Sorry for typo
~Happy reading~
"Cukup sudah, jangan bersandiwara. Karena aku tak butuh tawa, melainkan sebuah fakta yang tak kau bagi."
~Twin's
Naya tidak pernah tahu bahwa orang yang selalu menjaganya ketika kedua orang tuanya pamit untuk beristirahat adalah kembarannya, Shana. Kedua orang tuanya tidak bisa terus menerus menemaninya, karena mereka juga mempunyai pekerjaan yang sangat banyak.
"Cepet sembuh ya, Sayang," pamit Nana seraya mengecup kening Naya yang sedang terlelap.
Elvan telah menghubungi orang-orang kepercayaannya untuk menjaga Naya selama dia sama Nana pergi bekerja. Mereka berdua tidak tahu, jika Shana diam-diam membuat orang-orang suruhan Elvan bungkam atas kehadirannya yang sering merawat Naya ketika Naya sedang tidak sadar.
Semenjak Naya bangun di pagi hari, rasa sepi itu memeluknya erat dalam keheningan yang membuat Naya menghela napasnya. Dia menatap kosong ke arah langit-langit dan menerka-nerka kejadian yang nampaknya terus datang silih berganti menimpanya.
Naya tahu bahwa tidak selamanya dunia itu berporos padanya. Dia sangat tahu, tapi tetap saja Naya merasa lelah dengan apa yang dialaminya.
Naya mengambil beberapa lembar kertas yang berada di dalam laci. Terdapat lima lebar kertas yang isinya menjelaskan mengenai kesehatannya yang turun secara drastis. Tanpa harus di cek, Naya sendiri sudah menyadari bahwa tubuhnya semakin sulit untuk terus melakukan aktivitas saja. Rasa lelah terlanjur mendominasinya.
"Andai saja aku bisa kembali kaya dulu," gumam Naya pelan.
Naya segera menggelengkan kepala. "Gak boleh mikir gitu!" Naya berusaha menyingkirkan pikiran aneh yang mulai membuatnya bisa terpuruk. "Setidaknya aku harus bersyukur bisa bertahan sejauh ini. Karena banyak dari mereka yang bahkan lebih dulu meninggalkan dunia ini daripada aku, kan?"
Naya tersenyum miris saat bermonolog. Hatinya tidak bisa dibohongi bahwa jauh di lubuk hatinya, dia sangat iri terhadap kehidupan normal orang-orang di sekitarnya. Terlebih saat orang itu dapat hidup tanpa bergantung pada obat-obatan sepertinya.
Ah, ternyata hidupnya memang bergantung pada obat yang dikonsumsi, serta pada Tuhan.
Ekor mata Naya melirik sekilas berlembar-lembar stok obat di atas lacinya. Naya memalingkan muka, enggan melihat obat-obatan tersebut.
Harus sampai kapan, aku bertahan seperti ini Tuhan?
•ווו
Shana memilih untuk menghabiskan waktu istirahatnya di perpustakaan, selain untuk menghindari interaksinya dengan Ziyad, Shana pun perlu ketenangan saat ini. Perasaan campur aduk antara problem keluarganya, keadaan Naya, perasaan aneh yang dia rasakah pada Ziyad, juga setumpuk tugas dari sekolah membuat mood-nya terjun bebas layaknya perosotan.
Shana berusaha membenamkan kepalanya di atas tumpukan tangan. Baru saja sejemang Shana merasa ketenangan, hal itu kembali direnggut darinya saat dia mendengar suara yang membuat tidurnya terusik.
"Ngapain di sini?"
Karena malas membuka matanya yang setengah terpejam itu, Shana sedikit mengerang kesal.
"Apaan sih lo, ganggu aja!" ketus Shana.
"Emang Naya belum ke sekolah lagi? Ini udah tiga minggu dia absen dari kelas padahal."
Shana yang mendengar suara tersebut langsung membuka matanya. Dia tidak melihat siapa pun di depannya, namun suara tadi seperti suara yang sangat dia kenali dan juga dari arah yang dekat. Shana celingukan ke samping kanan dan kiri.
Ternyata bukan ke gue maksudnya.
Akhirnya Shana menemukan orang yang mengusik tidurnya. Hidungnya mengerut dengan bibir yang mengerucut. Shana memerhatikan interaksi dua orang yang sangat dia kenali, karena letak duduknya yang tidak jauh dari bangku Widia.
Shana dapat mendengar suara Widia, meskipun sedikit terhalang oleh rak buku yang memisahkan meja yang di tempati oleh Shana dengan tempat Widia yang sedang berbincang.
"Gue juga gak tahu, semua media sosialnya mendadak offline dan gak ada satu pun nomornya yang bisa dihubungi," ungkap Widia.
Shana yakin bahwa sahabat Naya itu sedang kesulitan mencari adiknya. Wajar saja, jika mereka tidak bisa menghubungi Naya, karena ayah dan ibunya memblokir akses Naya dengan segala kehidupannya, demi menjaga kestabilan kesehatan Naya.
Manja.
Alay.
Dua kata yang terbesit dipikiran Shana.
kemudian terdengar lagi sahutan dari lawan bicara Widia. Shana sangat mengenali suara menyebalkan dari suara bariton ini.
"Gue harap Naya baik-baik aja. Gue gak tega lihatnya, apalagi waktu itu. Pucat banget wajahnya."
Shana kembali mendengkus.
"Gue juga berharap Naya gak kenapa-napa sih...," Widia terlihat merendahkan suaranya. "Lo tahu Shana, kan?" bisik Widia pelan yang masih terdengar oleh Shana.
Jelas tahu lah! Dia teman sebangku gue.
Shana menjawabnya dalam hati. Shana yakin bahwa Ziyad saat ini, hanya menjawabnya dengan anggukan kepala.
"Tuh cewek kok keliatannya biasa aja gitu? Gak ada tampang khawatir atau aura kesedihan gitu? Rasanya gue pengen nampar tangan ini ke pipinya, saking gemes gue sama perilakunya," ucap Widia menggebu-gebu.
Ziyad terkekeh pelan melihat Widia yang bereaksi demikian. Lalu ujung matanya melihat Shana yang duduk di antara celah rak buku tersebut. Ziyad mengulum senyumnya.
"Mungkin dia punya caranya sendiri buat berekspresi, Wid," sanggah Ziyad.
Sebenarnya dia juga tidak terlalu mengerti tentang pemikiran Shana, namun yang dia ketahui, bahwa Shana tidak mungkin sekejam itu pada saudaranya sendiri.
Widia berdecih pelan. "Cih, mana ada dia peduli, Ta. Bukannya sombong atau apa ya. Waktu Naya sakit, dulu. Gue yang tiap hari ngebesuk Naya, tiap pulang sekolah sampai malem aja, gak pernah tuh ... gue lihat Shana nonggol atau datang atau gimana gitu, kesel gue sama tuh anak!"
Shana mendadak ingin sekali memelintir mulut Widia. "Sok tahu amat jadi orang!" gerutu Shana pelan.
"Gak punya hati kali ya?" sambung Widia.
Shana memilih melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu. Ternyata menguping pembicaraan orang lain benar-benar tidak ada faedahnya, Shana menyayangkan tindakannya saat ini.
"Jangan bilang gitu, Wid. Lo bisa abis sama orangnya kalo Shana sampai tahu hal ini," gurau Ziyad.
Widia membelalak, dia seketika panik. Ingatannya kembali mengingatkan dirinya tentang Shana yang bahkan tidak segan-segan untuk memukul Kiyo di depan banyak orang.
"Eh, lo jangan ngancem gitu lho!" ujar Widia hampir setengah berbisik karena takut ketahuan oleh penjaga perpustakaan yang memang terkenal killer.
Ziyad tertawa pelan. Suaranya memang tidak terlalu kencang, tapi mampu membuat Shana yang mendengarnya ikut tersenyum geli.
"Shan, ngapain lo tidur di sini? Nyasar lo?" Suara lain yang menyebalkan itu, kembali Shana menggeram untuk sekian kalinya.
Shana menatap Ryuga dengan sengit. "Diem!" ujarnya penuh penekanan.
Ryuga mengernyit heran, tangannya kembali sibuk merapikan buku paket yang dia bawa ke deretan buku paket yang sejenis. Atensinya teralihkan untuk menatap Shana lagi. "Kalo ngumpet jangan di sini juga kali, Shan. Cari tempat yang lebih aman," ujar Ryuga.
Shana beranjak dari tempat duduknya dengan malas. Dia memberikan Ryuga sebuah hadiah, karena telah mengusik tidurnya, berupa tendangan pada betis laki-laki tersebut.
"Rasain!" ledek Shana.
Ryuga yang sedang merintih kesakitan masih menatap Shana dengan jenaka. Hal itu membuat Shana geram. "Apa lo?!"
Ryuga mencondongkan wajahnya ke arah Shana. Karena waspada dengan tingkah playboy milik Ryuga, Shana memberikan jarak dengan melangkah mudur, namun tampaknya Ryuga sangat senang mempermainkannya. Laki-laki itu terus merangsek mendekati Shana.
Mungkin jika sedang tidak kalut seperti sekarang, Shana tentunya akan membuat Ryuga menyesali tingkahnya dengan memukul masa depan milik laki-laki itu.
Rasanya Shana merasa frustasi, karena tempatnya berdiri terletak di pojok ruangan. Selain keadaannya perpustakaan yang terlihat sepi, lorong tempat Shana berpijak pun sulit untuk terlihat oleh penjaga perpustakaan, menjadikan akses bagi Ryuga untuk semakin gencar menjahilinya.
Sialan! Maki Shana karena mendadak tubuhnya gemetar. Ryuga malah menyeringai ke arahnya.
Tiba-tiba sebuah tangan berukuran lebih besar dari tangannya, menarik tangan Shana. Dia terjungkal ke belakang, tapi dengan sigap, tangan besar itu meraih pinggangnya dan menyembunyikan Shana di belakang badannya.
"Jangan dia, dia bukan tipe lo," ujar Ziyad pada Ryuga yang kini menatap bingung ke arah Ziyad.
Alis Ryuga terangkat sebelah. "Kata siapa dia bukan tipe gue?" tantang Ryuga.
Shana bersiap untuk memberikan sebuah pukulan pada Ryuga, namun tangannya di cegah oleh Ziyad.
Ziyad kembali menatap Ryuga penuh intimidasi. "Berhenti sebelum lo menyesal, Ryuu!" peringat Ziyad.
Belum genap langkah Ziyad membawa Shana meninggalkan perpustakaan, sebelah lengan Shana yang lain dicekal oleh Ryuga.
"Tapi menurut gue .... dia lumayan menarik," ujar Ryuga sambil menyeringai pada Shana.
Sementara itu, Ziyad menahan emosinya. Meskipun Ryuga berniat tidak serius sekalipun dengan sebuah hubungan, ada perasaan egois yang membuat Ziyad tidak bisa mempercayakan Shana pada laki-laki manapun, apalagi terhadap sahabatnya.
Ini membuat kepala Ziyad merasa mengepul. Dia tidak mengerti dengan perasaannya sendiri.
Agh, sialan!
~tbc~
©090420 tanialsyifa
Note : Thank's for reading~
[Selesai revisi tanggal 15 Juli 2020]