monotone (terjemahan)

By natsumi-shirayuki

163K 15.5K 7.3K

More

Chapter 1. Calm (Tenang)
Chapter 2: Chance (Kesempatan)
Chapter 3: Something (Sesuatu)
Chapter 4: Lullaby (Pengantar Tidur)
Chapter 5: Clouded (Mendung)
Chapter 6: Golden (Keemasan)
Chapter 7: Frozen (Beku)
Chapter 8: Glass (Kaca)
Chapter 9: Human (Manusia)
Chapter 10: Fracture (Retakan)
Chapter 11: Shatter (Hancur)
Chapter 12: Alone (Sendirian)
Chapter 13: Easier (Lebih Mudah)
Chapter 15: Clarity (Kejernihan)
Chapter 16: Butterflies (Kupu-kupu)

Chapter 14: Unsteady (Goyah)

6.2K 741 157
By natsumi-shirayuki


Cleveland masih mencekik seperti yang dia ingat. Saat dulu Wei Ying tinggal di sini, apartemen yang dia tinggali bersama Shen Yuan berada di daerah pinggiran kota. Lelaki itu menyukai ketenangan, katanya, tapi Wei Ying lebih menyukai distraksi dan kebisingan. Dia sering pergi ke kota, menjelajahi jalanan gelap dan mempercayakan orang asing untuk membawanya pulang. Bahkan setelah sekian tahun berlalu, dia masih bisa mengingat dengan jelas kelab malam yang pernah dia datangi; setiap gang gelap yang dia masuki, dipojokkan di dinding untuk bercumbu dengan entah lelaki atau perempuan.

Wajahnya memucat memikirkan itu lagi, memikirkan segala keputusan sembrono yang pernah dia buat. Dulu, dia tidak peduli apa pun yang terjadi padanya; dia hanya menginginkan sesuatu yang membuatnya merasa hidup, bahkan saat pikiran untuk terus melanjutkan hidup tidak lagi terasa berguna.

Keberuntungannya memang sedang sial, hotel yang dipesankan ZiXuan berada tepat di jantung kota. Sekali lirik ke luar jendela kamar, Wei Ying bisa dengan mudah mengenali setidaknya lima tempat yang pernah dia datangi dulu; semuanya sama sekali tidak memberinya kenangan menyenangkan—malahan sangat sebaliknya.

Wei Ying berpaling dari jendela. Dia bahkan nyaris tidak memperhatikan ruangan ini sejak masuk tadi, terlalu sibuk mengkhawatirkan apa yang akan dia lakukan saat bertemu Jiejie lagi. Dan bagaimana dengan Jiang Cheng? Apa yang akan Wei Ying katakan padanya? Bagaimana dia menghadapi mereka?

Dia menghela napas dan menatap ruangan di hadapannya, sama sekali tidak terkejut pada kemewahannya. Toh ini yang dipilihkan Jin ZiXuan. Kelihatannya mirip seperti jet yang mereka tumpangi tadi; luas dan penuh warna keemasan, walaupun tak perlu. Wei Ying mulai menyadari Keluarga Jin mungkin saja tertarik pada hal-hal serba emas.

"Oh," dia berujar lirih, hanya menemukan sebuah ranjang double di tengah ruangan. "Hanya ada satu ranjang."

Lan Zhan mengangguk di sebelahnya, wajahnya pasif seperti biasa. Wei Ying seharusnya lebih dulu menanyainya kalau dia lebih memilih ruangan yang terpisah. Mereka sudah berbagi ranjang dua kali, tapi tidak ada yang terjadi di antara hubungan mereka sehingga Wei Ying tidak ingin berasumsi apa-apa.

"Kau tidak keberatan berbagi tempat tidur, kan?" tanyanya, kemudian menunjuk sebuah sofa di dekat jendela. "Aku bisa pakai sofa—"

Lan Zhan menggeleng. "Berbagi tidak apa."

Wei Ying mengangkat bahu. "Oke."

Ranjangnya juga cukup lebar. Dia melirik jam di ponselnya, penasaran apakah dia perlu langsung menuju ke sana sekarang juga atau menghabiskan beberapa jam untuk istirahat. Untuk berjaga-jaga, dia mengirim pesan ke Jin ZiXuan, memberitahunya bahwa dia sudah tiba di hotel. Sekarang sudah hampir jam sebelas pagi; dari yang dia tahu, sekarang masih terlalu awal untuk mengunjungi Jiejie.

Menunggu adalah hal yang menyiksa. Wei Ying berjalan mondar-mandir di dalam kamar, menunggu balasan saudara iparnya. Dia merasakan tatapan Lan Zhan sepanjang waktu meskipun lelaki itu tidak mengucapkan apa-apa untuk memecah keheningan. Beberapa menit berlalu sampai Wei Ying tergoda untuk mengirim pesan lagi untuk mendesak jawaban ZiXuan.

Saat itulah, akhirnya, ponselnya bergetar.

Wei Ying tidak tahu itu memberinya rasa lega atau justru gelisah. Membayangkan bertemu Jiejie sekarang, setelah sekian tahun dia menghindarinya, itu hanya membuatnya serasa ingin muntah. Dia berhenti mondar-mandir dan berusaha keras menenangkan diri. Dia harus melakukannya.

Jawaban ZiXuan membuatnya mengernyit. Sekarang hari Jumat; bukankah Jiang Cheng bilang para dokter memperingatkan mereka Jiejie mungkin saja tidak akan bertahan sampai akhir minggu ini? Apa dia baik-baik saja? Apa Wei Ying sudah terlambat?

Wei Ying ingin memukul dirinya sendiri karena rentetan pemikiran itu. Dia menempuh perjalanan jauh-jauh ke Ohio bukan untuk menyerah pada Jiejie.

"Wei Ying?"

Wei Ying mendongak. Dia sudah terdiam begitu lama sampai hampir lupa Lan Zhan dari tadi menatapnya. Tatapannya penuh rasa khawatir; dia tidak perlu mengatakan apa-apa ke Wei Ying untuk tahu apa yang ingin dia tanyakan.

"Aku baik-baik saja," jawab Wei Ying. "Saudara iparku barusan mengirimi pesan."

Dia mengecek jam sekali lagi. ZiXuan bilang dia bisa berkunjung kapan saja... Segelisah apa pun Wei Ying sekarang, dia pikir dirinya tidak akan bisa menunggu lebih lama lagi di kamar hotel ini. Jika dia menghindar lagi, dia mungkin akan merasa mual karena gelisah sendirian. Bahkan kehadiran Lan Zhan juga tidak berbuah apa pun sekarang ini. "Kurasa aku akan... mengunjungi Jiejie sejam lagi," ujar Wei Ying.

"Kau tidak lelah?"

"Aku sudah cukup tidur di jet tadi. Toh sepertinya aku tidak akan bisa tidur lagi dalam keadaan seperti ini."

Perjalanan ke Ohio tadi memang terasa nyaman; Wei Ying menghabiskan hampir sepanjang waktu memeluk Lan Zhan yang ternyata sangat bagus dalam memeluk. Wei Ying harus mengakui, dia berusaha keras melupakan kenapa dia berada di jet ini. Lebih mudah melupakannya sewaktu dalam perjalanan ke Ohio dan ada empat belas jam sebelum kedatangan mereka. Karena sekarang sudah sampai di sini, dia pun mulai merasa bersalah karena bergantung pada Lan Zhan untuk menghiburnya.

"Aku akan pergi bersamamu," ujar Lan Zhan.

"Tidak."

Alis Lan Zhan terangkat.

"Maksudku—jangan dulu," Wei Ying membalas cepat, merasa bersalah. "Aku tahu aku sudah memintamu ikut denganku tapi... jangan dulu."

Sudah dua belas tahun lebih sejak terakhir kali dia melihat Jiejie. Tak peduli sebersyukur apa dia karena Lan Zhan datang ke sini bersamanya, Wei Ying masih merasa tidak enak kalau dia di sana—setidaknya jangan sekarang. Mungkin egonya sendiri tidak ingin orang lain menyaksikan momen itu, mungkin rasa bersalahnya yang tidak ingin menerima dukungan apa-apa. Entah apa pun itu, Wei Ying tahu dia harus menemui Jiejie sendirian. Ini adalah urusan keluarga—bahkan meski Jiang Cheng pernah bilang bahwa Wei Ying tidak lagi punya tempat di Keluarga Jiang.

Wei Ying tidak ingin memperburuk semuanya dengan membawa Lan Zhan bersamanya. Saat dia menerima tawaran Lan Zhan untuk menemaninya ke Ohio, dia tidak berpikir kenapa dia menginginkan lelaki itu di sisinya. Itu adalah keputusan sembrononya sendiri, sebagian besar karena rasa takut akan datang ke sini sendirian.

"Ini pertama kalinya aku menemui Jiejie sejak peristiwa itu terjadi," Wei Ying menjelaskan.

Lan Zhan tidak menjawab, satu-satunya perubahan di ekspresinya adalah matanya yang sedikit menyipit.

"Aku akan baik-baik saja," Wei Ying bersikeras. "Tapi aku harus melakukannya."

Dia mengatakan itu untuk meyakinkan Lan Zhan, tapi dia tahu satu-satunya orang di sini yang butuh diyakinkan adalah dirinya sendiri.

"Mungkin kita bisa pergi ke sana bersama besok, Lan Zhan."

Lan Zhan mengangguk. "Kalau itu yang kauinginkan."

Wei Ying tidak tahu lagi harus berkata apa. Entah kenapa dia ingin meminta maaf karena sudah menyeret Lan Zhan ke sini. Dia masih tidak tahu kenapa musisi itu sampai mau bersusah payah menghiburnya. Meskipun Wei Ying ingin berpikir bahwa memang ada ketertarikan di antara mereka berdua, dia tahu bahwa mereka masih belum saling mengenal dengan baik sampai-sampai Lan Zhan bisa peduli padanya sebesar ini.

Meski begitu, dia memang bukan ahlinya dalam hal semacam ini. Dia sudah menghabiskan umur dua puluhannya bersanggama dengan siapa saja; memangnya tahu apa dia soal hubungan romantis? Atau... apa pun itu namanya. Mungkin Lan Zhan saja yang terlalu baik dan itu semua hanya di pikiran asal Wei Ying.

Kelelahan, dia pun ambruk kembali ke ranjang dan menatap langit-langit ruangan. Dia merasa ranjang ini tertekan ke bawah beberapa detik kemudian; Lan Zhan pasti juga ikut duduk di sana. Setelah beberapa menit panjang tanpa apa pun selain keheningan canggung di antara mereka, Wei Ying pun duduk dan mengernyit ke lelaki itu.

Dia lebih diam dari biasanya—yang memang sudah sangat diam. Lan Zhan bukanlah tipe yang banyak bicara dan Wei Ying perlahan-lahan mulai terbiasa dengan hal itu; tinggal begitu lama dengan Wen Ning sudah membuatnya ahli dalam hal bicara dengan orang yang tidak merespons balik. Meski begitu, Lan Zhan sudah menatap dinding terlalu lama. Mustahil menduga apa yang sebenarnya dia pikirkan.

"Ada yang sedang mengganggu pikiranmu?" tanya Wei Ying, menyenggolnya dengan lembut.

Akhirnya Lan Zhan berbalik menatapnya, sedikit mengernyit.

"Apa... yang sudah terjadi?"

Sekarang giliran Wei Ying mengernyit. "Apa yang sudah terjadi apanya?"

"Kau tidak pernah memberitahuku... tentang masa lalumu," Lan Zhan berujar perlahan, seolah mencari-cari kata yang tepat untuk diucapkan. Itu percuma saja; Wei Ying sudah membeku begitu mengerti apa yang dia tanyakan.

Wei Ying memutus kontak mata mereka, meraih salah satu bantal di atas ranjang. Dia menarik-narik ujung bantal itu, ragu-ragu jika dia ingin mengungkap segala detail menyenangkan itu ke Lan Zhan.

"Aku sudah pernah bercerita padamu bahwa orangtua kandungku meninggal dan Keluarga Jiang mengadopsiku setelah itu," ujarnya. "Paman Jiang dan Bibi Yu mengalami kecelakaan gara-gara aku... Mereka juga meninggal. Sekarang, Jiejie di rumah sakit, juga gara-gara aku."

"Tapi kenapa?"

Wei Ying membenamkan jemarinya ke bantal itu. "Apa maksudmu kenapa?"

Karena aku menghancurkan segalanya? Karena aku menyakiti siapa pun yang kusayangi? Kenapa kau harus bertanya kenapa?

Dia harus mengertakkan gigi supaya tidak mengatakan apa-apa lagi. Tidak seharusnya dia melampiaskan frustrasinya ke Lan Zhan; hanya karena dia sedang gelisah bukan berarti dia bisa meluapkan emosi padanya. Wei Ying menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya, memeluk bantal itu makin erat ke dadanya. Dari sudut mata, dia bisa melihat Lan Zhan sedang menatapnya.

"Maaf," gumam Wei Ying. "Aku tidak bermaksud menaikkan suaraku."

Lan Zhan menggeleng. "Tidak perlu meminta maaf."

Mengumpulkan keberanian untuk menatapnya, Wei Ying tidak melihat apa pun di tatapannya selain kesabaran. Dia pun terkejut menyadari kata-kata itu terancam lolos dari bibirnya, begitu ingin memberitahu Lan Zhan tentang detail-detail yang membuatnya depresi—tapi kenapa? Dia selalu mencoba menghindari hal-hal yang terlalu prbadi. Bahkan Wen Qing dan Wen Ning tidak tahu segalanya dalam hidupnya; mereka telah melihatnya hanyut dalam alkohol dan seks, tapi dia selalu menghindari memberitahu mereka sebabnya. Dia tidak ingin membebani siapa pun dengan masalahnya.

Lan Zhan tidak mengucapkan apa-apa lagi. Dia hanya menunggu. Wei Ying pun hanya bisa berpikir, dari cara Lan Zhan menatapnya, lelaki itu akan menunggu tak peduli seberapa lama.

Tetap saja, dia tidak bisa mengatakannya. Wei Ying menelan ludah dan menunduk.

"Aku tidak bisa. Aku tidak ingin membicarakan soal itu," ujarnya. "Tidak ada gunanya membicarakan itu."

Tidak ada gunanya membebani Lan Zhan dengan hidupnya. Sudah cukup menyeretnya ke sini bersamanya.

Samar-samar dia mendengar suara helaan napas Lan Zhan. Lelaki itu bangkit, sedikit terlalu cepat, dan berjalan ke arah koper mereka. Butuh waktu cukup lama bagi Wei Ying untuk menyadari bahwa dia mulai membongkar barang bawaan. Wei Ying masih diam di ranjang, matanya terpaku pada punggung Lan Zhan, penasaran kenapa dia merasa bersalah karena sudah menepisnya. Mereka tidak memiliki hubungan; mereka bahkan nyaris tidak saling mengenal. Tidak sekali pun mereka pernah membicarakan seperti apa sebenarnya hubungan mereka, meskipun mereka sudah saling menempel sejak Wei Ying terbangun dari mabuknya yang parah tempo hari.

Dengan jarak di antara mereka sekarang ini, Wei Ying merasa lebih membenci dirinya sendiri karena tidak tahu apa yang harus dilakukan di situasi seperti ini. Dia tidak ingin berasumsi apa pun, berjaga-jaga jika Lan Zhan tidak merasakan hal yang sama.

Dan yang lebih pentingnya lagi, dia juga tidak ingin menyakiti Lan Zhan.

"Lan Zhan," panggilnya. Saat musisi itu berbalik, Wei Ying menelan lagi permintaan maaf yang hampir dia katakan. Dia segera mengganti topik lain yang muncul di kepalanya, melarikan diri, seperti yang biasa dia lakukan. "Aku lapar. Apa sebaiknya kita pesan makanan?"

Lan Zhan mengangguk, mengeluarkan kartu kredit dari dompet. "Akan kubayar."

Selalu saja. Wei Ying memaksakan senyum dan meninggalkan ranjang. "Kau tahu, aku juga bisa bayar."

"SiZhui bilang kau tidak punya uang."

"Apa-apaan itu?" tanya Wei Ying. "Aku sudah memberinya nilai bagus tapi dia malah memfitnahku begini?"

Dan begitulah, mereka akhirnya memesan pizza untuk menghabiskan waktu. Lan Zhan benar-benar yang membayar semuanya dan Wei Ying pun penasaran seberapa banyak penghasilan yang didapat dari menjadi seorang tutor musik. Mempertimbangkan betapa besar rumahnya, pasti memang banyak. Orang macam apa sih yang dia ajari? Selebriti?

Lan Zhan tidak menanyakan apa-apa lagi, dan suara tawa Wei Ying pun mulai terdengar lebih alami. Jauh dalam lubuk hati, pikirannya sedang memarahi dirinya supaya memberitahu Lan Zhan, supaya mempercayainya—mempercayai seseorang sekali ini saja. Dia lelah memendam segalanya sendirian; sudah begitu banyak yang dia simpan dalam tubuh lelahnya ini.

Untuk ukuran orang selemah dia, Wei Ying memang keras kepala. Lebih mudah tersenyum lebar pada Lan Zhan daripada mengucapkan kata-kata yang ingin dia bagi. Lebih mudah menggodanya, menertawakan reaksinya, daripada mengakui dia ketakutan setengah mati membayangkan bertemu dengan keluarganya lagi. Saat bersama Lan Zhan, lebih mudah baginya untuk berpura-pura menjadi orang lain, melupakan segalanya dari masa lalu dan fokus hanya pada betapa menyenangkan menggoda musisi itu.

Terlalu cepat, sejam berlalu begitu cepat. Wei Ying tidak bisa lagi berpura-pura. Dia berdiri dan mengumpulkan barang bawaan, mengabaikan bagaimana tangannya gemetar, bagaimana rasanya makin sulit untuk bernapas.

"Aku akan kembali nanti," dia memberitahu Lan Zhan. "Jadilah anak yang baik, oke?"

Lan Zhan mengangguk. "Jaga dirimu."

Wei Ying pergi sebelum dia menyesal tidak meminta Lan Zhan ikut. Hotel ini dekat dengan rumah sakit; dia tiba di sana terlalu cepat, menatap pintu masuk sama yang tidak sanggup dia masuki bertahun-tahun yang lalu.

Dia serasa berusia dua puluh tahun lagi, berdiri di tempat yang sama saat segalanya seperti menghujaninya sekaligus.

Menyedihkan, menyedihkan, menyedihkan! Pergi, pergilah saja! Berbaliklah dan kaburlah seperti biasa!

Akan terasa begitu mudah melakukan itu; berbalik, berpura-pura dia melakukan ini demi Keluarga Jiang padahal dia sebenarnya hanya menjadi pengecut. Selama sedetik, dia mundur selangkah, mempertimbangkan jalur lurus di hadapannya di mana dia melarikan diri dan memudarkan segalanya dengan alkohol lagi dan lagi.

Kemudian dia teringat Lan Zhan. Lan Zhan, yang saat ini sedang menunggu di kamar hotel mereka; Lan Zhan, yang jauh-jauh datang ke Ohio karena ingin mendukung Wei Ying; Lan Zhan, yang hampir tidak mengenal dirinya, tapi percaya padanya lebih dari Wei Ying mempercayai dirinya sendiri.

Wei Ying benar-benar menyedihkan. Dia menarik napas dalam-dalam dan melangkah maju, mendorong pintunya sampai terbuka.

Rasanya dingin. Dia langsung dihantam bau steril khas rumah sakit. Dia teringat saat tengah terbaring di ranjang rumah sakitnya sendiri, mendengarkan mesin-mesin di sekelilingnya yang memberitahunya bahwa dia masih hidup, sedangkan Paman Jiang dan Bibi Yu tidak.

Wei Ying membenci rumah sakit. Dia akan menjadi lelaki yang bahagia jika tidak pernah diharuskan menginjakkan kaki di tempat seperti ini lagi.

Setiap langkah yang dia ambil, dia mengingatkan diri untuk benar-benar melakukan ini. Prosesnya lambat dan dia melangkah dengan kecepatan kura-kura, tapi dia melakukan ini. Sudah terlambat untuk melarikan diri.

Dia cukup cepat menyadari sosok Jin ZiXuan. Seperti janjinya, dia menunggu di dekat pintu masuk dengan lengan terlipat. Dia mengangguk singkat ke Wei Ying, seolah ada sekelumit keterkejutan di wajahnya. Sepertinya Wei Ying bukanlah satu-satunya yang yakin dia tidak akan sanggup memberanikan diri hari ini.

"Wei Ying," sapa ZiXuan.

"Terima kasih sudah menunggu," jawab Wei Ying.

ZiXuan menoleh ke sekeliling. "Bukannya kau membawa seseorang bersamamu?" tanyanya.

"Kupikir akan lebih baik kalau aku pergi sendiri dulu."

"Ah."

Itu saja yang dia katakan: ah. Mereka berdua tahu ini adalah jalan yang terbaik.

Tidak ada lagi yang terucapkan, ZiXuan pun mengarahkannya melewati koridor rumah sakit yang seperti tak berujung. Wei Ying membiarkan pandangannya menjelajah ke ruangan berbeda selagi lewat. Ada beberapa pasien yang bisa berjalan berkeliling sendiri, diikuti keluarganya yang wajahnya berbinar, gembira karena kesembuhannya. Mereka semua menghilang dalam hitungan detik, lenyap ke dalam koridor lain; dan ada lagi sekerumunan orang yang tidak terlihat begitu bahagia, tidak terlalu beruntung. Wei Ying tidak perlu menduga-duga kenapa mereka seperti itu. Dia tidak tahan melihat orang yang lewat, menangis, saling berpelukan.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Wei Ying, tatapannya kembali ke punggung ZiXuan.

"Dia sedang demam."

Dia nyaris tidak bisa mendengar apa yang ZiXuan katakan. Wei Ying mengernyit, tidak sanggup menghentikan diri menoleh pada kerumunan orang yang menangis bersama di ujung sana. Jantungnya serasa teremas-remas membayangkan orang-orang itu akan menjadi mereka beberapa hari lagi.

"Tapi dia akan baik-baik saja, kan?" tanyanya, segera mempercepat langkahnya ke sebelah ZiXuan. Dia menyadari lelaki itu melotot ke depan, menolak berpaling padanya.

"Aku tidak tahu," itulah yang bisa ZiXuan katakan sebelum mempercepat langkahnya, membiarkan Wei Ying di belakangnya lagi.

Tak lama kemudian, mereka sampai di ruangan pribadi Jiejie. Pintunya tertutup, seperti dugaannya, dan Jin Ling masih menunggu di luar, tertidur pulas di kursinya. ZiXuan menghela napas menatapnya, duduk di samping anaknya dan memindahkan kepala bocah itu supaya bisa bersandar di pundaknya. Dia mendongak pada Wei Ying dan mengisyaratkannya ke arah pintu.

"Jiang Cheng masih di dalam, kurasa," ujarnya. "Aku akan menunggu di luar sini."

Wei Ying berbalik ke arah pintu.

Apa yang sebenarnya dia takutkan? Apa dia takut menyaksikan apa yang telah dia perbuat pada Jiejie? Apa dia takut Jiejie akan membencinya setelah sekian lama ini? Apa dia takut kalau Jiejie justru tidak membencinya? Kenapa dia masih tidak bisa bergerak?

"Ayolah," ujar ZiXuan. "Masuklah saja. Aku akan ada di sini kalau terjadi sesuatu."

Kalau terjadi sesuatu. Maksudnya adalah jika dirinya dan Jiang Cheng akan mulai bertengkar lagi—tapi itu tidak perlu. Wei Ying sudah lelah bertengkar.

Dia mendorong pintunya hingga terbuka, tidak bisa bernapas. Begitu melangkah masuk, dia melihat Jiang Cheng sedang duduk di sebelah ranjang, memegangi tangan Jiejie. Dia tidak mendongak.

Suatu keajaiban Wei Ying mampu mendekati mereka. Semakin dekat, semakin sulit rasanya mengendalikan emosinya. Jiejie sedang terlelap di atas ranjang, napasnya pendek-pendek sampai Wei Ying takut memandanginya. Terakhir kali dia melihat Jiejie, dia adalah seorang mempelai wanita yang penuh senyum, penuh kebahagiaan. Wanita di depannya ini sama sekali tidak terlihat seperti seorang kakak yang tumbuh besar dengannya.

Semua ini gara-gara kau.

Wei Ying mengepalkan tangan dan memaksakan diri supaya tidak berbalik dan melarikan diri dari bangunan ini. Dia duduk berseberangan dari Jiang Cheng yang tidak bergerak sama sekali, bahkan tidak memperhatikan kedatangan Wei Ying.

Satu-satunya suara di ruangan ini hanyalah mesin yang menjaga Jiejie tetap hidup.

Dia menghitung detik-detik yang berlalu, sampai detik menjadi menit, dan menit menjadi kekosongan. Wei Ying mengerjap, menyingkirkan air mata yang tidak mau menetes, mempertahankan tangannya di pangkuan. Dia ingin memegang tangan Jiejie juga, tapi dia berpikir dirinya tidak akan diizinkan begitu. Jiang Cheng masih tidak mendongak dan keheningan di antara mereka rasanya lebih menyakitkan daripada semua perkelahian mereka di masa lalu. Wei Ying nyaris berharap Jiang Cheng akan berteriak padanya, menyuruhnya pergi—mengatakan sesuatu.

Yang bisa dia lakukan hanyalah menatap Jiejie.

"Kapan kau tiba di sini?"

Napas Wei Ying tersentak. Selama sedetik, dia seperti membayangkan Jiang Cheng berbicara. Suara mesin terus berbunyi mengisi kesunyian. Begitu lama berlalu sampai Jiang Cheng melirik ke arahnya dengan bibir berkedut.

"Sekitar tiga jam yang lalu," Wei Ying membalas cepat. "Bagaimana... denganmu?"

"Hari Rabu. Aku bicara dengannya kemarin."

Inilah pertama kalinya selama bertahun-tahun ini mereka saling bicara tanpa bertengkar; tapi, jawaban singkat Jiang Cheng tidak bisa membuat segalanya jadi membaik. Dia bicara cepat, seolah ingin percakapan ini berakhir secepat mungkin.

Jemari Wei Ying semakin mengerat di telapak tangannya. "Bagaimana keadaannya?"

"Lebih baik. Tidak begitu baik hari ini."

Dia tidak melewatkan bagaimana mata Jiang Cheng memincing padanya saat mengatakan itu. Perkataannya memang tenang, tapi tak diragukan lagi ada kedengkian dalam nada bicaranya. Dia menyalahkan Wei Ying—tentu saja—dan dia berharap Wei Ying tidak ada di sini. Mulutnya terbungkam dan dia berhenti bicara.

Kesunyian melanda lagi.

Rasanya lucu bagaimana Jiejie selalu yang membantu mereka berdua berbaikan setiap kali bertengkar. Namun kini, bahkan keberadaannya di antara mereka berdua tidak cukup untuk memperbaiki jembatan itu lagi.

Jiang Cheng-lah yang pertama bergerak. Dia bangkit berdiri.

"Aku akan pergi," ujarnya, sudah bergerak menuju ke pintu. Dia sudah hilang sebelum Wei Ying bisa menghentikannya.

Wei Ying tidak bergerak. Dia menatap pintu tempat keluarnya Jiang Cheng barusan. Kenapa rasanya begitu sulit menemukan kata-kata yang tepat untuk diucapkan padanya? Mereka selalu bertengkar; sejak kecil, mereka selalu saja berselisih gara-gara hal paling konyol—tapi Wei Ying selalu bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk membuat Jiang Cheng tersenyum lagi. Dulu rasanya begitu mudah untuk membaca saudaranya itu; Jiang Cheng selalu menunjukkan emosinya sedangkan Wei Ying senantiasa menyembunyikannya. Dia tahu apa yang dirasakan Jiang Cheng sebelum lelaki keras kepala itu memahaminya sendiri.

Itulah kenapa mereka benar-benar cocok bersama; dua bersaudara, begitu saling bertolak-belakang, bersandingan seperti kepingan puzzle yang cocok.

Saat Paman Jiang dan Bibi Yu bertengkar setiap hari, rasanya mustahil tidak mendengarkan tuduhan yang mereka layangkan ke satu sama lain. Bocah-bocah itu tidak pernah menginterupsi mereka. Yang bisa mereka lakukan hanyalah bersembunyi di kamar, menunggu pertengkaran mereka mereda, digantikan dengan kesunyian yang mulai mereka sambut. Suatu malam, mirip dengan malam-malam lain saat mereka berselisih tentang hal yang sama, Paman Jiang dan Bibi Yu mempertengkarkan keberadaan Wei Ying di keluarga ini. Selalu saja sama. Kenapa Paman Jiang lebih menyayanginya daripada anaknya sendiri? Apa karena dia masih mencintai ibu Wei Ying? Apa karena Jiang Cheng adalah anak dari Bibi Yu dan Paman Jiang membenci Bibi Yu?

Wei Ying sudah lama belajar untuk mengabaikan pertanyaan-pertanyaan itu; memikirkan jawaban yang mungkin untuk mereka malah akan membuat Wei Ying sakit kepala.

Namun Jiang Cheng tidak bisa mengabaikannya.

Mereka akan duduk di kamar yang mereka bagi saat remaja; Wei Ying akan berusaha keras mengalihkan perhatiannya dari teriakan-teriakan di lantai bawah sementara Jiang Cheng akan terdiam di tempat, memelototi tangannya. Wei Ying tahu dia sedang mendengarkan dengan saksama, memperhatikan setiap kata dan membiarkan itu meracuni hatinya.

Dia menghela napas, mengulurkan tangan ke Jiang Cheng.

"Jiang Cheng, ayo pergi. Ayo pergi dari sini," ujarnya.

Jiang Cheng menepis tangannya. "Kenapa? Bukankah harusnya kita sudah terbiasa?"

"Kita tidak harus mendengarkan mereka bertengkar."

Suara di lantai bawah semakin keras. Wei Ying mencengkeram dadanya dan berharap mereka bisa berhenti.

"Apa pentingnya? Kau tidak bisa menerima kenyataannya?" ujar Jiang Cheng. "Ibu benar; Ayah selalu lebih menyayangimu."

"Jangan mengatakan itu!"

"Kenapa tidak boleh?! Kenapa kau marah mendengar itu?! Bukankah harusnya aku yang marah? Akulah yang tidak pernah bisa sebanding denganmu, tidak peduli sekeras apa aku berusaha!"

Jiang Cheng sekarang berteriak; nyaris sekeras ibunya yang mirip dengannya. Tatapannya membara seperti tatapan ibunya setiap kali menyalahkan Wei Ying pada segala ketidaknyamanan di rumah mereka. Rasanya sakit melihat tatapan itu di wajah Jiang Cheng.

"Itu tidak benar!"

"Memang benar dan kau sendiri tahu itu! Ayahku sendiri tidak mempedulikanku tapi dia menyayangimu! Setiap hari dia selalu memujimu, tapi dia tidak pernah sekalipun mau repot-repot memperhatikanku!"

Jiang Cheng menggeleng, napasnya memberat. Dia sudah menangis. Wei Ying bergegas menyambar pundaknya, tapi Jiang Cheng malah menepisnya. Suara pertengkaran Paman Jiang dan Bibi Yu tidak bisa lagi dia dengar; yang bisa Wei Ying dengarkan hanyalah Jiang Cheng yang berusaha keras menahan isak tangisnya, mengusap matanya dengan marah.

"Jadi katakan padaku, Wei Ying, kenapa kau tidak ingin mendengarkan ini?!" desaknya. "Bukankah kau harusnya bahagia?! Kau punya orangtuaku yang lebih memperhatikanmu daripada siapa pun juga!"

Wei Ying menggeleng lemah. "Jangan bicara omong kosong! Paman Jiang hanya lebih keras padamu karena kau anaknya sendiri!"

"Tidak, dia benci Ibu, jadi wajar saja dia membenciku juga! Siapa yang mau mempedulikanku kalau kau selalu menjadi yang lebih baik?!"

Inilah yang paling Wei Ying benci. Dia selamanya bersyukur pada Keluarga Jiang karena telah memberinya rumah untuk bernaung, tapi mengingat bahwa kehadirannya tidak bisa apa-apa selain menyakiti orang-orang yang dia sayangi serasa mencabik-cabik dirinya dari dalam. Saat kecil, rasanya menyakitkan karena dia tidak mengerti alasannya. Setelah tahun-tahun berlalu, dia berangsur-angsur mengerti—tapi tetap saja, dia tidak bisa berbuat apa pun. Dia hanya bisa berharap untuk membayar kembali kebaikan mereka di masa depan saat dia lebih dewasa, saat dia bisa mengurus diri sendiri tanpa membebani orang lain.

Tanpa tahu apa lagi yang bisa dilakukan, Wei Ying pun menyambar pundak Jiang Cheng dan mengguncang-guncang tubuhnya.

"Hentikan!" ujarnya, dia memohon. "Kenapa harus ada persaingan di antara kita? Kenapa itu penting? Aku tidak pernah peduli soal itu! Jiang Cheng, bukankah kau pernah menyuruhku untuk selalu di sisimu sejak kita kecil? Bahwa kau akan mengusir anjing mana pun untukku?"

Jiang Cheng mundur darinya, "Kenapa sekarang kau membahas itu—"

"Apa pun yang terjadi, aku akan ada untuk menyadarkanmu. Persaingan ini sama sekali tidak penting!" ujar Wei Ying. Dia mengutarakan semua yang bisa dia pikirkan, putus asa untuk membuat Jiang Cheng sadar. Jiang Cheng adalah sahabatnya, saudaranya; orang pertama yang dia sapa saat pagi dan orang terakhir yang dia lihat saat malam. Mereka adalah pahlawan kembar, seperti yang dulu sering mereka sebut saat kecil. Wei Ying akan berada di sisinya sampai mereka menua dan tumbuh uban.

"Kalau kau tidak mempercayai dirimu sendiri, aku yang akan percaya, dan akan kupukuli siapa pun yang bilang kalau kau tidak cukup bagus," lanjut Wei Ying. "Kita ini saudara, kan? Aku tidak ingin bertengkar lagi denganmu, aku ingin tetap di sisimu."

Mata Jiang Cheng membelalak. Hilang sudah ekspresi yang lebih sering dia lihat pada wajah Nyonya Yu, tergantikan dengan harapan kekanakan. Itu adalah ekspresi sama yang tampak pada seorang bocah yang ingin menggapai sesuatu tapi terlalu takut untuk mengambilnya. Wei Ying tersenyum kecil padanya.

Pada akhirnya, Jiang Cheng menonjok pundak Wei Ying. Tonjokannya lemah, bahkan tidak bisa terbilang tonjokan, tapi itu membawa senyum di wajah Jiang Cheng. Dia menggeleng sendiri dan bergumam tanpa suara.

"Film romantis mana yang kau kutip itu? Kau mencoba menghiburku atau malah membuatku malu?"

Senyum Wei Ying makin melebar menjadi cengiran tulus. Pertengkaran mereka berakhir, bahkan meski yang di lantai bawah masih berlanjut—tapi itu tidak ada artinya lagi. Sepanjang sisa malam itu, kedua bocah menonton TV bersama, saling tertawa; tahu bahwa apa pun yang terjadi di masa depan, setidaknya mereka akan terus bersama.

Aku ingin tetap di sisimu.

Betapa mudahnya dia mengingkari janji itu. pantas saja Jiang Cheng membencinya.

Wei Ying menghela napas, menyingkirkan memori itu ke belakang pikirannya. Dia menunduk menatap YanLi, berharap kakaknya ini akan bangun dan memberitahunya apa yang harus dilakukan. Dia selalu bagus dalam menghiburnya.

"Jiejie," Wei Ying berujar lirih. "Jiejie, aku di sini."

YanLi tidak membalas.

Wei Ying mengerjap, merasakan matanya perih saat dia makin mendekat, berhati-hati sekali menggenggam tangannya. Rasanya dingin, tapi tetap selembut yang dia ingat. Saat memejamkan mata, Wei Ying bisa mengingat saat Jiejie menggenggam tangannya, mengelus rambutnya dan memberitahunya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Genggamannya makin erat.

"Ini Wei Ying. Aku di sini," ujarnya lagi. "Maaf sudah membuatmu menunggu lama sekali."

Gumpalan di tenggorokannya makin sulit ditelan dan rasanya makin sulit melihat Jiejie saat air mata terancam mengalir. Apa yang sebenarnya dia katakan? Bisakah Jiejie mendengarnya sekarang? Apa dia ingin Wei Ying tetap di sini?

Dia menggenggam tangan Jiejie dan memejamkan mata. Tetes-tetes air mata mengalir, menitik ke atas tempat tidur itu. Dia serasa tenggelam. Dia bersyukur Jiang Cheng sudah meninggalkan ruangan ini, bahkan meski sakit rasanya menyaksikan dia pergi.

"Kumohon bangunlah. Maafkan aku, Jiejie—maafkan aku," mohonnya.

Tetap saja, tidak terjadi apa-apa. Hanya suara mesin yang menjawabnya, mengingatkan Wei Ying bahwa kakaknya ini tidak baik-baik saja; dan bahwa semua ini adalah salahnya.

Tanpa ada siapa pun lagi di ruangan ini dan Jiejie juga tidak kunjung bangun, Wei Ying pun membiarkan dirinya menangis—untuk sekarang ini saja. Dia lelah berpura-pura baik-baik saja. Untuk sekarang ini, sendirian bahkan tanpa Lan Zhan untuk menghiburnya, Wei Ying menangis di tempat tidur Jiejie. Dia tidak melepaskan genggaman tangannya dan terus memohon padanya untuk bangun, mengulang-ulangi bahwa dirinya menyesal. Tidak yakin apakah dirinya ingin Jiejie mendengarnya.

Saat air matanya mengering dan permintaan maafnya menjadi suara sesenggukan, Wei Ying akhirnya mendongak. Butuh beberapa detik baginya untuk menenangkan diri, menelan kembali semua isak tangis yang ingin lolos.

Jiejie masih tidak bergerak sama sekali. Dia terus tertidur.

Wei Ying menarik napas dalam-dalam dan bangkit berdiri, dengan lembut melepaskan genggamannya. Dia tidak tahu sudah berapa lama dirinya berada di sana, tapi ini sudah cukup. Wei Ying lelah—lebih lelah dari sebelumnya. Dia menatap Jiejie sekali lagi dan meninggalkan ruangan; beban di dadanya masih belum hilang bahkan setelah dia menutup pintunya.

Dia tahu kenapa. Jiang Cheng berada di seberang koridor, tangan terlipat, melotot padanya. Seperti biasa, emosinya tampak jelas; dia ingin Wei Ying pergi. Dia sudah berada di sini cukup lama.

Untuk sekali ini, Wei Ying tidak melarikan diri. Dia melangkah maju, lagi, dan lagi; sampai dia saling berhadapan dengan Jiang Cheng, tidak bisa mengabaikan matanya yang sedikit membelalak. Jiang Cheng menurunkan lengannya. Tangan mengepal.

"Apa yang kauinginkan?" tanyanya.

Apa yang dia inginkan? Ini bukan tentang apa yang dia inginkan; ini tentang apa yang harus dia lakukan.

"Jiang Cheng. Maafkan a—"

"Jangan," desis Jiang Cheng. "Jangan katakan itu."

Wei Ying menggigit bagian dalam pipinya. Wajah Jiang Cheng kosong dari amarah yang biasanya. Dia sama lelahnya dengan Wei Ying.

"Sudah—jangan katakan apa-apa," ujar Jiang Cheng. Dia menggosok pelipisnya, memejamkan mata. "Tidak ada lagi yang harus dikatakan. Kita berdua... Tidak ada gunanya lagi."

Tidak ada gunanya. Bertahun-tahun tumbuh bersama dan berakhir seperti ini; tidak ada. Jalur goyah yang sama-sama mereka tapaki, saling berpapasan lagi dan lagi, mencoba melihat perkataan siapa yang paling menyakitkan; semuanya berakhir di jalan buntu? Begitu saja?

Wei Ying membasahi bibir keringnya, memaksa diri untuk berbicara. "Aku harus mengatakan sesuatu padamu."

"Sudah kubilang jangan—"

"Bisakah kau dengarkan sekali ini saja?" ujar Wei Ying. Dia tidak harus menaikkan suaranya; Jiang Cheng memelototinya, tapi membiarkannya bicara. "Kau bisa membenciku sepuasmu. Kau bahkan tidak harus menganggapku keluargamu lagi. Aku tahu aku tidak ada saat Paman Jiang dan Bibi Yu meninggal. Aku tahu aku semakin memperparah semuanya dan Jiejie ada di sini juga gara-gara aku."

Sudah tak terhitung berapa kali Wei Ying mengatakan itu ke dirinya sendiri. Dari semua arogansi dan harga dirinya, dia bisa mengingat semua kesalahannya, menolak untuk membiarkannya lupa.

"Bukannya bersamamu, aku malah mabuk-mabukan dan melarikan diri dari segalanya. Kupikir itulah yang kauinginkan. Setelah semua yang terpaksa kaujalani gara-gara aku, aku pun jadi yakin bahwa kau membenciku dan kupikir menjauh adalah satu-satunya yang bisa kulakukan untuk membantumu... Tapi aku sebenarnya hanya terlalu takut untuk menghadapimu," lanjut Wei Ying. Segalanya masih terasa baru baginya. Rasanya seperti baru kemarin dia menenggak sebotol anggur bukannya menghadapi kenyataan, mengabaikan dunia; bahkan sampai mengabaikan Jiang Cheng.

Wei Ying tidak pernah bermaksud meninggalkannya. Dia mengira sudah membantu saudaranya itu dengan pergi menjauh, tapi dia hanya membantu dirinya sendiri.

Wei Ying menatap mata Jiang Cheng dan berharap mereka bisa memulai dari awal lagi.

Namun hidup tidaklah semudah itu, dan tidak ada harapan yang cukup untuk bisa menghapus kesalahannya. Wei Ying hanya bisa menghela napas. "Aku tidak punya apa pun lagi untuk kukatakan selain meminta maaf."

Dari cara Jiang Cheng menatapnya membuat Wei Ying terlempar kembali ke saat-saat mereka bertengkar dan hanya berakhir dengan mereka menyingkirkan segala perbedaan dan saling tertawa setelah itu. Namun, kini, bukannya menatapnya dengan harapan kekanakan, Jiang Cheng menatap Wei Ying seolah dia terlalu capek, terlalu lelah memberinya kesempatan kedua.

Dia menggeleng, suaranya lirih, lemah. "Apa gunanya mengatakan semua itu sekarang?"

"Apa aku perlu alasan?" jawab Wei Ying. "Itu saja. Terima kasih sudah mendengarku."

Sebelum dia pergi, Jiang Cheng berujar lebih keras. Ada kemarahan yang melebur dalam suaranya, tapi itu seharusnya bisa diduga. Jiang Cheng selalu bergantung pada kemarahan daripada emosi lainnya.

"Kau ingin aku mengatakan apa? Memaafkanmu? Bilang kalau aku menyesal? Apa gunanya bicara kalau tidak ada lagi yang bisa kita lakukan?!"

Wei Ying menunduk. "Aku tidak menginginkan apa-apa darimu. Sudah lama sekali berlalu. Kau... tidak perlu mengatakan apa-apa."

Jiang Cheng tidak bersuara, begitu juga dengan Wei Ying. Pada akhirnya, Jiang Cheng berada di sana; benar-benar tidak ada lagi yang bisa mereka katakan ke satu sama lain. Wei Ying meliriknya sekali lagi dan melangkah pergi, pergi dari rumah sakit ini.

Dia tidak ingin terus berada di kota ini, tidak saat ada begitu banyak hal yang mengingatkannya pada dirinya yang dulu. Wei Ying cepat-cepat kembali ke hotel itu; satu-satunya tempat dia bisa bernapas dengan benar. Melihat Lan Zhan sedang menunggunya seketika mengangkat segala beban di pundaknya.

"Wei Ying," ujar Lan Zhan, bangkit dari sofa. Kelihatannya dia tadi sedang membaca buku.

"Hei," Wei Ying menyapa dengan lemah. Dia menendang sepatunya dan meloncat ke atas ranjang, membiarkan kejadian-kejadian hari ini sepenuhnya menyingkir darinya. Hanya beberapa jam dia berada di rumah sakit tapi rasanya seperti sudah lama sekali dia tidak melihat Lan Zhan.

Wei Ying tetap berada di atas ranjang, tatapan terpaku pada langit-langit ruangan. Dia mengikuti pola rumit dari lengkungan keemasannya, menjalar di sekeliling ruangan sampai bergabung pada chandelier di bagian tengahnya. Ruangan ini sedikit samar beraroma jahe, tapi itu segera terlupakan saat Lan Zhan duduk di sebelahnya. Wei Ying menatapnya dan menghirup aroma cendana, tersenyum.

"Kau mau ikut denganku besok, Lan Zhan?" tanyanya.

Lan Zhan mengangguk.

Wei Ying duduk, menyandarkan kepalanya ke pundak musisi itu dan memejamkan mata. Karena sekarang dia sudah kembali dengan Lan Zhan dan menjauh dari rumah sakit yang mencekik itu, perasaan gelisahnya pun mereda—sedikit. Rasa gelisah itu masih terus menggerogotinya, mengingatkannya bahwa kakaknya masih tidak sehat dan ada kemungkinan dia diharuskan mengucapkan selamat tinggal padanya segera.

"Aku takut dia sekarat," Wei Ying berucap lantang. "Dia tidak boleh... Padahal aku akhirnya tiba di sini."

Dia tidak pernah berpikiran Lan Zhan akan mengucapkan sesuatu. Saat merasakan sebuah lengan memeluk pinggangnya dan menariknya makin dekat, Wei Ying pun menghela napas gemetar dan menyambutnya.

"Aku... Lan Zhan, apa yang paling kautakuti?"

"Hm?"

"Kau dengar kau. Apa yang paling kautakuti?"

Entah kenapa, lengan di pinggangnya makin mengerat. Dia merasa Lan Zhan gemetar selama sedetik yang singkat.

"Kehilangan... orang yang kucintai," ujarnya setelah sekian lama.

Dada Wei Ying berdenyut sakit. Dia ingin bertanya Lan Zhan sudah kehilangan siapa, tapi pertanyaan itu tetap dia pendam sendiri. Dia bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan Lan Zhan tentang masa lalunya; jadi hak apa yang dia miliki untuk mencampuri urusannya juga?

"Oh. Kau tahu, aku takut menyakiti orang yang kusayangi," gumam Wei Ying. "Tapi aku sudah begitu banyak yang kuperbuat, Lan Zhan. Lebih mudah sendirian daripada menyakiti mereka."

Lan Zhan semakin mendekat padanya. Dia mengecup puncak kepala Wei Ying, membuat jantungnya berdegup kencang.

"Aku di sini," ujarnya.

Wei Ying tersenyum. "Aku tahu."



--



WangJi selalu memastikan untuk menghindari rumah sakit. Sebagai seorang imortal, dirinya dan kakaknya tidak perlu memijakkan kaki ke tempat semacam itu. Malah, sebaiknya jangan pernah; jika ada dokter atau perawat yang menyadari kelebihan yang mereka miliki sebagai imortal, maka yang terjadi setelah itu hanya akan menyusahkan mereka. Datang ke Ohio bersama Wei Ying bukanlah masalah; tapi ikut dengannya ke rumah sakit itu lain lagi.

Keesokan harinya, WangJi dan Wei Ying menuju ke rumah sakit sesuai rencana. Dia mengikuti Wei Ying melewati koridor putih, mempertahankan tatapannya lurus ke depan. Di sekeliling mereka adalah pengingat bahwa manusia itu lemah dan hidup mereka teramat pendek. Itu membuat WangJi tak nyaman, takut bahwa Wei Ying juga seperti itu. Bahkan meski WangJi sudah menemukannya setelah sekian lama, Wei Ying hanyalah sementara. Wei Ying akan pergi, sepertihalnya orang-orang lainnya.

Dia benci karena tidak ada yang bisa dia lakukan. Apa gunanya menjadi seorang imortal kalau begini?

WangJi mengabaikan pemikiran itu. Dia sekarang berada di rumah sakit bukan untuk alasan itu; dia ada di sini untuk memberi dukungan pada Wei Ying. Menjaganya sepanjang waktu, tetap berada di sisinya, mengikutinya sampai mereka mencapai sebuah pintu yang tertutup. Di luar, WangJi mengenali Jin ZiXuan dan anaknya, menatapnya dengan rasa penasaran di mata kecokelatan mereka. Tidak ada yang bicara. Di sebelah mereka ada Jiang Cheng yang jelas-jelas tidak terlihat senang dengan kehadiran WangJi di sini dengan Wei Ying. Dia mendengus tanpa suara, begitu lirih sampai WangJi tahu Wei Ying tidak akan bisa mendengarnya.

Wei Ying berdeham dan mengarahkan ke pintu.

"Bisakah kami...?"

Jin ZiXuan mengangguk. "Jangan terlalu lama. Dokter ingin menemuinya segera setelah ini."

Mereka pun memasuki ruangan.

Jelas sudah, begitu WangJi melihatnya, Jiang YanLi sedang sekarat. Itulah hal pertama yang disadari WangJi dan satu-satunya yang bisa dia perhatikan setelah itu. Denyut nadinya lemah, nyaris tidak ada, dan jejak-jejak kehidupan kecil yang masih tertinggal dalam dirinya perlahan-lahan meredup setiap detik. Dia tidak akan bertahan sampai besok; mungkin sampai dua hari jika dia beruntung.

"Ini Jiejie," Wei Ying memberitahunya, menempati kursi di sebelah perempuan itu. Dia menggenggam tangannya. Ada harapan naif di wajahnya saat menatap kakaknya, dan itu nyaris membuat WangJi mengalihkan pandangannya. "Kuharap dia akan cepat siuman. Kupikir dia akan menyukaimu."

WangJi juga ikut duduk. Bukan pertama kalinya dalam hidup ini, dia membenci betapa rapuhnya hidup manusia.

Wei Ying berbicara pada kakaknya seakan-akan dia sedang tersadar. Dia memberitahunya bahwa WangJi sudah berbaik hati ikut dengannya ke Ohio, bahwa WangJi adalah orangtua dari salah satu murid yang Wei Ying ajar. Dia terus mengulangi bahwa Jiang YanLi akan menyukainya, mungkin bahkan lebih dari dia menyukai Wei Ying—meskipun WangJi berpikir itu sangat sulit dipercaya. Siapa pun tidak perlu melihat dua kali betapa Wei Ying menyayangi kakaknya, dan betapa itu akan menghancurkannya jika Wei Ying kehilangan dia.

WangJi sudah pernah melihat itu terjadi. Dia tidak ingin melihatnya lagi.

"Wei Ying," ujarnya.

Wei Ying meliriknya. "Ya?"

"... Minum. Bisakah kaucarikan untukku? Di luar."

"Huh? Oh, kau haus?"

WangJi mengangguk.

Dia menghela napas lega saat Wei Ying melangkah pergi, keluar dari pintu. WangJi sama sekali tidak membuang-buang waktu. Dia bangkit dan meraih pergelangan tangan Jiang YanLi, jarinya menekan titik denyut nadinya; lemah, seperti dugaannya. Denyut nadinya berjuang keras untuk terus bertahan.

Tangannya yang satu lagi dia angkat di atas jantung wanita itu, memperhatikan wajahnya untuk menangkap reaksi apa pun. Jiang YanLi masih tertidur, jadi WangJi pun memulai.

Sudah bertahun-tahun dia tidak melakukan hal ini dengan benar. Dia mentransfer energinya ke tubuh wanita ini, merasakan kehangatan beranjak meninggalkan tubuhnya untuk sementara waktu dan menaungi wanita itu dalam sinar kebiruan. Suara dengungan sihir samar-samar menggantung di udara; waktu membeku, sekaku Jiang YanLi sendiri. WangJi menyalurkan lebih banyak energi, mata memincing menyadari tidak ada respons dari wanita ini. Dia harus berhasil. Jiang YanLi tidak boleh meninggal.

Dia mengumpulkan sebanyak mungkin energi spiritualnya, membiarkannya menari-nari di antara ujung jarinya sebelum meresap ke dalam kulit Jiang YanLi. Lebih, lebih, sampai WangJi teringat seperti apa rasanya menjadi lemah, sampai dia mulai penasaran apakah ini benar-benar akan berhasil. Detik-detik menjadi menit. Dia tidak berhenti; dia adalah seorang imortal dan ini tidak akan membunuhnya. Dia tidak boleh berhenti.

Jiang YanLi tetap tak bergerak. WangJi mengertakkan rahang, tangannya mendekat ke kepala, perut, dan semua organ vital yang dirasa masih lemah. Napas WangJi mulai sulit dengan seberapa banyak energi yang hilang, tapi dia terus mengirimkan segalanya yang dia bisa ke tubuh ringkih Jiang YanLi—

Pintu mendadak terbuka. WangJi langsung menarik tangannya, gemetar.

"Lan Zhan, aku tidak tahu minuman apa yang kausuka jadi aku hanya membawakanmu air. Tidak apa-apa?"

Dia berbalik dan melihat Wei Ying melangkah mendekat, melambaikan dua botol air di depannya. WangJi berhasil mengangguk singkat.

"Maaf aku lama sekali, ya. Vending machine di koridor ini tidak menjual minuman. Aku harus berputar-putar untuk mencari yang lain."

WangJi mencengkeram botolnya, melirik Jiang YanLi lagi. Dia tidak yakin apakah yang dia lakukan sudah cukup, dan dia tidak bisa memikirkan kebohongan lain supaya Wei Ying keluar dari ruangan ini. Jika dia menunggu lebih lama lagi, Jiang YanLi mungkin saja akan kehabisan waktu. Dia harus melakukannya sekarang juga.

"Ada apa?" tanya Wei Ying menyentuh pundak WangJi. "Kau kelihatan capek."

"Aku baik-baik saja," WangJi bersikeras. Dia terus menatap Jiang YanLi, dalam pikirannya mencari-cari solusi yang bisa dilakukan. Tidak mungkin Wei Ying harus menyaksikan WangJi menggunakan kultivasinya. Dia harus membuat Wei Ying pergi dari sini, mungkin dalam waktu yang lebih lama.

"Kita mungkin harus segera pergi. Jin ZiXuan bilang dokter harus mengecek keadaannya."

Tidak.

Mata WangJi memincing. Dia butuh lebih banyak waktu. Dia butuh—

Suara erangan lirih terdengar di udara. Wei Ying juga mendengarnya; dalam hitungan detik, dia sudah berada di sisi Jiang YanLi, menggenggam tangannya.

"Jiejie? Jiejie, ini aku, Wei Ying," ujarnya. "Jiejie, aku di sini."

Jiang YanLi mengerang dan tangan di genggaman Wei Ying berkedut. Tatapan WangJi melembut, menyaksikan bibir Wei Ying gemetar, berjuang keras menahan tangis. Dia mengulangi lagi dan lagi bahwa dia ada di sini, berjuang keras mengucapkan kata-katanya sendiri. Rasanya tidak benar menyaksikan ini; Wei Ying senantiasa memiliki kebanggaan yang terlalu besar sehingga tidak pernah menunjukkan kelemahannya di depan orang lain.

Akhirnya, mata Jiang YanLi terbuka. Dia menatap sekeliling ruangan ini dengan bingung sebelum terpaku pada Wei Ying yang gemetar seperti daun di hadapannya. Jiang YanLi terkesiap, mengangkat tangannya untuk mengelus rambut adiknya ini.

"A-Ying? A-Ying, ini benar kau?"

Saat itulah Wei Ying akhirnya menangis. Dia seperti hancur, mencengkeram tangan kakaknya dan membungkuk, mengisi ruangan ini dengan tangisannya. WangJi harus mengalihkan pandangan.

Denyut nadi Jiang YanLi sudah semakin teratur. Dia merengkuh Wei Ying dalam pelukannya dan menangis bersamanya, jemarinya mengelus-elus rambut Wei Ying.

"Jiejie, ma-maafkan aku—"

Jiang YanLi memotong ucapannya, menggelengkan kepala. Wei Ying tampak begitu mungil di pelukannya; seperti bukan lelaki dewasa, tapi seorang bocah yang merindukan keluarganya.

"Sshh, sshh. Tidak perlu minta maaf. Aku sangat merindukanmu."

Wei Ying terus menangis, mengulangi lagi dan lagi bahwa dirinya menyesal. Tidak peduli berapa kali Jiang YanLi meyakinkannya, Wei Ying tetap tidak bisa dibujuk. Isakannya keras, tidak lagi ditahan-tahan; dia hanya bisa berpegangan pada tangan kakaknya dan meminta maaf atas segala yang telah dia perbuat.

Tak peduli sebesar apa WangJi berharap bisa menghiburnya, dia masih tahu diri. Diam-diam dia keluar dari ruangan, meninggalkan mereka berdua sendirian.

Untuk sekarang, dia sudah berbuat cukup.



--

Bersambung

Continue Reading

You'll Also Like

62.7K 7.5K 21
Ibarat masuk isekai ala-ala series anime yang sering ia tonton. Cleaire Cornelian tercengang sendiri ketika ia memasuki dunia baru 'Cry Or Better Yet...
60.9K 6.2K 20
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG
612K 61.1K 48
Bekerja di tempat yang sama dengan keluarga biasanya sangat tidak nayaman Itulah yang terjadi pada haechan, dia menjadi idol bersama ayahnya Idol lif...
106K 11.1K 43
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...