[Selesai] Perfectly Imperfect

By twelveblossom

173K 17.6K 6.4K

Sempurna. Bagaimana jika Nayyara Judistia Putri Hartadi menjadi perempuan yang paling sempurna bagi Javas? Ja... More

0. Tokoh Yang Ada
1. Titik Awal
2. Bertemu Pilihan Lain
3. Soal Cemburu
4. Bersamamu itu Segalanya
6. Alasan Yang Keliru
7. Jalan Pintas
8. Dia Yang Kelabu
9. Kamu dan Buku yang Tertutup
10. Meragukan dan Diragukan
11. Tentang Rindu
[GIVEAWAY] HI DECEMBER!
12. Terikat Asa
13. Dua Peran
14. Sebuah Permainan
15.1. Menjadi Kita
15.2 Menjadi Kita
16. The Heaven
17. Yang Diperbaiki, Tidak Ada
18. Kenangan Untuk Yang Pergi
19. Untuk Melepaskan
20. Bicara Soal Pernikahan
21. Bagian Terbaik Dalam Hidupku
22. He Brings The Heaven To Her
23. Terluka dan Kembali Sembuh
24. Rumah Kita
25. Perasaan Yang Terombang-Ambing
26. Lebih Dari Ego
27. Hiruk Pikuk
28. Katanya, Cinta Itu Mengusahakan Segalanya
29. Membakar dan Terbakar
30. Ketenangan Yang Sebentar
31. Kita Akan Bicara Besok
32. Yang Ditunggu Datang Juga
33. Sebelum Kelahiran Bintang Yang Ditunggu
34. Comfort Zone (Final)
35. Bagaimana Kalau Berlanjut? (S2 Perfectly Imperfect)
36. Mereka Pun Mulai Bahagia

5. Melewati Batas

4.7K 563 174
By twelveblossom

ba·tas n: 2. ketentuan yang tidak boleh dilampaui.

Dalam cerita ini, ada dua batas. Ada batas tunggu. Ada batas pertemanan.

Lalu, bagaimana jika kita melewati batas-batas itu?

Berujung baik atau buruk?

-oOo-

Setiap orang memiliki cara menunggunya masing-masing. Itu dapat dilihat ketika kita datang ke tempat-tempat umum yang mengharuskan untuk antre. Ada yang duduk dengan sabar di kursi sembari menunggu nomornya dipanggil. Ada yang berusaha menghabiskan waktu sembari bermain sesuatu. Ada yang mengobrol dengan temannya atau orang asing yang singgah di sebelahnya. Ada yang terus saja menatap ke depan, melotot ke arah petugas agar cepat-cepat memanggilnya. Ada yang melamun karena dia tidak tahu harus melakukan apa selain pasrah. Ada pula yang memikirkan cara licik untuk menyela antrean.

Nara dapat melihat semua hal itu saat dia berada di banking hall―tempat berlangsungnya transaksi antara pihak bank dan nasabah―gedung tempat ia bekerja. Kadang, Nara iseng saja turun ke lantai bawah sembari membawa jusnya hanya untuk melihat nasabah mengantre pada saat jam makan siang. Nayyara mengawasi gerak-gerik mereka, berusaha belajar cara menunggu yang baik sebab Nara benci menunggu.

Nara berusaha menemukan ekspresi bahagia mereka saat menunggu. Ternyata raut bahagia jarang ada yang sering ia dapati adalah kelegaan dari mereka. Kemudian pikiran Nara mengatakan, jika menunggu adalah proses yang panjang agar seseorang memperoleh rasa lega. Lega telah menyelesaikan urusannya, kemudian sudah. Tidak ada lagi apa pun yang menjadi tujuan mereka di sana.

Javas mengatakan apabila dia bisa menunggu Nayyara selamanya. Javas sedang menjalankan proses menunggu, makanya dia terus saja berada di sisi Nara. Entah, bagaimana cara Javas menunggu. Kadang Javas pasrah, kadang dia sabar, dan kadang dia memikirkan cara licik untuk mengakhiri proses menunggunya.

Lalu, apa yang akan dilakukan setelah proses menunggunya selesai?

Apa yang akan dilakukan Javas jika Nara sudah menjadi miliknya?

Mungkin, seperti orang lain, Javas akan merasa lega kemudian mengakhiri semuanya.

Nara takut memikirkannya. Serebrum Nara memang unik, berisi terlalu banyak kekhawatiran. Sebenarnya, semua dapat diringkas menjadi satu, yaitu Nara takut ditinggalkan.

Nara takut Javas bosan kemudian pergi setelah ia mendapatkan Nara.

Nara takut hubungan percintaan akan menjadi sebuah awal pertengkaran hebat yang membuat mereka saling membenci. Maka dari itu, Nara ingin mereka begini selamanya. Membeku dalam sebuah rasa yang tak mengenal nama. Mereka tidak bisa disebut kekasih karena tidak ada balasan cinta. Mereka pun bukan hanya sekedar teman karena ada sayang yang lebih dari itu.

Nara lebih suka ketidak pastian ini, lantas membuat Javas terus penasaran dan menunggunya. Terkesan jahat, tapi Nara hanya ingin begitu.

Alasan itulah yang membuat Nara menggelengkan kepala saat Javas bertanya, "Nara, kamu mau nggak kira-kira nikah sama aku?"

Jawabannya tidak.

Nara mengalihkan pandangan. "Aku mau mandi," kata Nara seolah Javas tidak pernah menanyakan apa pun padanya.

Javas menatap Nayyara kecewa. Dia menghela nafas, lalu membantu Nara lepas dari selimut putih.

"Aku cinta sama kamu, Nayyara," kata Javas saat Nara melangkah ke kamar mandi.

Nara sempat berhenti sebentar mendengar ungkapan Javas, namun dia kembali berjalan. Nara memilih mengabaikan.

Dan gue sudah mulai capek kita begini terus, kata Javas dalam hati.

Javas mulai lelah dalam proses menunggunya. Ada dua cara yang biasa digunakan seseorang yang lelah dalam menunggu. Pertama, dia berusaha mencari hal lain untuk dipermainkan agar waktu tunggunya tak terasa. Masalahnya, kebanyakan orang justru terhanyut dalam permainannya, mereka bahkan menjadi lupa dalam proses menunggu itu hingga tiba giliran mereka―orang itu justru tidak membutuhkan lagi hal yang pernah ditunggu. Kedua, mereka yang lelah akan pergi begitu saja, kemudian malas untuk kembali kepada sesuatu yang membuatnya menunggu.

Kini, Javas berada di posisi yang mana?

Apa pun itu, sama sekali tidak menguntungkan Nayyara.

-oOo-


Jakarta, Mavendra Building and Business Center

Javas berjalan dengan ekspresi sangar, tangannya sedang menggenggam jari-jari Nara yang melangkah di sisinya. Javas dan Nara baru sampai di Jakarta Sabtu sore sekitar pukul tiga. Mereka langsung dijemput oleh sopir Keluarga Mavendra lalu di antar menuju kantor. Ada banyak dokumen yang harus diperiksa Javas sebagai ganti absennya selama satu minggu. Javas awalnya meminta Nara untuk menunggu di hotel, tapi dia menolak. Nara ingin bersama Javas.

Nara tahu keputusannya tak mengacuhkan pertanyaan Javas tadi pagi membuat suasana hati sahabatnya buruk. Makanya, Nara ingin mengekori Javas sepanjang hari agar dia tidak marah lagi. Sayangnya, Nara menyesali keputusan itu tepat ketika berada di lobi. Nara kira tidak akan ada banyak karyawan di Mavendra Building ketika hari Sabtu karena mereka libur. Ternyata masih ada banyak yang lembur. Masalahnya, semua orang yang Javas dan Nara lewati menyapa sembari mengamati si gadis dengan tatapan menilai. Well, meskipun Javas langsung melotot ke arah mereka kalau ada yang ketahuan terlalu lama menatap Nara-nya.

Nara sedang krisis percaya diri. Dia merasa berantakan dengan wajah bangun tidur, sepanjang perjalanan dia ketiduran dengan bersandar di bahu Javas. Ah, Nara baru tahu jika Javas mempunyai bahu yang sangat nyaman. Okay, mungkin Nara harus memoles wajah sedikit agar sisa iler tidak terlihat. Satu kesalahan lagi, Nara hanya mengenakan kemeja hijau bermotif bunga dan celana jeans lama. Pakaian yang paling membuatnya santai ketika perjalanan. Namun, sangat tidak sesuai saat dipakai untuk berkunjung ke kantor Javas yang berkelas.

Javas memang hanya memakai kemeja hitam lecek dan celana jeans. Bukan pakaian kantor yang rapi. Hanya saja, Javas itu tipe manusia yang mempunyai postur tubuh proporsional dan wajah rupawan. Jadi, tidak ada yang protes karena apa pun yang dikenakannya tampak sempurna. Sedangkan Nara, merasa seperti asisten rumah tangganya Javas.

"Chatu, kayaknya aku salah pakai baju, deh," Nara berbisik pelan agar orang-orang tidak mendengarnya.

Javas langsung menghentikan langkahnya tepat di depan lift, membuat Olivia―sekretaris Javas menahan pintu lift. Javas menatap Nara dengan kesabaran ekstra. Netranya memindai Nara dari kepala sampai kaki.

"Baju kamu gak kebalik," ucap Javas.

Nara berjinjit agar bisa berbisik lagi di telinga Javas, otomatis membuat laki-laki itu sedikit membungkuk. "Baju aku jelek gak pantes dipakai ke kantor kamu. Aku kayak gembel, Chatu," kata Nara pelan, sedikit merajuk.

Javas langsung tersenyum. "Kamu cantik, kok. Cantik banget malah," balasnya keras-keras. Sengaja begitu untuk membuat Nara mencebik lucu.

Javas tahu kalau Nara tidak suka menjadi pusat perhatian seperti sekarang. Karyawan Javas terlihat menatap Nayyara dengan pandangan penuh arti. Apalagi, Javas jarang membawa perempuan dengan suka rela ke kantor. Kebanyakan dari perempuan-perempuan itu datang ke sini hanya untuk menangis dicampakkan Javas. Jadi, aneh saja melihat bos mereka datang dengan perempuan yang kelihatan disayang-sayang sama Javas.

"Jangan keras-keras," Nara bergumam kesal.

Javas tertawa kecil, dia mengacak surai Nara kemudian berkata, "Kamu kok lucu banget, jadi makin sayang."

Nara menyikut Javas. Dia memilih berjalan dulu menuju lift diselingi Javas yang tertawa. Meskipun wajahnya cemberut, dalam hati Nara senang karena Javas kayaknya sudah tidak marah lagi. Jadi, sewaktu Javas meraih tangannya kembali untuk digenggam, Nara menyambutnya dengan suka rela.

-oOo-

"Kamu nggak bosan, Nara?" tanya Javas dari arah meja kerja. Javas yang kini mengenakan kacamata sibuk dengan dokumen, sembari bertanya kepada Nara setiap sepuluh puluh menit sekali.

Nara hanya memutar bola mata sebagai jawaban atas pertanyaan Javas. Sahabatnya itu sudah sekian kali menanyakan hal yang sama, menyulut Nara untuk kesal. Mereka baru dua jam berada di sini, Nara belum bosan. Mungkin tidak akan pernah karena menatap Javas yang sedang serius bekerja ternyata seru. Nara dapat melihat berbagai ekspresi Javas dari kursi sofa yang tepat berada di depan meja kerja pria itu. Nara juga menyela rutinitas memandangi Javas tersebut dengan memainkan Ipadnya.

Nara tidak tahu jika sedari tadi Javas tak dapat berkonsentrasi sebab terlalu salah tingkah akibat tatapan Nayyara. Ingin rasanya Javas membuang semua dokumen ini lalu pergi mendekat ke Nara, mengisenginya, memainkan surainya atau melakukan hal lain yang berkaitan dengan Nayyara.

Hah. Jafas menghela nafas kasar. Dia melanjutkan kegiatannya lagi, mengendalikan sifat kekanakannya. Bagaimana pun Javas harus tetap bekerja kalau tidak orang tuanya akan menyalahkan Nayyara lagi sebagai sumber destruksi logikanya, sehingga membuat mereka berkomentar soal 'kebucinan' putra mereka.

Javas masih ingat papanya yang menjabat sebagai komisaris Mavendra Group itu menceramahinya. Beliau angkat bicara karena Javas sulit sekali berjauhan dengan Nara dan membuat beberapa proyek terbengkalai. "Kalau kamu merasa butuh Nayyara setiap hari bawa dia ke sini. Jadikan Nara milik kamu," kata papanya.

Kalau semudah itu menjadikan Nayyara miliknya sudah dari dulu dia menikahi Nara. Masalahnya Nara sama sekali tak membalas perasaannya―sampai Javas rela berkencan dengan gadis lain lalu dicap playboy―hanya demi membuat Nara cemburu. Gila memang.

Mamanya yang biasanya cuek bahkan juga pernah berkata, "Cari perempuan lain sana, jangan kayak orang susah aja. Ya sesekali tidur sama yang cantik-cantik boleh, jangan lupa pakai pengaman. Mama gak mau ya bibit kamu bercampur sama cewek yang gak jelas. Bolehnya sama Nayyara. Kalau sama Nayyara gak usah pakai pengaman karena Mama udah tahu bibit, bebet, dan bobotnya berkualitas tinggi."

Yah, Mamanya Javas memang sekacau itu. Javas malah disuruh tidur sama yang cantik-cantik, sementara bagi Javas cuma Nayyara yang paling cantik. Gila memang (2).

Heh. Javas menghela nafas untuk kesekian kalinya.

"Kamu lagi ngerjain apa sih? Susah ya? Dari tadi kok hah heh hah heh," akhirnya Nayyara Judistia Putri Hartadi angkat suara.

Javas langsung menggeleng, takut ketahuan jika sedari tadi memikirkan Nayyara.

Nayyara meletakkan Ipad yang digunakannya untuk menonton pertunjukkan Wira di Youtube. Dia berjalan mendekati Javas menuju dinding kaca yang menjadi latar belakang meja kerja Javas. Dwi manik Nara bisa membingkai langit yang mulai gelap dan lampu-lampu dinyalakan. Pemandangan yang lumayan indah di Jakarta, bisa ia lihat hanya dengan berada di lantai dua puluh dua ruangan Javas.

Bagaimana mungkin Javas bosan atas semua yang berada di kota ini?

Javas memiliki perusahaan yang mengalirkan banyak uang ke rekening. Ada banyak tempat hiburan. Perempuan-perempuan yang memiliki gaya berpakaian jauh lebih baik dari Nayyara. Teman dan keluarganya juga berada di sini.

Lantas, kenapa Javas selalu mengatakan dia butuh tempat istirahat setiap kali terlalu lama berada di Jakarta?

"Lagi mikirin apa?" tanya Javas yang sudah meninggalkan mejanya, lebih memilih berada di samping Nara menemaninya melamun.

"Kamu," jawab Nara singkat.

Javas diam karena jawaban pendek itu menyenangkan hatinya.

"Aku heran, Chatu. Kenapa kamu kayak nggak betah di sini sementara semua hal terbaik ada?" Nara berkata lagi.

Javas tertegun. Kira-kira kenapa ya?

Mungkin karena gue gak bisa jadi diri sendiri di sini, batin Javas.

Gue butuh lo, buat jadi diri gue. Chatu yang nggak sempurna, monolog hati Javas berlanjut.

"Karena nggak ada kamu di sini," Javas berucap pelan.

Nayyara memberikan atensi kagum pada suasana Jakarta di sore menjelang malam, sementara Javas mengagumi Nayyara.

"Waktu kamu ada di samping aku seperti sekarang, tempat ini menjadi rumah," lanjut Javas.

Nayyara tersenyum. "Jadi gitu ya cara kamu ngerayu perempuan―mantan-mantan kamu," tandas Nara.

Hah. Gini lagi Nara, jadi kesal si Javas.

Javas membuang muka. "Mau aku kenalin sama Rindi? Dia cewek baru aku."

Nara melihat Javas yang kini memberikan ekspresi datar. Perempuan ini mengerjapkan mata beberapa kali.

"Mau ya? Aku telepon dia sekarang," ulang Javas, dia mengeluarkan handphone.

Ada sedih di hati Nara. Menyadari kalau dia juga tidak berhak menolak atau melarang Javas bertemu dengan Rindi. Andai saja Nara tahu, Javas hanya ingin bermain-main agar Narayya menunjukkan rasa cemburu sedikit saja.

Nara menyugar surai panjangnya. Dia menarik ujung bibir menunjukkan lesung pipi. Dengan hati berat, tapi ditutupi. Nara berucap, "Boleh, ini kan malam Minggu rasanya gak adil gitu nganggurin pacar kamu hehehehe."

-oOo-

"Bu Nara, tunggu di sini ya. Pak Javas masih perjalanan dari rumah Mbak Rindi," kata Olivia sekretaris Javas yang terlihat masih sangat muda padahal usia sesungguhnya sudah menginjak tiga puluhan.

"Kak Liv, jangan terlalu formal. Panggil saya Nara aja. Makasih ya udah ditemenin nyari baju," balas Nara tulus sebelum Olivia pergi.

Nayyara tersenyum kecut, berulang kali dia membenarkan dress hitam selututnya agar tidak kusut. Nara sedang berada di restoran hotel milik Keluarga Mavendra. Ruangan khusus ini memiliki empat kursi yang Nara yakin diperuntukkan untuk tamu istimewa. Hal itu dikarenakan ada koki yang akan melayani mereka, memasak langsung makanan di tempat.

Nara sendirian melalukan hal yang paling dibencinya, yaitu menunggu. Tadi Javas menawarkan kepada Nara, gadis itu ingin ditemani atau tidak mencari baju untuk makan malam bersama Rindi. Nara menjawab tidak. Javas pun akhirnya menjemput Rindi, sementara Nara membeli gaunnya dengan Liv.

Entah mengapa sedikit rasa diabaikan di batin Nara karena selama ini Javas lebih memilih menemaninya daripada harus menjemput orang lain. Nara harus terbiasa.

Sekitar tiga puluh menit, pintu ruangan itu terbuka. Ada Javas yang sudah mengganti pakaiannya dengan kemeja abu-abu dan Rindi yang sangat cantik dengan gaun biru tua. Perempuan yang bersurai coklat madu itu bergelayut di tangan kanan Javas.

Logika Nara membentak si pemilik tubuh untuk segera tersenyum menyambut, namun raganya justru memihak hatinya yang membeku. Ada sedih yang merasuki Nara.

"Maaf membuat lo menunggu Nara. Tadi gue sama Javas sempat kelepasan maklum seminggu nggak ketemu," Rindi berujar.

Menurut Nara, Rindi ini tipe perempuan yang ceriwis dan mudah kepo sama orang asing sedangkan Nara sebaliknya. Nara berusaha menampakkan ekspresi ramah, malah yang ada senyum tipis canggung berada di wajahnya.

Pandangan Javas sedari tadi fokus kepada Nara yang tampak baik-baik saja. Hanya terkejut sebentar ketika melihat leher Javas yang jelas ada bekas kiss mark di sana.

Apa mereka berbuat sejauh itu? Pikiran Nayyara berkata.

"Gak papa, kok," singkat Nara, ia mengubah arah pandangannya dari Javas.

Javas duduk di samping Rindi, berhadapan langsung dengan Nara. "Kamu mau makan apa?" tanya Javas lembut.

"Aku mau salad," balas Nara.

Alis Javas bertaut. "Nasi aja, ya. Kamu tadi kan uda makan salad. Nanti perut kamu sakit."

"Kalian akrab ya, sampe Javas mau ngomong aku-kamu. Padahal gue yang pacarnya aja nggak pernah digituin," Rindi mematahkan obrolan Javas dan Nara.

"Karena uda kenal dari kecil jadi kebiasaan aja," jawab Nayyara.

Rindi menyeringai. "Ya akrab banget hahaha. Jujur aja, gue datang ke sini buat lihat mana yang namanya Nayyara. Soalnya lo terkenal di antara mantan-mantan Javas."

Javas menghela nafas. Dia akan buka suara, tapi mencoba menahannya karena ingin melihat reaksi Nara. Javas malah pura-pura sibuk memesankan menu untuk Nara, dia tidak peduli dengan Rindi dan mulut pedas cewek itu.

"Terkenal kenapa memang?" Nara penasaran.

"Terkenal suka ngerusak hubungan Javas sama ceweknya," jawab Rindi.

Nara justru tersenyum simpul. "Oh," gumam Nara.

"Oh aja?" Rindi memberengut.

"Iya, oh aja. Aku harus nanggepin gimana? Kalau memang kenyataannya Javas lebih milih datang ke aku daripada mereka atau kamu," jelas Nara.

Strike on point, batin Javas. Rindi jelas kalah jika mereka membandingkan besarnya tingkat ketertarikan Javas kepadanya. Nara mempunyai nilai istimewa di hidup Javas Chatura Mavendra, sudah jelas.

"Ya, lo seharusnya sadar kalau sesama wanita itu harus saling menghormati. Lo uda jadi pelakor―"

"―Javas kayaknya cewek kamu ini gila," potong Nara, dia menatap tajam Javas.

"Lo ngatain gue gila?!" Rindi sudah berdiri sembari menggebrak meja.

Javas mulai memijat pelipis.

"Iya, kamu gila Rindi," ujar Nayyara ekspresinya dingin.

Javas cuma geleng-geleng kepala, Nayyara meladeni Rindi. Biasanya sahabatnya itu lebih suka perdamaian.

Rindi seperti orang kesurupan dia menyiram Nayyara Judistia Putri Hartadi dengan gelas kristal yang berisi wine. Untungnya, Nara telah mahir menghindar, hanya mengenai bagian bahunya, paling tidak wajahnya masih kering.

"Rindi, mending lo pergi aja," desis Javas.

"Lo belain dia, Jav?" tanya Rindi suaranya bergetar.

Nara memutar bola mata jengah. Dia harap Rindi tidak memulai drama menangisnya. Nara sudah suntuk dan dia bad mood.

"Dia cewek murahan yang jadi benalu kamu―shit!" cercaan Rindi terhenti saat Nara meraih spageti yang baru saja datang, lalu menumpahkan isinya ke Rindi. Sukses wanita itu berlepotan spageti karena dia tak sempat menghindar.

Nara menghela nafas. Dia kembali menampakkan ekspresi kalemnya, netranya beralih ke Javas. "Dengar, mereka menyebut aku benalu," kata Nara tegas, seolah sebutan itu tersemat padanya karena Javas.

Javas mencengkeram pergelangan tangan Nara. "Minta maaf," sudut bibir Javas berucap kepada Nara.

Javas sendiri terkejut dengan respons Nara karena setahunya, Nayyara tidak pernah bersikap kasar. Ada yang salah dengan Nara, Javas tidak suka mendapati perubahan itu. Ia merasa gadis di hadapannya ini asing.

Nara diam, dia menepis tangan Javas, lalu pergi.

Nayyara tidak menoleh lagi ke belakang karena dia bisa saja kehilangan kendali. Dia tidak suka ketika sifat pemarahnya muncul. Nayyara harus menjadi manusia yang baik dalam segala kondisi karena begitulah orang yang tak punya apa-apa bertahan hidup.

-oOo-

Nara mengawasi bayangan dirinya berada di dalam cermin panjang yang terletak di sudut kamar. Ia terlihat biasa. Ekspresi tenang, nafas teratur, dan baju yang masih rapi. Tak ada kegundahan satu pun terpancar dari dirinya, padahal baru mengalami kejadian tak menyenangkan. Raganya memang baik-baik saja. Namun, terjadi hiruk pikuk dalam hatinya.

Sekacau-kacaunya hati gadis ini, dia pantang menangis. Nara hanya diam saja, berdiri tanpa ekspresi seolah dia adalah patung. Bukannya, selama ini Nara hanya manusia patuh―si penurut yang tak memiliki keberanian melampiaskan marahnya karena takut ditinggalkan.

Kejadian tadi membuat tingkat kesabaran Nayyara Judistia Putri Hartadi habis. Javas menyuruh Nara meminta maaf meskipun sudah jelas, Rindi yang menyakiti Nayyara. Apa hal itu terjadi karena Javas terbiasa mendengar Nara meminta maaf?

Jahat. Orang seperti Javas dan Rindi adalah jahat. Mereka yang memiliki segalanya ialah jahat.

Nara merasakan sakit di dada saat pikirannya menyatakan bahwa Javas mengistimewakan Rindi. Pria itu tidak pernah sekali pun membuat Nayyara menjadi nomor dua. Bahkan Javas tidak mengejar Nara.

"Apa aku sudah tidak berharga lagi?" monolog Nara.

Lamunan Nara terhenti ketika dia mendengar pintu kamar hotelnya terbuka. Javas masuk dengan mudah karena dia memang pemilik bangunan mewah ini. Pria itu tampak tenang, langkah kakinya pelan seolah dia mengulur waktu untuk mendekati Nara.

Nayyara tidak suka itu. Nara tak ingin Javas menghindarinya atau membenci dekat dengannya. Selama ini, Nara menjadi favorit Javas Chatura Mavendra. Maka dari itu, Nara yang memperpendek spasi di antara mereka.

"Kamu salah tadi," itu yang diucapkan Javas.

Nayyara sedih. Dia harus tenang, mengambil kendali atas Javas. Javas harus menyukainya lagi seperti sebelumnya. Jari-jari Nara meraih paras Javas. Nara dapat melihat raut Javas yang menegang.

"Rindi sangat berarti bagi kamu, ya?" tanya Nara.

Javas diam.

"Kamu lebih menyukai Rindi daripada aku?" pernyataan itu lebih seperti pertanyaan.

Javas tetap bungkam. Itu yang membuat Nara semakin gelisah.

"Kamu gak boleh suka sama sesuatu yang melebihi sayang kamu ke aku," Nara berkata egois, mengabaikan logikanya. Ia mengambil jeda sebentar kemudian berkata, "Kamu punyaku, Chatu."

Sunyinya Javas membuat tangan Nara mencengkeram ujung kemeja pria itu. Ia semakin takut ditinggalkan.

"Aku minta maaf," bisik Nara pada akhirnya. "Jangan diam begini, aku takut," lanjutnya.

Adegan kali ini seolah hanya di bintangi oleh Nayyara. Javas menjadi patung yang enggan bicara. Pria itu sengaja bungkam agar mendengar ungkapan kegelisahan Nara.

"Kenapa kamu takut?" Javas akhirnya berucap. Dia menatap Nayyara tajam. "Apa karena aku menempatkan Rindi di garis yang sama denganmu, Nara? Kamu takut digantikan," sambungnya.

Nara menggeleng. "Nggak mungkin, ada orang lain yang bisa gantiin aku."

Javas melepaskan tubuhnya dari Nara. Dia mundur satu langkah, pertama kalinya Javas menolak sentuhan Nayyara. "Setiap orang punya batas kesabarannya dalam menunggu, Nara. Dan aku sudah mulai sampai di batas itu," kata Javas dingin.

Nara merasa hampa.

Nara tidak suka Javas menolaknya.

Nara kehilangan akal sehatnya ketika menghambur ke arah Javas. Dia berjinjit, menarik kerah kemeja Javas. Mencari tautan, pada bibirnya.

Nara dengan keberanian yang entah dia dapat dari mana, mengecup bibir Javas Chatura Mavendra.

Aku tidak ingin kamu sampai di batas itu, lantang serebrum Nara.

Javas terkejut, tapi dapat mengendalikan diri. Ia membiarkan Nara yang memimpin, ingin tahu sebesar apa hasrat Nayyara akan dirinya.

Nara memang belum pernah mencium laki-laki lain. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah menempelkan bibirnya pada milik Javas. Hanya saja dia melepaskan hatinya untuk bertindak. Nara merasakan lembabnya bibir Javas, candu. Nara mencoba melumat bagian bawah bibir Javas, lembut sekali. Nara menyukainya. Pelan, dalam.

Apa lagi yang harus kulakukan? Nara frustrasi karena Javas tak kunjung membalasnya.

Nara mulai berhenti mengecup Javas. Dia melepaskannya. Netra Nara berbenturan dengan Javas. Nara jelas malu, ekspresi itu ditangkap Javas.

Javas bisa lebih sayang kepada Nara saat ini melihat bagaimana wajah si gadis merah, surainya sedikit berantakan, dan dia menggigit bibir. Javas terus-menerus tertarik kepadanya, hanya perlu sedikit alasan untuk jatuh cinta semakin besar kepada Naranya.

"Kamu gak suka aku cium?" pertanyaan Nayyara dengan nada putus asa semakin membuat Javas gemas.

Bangsat. Anjing. Batin Javas dari tadi misuh-misuh.

"Suka," jawab Javas karena kasihan melihat wajah Nara yang super sedih.

"Terus kenapa―kenapa kamu diem? Aku gak tau caranya, kalau kamu cuma diam," bisik Nara pelan, untung Javas pasang telinga.

"Terus, aku harus gimana?" tanya Javas jahil, dia mengendalikan senyumnya agar tidak muncul.

Ah, murka Javas sudah menyumblim hilang begitu saja.

Dasar Javas lemah sama Nara.

Nara jadi salah tingkah. Dia menolak menatap Javas. "Kamu harusnya bales ciun aku?" jawab Nara tidak yakin.

"Memang kamu mau aku bales ciumnya?" Javas sungguhan mempermainkan Naranya.

Apa sungguhan mereka harus membahas soal cium-menciun dalam situasi begini?

"Mau," Nara membalas cepat, lalu menyesal karena kejujurannya.

Javas tersenyum simpul. Dia mendekati Nara. Tangannya membelai paras perempuan paling cantik ini dan yang paling dia sayang. Javas merangkum wajah Nara.

"Begini caranya, Sayang," kata Javas sebelum mengecup bibir Nara dengan agresif, lembut, dan dalam.

Nara memeluk pinggang Javas erat sebab kakinya sudah lemas. Nara mengikuti alur yang dijalankan pria itu, jantungnya berdebar keras ketika Javas menggigit bibirnya.

Javas membuat Nara mundur hingga terpojok ke dinding. Mencium Nara adalah hal paling luar biasa dalam hidupnya. Javas memang sudah mengecup bibir puluhan gadis, tapi hanya Nayyara yang dapat membuat perutnya tergelitik seolah ada jutaan kupu-kupu di sana. Javas dibawa ke dunia paling tinggi, membuatnya rela mati saat ini juga.

"Sudah tahu caranya?" Javas bertanya lagi saat ia melepaskan Nara. Javas memberi jarak beberapa sentimeter agar Nara bernafas.

Nafas mereka tersengal. Nara masih memejamkan mata, belum sadar sepenuhnya. Bibirnya merah, terbuka beberapa inci. Nara merasakan hidung Javas menyentuh hidungnya. Nafas Javas pun menderu.

"Hah," Nara hanya dapat membalas dengan vokal abstrak.

"Do you want make something special tonight, Nara?" bisik Javas.

Hening.

Nara membuka matanya, dia sungguh kehilangan akal sehat untuk dapat menjawab. Namun, raganya punya hasrat yang membimbingnya menentukan balasan yang tepat. Nara begitu berani membuka kancing teratas kemeja Javas Chatura Mavendra.

Javas sendiri tidak berharap ucapannya akan mendapatkan respons yang diinginkan dari sang gadis. Hanya saja, jari-jari Nara yang berada di kemeja bagian atasnya―diartikan sebuah 'iya'.

Cukup dua sekon, Javas mengangkat raga Nayyara yang pasrah. Gadis itu mengalungkan tangannya ke leher Javas, setelah lawannya menciumnya kembali.

Javas menurunkan Nara hati-hati ke ranjang, membaringkannya.

Nara merasa campur aduk ketika Javas menindihnya. Dia mencengkeram selimut, Javas mulai memindai leher Nayyara dengan bibirnya kemudian menggigitnya.

Javas tahu bahwa pengaruh Nayyara sangat hebat pada kerja raganya. Dia tidak tahu jika menyentuh Nara sedikit saja dapat membuatnya sebahagia ini. Javas juga tak tahu apabila mendengar Nayyara mengerangkan namanya akan semerdu ini.

"Chatu―ahh," kalimat paling mengagumkan yang pernah Javas dengar selama dia hidup.

Malam ini akan sangat panjang dan indah, Javas akan memastikannya begitu.


-oOo-

Kira-kira sesuai ekspektasi Javas gak ya kelanjutannya? :')

Hai, terima kasih sudah baca cerita ini. Aku tunggu komentar dan votenya hehehe biar aku semangat lanjutinnya. Sampai jumpa di part selanjutnya <3.

N.b: Oh ya, kalian bisa follow akun twitterku @.twelveblossom hehehe biasanya aku tweet bocoran part selanjutnya di sana.

Continue Reading

You'll Also Like

262K 20.8K 100
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
42.7K 9.6K 111
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...
367K 38.5K 35
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ° hanya karangan semata, jangan melibatkan...
64.4K 10.4K 15
Yang publik ketahui, kedua pemimpin perusahaan ini sudah menjadi musuh bebuyutan selama bertahun-tahun lamanya, bahkan sebelum orang tua mereka pensi...