracks: 2nd World - HVOB, Don't You Give Up on Me - Milo Greene

:::

Haechan ingin berlari, andai kedua tangan dan kakinya tidak dipasung dalam mantra tak kasat mata yang dipasang tanpa empati. Ayahnya sendiri, menjebak ia dalam kesepakatan penuh dosa yang seharusnya tidak melibatkan ia sama sekali. Ibunya menangis sambil mendandaninya di depan cermin, terpaksa, sebab ayahnya tak segan melakukan apa pun apabila wanita itu tidak menurut. Sementara Haechan, ia telah lelah menangis dan memberontak, menganggap bahwa hal itu tidak akan lagi berarti. Ia bisa saja sampai menumpahkan air mata darah, namun sumpah, ayahnya tak akan menaruh simpati barang seruas jari.

Adalah perjodohan yang membuat Haechan terlihat menyedihkan. Bukan perjodohan kepada anak jurangan kaya sombong yang membelinya dengan uang dan emas, namun perjodohan kepada makhluk mengerikan yang tidak Haechan sangka-sangka: jin atau iblis. Ayahnya, yang merupakan penyihir kelas teri, terlalu percaya diri, menantang jin level empat yang mengantarkan kekalahan tepat ke depan batang hidungnya. Dengan itu, konsekuensi dibuat, dan di sinilah Haechan yang berusia delapan belas tahun berada, mempersiapkan diri menghadapi kematian.

Setelah didandani rapi, Haechan diperintah untuk berdiri di atas sebuah lingkar pentakel sempit, yang memungkinkannya tidak dapat lari ketika pembacaan mantra pemanggilan berlangsung. Tubuh lunglai lelaki itu berdiri pasrah di tengah lingkaran. Kain satin dari tunik yang dikenakan sedikit melorot di bahunya, menampilkan kulit bahu cokelat yang telanjang. Kedua matanya yang lebar memandang lesu, manik kristalnya tidak menampilkan malam-malam berbintang tiap kali ia menyorot pandangㅡsebagaimana yang selalu ia tampilkanㅡseolah keindahan terpasung oleh rasa enggan dalam diri. Ibunya memberi riasan di sana, di kedua kelopak mata itu, membantu Haechan untuk tampak lebih menarik meski nyawa terlihat telah meninggalkan tubuhnya. Tetapi si lelaki tidak menginginkan itu; tampak mati akan jauh lebih baik dari apa pun.

Terdapat tiga lingkar pentakel, yang digambar oleh ayahnya di dalam ruang loteng yang kering berbau debu, terlukis dalam beragam coretan kapur berukiran rumit, juga mangkuk-mangkuk kecil berisi air, dedaunan, akar pohon dan beberapa serangga mati. Di setiap sudut, api lilin-lilin putih berkibar. Dua di antara tiga pentakel itu berukuran besar, yang satu akan digunakan oleh ayah dan ibunya, sedang satunya lagi sebagai tempat mempelai Haechan, dan lingkar paling sempit diisi oleh lelaki itu seorang diri.

Begitu Haechan berdiri dalam lingkarannya, sang ayah berjalan mendekat. Pria itu tidak mengatakan apa-apa, wajah kerasnya memandang Haechan dalam ekspresi yang sama sekali tak ingin terbaca, sebelum akhirnya berlutut di depan kaki sang putra, membawa jempol tangan mendekati goresan garis putih kapur yang membentuk lingkar sempurna, menyentuhnya, dan menggeser garis kapur tersebut, membentuk sebuah potongan. Haechan tanpa sadar menahan napas tatkala melihatnya, dan tanpa terbendung, perasaan takut yang semula tak ia rasakan, kini membanjir deras. Lingkar tempatnya berdiri telah tidak sempurna, dan Haechan dituntut untuk siap menghadapi apa pun yang akan muncul di dalam pentakel besar kosong di hadapannya.

Si penyihir kembali memasuki pentakel miliknya, berdiri di samping sang istri yang sesegukan dalam tangis, dan langsung mengucap rentetan mantra melalui mulutnya yang kering.

Seiring dengan mantra yang terus keluar dari mulut si penyihir, Haechan ikut merapalkan mantra dalam hati, meminta siapa pun untuk melindungi nyawanya, menyelamatkannya dari iblis yang memaksanya menjadi pengantin. Tanpa terasa, setetes air mata meluncur jatuh dari belah pipi Haechan, menghantam garis kapur pentakel di atas lantai, dan dalam seketika, angin hebat berembus di dalam ruangan itu. Api-api lilin berguncang, sebelum akhirnya padam.

Haechan tidak berani mengangkat kepala untuk melihat kemunculan makhluk di pentakel besar di hadapannya. Lelaki itu menunduk, dengan tubuh yang sepenuhnya bergetar, berikut bibir yang tergigit kuat, menahan jerit ketakutan. Dari sudut pandangnya, ia dapat melihat gumpalan asap yang melingkar di pentakel besar itu, berikut cahaya merah dan biru yang berkobar, sebelum suara menggema terdengar mengisi ruangan, diiringi bau belerang, rumput kering, dan lumpur. Di posisi berdirinya, Haechan merasa amat sangat kecil, sebab tubuhnya kini tertelan dalam bayangan makhluk tinggi besar di pentakel, yang dipantulkan oleh cahaya bulan keperakan yang mengintip melalui garis lubang ventilasi.

Makhluk besar itu muncul di dalam pentakel kosong, begitu rapal mantra pemanggil menarik rohnya keluar dari Dunia Lain. Wujud makhluk menunjukkan tingkat dan derajat yang ia emban; kepalanya merupakan wujud kepala singa jantan, dengan bulu yang melingkar tebal di sekitar leher. Tangan, dada, hingga perutnya berupa tubuh milik algojo; besar, kukuh, berotot, hitam dan berkeringat. Tangan-tangannya melipat di depan dada, menonjolkan otot-otot yang padat. Sedang pinggang hingga kakinya merupakan perwujudan kaki elang, dengan cakar-cakar berbentuk bulan sabit, menancap kuat di permukaan lantai kayu. Terdapat dua sayap yang terbuka di seputar punggungnya, sepasang sayap berupa kulit yang menojolkan urat-urat. Makhluk itu mengaum seperti singa, sesekali kakinya menggesek-gesek permukaan lantai, meninggalkan jejak robekan kayu.

"Bassima," ucap si penyihir. Ia dan sang istri menganga, mengagumi dengan ngeri bentuk si jin yang menyeramkan.

"Sudah bertahun-tahun." Suara si jin menggema. "Apa yang membuatmu memanggilmu?"

"P-perjanjian kita, wahai Bassima," jawab si penyihir. Tubuhnya bergetar, meski ia sepenuhnya berada dalam lindungan pentakel. Wajahnya menunduk, enggan memandang sepasang manik merah si jin yang siap membunuh.

Bassima terenyak, kemudian tertawa. Tawanya menggelegar, menjatuhkan bubuk-bubuk tipis dari atap yang rapuh. "Manusia picik sepertimu masih ingat, ternyata. Mana dia? Mana mempelaiku?"

"Seorang putra, Bassima," ucap si penyihir. Kepalanya menunduk dalam-dalam, menunjukkan rasa hormat memuakkan yang membuat si jin mengernyit, merendahkan. "Kujanjikan akan menjadi suami-Mu yang paling setia. Dia berdiri di pentakel di hadapan-Mu, dan jiwanya milik Engkau sepenuhnya, Al-Jinni nun agung."

Tawa menggelegar menyusul setelahnya, tawa kemenangan yang memojokkan musuh, selayaknya memojokkan gerombolan rusa-rusa patah tulang, yang tak dapat kabur dan hanya bersiap untuk segala terkaman singa menuju kematian. Haechan merasa jiwanya rontok, melebur, mengalir keluar dari telapak kakinya dan mengotori lantai kayu, merusak goresan kapur pentakel. Bau belerang dari sosok si jin menghujam indra penciumannya dengan lebih kuat, membuat Haechan semakin takut dan ingin berteriak, namun tenggorokannya tersekat oleh mantra, yang mungkin dan tidak, telah ayahnya rapalkan untuk membungkamnya.

"Seorang suami." Bassima tergelak. "Bisa apa dia? Menatap aku saja tidak bisa. Takut kencing di celana."

"Hanya malu, Bassima."

Dari posisinya, Haechan mampu merasakan tusukan mata ayahnya dari seberang pentakel.

"Dia akan jadi budak-Mu, suami-Mu, makanan-Muㅡapa pun yang Engkau kehendaki."

Haechan memejamkan mata dengan erat, menarik napas dalam-dalam terkait usahanya menahan suara isakan, tatkala suara tangis ibunya kembali memasuki telinga. Dari segala masa, Haechan sangat mengasihani takdir hidupnya pada detik ini. Ayahnya, ayah kandungnya, pria yang telah membesarkannya, tega menyerahkan jiwanya pada iblis hanya karena takut iblis itu akan memangsanya. Padahal, segala hal yang terjadi merupakan kesalahan ayahnya semata: terbutakan oleh ambisi dan kompetisi dengan para penyihir yang bertingkat jauh lebih tinggi.

Selama beberapa saat, Haechan mendengar tak ada suara sama sekali dalam ruangan itu. Entah telinganya yang berubah tuli, sebab rasa takut yang menjalari tubuh menguasainya hingga skala yang tak seharusnya, atau memang benar terjadi kesunyian dalam ruangan itu. Di dalam kepalanya, Haechan tengah membayangkan si jin yang melayangkan tatap merendahkan ke arahnya, melihat jiwanya yang lemah, juga menyadari ketidaksempurnaan dari pentakel yang tengah diinjaknya, seolah menjerit dan memohon agar jiwanya diambil dan dilahap oleh makhluk buas itu.

Tetapi tidak. Bassima tidak melihat celah dalam pentakel itu sebagai bolongan pada tutup saji, yang membuatnya bisa mengintip sup yang tersaji di atas mangkuk. Melainkan, ia melihat cela di atas pentakel sebagai sebuah pintuㅡgerbang, yang menawarkan lengan sang mempelai, mendorong rohnya untuk bergerak ke luar dari lingkar pentakel besar tempatnya berada secepat mungkin dan meraih roh si lelaki muda dalam balutan tunik satin bermodel cukup terbuka yang membungkus tubuhnya. Betapa sosok itu terlihat begitu indah dan seolah membangkitkan roh jahanam yang telah lama tidur dalam diri Bassima.

Maka dengan itu, Bassima mengusahakan diplomasi menggunakan cara selembut mungkin, yang tidak akan membuat sosok lemah lelaki di depannya itu terlalu shock, sehingga yang terlintas dalam benaknya adalah sosok seorang pangeran muda yang pernah menjadi tuannya untuk waktu yang cukup lama. Dengan ingatan yang tersisa itu, Bassima mengerutkan seluruh rohnya, mengubah diri menjadi sosok seorang pemuda dengan kulit putih bersih; rambutnya sehitam malam, dengan kedua mata bulat bermanik delima gemerlapan, hidung bangir, serta sepasang bibir tipis. Tulang pipi si jinㅡpemuda ituㅡmenonjol tegas, memantulkan cahaya purnama di wajahnya, membuat tampilan yang sungguh rupawan. Ia membuat tubuhnya terlihat lebih tinggi dari sosok pangeran yang ia ingat itu, berbahu lebar, dan berlengan serta berkaki kukuh. Tubuhnya terbalut sutra berwarna keemasan, putih dan sedikit aksen cokelat; sebuah blus, celana, juga jubah yang melekat di kedua pundaknya. Cukup tambahkan sebuah mahkota berbatu delimaㅡapabila si jin menghendaki, maka ia telah menjadi sosok pangeran yang sempurna.

Sekali lagi, si penyihir dibuat terpana, dan sang istri dibungkam tangisnya oleh rupa rupawan si jin yang akan menjadi pasangan bagi anaknya. Hanya Haechan yang tetap menunduk, mengabaikan rasa kebas di tengkuk, juga segala perubahan yang telah terjadi di dalam ruangan itu. Tanpa sadar, membuat Bassima mendengar samar-samar suara isak tertahannya.

Perlahan namun pasti, Bassima, dalam tubuh pangerannya, berjalan keluar dari lingkar pentakel dengan penuh wibawa. Kedua tangan diletakkan di belakang punggung, sebagaimana pangeran sejati yang berjalan di hadapan rakyat, menebar pesona dan sikap berkuasa. Suara ketukan sepatu kulit di lantai berkayu menimbulkan dengung dalam telinga Haechan, hingga akhirnya, sebuah tangan pucat, dengan pergelangan yang terbalut kain sutra putih berbordir emas, memasuki daerah pandangnya. Bassima mengulurkan tangan ke arahnya.

"Mari," ujar si jin, mengeluarkan suara bernada rendah penuh kharisma, mengundang Haechan, merayunya dengan ajakan yang terdengar begitu lembut dan dingin di saat bersamaan; bagai sinar mentari di musim salju. Haechan sempat dibuat ragu, namun kalimat selanjutnya menyakinkan lelaki itu, membuatnya berani mendongakkan kepala dan menampilkan wajah yang penuh akan air mata. "Aku datang menjemputmu, mempelaiku."

Haechan bersumpah tidak pernah melihat wajah serupawan itu, wajah pemuda yang kini berdiri di hadapannya dengan aura yang membuat Haechan ingin melemparkan seluruh jiwa dan raga ke dalam dekapan sosok itu, sosok yang ia lupakan sebagai jin tingkat empat terseram: Bassima.

Dengan kesanggupan penuh, perlahan, Haechan mengangkat sebelah tangan dan meletakkannya di atas tangan si pangeran, membuat si pangeran memasang senyuman di bibirnya yang tipis, sedang mata bulatnya bercahaya, berkilauan.

"Ikuti aku," ujar Bassima, dan dengan itu, Haechan dengan perlahan melangkah keluar dari pentakel, mengikuti langkah hati-hati si pangeran yang menuntunnya memasuki pentakel yang lebih besar.

Keduanya berdiri berhadapan dan Haechan seolah terbius, ia tak dapat berpaling, hanya mampu menatap si pangeran yang begitu rupawan, dengan segala tingkah lembut memuaskan yang ditunjukkan pada Haechan. Seketika, lelaki itu merasa, mungkin sebuah pernikahan tidak akan seburuk apa yang ia bayangkan. Setidaknya, sebelum ia sadar bahwa rohnya tersedot ke dalam pusaran sempit yang membuat ia menahan napas; sadar bahwa perwujudan si pangeran adalah sosok jin yang akan menjadi suaminya, yang kini menarik roh Haechan menuju Dunia Lain; istana kekuasaan si jin. Meninggalkan cangkangㅡtubuhnya, yang seketika jatuh tak sadarkan diri di dalam pentakel sempit.

* * *

Segala rasa bahagia, yang Haechan gunakan untuk menghibur diri, seketika lenyap. Ia memandang ke hampar pemandangan di hadapannya, sebuah langit gelap dengan kabut hijau berudara sesak. Dunia Lain; sebuah tempat di mana waktu terhenti dan segala cahaya kehidupan tak mampu menembus. Haechan sampai mengabaikan tempat di mana ia berada, sebuah kastil megah dengan keseluruhan dinding dan fondasi yang terbuat dari kaca, berlian serta intan, berikut hiasan-hiasan permata alam yang indah: lapis lazuli, zamrud dan yakut. Di langit-langit, lampu-lampu yang terbuat dari kristal asli bergelantungan. Di sepanjang kastil, Haechan mendapati pelayan-pelayan yang sangat hormat padanya, membuat lelaki itu sadar akan statusnya, yakni pasangan Raja Jin yang memiliki kastil itu: Bassima.

Sejak tiba di kastil, Haechan tak banyak bicara. Para pelayan, yang menunjukkan wujud manusiawiㅡatas perintah raja mereka, ketika berhadapan dengan Haechanㅡterus membujuknya untuk makan dan melayani apa pun yang lelaki itu inginkan. Tetapi, Haechan tetap diam, seperti roh kosong tak bernyawaㅡapabila memang terdapat kasus demikian.

Hal itu membuat Bassima tak tahan. Ia menginginkan Haechan, dan dengan pundak dingin yang terus lelaki itu berikan, membuatnya habis kesabaran dan berusaha membujuk suaminya untuk bicara. Maka, dengan wujud pangeran tampannya, ia berjalan mendekati Haechan yang tengah berdiri di atas balkon, memandangi hamparan Dunia Lain yang terlihat tanpa warna selain kegelapan dan kesunyian.

Haechan tersentak kala merasakan sentuhan dingin di sekitar lehernya, dan menyadarinya sebagai gerakan si jin yang memasangkan sebuah kalung di sana; perhiasan dengan liontin berupa batu delima yang indah, merah merekah, diikat oleh jalinan rantai yang melingkari leher jenjang Haechan yang kecokelatan. Lelaki itu tidak menolehkan kepala untuk melihat si pelaku, ia hanya menunggu, hingga Bassima mengambil posisi tepat di sampingnya, berdiri di atas balkon.

Dilihat dari sisi mana pun, tampilan Bassima terlihat begitu menawan, tetapi Haechan tidak mau membodohi diri dan tetap mengingatkan benak dengan suara menggema tanpa henti, bahwa sosok itu hanyalah cangkang yang digunakan oleh si jin untuk memikatnya, jin yang selama beberapa waktu terakhir ini telah menjadi pengantinnya.

"Ini wujud asliku," ujar si jin tiba-tiba, seolah mengetahui dilema yang menyerang pikiran Haechan, "kau bisa beranggapan begitu, supaya semuanya bisa jadi lebih mudah. Kau juga boleh memanggilku Mark."

Haechan menoleh. "Mark?"

"Namaku yang lebih manusiawi, yang diberikan oleh masterku, dulu. Dia pikir Bassima memiliki keterkaitan dengan Mark, sehingga dia memberikan nama itu padaku, juga sebagai bentuk penyembunyian identitasku yang sesungguhnya; identitasku sebagai Bassima," jelas si jin.

"Mengapa kau perlu menyembunyikan identitas?"

"Persaingan antar penyihir di zaman dulu begitu gila, bahkan lebih gila daripada yang terjadi di masa sekarang. Musuh-musuh terbesar masterku adalah para sepupu dan saudaranya, yang berusaha melenyapkannya agar gelar Putra Mahkota yang diemban dapat berpindah tangan. Dengan itu dia percaya, bahwa menyembunyikan identitas asliku adalah taktik terbaik, supaya tak ada yang dapat merapalkan namaku di mantra-mantra pemanggilan, membuatku tetap menjadi miliknya, abdi paling setia yang berdiri hanya di sampingnya seorang."

"Hanya karena itu?" Haechan mulai menunjukkan rasa penasaran terhadap cerita tersebut.

"Tidak hanya itu. Dia juga bilang, nama Mark membuatku terlihat lebih manusiawi dan menghapus jarak antara kami, memudarkan garis batas yang ada antara penyihir dan jin yang dijadikan budak. Dan aku merasakan kesungguhan dari ucapannya, bahwa ia memperlakukanku bukan sebagai budak, melainkan sebagai teman, dan selalu seperti itu."

Haechan menangkap kesenduan dalam nada bercerita MarkㅡBassima, sehingga ia kembali bertanya. "Lalu, apa yang terjadi selanjutnya? Apa kau berhasil melindunginya hingga akhir?"

Sosok itu tidak menjawab. Terdapat keraguan di balik rupa tampannya, membuat Haechan bertanya-tanya mengenai tragedi apa yang telah terjadi sehingga membungkam mulut si jin, membuatnya enggan bercerita. Namun kemudian, si jin menolehkan kepala ke arahnya. Seringai terpatri di wajahnya yang tampan. "Aku akan melanjutkan ceritanya di ranjang kita, apabila kau ingin."

Wajah Haechan mendadak merona. Dengan gerak kikuk, lelaki itu kembali membuang muka, menatap hamparan dunia berudara mati di hadapannya. Ia tidak mengatakan apa-apa.

* * *

Suatu malam, Haechan mengitari kastil megah yang telah menjadi tempat tinggalnya, menyusuri seluruh bangunan kaca dan berlian yang bertatahkan permata-permata indah, juga pancaran cahaya dari lampu intan yang menggantungi langit-langit. Ia mendadak merasa ada yang kurang dalam kastil itu, dan ia menyadarinya sebagai sosok Mark. Haechan tidak melihat pemuda itu sejak beberapa saat lalu, dan itu membuatnya penasaran, sehingga ia bertanya pada salah satu pelayan, demi mengikis keingintahuannya atas keberadaan sang suami saat itu.

"Yang Mulia sedang tidak bisa kembali ke sini," ujar salah satu pelayan yang ia tanyai. "Telah ada sebuah pemanggilan, dan roh Yang Mulia tertarik menuju Permukaan."

Haechan tertegun, menyadari bahwa Mark tidak dapat menolak pemanggilan para penyihir hebat yang hendak menjadikannya budak, sebab nama Bassima telah tercatat di buku-buku daftar kumpulan nama jin, afrit dan foliot; yang menjadi buku dasar bagi para penyihir dan tukang jampi. Yang tidak ia sangka sebelumnya adalah, bahwa Mark pergi tanpa meninggalkan pesan untuknya. Bukankah ia suami jin itu? Tetapi mengapa ia tidak diperlakukan demikian? Mark juga belum pernah menyentuhnya, bahkan sejak ia tiba di sana dengan status sebagai pengantin.

Waktu demi waktu pun berlalu dan hari demi hari terlewat. Mark belum kembali ke kastil itu, yang mengindikasikan tugas si jin sebagai budak penyihir belum berakhir. Sedikitnya, itu membuat Haechan merasa khawatir. Ia memahami prosedur perbudakan jin oleh para penyihir, sebab ia pernah melihat sang ayah melakukannya sekali. Memang pria itu tidak mengendalikan jin berlevel tinggi setingkat Bassima, sebab ketika pertama kali melakukannya, yang pria itu hasilkan adalah bencana. Ayahnya memperbudak tiga imp dan satu foliot, yang Haechan tak ingat namanya. Dan meski sedikit dungu, makhluk-makhluk itu dipaksa untuk bekerja, dengan sang ayah yang memberikan perintah semena-mena dan akan memberikan hukuman mantra pengekang dan cambuk tatkala makhluk-makhluk itu membangkang atas perintahnya. Perbudakan itu dapat berlangsung lama, sesuai kehendak si penyihir. Dan pada titik itu, Haechan khawatir bahwa si penyihir yang tengah mengendalikan Bassima akan menjebak jin itu terlalu lama di dunia manusia, yang mana Haechan pahami juga sebagai kondisi tidak baik. Sesosok jin tidak boleh dibiarkan bertugas terlalu lama di dunia manusia, atau rohnya akan mengerucut dan rontokㅡsecara harfiah, di mana roh jin akan berubah seperti kain compang-camping yang penuh bolong di sana sini, membuatnya lemah, sebelum akhirnya lenyap.

Haechan tidak bisa menahan diri untuk tak merasa khawatir, bagaimanapun, MarkㅡBassimaㅡadalah suaminya, pasangannya, meski hubungan itu masih belum tampak terlalu jelas sekarang. Tetapi, Haechan meletakkan suatu rasa cemas terhadap sosok itu. Meski Bassima terkenal sebagai jin yang kuat, bahkan menyandang status raja di Dunia Lain, itu tak menutup kemungkinan bahwa rohnya akan rontok seiring dengan terlalu lamanya ia diperbudak dan dikekang dalam dunia manusia. Bagaimana bila Mark tidak akan kembali selama berbulan-bulan? Haechan benar-benar cemas.

Di tengah pikiran yang memuncak, Haechan tiba-tiba mendengar suara batuk kesakitan dari balik punggungnya. Hal itu membuatnya dengan cepat berbalik, demi mendapati sosok Mark yang tengah berlutut di lantai dengan kepala menunduk, tampak lusuh dan kelelahan. Dengan cepat, Haechan bergerak mencapainya, menangkup wajah pemuda itu demi menemukan raut kelelahan di sana, berikut sorot mata delimanya yang lesu. Namun, melupakan itu semua, bibir tipis Mark mengukir senyuman.

"Aku senang bisa melihatmu," ujarnya. "Kau tak tahu betapa aku sangat merindukanmu, Haechan."

"Kau sedang tidak baik-baik saja." Haechan terlihat begitu cemas dan hal itu merupakan pemandangan yang baru bagi Mark. "Akan kubantu ke kamar dan meminta para pelayan melakukan sesuatu."

*

Tubuh lemah Mark telah dibaringkan ke atas ranjang, bertelanjang dada, menampilkan beberapa luka cambuk yang tercipta di kulitnya. Para pelayan mengusapkan kain basah, yang direndam dalam air berwarna hijau pekat, ke tubuh Mark, membersihkan sekaligus mengobati luka-lukanya. Haechan hanya berdiri diam, agak jauh dari ranjang, memperhatikan dengan sedikit cemas, sebab tak tahu apa yang bisa ia lakukan untuk membantu. Tak lama, para pelayan selesai dengan kegiatan mereka, dan ketika pintu kamar tertutup, Mark bergerak bangkit di atas ranjang, membuat Haechan dengan sigap berlari ke arahnya.

"Kau harus istirahat, atau rohmu akan rontok!" omelnya. "Lihat semua luka itu!"

Mark terkekeh, duduk dengan punggung yang menyandari kepala ranjang. "Kau menggunakan istilah itu: 'roh rontok'."

"Itu yang dikatakan ayahku."

"Penyihir tua dengan ambisi murahan yang dungu. Ya, ya."

Haechan memutuskan mengabaikan komentar itu, dan memilih untuk bertanya mengenai kondisi Mark lebih jauh. "Apa yang telah mereka lakukan padamu?"

Mark mengedikkan bahu, acuh tak acuh. "Perintah-perintah seperti biasa: bertarung dengan para jin suruhan musuh-musuh masterku, tak lupa hukuman mantra cambuk karena aku sedikit membangkang."

"Kau seharusnya sadar bahwa penyihir tingkat tinggi tidak akan segan menyiksa para jin," komentar Haechan.

"Bagaimana kau tahu yang memanggilku adalah penyihir tingkat tinggi?"

"Hanya mereka yang bisa memanggil dan memberikan segala luka itu untuk jin setingkat dirimu."

Haechan jelas tidak memaksudkan hal itu sebagai sebuah pujian tulus, namun Mark menikmatinya, membuat ia tersenyum. Tanpa sadar, Haechan menyadarinya.

"Kenapa kau tersenyum?" tanya lelaki itu.

Mark mendongak, mempertemukan manik delimanya dengan manik hitam Haechan yang bercahaya, bagai mentari surgawi yang entah kapan terakhir kali Mark melihatnya.

"Aku merindukanmu," ucap Mark tiba-tiba, langsung membungkam Haechan.

Pemuda itu meraih sebelah tangan Haechan, sedang sang empu duduk di pinggir ranjang. Ia menciumi tangan itu dengan lembut, mulai dari punggung hingga pergelangannya, menghirup aroma Haechan yang memabukkan dan begitu hidup.

Haechan mendapati perlakuan itu dengan napas yang, tanpa sadar, tertahan. Jiwanya bergetar, dengan keinginan untuk membuat Mark menyentuh lebih banyak bagian tubuhnya, lebih daripada sekadar ciuman di tangan. Ia menginginkan si jin untuk menyentuhnya dan mencumbu seluruh tubuhnya. Pikiran itu membuat Haechan merasa takut, hingga ia meneguk saliva.

"Kau tahu alasan si penyihir menghukumku, Haechan?" tanya Mark kemudian, dan Haechan yakin ia tidak harus menjawab pertanyaan itu. "Karena aku memikirkanmu, memikirkan suamiku yang kutinggal seorang diri di kastil ini. Kau membuatku tidak fokus menjalankan perintah, membuat rohku nyaris 'rontok'." Pemuda itu terkekeh, dengan pegangan di tangan Haechan yang mengerat, menarik lelaki itu semakin dekat.

Haechan merasa sentuhan Mark terasa begitu hangat, nyaris panas, pada permukaan kulitnya. Tanpa sadar, ia bergerak semakin jauh menaiki ranjang, menuruti tarikan Mark, dan si jin menyadari hal itu. Mata merahnya menatap Haechan dengan lebih saksama, memperhatikan reaksi yang tubuh lelaki itu tunjukkan dan Mark sepenuhnya paham. Bahwa ikatan pernikahan yang mereka bentuk, cepat atau lambat, akan mendorong mereka untuk semakin dekat dan dekat,hingga tak lagi segan untuk melakukan hubungan yang lebih intimㅡberhubungan badan.

"Aku sangat, sangat merindukanmu, Haechan," bisik Mark sambil mengecup punggung tangan sang suami sekali lagi. Dan itu adalah hal terakhir yang dibutuhkan, sebab Haechan langsung bergerak menuju pangkuan Mark, mendekatkan diri secara intim, dengan napas hangat yang menerpa wajah si jin. Haechan menyatukan kening mereka, dan Mark menempatkan kedua tangannya di punggung telanjang lelaki itu, tempat yang tidak tertutupi oleh kain sutra yang Haechan kenakan.

"Aku juga merindukanmu, Mark," gumam Haechan, sehingga Mark segera menekan tengkuknya dan meraih bibir si manusia, mengulumnya dalam lumatan hangat yang membuat Haechan mengerang nikmat ke dalam mulutnya.

Bibir Mark terasa begitu membara, membungkus bibir Haechan dengan penuh kehangatanㅡnyaris mendekati panas, belum lagi lidahnya yang lihai, menyapu seluruh isi mulut Haechan dengan cara yang sangat menuntut. Kedua tangan pemuda itu menariknya hingga duduk sempurna di pangkuan, menindih kemaluan Mark yang dapat Haechan rasakan menegang di belahan bokongnya, membuatnya mengerang.

Sentuhan Mark pada tubuhnya begitu hangat dan memabukkan, hingga Haechan tak sadar kapan si jin menyingkirkan tuniknya sebagai serpihan robekan kain di lantai kamar, dan membaringkan tubuh telanjangnya ke permukaan ranjang yang empuk, menindih selimut yang menutupi seprai. Tanpa sadar, ia membawa tangan, yang semula melingkar di leher Mark, untuk terjun dan membelai dada pemuda itu, tanpa sengaja menyentuh luka cambuknya yang mulai mengering, membuat Mark mengerang hingga menyentak lepas ciuman mereka.

"Maaf. Aku tidak sengaja," Haechan bergumam dengan mimik khawatir, dan itu hanya mengundang kekehan Mark. Pemuda itu berbisik 'tidak apa-apa', sambil menciumi dan menjilati leher serta telinga Haechan, memberi sensasi yang lain bagi lelaki itu, dan Haechan memang berhasil terbuai.

Dengan gerak tangan yang lihai, Mark melepas celana kain yang masih melekat di pinggangnya, menariknya turun hingga membebaskan kemaluannya yang telah menegak dan memerah. Ia membelai lubang tubuh Haechan yang telah basah oleh lendir, kembali menciumi bibir lelaki itu, sesaat sebelum memosisikan kemaluannya, yang telah menegak dan memerah dengan marah, ke depan lubang Haechan, mendorongnya secara perlahan, menciptakan sentak kesakitan di tubuh lelaki itu.

Meski Mark melakukannya secara perlahan dan lembut, Haechan tetap tak bisa membuang fakta bahwa ia kesakitan. Dengan sentakan kuat, ia melepaskan ciuman, membuang kepalanya ke belakang sambil mengerang dan memejamkan mata. Kuku-kukunya menancap di kedua pundak Mark ketika pemuda itu terus mendorong penisnya masuk, merobek tubuhnya, memberikan efek setrum yang membuat Haechan mengejang kesakitan.

"Kau bisa, Haechan." Mark, meski terengah akibat regaman nikmat yang lubang Haechan berikan bagi penisnya, tetap berusaha menenangkan lelaki itu, memberi ciuman lembut di sekitar leher dan dadanya. "Sedikit lagi." Dan dengan itu, ia menyentak sisa penisnya ke dalam lubang Haechan, mengundang lolong kesakitan keluar dari mulut suaminya.

"Sakit..." Haechan merintih, air mata mengalir di pipi tanpa kira-kira. Tubuhnya kaku, tak bergerak, dengan kedua kaki yang bergetar di sekitar pinggang Mark, sedang otot-otot lubangnya mengepak-kepak di sekitar kejantanan si pemuda, membuat suaminya mengerang nikmat, berbanding terbalik dengan apa yang Haechan rasakan. "Lakukan sesuatu, Mark. Rasanya sakit sekali."

Mark membungkukkan tubuh, sehingga kemaluannya masuk semakin dalam ke lubang Haechan, membuat lelaki itu menyentakkan napas tatkala Mark kembali meraih bibirnya, dengan tangan yang membelai seluruh tubuhnya dalam gerakan lembut, memanjakan kulit cokelatnya dengan lihai.

Perlahan, Haechan melupakan rasa sakit di lubangnya, membuat kedutan di liang berlendir itu menjadi semakin rileks; otot-ototnya mengisap penis Mark masuk semakin dalam, dan itu memberi si jin tanda untuk mulai bergerak. Mengabaikan rasa sakit dari luka di tubuhnya, ia melakukan gerakan maju dan mundur, menarik kejantanannya keluar dari lubang Haechan, sebelum kembali mendorongnya masuk, merasakan kehangatan dan kelembapan di dalam lubang itu. Keduanya mulai terengah, melenguh, dengan suara kecipak dari dua bibir yang beradu, mengiringi kegiatan cinta mereka.

Gerakan Mark begitu hati-hati pada mulanya, namun tidak ketika liang Haechan mulai menguarkan hawa panas yang semakin meningkatkan libido, belum lagi otot-otot lubangnya yang mengisap penis Mark semakin masuk dan masuk. Pemuda itu berubah jadi tak sabar, sehingga menggerakkan pinggulnya dengan lebih cepat, nyaris brutal, mengundang desahan nikmat Haechan memenuhi ruang kamar mereka, suara yang telah lama selalu ingin Mark dengar, bahkan sejak pertama kali ia melihat Haechan yang berdiri di dalam lingkar pentakel tak sempurna.

Bermenit-menit berlalu dan puncak kenikmatan mulai menguasai seluruh tubuh Mark, begitu pula Haechan, yang desahannya semakin keras dan tak terkontrol. Kedua tangannya mencengkeram bahu Mark dengan kuat, sedang penisnya menegak dan siap memuntahkan isinya.

"Oh, Haechan...."

Mark melingkarkan kedua lengan di tubuh Haechan yang telentang, menariknya semakin dekat untuk mengentak penis semakin dalam, menghujam titik terdalam Haechan berkali-kali, membuatnya sulit bernapas. Gerakan Mark yang menggila membuat ia hilang kewarasan, tak ada lagi yang mampu dilakukan selain mendesah dan mendesah, dengan tangan yang mencengkeram kuat, juga mata yang terpejam erat. Kemaluan yang berdiri pun membuat seluruh tubuhnya menjadi sangat sensitif, belum lagi buntalan saraf yang terus Mark tumbuk di dalam tubuhnya, sehingga yang terjadi selanjutnya adalah lengkingan Haechan yang keluar semakin keras, seiring dengan penis yang memuntahkan cairan putih hangat. Dan ketika lubang Haechan menyempit atas orgasmenya, kemaluan Mark pun memuntahkan cairan yang sama, menyemprotkannya jauh, berkali-kali, ke dalam lubang hangat Haechan.

Si jin mengerang di lekuk leher si lelaki manusia, yang kini masih terengah, mengatur napasnya.

*

Mark berbaring dengan punggung Haechan yang melekat di permukaan dadanya, mendekap tubuh si manusia dengan erat. Tangannya yang melingkari pundak dan dada Haechan secara posesif, mendapat usapan lembut dari tangan suaminya. Mereka tak bicara, membiarkan waktu terlewat. Mark sibuk menghirup aroma dari tubuh Haechan, sedang Haechan mengarahkan matanya lurus pada tapestri yang menggantung pada dinding dekat perapian, bergambar seorang wanita yang menari di atas permadani, diiringi tabuhan rebana beberapa pria, menyita perhatian seorang ksatria berkuda. Haechan menduga itu adalah gambaran dari situasi sosial Timur Tengah. Ia ingin menanyai dari mana asal tapestri itu, namun mulutnya enggan membuka.

"Masterku yang memberikannya." Seolah mengerti isi pikiran Haechan, Mark tiba-tiba bicara, setelah memberi kecupan lembut di ceruk leher lelaki itu. "Sebagai kenang-kenangan, katanya. Sebuah mahakarya tapestri yang dibuat di sekitaran Mesir, tahun 20 Sebelum Masehi."

"Kau membaca pikiranku," gumam Haechan. "Apa kau selalu melakukannya?"

Mark berhenti menciumi Haechan, seketika terdiam dengan posisi masih memeluk lelaki itu. Pandangannya ikut mengarah pada tapestri di seberang ruangan, melihat gambar keelokan wanita dengan balutan pakaian tradisional Timur Tengah, lengkap dengan selendang dan perhiasan kepala. Kakinya telanjang, menginjak permukaan permadani, sebagai tumpuannya berlenggak-lenggok.

"Aku tidak bisa menahan diri," jawabnya kemudian. "Kalianㅡmanusia, seperti buku terbuka bagi kami, para jin. Kami bisa membaca apa yang benak kalian bayangkan, dan terkadang itu menjadi keuntungan bagi kami. Beberapa di antara kami bisa memanfaatkan rasa takut yang kalian rasakan, menjelma sebagai apa yang otak kalian pikirkanㅡhal paling seram sekalipun."

"Dan kau," Haechan berkata lagi, "apa sebelum mengambil wujud seperti ini, kau membaca isi pikiranku?"

"Tidak." Mark menggeleng, menumpukan sebelah pipinya di atas kepala Haechan. "Aku tidak mengikuti pikiranmu. Sebaliknya, aku memilih untuk mengikuti isi pikiranku, dan berakhir beruntung sebab kau menyukainya."

"Kenapa kau tidak menggunakan wujud aslimu untuk menarikku kemari?"

"Jin tidak memiliki bentuk asli, Haechan. Kami adalah sebuah zat tanpa bentuk kasar. Jelmaan yang kalian ketahui adalah hasil dari buah pikiran manusia, yang kemudian dimanfaatkan oleh para jin untuk membentuk perwujudan fisiknya. Sehingga kalian terkadang akan melihat pria atau wanita paling menawan, atau monster yang menakutkan, tak jarang pula hantu yang seram."

"Dan apa wujudmu yang sekarang adalah tampilan kesukaanmu?" Haechan menolehkan kepala kali ini, mendapati Mark yang menunduk, menatapnya. "Pikiran siapa yang kau baca sehingga memilih wujud seorang pemuda setampan ini?"

Mark tersenyum tipis. Dalam matanya, Haechan melihat sebersit rasa sakit di wajah pemuda itu, dengan sedikit sentuhan rasa kecewa, yang ia sama sekali tak bisa tebak sebabnya. Ketika senyum di wajah Mark perlahan menghilang, Haechan membalik badan, menghadapkan wajah dan tubuhnya pada pemuda itu. Tangannya perlahan bergerak, menangkup rahang tegas Mark. "Ada apa?"

Mark menarik napas dalam-dalam, sebelum mengarahkan kedua manik delimanya kembali pada Haechan. "Aku tahu kau pasti menyukainya, tidak ada yang tidak," jawaban itu lantas membuat kedua alis si manusia bertaut. "Ini adalah perwujudan dari masterku, Haechan. Penyihir muda yang memperlakukanku dengan persamaan derajat yang tidak akan mau penyihir-penyihir lain lakukan. Dia adalah penyihir muda paling berbakat dan cerdas, saking cerdasnya, gabungan dari seratus cendekiawan pun tidak bisa mengalahkannya. Dia adalah seorang Putra Mahkota dari negeri lembah, di dekat perbatasan kekaisaran Sheba, sosok yang juga memberikan nama bagiku; Mark."

Haechan berkedip, sejatinya tidak mengetahui apa yang harus ia katakan untuk merespons perkataan itu. Tetapi, ia juga tidak mau sampai percakapan itu terhenti, sehingga ia kemudian bertanya, sambil wajahnya ia tenggelamkan dalam ceruk leher Mark yang pucat. "Siapa nama pangeran itu?"

"Pangeran Minhyung," jawab Mark.

"Hmm?" Haechan menggumam, mulai merasakan kantuk ketika sentuhan tangan suaminya, yang bergerak lembut di sepanjang tulang punggung telanjangnya, memberi kehangatan serta kenyamanan yang membuai.

"Sayangnya, dia tewas di usia muda, terbunuh oleh saudara-saudaranya tepat di hari ketika dia mengakhiri ikatan kerja sama denganku. Tapestri itu, yang kau lihat menggantung di dekat perapian, adalah hadiah terakhir yang sempat dia berikan untukku. Dan dengan aku mengambil perwujudannya, adalah sebagai bentuk kasih sayangku terhadap master yang pernah memperlakukanku dengan sangat hormat." Mark kemudian melirik Haechan yang telah tertidur, membuatnya tersenyum dan mengecup kening sang suami dengan lembut. "Dialah Pangeran Minhyung."

:::

So, gimana part 1-nya? Jangan lupa tinggalin vote serta komentar, dan jangan lupa juga buat follow akunku bagi yang belum ^^ See you on the last part a.k.a part 2!!! ^^

Luv~

Continue Reading

You'll Also Like

135K 9.1K 9
Membiarkan diri sendiri jatuh hanya untuk orang lain? Itu tak akan terjadi. Namun jika dihadapkan pada realita, jika itu dihadapkan pada dirimu, har...
15.7K 2.9K 7
[ Taennie local fan fiction. PG - 15 myb? idk, rate can change according to the story ] Mengutip dari perkataan Nathan, katanya, mantan itu manis di...
6.9K 512 18
Tentang kisah yang pernah hilang.... []
280 53 8
"Kamu yang menerimaku begitu saja, aku bersyukur karena kamu menerimaku dengan baik." "I can erase your memory if you want, so you can forget me, Hae...