Toruka: Pulling Back [COMPLET...

By Zet_12096

3.3K 468 134

Tur dunia One Ok Rock harus terganggu ketika seorang penguntit menguntit Taka. Hal itu semakin lama semakin p... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10 [END]

Chapter 5

420 49 17
By Zet_12096

Mata kelam Takahiro menatap langit-langit kamar yang ia tempati bersama Toru. Lampu sudah lama dimatikan. Hiruk pikuk kota yang tidak pernah tidur pun sudah berkurang. Di atas satu-satunya meja di ruangan itu, jam meja yang menunjukkan pukul empat pagi meneriakkan bunyinya tiap kali detik berlalu, membuat pendengaran siapapun menjadi terganggu.

Beralih dari langit-langit, matanya bergulir menatap punggung Toru yang naik-turun dengan teratur. Obat tidur bubuk yang ia larutkan dalam air tampaknya sudah mulai bekerja pada Toru, tentu, ia tidak meminum sedikitpun ait dari gelas itu. Ia pun beranjak duduk lantas mengambil jaketnya yang tersampir di kursi. Sebelum pergi ke kamar ini pun, entah kenapa, ia berhasil membujuk staff agensi untuk mengembalikan ponselnya, dengan alasan agar mudah jika ada keadaan darurat.

Setelah memastikan ponselnya sudah berada aman di saku jaketnya, ia merobek secatik kertas dan menuliskan beberapa patah kata yang ditujukan untuk Toru. Terakhir, dengan dibalut jaket, ia berdiri di dekat nakas di mana Toru menyimpan gelas kemarin. Tangannya bergerak, menyingkirkan rambut Toru dari pelipis. Dari balik rambut pirang itu, tampak mata Toru yang terpejam dengan warna kehitaman di daerah infraorbital yang sangat jelas, paling jelas dari yang pernah Taka lihat sebelumnya.

"Maaf, Toru-san," bisiknya di tengah gelapnya kamar. Dadanya sesak melihat betapa lusuhnya penampilan Toru yang tertidur saat ini. Ia pasti sangat kelelahan, melebihi lelahnya latihan terekstrem mereka. Lelah mental.

Taka menghela pelan sebelum akhirnya berbalik pergi dan menutup pintu dengan sangat pelan.

***

Datanglah ke belokan jalan pertama pukul lima, aku akan menunggu. Mari kita bicara pelan-pelan.

Takahiro mengeratkan mantelnya. Udara semakin dingin, salju sudah mulai turun. Matanya dengan teliti membaca huruf demi huruf pesan yang ia kirimkan kepada nomor orang yang menerornya. Ia bertekad langsung bertemu dan menyelesaikan masalah. Ia tidak ingin teman-temannya terluka karenanya, karena ulah orang itu.

Di sinilah ia sekarang. Pukul lima kurang seperempat, berdiri di tengah gelapnya shubuh dengan tubuh gemetaran dan gigi bergemeletuk. Embusan napas berwarna putih lembut keluar tatkala ia menghembuskan napas. Jika berkaca, ia akan tahu betapa merahnya ujung hidungnya dan birunya bibirnya.

Terbesit dalam hatinya orang penuh masalah itu tidak akan datang. Terbesit di pikirannya ia akan berada dalam bahaya besar jika orang itu datang. Tetapi sungguh, berdiri kedinginan seperti ini bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan mendapati temannya yang terluka atau lelah. Untuk kali ini, ia tidak keberatan menunggu selama apapun.

"Takeru? Kau masih bangun?"

Taka memutuskan menelepon salah seorang sahabatnya. Mengobrol mungkin bisa membunuh waktu membosankan ini dan menunggu jadi lebih menarik.

Takeru, sahabatnya yang satu ini, semalam apapun, sepagi apapun ia menelepon, pasti akan diangkatnya. Entah ia mengatur dering tertentu hingga ia tahu bahwa Taka-lah yang meneleponnya atau apapun yg ia perbuat, ia tidak pernah melewatkan teleponnya barang sekali pun. Luar biasa.

"Takapin? Kau sudah bangun? Tumben sekali."

Mendengar temannya yang mengajaknya ngobrol sesantai itu, bahkan menyindir, badan Taka menjadi sedikit rileks. Ia berjongkok dan mengambil ranting yang ada di dekatnya.

"Belum tidur," koreksinya, "aku tidak bisa tidur."

Goresan demi goresan ia buat di atas salju yang menumpuk. Dengan senang hati, ia merusak timbunan lembut salju muda itu.

"Huh? Memangnya sedang apa?"

"Menggambar," jawabnya jujur.

"Lalu, ada apa?"

Taka mendengus. Takeru memang cukup tajam jika menyangkut dirinya.

"Hanya ingin mengobrol, kau sibuk?"

"Tidak, aku sedang di kamar, baru sampai."

Alis Taka dinaikkan tinggi-tinggi. Seingatnya, syuting Rurouni Kenshin sudah selesai dan ia tidak ingat film lain yang akan rilis dalam waktu dekat dengan dibintangi Sato Takeru.

"Drama, kau tidak menonton drama 'kan?"

"Ah..." Taka mangut-mangut. Gambarnya sudah jadi, sebuah human people dengan mata tertutup setengah, mirip sekali dengan Toru. Dari seberang ponselnya, Takeru menceritakan plot drama tersebut. Sementara itu, ia membalikkan ponselnya, pukul 04.54 pagi. Jika sampai pukul 5 orang itu tidak datang, ia akan pergi dan kembali mencari cara lain.

"Jadi, kenapa kau di luar ruangan sepagi ini?"

Mendengar pertanyaan itu, Taka tersentak kaget. Pasalnya ia tidak pernah menyebutkan ia sedang di luar. "Darimana kau tahu?"

"Gigimu bodoh, kau kedinginan, cepat masuk dan minum air hangat."

Embusan putih kembali muncul. Taka baru saja menghela, ia sedang bingung. Apa ia akan menuruti Takeru?

"Aku... sedang menunggu seseorang."

"Toru? Tunggulah di dalam."

"Bukan... bukan Toru."

Taka kembali melirik jam di pojok ponselnya, ia lupa membawa jam tangan. Kini sudah pukul 04.57.

"Pukul lima aku kembali ke dalam," putusnya pada akhirnya.

"Ayolah, apa masalahnya menunggu di dalam?"

"Apa kau sebegitu mencemaskanku, hm, Takeru-san?"

"Oh astaga, sempat-sempatnya kau menggoda."

Taka terkekeh mendengarnya. Ia memang senang menggoda seperti itu, khususnya menggoda Toru dan Takeru.

"Tentu, apa yang tidak jika itu untukmu?"

"Kalau begitu masuklah ke dalam!"

Senyum Taka bertambah lebar. Takeru memang terdengar kesal, tapi tawa tak gagal lolos dari suaranya. Taka melirik lagi jam di ponselnya, pukul lima kurang satu menit dan tidak ada suara lain selain suaranya dan Takeru di seberang telepon.

"Tentu, Yang Mulia, satu menit lagi."

"Terserahlah, aku mengantuk."

"Tidurlah, apa ingin kunyanyikan sebuah lagu?"

"Inginnya, tapi aku ingin mandi."

"Ingin kumandi—"

"Oh tutup mulut, sudahlah. Kututup."

"Tentu, tentu." Taka melirik lagi jamnya lagi, masih belum berubah. "Sampai nanti, sayang~"

Pastilah Taka mengira makian atau tawa Takeru yang membalasnya. Namun, sesuatu yang lain, yang pastinya bukanlah suara Takeru mengambil jatah untuk membalas. Suaranya keras, seperti benda keras yang dihantam ke benda yang lebih lunak dan bukan berasal dari seberang telepon. Setelah suara itu, sesuatu di belakang kepalanya yang terasa menyengat menyusul, ditambah dengan rasa sakit yang amat luar biasa. Rasa sakit itu merambat ke seluruh bagian kepalanya, menulikan pendengarannya dan mengacaukan keseimbangannya. Kesadarannya yang masih tersisa memberi tahunya bahwa ia sudah terbaring di salju yang kotor dengan lumpur tanpa tenaga yang tersisa sedikitpun. Pengelihatannya yang kian buram pun menangkap gambar buyar ponselnya yang terjatuh di sampingnya, dengan nama Takeru masih terpampang di layarnya meski sampungannya yang berdurasi enam menit sudah terputus, tepat pada pukul lima. Dengan pengelihatan dan kesadaran yang semakin menipis, ia melihat seseorang memungut ponselnya dan menggotong tubuhnya sebelum akhirnya gelap menyergapnya.

***

Sinar dari lampu yang menyilaukan tampaknya adalah satu-satunya pelaku yang membuat Takahiro terbangun dari tidurnya yang lelap. Mata segelap arang itu mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya dapat beradaptasi dengan intensitas cahaya yang dihasilkan di atap itu—yang anehnya terlihat familiar untuknya. Terlalu familiar.

Ia menggulirkan bola matanya, menatap ke kanan dan kirinya. Kasur empuk dengan seprai warna dongker, nakas yang rendah di kedua sisi tempat tidur, lampu tidur yang cahayanya kuning temaram di atas kedua nakas, lemari yang cukup besar menghadap ke kasurnya di samping kiri, meja kerja minimalis di sebelah lemari, pintu di sebelah kiri untuk ke toilet, bufet di seberang kasur dengan beberapa hiasan dan televisi tancap di atasnya, pintu di dinding sebelah kanan untuk keluar. Barang-barang sekaligus letaknya di ruangan itu terlalu akrab di matanya, terutama perapian dengan empat berupa kaca di pojok ruangan, di samping kanan bufet. Perapian yang sama dengan yang ada di rumah Toru yang baru direnovasi, hadiah ulang tahunnya. Tampaknya semua warga Jepang mengetahui perapian di rumah Toru itu, terima kasih pada Monster Rock yang telah membeberkannya, tetapi tidak ada yang tahu selain mereka berempat bahwa ia juga membeli barang yang persis sama dan meletakkannya di pojok kamarnya.

Perhatian Taka teralih pada atapnya kembali. Ini kamarnya. Lalu, apa yang terjadi semalam?

Taka berdiam diri sejenak. Karena satu dan hal lainnya, ia tidak bisa mengingat apa yang ia lakukan semalam, yang sialnya hal—atau hal-hal—itu pun ia lupakan, dan tiba-tiba sudah kembali ke kamarnya, dengan utuh dan sehat...

...setelah teror-teror itu.

Ah, benar... ada penguntit yang menguntitnya. Tetapi, dengan dirinya yang kembali ke kamarnya sendiri, apa sebenarnya teror-teror itu hanya mimpi belaka sejak awal? Atau imajinasi dirinya yang kelelahan?

Taka menghela.

Apa se-attention seeker itukah dirinya sampai membayangkan mempunyai seorang penguntit? Mungkin, ia pingsan saat berlatih saat tur dan memimpikan hal-hal mengerikan itu?

Berbicara soal tur, bagaimana dengan turnya? Ia sama sekali tidak bisa mengingat penutupan tur itu. Jangan-jangan ia pingsan di tengah konser?

"Ah, aku menyerah," keluhnya putus asa karena tidak bisa mengingat. Dengan perasaan malas mematikan lampu, ia berguling dan menenggelamkan wajahnya ke bantal.

KRING!

Dan saat itulah ia sadar, pergelangan kaki kanannya tengah dirantai dengan rantai yang cukup panjang, mungkin empat meter, ke ujung kanan kasur. Bajunya telah berganti dari baju dan mantelnya semalam menjadi baju panjang berwarna salem polos selutut dan tidak memakai celana.

Ia pun baru menyadari bau bantal dan kasur yang tengah ia tempati berbeda dari biasanya. Berbeda dari kamarnya.

Sontak, ketakutan langsung menyergap seluruh bagian tubuhnya.

Dengan satu sentakkan, Taka membawa tubuhnya duduk tegap, bunyi rantai yang ditarik itu kembali bergema seirama gerakannya. Tangannya yang memucat mulai menarik-narik rantai itu. Sayang, hasil nihil ia terima. Rantai itu tidak bergerak dari kakinya sama sekali.

"Apa-apaan ini?"

Taka kini mencoba menarik kakinya, siapa tahu ikatan di kasurnyalah yang lebih longgar. Namun, hasil yang sama terpaksa ia terima. Dengan putus asa, ia duduk dalam diam, pundaknya merosot dan seluruh tubuhnya lemas. Ia kembali mengedarkan pandangan. Ruangan itu benar-benar persis kamarnya, ukuran, barang-barang dan peletakannya, bahkan motif seprai, semuanya menjadi seperti barang-barang miliknya dipindahkan ke ruangan dengan ukuran sama persis dan menjadi replika yang sempurna, jika bau tidak dihitung ke dalamnya.

Seolah yang membuat replika ini menyusup masuk ke kamarnya dan mengambil setiap detailnya.

Pemikiran yang tiba-tiba terlintas itu membuat perutnya seolah terbalik dan merambat naik. Saraf-saraf di sekelilingnya mulai mengirimkan impuls yang membuatnya mual parah. Otaknya pun pada akhirnya mengalokasikan gerakan antiperistaltik yang membuat makanan yang dicernanya merambat naik dari lambung dan dikeluarkan begitu saja bersama asam lambung, mengotori seprai berwarna dongker yang begitu mirip dengan miliknya sekaligus baju selutut itu.

Setelah lambungnya kosong, dengan napas bergetar, Taka tanpa menyerah kembali mengedarkan pandangan, mencari petunjuk atau mungkin, jika boleh berharap, jalan keluar. Saat tangannya menyeka bekas muntahannya itulah, ia melihatnya, sebuah kamera cctv yang terpasang di pojok atas kiri dinding tempat kasurnya menempel.

Taka menggigit bibir bawahnya. Itu dia. Itu pelaku yang membuatnya kesusahan. Membuat polisi terlibat. Membuat keempat anggota One Ok Rock harus mengkhawatirkannya. Membuat Toru-san kelelahan.

Marah dan takut teraduk menjadi satu. Sungguh, ia sangat ingin menangis, namun terlalu takut untuk melakukannya. Jadi, ia hannya mengubah posisinya, duduk memeluk lutut dengan baju dan celana yang berbau asam.

Apa yang bisa ia lakukan sekarang?

Seperti yang biasa ia lakukan di kamarnya, ia melirik jam dinding dengan dua jarum yang menunjukkan pukul satu. Apa selama itu ia tidur? Bagaimana dengan Toru-san? Sedang apa dia? Merutuki dirinya sendiri karena tertidur? Yah, dia pasti akan langsung menyadari obat tidur yang Taka berikan secara diam-diam. Lagipula, sejak awal, ini bukan salah siapapun selain si pelaku itu sendiri, dan salahnya karena bertindak seenaknya, seorang diri pula. Mungkin ia tidak akan lagi marah jika seseorang memanggilnya bodoh. Ah... berapa sering ia memarahi Tomoya dan Ryota? Ia bisa menampar kepala mereka hanya karena cengiran mereka yang tidak punya alasan. Di kala seperti ini, ia justru mengharapkan cengiran mereka. Bagaimana dengan orang tuanya? Apa keduanya kini saling bertukar tatap cemas? Di tempat yang bersebelahan? Bagaimana dengan kedua adiknya? Sebaiknya hanya Tomohiro yang mencemaskannya, Hiroki sedang ada tur yang berlangsung. Bagaimana dengan Takeru? Apa ia menyesali keputusannya untuk menutup telepon?

Bisakah ia pulang? Kembali ke rumahnya dengan baunya. Ke tempat orang tua dan kedua adiknya berada. Ke tempat anggota One Ok Rock berada. Kepada Toru-san.

Kedua tangan Taka yang berada di atas lututnya yang ditekuk mengepal semakin keras hingga buku-bukunya memutih lantaran sesak di dadanya semakin menjadi dengan pemikiran-pemikiran itu. Ia kini sendirian dengan seseorang yang menjijikan menontonnya dari tempat antah berantah.

Waktu berlalu, Taka tetap berada di posisinya yang memeluk lutut. Hingga pada akhirnya, bunyi derit pintu sampai pada pendengarannya, membuat tubuhnya menegang. Dari balik lengannya, Taka mengintip. Seorang lelaki yang membawa nampan dengan mangkuk yang ditutup lengkap dengan sendok bubur beserta setumpuk kain yang Taka kenali sebagai seprai—mirip seprainya di rumah—muncul dari pintu sebelah kanan. Tingginya menjulang hingga batas teratas pintu hingga ia harus menunduk sedikit agar bisa masuk tanpa masalah. Wajah lelaki itu seperti orang Eropa dan tidak menunjukkan ekspresi yang berarti. Taka sendiri merasa tidak pernah melihat orang itu sebelumnya.

"You should change your clothes," katanya tiba-tiba.

Taka menautkan alisnya, lelaki ini sudah menyekapnya entah berapa lama dan kata-kata pertama yang ia keluarkan adalah gantilah bajumu. Apa ia bercanda? Lelaki itu berjalan mendekati Taka yang langsung bersingut turun dari kasur dan menjaga jarak sejauh mungkin. Lelaki itu tidak ambil peduli dengan sikap menjauh Taka dan terus mendekat. Tentu, Taka terus bergerak mundur hingga punggungnya menabrak dinding.

"Don't go get near me more than this!" Suara parau Taka menyusul. Dengan awas, matanya mengawasi lelaki yang masih saja berjalan mendekat. "I said"

"I want to change the bed cover," kata orang itu. Barang-barang yang ia bawa diletakkan di meja kerja yang mirip dengan milik Taka. Ia mengambil seprai itu dan mulai mengganti seprai, dengan Taka yang mengawasi. "Change your clothes and eat the porridge, I'll leave and come back later."

Benar saja, lelaki itu, tanpa mengatakan apapun lagi, langsung keluar ruangan dan mengunci pintu dari luar.

Taka menatap bajunya yang kotor. Dengan rantai bergemerincing yang menemani, ia berjalan mendekati lemari yang mirip dengan miliknya itu dan membukanya. Ia sudah tidak terkejut lagi melihat isinya yang sama persis, baju-baju miliknya, bahkan baju-baju teman-temannya yang sering menginap pun ada di dalamnya. Hanya satu hal yang membuatnya berbeda, sebuah baju berwarna salem yang sama persis dengan yang sedang ia gunakan.

Ia mengambil baju itu dan mulai berganti baju, tidak peduli dengan kamera yang selalu merekam setiap gerak-geriknya, badannya sudah terekspos kala bajunya diganti ketika pingsan tadi, dan melemparkan ke pojokkan paling jauh dari kasur, dekat perapian indah itu. Ia melirik sebentar mangkuk yang katanya berisi bubur itu tanpa minat. Lidahnya terasa pahit karena muntah dan bisa saja berengsek itu mencampurkan racun ke dalamnya. Jadi, ia hanya kembali merangkak ke kasurnya yang kini bersih—ditemani bunyi rantai berdansa, lalu berbaring. Bufet di seberangnya memperlihatkan barang-barang yang membuat perutnya bergejolak tak nyaman, kumpulan album One Ok Rock yang berjajar rapi.

Ia ingin kembali pulang, ia ingin kembali pada kehidupannya sebelum penguntit itu melangsungkan aksinya. Meski ia berada di ruangan persis sama dengan kamarnya, hal itu tidak membuatnya nyaman sama sekali. Ingin rasanya ia mati saja dan menyudahi penderitaan ini.

Akan tetapi, wajah tiga anggota One Ok Rock yang terlintas di pikirannya membuatnya bersikukuh dengan satu tekad.

Meski semua tulangnya patah sekalipun, ia harus pulang hidup-hidup, kembali pada mereka bertiga.

Ia harus bertahan di sini dan menunggu bantuan. Pasti... pasti bantuan akan datang, entah bagaimana caranya.

—TBC—

Please wait for the next chap, thank you!

Continue Reading

You'll Also Like

75.4K 6.9K 50
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...
158K 15.5K 39
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...
297K 31.3K 128
Sebuah komedi tentang dua anak laki-laki SMA biasa. Judul Indonesia: Nan Hao & Shang Feng Jenis komik: Manhua Genre: Komedi, Schooll life, shounen Au...
69.3K 4.4K 33
Zaman feudal... Zaman yang penuh keajaiban... Susana yang tenang dan damai, burung berkicau riang dan matahari yang hangat.. Tapi tiba tiba saja suas...