Mr. Cold Billionaire

By indahmuladiatin

1.2M 113K 32.6K

FOLLOW DULU SEBELUM BACA 🌼🌼🌼 Jika sebuah nama adalah doa, maka mungkin saat itu doa itu entah tersangkut d... More

Prolog
BAB 1
BAB 2
Bab 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 9
BAB 10
BAB 12
BAB 13
BAB 14
BAB 15
BAB 16
BAB 17
BAB 18
BAB 19
BAB 20
BAB 21
Bab 22
BAB 23
BAB 24
BAB 25
BAB 26
BAB 27
BAB 28
BAB 29
BAB 30
BAB 31

BAB 11

60.9K 4.3K 773
By indahmuladiatin

Holaa selamat malam, wkwk lagi suka upload jam segini. Kemaren HSHL pun jam seginian kayaknya.

Malem ini Raka dkk yaa yang nemenin. Jangan lupa vote dan komentar untuk dukung cerita ini. Mohon maaf kalau ada typo yang bertebaran.

Follow ig @indahmuladiatin untuk info ceritaku

Happy reading guys! Hope you like this chapter 😍😍😍

🌼🌼🌼

Chika mengecek dokumen yang baru saja Raka berikan. Sebagian memang laporan yang tadi dia kerjakan, tapi sebagian bukan, karena ini laporan menyeluruh. Dia kembali mengulurkan dokumen itu. "Tolong jelaskan mana yang aneh."

"Perhatikan laporan pengeluaran baik-baik," kata Raka.

Tatapan Chika makin curiga, tapi dia menuruti Raka. Dengan teliti, dia mengecek semua data pengeluaran selama satu bulan. Tentu bukan hal yang mudah, Raka benar-benar mengerjainya sekarang. Yaa Chika tahu, pasti pria ini tidak terima dengan ucapannya tadi. Bodoh, bagaimana dia bisa bicara sembarangan, harusnya dia tahu kalau ada dua orang itu di kantor ini, pasti Raka juga ada di sana.

Berjam-jam, mata Chika tidak lepas dari dokumen itu. Sesekali dia melirik Raka yang asik makan sambil membaca tabnya. Seperti dirinya tidak ada di ruangan ini, seperti suara perutnya tidak terdengar. "Aku menyerah!"

Raka masih mengunyah makanan dengan santai. Tujuannya masih di sini memang hanya untuk menunggu Chika memperbaiki laporan keuangan. Pekerjaannya sendiri sudah selesai sejak tadi. Sebenarnya dia tidak benar-benar mengerjai Chika, memang ada kesalahan dalam laporan itu. Tentu tidak bisa dilihat hanya dengan mengecek satu dokumen. Harus ada perbandingan dengan laporan lainnya, tapi dia sengaja diam sampai Chika menyadari kebodohannya itu.

"Apa yang salah, seluruh hitungan tepat, pengeluaran, pemasukan semua sesuai jumlahnya," kata Chika sambil membolak-balikan laporan itu.

"Tepat," kata Raka sambil menghampiri Chika. Di tangannya ada satu dokumen keuangan mingguan. "Ini dokumen bulan lalu, lihat perbedaan harganya."

Chika mengambil dokumen itu dengan mata menyipit. "Kenapa tidak bilang daritadi kalau ada dokumen lainnya? Kamu mau membuatku mati kelaparan?"

"Hiperbolis," balas Raka.

Sabar, cuma itu yang Chika ucapkan. Lagi-lagi Chika mengecek dua dokumen itu. Ada bahan produk yang harganya meroket naik. Seperti tidak masuk akal dalam waktu satu bulan harganya naik dengan pesat. Memang kalau dilihat sekilas, maka akan sama. Ini bukan tidak sengaja karea beberapa barang pun begitu.

"Maksudmu, ada yang main-main dengan uang perusahaan?" tanya Chika hati-hati.

Raka mengangguk dengan santai. "Menurutmu apa ada oknum yang bisa dicurigai?"

"Aku belum lama di sana, menurutku mereka tidak ada yang mencurigakan," jawab Chika.

Raka menghela nafas, senyumnya mengembang sinis. "Ini hanya tikus kecil, sepertinya kasus ini berkaitan dengan kasus kemarin. Rahasiakan masalah ini sampai aku berhasil menyelidiki semua."

"Apa yang bisa aku bantu?" tanya Chika.

"Aku butuh beberapa data dari bagian finance," kata Raka.

Chika menganggukan kepala. "Oke, besok semua akan ada di mejamu. Kalau begitu kita akan lembur?"

"Aku mau menyelidiki diam-diam, kita tidak bisa mengecek semua di kantor," kata Raka.

Chika bersedekap, berpikir sebentar. "Di rumah? apa Om Karel tahu masalah ini?"

Raka menggelengkan kepala, seluruh laporan keuangan sudah menjadi tanggung jawabnya sejak bulan lalu. Dia tidak mau menambah beban ayahnya. "Apartemenku, kita pulang ke sana besok."

"Hem, oke. Jadi sekarang boleh aku pulang? Aku lapar," kata Chika.

Raka mendengus dan bangkit kembali ke meja kerjanya. Menyambar tas dan jas kerja. "Ayo, aku juga ingin mampir ke rumah."

🌼🌼🌼

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Di antara keramaian malam, Chika menatap keluar jendela mobil. Beberapa pedagang kaki lima sedang bersemangat menawarkan barang dagangannya. Makanan – makanan itu, rasanya Chika rindu jajan di pinggir jalan setelah lelah seharian bekerja.

Raka mampir ke tempat makan yang cukup terkenal itu. Mereka memilih tempat di dekat jendela. Memang menyenangkan makan sambil menatap pemadangan luar. Tapi tentu bukan di saat sekarang, saat erut benar-benar kosong rasanya.

Chika memesan dua menu utama, tidak peduli dengan pandangan aneh dari Raka. Toh pria ini sudah tahu semua kejelekannya. Tidak perlu jaga image lagi. Pokoknya makan itu yang penting kenyang, bukan yang penting tetap cantik, tetap keren, atau apalah itu. Saat pesanan datang, tanpa banyak bicara Chika langsung melahapnya. Kejadian pelabrakan di kantor tadi juga membuatnya makin lapar.

"Apa kamu baik-baik saja?" kata Raka.

Chika menghela nafas, tangannya berhenti menyuapkan makanan. Dia tahu maksud pertanyaan Raka adalah tentang pelabrakan tadi. "Kenapa mereka sampai dipecat? Itu berlebihan Kaka."

"Kamu bukan satu-satunya yang mereka ganggu, ini keputusan final," jawab Raka.

"Aku takut rumor pertunangan kita makin kuat," kata Chika. Dia tidak mau membuat Raka terkena rumor yang tidak enak lagi. Katanya waktu itu Raka sempat diragukan kemampuannya, sampai rpia itu harus memulai semua dari bawah. Sudah di posisi ini, dia tidak mau membuat Raka digosipi lagi. Bagaimana kalau nanti orang-orang menilai kalau Raka seenaknya memecat karyawan karena mengganggu tunangannya.

"Jangan pikirkan rumor yang Bunda buat," kata Raka.

"Tapi-"

"Cepat makan, Bunda pasti sedang berimajinasi panjang karena kamu belum pulang," potong Raka.

Chika menahan senyumnya karena kata-kata Raka. Dia menganggu setuju. Bunda Fian memang selalu punya pemikiran luar biasa, bahkan tidak terduga. Kadang konyol sampai membuatnya tertawa. Kesimpulannya selalu membuat om Karel geleng-geleng kepala, memilih pasrah dan mengiyakan semua biar cepat.

"Nanti malam kompres pipimu," kata Raka yang sudah kembali sibuk dengan makanannya.

Chika menyentuh pipinya sendiri, kemudian mengangguk. "Oke."

🌼🌼🌼

Sampai di rumah, Chika langsung pergi ke kamarnya. Dia lelah, ingin langsung mandi dan mengistirahatkan diri. Besok adalah hari yang berat. Dimulai dari mengumpulkan data yang Raka minta, dan pasti besok pun akan banyak pekerjaan. Dia besok juga harus menemani Wulan mencairkan giro. Benar, tentu saja pekerjaannya tidak mudah. Ini bukan perusahaan sembarangan.

Usai mandi, Chika duduk di meja rias, menatap pantulan wajahnya di cermin. Pipinya lebam karena tamparan dari Gracia. Dia pikir lebamnya sudah hilang, pantas tadi Raka menyuruhnya mengompres pipi. Cih, pria itu memang selalu bisa bersikap manis dan dingin di waktu yang bersamaan. Chika tersenyum kecut mengingat kejadian tadi. Pria mana yang bisa santai makan padahal di depannya ada seorang perempuan yang sedang kelaparan.

Ketukan pintu mengalihkan perhatiannya. "Yaa masuk."

"Kamu udah makan?" tanya bunda.

Chika meganggukan kepala dan terseyum manis. "Udah tadi sama Kaka, kenapa Bunda?"

"Tadi Raka izin kalau besok kamu sama Raka nggak pulang, memang ada acara apa sih?" tanya bunda.

"Oh iya Chika mau ke apartemennya Kaka, sekalian nginep di sana," jawab Chika tanpa memberitahu alasannya pergi ke sana.

Bunda membekap mulutnya sendiri. "Yaa ampun, ingat sayang kalian belum sah. Jangan yaa, mending Raka yang menginap di sini."

"Hah oh bukan itu Bunda."

"Ckckck dia itu pura-pura menolak padahal mau," kata bunda lagi.

Chika ingin menjelaskan tapi bunda sudah keburu keluar. Pasti mau menghampiri Raka. Mungkin lebih baik Raka yang memberi jawaban. Jawaban pria itu kan selalu masuk akal, meski bohong. Raka kan tidak mau menceritakan masalah ini dulu sebelum semuanya jelas.

Buru-buru Chika membuntuti bunda. Benar kan kalau bunda langsung menghampiri Raka. Dari luar ruang baca, Chika mencoba untuk menguping. Keningnya berkerut dalam, apasih yang dibicarakan, kenapa tidak terdengar. Apa ruangan ini juga kedap suara. Luar biasa sekali rumah ini.

"Dengerin apa Kak?" tanya Caramel yang ikut mendekatkan telinga ke dinding.

"Astaga!" kata Chika kaget. Punggungnya menegak dengan cengiran canggung. "Oh haha bukan apa-apa. Kamu baru pulang?"

"Hehe iya, abis main sama Umbel," jawab Caramel.

Chika mengangguk mengerti, matanya melirik pintu ruang baca. Dia ingin sekali dengar tapi sepertinya tidak bisa. Mungkin besok dia bsia bertanya langsung pada Raka. Itupun kalau Raka mau menjawab, pria itu tidak suka ditanya hal yag tidak penting. Hanya membuang waktu katanya.

"Di dalem ada siapa sih Kak?" tanya Caramel ikut penasaran karena Chika sepertinya mau masuk ke sana.

"Kaka sama Bunda, yaudah Kakak ke kamar yaa. Kamu mandi sana, abis itu makan," kata Chika sebelum berlalu kembali ke kamar.

🌼🌼🌼

Pagi ini Chika sudah sibuk berada di tempat penyimpanan dokumen laporan keuangan. Dengan teliti dia mencari dokumen yang Raka inginkan. Seluruh bukti pengeluaran dan pemasukan pun dia kumpulkan dalam dua bulan terakhir. Harus pagi-pagi sekali agar tidak banyak orang yang tahu. Kata Raka, jangan biarkan orang lain tahu apa tujuannya.

Usai menemukan semuaya, Chika kembali ke meja kerja dan membereskan meja kerja. Kata Raka, nanti siang saat jam istirahat, dia bisa pergi ke ruangan pria itu. Agak malas karena pasti akan semakin banyak yang menganggap berita pertuangannya dengan Raka itu benar, tapi ini masalah pekerjaan, tetap harus profesional dan mengesampingkan urusan pribadi.

"Wah rajinnya Bu bos," sapa Wulan yang baru saja datang.

Chika memutar bolamata. "Kalau aku jadi bosmu, aku potong gajimu karena terlalu banyak makan saat bekerja."

Wulan tertawa dan menangkupkan tangan di depan dada. "Tolong jangan Bu, saya nggak kuat tanpa cemilan di waktu kerja."

🌼🌼🌼

"Wah lihat siapa yang dateng? kangen Bos yaa?" tanya Dita menyambut Chika yang datang ke ruangan Raka.

Oke sekarang Chika gemas karena dua sahabat barunya ini suka sekali menggodanya. Tadi sepagian Wulan, sekarang jam istirahat dia harus menghadapi Dita. "Pak Raka ada kan?"

"Ada tuh, oh iya itu dokumen yang Bos minta?" tanya Dita. Pastinya Dita tahu apa yang sedang Raka selidiki sekarang.

Chika menganggukan kepala. "Untung tadi pagi karyawan finance belum ada yang datang. Yaudah aku masuk dulu, takus bos marah."

🌼🌼🌼

Chika menyerahkan dokumen itu pada Raka. "Sesuai yang Bapak minta, semua ada di sini. Saya jamin tidak ada yang tahu karena tadi pagi belum ada yang datang Pak."

"Hem," jawab Raka. Tangannya merogoh saku jasnya, mengeluarkan kunci mobil lalu melemparnya pada Chika.

Untung saja Chika langsung reflek menangkap, kalau tidak kunci itu bisa mengenai kepalanya. Mulutnya sudah ingin melontarkan protes tapi dia memilih bungkam. Percuma marah-marah pada Raka, lagipula karyawan mana yang berani marah-marah pada bosnya.

"Nanti tunggu di mobil, aku harus mengecek bagian arsip," kata Raka.

"Hah? Apa kata orang kalau saya pegang kunci mobil Bapak?" tanya Chika.

Raka mengangkat bahu, acuh. "Toh rumor pertunangan sudah menyebar, Bundaku sendiri yang mengumumkan. Bahkan kalau aku tidak menyapa kamupun mereka akan tetap berpikir kamu tunanganku."

"Kaka!" protes Chika.

"Pak, ini di kantor," koreksi Raka dengan wajah super menyebalkan.

"Pak Raka!" ulang Chika.

"Kasihan, kamu harus bertunangan dengan pria berperangai buruk," gumam Raka sambil kembali membuka dokumen.

Chika membuka mulutnya, takjub. Astaga, Raka masih kesal karena perkataannya kemarin. Pria ini benar-benar balas dendam. Padahal kemarin pria ini sudah cukup memberikannya pelajaran.

🌼🌼🌼

Raka dan Chika tiba di apartemen yang dulu sempat Chika tinggali meski hanya satu hari. Tidak banyak yang berubah dari apartemen ini. Hanya ada beberapa perabotan tambahan. Mungkin Raka merasa masih kurang, padahal menurut Chika semua sudah lengkap. Sangat lengkap malah.

"Apa ada yang pernah datang ke sini?" tanya Chika. Dia duduk di pantri dan meletakan tasnya.

"Kamu tamu pertama," jawab Raka sambil menyiapkan dua gelas minuman.

Chika terkekeh geli dan menganggukan kepala, yaa dia percaya. Siapa yang bersedia mendatangi kandang macan. Tapi apa Dewa dan Arga juga tidak datang ke sini. Bukannya dua orang itu sering main ke kantor. Mana mungkin tidak pernah main kemari.

"Kalau Dewa dan Arga?" tanya Chika lagi.

Raka meletakan minuman di depan Chika. "Kamu pikir pekerjaan kami cuma bergosip?"

"Cih, aku kan cuma bertanya," balas Chika karena jawaban ketus Raka.

Raka mengabaikan ucapan Chika dan mulai membuka dokumen yang tadi siang Chika berikan. Pekerjaannya banyak, tidak sempat membicarakan masalah yang tidak penting. Apalagi berdebat dengan Chika, daripada berdebat dengan gadis ini lebih baik dia bekerja berhari-hari.

Tidak butuh waktu lama bagi Raka dan Chika untuk tenggelam dalam pekerjaannya masing-masing. Chika sibuk mencatat pengeluaran dalam buku, sedangkan Raka fokus meneliti kesalahan-kesalahan data ini. Keuangan perusahaan sedang terganggu dan dia baru sadar, bodoh sekali. Bagaimana bisa dia mengurus perusahaan nantinya.

"Ada yang aneh," gumam Raka.

Chika ikut menatap layar laptop milik Raka. "Apa? kamu menemukan sesuatu?"

"Apa pembayaran selalu tunai?" tanya Raka.

Chika berpikir sebentar kemudian menggelengkan kepala. "Sebagian ada yang mengangsur dalam dua sampai tiga kali pembayaran. Tapi jangka waktu hanya setahun, itu pun untuk perusahaan kecil."

"Jadi itu yang mereka tutupi," gumam Raka.

"Hah apa? memangnya ada apa sih?" tanya Chika penasaran.

"Mereka mencoba korupsi dengan membuat laporan bahwa semua produk sudah dibayar lunas," jawab Raka. Senyumnya mengembang sinis. Dia tahu pasti apa tujuannya, jelas ini untuk menggoyahkan posisinya sebagai calon direkur utama.

"Astaga," gumam Chika. Baru kali ini dia terlibat dengan urusan sebesar ini. Dia kan selalu bekerja sebagai karyawan biasa, mana dia tahu masalah penting perusahaan. Ternyata rumit sekali dunia bisnis ini.

Raka menghela nafas, lebih baik mandi dulu agar pikirannya bisa lebih fresh. Dia pergi ke kamarnya meninggalkan Chika yang masih takjub melihat temuannya barusah. Ini bukan hal baru baginya. Beginilah dunia bisnis. Korupsi, suap-menyuap, semua penuh dengan intrik. Kelicikan dan saling menjatuhkan sudah menjadi hal yang biasa. Kata-kata bundalah yang membuat Raka memiliki prinsip yang kuat.

Jadilah yang terbaik, tapi bukan dengan cara menjatuhkan orang lain. Jadi yang terbaik dengan mengerahkan kemapuanmu semaksimal mungkin, berusaha keras dan tekun, maka prosespun tak akan pernah mengkhianati hasilnya. Sejak kecil, bunda selalu menanamkan itu. Bunda yang sering mengacaukan banyak hal, tapi tetap menjadi wanita paling bijaksana yang penah dia kenal.

🌼🌼🌼

Chika meneguk minumannya hingga tandas, rasanya haus sekali setelah membaca laporan itu. Padahal masih banyak yang harus di baca. Oh yang benar saja, lehernya sudah pegal sekali. Rasanya ingin rebahan sebentar saja. Memejamkan mata lima menit pun sudah sangat cukup. Kepalanya menggeleng, dia tidak mau kena damprat Raka. Lagipula dia ke sini kan bukan untuk bersantai. Jangan sampai nanti dia diseret keluar karena dirasa tidak berguna.

Ponsel Raka berdering, Chika mengambilnya dan langsung pergi ke kamar Raka. "Kaka ada telfon.. Kaka?"

Tidak ada balasan dari dalam. Chika membuka pintu dengan hati-hati dan tidak mendapati pria itu. Mungkin sedang mandi. Dia mengetuk pintu kamar mandi. "Kaka, ini ada telfon."

"Angkat," kata Raka.

"Oke," jawab Chika. Dia menggeser layar kotak itu. "Yaa halo?"

"Maaf ini dengan siapa? Dimana Tuan Raka?" tanya pria di seberang sana.

Chika duduk di sofa dekat jendela yang saat itu mejadi tempat favoritnya. "Saya Chika, maaf Kaka sedang mandi. Apa mau menunggu?"

"Oh maaf saya mengganggu, tolong sampaikan saja pada Tuan kalau Nona Lyza baik-baik saja, hari ini dia ada kegiatan di luar dan tidak ada masalah apapun."

Chika terdiam, dia menatap jendela yang menampilkan pemandangan gedung-gedung tinggi. Lyza, siapa gadis itu. Kenapa Raka menyuruh orang lain mengabarkan tentang gadis itu, kenapa tidak bertanya langsung. Apa Raka tipe orang yang pemalu sampai tidak berani bertanya langsung.

"Nona?"

"Ohh yaa, baik nanti aku sampaikan," jawab Chika.

"Tentang Tuan Kenneth, sepertinya benar kalau dia tidak ada di London. Tolong sampaikan pada Tuan Raka, terimakasih Nona."

Chika meletakan ponsel itu di atas meja. Matanya kembali menerawang jauh, apa yang sebenarnya dia pikirkan. Kenapa dia sangat penasaran tentang gadis yang bernama Lyza itu. Ayolah, itu bukan urusannya.

Pintu kamar mandi terbuka, Raka keluar hanya dengan handuk yang melilit bagian bawah tubuhnya. Saat Chika menoleh, keduanya sama-sama kaget. Chika menutup wajahnya dengan telapak tangan. "Aku tidak lihat apapun."

Raka mendengus dan langsung mengambil pakaiannya lalu kembali ke kamar mandi. Tentu saja, mana mungkin dia mau berganti pakaian di depan Chika. Jangan berpikir macam-macam. Ini saja pasti bunda juga sudah berimajinasi panjang dikali lebar.

Raka sudah mengenakan pakian santai. Dia duduk di samping Chika dan mengecek ponselnya. "Siapa?"

"Orang yang melaporkan kondisi Lyza, katanya dia baik dan Kenneth tidak tinggal di London," jawab Chika. "Lyza itu pacarmu ya? Kenapa kamu tidak tanya langsung saja? Apa harus lewat orang lain?"

Raka memutar bolamatanya dan kembali meninggalkan Chika. Dia mengambil handuk di lemari dan melemparnya pada Chika. "Cepat mandi."

"Huh kalau tidak mau jawab yasudah," keluh Chika kesal.

Respon dari Raka selalu saja menyebalkan. Padahal pertanyaanya kan tidak macam-macam. Yaa cukup kepo sih, tapi kan kalau tidak mau jawab yasudah tinggal bilang kalau dia malas menjawab. Bukannya bersikap menyebalkan seperti tadi.

Chika mandi dengan cepat dan memakai baju yang dibawa. Hanya kaus kedodoran dan celanan selutut. Dia mencepol asal rambutnya dan keluar kamar, menghampiri Raka lagi. Yaa waktunya kembali bekerja. Lupakan tentang rebahan, itu mustahil.

Tenyata segala pikiran buruk Chika pada Raka tidak sepenuhnya benar. Oke Raka tidak terlalu menyebalkan karena ternyata pria itu memesan makanan. Wajahnya langsung sumringah mencium aroma makanan enak itu. "Wah Kaka, kamu memang cerdas. Perutku sudah lapar sejak tadi."

"Cepat makan sebelum semua kubereskan," ketus Raka.

Chika langsung merebut satu porsi makanan itu. "Jahat, aku bahkan baru mencium aromanya." Dia buru-buru memakan makanannya karena Raka tidak pernah main-main dengan ucapan. Jangan sampai nanti makanannya belum habis lalu pria ini mengambilnya.

"Apa yang sudah kamu catat tadi?" taya Raka setelah mereka selesai makan.

Chika membenarkan posisi duduknya dan melaporkan semua yang dia catat sejak tadi siang. Mereka kembali berdiskusi tentang perhitungan keuangan dan Chika kembali mencatat laporan yang belum selesai. Raka pun juga makin tenggelam dalam pekerjaannya. Sampai tidak terasa sudah hampir jam dua pagi.

Mata Chika terasa sudah pegal, perutnya kembali lapar. Dia bangkit dan membuat kopi cangkir ketiga. Sambil menyeruput kopinya, dia menatap Raka yang terlihat masih segar. Pandangan mata tajam itu terlihat sangat fokus. Chika bertopang dagu di hadapan Raka.

"Apa kamu tidak lapar? Aku lapar" tanya Chika.

"Pesan saja makanan," kata Raka tanpa mengalihkna pandangan.

Chika terkekeh geli, dan menggelengkan kepala. "Biar aku yang masak."

Selama lima belas menit Chika berkutat di dapur mini itu. Dia membuat makanan untuknya dan Raka. Pasti pria itu lapar juga. "Silahkan makan."

Raka menoleh, keningnya berkerut melihat makanan di hadapannya. "Apa mi instan disebut masakan?"

"Yapp kalau sedang lapar, mi instan adalah masakan favorit," jawab Chika dengan senyum cerah tidak peduli dengan pandangan aneh dari Raka. "Ayo dimakan, kalau protes aku akan makan semua."

Raka mengambil mangkuk itu dan makan dalam diam. Nah kan dimakan juga. Chika pun ikut makan sambil kembali menulis laporan yang hanya tinggal sedikit lagi. Setengah jam lagi pasti selesai. Setidaknya dia bisa tidur sebentar sebelum subuh datang.

"Apa masih belum selesai?" tanya Chika.

Raka berdeham sebagai jawabannya.

Chika meregangkan tangan dan menguap. Dia sudah selesai, kepalanya bersandar pada pantry. "Baru kali ini aku benar-benar lembur."

"Tidur di kamar," suruh Raka.

"Hem, aku cuma mau istirahat sebentar," balas Chika.

🌼🌼🌼

Raka menghela nafas lega karena akhirnya pekerjaannya selesai. Sudah jam setengah empat. Tangannya mengurut kening, lelah menatap layar laptop berjam-jam. Setidaknya ini salah satu usahanya untuk perusahaan. Ada banyak hak karyawan yang sedang dia perjuangkan.

Gumaman Chika membuat Raka menoleh. Tidurnya nyenyak sekali, tidak seperti yang terakhir dia lihat, mungkin karena kelelahan. Pelan, tangannya merapihkan rambut Chika yang menutupi wajah. Raka menyandarkan kepalanya di pantry dan memejamkan mata. Dia juga sudah sangat mengantuk sekarang.

Chika mengerang kecil dan membuka mata. Matanya terbelalak kaget karena Raka ada di hadapannya. Bahkan sekarang tangan pria ini menjadi bantalan kepalanya. Bisa Chika rasakan hangat nafas Raka karena jarak yang terlalu dekat.

Jemari Chika menyentuk alis tebal Raka, mengikuti alurnya. Kenapa Raka bisa makin tampan saat tidur. Apa karena tidak ada pandangan tajam seperti biasa. Kini tanganya menyentuh pipi Raka. Oh Chika meminta maaf karena lancang menyentuh pria ini, tapi dia tidak bisa menahannya.

Raka membuka mata, membuat mata Chika membulat. Keduanya saling tatap dalam diam, satu menit berlalu, hening. Mungkin hanya suara detak jantung keduanya yang seperti terdengar mengeras. Raka langsung berdeham untuk memecah suasana canggung ini.

Chika menegakkan punggungnya. "Oh emm maaf, tadi aku Cuma mau membangunkan kamu."

Raka berdeham dan langsung pergi ke kamar. Meninggalkan Chika yang rasanya ingin menjerit saking malunya. Wajahnya terasa panas. "Astaga! apa yang aku lakukan?!"

🌼🌼🌼

See you on the next chapter 🙆‍♂️🙆‍♂️🙆‍♂️

Chika


Continue Reading

You'll Also Like

409K 46.1K 45
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
2.6M 130K 57
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _π‡πžπ₯𝐞𝐧𝐚 π€ππžπ₯𝐚𝐒𝐝𝐞
532K 26.8K 50
Ravena Violet Kaliandra. Mendengar namanya saja membuat satu sekolah bergidik ngeri. Tak hanya terkenal sebagai putri sulung keluarga Kaliandra yang...
487K 34.7K 36
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...