"Kau cantik---aura kecantikanmu menguar menciptakan keindahan saat ku pandang. Aku merasakan kenyamanan, tetapi---apakah kecantikanmu ini nyata atau ... Hanya ilusi semata?"
- Laksya Fioze
•
•
•
Flowers Garden, Kasturi Village---Borealis's Castle
Suara hentakan kuda terdengar jelas membuatnya menjadi pusat perhatian rakyat setiap kali mereka melalui jalan. Di atas tubuh Kuda jantan berwarna hitam mengkilap itu Pangeran Laksya menarik tali Kuda---memegang kendali atas Kuda tersebut dengan Putri Ambar yang duduk tenang di depan---membelakangi Pangeran Laksya.
Tanpa sepengetahuan Pangeran Laksya---Putri Ambar mengusung senyum bahagia. Ia melirik ke bawah---di mana tangan kiri pria itu memeluk perutnya yang tak tertutupi pakaian dengan erat.
Oh Dewa...
Sepertinya ... Aku benar-benar menyukai Pangeran Lahore...
Ia tak menyadari, jika seluruh mata memperhatikannya kecantikannya dengan takjub.
Kuda yang mereka tunggangi berhenti di sebuah kebun bunga yang sangat luas dan indah. Pangeran Laksya turun lebih dulu lalu membantu Putri Ambar untuk turun dari Kuda.
"Kebun bunga ini sangat indah," puji Pangeran Laksya takjub.
Mereka berjalan bersama sembari menatap hamparan berbagai jenis bunga di sekeliling mereka.
Putri Ambar tersenyum simpul. "Kebun bunga milik Kerajaan kami tak seindah kebun bunga milik Kerajaan Alaska, Pangeran,"
"Jika tak seindah itu---kebun bunga Kerajaan Borealis tak, 'kan pernah menjadi kebun bunga terindah kedua di tanah tersohor ini, Putri,"
Putri Ambar tersenyum simpul. "Ya, kau benar, Pangeran."
Pangeran Laksya berhenti. Ia menoleh---menatap Putri Ambar yang berdiri di samping kirinya dengan lekat. Merasa di perhatikan, Putri Ambar menoleh---menatap Pangeran Laksya bingung.
"Ada apa, Pangeran? Apa ada yang salah dengan wajahku?" tanya Putri Ambar bercanda.
Pangeran Laksya bergeming. Ia berjalan---mendekati Putri Ambar dan mengulurkan punggung tangannya---mengusap lembut pipi Putri Ambar.
Putri Ambar tersentak kaget---degup jantungnya menggila. Ia menatap Pangeran Laksya panik. "Apa ada sesuatu di wajahku?! Apa wajahku---"
"Kau cantik,"
Manik coklat Putri Ambar membola. Ia merasa pipinya memanas. Ia menunduk malu---menyembunyikan rona dan senyum bahagia di wajah cantiknya.
"Kau sangat cantik, Putri," puji Pangeran Laksya terpesona. Ia bicara seperti orang yang terhipnotis. "Kecantikanmu membuatku nyaman. Kau sangat indah di pandang," tambahnya mengangkat dagu Putri Ambar dengan telunjuknya.
Ia menatap wajah cantik di hadapannya dengan tatapan memuja dan menelanjangi. Sedangkan Putri Ambar hanya tersenyum tipis tanpa menatapnya.
"Dari mana kecantikanmu berasal, Putri?"
Putri Ambar tersenyum malu.
"Apakah kecantikanmu ini nyata atau ... Hanya ilusi semata?"
Sontak, Putri Ambar menatap pria itu kesal. Ia menepis tangan Pangeran Laksya dari wajahnya. "Apa maksudmu, Pangeran?! Apa kau pikir aku meminta kaum Penyihir untuk merubahku menjadi cantik?! Begitu?!"
Aku hanya meminta Harnum meriasku. Dia bukan Penyihir, hanya saja---ia memiliki kelebihan dan aku memanfaatkannya...
"Aku tak mengatakan itu," tepis Pangeran Laksya santai.
Putri Ambar memalingkan wajahnya ke kanan. Pangeran Laksya tersenyum tipis melihat sikap merajuk wanita di hadapannya ini. Ia meraih tangan Putri Ambar---menggenggamnya erat sembari menatap Putri Ambar penuh puja.
"Aku menyukaimu, Putri Ambar," Putri Ambar menoleh cepat---menatap Pangeran Laksya tak percaya. "Aku berniat menjadikanmu Selir kemuliaanku," aku Pangeran Laksya sembari menatap Putri Ambar lekat. "Apa kau mau menjadi Selir kemuliaanku, Putri?"
Putri Ambar tergagap. "Ka---kau serius, Pangeran?"
"Hm,"
Putri Ambar tersenyum lebar---tanda menerima lamaran Pangeran Laksya. Mengerti arti senyum wanita itu membuat Pangeran Laksya mendekatkan punggung tangan Putri Ambar ke bibirnya---mengecupnya lembut membuat Putri Ambar tersipu.
"Aku akan segera kembali ke Kerajaan Lahore dan membicarakan ini dengan orangtuaku."
"Apa kau serius dengan keputusanmu ini, Pangeran?"
"Ya," jawab Pangeran Laksya mantap. "Mengapa? Apa kau tak menyukaiku?" tanyanya datar.
Putri Ambar tak menjawab namun senyum bahagia di wajahnya adalah jawaban yang membuat Pangeran Lahore itu tersenyum puas. Ia segera memeluk Putri Ambar erat dan di balas tak kalah erat oleh wanita itu. Bibir pria itu sibuk mengecupi leher dan bahu Putri Ambar yang terbuka.
"Aku juga menyukaimu, Pangeran," aku Putri Ambar sembari mengeratkan pelukannya.
Pangeran Laksya menggeram pelan. "Benarkah?" tanyanya serak akan gairah.
Putri Ambar mengangguk.
"Kau begitu ... Biarkan aku menandaimu, Putri,"
Tubuh Putri Ambar menegang. Suara Pelayan pribadinya terngiang jelas di telinganya.
"Tuan Putri ... Jangan biarkan Pangeran Laksya menandai dan menyentuhmu tanpa ikatan,"
Putri Ambar mengernyit. "Mengapa? Berhubungan intim sebelum pernikahan di kalangan bangsawan itu wajar, Harnum,"
"Tetapi tak wajar jika Pangeran Laksya yang menyentuh mu, Tuan Putri,"
"Apa maksudmu?"
"Jika kau melakukan hal itu tanpa ikatan---Pangeran Lahore akan mencecap seluruh kenikmatan tubuhmu, Tuan Putri."
"Apa salahnya? Dia akan tetap menikahiku," jawab Putri Ambar angkuh.
"Itu benar. Tetapi---setelah berhubungan intim di malam pertama, esok hari nya---kau akan di campakkan, Tuan Putri,"
Putri Ambar terkejut. "Ba---bagaimana jika kami melakukannya di malam pertama setelah pernikahan?" tanyanya gugup.
"Maka Pangeran Laksya akan sangat tergila-gila pada mu, Tuan Putri,"
Putri Ambar melepaskan diri dari pelukan Pangeran Laksya. Ia tersenyum gugup pada pria yang menatapnya kesal itu. Degup jantungnya menggila karena takut. "Aku tak ingin melakukannya sekarang, Pangeran," sesalnya.
"Tetapi aku ingin!"
"Tetapi aku tidak." jawab Putri Ambar tegas. Pangeran Laksya menatapnya tak suka. "Aku hanya ingin kita melakukannya di malam pertama pernikahan kita," tambahnya gugup.
"Putri, jika kita lakukan sekarangpun---aku akan tetap menikahimu," jelas Pangeran Laksya menyakinkan.
Putri Ambar menggeleng---tanda menolak. Ia percaya pada Pelayan pribadinya itu. Ucapan seorang Dewi Harnum tak pernah salah---sudah banyak kejadian yang membuktikannya. Ia pun pernah melihat sendiri dampak mengerikan sebab tak mempercayai ucapan Pelayannya itu.
Ya. Ini adalah keputusannya.
Jika Pangeran Laksya tak setuju, maka...
"Baiklah, Putri. Aku setuju," Putri Ambar menatap Pangeran Laksya senang. "Maaf telah memaksamu," tambah Pangeran Laksya memeluk tubuh Putri Ambar erat.
Putri Ambar membalas pelukan itu tak kalah erat. Ia membiarkan Pangeran Laksya mengecupi leher dan bahunya yang terbuka.
Tak apa, asal tak menyentuhnya sebelum pernikahan.
🖤🖤
West Forest---Alaska
Pangeran Leonard duduk tenang di sebuah batu berukuran sedang yang berada di pinggir sungai. Sesekali tangannya melempar batu-batu kecil ke sungai sehingga menciptakan bunyi yang khas. Raut wajahnya tampak datar dan serius. Namun jika di perhatikan lebih lekat---manik biru itu berkilat frustasi, kesedihan dan keputusasaan yang mendalam.
"Apa kau akan menyerah?"
Pangeran Leonard berkedip dua kali. Ia menunduk---menatap bayangannya yang berada di pantulan sungai dengan ekspresi datar khas dirinya.
"Menurutmu?"
"Aku akan mengucilkan diri dalam sisi terdalammu jika kau melakukannya!" ancam bayangan itu sembari menggeram marah.
"Kau pikir aku peduli?" tantang Pangeran Leonard sembari tersenyum meremehkan.
Sosok itu menggeram. "Kau---"
"Sepuluh tahun kita mencari, Leo," sela Pangeran Leonard datar. Tatapannya kosong---seolah tak ada semangat untuk menjalani hidup. "Tetapi---apa hasilnya? Nihil!" tambahnya sembari terkekeh getir.
Ya, sosok itu adalah Leo.
Sisi tergelap sekaligus Raja Singa milik Pangeran Leonard.
Leo bergeming. Ia menatap tubuhnya itu dengan sorot sinis. "Dia adalah belahan jiwa ku, Leon,"
"Belahan jiwa ku juga!" tegas Pangeran Leonard tak kalah sinis.
Leo mencebik. "Lalu bagaimana dengan perang itu? Lima hari lagi, Leon," ucapnya mengingatkan.
"Menurutmu?"
"Kau harus kembali ke Kerajaan,"
Pangeran Leonard mengernyit. "Mengapa?"
"Aku merasa---kita akan menemukan hal menarik dalam perjalanan pulang," jelas Leo singkat sembari menatap lurus ke depan---menerawang.
"Hal menarik?"
Leo mengangguk mantap.
Pangeran Leonard diam---tampak berpikir. Tak lama, bibir tipis itu berkedut sinis. "Jika aku tak mau?" tanyanya menantang.
"Kau harus mau!" geram Leo.
Pangeran Leonard menyeringai miring. "Aku tak mau. Jangan memaksaku!" ketusnya berdiri, membalikkan tubuh lalu melangkah menjauh dari sungai.
Leo menggeram marah namun menyorot punggung tegap itu datar. "Kau harus mau, Leon!" bentaknya keras.
Pangeran Leonard terus berjalan---mengabaikan sosoknya yang lain itu.
Bayangan Leo keluar dari sungai. Ia menyeringai dingin---terlihat menyeramkan. Aura nya tampak mencekam dan mengerikan membuat siapa saja yang melihat langsung membeku di tempat.
Pangeran Leonard bukannya tak menyadari aura sosok lainnya itu, ia sangat menyadarinya---namun mengabaikan. Ia tengah malas berdebat.
"Ini tentang Permaisuri, Leon,"
Leo menyeringai puas saat kaki itu berhenti. Kata 'Permaisuri' memang sangat ampuh untuk melawan ego seorang Pangeran Mahkota dari Kerajaan Alaska itu.
Pangeran Leonard berbalik---menyorot Leo penuh peringatan. "Jelaskan!" tuntutnya.
Kini, mereka berdiri berhadapan. Mereka adalah satu kesatuan walau belum sepenuhnya sempurna, tetapi---iris mata, suara dan tatapan mereka menunjukkan seolah mereka adalah dua sosok yang berbeda.
Leo menyeringai miring. "Kembalilah dan pimpin perang itu."
Pangeran Leonard mengepalkan tangannya kuat. "Jelaskan lebih dulu!"
"Tanpa ku jelaskanpun---kau akan segera mengetahuinya," balas Leo santai.
Pangeran Leonard menyorot Leo geram. "Sebenarnya apa maumu?!" sentaknya datar.
Leo bergeming. Sedetik kemudian ia menjawab dengan tegas dan dingin---tak ingin di bantah sembari menyorot Pangeran Leonard serius.
"Permaisuriku. Hanya Permaisuriku~"
🖤🖤
HOPE YOU LIKE IT!
MAKASIH UDAH BACA CERITA INI:v
Psstt ... Jangan lupa vote + komennya yaakkk:v
See you soon😘