MAHKOTA KERTAS [tamat]

By fatayaable

28.5K 4.3K 2K

Hai, Pembaca. Perkenalkan namaku Sabrina. Sekarang aku kelas XI di SMA Arcapella. Ya... hidupku biasa saja. A... More

PROLOG
SATU
DUA (a)
DUA (b)
TIGA
EMPAT
PERKENALAN
LIMA
ENAM
TUJUH
DELAPAN
SEMBILAN
SEPULUH
SEBELAS
DUA BELAS
TIGA BELAS
EMPAT BELAS
LIMA BELAS
ENAM BELAS
DELAPAN BELAS
SEMBILAN BELAS
DUA PULUH
Trailer
DUA PULUH SATU
DUA PULUH DUA
DUA PULUH TIGA
DUA PULUH EMPAT
DUA PULUH LIMA
DUA PULUH ENAM
DUA PULUH TUJUH
DUA PULUH DELAPAN
EPILOG

TUJUH BELAS

510 84 11
By fatayaable

Kacau, kacau, kacau.

Jalanku tergesa menuju ruang OSIS untuk menemui Sadam. Sekarang pukul 07.30, tapi nyatanya tak ada guru yang masuk ke kelas. Aku pun tak menemukan Sadam di kelas semenjak aku datang. Hanya tasnya saja yang ada di meja. Kata Farish, ketua kelas 11 IIS 1 sekaligus menjabat sebagai wakil OSIS, cowok itu sedang berada di ruang OSIS.

Sejak kejadian dua hari yang lalu, hari Sabtu setelah acara mendongeng itu, aku belum bertemu ataupun berkomunikasi dengannya.

Pikiran dan hatiku tak bisa tenang setelahnya. Dalam perjalanan pulang sehabis membeli kue, suasana senyap yang terjadi di antara kami. Entah mengapa.

Tapi seperti ada perasaan sedih yang tak bisa kujelaskan. Sedih yang berbeda dengan yang biasanya.

Mungkin karena pertanyaanku yang tak dijawabnya. Yang dia lakukan adalah diam, menatapku lama, mengelus kepalaku, lalu bergabung dengan anak-anak yang lain.

Sampai akhirnya pada saat aku sudah turun dari motornya, aku bilang, "Lo istirahat aja ya, Dam. Enggak usah hubungin gue dulu."

"Kenapa?"

Aku menggeleng pelan. "Tunggu sampe gue dateng ke lo."

Mungkin dengan begitu, aku bisa menenangkan diri dulu. Tapi kenyataan apa yang kudapat beberapa saat setelah kami berpisah?

Aku mendapati Adera di dalam rumah tengah bercengkerama dengan Ayah dan Mama. Ada apa ini?

"Assalamuallaikum," sapaku ketika masuk ke rumah.

"Waalaikumsalam," jawab Ayah dan Adera. Mama? Entah kenapa raut di wajahnya tak berubah. Sepertinya benci sekali beliau kepadaku. Tapi aku tetap menyalami Mama seperti tidak terjadi apa-apa di antara kami.

"Ma, aku beli cake kesukaan Mama, cake rasa green tea. Mama masih suka, kan? Bri ambilin, ya." Kutunjukkan kantong plastik berisi kue berukuran sedang di tanganku. Aku bersikap baik seperti biasa walau yang kudapat dari Mama hanyalah tatapan tak acuhnya.

Mia muncul dari arah tangga. "Hai, Sayang. Maaf ya kelamaan. Kan aku dandan cantik buat kamu."

"Enggak apa-apa, kok. Kan aku ditemenin sama orangtuamu," jawab Adera.

Oh, jadi mereka pacaran. Tapi kok bisa? Bukan apa. Hanya aku merasa aneh saja. Adera yang notabene pekerja sosial jadian sama Mia yang, entah bagaimana lagi aku menceritakannya. Iya, Mia itu sempurna. Tapi sebaiknya aku tidak ada di sini. Argh....

Aku mundur perlahan hendak meninggalkan mereka.

"Kamu enggak pernah cerita kalau kamu punya adik, lho!"

Perkataan Adera membuatku kembali menatapnya. Aku menggeleng cepat. Jangan, Kak. Jangan!

Aku tidak mau kalau Mia dan Mama tahu kalau kami saling kenal. Keadaannya bisa tambah runyam nanti.

"Oh, iya." Mia menatapku. "Sini, Bri. Kenalan dulu. Dari mana aja sih kamu? Dari tadi dicariin juga."

Dengan enggan aku menghampiri mereka. Lagipula untuk apa mereka mencariku?

"Bri, kenalin ini Adera, calon tunanganku."

Napasku tertahan. Ya Tuhan, apa lagi ini?

Tangan kananku terulur. "Sabrina."

"Iya aku ta-"

Jangan, Kak. Jangan! Kepalaku menggeleng lagi. Kuharap Adera paham maksudku. Aku pun tak mau sampai mereka tahu tempatku menghabiskan waktu seharian tadi bersamanya.

"Kamu kenapa, Nak?" tanya Ayah.

"Eh, eng... enggak apa-apa kok, Yah. Cuma sedikit kecapekan aja jadi mataku agak burem tadi."

"Kamu istirahat aja, Bri. Nanti ikut gabung makan malam, ya. Ada yang mau aku umumin," kata Mia.

"I-iya, Kak. Aku mau sediain cake dulu."

Kilasan kejadian kemarin membuatku mempercepat langkah untuk segera menemui Sadam. Aku butuh dia saat ini juga.

Aku menghela napas ketika sudah sampai di depan pintu ruang OSIS.

"Pengumuman!" Suara Pak Seno, kepala sekolah SMA Arcapella, terdengar dari pengeras suara. Aku jelas terkejut mendengarnya. Hanya saja aku tidak sampai jatuh karena saking kagetnya.

"Khusus hari ini, para guru akan mengadakan rapat. Jadi, bagi murid-murid kesayangan Bapak, akan Bapak pulangkan ke rumah masing-masing pada pukul sepuluh nanti."

Seketika terdengar kegirangan para murid. Ada yang berteriak, memukul-mukul meja, bahkan ada yang berlarian mengelilingi lapangan. Tapi kesenangan itu tidak berlaku untukku. Pulang ke rumah sekarang, sama saja dengan masuk hutan. Sepi.

Aku menarik napas, lalu masuk ke ruang OSIS. Ruangan ini terlihat sepi. Hanya ada Sadam yang duduk bersandar sambil memainkan gitar. Terdengar alunan nada intro lagu, disusul suara Sadam yang menyanyikan lagu You Are The Reason-nya Calum Scott.

Sadam menyanyi! Tidak biasanya dia begini. Pasti ada yang sedang mengganggu pikirannya.

Beberapa saat setelah aku mendengarkannya dan sebelum aku menjadi terbawa perasaan, aku segera menghampiri Sadam. "Gue mau minta tolong, Dam."

Aku menghela napas. Keputusanku kini sudah bulat. Aku ingin mengakhiri semuanya. Ini kulakukan untuk kesehatan hatiku dan kebaikan Mia. Aku hanya membayangkan kalau kelemahan Mia kambuh nantinya, pasti aku yang disalahkan.

"Ngomong aja." Dia masih saja memainkan gitarnya.

"Lo jadi pacar gue, ya!"

Sedetik kemudian, suara petikan gitar perlahan meredup. Menyisakan kesunyian di antara kami berdua.

Mataku mengerjap. Menunggu jawaban darinya seakan aku telah benar-benar memintanya. Padahal ini cuma-

Deg!

Tiba-tiba, mata elang itu menatapku intens. Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku. Sungguh. Adegan ini tak pernah kubayangkan.

"Kenapa?" tanyanya setelah puas terdiam menatapku.

Aku langsung duduk bersimpuh di hadapannya dan menunduk. Mataku mulai basah. Aku yakin sekali dia terkejut dengan kelakuanku ini.

Terdengar olehku suara gitar yang diletakkan di meja. Itu tanda aku harus siap. Lalu, ada dua tangan kokoh yang mencengkram kedua lenganku. "Bri, tolong berdiri. Jangan bikin gue kayak abis ngapa-ngapain lo gini."

Aku mengangkat pandanganku. Aku tidak tahu lagi rupa wajahku saat ini.

Sadam segera berdiri dan membantuku untuk berdiri. Dia memapahku sampai duduk di kursi. "Sekarang tenangin diri lo dan cerita sama gue."

Aku menarik napas, lalu mengembuskannya.

"Udah ngerasa tenang?"

Aku mengangguk.

Sadam duduk di meja yang ada di hadapanku. "Sekarang cerita."

"Gue kayaknya suka sama Kak Dera." Langsung pada intinya saja. Aku sudah tahan membebani rasa ini sendirian. Dan memang itu yang aku rasakan. Aku menyukai Adera! Ya Tuhan....

Sebelum takaran rasa sukaku bertambah, aku harus membuat pengalihan yang dengan menjadikan Sadam pacar bohonganku.

"Terus?"

"Kak Dera ternyata pacar Kak Mia."

Satu alisnya terangkat. "Serius?"

"Kemarin setelah lo pulang, di rumah ternyata ada Kak Dera. Pantesan aja dia buru-buru pas acara selesai. Terus ternyata Kak Mia bilang ke Ayah, Mama, dan aku kalau mereka itu akan bertunangan."

"Lo gimana?"

"Ya gue diem aja. Toh gue bukan siapa-siapanya mereka, kan?"

"Bri, tolong jangan ngomong kayak gitu lagi. Lo keluarganya. Lo punya hak di sana."

Aku menggeleng. "Enggak ada, Dam. Tugas gue cuma ngejaga Ayah dan Mama." Air mataku menetes lagi. Aku pun segera menghapusnya. "Sebelum perasaan gue ke Kak Dera tambah banyak, lo harus bantu gue."

"Kenapa gue?"

"Hmm, itu ...," aku bingung sekarang. Kenapa juga aku milih dia? Aku mendesah. "Karena cuma lo yang ada di pikiran gue."

"Serius?"

Apa? Tadi aku bilang apa?

Aku langsung menutup mulutku dengan kedua telapak tangan. Kulihat dia menyeringai.

Aku malu. Aku menutup wajahku saja sekalian.

Hening.

"Oke. Gue akan bantu lo."

Aku membuka telapak tangan dan mendapati tatapan tajam darinya.

"Tapi ada risikonya."

Mata kembali mengerjap. Aku merasa seperti anak kucing kelaparan. Argh....

"Gue enggak jamin kalau nanti lo jadi beneran suka sama gue, ya."

Aku mendesah. Aku menggeleng tanpa tahu maksudnya. Apa mungkin itu benar? Ah, enggak mungkin. Buktinya selama ini tak ada perasaan apa pun untuk Sadam kecuali rasa sayang sebagai seorang sahabat.

"Pokoknya lo harus bantuin gue, Dam. Bantu gue lupain Kak Dera."

"Oke. Jadi, hari ini kita jadian?"

Aku mengangguk mantap. "Ya. Hari ini kita jadian."

***

Kami keluar ruang OSIS dengan status baru. Sadam berjalan begitu saja seolah tidak terjadi apa-apa barusan.

Menurutku, ada tiga tipe cowok. Pertama, cowok yang selalu jalan sejajar dengan ceweknya. Kedua, cowok yang jalan di belakang ceweknya. Mungkin itu cara dia melindungi ceweknya. Dia itu masih menjunjung tinggi kalimat "Ladies first!". Ya tidak salah juga, sih. Tapi kan si cewek dandan buat cowoknya. Gimana, sih?

Fix, kalau begitu aku tidak akan pernah dandan buat Sadam! Apa yang mau dilihat coba kalau ujung-ujungnya aku selalu melihat punggungnya dari belakang seperti ini?

"Shit, gue lupa!"

Suara Sadam terdengar dari jarak kurang lebih satu meter di depanku. Kulihat dia berbalik menatapku dan dengan cepat dia menghampiriku.

"Kenapa?" tanyaku ketika dia tepat berada di hadapanku.

"Gue lupa, Bri. Sorry."

"Ha?"

"Gue lupa kalau sekarang gue udah punya cewek."

Ya Tuhan, kukira apa. Aku mendesah. Tapi aku terkesiap ketika dia memasukkan jemarinya ke sela-sela jemari tangan kananku. Rasanya berbeda dengan yang sudah-sudah.

"Sekarang gue akan jalan bersisian dengan lo."

Nah, mungkin tipe ketiga persis seperti yang Sadam lakukan sekarang.

"Kenapa baru sekarang jalan sejajar sama gue? Lo malu ya punya sahabat kayak gue?" Entah mengapa aku merasa tersindir.

Sadam berdecak. Langkah kami pun berhenti. "Lo mikir apaan, sih? Gue kan selalu di samping lo, Bri. Lo emangnya lupa?"

Aku terdiam. Iya juga, sih.

"Eh, gue bilangin, ya!" Dia meremas jemariku. "Enggak semua cowok yang jalan di depan ceweknya itu berarti dia enggak peduli sama ceweknya." Dia mengajakku kembali berjalan. "Bisa aja kan dia ngelindungin si cewek dari bahaya yang ada di depannya. Ada paku misalnya. Atau ada api."

"Ih, apaan, sih?" Suaraku lebih terdengar seperti gerutuan untuk merespons kalimat terakhirnya. "Terus kalau ceweknya kenapa-kenapa di belakang, gimana? Kalau dia tiba-tiba hilang, gimana?"

Langkah Sadam terhenti dan dia berdecak. Lalu, dia berdiri berdiri di hadapanku membuatku terkesiap. "Pokoknya lo aman sama gue."

"Eh, ada Sabrina di sini." Mendengar sapaan itu, aku langsung menoleh ke belakang. Siapa lagi kalau bukan Mikha. "Eh, salah gue. Terlalu bagus gue nyapa pake nama. Gimana kalau anak pungut?!"

Secara tak sadar aku melangkah mundur hingga menabrak tubuh Sadam. Dari mana dia tahu itu? Apa pada hari itu dia mendengar semuanya?

"Ngapain lo di sini?" tanyanya lagi. Dia melihat ke arah Sadam. "Oh, lo mau cari muka sama Ketua OSIS?"

Sadam meraih lenganku. "Mau lo apa sih, Mik?"

"Maunya lo ngejauhin anak pungut ini!" Volume suaranya terdengar sampai para siswa yang lain menoleh ke arahku. Senyum remeh terlukis di wajah Mikha.

"Asal lo tahu aja, ya. Sekarang Bri cewek gue!"

Perkataan Sadam membuatku tak bisa berkutik. Aku hanya bisa menunduk. Tiba-tiba, kurasakan tarikan yang kuat pada rambutku. Kulihat Mikha sedang menarik rambutku.

"Sadaaam!" teriakku.

Sadam menarikku agar terlepas dari Mikha. "Sekali lagi lo ganggu Bri, lo enggak bakal hidup tenang, Mik!"

Mikha menatapku tajam dan berkata, "Tempat lo bukan di sini, Sabrina! Tempat lo di tempat sampah!"

Aku langsung berbalik badan dan lari secepatnya menuju kelas. Pandanganku buram karena air mata. Kurasa aku ingin mati saja. Apa gunanya aku hidup kalau segala sesuatu yang kulakukan itu salah? Tak ada kebahagiaan bagiku yang hanya seorang anak pungut.

"Bri, tunggu!" teriak Sadam. Dia terus mengejarku. Tentunya adegan ini ditonton oleh seluruh siswa. Tak terkecuali oleh para guru. Mungkin setelah ini aku akan dapat masalah.

Aku masih menangis ketika aku masuk ke kelas dan mengemas barang-barangku di meja.

"Lo mau ke mana?" tanya Sadam ketika melihatku memakai tas.

Aku berlari keluar kelas dan dengan sisa-sisa tenagaku, aku melihat Adera yang baru saja keluar dari ruang kepala sekolah. Aku mengernyit. Bukan! Itu bukan Adera! Ada urusan apa dia ke sini?

Aku terus berlari menuju gerbang. Dan sialnya gerbang tertutup rapat.

"Sabrina!" Itu suara Adera.

Aku menggelengkan kepala kuat-kuat.

"Bapak, tolong bukain pagernya!" perintahku kepada satpam sekolah. Tangisku belum juga berhenti. Aku benar-benar merasa tak berdaya. Aku lemas, tapi aku terus menggedor-gedor pagar hingga gedoranku melemah.

"Udah, Bri, udah...." Sadam memelukku dari belakang. Kurasakan napasnya di leherku sementara aku terus memberontak agar dibukakan pintu pagar.

Beberapa guru datang membujukku agar tenang, tapi aku tidak bisa. Aku hanya ingin keluar. Untuk apa juga kalau di sini ternyata aku menjadi bahan omongan para siswa karena ulah Mikha?

Beberapa detik kemudian kepalaku terasa sakit sekali. Aku tidak kuat. "Sa-dam to-long."

Gelap. []

***

Halo ❤
Ini postingan cerita MK yang terakhir di tahun 2019 yaa 🙃

Gimana ceritanya? Udah gereget belum? Ehee~

Maaf ya kalau aku banyak membuat kalian menunggu. Tahun ini adalah tahun terberat bagiku. Ada satu alasan yang tak bisa kuungkapkan di sini.

Makasih banget buat yang udah hadir di tahun ini 🙂

Semoga tahun depan cerita ini benar-benar selesai, ya. Hmm, kira-kira adain GA enggak, ya?

Tapi pembacanya makin ke sini, makin sedikit. Aku jadi ragu 🤔

Aku kasih gambar Bri dan Sadam aja, ya.


Salam Sayang,

Aya ❤

Continue Reading

You'll Also Like

158K 23.8K 76
[COMPLETED] Ini cerita tentang apa yang terjadi di balik pintu Kosan Matahari. Semua tentang cinta, keluarga, persahabatan, atau bahkan keseharian ra...
39.1K 5.5K 53
Akibat perceraian kedua orang tuanya, Star Allen harus pindah bersama ibunya dari New York ke Wilmington, kota kecil di North Carolina. Star harus be...
434K 55.6K 36
Campus Series #1 Trigger warning : anxiety disorder, overthinking, toxic family, feeling useless. Penipu. Itulah ungkapan yang diberikan Nadia Mona F...
338K 60K 45
📌 OUT NOW @universe_publisher (shopee) Jadi Arindia nggak selalu seindah pandangan orang-orang. Kemana pun dia pergi, kelima masnya akan selalu ngin...