[Selesai] Perfectly Imperfect

By twelveblossom

173K 17.6K 6.4K

Sempurna. Bagaimana jika Nayyara Judistia Putri Hartadi menjadi perempuan yang paling sempurna bagi Javas? Ja... More

0. Tokoh Yang Ada
1. Titik Awal
2. Bertemu Pilihan Lain
4. Bersamamu itu Segalanya
5. Melewati Batas
6. Alasan Yang Keliru
7. Jalan Pintas
8. Dia Yang Kelabu
9. Kamu dan Buku yang Tertutup
10. Meragukan dan Diragukan
11. Tentang Rindu
[GIVEAWAY] HI DECEMBER!
12. Terikat Asa
13. Dua Peran
14. Sebuah Permainan
15.1. Menjadi Kita
15.2 Menjadi Kita
16. The Heaven
17. Yang Diperbaiki, Tidak Ada
18. Kenangan Untuk Yang Pergi
19. Untuk Melepaskan
20. Bicara Soal Pernikahan
21. Bagian Terbaik Dalam Hidupku
22. He Brings The Heaven To Her
23. Terluka dan Kembali Sembuh
24. Rumah Kita
25. Perasaan Yang Terombang-Ambing
26. Lebih Dari Ego
27. Hiruk Pikuk
28. Katanya, Cinta Itu Mengusahakan Segalanya
29. Membakar dan Terbakar
30. Ketenangan Yang Sebentar
31. Kita Akan Bicara Besok
32. Yang Ditunggu Datang Juga
33. Sebelum Kelahiran Bintang Yang Ditunggu
34. Comfort Zone (Final)
35. Bagaimana Kalau Berlanjut? (S2 Perfectly Imperfect)
36. Mereka Pun Mulai Bahagia

3. Soal Cemburu

5.1K 644 115
By twelveblossom

Cemburu - Twelveblossom

Katamu, cemburu itu aku
Aku yang tak dapat kehilanganmu
Aku yang justru egois
Karena butanya hatiku membuatmu menangis

Katanya, cemburu itu kamu
Kamu yang lantas diam
Kamu yang membuat duniaku bungkam
Karena aku bersama manusia selain kamu

Mana yang benar?
Cemburu itu, aku atau kamu?
Semuanya jauh dari benar
Karena cemburu itu kita
Kita yang sedang jatuh cinta

-oOo-

"Aku sudah pulang dari kantor," suara Nayyara yang lembut menjawab pertanyaan Javas.

Mereka sedang berbincang melalui sambungan telepon. Javas hampir tidak mempunyai kesempatan untuk makan, tapi dia selalu memiliki waktu untuk menghubungi Nayyara. Javas mengingatkan Nara-nya agar tidak lupa menyantap makan malam di kantor karena perempuan itu selalu melewatkan ketika lembur. Javas tahu jika Nayyara sosok pekerja keras yang menghabiskan waktu lebih banyak di tempat kerja. Kali ini mengetahui Nara pulang lebih cepat dari biasanya membuat Javas mengerutkan alis.

"Apa ada acara sama Damar?" tanya Javas.

"Nggak, Wira minta diantar beli es krim di Toko Oen," Nara menyebutkan salah satu toko es krim legendaris yang ada di Kota Malang.

Javas tahu dari dulu jika Nara memang ingin pergi ke sana. Hanya saja Javas melarang karena Nara punya tenggorokan yang sensitif, dia bisa langsung batuk jika makan atau minum sesuatu yang dingin.

"Aku gak ikut makan es krim, Chatu," imbuh Nara saat Javas hanya diam.

Javas sedang sibuk dalam pikirannya sendiri. Sudah dua minggu ini Javas mendengar Nayyara menyebutkan nama Wira. Entah gadis itu sedang di kantor, pulang, dan pergi ke toko untuk membeli sesuatu―Javas mendengar Nara bercerita jika Wira menemaninya. Tanpa sebab pula urat marah Javas akan langsung menegang mendengar Nayyara memanggil nama Wira.

Ingin rasanya Javas melompat langsung ke Malang mencegah Nara bertemu Wira. Namun, dia sendiri tidak punya kuasa. Pertama, Wira datang ke rumah Hartadi atas ijin Damar. Kedua, Javas hanya orang luar yang disebut Nara sebagai sahabat. Ketiga, Nara yang mengungkapkan bahwa dirinya senang karena punya satu teman lagi selain Javas.

Selain Javas, Javas membatin. Dia tersenyum kecut.

Memang ini kekanakan dan egois. Javas tidak ingin Nayyara memiliki apa pun selain dirinya. Fokus serta perhatian Nara harus seutuhnya tertuju kepada Javas Chatura Mavendra. Sedari dulu memang begitu dan sekarang harus tetap demikian.

"Chatu?" panggilan Nara membuyarkan lamunan. "Boleh, ya?" tambah Nara memohon persetujuan Javas dengan hati-hati.

Javas memberikan atensi kepada ponselnya lagi. "Oke, kalau gitu hati-hati ya, Nara."

Bangsat, kenapa gue justru bilang hati-hati. Bukannya malah melarang. Otak Javas semakin ramai berdemo, memprotes mulut si pemilik.

Javas tidak tega menolak permintaan Nara. Itu jelas.

"Iya, kamu juga jangan lupa makan. Oh ya, aku barusan lihat foto kamu ada di akun Instagram Rindi. Kamu kelihatan kurusan, jadi makan yang banyak," balas Nayyara yang langsung mengakhiri sambungan telepon mereka.

Lah, dari mana Nara tahu kalau Javas punya pacar baru lagi?

Well, sebenarnya Javas tidak berniat sama sekali untuk menjalin hubungan dengan Rindi. Perempuan yang baru lulus kuliah itu digunakan Javas untuk memutuskan Mia―mantan pacar Javas yang kelewat terobsesi dengan kehidupannya. Mungkin, beberapa hari lagi Javas akan mengakhiri hubungan mereka.

Baiklah, Rindi tidak penting.

Yang paling penting di sini, Javas harus mempunyai alasan untuk datang ke Malang. Javas terjebak di proyek barunya di Solo. Dia belum sempat mengambil cuti sama sekali justru harus bolak-balik Solo-Jakarta.

Kepala Javas pening seketika memikirkan Nayyara. Dia jelas merindukan sahabat baiknya itu. Javas berusaha berkonsentrasi terhadap pekerjaan yang ada dia justru semakin uring-uringan.

"Perlu gue pesen tiket buat lo ke Malang?" pertanyaan itu diberikan Theo sewaktu mereka baru menyelesaikan rapat.

Javas masih berada di ruangan rapat setelah mengusir kepala divisi yang ia anggap tidak becus menyelesaikan pekerjaan. Javas ingin mereka memberikan laporan, bukannya sampah.

"Gue marah bukan karena belum ketemu Nara," kata Javas. Ia memijat pelipis.

Theodore melepas dasi sebelum menjawab, "Ya mereka kebangetan sih. Ya kali tulisan di power point bisa typo dari tahu jadi tahi. Pantes lu ngusir mereka―nyuruh ke resto Padang buat beli otak."

Javas mendengus. Dia melemparkan laporan yang sudah dijilid rapi itu asal.

Gak berbobot sama sekali. Itu yang ada di kepala Javas setelah membaca isinya. Bagi manusia cerdas serupa Javas Chatura Mavendra kesalahan kecil bisa menjadi pintu gerbang bagi kesalahan yang lebih besar. Jadi dia ingin semuanya sempurna, tanpa celah, dan tanpa kesalahan.

"Gue lihat insta storynya Nayyara lagi makan es krim sama orang yang gak gue kenal. Apa dia lagi punya cowok baru, ya?"

Wah, Si Kampret Theo malah semakin memanaskan kepala Javas.

"Bukannya, dia pianis terkenal yang lagi rehat itu? Gue kira selera Nara hanya sebatas monyet kayak lu," Theo menambahkan, belum kapok.

Javas hanya menghembuskan nafas.

Sabar, sabar menghadapi setan.

"Pinter juga Nara. Kalau gue jadi Nara mending sama Wira. Ngapain juga ngarepin cowok yang ngaku sayang tapi pacarnya banyaknya sama kayak botol Aqua yang dikardusi."

"Bacot, kagak nyambung anjing," akhirnya Javas kehilangan kesabarannya.

Kalau saja Theodore tidak menyandang nama Mavendra pasti Javas sudah melempar laki-laki ini dari lantai dua puluh tiga. Istilah tong kosong berbunyi nyaring cocok disematkan di pundak Theo. Manusia unik bernama Theo ini suka sekali bicara. Kemampuan ngomongnya itu dapat mempengaruhi pikiran orang lain.

Javas harus waspada.

Theo tertawa keras. Sepupunya ini memang hiburan terbaik. Sepintar apa pun Javas menangani wanita-wanita di luar sana, Javas tidak berkutik jika Theo mengungkit Nara. Javas akan menjadi manusia ekstra protektif, pemarah, dan kekanakan.

"Gue pesenin tiket buat lo segera. Kalau nggak karyawan kita bakal budek masal karena dimaki-maki sama bosnya," Theo pergi begitu saja setelahnya membiarkan Javas yang sibuk menggerutu.

-oOo-

"Aku gak papa kok, Chatu. Aku Cuma batuk paling besok sudah bisa masuk kerja lagi," suara Nara sudah serak dan sakit dibuat bicara, tapi dia masih berusaha menanggapi perbincangan melalui video call.

Ponsel Nara menampilkan wajah Javas yang masih mengenakan kemeja putih. Javas berada di kantor, wajahnya terlihat galak karena sedari tadi alisnya naik. Javas memang sedang kesal karena Nara sakit, itu yang ditangkap si gadis.

Nayyara makan satu porsi besar es krim kemarin. Dia tahu kalau akan sakit, tapi moodnya saat itu sedang buruk. Dia butuh yang manis atau apa pun yang akan membuat Javas jengkel.

Javas akan kesal kepada Nara jika gadis itu menyakiti diri sendiri. Contohnya, sudah tahu bakal sakit sewaktu makan es krim malah menyantap kudapan tersebut dengan sengaja.

Cara itu selalu ampuh menarik perhatian Javas Chatura Mavendra.

Nayyara bisa mendengar embusan nafas Javas yang berusaha sabar. Hm, ada sedikit rasa senang sewaktu Javas marah. Apalagi, marah karena terlalu mengkhawatirkannya.

Lagi pula, Nayyara jengkel dengan Javas kemarin. Dia jarang menanyakan kabar Nara, alasannya sibuk tapi masih mempunyai waktu untuk mencari kekasih baru. Nayyara terkejut saat meliat foto Javas dan seorang selebgram bernama Rindi tiba-tiba terpampang.

Javas menggeram, "Kamu harus ke dokter atau nginep di sana biar ada yang nemenin."

Nayyara terbatuk. "Tadi sudah dikasih obat sama Kak Damar. Jangan lupa kalau kakakku juga dokter."

"Iya tapi Damar kan sibuk Nara."

"Terus kenapa? Kan ada Wira yang nemenin aku di sini."

Javas tidak menyahut.

Sambungan telepon itu hening.

"Aku nggak butuh apa-apa karena ada Wira di sini," Nara mengulang, takut Javas tidak mendengarnya.

Nara menghitung dalam hati.

Satu.

Dua.

Tiga.

"Kamu gak butuh aku?" justru itu yang keluar dari bibir Javas.

Butuh, butuh banget. Aku pengen kamu di sini, tapi kan kamu sibuk. Aku nggak mau kamu susah ninggalin kerjaan di sana lagi-lagi karena aku. Kalimat-kalimat itu yang ingin diucapkan Nayyara. Namun, ia tak bisa terlalu egois.

"Nggak, ngapain butuh kamu! Hahaha," Nayyara mengimbuhkan tawa getir.

Helaan nafas Javas kembali terdengar di ujung panggilan.

"Aku ke sana nanti malam."

"Nggak usah Chatu."

"Aku pengen ketemu kamu."

"Tapi aku nggak pengen ketemu Javas Chatura Mavendra hari ini."

"Bukan urusanku kamu ingin ketemu aku atau nggak. Yang penting aku harus ketemu kamu hari ini karena ... aku kangen."

"Kan mulai nyebelinnya." Gerutu Nayyara. Senyumnya bermain di bibir.

"Jangan terlalu percaya diri kamu. Aku kangennya sama Damar," sambar Javas.

Nayyara tertawa kecil, melawan sakit pada tenggorokan. "Iya, aku tahu kamu sayang sama Damar."

"Iya sayang Damar, tapi kalau sama kamu sayangnya-sayang banget."

"Pinter ya mulut kamu ngalus, Chatu."

Javas tertawa. Suaranya berubah lembut saat berkata, "Ya udah, sampai jumpa nanti malam, Nayyara sayang."

"Sayang kepala kamu botak," sambar Nara.

"Iya terserah, bye sayangnya Javas." Javas tetap tidak mengalah sampai sambungan telepon itu terputus.

Sementara Nara menatap jendela kamar. Ia masih terbaring di tempat tidur setelah demam semalam penuh, Nara belum makan apa pun karena dirinya diharuskan mengonsumsi bubur. Sayangnya, Nara terlalu lemas untuk pergi ke dapur.

"Nayyara bangun," suara Mahawira terdengar dari balik pintu.

"Masuk aja, Wira. Nggak aku kunci."

Wira datang membawakan bubur ayam. Nara mengenali logo warung bubur tempat gadis itu sering membelinya tertempel di bungkusan yang dibawa Wira. Nara sedikit terkejut karena Wira bangun pagi-pagi sekali, ini baru jam tujuh―dia sudah berpakaian rapi.

"Makan dulu," ucap Wira, dia duduk di pinggir tempat tidur Nara. Tangan Wira lekas membuka bungkusnya kemudian memberikan sendok kepada Nara.

Nara masih tertegun.

"Bengong lagi," Wira protes karena dia tidak dihiraukan.

Nara mengerjapkan mata beberapa kali. "Aku cuma heran, kamu kok bisa bangun pagi."

"Gue bangun dari jam lima pagi. Terus pergi ke tukang bubur ternyata belum buka. Gue mau buat bubur sendiri tapi gak bisa, nanti lo malah keracunan."

Nara mulai menyendok bubur ayam favoritnya. "Tahu dari mana aku suka bubur Bang Toyib?" Nara mengajukan pertanyaan.

"Dari Javas," jawabnya singkat.

"Hah?"

"Respons lo lucu waktu denger nama dia," Wira tersenyum. "Dia telepon gue pagi-pagi. Javas minta tolong belikan lo bubur."

"Lah si Javas ngerepotin orang."

"Javas ngasih tahu kalau gue harus pergi ke sana sendiri karena lo suka request banyak hal kayak gak pakai garam atau kecapnya dibanyakin. Sampai gue catet." Wira menunjukkan kertas yang terlipat rapi di saku.

Nayyara menghentikan makannya, dia cemberut. "Kan Javas bisa minta tolong Gojek. Lo jadi repot bangun pagi―"

"―Sama sekali nggak repot Nayyara. Gue malah seneng karena gue bisa tahu apa yang lo suka dan nggak," potong Wira. Telapak tangan Wira tiba-tiba saja berada di kening Nara. "Demamnya uda hilang. Dihabiskan ya buburnya biar gak sia-sia gue bangun pagi," lanjutnya.

Nayyara mengangguk membiarkan Wira pergi.

Kayaknya, tambah satu orang lagi yang kasihan dan merasa Nayyara menjadi tanggung jawabnya.

Kenapa aku selalu merepotkan orang lain? Batin Nayyara sedih.

-oOo-

Menunggu. Nayyara benci menunggu. Nara akan memilih pergi terlebih dahulu jika diminta menunggu. Dia akan datang paling akhir, daripada harus menunggu.

Nara memiliki kenangan menunggu yang buruk.

Masih ada di ingatan Nayyara saat hari kejadian orang tuanya meninggal. Nara diminta menunggu oleh ibunya.

Ibu berkata, "Tunggu ya, Sayang. Ini ibu sama ayah mau berangkat jemput Nara sama Kak Damar."

Nara waktu itu menunggu dengan senang. Ia menunggu ibu dan ayahnya datang, tersenyum lalu memeluk Nayyara erat. Si gadis menunggu dengan perasaan rindu karena tiga hari dia tidak bertemu ayah dan ibu. Nara yang sebelumnya enggan berpisah dengan ibunya ingin menjadi mandiri dengan ikut berkemah. Nara gembira akhirnya dia bisa tidur lagi di tengah ibu dan ayah.

Lantaran begitu, Nayyara tidak pernah berjumpa mereka lagi. Ayah dan ibu tidak pernah datang menjemput Nara. Ibu dan ayah pergi, membiarkan Nara menunggu untuk bertemu, selamanya.

Nara benci menunggu. Menunggu seseorang yang tidak ada kabar, seolah Nara berjalan di lorong yang gelap―tanpa tahu ujungnya―tanpa tahu kapan dia harus berhenti.

Pertama kalinya Javas Chatura Mavendra membuat Nara menunggu. Menunggu yang tidak ada kabar. Nara khawatir. Bagaimana jika Nara harus menunggu selamanya? Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan Javas?

Nara mulai marah. Di sisi lain, Nara tidak ingin pergi begitu saja. Dia tetap tinggal, menunggu. Hanya untuk Javas. Hanya untuk hari ini.

"Dicari dari tadi ternyata di sini," Mahawira bersuara sewaktu menemui perempuan yang menjadi tetangga kamarnya. "Bukannya istirahat malah duduk di luar rumah kan lagi sakit," sambungnya.

"Aku sudah sehat," balas Nara yang waktu itu hanya memakai piama tidur.

Wira menyampirkan jaket miliknya ke bahu Nayyara kemudian duduk di sampingnya. "Lagi nunggu apa?" tanya Wira mengisi kekosongan.

"Chatu," balas Nara dengan suara serak.

"Chatu itu siapa?"

Nara mendongak menatap lagit. "Itu nama kecil Javas."

"Lo suka Javas ya?" Wira memberikan pertanyaan tajam.

Nara tidak terkejut karena Wira memang selalu begitu. Wira kerap mengungkapkan atau menanyakan sesuatu yang mengganggu pikirannya. Wira bagai buku yang terbuka, setiap orang dapat membaca dirinya. Dia tidak ambil pusing mengenai pendapat orang lain. Wira berpandangan bahwa dia bebas menyuarakan semuanya.

"Kami berteman dekat hanya itu."

Wira tersenyum mengejek. "Hanya itu? Tapi lo kemarin marah-marah waktu lihat Javas punya cewek baru."

Nara diam, telunjuknya ke atas menghitung bintang.

"Kalau suka, kenapa nggak bilang?" lagi-lagi Wira bervokal.

Nayyara menatap Wira yang kali ini tampak rupawan dengan kaus hitam dan celana training.

"Pertama, aku nggak marah kemarin. Aku Cuma kesal karena Javas gak ngomong sama aku soal pacar barunya. Kedua, bukan urusan kamu," sungutnya. Nara berkacak pinggang dan menggembungkan pipi.

"Nayyara kamu lucu."

"Berhenti panggil aku Nayyara, cukup Nara."

"Gue lebih suka Nayyara karena sama seperti artinya, lo selalu menjadi cahaya yang cantik."

"Apa?"

"Lo cahaya yang cantik, Nayyara. Setiap ketawa dan cara lo berperilaku, lo cantik." ulang Wira.

-oOo-

Javas Chatura Mavendra berdiri di depan pintu rumah Nayyara pagi ini. Dia memakai kemeja hitam yang digulung sesiku dan celana panjang senada. Wajahnya tampak lusuh, dia jelas belum tidur semalaman. Javas juga sedang terburu-buru.

Nayyara berdiri di hadapan Javas. Masih dengan piama beruang semalam. Dia dalam kondisi mata panda, surai yang kusut, dan raut datar. Gadis itu jelas tidak bisa tidur nyenyak karena terlalu marah.

"Aku lagi sibuk. Jadi mending kamu balik ke Jakarta," ujar Nara sembari mengayunkan tangan hendak menutup pintu.

Javas jelas menghalangi. "Aku salah karena gak jadi datang kemarin malam. Tiba-tiba aja salah satu karyawanku yang ada di Solo cedera jadi aku harus ke sana―"

"―Iya gak masalah. Aku lagi siap-siap ke kantor, jadi kamu pergi," usir Nara memotong alasan Javas.

Javas meraup wajahnya yang lelah. "Aku antar ke kantor," kata Javas.

"Kamu kelihatan capek mending istirahat, balik sana ke villa."

Keluarga Javas memang mempunyai sebuah villa yang terletak di Malang. Javas menyimpan salah satu mobilnya di sana sehingga bisa mengantarkan Nara ke mana pun ketika dirinya berada di Malang. Biasanya, sopir Keluarga Javas menjemput laki-laki itu di bandara, setelahnya Javas akan mengemudi sendiri untuk menemui Nara.

"Aku gak capek," Javas meraih tangan Nayyara, tapi langsung ditepis.

"Aku yang capek dengar kamu bohong terus. Dari nafas kamu aja sudah kecium alkohol. Kamu pasti minum sama perempuan yang gak jelas kemarin, bukan ke Solo mengurusi kerjaan," suara Nayyara keras.

Javas diam. Dia ketahuan. Nayyara memang tidak dapat dibohongi. Kenyataan itu membuat Javas mundur satu langkah.

"Aku benci kamu yang bau alkohol. Jangan ke sini sebelum kamu beneran sadar," Ujar Nayyara kemudian membanting pintu rumah.

Nara berusaha mengatur nafasnya. Rasanya sesak sekali. Nara duduk di lantai, dia bingung cara yang ampuh untuk menghilangkan rasa kecewa dan sedih ini.

Guk!

Guk!

Guk!

Anjing pudel berwarna coklat yang sangat Nara kenali berlari ke arahnya sambil mengibaskan ekor. Mulut anjing itu membawa bola bundar.

"Aduh Anjing! Aku lagi nggak mood main, pergi sana," omel Nara kepada anjing yang punya nama Anjing.

Well, Mahawira Adyasta belum mempunyai nama untuk anjing kecilnya ini. Jadi, mereka sepakat untuk memanggilnya Anjing.

"Lagi PMS ya, semuanya diusir," cetus Wira yang berjalan dari arah dapur. Dia membawa mangkuk tempat makan Anjing yang baru mereka beli beberapa hari lalu.

"Diam kamu," dengus Nara. Dia berdiri lalu hendak pergi ke kamarnya untuk bersiap kerja.

"Eh, ijin surat dokternya kan sampai dua hari. Rajin sekali lo masuk padahal kurang sehari lagi liburnya," Wira tidak menyerah, dia menempeli Nayyara dengan si Anjing dalam gendongan.

"Ya, aku kan bukan pemalas kayak kamu. Gak ada yang bisa aku lakuin di rumah. Bosen."

"Kalau gitu, mau nemenin gue mandiin si Anjing? Biar lo gak bosen."

"Yang ada gue masuk angin―"

"―Jahat banget ya sama makhluk lucu gini. Maksud gue ke tempat grooming anjing. Bukan lo yang mandiin dia. Biar gak bosen di rumah terus. Biar gak sumpek kerja terus," Wira bicara dengan sangat cepat.

Satu bulan tinggal bersama Wira menyadarkan Nara bahwa laki-laki ini cerewet.

Guk! Guk!

Huh, si Anjing juga cerewet.

"Dengar kan, si Anjing sampai mohon-mohon gitu," tambah Wira memelas.

Nayyara menarik nafas, dia mengangguk begitu saja.

-

"Maaf Pak Javas, setahu saya Nara cuti sakit dari kemarin," itu penjelasan Dewita.

Javas menunggu Nayyara datang ke kantor setelah memastikan dirinya tidak lagi berbau alkohol atau rokok. Hampir dua jam dia di lobi yang menemuinya justru Dewita―rekan Nara. Dewita yang mengenal Javas karena Mavendra Group merupakan nasabah prioritas. Dewita tahu alasan Javas ke sini karena Nara, jika urusan perusahaan tentunya bukan Javas Chatura Mavendra sendiri yang bertamu.

"Sebenarnya, dia sempat mengatakan kalau masuk kantor hari ini karena ada rapat dengan developer. Nah, tiba-tiba Nara gagalkan rapatnya. Saya kira Nara tidak masuk kantor karena ada urusan dengan Pak Javas. Selama ini hanya Pak Javas yang bisa maksa Nara bolos," lanjut Dewita.

Javas segera pergi dari sana setelah mendapatkan jawaban . Jelas Javas mengenali perubahan kecil dari Nayyara. Nara itu tipe manusia rajin yang selalu tidak punya alasan bagus untuk mangkir dari tanggung jawab. Nara lebih memilih dia masuk kantor dalam kondisi sakit daripada menggagalkan pertemuannya dengan developer.

Javas semakin khawatir, apalagi tadi pagi Nayyara dengan galak mengusir Javas. Memang salah Javas yang berbohong terlebih dahulu. Namun, tidak biasanya Nara semudah ini marah. Biasanya gadis muda itu akan cuek saja mendengar Javas pergi ke klub atau berkencan. Javas malah sengaja beberapa kali memanas-manasi Nara, siapa tahu Nara bisa cemburu. Kebanyakan rencana Javas gagal. Nah, justru sekarang Javas membuat Nara murka tanpa terencana.


Javas mengambil handphone, dia menghubungi kolega, "Carikan lokasi Nayyara sekarang," tanpa sapaan sopan Javas langsung memerintah.

Seseorang yang menjadi lawan bicara Javas lantas menjawab, "Cari sendiri, gue ogah disemprot Nara lagi gara-gara ketahuan masang alat pelacak di hp dia. Gue uda janji gak bakal gitu lagi ke Nara."

"Nayyara ilang," tegas Javas.

"Hah?" Perempuan dibalik telepon itu langsung terkejut, tak berselang lama dia tertawa. "Paling Nara lagi bosen sama lo, Jav."

"Gue serius, Aria."

Ariadna Arkadewi , salah satu sepupu Javas yang tidak menyandang nama Mavendra. Aria adalah manajer dari unit yang memiliki tugas dalam pengembangan teknologi dan pencarian informasi. Unit ini tidak ada di struktur organisasi Mavendra Group karena memang rahasia. Fungsi mereka untuk membantu petinggi Mavendra mengatasi hal-hal yang tidak dapat dibicarakan baik-baik. Hampir semua yang dikerjakan Aria bersifat ilegal, contohnya menguntit dan menyadap telepon.

"Gue curiga dia pergi sama orang lain." Javas mengimbuhkan dengan nada putus asa.

Aria hanya mendengus. Sebenarnya sangat mudah menemukan keberadaan Nayyara bagi Aria. Hanya saja, Aria ingin sepupunya mengerti satu hal. "Lo harus belajar berbagi Nara sama orang lain, Jav. Bagi lo memang Nara ini pusat dunia, tapi bagi Nara? Lo gak pernah tanya dia capek nggak kalian sama-sama terus."

Setiap orang yang mengenal Javas dan Nara pasti memahami bahwa kehidupan mereka telah lama terikat satu sama lain. Javas tidak membiarkan Nara pergi dari hidupnya atau melepaskan Nara bahagia bersama orang lain. Kebiasaan mereka yang selalu bersama terlihat tidak wajar, apalagi saat Nara sungguh-sungguh menutup dirinya.

Menurut Aria, Nara adalah perempuan yang paling sabar. Nara membiarkan Javas mengatur dan mengendalikan. Meskipun sesekali Nara marah, dia hanya membiarkan semua berlalu kemudian kembali pada Javas. Itu aneh di mata Aria karena Nara adalah manusia, bukan anjing yang dilatih patuh.

"Terus gue harus gimana?" Javas bertanya lebih kepada dirinya sendiri.

Lalu, Javas harus bagaimana? Kalau Nayyara menemukan kebahagiaan selain dirinya. Mungkin, Nara akan pergi begitu saja dari kehidupan Javas karena dia sudah tidak butuh. Mungkin, Javas akan dibiarkan kesepian sendiri, melanjutkan hidup sembari pura-pura bahagia.

"Ya biarin Nayyara bebas, nggak sedikit-sedikit laporan lo," jawab Aria.

Javas tidak bisa. Daripada dia diminta untuk pasrah, jelas Javas memilih untuk mencari Nayyara Judistia Putri Hartadi keliling Malang.

-oOo-

"Serius? Kamu harus makan pecel lauk tempe sebelum konser?" Nayyara memastikan cerita Wira.

Mahawira mengajak Nayyara ke Pasar Bunga Splendid yang letaknya dekat balai Kota Malang. Sebenarnya, tidak ada tujuan―mereka hanya menghabiskan waktu sebentar sebelum menjemput si Anjing yang sedang dimandikan di pet shop dekat pasar bunga.

Mereka berjalan bersisian. Wira dengan kemeja putih lengan pendek dan celana jeans dan Nara yang mengenakan dress selutut biru muda. Sesekali Wira membuka topik pembicaraan lucu mengenai banyak hal. Awalnya, Nara hanya cuek, tapi lama-lama dia mengikuti arah obrolan mereka.

"Iya kalau nggak gitu tangan gue bakalan kaku."

"Terus kalau ke luar negeri gimana dong? Kan jarang yang jualan pecel sama tempe."

"Ya nunggu ada yang jualan pecel keliling," balas Wira.

Nara menyikut Wira. "Mana ada yang begitu."

"Ada," Wira meraih dompetnya kemudian menunjukkan satu gambar dirinya yang disimpan. Ada gerobak pecel yang mangkal dengan latar tulisan Broadway, namanya Pecel Mas Ajis. "Dari fans gue," lanjutnya bangga. Mahawira tersenyum lebar.

Bibir Nayyara terbuka beberapa inci. "Wah, senang ya bisa nyusahin orang," kelakar Nara. "Kamu gak kangen main piano lagi?" kini giliran Nara yang bertanya.

Mahawira memelankan langkah kakinya untuk menyamai Nara. "Nggak," jawabnya singkat.

"Kenapa?"

Wira berhenti di salah satu penjual bunga yang khusus membudidayakan mawar. Jarinya bermain di daun-daun mawar, seolah memilih mana yang akan dibawa pulang.

"Mau mawar yang mana? Kayaknya halaman depan rumah lo kurang tanaman," Wira mengganti topik enggan menjawab pertanyaan Nara.

Nayyara menghela nafas kemudian membalas, "Aku nggak suka mawar."

Mahwaira menatap Nara yang menuntut. "Sukanya apa?"

"Kamboja," jawab Nara asal lalu membuang muka begitu saja. Nara kembali berjalan tanpa menunggu Wira.

Mahawira dengan mudah mengikuti Narraya yang sedang memberengut. "Marah?"

"Iya," singkat Nara.

Wira menarik Nayyara agar berhenti. Dia memperlihatkan tangannya, jari-jarinya kepada Nara. "Lihat baik-baik," kata Wira.

Nara mengerutkan dahi saat mendapati garis tipis di jari-jari Wira, seperti bekas jahitan. Nara tidak sadar saat dia menyentuh tangan Wira, menelusurinya.

"Kenapa ini?" Nara bergumam.

"Cidera karena kecelakaan. Tangan ini sudah tidak sempurna lagi. Mungkin gue masih bisa main, tapi akan sangat beda dengan yang dulu," kata Wira.

Nayyara mendongak, melihat ekspresi Wira. Tidak ada kesedihan pada raut Wira. Datar. Seolah Wira telah menerima semuanya.

Wira yang diamati Nara dengan dalam, mengalihkan pandangan menuju langit siang yang sedang abu-abu.

"Kamu belajar piano sejak kapan, Wira?"

Wira kembali mengekori Nara. "Sejak masih balita kayaknya. Kalau formal sekolah musik mulai umur lima tahun."

"Lama ya, bosen nggak?"

Wira berpikir sebentar, mengingat saat-saat ketika dia bosan bermain piano. "Nggak pernah sekalipun," itu jawabannya.

Nayyara tersenyum simpul. "Kira-kira kenapa ya bisa gitu?"

"Ya karena gue suka main piano. Waktu lihat orang-orang menikmati musik yang tangan-tangan ini buat rasanya bahagia." Dia mengambil jeda sebentar. "Gue sekarang gak bisa bikin pertunjukkan. Bayangin orang-orang bakal kecewa karena musik yang dihasilkan tangan ini gak sempurna― "

"―Jangan mudah nyerah gitu dong. Kamu harus berani memperjuangkan sesuatu yang kamu sukai. Aku dengar dari Kak Damar kalau ada kemungkinan kamu bisa sembuh," potong Nara. Dia memberikan senyum paling lebar untuk hari ini. "Kalau nanti kamu memutuskan menjadi pianis lagi. Aku janji bakal jadi penonton kamu yang duduk paling depan." Nara mengikat sebuah kalimat untuk pria di hadapannya.

Seharusnya ini menjadi topik paling sensitif bagi Wira. Lantaran tersinggung atau bertambah sedih, Nara justru membuat Wira menjungkitkan senyum lebar. Cara Nara mengucapkan setiap kalimat itu seolah jari-jari Wira akan kembali berada di tuts piano.

"Baik, gue bakal beri tiket khusus hanya untuk Nayyara," ujar Wira.

Nara tertawa. Dia menepuk bahu laki-laki yang lebih tinggi darinya itu kemudian mengusapnya lembut.

Wira meraih tangan Nara, menggenggamnya sebelum mereka kembali berjalan. Entah apa yang ada di pikirannya ketika Wira berani menautkan jari-jari mereka. Wira merasa bahwa semuanya begitu lengkap saat Nayyara berada di sisinya.

"Mau nggak kalau gue penuhi halaman rumah lo sama bunga kamboja, Nayyara?"

Nayyara melotot. "Memangnya rumahku kuburan."

"Katanya tadi suka."

"Nggak, tadi kan cuma lagi marah." Nayyara mencebik, tidak menyangka jika ucapannya dianggap serius.

Mahawira tertawa. Ucapan Nayyara terdengar lucu. Dia menikmati harinya. Wira jauh lebih hidup karena Nayyara.

Kesenangan mereka tidak bertahan lama. Hanya sebatas jalan-jalan di pasar bunga, selanjutnya kesedihan kembali datang. Setidaknya, bagi Nayyara.

Nayyara Judistia Putri Hartadi baru pertama kali melihat Javas semarah ini. Dia tampak berantakan. Bahkan, ekspresi tenang serta tertata yang biasa dia tunjukkan kepada Nara lenyap. Kilatan mata Javas tajam ke arah Nara yang bergandengan tangan dengan Mahawira.

Nara sendiri terkejut ketika Javas berada di pelataran parkir pet shop. Javas berdiri di samping mobil milik Keluarga Hartadi yang selama ini digunakan Nara dan Mahawira jalan-jalan. Nara menyerahkan si Anjing kepada Wira, dia tahu kalau bukan sesuatu yang tepat menggendong peliharaan ketika Javas marah. Bisa-bisa Javas membanting si Anjing.

Javas berjalan ke arah Nayyara yang waktu itu baru keluar dari pet shop. Dia menarik tangan Nara kasar sampai perempuan itu sedikit terhuyung.

"Javas!" seru Nara kaget.

"Ikut gue sekarang," perintah Javas.

Dia menggunakan 'gue' bukan 'aku' tandanya Javas sungguhan marah.

"Kamu ini kenapa?" Nara bertanya setelah dapat mengendalikan rasa kaget. Dia berusaha melepaskan cengkeraman Javas pada pergelangan tangannya. Namun, dia tidak berdaya.

Nayyara mencuri pandang pada Wira. Untungnya laki-laki itu hanya diam menatap mereka, kalau dia sampai turut serta mungkin akan ada baku hantam atau semacamnya.

"Gue telepon berkali-kali hp lo mati. Gue ke Damar katanya dia juga gak tau. Gue ke kantor lo juga gak ada yang tau. Rumah lo sepi―"

"―Terus kenapa kamu gak hubungi Wira?" potong Nayyara.

Iya, kenapa Javas tidak bertanya kepada Wira?

Javas takut jika Nayyara benar-benar pergi bersama laki-laki itu. Dia takut kalau Nara mengubah kebiasaan-kebiasaannya karena Wira. Nyatanya, Nayyara memang bersama Wira. Javas seperti ditampar kenyataan.

Javas tidak menjawab, justru ia kembali memaksa Nara untuk ikut dengannya. Egois? Benar, Javas memang sangat egois. Logikanya sudah hilang ditelan bumi. Dia tidak peduli tentang pandangan orang lain terhadap caranya mendapatkan Nayyara lagi. Javas hanya ingin Nayyara tetap berada di sisinya, selamanya.

Nayyara sedih karena Javasnya yang selalu lembut berubah. Nara sakit―tangannya sakit dan hatinya juga.

"Javas nggak gini caranya. Lepasin aku," Nara memelas.

Yang terjadi selanjutnya di luar dugaan. Mahawira yang tidak pernah ikut campur dalam urusan orang lain―mendorong Javas. Dia membantu Nayyara lepas.

"Nayyara minta lo buat lepasin dia," Wira berujar datar, dia menjadi perisai bagi Nayyara.

Untuk pertama kalinya Nara takut kepada Javas. Dia beringsut ke belakang Wira karena pemuda yang baru dikenalnya satu bulan ini, dapat membuatnya merasa aman.

Javas menyadari pergerakan Nayyara yang ketakutan. Hal tersebut membuat emosinya meluruh sedikit demi sedikit.

"Kita harus bicara Nara," Javas merendahkan intonasi.

Nayyara menggeleng. Perempuan itu menarik pelan ujung kemeja Wira yang membelakanginya. "Aku mau pulang, Wira. Bawa aku pulang," bisik Nayyara, matanya sudah berkaca-kaca.

Tangan Wira berada di bahu Nayyara, menenangkannya. Mereka berdua berbalik, meninggalkan Javas yang membeku di tempat.

Javas menyadari bahwa dirinya bukan lagi satu-satunya. Ada manusia yang berada di satu garis dengannya, menjadi pilihan lain bagi Nara.

-oOo-

a/n:

Hai, terima kasih buat kamu yang tetap membaca cerita ini. Aku menunggu komentar dan like dari kamu. Oh ya, mungkin cerita ini terkesan masih abu-abu, aku inginnya menceritakannya soal mereka pelan-pelan.

Mungkin pada part selanjutnya aku akan menceritakan mereka satu-persatu mengenai Nara yang patuh, Javas yang egois, dan Wira yang putus asa. Semoga kalian suka! Hehehehe :D

N.b: Oh ya yang ingin chit chat, curhat, dan fangirlingan bareng boleh follow twitter aku ya @.twelveblossom hehehehehe :D

Continue Reading

You'll Also Like

76.2K 3.5K 7
meskipun kau mantan kekasih ibuku Lisa๐Ÿ˜ธ (GirlxFuta)๐Ÿ”ž+++
716K 34.2K 39
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
297K 3.4K 78
โ€ขBerisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre โ€ขwoozi Harem โ€ขmostly soonhoon โ€ขopen request High Rank ๐Ÿ…: โ€ข1#hoshiseventeen_8/7/2...
84.8K 12.4K 28
Renjun mengalami sebuah insiden kecelakaan yang membawa raganya terjebak di dalam mobil, terjun bebas ke dalam laut karena kehilangan kendali. Sialny...