[Selesai] Perfectly Imperfect

Od twelveblossom

173K 17.6K 6.4K

Sempurna. Bagaimana jika Nayyara Judistia Putri Hartadi menjadi perempuan yang paling sempurna bagi Javas? Ja... Viac

0. Tokoh Yang Ada
2. Bertemu Pilihan Lain
3. Soal Cemburu
4. Bersamamu itu Segalanya
5. Melewati Batas
6. Alasan Yang Keliru
7. Jalan Pintas
8. Dia Yang Kelabu
9. Kamu dan Buku yang Tertutup
10. Meragukan dan Diragukan
11. Tentang Rindu
[GIVEAWAY] HI DECEMBER!
12. Terikat Asa
13. Dua Peran
14. Sebuah Permainan
15.1. Menjadi Kita
15.2 Menjadi Kita
16. The Heaven
17. Yang Diperbaiki, Tidak Ada
18. Kenangan Untuk Yang Pergi
19. Untuk Melepaskan
20. Bicara Soal Pernikahan
21. Bagian Terbaik Dalam Hidupku
22. He Brings The Heaven To Her
23. Terluka dan Kembali Sembuh
24. Rumah Kita
25. Perasaan Yang Terombang-Ambing
26. Lebih Dari Ego
27. Hiruk Pikuk
28. Katanya, Cinta Itu Mengusahakan Segalanya
29. Membakar dan Terbakar
30. Ketenangan Yang Sebentar
31. Kita Akan Bicara Besok
32. Yang Ditunggu Datang Juga
33. Sebelum Kelahiran Bintang Yang Ditunggu
34. Comfort Zone (Final)
35. Bagaimana Kalau Berlanjut? (S2 Perfectly Imperfect)
36. Mereka Pun Mulai Bahagia

1. Titik Awal

12K 1K 137
Od twelveblossom


"Yang paling menakutkan dari pertemanan kita, aku jadi gak bisa bedain, aku sayang ke kamu sebagai apa."

"Kapan nikah, Nara? Uda disalip sama junior kamu loh," pertanyaan itu datang ke telinga Nayyara sewaktu Nara mendapatkan undang pernikahan dari rekannya tadi pagi.

Benar, tadi pagi. Namun, Nayyara Judistia Putri Hartadi masih memikirkan jawabannya sampai sekarang. Mungkin perempuan yang mempunyai nama panggilan Nara bisa menjawabnya dengan senyuman kemudian melupakan. Andai saja bisa semudah itu. Sayangnya, Nara bukan tipe manusia yang dapat melupakan perkataan orang begitu saja.

"Kapan ya kira-kira aku bisa nikah?" Bibir Nara bahkan menyuarakan kegundahan. Nara menghela nafas panjang. Dia melipat tangan di depan dada kemudian melanjutkan, "Berangkat kerja pagi, terus pulang sudah gelap begini. Jangankan bermimpi menikah, punya pacar saja tidak."

Laki-laki yang berada di sisi Nara mulanya hanya sibuk mengemudi kini malah tertawa. Bagi Javas Chatura Mavendra ungkapan Nara ada benarnya, sekaligus kenyataan yang lucu. Masalahnya bukan karena tidak ada yang tertarik pada Nara, hanya saja perempuan ini terlalu tertutup.

Javas kerap mendapati Nara mengoceh soal usianya yang menginjak angka dua puluh enam tahun, tapi tidak punya pengalaman berkencan sama sekali. Baginya mendengarkan gerutu Nara ialah hal yang menyenangkan. Lagi pula Javas telah memberikan solusi yang cukup ampuh.

"Kita menikah saja," begitu Javas memberikan saran, ia selalu mendapatkan lirikan tajam dari perempuan yang masih memakai seragam korporat salah satu bank swasta.

"Kamu kira aku nggak mengerti maksud terselubung kamu. Pasti kamu ingin menikah sama aku biar bisa bebas selingkuh sana-sini. Chatu dengar ya, gak baik loh ganti-ganti pacar begitu, nanti kuwalat," cibir Nara.

Javas ketawa lebih kencang. Dia suka mendengar Nara melontarkan nama kecilnya 'Chatu', hanya orang-orang istimewa yang tahu nama itu. Orang lain biasanya hanya menyebut Javas atau Pak Javas. Nara sendiri memanggilnya Javas sewaktu ada banyak orang atau rekan kerjanya dan Chatu jika mereka hanya berdua.

"Cara ngomong kamu mirip sama Mom," lontar Javas. Tangannya sudah bersemangat mengusili kepala Nara, membuat surai yang diikat tersebut berantakan.

Nara menepis tangan Javas. "Kamu jauh-jauh dari Jakarta ke Malang cuma ingin mengisengi aku," perempuan itu mulai kesal. Ia membuang muka ke jendela.

"Iya, kan kamu hiburan terbaikku," balas Javas kembali berkonsentrasi menyetir membelah jalanan Kota Malang yang sudah mulai macet.

Javas membiarkan Nara melamun. Ia tahu dalam hitungan menit Nara pasti ketiduran. Nara kelihatan capek, katanya menjadi pegawai bank itu menguras tenaga dan pikiran. Javas hafal jam berangkat kerja Nara yang lumayan pagi, Nara pulang kantor sekitar pukul delapan atau sembilan malam. Itu yang membuat Javas memilih penerbangan sore dari Jakarta.

Pemuda berusia dua puluh tujuh tahun itu sering bolak-balik Jakarta-Surabaya atau Jakarta-Malang, alasan utamanya pekerjaan. Sementara alasan selanjutnya adalah perempuan yang kini mulai mendengkur.

Bagi Javas Chatura Mavendra, Nayyara bukan perempuan biasa. Nara mempunyai tempat sendiri, mengalahkan puluhan wanita yang pernah menyandang label sebagai kekasih atau mantan. Javas mengenal Nara sejak mereka masih bertetangga puluhan tahun lalu. Benar, ia sempat tinggal di Malang sebelum keluarganya pindah ke Jakarta.

Javas menjaga Nara sedari dulu. Ia rela mengabaikan tawaran kuliah ke luar negeri demi mendaftar di salah satu universitas tempat Nara kuliah. Setiap kali Nara bertanya mengenai keputusannya untuk tinggal di Malang kembali, Javas akan menjawab dengan kalimat yang sama.

"Kalau orang pintar mau sekolah di mana saja tetap pintar," katanya Javas begitu.

Nara akan diam mendengar ucapan Javas. Seolah dia tidak ingin balasan lain. Hanya itu saja. Hal yang paling Javas suka dari Nara, dia tidak pernah mempertanyakan kembali jawaban seseorang. Itu membuat Javas merasa tidak dihakimi.

"Nara bangun sudah sampai," dengan hati-hati Javas bersuara sambil menggoyangkan bahu Nara.

Nyawa Nara belum penuh. Dia mengusap mata sambil menguap.

"Kita makan dulu, ya. Kamu kan belum makan," kata Javas.

Javas sudah turun dari mobil sebelum Nara buka suara. Dia menunggu Nara keluar. Javas tidak membukakan pintu mobil untuk Nara karena perempuan itu tidak suka. Menurut Nara selama dia masih mempunyai kaki dan tangan, Nara tak ingin menyuruh orang lain untuk melakukan hal sepele yang dapat dirinya kerjakan sendiri.

Duk.

"Aduh," keluh Nara, kepalanya terbentur bagian atas pintu Mitsubishi Pajero hitam milik Javas.

"Kamu ini, kapan pintarnya kalau kejedot terus kepalanya," ejek Javas. Ia mengusap kepala Nara biar tidak benjol.

Nara hanya memberengut, enggan menolak sewaktu tangan Javas menggandengnya. Ia mengikuti setiap ayunan tungkai kawannya menuju salah satu warung lalapan favorit mereka. Namanya Lalapan Abah Husein, letaknya di Tidar, tak jauh dari rumah Nara.

"Loh, Mas Javas. Lagi pulang?" sambut bapak-bapak paruh baya yang sibuk mengulek sambal. "Ada Mbak Nara juga. Pesan kayak biasanya?" lanjut Abah Husein.

"Iya Bah, lagi pulang ke Malang," jawab Javas semringah. "Sambalnya khusus buat saya yang pedas ya, Bah," Javas meminta dengan sopan.

Nara duduk di salah satu bangku panjang warung Abah Husein. Tempat duduk itu mengarah pada gerobak Abah di mana tempat ikan, ayam, dan lainnya diolah.

"Hidung aku langsung gerak-gerak tiap ke sini, lihat nih," oceh Nara kemudian tersenyum. Ia menunjukkan hidung ke arah Javas.

"Kamu itu nggak ada jaga image sama sekali sama aku. Biasanya perempuan lain bakal bersikap ekstra elegan," keluh Javas, dia memencet hidung lawan bicaranya.

Nara menghindari Javas. "Masalahnya, aku nggak kamu anggap perempuan, Chatu. Percuma dong aku jaga image."

"Gimana aku anggap kamu perempuan kalau tingkahnya mirip monyet?" Javas tidak mau kalah.

Nara tertawa. "Kalau gitu kamu juga monyet soalnya berteman sama monyet weee," Nara menjulurkan lidah.

"Aku monyet yang berkelas," elak Javas dia juga mengejek.

"Wah, kalian tidak berubah ya. Mas Javas masih sering ke Malang padahal sudah kerja di Jakarta," Abah Husein memutus pertengkaran mereka.

Abah menghidangkan menu favorit keduanya, ada ayam penyet, bebek, dan tempe. Tambahan nasi panas, sambal terasi serta sayuran yang dipotong-sering disebut lalapan.

"Javas memang kurang kerjaan, Bah. Dia nggak punya teman di Jakarta," Nara menjawab.

"Siapa bilang? Aku punya pacar di Jakarta. Aku pulang ke Malang soalnya takut Nara kesepian, habisnya ini anak ansos, Bah," Javas tak ingin mengalah.

Abah tersenyum. "Mas Javas menganggap Malang sebagai rumah karena ada Mbak Nara," Nada Abah bukan sebagai pertanyaan, tapi pernyataan. Abah mempersilahkan diri pergi agar pelanggan setianya punya spasi untuk berbicara.

Javas menyahut, "Nara memang tempat yang baik untuk pulang."

Manusia lain yang mengenal Javas dan Nara, pasti merasakan kedekatan mereka juga. Cara Javas melihat Nara, gerak-gerik mereka, dan ucapan. Hanya saja kedua orang ini tidak menyadari. Mereka merasa cukup menjadi teman satu sama lain.

"Oh, jadi begitu, Chatu? Aku mirip rumah."

"Iya kamu mirip rumah yang kosong terlalu lama. Aku ini tamu yang singgah sebentar, Nara. Kamu harus menemukan yang pantas untuk tinggal selamanya bareng sama kamu. Dengan begitu, tugasku selesai," jelas Javas sembari meminum teh hangat.

Sementara, ulang Nara dalam pikirannya. Kata itu terasa sangat pahit bagi Nara, ia tidak suka Javas mengucapkannya. Nara tidak bisa membayangkan jika Javas sungguhan pergi dari hidupnya.

-

Jarum jam Nara sudah menunjukkan pukul sebelas ketika mobil Javas berhenti di depan rumah bernuansa cokelat. Hunian itu terdiri dari dua lantai, berpagar kayu jati. Kawasan rumah Nara termasuk teduh, ada banyak pepohonan. Udara dingin juga menjadi latar dari area ini, sangat khas kota Malang.

"Apa Damar belum pulang?" tanya Javas karena melihat lampu rumah Nara masih mati.

Nara menggeleng. "Kak Damar sibuk di rumah sakit dari kemarin belum balik."

Javas menghela nafas panjang. "Berani di rumah sendiri?"

Nara tidak lantas menjawab. Sejujurnya, tidak. Nara sempat minta ditemani Bi Romlah, asisten rumah tangga yang bertugas memasak. Tapi, Bi Romlah tidak bisa tiap hari menginap, dia punya anak dan suami. Kalau sudah begini, Nara akan menginap di kontrakan Adelia-teman kerjanya.

"Tadi seharusnya aku minta diantar ke Adel," gumam Nara.

"Kalau gitu, aku anter ke Adel, ya?" tawar Javas.

Ekor mata Nara mencuri pandang pada Javas. Dia kelihatan capek, Nara tidak tega jika pria ini menyetir lagi. "Rumah Adel jauh. Kamu menginap di rumahku aja. Aku nanti yang izin sama Kak Damar. Pasti boleh, dia kan seratus persen percaya sama kamu."

Javas mengangguk, tanpa penolakan.

Javas tidak mempunyai maksud lain. Dia sungguh mengkhawatirkan Nara yang sendirian di rumah kara perempuan ini memiliki trauma masa kecil.

Tempat tinggal Nara dulu pernah terjadi tragedi. Orang tua Nara menjadi korban pembunuhan dan perampokan. Ketika itu Nara dan Damar sedang tidak ada di rumah karena mengikut perkemahan Sabtu Minggu di sekolah.

Javas masih mengingat jelas ekspresi Nara saat mengetahui orang tuanya meninggal. Nara memasuki rumah dalam keadaan gelap kala itu, ia melihat jenazah ibu serta ayahnya yang ditusuk. Nara enggan menangis, dia membisu. Butuh berbulan-bulan agar Nara bersedia bicara lagi. Dia sangat kehilangan.

Nara menjadi seseorang yang takut terhadap ruang sempit dan gelap sejak saat itu. Dia akan merasa panik lalu sesak nafas. Kondisi Nara yang tidak dapat Javas kendalikan membuat dia semakin protektif terhadap sahabatnya.

"Kamu tidur di kamar Kak Damar," tunjuk Nara saat mereka masuk ke dalam rumah.

Javas melangkah mengekori Nara. Pikirannya sudah hafal tentang rumah ini, setiap sudut.

"Nanti ganti baju pakai punya Kak Damar. Pilih sendiri kayak biasanya," oceh Nara.

Nara melepas blazer dan sepatu hak tingginya. Dia menjatuhkan diri ke sofa ruang tengah. Javas duduk di sampingnya, ia menyalakan ponselnya.

"Baru dinyalakan, pacar kamu nggak nyariin?" Nara menyandarkan kepalanya di bahu Javas sembari mengamati beberapa pesan masuk bertubi-tubi. "Gila ya ada 99 pesan belum terbaca dan semuanya dari Mia. Bukannya pacar kamu dulu namanya Regina?" Nara masih sibuk berkomentar.

"Regina sudah putus sejak satu tahun lalu, Nara," balas Javas sabar, tangannya mengetik kata 'sibuk' yang langsung dikirimkan kepada kekasihnya.

"Jahat banget, padahal kamu kan lagi santai, masak bilang sibuk."

Javas melemparkan handphone itu kemudian fokus pada Nara. "Aku sibuk nemenin Nayyara Judistia Putria Hartadi ngobrol. Nara itu tipe perempuan yang menuntut lawan bicaranya hanya fokus sama dia."

Nara tersenyum. Dia meraih tangan kiri Javas. Ada cincin di jari manisnya. "Mia hebat bisa memaksa kamu pakai ini," pujinya sambil memainkan jari Javas.

"Iya, dia rewel soalnya. Paling sebentar lagi kami putus."

"Jangan begitu, Chatu. Kamu jahat. Seharusnya kamu berusaha lebih sayang."

Javas tertawa kecut. "Aku sudah coba. Aku berusaha sayang, berusaha jatuh cinta. Tapi, hasilnya nihil."

Nara menegakkan duduknya. Dia melihat Javas dengan tatapan sangat dalam. "Kamu nggak tulus sama mereka. Kamu main-main, tidur sama mereka, dan jalan sama perempuan lebih dari satu―"

"―Bagaimana caranya tulus sama perempuan lain kalau di dalam pikiranku cuma ada kamu, Nayyara?" potong Javas.

Nara diam. Jarang sekali Javas menimpali ucapannya. Biasanya Javas akan memaparkan ekspresi tengil ketika Nara membahas wanita-wanita yang dijadikan mainannya selama di Jakarta.

Javas meraih tangan Nara. "Aku sayang sama kamu-sejak dulu-tapi katamu ini salah," bisiknya.

"Kita hanya terbiasa sama-sama. Perasaan kamu ini bukan sayang tapi hanya terbiasa sama kayak aku terbiasa tinggal sama Kak Damar ...."

Nara tidak pernah menyelesaikan kalimatnya karena Javsas menciumnya.

Bibir mereka bertemu sebentar. Nara merasakan kelembaban itu. Jantungnya berdetak keras sekali.

Tidak, ini hanya karena aku tidak pernah berciuman dengan laki-laki. Nara meyakinkan dirinya.

Nara mematung.

Javas menjauh. Dia berdiri dari sofa.

"Ini terakhir kalinya aku datang ke kamu. Biar kita bisa membedakan dan meyakini semuanya," ujar Javas lalu pergi ke kamar meninggalkan Nara yang tertegun.

-

Nara mengaduk susu cokelatnya di dapur. Matanya tampak tidak fokus. Ada banyak hal berat terus berputar di pikirannya. Tanpa sadar beberapa kali Nara menghela nafas.

"Sekali lagi menghela nafas dapat piring cantik," Damar berkomentar.

Damar Langit Putra Hartadi adalah laki-laki berusia dua puluh delapan tahun. Dia mempunyai tinggi badan 189 sentimeter dan wajah yang dikagumi banyak wanita. Damar berprofesi sebagai dokter di salah satu rumah sakit. Waktunya 60 persen dihabiskan untuk bekerja, sisanya untuk adiknya. Bagi Damar, tujuan hidupnya adalah menjaga Nara. Si Adik merupakan tanggung jawab sepenuhnya. Perubahan sekecil apa pun dari Nara tak luput dari Damar.

Nara mendengus, dia menggeser kursi makan kemudian duduk. "Javas menginap di sini tadi malam, terus pergi pagi-pagi," Nara mulai bercerita.

Damar mengangguk. "Iya, tadi dia telepon Kakak sebelum balik Jakarta. Memangnya kenapa?"

"Javas kayaknya marah sama aku."

"Marah karena?" Damar agak malas mendengarkan curahan hati orang lain. Tapi, ini Nara yang sedang bicara jadi dia berusaha menjadi manusia paling pengertian. Kenapa? Karena di dunia ini hanya Nara satu-satunya keluarga bagi Damar. Mereka harus saling memahami dan melindungi. Pengalaman hidup yang mengajarkan hal tersebut kepadanya.

"Dia cium aku kemarin terus bilang bakal pergi sementara dari hidupku biar aku bisa memilah perasaan," Nara meringkas perselisihan tadi malam. Ada suara sedih di dalamnya.

Damar Cuma tersenyum sebentar. "Terus kamu mulai bimbang?"

Nara menggeleng pelan. "Nggak, biasa aja."

Nara tidak bimbang sedikit pun karena memang dia hanya menganggap Javas sebagai sahabat. Bahkan saking terbiasanya dengan pemuda itu, ia sudah seperti saudara bagi Nara. Nara tidak ingin ada yang berubah. Alasannya terlampau klasik, dia hanya ingin membatasi perasaannya karena Nara takut menyakiti Javas.

Javas yang selama ini ada untuknya. Javas yang baik hati. Javas yang memenuhi kebutuhannya. Nara ingin Javas tetap menjadi Javas yang ia kenal, berada di sisinya sebagai seorang sahabat dan kerabat. Dia tidak ingin Javas memandangnya sebagai seorang wanita, lalu saling menyaki. Seperti cara Javas mempermainkan perempuan-perempuan lain di luar sana.

"Berarti gak ada masalah soal ide Javas pergi hidup kamu. Jadi jangan pasang wajah sedih begitu."

"Aku Cuma takut Javas marah," sela Nara.

Damar menguap. "Javas marah ke kamu? Kayaknya gak mungkin. Lihat kamu menangis dikit saja Javas sudah kelabakan. Tahu tidak alasan dia ke Malang kemarin?"

"Karena ada proyek di sini," Nara menjawab singkat. Dia menyibukkan diri dengan sarapan paginya.

"Javas khawatir sama kamu karena kakak bilang gak bisa nemenin kamu di rumah. Sadar atau enggak, ini bukan pertama kalinya dia jagain kamu setengah mati. Javas sesayang itu sama kamu, ibaratnya walaupun dia lagi sekarat kamu tetap jadi prioritas dia," jelas Damar.

Nara bungkam.

Nara tahu jika Javas memang tipe orang yang penuh tanggung jawab. Itu yang membuat Nara berat. Dari dulu, Nara merasa kalau dia selalu merepotkan.

Nara seolah menjadi benalu, baik bagi Javas atau pun kakaknya-Damar. Nara yang mencegah Javas dan Damar membentangkan sayap lebar-lebar untuk meraih apa yang diinginkan.

Javas dan seluruh mimpinya untuk berkeliling dunia, lalu menemukan inspirasi desainnya. Javas tidak bisa pergi karena terbiasa memastikan Nara baik-baik saja. Begitu juga Damar. Damar yang cerdas seharusnya berada di rumah sakit ternama atau masuk ke dalam penelitian untuk menemukan sesuatu yang hebat di bidang kesehatan. Bukannya malah harus menjaga adiknya seumur hidup.

Nara yang menarik mereka untuk tetap jalan di tempat. Lalu, bagaimana jika dia menikah dengan Javas?

Javas akan menderita selamanya. Javas seharusnya menemukan wanita lain. Wanita yang lebih pantas, jauh lebih sempurna daripada Nara.

Nara menyangyangi Javas sebagai sahabat dan keluarga. Nara ingin orang-orang yang ia sayangi mendapatkan yang terbaik dalam hidupnya.

Dan Nara tahu, Nara bukan yang terbaik untuk Javas Chatura Mavendra.

-

Jakarta, Mavendra Building and Business Center

Javas duduk di ruang kerja yang berada di gedung pusat bisnis keluarganya. Mavendra Group membawahi berbagai bidang, salah satunya adalah perusahaan kontraktor yang digeluti oleh Javas. Bidang ini memang bukan salah satu yang menyumbangkan pundi-pundi uang paling besar dalam Mavendra Group. Namun, dia menyukai pekerjaannya.

Pekerjaannya ini membawanya pergi dari satu tempat ke tempat lain, menganalisis bangunan, dan menguji kelayakan. Javas menikmati dirinya yang selalu bertemu orang-orang baru, menambah koneksi.

Javas sempat ditawari untuk duduk di kursi manajemen Mavendra Group, mengingat dia adalah salah satu dari belasan manusia yang menyandang nama Mavendra. Garis keturunan asli, laki-laki yang disegani di dalam dunia bisnis, termasuk penyumbang devisa terbesar di Indonesia. Lantaran menerima kedudukan itu, Javas lebih memilih kariernya dari bawah. Dia sudah lelah menyandang nama Mavendra dalam hidupnya.

Javas Chatura Mavendra yang dituntut bekerja keras karena Mavendra yang lain juga demikian. Javas Chatura Mavendra yang diharuskan bersekolah ke luar negeri karena itu adat yang ada di keluarga ini. Javas Chatura Mavendra harus menjadi perwujudan yang sempurna.

Javas kadang-kadang bosan menjadi karakter yang sudah disiapkan orang lain karena dia seorang Mavendra. Kalau sudah begitu, Javas butuh tempat beristirahat, rumah terbaik baginya untuk pulang yang merujuk pada satu orang.

Nayyara Judistia Putri Hartadi.

Satu-satunya manusia yang menarik perhatiannya. Perempuan yang ia prioritaskan. Meskipun, Javas punya wanita lain di dalam pelukannya, Nara tetap selalu ada di otaknya. Apa pun yang dia lakukan Nara selalu ada di pikirannya.

Apa yang sedang Nara lakukan hari ini?

Apa Nara sudah makan?

Apa Nara di rumah sendirian?

Dan yang paling penting, apa Nara bahagia?

Javas ingin Nara bahagia. Terlalu banyak yang membuat Nayyara Judistia Putri Hartadi takut dan menangis. Sayangnya, Javas dengan tololnya membuat Nara memaparkan raut sedihnya kemarin malam.

Javas hanya muak. Dirinya ingin meledak karena pembatas tinggi yang dibangun Nara atas hubungan mereka. Javas sedang linglung malam itu, ia tidak ingin mengontrol keegoisan dalam hidupnya. Javas untuk pertama kalinya menginginkan Nara berada di sisinya menjadi miliknya.

Javas hanya takut suatu saat nanti Nara akan meninggalkannya. Javas tidak ingin sendiri dalam tekanan hidupnya. Ia sungguhan bisa gila jika tidak pulang ke Nara.

Javas ingin egois karena selama ini dia yang dengan sabar meladeni sikap Nara. Javas hanya capek sampai pundaknya terasa berat. Boleh tidak dia kabur? Meninggalkan tanggung jawabnya sebagai seorang Mavendra.

Javas melonggarkan dasi. Ia merasakan sesak. Berulang kali Javas menghakimi dirinya karena bersikap melankolis. Dia menghela nafas panjang, lalu meminum kopinya. Javas butuh kafein untuk menghilangkan pening karena kurang tidur.

"Wah gila bos uda di sini aja," ada suara lantang yang jauh dari sopan berasal dari laki-laki yang baru saja masuk tanpa mengetuk pintu ruang kerja.

Theodore Sakti Mavendra, salah satu sepupunya yang menjadi field manager. Well, Mavendra Group itu perusahaan keluarga, yang memegang jabatan penting semua memiliki latar belakang hampir sama.

"Tumben cepet balik, biasanya kalau sudah ke Malang sampai lupa pulang. Lagi berantem sama Nara?" tanya Theo, di ketawa tidak jelas karena tahu bahwa Javas sedang dalam kondisi buruk..

Theodore rela lekas ke ruangan bos besar konstruksi ini setelah perjalanan melelahkan ke Sulawesi karena mendapatkan kabar bahwa salah satu proyek Javas mengalami kerugian. Jelas, Javas habis dirundung para tetua Mavendra karena dianggap mencoreng kredibilitas dalam menghasilkan uang. Theo tahu, jika mengalami fase sulit, Javas akan pergi ke Malang demi menemui satu-satunya obat yang dapat menjaga kewarasan sepupunya.

"Gue lagi gak mood ngomong sama setan," balas Javas tidak peduli. Dia mulai mengambil dokumen yang harus diperiksa.

"Gue juga males ngomong sama monyet. Masalahnya ada orang baik yang minta gue ke sini buat ngecek keadaan lo."

"Gak tertarik."

"Yang minta Nayyara," kata Theo disertai ekspresi jahil.

Theo menghitung dalam hati. Hanya perlu dua detik bagi Javas untuk merespons nama yang baru saja dia sebut. Efek Nayyara bagi sepupunya luar biasa, Javas memberikan ekspresi tertarik.

"Dia bilang apa?" tanya Javas, menutup kembali dokumen yang ada di hadapnya.

"Katanya gak tertarik."

"Bangsat."

Theo tertawa keras. "Mulai ngegas kalau soal Nayyara."

Javas memutar bola mata. "Gue masih punya wewenang buat mindahin lo ke bagian akunting," ancam Javas.

Theo bungkam ancaman Javas memang tidak main-main. Theo pernah dipindah tugaskan ke Afrika selama tiga bulan karena dengan sengaja mengubah tujuan tiket pesawat Javas yang awalnya ke Malang jadi ke Lombok.

"Nara tanya apa lo uda sampai Jakarta, dia minta gue buat memastikan lo makan siang karena tadi belum sempat sarapan," jelas Theo.

Sudut bibir Javas terangkat. Senyum pertama Javas Chatura Mavendra untuk hari ini. Dari tadi dia ngamuk-ngamuk sama orang kantor. Karyawannya yang kebetulan dapat jatah presentasi kena semprot semua.

"Gila ya bucin tingkat Neptunus. Dengar Nara tanya kabar saja senangnya sudah kayak dia mau diajak nikah," komentar Theo.

"Bucin apaan?" tanya Javas. Ia sibuk meraih ponselnya. Pantas saja Nara tanyanya ke makhluk setan ini, bukannya langsung ke Javas karena dari tadi handphone milik Javas mati.

"Budak cinta, lo kebanyakan presentasi jadi gak tau istilah yang lagi hits."

"Bukan salah gue, lo aja yang suka jalan sama ABG. Kurang-kurangi jadi pedofil," balas Javas.

"Mending gue, daripada lo enak-enak sama siapa yang dipikirin siapa."

Javas tak mengindahkan ejekan Theo. Dia sibuk menggeser layar ponselnya. Ada 80 pesan dari Mia-pacar barunya yang overprotective―Javas lewati begitu saja.

Javas terus fokus pada benda di tangannya. Berharap nama Nara menjadi salah satu pengirim pesan.

Kosong.

Tidak ada pesan satu pun dari Nayyara Judistia Putri Hartadi. Nara seolah menerima begitu saja kepergian Javas dari hidupnya.

Javas menarik nafas panjang. Ia bisa kehilangan kewarasan saat ini juga.

"Bilang sama anak-anak draft proyek di Solo kita selesaikan hari ini. Gue mau semuanya jadi sempurna. Kita lembur sampai besok," perintah Javas.

Javas sungguh harus mengalihkan fokusnya kepada Nara melalui pekerjaan. Jika tidak begitu, Javas bisa gila.

Theo membolakan mata. "Wah gila lu ya, ini malam Sabtu besok libur―"

"―perintah bukan permintaan. Kita harus membenahi kerugian dari proyek yang kemarin," tegas Javas. Dia memberikan intimidasi pada tatapannya.

Theo hanya mengangguk, kemudian pamit undur diri. Laki-laki yang usianya sebaya dengan Javas itu hanya dapat pasrah. Javas biasanya bersikap profesional pada pekerjaan kini tidak, berarti masalah yang dihadapi sepupunya lumayan serius.

"Apa perlu bawa Nara ke Jakarta?" tanya Theo lebih kepada diri sendiri setelah hengkang dari ruangan Javas.

-

Javas mirip orang yang kesetanan selama satu minggu penuh. Dia kerja seperti tidak ada besok. Javas lupa pulang, dia bahkan menyuruh Pak Ujang-sopirnya untuk mengirim baju ganti. Javas makan kalau memang ada kliennya yang meminta untuk bertemu di restoran. Selebihnya, Javas hanya minum air putih sebagai cara bertahan hidup.

Javas malam ini berencana tidur di kantor lagi. Dia harus menyelesaikan tugasnya. Semakin banyak ia bekerja, uang yang dihasilkan pun semakin mengalir deras. Ia sibuk dan tidak ingin diganggu Namun, harapannya sia-sia ketika bunyi langkah kaki sepatu berhak 12 senti meter itu mulai memasuki ruangan Javas.

Almira Majid Prananda atau yang dikenal sebagai Mia. Mia adalah gadis muda berusia dua puluh tiga tahun, dia adalah finalis ajang kecantikan yang terkenal. Perempuan yang surainya tergerai panjang, langsing, dan memiliki kulit eksotis khas wanita Indonesia.

"Sampai kapan kamu menyiksa diri kayak gini?" tanpa berbasa-basi Mia mengajukan pertanyaan.

Javas yang awalnya tenggelam membaca kertas-kertas melihat sekilas kepada Mia, lalu mengabaikan. Bertemu Mia bukan yang diharapkan Javas sekarang. Pikirannya sedang penuh masalah.

"Kamu mengabaikan chat dari aku, telepon kamu matikan, dan bikin aku susah masuk ruang kerja kamu. Kamu gak bisa nganggurin aku kayak gini, Jav."

Mia mendekati Javas, tangan lentiknya merebut kertas yang tengah dibaca laki-laki itu. "Kamu dengerin aku ngomong!" seru Mia.

"Ini kantor Mia, jangan sembarang teriak atau kalau lo tidak bisa menjaga sikap, pergi dari sini," Javas memperingatkan. Dia melepaskan kacamata bacanya.

Mia mendengus. "Aku gak tahan kamu begini―"

"―sudah kita putus sekarang," potong Javas santai. Ia berdiri dari duduknya.

Mia kehilangan nafasnya sebentar. Putus dari Javas adalah mimpi buruk baginya. Mia sudah susah payah menjatuhkan harga dirinya untuk bisa memiliki Javas Chatura Mavendra pria muda yang masuk dalam daftar garis biru, pewaris Mavendra Group.

"Aku gak mau. Aku cinta kamu, Javas."

Javas tertawa kecil. "Lo itu cintanya sama uang dan nama Mavendra."

Mia menggeleng, ekspresi marah-marah, dan nada emosional enyah dari diri Mia. Seolah Mia memiliki kepribadian ganda. Semuanya berganti menjadi ramah dan senyum manis.

"Aku akan lakuin apa pun demi kamu, Jav."

Mia mendekati Javas yang kini berjarak tak lebih dari lima langkah. Tanpa aba-aba Mia meniadakan spasi di antara mereka. Mia mencium Javas dengan begitu berani, agresif.

Javas terkejut itu jelas, tapi dia cukup baik dalam mengendalikan diri. Javas butuh waktu tiga detik untuk mencerna bahwa Mia salah satu perempuan yang mempunyai gaya berciuman luar biasa.

Hanya saja ... Javas justru teringat kejadian satu minggu lalu ketika dia untuk pertama kalinya mengecup Nayyara.

Nayyara-nya tidak tahu cara mencium seorang laki-laki. Nara kala itu hanya diam, membiarkan Javas yang bergerak. Namun, hanya Nara yang mampu membuat jantung Javas berdebar. Javas kehilangan logikanya, pikirannya memanggil ulang ingatannya akan rasa bibir Nara. Kelembutan Nara. Semuanya tentang Nara.

Sadar Javas ini Mia bukan Nara. Otak Javas sebagian masih waras memperingatkan.

Javas membuka matanya, hendak mendorong Mia. Netra Javas justru menangkap raga lain yang berada di depan pintu ruang kerjanya. Sosok yang membuatnya rindu. Perempuan yang berusaha ia hapus dari hatinya tapi tidak bisa.

Nayyara ada di Jakarta? Berulang kali Javas membuat pernyataan bernada pertanyaan di dalam serebrum.

Nara ada di sana. Berdiri, kaku. Ekspresi Nara datar.

"Maaf mengganggu, aku pergi dulu," ucap Nara kemudian berbalik.

Javas mendorong Mia. Dia mengabaikan Mia yang menjerit. Mia bisa diurus nanti, perempuan itu tidak berharga di mata Javas sejak awal. Yang paling penting adalah Nayyara.

Nara telah turun menggunakan lift saat Javas mengejarnya. Nara mengabaikan panggilan Javas. Dia terlalu terkejut sampai ingin menangis.

Nayyara sengaja datang jauh-jauh ke kota ini untuk bicara dengan Javas. Ia merindukan temannya. Tampaknya Javas menikmati kehidupannya, menurut Nara-hanya dia yang berduka sementara Javas bersenang-senang.

Ini bukan pertama kalinya Nara mendengar Javas melakukan banyak hal dengan wanita yang dikencaninya. Selama ini Nara bersikap tidak ingin tahu yang penting sahabatnya bahagia. Melihat secara langsung Javas menyentuh wanita memunculkan perasaan acak yang Nara enggan mengerti. Ada sedih dan marah. Apalagi, Javas membalas kecupan Mia. Bukannya Javas tidak sungguhan menyukai Mia? Bukannya Javas mencintai Nara? Tapi, kenapa dia dengan santainya mencium wanita lain.

"Kenapa rasanya sangat sakit?" gumam Nara. Ia menahan emosinya dengan cara menggigit bibir.

Nayyara tidak ingin menangis di tempat umum. Dia membuang muka agar orang-orang yang berada di lift ini tidak memperhatikannya. Kurang sembilan belas lantai lagi Nara dapat segera pergi dari gedung sialan ini.

Lift terbuka di lantai selanjutnya dan ada Javas di depan pintu.

Penuh keringat. Dia berlari melalui tangga darurat untuk mengejar Nara.

Tiga karyawan yang satu lift dengan Nara tampak bingung saat bos mereka tiba-tiba muncul sambil terengah.

Javas menarik Nara untuk keluar. Mereka harus bicara.

"Kenapa ke sini gak bilang-bilang?" itu pertanyaan pertama Javas.

"Aku salah pesan tiket, seharusnya bukan ke Jakarta," jawab Nara seenaknya.

"Nayyara Judistia Putri Hartadi, jangan berbohong."

"Aku pengen ketemu sama kamu, puas?"

Javas melepaskan cengkeraman tangannya pada Nara.

"Karena?"

"Aku kangen," cepat Nara menimpali. Dia menarik nafas. "Aku kangen sama kamu Chatu. Kamu biasanya hampir tiap hari ngomong di telepon sama aku. Cerita ini dan itu. Aku kesepian waktu kamu tidak ada," lanjutnya.

Javas Cuma bisa melihat Nara. Dia sampai tidak bisa bicara apa-apa karena Nara selalu membuatnya membisu.

"Maaf aku tadi sudah mengganggu kamu sama Mia. Bener kan namanya Mia atau sudah ganti lagi? Aku bodoh banget ya sebagai sahabat sampai lupa nama pacar kamu. Hehehe." Nara masih terus mengoceh untuk menghapus sakit hatinya. Dia mengimbuhkan tawa yang tawar, tidak sadar jika satu persatu air matanya sudah jatuh.

Javas menghela nafas panjang ketika melihat Nara menangis. Ia mengerti bahwa Nara ingin melanjutkan drama persahabatan mereka. Javas berusaha mengerti.

Nara sedih karena lu goblok, suara dalam diri Javas menghardik.

Berhenti bersikap konyol, Javas. Vokal lain megalir dalam benaknya.

Javas memejamkan mata sejenak. Dia menata diri.

Javas menekan dirinya untuk tidak egois.

Yang terpenting, Narayya-nya bahagia.

Jadi ... Javas beranjak memeluk Nara. Sebentar saja, Javas energi untuk menyembunyikan perasaannya lagi.

"Aku juga merindukanmu, Nara."

Selalu akan begitu.

Nara membalas pelukan Javas. Dia mengusap punggung Javas berulang kali dengan lembut sembari meminta maaf.

"Maaf Javas, maaf."

Aku ingin kita tetap begini, Javas. karena kamu sangat penting bagiku. Nayyara melanjutkan ucapannya di dalam hati terdalamnya

"Tidak masalah, aku akan tetap menjadi apa pun yang kamu butuh kan."

Javas bisa menunggu.

Menunggu menjadi keahlian Javas. Dia menunggu Nara, walaupun itu berarti selamanya.

-oOo-

Halo, pertama aku mengucapkan terima kasih sama kalian yang sudah membaca sampai di sini. Ini pertama kaliny, aku nulis cerita sejenis ini. Masih banyak kurangnya, jelas. Aku butuh saran kalian agar cerita ini lebih berkembang. Jadi, jangan sungkan untuk menyampaikan kritiknya huhuhuhu, aku tunggu ya.

Sampai jumap di bagian cerita selanjutnya! :D

Pokračovať v čítaní

You'll Also Like

38K 4.8K 23
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...
770K 77.8K 54
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
MPREG NCT Od ola

Fan fikcia

86.4K 1K 5
ONESHOOT!! request? dm! kumpulan oneshot nct, mpreg alias cowok hamil sampai proses melahirkan. 21+ dosa ditanggung masing-masing xoxo.
41.9K 9.5K 111
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...