[Selesai] Perfectly Imperfect

By twelveblossom

173K 17.6K 6.4K

Sempurna. Bagaimana jika Nayyara Judistia Putri Hartadi menjadi perempuan yang paling sempurna bagi Javas? Ja... More

0. Tokoh Yang Ada
1. Titik Awal
2. Bertemu Pilihan Lain
3. Soal Cemburu
4. Bersamamu itu Segalanya
5. Melewati Batas
7. Jalan Pintas
8. Dia Yang Kelabu
9. Kamu dan Buku yang Tertutup
10. Meragukan dan Diragukan
11. Tentang Rindu
[GIVEAWAY] HI DECEMBER!
12. Terikat Asa
13. Dua Peran
14. Sebuah Permainan
15.1. Menjadi Kita
15.2 Menjadi Kita
16. The Heaven
17. Yang Diperbaiki, Tidak Ada
18. Kenangan Untuk Yang Pergi
19. Untuk Melepaskan
20. Bicara Soal Pernikahan
21. Bagian Terbaik Dalam Hidupku
22. He Brings The Heaven To Her
23. Terluka dan Kembali Sembuh
24. Rumah Kita
25. Perasaan Yang Terombang-Ambing
26. Lebih Dari Ego
27. Hiruk Pikuk
28. Katanya, Cinta Itu Mengusahakan Segalanya
29. Membakar dan Terbakar
30. Ketenangan Yang Sebentar
31. Kita Akan Bicara Besok
32. Yang Ditunggu Datang Juga
33. Sebelum Kelahiran Bintang Yang Ditunggu
34. Comfort Zone (Final)
35. Bagaimana Kalau Berlanjut? (S2 Perfectly Imperfect)
36. Mereka Pun Mulai Bahagia

6. Alasan Yang Keliru

4.5K 530 184
By twelveblossom

Alasan Keliru - Twelveblossom

Apa yang paling membuatmu marah?

Saat kamu terlalu bodoh.

Ketika kamu tidak tahu maksudku.

Sewaktu aku mencintaimu terlalu banyak,

Sedangkan kamu tidak.

-oOo-

Yang dilakukan Javas kali ini keliru. Javas Chatura Mavendra memang berengsek. Dia kerap bermain-main dengan tubuh perempuan, kemudian meninggalkannya begitu saja. Mungkin, sebagian dari mereka merana atau justru biasa saja sebab terlalu sering tidur dengan orang lain. Javas mungkin berulang kali bercumbu dengan wanita, tapi hanya sebatas itu. Javas Chatura Mavendra enggan menumpahkan benihnya yang disebut-sebut berharga dengan sembarangan. Toh, dia juga tidak memiliki ketertarikan yang dalam sehingga harus sungguh-sungguh meniduri mereka. Cukup untuk bersenang-senang sebentar lalu dilupakan.

Keadaan berbeda ketika Nayyara Judistira Putri Hartadi yang kini menjadi partnernya malam ini. Nara berbeda, perempuan ini sungguh tidak mengerti cara yang tepat dalam memuaskan seorang laki-laki. Lucunya, naluri Javas justru terpancing hanya dengan sentuhan Nara pada punggungnya. Jantung Javas berdetak cepat seolah dia baru saja lari maraton padahal mereka hanya saling mengecup. Hal tersebut membuktikan bahwa Javas sangat menginginkan Nara.

Javas jelas enggan berhenti. Dia tidak akan puas hanya dengan menelusuri leher Nara, mencium wanginya. Hanya saja, akal Javas tiba-tiba menghilang―dia terlalu gugup sehingga lupa apa yang harus dilakukan. Seolah pengalamannya bermain-main dengan manusia bernama perempuan itu tidak memiliki arti. Javas sedari tadi hanya meninggalkan jejaknya di kulit Nayyara. Pakaian yang membalut gadis itu belum terkoyak, berbeda dengan kemeja Javas yang telah terbuka semua kancingnya. Sementara jari-jari Nara membelai perut Javas, mungkin tidak ada maksud apa pun ketika Nayyara melakukannya, tapi efeknya luar biasa bagi Javas.

Ini salah, tiba-tiba otak Javas bekerja lagi ketika dia memberi spasi bagi Nayyara untuk bernafas. Lo udah jagain cewek ini bertahun-tahun dan lo yang justru mau ngerusak dia, naluri Javas menghakiminya ketika menatap mata Nara yang sayu―pasrah.

"Javas," panggil Nayyara lebih seperti bisikan.

Nayyara jarang memanggilnya Javas ketika mereka hanya berdua. Jika hal tersebut terjadi, maka gadis itu sedang sangat sedih karenanya atau sangat marah kepadanya.

Apa Nara marah? Apa dia sedih karena gue terkesan memaksa? Otak Javas terus berputar.

Javas tidak ingin Nara sedih atau marah, secepat itu pula―Javas beranjak dari tubuh Nara. Dia tidak lagi menindih Nayyara, Javas berbaring di samping Nara.

Nara yang tiba-tiba kehilangan Javas pun hanya mengerjapkan mata. Dia bingung, itu jelas. Nara mencuri pandang kepada Javas yang memberikan ekspresi datar. Nara takut terlihat sebagai gadis polos yang terlalu bereaksi berlebihan jikalau dirinya mempertanyakan kelakuan Javas sekarang.

Aku harus bagaimana? Pikiran Nara bekerja ekstra. Entah bagaimana ujung bibir Nara justru tertarik, ada suara tawa, bergetar dari pita suaranya untuk menuti gugupnya.

Kamu gila, Nara! Bukan saatnya ketawa! Nara menghardik kerja raganya.

Nara sungguhan membuat Javas merasa seperti laki-laki lugu yang belum pernah menyentuh perempuan karena tawanya terdengar mengejek di rungu Javas. Alis Javas langsung mengernyit bingung, dia memberikan perhatian penuh pada Nara yang berbaring di sebelahnya.

Nara menatap Javas, wajahnya merah. "Kita tadi ngapain sih sebenernya?" tanya Nara, suaranya bergetar.

Javas linglung, dia hanya diam.

"Kamu kok wajahnya datar gitu?" Nara berucap lagi, dia sendiri sebenarnya merasa sedikit sakit hati karena Javas berhenti menciumnya. Hm, seolah laki-laki itu merasa enggan kepada Narayya.

Apa aku tidak lebih menarik dari mereka yang pernah tidur dengan Javas? Batin Nara kelabu, namun dia menutupinya dengan tawa riang. Ah, jadi tawa ini hanya berfungsi sebagai topeng.

"Kenapa ketawa? Gak ada yang lucu," Javas justru memberikan nada marah. Ia kini merasa down karena dalam persepsinya, Nara hanya menganggap perlakuan sayangnya tadi sebuah lelucon.

Rekor baru lagi untuk Nara, dia sukses membuat seorang Javas Chatura Mavendra gentar. Tentunya dalam urusan ranjang yang sudah Javas kuasai sejak dulu.

"Marah?" Nara menimpali bingung. Dia menghela nafas. Tingkat pura-pura tenang Nara ini perlu diacungi jempol. "Aku ketawa karena lucu, kita lucu. Aku gak kepikiran bahwa suatu saat orang pertama yang bakal mencium aku di kasur itu kamu. Seorang Chatu yang dulu, temenku―"

"―Maaf sudah bikin kamu bingung," potong Javas. Dia bangun dari tidur. Javas mengancingkan kemejanya yang terbuka, menatap Nara sekilas―melihat bagaimana bagian leher si gadis terdapat hasil karyanya. "Anggap saja tadi hanya kesalahan. It was mistake. Forget it," lanjut Javas.

Giliran Nara yang sunyi.

Kesalahan? Dia menganggapku sebagai sebuah kesalahan?! Serebrum Nara lantang.

"Kamu istirahat aja. Kamarku ada di sebelah kalau kamu butuh apa-apa," katanya lagi setelah ada jeda. Javas mengusap lembut pipi gadis itu, lalu mencium keningnya. "Selamat tidur. Aku pergi," ucapnya sebelum meninggalkan kamar hotel Nara menginap untuk malam ini.

Kejadian itu sungguhan berjalan dengan cepat. Nara hanya dapat merasakan ruangan ini kosong setelah kepergian Javasnya.

-oOo-

Javas memutar slokinya yang berisi racikan minuman yang disebut The Devil's Tears, salah satu favoritnya saat mengunjungi bar yang ada di Aliénor Hotel. Hotel ini masih menjadi bagian dari Mavendra Group dikelola oleh paman keduanya, Brawijaya Mavendra―ayah biologis Theodroe.

Javas sering menghabiskan waktu di sini karena suasananya tenang, keamanannya terjamin karena penjaga selalu berada di sekeliling Javas ketika dia membawa wanita. Ia perlu menjauhkan diri dari wartawan iseng yang memotret karena beberapa wanita yang dibawa Javas kebanyakan dari kalangan publik figur.

Bar ini lumayan ramai, mungkin karena malam minggu. Suara musik juga memekakkan telinga. Javas berada di lantai dua bar, ruang VVIP yang tersedia hanya untuk keluarga Mavendra. Ada bar tender khusus yang bertugas melayani. Sementara Javas, termenung di dekat jendela kaca satu arah yang membingkai area lantai satu bar itu. Javas mengamati orang-orang yang sedang bersenang-senang di sana. Berharap kebahagiaan mereka sedikit menular kepadanya.

Pintu ruangan tersebut terbuka tiba-tiba, ada Theo yang masuk dengan wajah cemberut. Pipinya merah ada bekas telapak tangan. Dia langsung duduk di kursi sofa sebelah Javas tanpa permisi.

Javas tidak bertanya apa pun soal wajah Theo yang tampaknya baru menerima pukulan karena sebentar lagi sepupunya pasti akan cerita. Theo memang serupa kaset rusak yang terus saja berisik tanpa diminta. Itu memang kekurangan Theo, dia menjadi yang paling cerewet di antara para sepupunya. Sebenarnya, bisa juga disebut kelebihan karena Theodore pintar bernegosiasi, tentunya dengan cara halus untuk kemajuan perusahaan keluarga. Javas yang mengenal benar karakter sepupunya itu sering memanfaatkannya.

"Gila ya, Kimi jadi galak bet. Gue digampar gara-gara salah masukin kocheng orennya ke mesin cuci. Padahal belum ke giling juga uda heboh ngamuk," cerocos Theo, dia dengan lancang meraih sloki Javas kemudian meminumnya.

Javas bukannya marah dengan kelakuan Theo, tapi dia justru memberikan tatapan iba setelah mendengar cerita dibalik merah pipi Theo. Sepupunya itu jelas kena karma. Javas tahu benar cerita panjang di balik nama Kimi.

Theodore Sakti Mavendra memang lebih bobrok dari Javas. Saking seringnya masuk acara gosip karena gonta-ganti pacar yang kebanyakan dari penyanyi atau artis usisa 17 tahun sampai 19 tahun―Theo sampai dijodohkan dengan salah satu anak dari kolega bisnis Om Jaya―begitu Javas memanggil ayah Theo. Soalnya setiap muka Theo muncul di akun Lambe Turah, pasti beberapa kesialan yang menyangkut harga saham hotel-hotel Om Jaya bakal turun. Hal tersebut lantas meresahkan Mavendra Group secara keseluruhan

Kimberly Ganendra atau sering disebut namanya sebagai Kimi ialah perempuan yang tidak beruntung sebab diharuskan menjadi tunangan Theo. Mereka kerap bertengkar. Kimi yang masih berusia 18 tahun mentalnya lebih dewasa dari Theo, sedangkan Theo mempunyai mental serupa anak lima tahun. Namun, seiring waktu berjalan Theo yang awalnya ganti-ganti pacar setiap sebulan sekali kini lebih sering ngomongin soal Kimi. Dia kerap mengekori Kimi ke sekolah dan tempat les membuat si gadis muda kelewat pusing sebab teman-temannya mengira Kimi jadi sugar baby. Well, padahal selisih usia mereka hanya tujuh tahun.

"Lo barusan main sama siapa?" tanya Theo lagi melihat leher Javas. Ada bekas merah keunguan di sana.

Javas mendengus. Dia mengacak surai frustrasi.

"Gak handal ceweknya?" Theo masih ingin tahu. "Siapa? Paling nggak gue kan bisa gak salah pilih, percuma bayar kalau gak bagus mainnya," mulut Theo masih bervokal tanpa tahu keadaan.

Bodo amat gak bagus mainnya, tapi gue tetap mau sama Nara. Javas membalas dalam hati.

"Gue denger Nara lagi ada di sini. Lu malah bengong di bar, tumben gak ngikutin dia," Theo berkata.

Javas sudah geram, ingin rasanya berdoa kepada yang kuasa biar Theo dibisukan segera.

Theo memberikan ekspresi menuduh kepada Javas. "Lu malah tidur sama perenpuan lain, hmm ... pantesan Nara memilih gerakan Friendzone club―"

"―Lo bacot sekali lagi gue mutasi ke Afrika," potong Javas tegas.

Theodore langsung pucat. "Jangan dong, nanti gue gak bisa bobok cakep bareng Kimi lagi," katanya manja dan langsung bikin jijik Javas. Dia memberikan senyum cerah, ekspresinya cepat berubah. "Tapi, gue masih kepo soal lo yang ada di sini, bukannya nemenin Nara."

"Gue takut kelepasan lagi, makanya gue milih duduk di sini."

Theo mendekat ke Javas. "Kelepasan?"

"Gue hampir ngapa-ngapain Nara."

"HAH? Lu pegang tangan Nara?" Theo kaget.

"Bukan goblok, ngapain gue pegang tangan Nara aja jadi muram gini," Javas mulai ngegas.

Theo tertawa. "Biasanya lo dicolek Nara dikit aja sudah bahagia kayak diapa-apain. Ya Tuhan, baru sadar sepupu gue semurah itu."

"I almost marked her," gumam Javas.

"Sejauh itu?"

"Sejauh itu," Javas mengulangi.

"Dan lo bisa berhenti?" Theo memastikan. Dia menatap tajam Theo, serius. "Lo nyesel karena berhenti?" Theo mengganti pertanyaan karena ada wajah kalut dan menyesal terpatri jelas pada Javas.

Javas menghela nafas panjang, dia menggeleng. "She is very special to me. I love her. I dont want treat her jus like I treat the other woman. Thats the reason. The only reason."

"Bucin gila, kalau gue bodo amat yang penting enak," Theo bicara tanpa rambu-rambu.

"Iya itu yang bedain gue sama lo. Gue punya otak, lo kagak," cibir Javas.

Theo ketawa. Dia menepuk pundak Javas. "Bukan gitu yang bedain lo sama gue. Lo punya hati gue gak. Masalahnya yang pake hati lebih gampang sakit hati dan sembuhnya bakal lama. Apalagi, lo sesayang itu sama Nara. Good luck, Cousin."

Javas hanya diam, dia mengabaikan Theo berusaha menikmati minuman kesukaannya yang tiba-tiba rasanya hambar.

-oOo-


"Pagi, Nayyara," sapa Wira melalui video call.

Nara yang masih mengucek mata karena baru bangun tidur pun membalas, "Wira pagi banget. Aku masih jelek baru bangun," kata Nara menunjukkan wajah polosnya, masih ada sisa iler juga.

Wira memberengut. "Ini sudah hampir jam sembilan, bukan pagi lagi."

"Hahaha iya maaf habis baru bangun." Nara tertawa. Dia mengajukan pertanyaan, "Kamu lagi di mana? Kayaknya bukan di rumah."

Wajah Wira berubah senang. "Gue lagi di jalan. Selama lo sibuk sama Javas gue mikir sesuatu."

"Apa?" Nara penasaran.

"Gue mau ambil piano buat latihan di Malang. Ini mau ijin ke lo. Boleh nggak gue berisik di rumah?"

Ah iya, awal Wira datang ke Malang Nara mewanti-wanti pemuda itu untuk tenang. Padahal aksi Nara dulu hanya iseng, justru ditanggapi serius sama Wira.

"Boleh dong, aku malah seneng kamu memutuskan buat main lagi."

"Kalau gitu temenin gue ambil piano ke apartemen ya," ucap Wira tiba-tiba.

Alis Nara bertaut tanda bingung. "Hah?"

"Gue uda di lobi hotelnya Javas," lanjut Wira sebelum Nara sempat bicara.

HAH, APA?

Wira itu mengejutkan. Kayaknya hampir satu minggu ini Nara dan Wira jarang banget ngobrol banyak karena Javas selalu ada di antara mereka. Parahnya, Javas menampilkan ekspresi juteknya saat ada Wira. Mungkin alasan itu yang membuat Wira malas bertemu Javas. Nara mengira begitu. Nyatanya, Wira justru tersenyum dengan lebar, ia melambaikan tangan ketika Nayyara melangkah dari lift, berjalan ke arah Wira yang duduk di sofa.

Nayyara meminta Wira menunggu selama setengah jam agar si gadis bisa mandi kemudian berhias sedikit. Wira tampak rapi hari ini. Dia mengenakan kemeja abu-abu dan celana jeans hitam, sangat cocok untuknya. Wira juga menyisir surainya yang biasa terlihat acak.

"Kamu kok tiba-tiba ke sini," itu ucapan pertama Nara saat dia bertatap muka dengan Wira.

Wira hanya nyengir. "Sebenernya dari kemarin gue uda di Jakarta. Ada pembaruan kontrak untuk manajer gue."

"Oh ya manajer buat artis. Aku suka lupa kalau kamu artis―"

"―Gue bukan artis," potong Wira.

Nara cemberut, dia duduk di sofa itu. "Kamu kan punya manajer."

Wira menyembunyikan senyumnya. "Javas juga punya tapi dia bukan artis."

"Javas punyanya sekretaris―"

"―Sama aja kan buat ngatur jadwal dia. Meskipun, jadwal Javas hanya soal ketemu lo," sindir Wira.

Nara menyilangkan tangan di depan dada. "Terserah deh kalau gitu," putus Nara.

Wira langsung tertawa. Lucu aja lihat ekspresi kesal Nara. "Temenin gue makan, ya," kata Wira tiba-tiba sembari menarik tangan Nayyara.

"Aku belum bilang ke Javas," sela Nara di bibir tapi dia tetap ikut Wira.

Wira hanya melejitkan bahu, "Uda satu minggu ini dia monopoli lo. Gantian dong."

Nara hanya menghela nafas kasar. Dia tidak banyak protes karena sejujurnya Nara sedang butuh pengalihan isu. Nara belum siap bertatap muka dengan Javas. Ia bahkan terjaga sepanjang malam karena memikirkan Javas dan alasannya menghentikan kegiatan mereka kemarin. Well, Nara tahu bahwa segala bentuk sentuhan Javas kemarin adalah sebuah kesalahan.

It was mistake. Nara tidak suka batinnya yang berucap begitu sebab ketika Javas menyentuhnya membuat Nayyara bahagia.

Apa sumber kebahagiaan Nara adalah hal yang salah?

Entahlah, Nara juga bingung sampai ingin menangis rasanya. Huhuhu.

-oOo-

"Namanya siapa tadi?" Nara bertanya begitu dia masuk ke kursi penumpang Audi R8 milik Wira.

"Raymond, panggilannya Ray," jawab Wira sembari mulai mengemudikan mobil favoritnya itu.

Nara baru saja berkenalan dengan salah satu manajer Wira yang khusus mengurus pria itu saat berada di Jakarta. Ray kelihatannya masih sangat muda, dia berusia dua puluh tiga tahun sedang menjalani kuliah S2 dalam bidang musik klasik. Ray bisa dibilang sebagai anak didiknya Wira sekaligus menyiapkan kebutuhan apa pun yang diinginkan bosnya.

Nara jadi ingat saat pertemuan awal mereka, Wira pernah berucap jika seluruh kebutuhannya sudah ada yang mengatur, termasuk pakaian. Buktinya, Wira mengenakan baju yang jauh lebih baik daripada saat di Malang karena ada yang menyiapkan. Hah. Dasar manja. Nara kira Wira itu berasal dari keluarga normal, tapi ternyata dia juga dari kalangan atas―sama halnya serupa Javas.

Pantas saja Wira kadang memberikan perintah semena-mena dan terkesan tidak mau mengalah. Contohnya soal Raymond juga yang tadi mengantar Wira ke hotel tempat Nara menginap. Wira dengan gampangnya menyuruh Ray pulang begitu saja. Padahal Nara sudah dengan ramah mengajak Ray sarapan.

"Kamu tadi jahat sama Ray. Kenapa sih gak diajak aja?" tanya Nara.

Wira memutar bola mata. "Ray pasti bakal nolak juga, Nayyara. Dia gak mau diajak makan di pinggir jalan, bisa sakit perut."

"Hah? Emang kenapa?"

"Ray itu anaknya salah satu anggota DPR di sini. Jadi, dia terbiasa sama makanan sehat ala-ala restoran. Perutnya gak bakal nerima bubur ayam Mang Ujang."

Nara memberengut. "Kamu kok bisa temenan sama anak DPR, sih?"

"Memangnya kenapa?"

"Iya, gak papa-papa, aneh aja. Kamu kan buluk," Nara menanggapi tak acuh, dia membuang muka melihat gedung yang mereka lewati.

Mahawira Adyasta tersenyum. Dia mengusap puncak kepala Nayyara. "Lucunya kamu kalau lagi jahat begini," kata Wira.

"Kamu?" Nara membalas karena dari dulu Wira lebih suka ngomong gue-lo.

"Mulai sekarang jadi aku-kamu aja. Biar kayak orang pacaran," kelakar Wira.

Nara melotot. Dia memukul bahu Wira pelan. "Apaan sih, bercandanya kamu kuno banget."

"Aduh, galaknya sama gue. Coba sama Javas langsung ekspresi malaikatnya keluar."

Nara langsung menghela nafas panjang ketika nama itu disebut. Sepertinya Javas Chatura Mavendra menjadi tabu untuk hari ini. Pikiran Nara melekatkan kenangan semalam dengan lem super kuat. Ia berusaha menghapusnya tapi susah sekali.

"Buburnya nanti di bungkus aja, ya? Gue males makan di sana rame, takutnya ada yang ngenalin. Tadi si Ray uda pesenin via WA, tinggal ambil aja," Wira mengatakannya setelah tak ada kata lagi dari Nara.

Nara mengangguk. "Terserah, pokoknya sebelum jam tiga sore kamu anterin aku balik ke hotel."

"Pesawat jam berapa nanti?" tanya Wira.

"Jam tujuh malam," jawabnya singkat.

"Wah sama dong, kebetulan deh," ada nada ceria dalam suara Wira.

Nara menatap Wira curiga. Pasti bukan kebetulan. Nara yakin apabila Wira bertanya kepada Damar kapan dia kembali ke Malang. Nara jadi heran sendiri, sikap Wira berubah, semakin dirinya mengenal pria ini. Dulu Wira itu cuek sekali dan tidak mau tahu urusan Nara. Namun, akhir-akhir ini jadi suka melibatkan Nara dalam kesehariannya. Misalnya, mengantar dan menjemput Nayyara pulang kantor, menemani belanja bulanan, mengajak Nara ke tempat makan kalau Nara lagi bengong, dan sering tanya apa saja yang disukai Nara. Bagusnya ingatan Wira membuat pria itu menghafal benar semua mengenai Nayyara. Kalau ditanya alasannya, dia Cuma jawab iseng saja.

Dasar gak ada kerjaan, Wira. Hm.

-oOo-

"Bubur ayam tambahin kecap manis, topping ayam banyak gak pakai kulit, gak pakai bawang goreng, tambahin abon di sisi kanan, telurnya separuh aja, dan kacangnya dibanyakin. Jangan sampai kecampur karena lo bukan tipe pemakan bubur yang diaduk," itu ocehan Wira ketika dia membuka bungkus bubur ayam yang diletakkan di meja makan.

Mereka baru saja sampai di apartemen Wira yang letaknya di lantai lima belas. Nara mengira yang dimaksud apartemen itu sempit karena ya memang begitu kebanyakan apartemen milik temannya di Malang. Ternyata, apartemen Wira sangat luas. Bahkan ada kolam renang indoor di belakang dekat ruang makan yang disekat dengan dinding kaca.

Apartemen ini terdiri dari dua lantai bergaya Eropa Lantai pertama ada ruang tamu, ruang santai, dapur, ruang makan, dan kolam renang. Lantai kedua ada tiga kamar tidur, ruang kerja, dan ruang pakaian Wira yang ternyata banyak sekali bajunya, jadi heran waktu pertama kali ke Malang malah cuma bawa satu kemeja hadiah dari mantan.

Ruang kerja yang dimaksud bukan seperti ruang kerja biasa yang terdapat kursi dan meja. Ruangan ini lebih serupa studio, ada piano putih besar di tengah yang menghadap langsung ke jendela membingkai pemandangan Jakarta yang sibuk.

Semuanya didominasi dengan warna monokrom, hitam serta putih. Terkesan kaku, membosan, tapi indah. Nara kagum bagaimana semuanya tertata rapi, beda sekali dengan kamar Wira yang ada di rumah Nara―berantakan.

"Aku heran kamu bisa rapi di sini, tapi berantakan di rumah aku. Sengaja ya karena bukan rumahnya sendiri," omel Nayyara.

Wira yang kini mengaduk bubur ayamnya pun nyegir lebar. "Semuanya bukan gue yang bersihin, ada orang-orang Ray yang menata," katanya.

Nara bergumam tidak jelas karena mulutnya penuh bubur ayam yang enak ini. Dia menatap sekelilingnya, tidak ada foto sama sekali yang menghiasi dinding―beda dengan rumah Nayyara yang penuh memori keluarga.

"Tempat tinggal kamu ini sepi banget ya. Apa kamu tinggal sendiri?" tanya Nayyara.

Wira mengangguk

"Terus, Mama sama papa kamu? Kalau Kak Daniswara aku tahu dia lagi di Australia."

Wira melejitkan bahu. "Mami di Jepang karena ada proyek baru film dokumenter soal Gesha. Papi lagi sibuk honeymoon sama istri ke limanya. Mereka berdua gak tinggal di sini, Papi di rumah besar Adyasta dan Mami sama suami barunya. Wara tinggal di rumahnya yang ada di Bogor, kadang dia ke Malang buat berkunjung ke eyangnya," ujar Wira santai seolah keluarganya normal. "Kamu kenal Wara juga ya. Well, aura seorang Adyasta memang tidak pernah redup walaupun tinggal di kota kecil," lanjutnya congkak.

Nara yang hampir tersedak. "Istri ke lima? Begini aku memang tahu dari Kak Damar kalau kamu ini saudara tiri Kak Daniswara, tapi aku nggak ngira kalau ... papi kamu .... Maaf kalau kamu tersinggung―"

"―Gak masalah, udah biasa. Untungnya Papi cuma suka nikah, bukan bereproduksi. Jadi, anaknya hanya dua. Gue sama Wara. Katanya kalau kebanyakan anak susah bagi warisan nanti," potongnya sembari memberikan tisu kepada Nara untuk mengelap ujung bibir.

"Berarti kamu sendirian di sini?"

"Iya," singkat Wira.

"Bahkan setelah kecelakaan?"

"Gue di rumah sakit, sendiri. Beberapa kali Wara nengokin. Mami gue sibuk bikin anak sama suami barunya. Artikel yang ada di koran bohong soal dia yang jagain gue."

Nara menghela nafas panjang. "Kamu kesepian sampai ingin bunuh diri," gumam Nayyara, ada kabut di hatinya.

Nara mengerti sekarang. Bukan hanya tangan Wira yang menjadi alasan pria ini sempat melakukan percobaan bunuh diri berkali-kali. Jauh dalam alam bawah sadar Wira, pria itu kesepian. Semua orang mungkin menganggapnya sempurna. Wira yang tampan, pianis terkenal, dan menghasilkan banyak uang. Nara juga sempat membaca berita, tertulis apabila Wira dilahirkan oleh wanita yang hangat dan penuh kasih sayang. Namun, kini Nara tahu jika wanita yang menjadi ibunya Wira itu hanya memakai topeng sebagai perempuan penuh kasih sayang. Hanya sebatas pura-pura. Mana ada wanita yang lebih memilih suami barunya, sedangkan anaknya kecelakaan dan hampir mati?

Mungkin tangannya bisa sembuh, tapi hatinya tidak.

"Jangan kasihan sama gue," Wira berkata membangunkan Nara dari lamunan..

"Gimana gak kasihan? Udah cewek yang disuka hampir nikah sama orang lain, terus cewek itu meninggal, keluarga kamu gak peduli padahal kamu sekarat, dan tangan kamu cidera sampai gak bisa melakukan hal yang disukai," Nara berkomentar judes.

Nayyara sungguhan kesal. Mereka mengabaikan orang sebaik Wira. Mahawira Adyasta yang rela lari-lari ke kamar Nara setiap mati lampu karena tahu si gadis takut gelap. Wira yang peduli sewaktu Nara sakit. Wira yang menemani Nara melihat bintang walaupun dia alergi dingin. Wira yang sebenarnya perhatian tapi pura-pura tidak mau mencampuri urusan orang lain. Mereka mengabaikan Wira, itu yang membuatnya sedih. Sangat sedih.

Wira tertawa. "Jangan terlalu perhatian sama gue, nanti gue malah semakin pengen ngrebut lo dari Javas."

Nara melempar tisu kotak kepada Wira yang langsung ditangkap dengan tangkas.

"Dasar gak tahu diri," sungut Nara. Dia berdiri hendak membuang bungkus bubur dan mencuci sendok.

"Uda biarin aja di situ nanti ada yang beresin, ayo ke atas. Gue mau pamer," Wira meraih tangan Nara agar mengikutinya.

-oOo-


"Argh," Javas mengerang.

Netra pria itu menggelepar terbuka. Kepalanya pusing, dia jelas hangover semalam. Javas berusaha mengenali keadaan sekitar, dia berada di kamarnya. Javas merasakan tubuhnya sedang berbaring di ranjang dengan selimut menutupi raganya yang bertelanjang dada. Javas mengernyit kesal ketika menyadari ada satu tangan dari seorang wanita yang melingkari pinggang. Javas langsung menepisnya.

"Bangun lo," sentak Javas marah.

Wanita bersurai coklat tersebut terkejut. Dia memandang Javas penuh cinta, mengingat kembali apa yang telah dilakukannya dengan Javas kemarin.

"Javas lo uda bangun, Sayang―"

"―Pergi," potong Javas.

"Gue Aliana yang tidur sama lo kemarin malam―"

"―Gue bilang pergi sebelum gue panggil keamanan buat nyeret lo, Alien."

"Gue Aliana, lo yang ngajak gue ke sini. Lo nggak inget?" Aliana si perempuan pucat nan cantik itu hampir menangis.

"Bodo amat, nama lu alien atau alian gue gak peduli sekarang pergi," datar Javas menatapnya dengan sangat tajam.

Wanita itu tampak akan menangis, tapi dia ketakutan dengan pandangan Javas. Aliana segera keluar dari selimut memakai pakaiannya, kemudian enyah dari pandangan Javas.

Javas tahu dia berengsek. Dia melampiaskan hasratnya kepada wanita lain ketika menginginkan Nara. Namun, sangat jelas jika Theodore yang membuat Javas tidur dengan Aliana. Entah apa yang dimasukkan Theo pada minuman Javas kemarin malam. Yang jelas, Theo mengintimidasi Javas ketika dia enggan bersenang-senang dengan perempuan dan memilih 'solo'. Lantas Alien itu datang merayu, pikiran Javas yang ngawur justru menganggap Alien sebagai Nara.

Goblok, Javas semakin kesal pada dirinya sendiri ketika membuka ponselnya. Ada banyak pesan masuk, tapi ada satu yang membuatnya mengumpat.

Dari: Nara

Chatu, apa kamu uda tidur? Aku gak bisa tidur.

Dikirim: 00.30

Goblok Javas, Nara lagi butuh, lo malah jadi bangsat sama cewek lain. Pikiran Javas sedang murka pada dirinya sendiri.

Sudah jam sebelas. Nara pasti sudah bangun, itu pendapat Javas.

"Gue masih bau alkohol, Nara jelas gak akan suka," Javas jadi makin pusing. "Dia pasti belum sarapan," katanya frustrasi kemudian menekan speed dial 0 untuk Nara.

-oOo-

Nara kagum sekali kepada Wira saat ini. Dia duduk di samping Wira yang sedang memainkan piano. Nara sering dengar kalau seorang pria yang bisa memainkan alat musik dapat begitu mudahnya melelehkan hati wanita. Wira terlihat sangat bersinar dengan pianonya. Auranya juga terlihat berbeda, dia lebih hidup yang lantas membuat Nara leleh.

"Ini namanya Canon in D," kata Wira disela permainannya.

Kecepatan jari Wira memang tidak sama dengan pertunjukkannya yang sempat Nara tonton di salah satu video konsernya. Apalagi beberapa kali Nara mendapati Wira mengernyitkan alis tanda jika nyeri timbul di jari-jarinya. Nara menjadi prihatin. Kadang takdir memang begitu mengejutkan dan tidak adil dengan teganya menjadikan Mahawira Adyasta kehilangan. Seolah hidupnya yang sepi tidak cukup untuk kemalangannya, dia juga harus kehilangan.

Wira mendadak berhenti menekan tuts piano itu. Dia menatap Nara dengan senyum yang lembut. Tarikan bibir Wira dibalas oleh Nara. Gadis itu berusaha menyimpan rasa sedihnya.

"Lo itu kalau senyum cantik," kata Wira.

"Aku kan perempuan jadi ya cantik. Kalau kamu laki-laki ganteng namanya."

Wira tertawa lagi. Kenapa dekat dengan Nara membuatnya rajin tertawa? Padahal selama satu minggu ini, tawanya seolah lenyap karena Nayyara disibukkan oleh Javas. Sampai Wira nekat datang ke Jakarta untuk menemui gadis ini. Nayyara memang seistimewa itu baginya.

Nara yang sempat salah tingkah karena sudut bibir Wira terbuka pun beranjak dari kursi. Dia mengalihkan perhatian pada nakas, ada dua pigura kecil foto―mungkin satu-satunya potret yang ada di sana. Foto pertama adalah Mahawira dan seorang gadis bersurai coklat madu saling berpelukan, tersenyum lebar. Potret kedua ialah gadis itu sendirian yang berlatarkan pegunungan.. Gadis tersebut mungkin istimewa bagi Wira karena dia satu-satunya kenangan yang ada dalam apartemen ini.

"Joana Violetta," Wira menyebutkan dengan sangat pelan. Terkesan getir di lidahnya, hampir satu tahun dia enggan membahas mengenai Violet.

"Dia punya senyum sangat cantik," puji Nayyara jujur.

Senyumnya sama kayak punya lo, Nayyara. Cantik. Serebrum Wira otomatis menimpali.

Wira menghampiri Nara, ia ikut menatap Violet yang membeku dalam memori. "Kami berteman sejak kecil. Dia selalu menjadi orang pertama bagi gue, mengambil seluruh perhatian gue, dan menjadi prioritas gue."

"You love her a lot."

"I was love her," koreksi Wira. Dia menatap Nara, meskipun gadis itu masih sibuk mengawasi hal lain. "Dulu gue cinta sama dia. Sebelum sadar kalau cinta yang gue punya justru membuat dia sama sekali gak bahagia," sambungnya.

"Kenapa?"

"Because My Violetta falling in love with my brother. Wara bukan hanya kakak laki-laki gue, tapi dia juga sahabat terbaik yang pernah gue punya. Sewaktu gue kehilangan Violetta, gue juga kehilangan sahabat sekaligus kakak."

Entah karena suara Wira yang sendu atau rautnya yang sedih, Nara meraih jari-jari pria itu menggenggamnya lembut.

Perasaan senasib sepenanggungan ini yang selalu dia rasakan saat bersama Wira. Nara dan Wira mempunyai satu kesamaan, mereka pernah kehilangan. Nara menyadari bahwa kehadirannya di sini sedikit mengisi ruang kosong dalam kesepian Wira. Bahagianya Nara ketika bersama Wira adalah dia dapat memberikan sesuatu, bukan hanya benalu yang meraih keuntungan dari inangnya. Berbeda dengan ketika dirinya bersama Javas, pria itu memberikan segalanya kepada Nara. Tanpa tahu bahwa yang diinginkan Nara bukan segalanya, ia hanya berharap Javas menginginkan sesuatu darinya―agar hubungan itu tidak berat sebelah.

"Kamu pasti kesulitan melupakannya―"

"―Gue pikir juge begitu. Dulu susah, sekarang memori soal Violet seolah mulai ketutup sama hal lain."

"Apa?" tanya Nara.

Wira menatap gadis itu dalam.

Lo, Nayyara. Secepat itu gue bisa segini perhatian sama lo. Wira menjawab melalui benaknya karena bibirnya masih belum terlalu yakin akan kebenarannya.

Telepon Nayyara yang berbunyi memberikan sela akan pandangan keduanya terhadap satu sama lain. Nara termenung menatap layar ponsel yang menampilkan satu nama 'Chatu'.

Nara menarik nafas. "Iya Chatu?" kata Nara tanpa basa-basi.

"Kamu uda makan?" Javas langsung bertanya suaranya serak seperti bangun tidur.

"Sudah sama bubur ayam Mang Ujang dibelikan sama Wira."

"Wira?"

"Dia datang, aku ada di apartemennya Wira sekarang." Nara sengaja memberikan keterangan selengkap-lengkapnya agar Javas tidak mencarinya.

Hening.

"Kamu nanti langsung ke bandara aja dari sana. Minta Wira yang ngantar."

"Kamu gak mau nganterin aku?" tanya Nara refleks karena ini bukan Javas yang biasanya. Apalagi, mungkin paling cepat satu minggu lagi mereka bisa bertemu lagi.

"Aku ada kerjaan, Nara," singkatnya.

"Apa kamu masih marah karena kemarin?" Nara kalut.

Javas mendengus. "Aku sudah bilang. It was mistake. Jadi, lupakan."

Nara menggigit bibir. Bagi Nara itu pertama kalinya dia sungguhan berani mencium laki-laki. Javas justru berulang menyebutnya sebagai kesalahan.

Apa Javas tidak ingin bertemu lagi denganku karena aku adalah kesaalahan? Apa dia menganggap aku seperti perempuan lain yang habis dia pakai terus dilupakan? Prasangka Nara melukai hatinya sendiri.

Dada Nara sesak. Sakit sekali. Nara berusaha menahan air mata yang menurutnya tidak penting ini mengalir.

"Okay kalau gitu, aku paham," akhirnya Nara menurut.

Patuh seperti biasanya.

Javas menutup panggilannya, tanpa salam perpisahan hangat.

Kesalahan.

Fatal.

Mematikan.

Nara merasakan Wira mendekat. Wangi parfumnya masuk ke indra penciumannya saat laki-laki itu menariknya ke dalam pelukan.

"Gue sebenarnya gak mau peluk, tapi lo kelihatannya mau nangis," gumamnya, mendorong Nara menyembunyikan wajah di dadanya. "Katanya, lo juga gak suka orang lain melihat lo nangis. Gue bisa jadi tempat sembunyi terbaik, kalau lo belum tahu," lanjut Wira sembari menepuk punggung Nara.

Nayyara tidak tahu alasan dia sangat cengeng hari ini. Dia sangat kesal, kepada Javas dan dirinya sendiri. Namun, amarah itu tak dapat dirinya lampiaskan dengan benar karena Nara harus bersikap baik-baik saja.

-oOo-

Ekstra Part

Malam sebelumnya.

Nara tidak dapat menutp matanya. Dia sudah mengirim pesan kepada Javas berharap laki-laki itu menemaninya sebentar karena Nara memang tidak mudah terlelap di tempat baru. Tidak ada jawaban dari Javas. Nara pun beranjak dari kamarnya, masih mengenakan piama. Nara ingin jalan-jalan sebentar, siapa tahu bertemu Javas yang mungkin juga keluar kamar. Toh kamar pria itu berada di sebelahnya.

Nara melangkah sebentar menuju lorong yang bermuara pada lift. Dia terhenti di sana saat lift terbuka. Ada Javas dan seorang wanita cantik berpakaian ketat. Javas tampak tidak seberapa sadar, mereka melewati Nara begitu saja.

"Chatu," gumam Nara tercekat, tanpa sadar mengikuti mereka yang terhuyung.

Nara bisa melihat dengan jelas Javas berciuman dengan wanita itu. Sangat dalam. Penuh gairah.

Nara membeku, ada hantaman keras di dadanya.

Nara ingin sekali memisahkan mereka yang saling mencumbu. Belum sempat Nara melangkah, tangannya ditarik.

"Theodore," Nara mengenali pria yang menariknya ke dinding untuk bersembunyi.

"Lo ngerasa terganggu sama yang dilakukan Javas?" Tanya Theo cepat.

Nara bungkam.

"Kalau lo merasa marah sama yang dilakukan Javas ke cewek itu, gue bisa menghalangi mereka buat gak ngamar," Theo bersuara. Dia menatap Nara yang pandai mengatur ekspresi, gadis itu menampakkan wajah datar. "Kalau lo sama sekali gak marah dan cemburu, lo harus tetap bersikap baik-baik saja seakan lo gak cinta―"

"―Aku hanya kaget. Ngapain harus cemburu? Terserah mereka mau ngapain." Potong Nara tegas. Dia menepis tangan Theo.

Nara begitu murka sampai rasa sakitnya terasa kebas.

Gadis itu menahan tangisnya. Tidak masalah Nayyara, Javas itu sahabat. Tidak seharusnya aku cemburu. Batinnya mengingatkan.

-oOo-

Hai, part kali ini memang agak panjang, semoga ada yang baca sampai akhir huhuhu. Terima kasih sudah membaca cerita ini. Aku berharap kalian memberikan vote dan komentar mengenai bagian favorit kalian.

Kira-kira setelah ini cerita mereka harus bagaimana?

Kalian lebih pilih Nara sama Javas atau Nara sama Wira?

Hehehehe.

Sampai jumpa di part selanjutnya. Kalau ingin chit chat bisa langsung follow twitterku @.twelveblossom <3

Continue Reading

You'll Also Like

99.7K 8.4K 83
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
265K 22.7K 34
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...
76.3K 3.5K 7
meskipun kau mantan kekasih ibuku Lisa😸 (GirlxFuta)🔞+++
260K 20.6K 99
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...