Zrelost (END)

By Xayraaa

3.6M 105K 9.1K

Harap kebijakannya dalam memilih bacaan. Tidak disarankan untuk anak dibawah umur. (Cerita diprivate sebagian... More

Sinopsis
1. I'm in trouble
2. Mr. Crazy as hell
3. Interested
4. Bad meet
5. I hate you 3000
6. It's hurt
7. Unbelievable
8. Don't let me down
9. Our distance
10. Messin' around
11. Carry on for you
12. Fucked up
13. I'm a mess
14. Found you
15. It was my fault (17+)
16. I'll show you my scar
17. Wrong person?
18. Such a thief
19. You're my everything
20. The best rollercoaster
21. I love you more (17+)
22. Gadis alang-alang (ku)
23. Long distance relationshit
24. So, are we friends?
25. Pregnant routinies
26. Drive me crazy (17+)
28. Winter's tragedy (17+)
29. I trust you
30. Nepotisme?
31. Skandal Asmara
32. Secret Love
33. Don't be a selfish person, Vana!
34. Rahasia terbongkar
35. Kecewa
36 Crazy psychopath
37. Apologies
38. Don't leave me alone!
40. Restu orang tua.
41.Wedding(17+) (END)
Ekstra Promotion
Ekstra part (Bulan Madu)
Ekstra Part 2 (Baby comes out)
Ektra part 3 (Another baby? 17+)

27. Pemberi lamaran palsu

73.2K 1.5K 193
By Xayraaa

Vana memasuki audi R8 milik Dave, pria itu berkata ingin mengajak Vana ke suatu tempat untuk berwisata. Tentu saja Vana tertarik bahkan terlihat sangat senang dengan wacana tersebut.

Kapan lagi mendapatkan tour di luar negeri dengan pemandu wisata tampan?

Tepat pukul 8 pagi Dave bahkan sudah melajukan mobilnya menyisiri jalanan kota Sydney. Semerbak angin musim dingin menyapu kulit wajah Vana melalui jendela mobil milik Dave. Membuat Vana memejamkan mata sambil merentangkan salah satu tangannya keluar.

"Vana!" Pekik Dave membuat sang empunya nama terpenjat "Jangan mengeluarkan tanganmu dari mobil!"

"Ha?" Vana menatap cengoh sembari menetralkan detak jantungnya.

"Itu berbahaya." Hardik Dave lagi.

"Tapi jalanan sangat sepi, Dave."

"Tetap saja, aku tidak ingin mengambil resiko apapun jika sesuatu terjadi padamu."

Semburat merah memenuhi pipi Vana saat ini.

Dave mengkhawatirkanku, manisnya!

Meskipun pria itu mengatakannya dengan wajah datar tapi tetap saja! Vana senang mendengar perhatian kecil yang Dave berikan.

"Kemana kita hari ini?" Tanya Vana.

"Mount Buller."

"Asikk! Dimana itu?"

"Tidak jauh dari sini, hanya memakan waktu 6 jam." Kata Dave "Tapi sebelumnya kita harus membeli baju hangat, sedang musim salju disana."

Vana hanya mengangguk girang seperti seekor anjing yang patuh. Dia sangat senang karna akan mengunjungi tempat bersalju untuk pertama kalinya. Sejak kecil dia memang sangat menyukai salju, bahkan frozen adalah tontonan favoritnya sampai sekarang.

**

Mobil Dave menepi disebuah parkiran yang berada di salah satu pusat perbelanjaan. Pitt Street Mall, salah satu wisata belanja yang tidak pernah sepi di Sydney, terletak di pusat kota yang membuatnya lebih sering dikunjungi para wisatawan.

Dave membawa Vana memasuki sebuah toko baju hangat, pria itu terus menggandeng tangannya menyusuri lautan manusia yang memenuhi lokasi tersebut, seakan takut Vana tenggelam di dalam lautan luka dalam.

Sesampainya di sebuah bangunan penuh dengan mantel dan juga bermacam pakaian hangat yang membuat seseorang pengap, jika dipakai di Jakarta. Tapi lain situasinya jika di Australia.

"Pilihlah sesukamu."

Vana tersenyum penuh arti mendengar ucapan Dave "Bolehkah aku memilihkanmu juga?"

Dave terlihat mengerutkan dahinya, perasaan tidak enak tiba-tiba hinggap di benak pria itu "Tidak."

"Ayolah Dave, boleh ya?"

Dave menghembuskan napasnya pasrah "Baiklah."

Vana berjingkak senang lalu berpaling memilah baju untuk Dave dan dirinya, Vana mengambil mantel berwarna biru pastel lalu menyodorkannya pada Dave.

"Ini untuk mu."

Dave menelan ludahnya gusar sambil menggeleng, menatap nanar pilihan kekasihnya itu "Tidak-tidak, aku tidak mungkin memakai warna itu."

"Kenapa tidak? Ini lucu!"

"Aku tidak ingin terlihat lucu, kau kira aku badut?" Dave menatap Vana garang.

"Tapi aku ingin melihat mu memakai ini." Vana mengembalikan mantel tersebut digantungan dengan kasar "Yasudah kalau tidak mau!" Lanjutnya dengan nada kesal.

Dave mengusap wajah frustasi, pria itu terpaksa mengambil mantel pilihan Vana lalu memakainya saat itu juga "Iya aku mau, jangan marah."

Dave yakin jika kedua temannya, Raka ataupun Rangga menyaksikan kelakuannya. Mungkin mereka akan berteriak "BUCIN" Tepat didepan wajahnya.

Mengenaskan!

**

Dave melirik menatap Vana, gadis itu sedang menggosokan kedua tangannya yang dibalut sapu tangan tebal. Hawa dingin dari salju berhasil menembus mobil milik Dave. Tepat setelah 6 jam lebih perjalanan akhirnya Mereka sampai di Mount Buller, destinasi wisata bersalju yang cukup terkenal di Australia. Salah satu resort yang menyediakan banyak fasilitas. Seperti ski, snowboard, snow shoe, ataupun kereta luncur yang ditarik oleh anjing siberian husky.

Tepat setelah Dave menghentikan laju mobilnya, pria itu menggandeng tangan Vana untuk turun sebelum tadinya sempat membenarkan letak topi mantel Vana terlebih dahulu.

Senyuman bahagia tak pernah sirna dari bibir mungil milik Vana, gadis itu melepas salah satu satu tangannya, merasakan sensasi dinginnya kristal putih itu untuk pertama kalinya.

Tanpa sadar, kedua sudut bibir Dave terangkat keatas. Melihat bingkaian senyum dibibir Vana sukses membuat hatinya menghangat. Sesederhana itukah bahagianya kini?

"Don't let them in, don't let them see, be the good girl you always have to be,"

Dave mengerutkan dahinya, apa gadis ini sedang bernyanyi? Suaranya terdengar seperti orang sakit perut.

"conceal, don't feel don't let them know, well now they know,"

"Um Vana-" Dave mencoba mengingat kan Vana, pasalnya hampir seluruh pandangan pengunjung disana terarah ke arahnya.

"Let it go...let it goo." Senandung Vana dengan nada tinggi "Can't hold it back anymoreee."

Ya Tuhan! Jika bukan karena cinta, mungkin Dave sudah membekap mulut Vana saat ini juga. Bagaimana tidak? Suara melengking gadis itu sukses membuat mereka menjadi pusat perhatian para pengunjung.

"Kau memiliki suara yang bagus tapi lebih baik kau simpan untuk nanti ya." Kata Dave dengan nada halus agar tak menyinggung perasaan Vana, dia tahu akhir-akhir ini Vana mudah sekali terbawa emosi.

Vana menghentikan nyanyiannya "Kenapa?" Tanyanya.

"Aku tidak ingin pita suaramu habis."

"Ouhh" Vana hanya mengangguk paham "Hey Dave lihat, aku berhasil membuat olaf, katakan halo padanya!"

Dave mengulum senyumnya melihat buntalan salju yang lebih mirip dengan pocong ketimbang olaf.

"Halo Olaf, ekhm-" Dave derbeham sesaat "Bagaimana jika kita bermain ski?" Lebih baik dia mengalihkan perhatian Vana ke hal lain.

"Apa itu?"

"Apapun itu, kau pasti suka."

**

"Aku yakin aku tidak bisa melakukannya" Kata Vana ragu.

"Aku akan mengajarimu." Balas Dave, pria itu sedang sibuk membuat tali simpul di sepatu milik Dave.

"Sudah." Kata Dave setelah selesai menalikan sepatu Vana, "Ayolah, berdiri pelan-pelan."

Vana memegang erat pundak Dave sembari mempertahankan keseimbangannya. Perlahan tapi pasti dia menggerakkan kakinya sesuai arahan Dave.

"Bagus begitu, ayolah, anak kecil saja bisa!" Kata Dave sembari menunjuk salah satu gadis kecil yang memang mahir bermain ice skiting.

Bisa gundulmu!lantai ini sangat licin. Runtuk Vana dalam hati.

"Jangann dilepasssss! Awas aja kalo berani lepas!" Pekik Vana panik ketika Dave bergerak menjauh.

"Begini," Dave bergerak menuju belakang punggungnya sambil memegangi kedua pinggang Vana "Aku akan memegangimu dari belakang, jadi jangan takut, oke?"

Vana menghembuskan napasnya sambil mengangguk mantap, udara dingin yang mendominasi membuat kepulan asap seolah keluar dari bibir dan hidungnya.

"Oke."

"Kau percaya padaku?" Kata Dave lagi.

"Tidak juga." Jawab Vana diikuti kekehan dari pria menyebalkan dibelakangnya.

Vana mulai berjalan perlahan, menetralkan pikiran dan menjaga keseimbangannya. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, berhasil ia lewati tanpa goyah. Maju tak gentar!

"Ini tidak terlalu buruk, benar kan?"

Hening! Tak ada jawaban apapun dari pria yang konon ada dibelakangnya.

"Dave?" Vana menengokan kepala mencari keberadaan Dave.

Sialan! Dimana Dave? Jika Dave menghilang maka artinya tidak ada yang memeganginya atau mengajarinya bermain sepatu roda es ini.

"Daveee," teriak Vana masih celingukan sembil berusaha tetap berjalan perlahan agar keseimbangannya tetap terjaga "Ayolah ini tidak lucu, aku tidak bisa berhenti." Rengek Vana.

Sepatu Vana bergerak semakin cepat membuatnya kesulitan untuk menghentikannya.

"Sirr awass anu minggir," teriak Vana pada pengunjung lain yang hampir saja ia tabrak "Aku ga bisa stop, minggir."

Vana kembali berpikir, ingatannya tentang bahasa Inggris sangatlah buruk, apa bahasa Inggrisnya 'minggir' ?

"Move on, move on sir!"

Mendengar kalimat Vana malah membuat pengunjung sekitar memandangnya bingung.

Bukannya harusnya mereka minggir? Batin Vana.

Vana melirik ekor matanya yang kembali menangkap bayangan sosok Dave disana.

Syukurlah!

Tapi tunggu dulu, Vana menyipitkan matanya menyadari Dave ternyata membawa sebucket bunga mawar dengan kotak kecil ditangannya.

Sontak Vana mengarahkan dirinya ke arah Dave "Dave awas aku gabisa berhenti." Vana memejamkan matanya karena takut.

Dengan tangkas Dave memasang kuda-kuda dan merentangkan tangannya untuk menghadapi tubrukan Vana. Pria itu berhasil membuat Vana berhenti tanpa terjatuh ke lantai es.

"Buka matamu!"

Vana membuka matanya perlahan, namun pemandangan yang ia lihat sukses membuatnya syok. Vana meneguk ludahnya melihat Dave menurunkan posisinya, berjongkok tepat didepannya sambil menyodorkan sekotak cincin kearahnya.

"Roses are red, Violets are blue. Well i'm not good at poetry, but i love you." Kata Dave dengan senyuman mengambang sempurna membuat tingkat ketampanannya melebihi level normal.

Mata Vana memerah menahan air mata haru dan bahagia, meskipun dia tidak mengerti apa yang diucapkan Dave tapi apapun itu, pasti sangat romantis. Terlebih respon orang-orang disekitarnya yang bersorak seolah meminta Vana untuk menerima kotak cincin itu. Apakah benar Dave memang sedang melamarnya?

Tanpa ragu Vana menganggukkan kepalanya.

Melihat hal itu Dave malah mengulum senyumnya, pria itu membuka kotak yang awalnya Vana kira cincin.

"Kok kalung?" Tanya Vana bingung.

"Kau pikir apa?" Dave malah gantian bertanya.

Runtuh sudah bayangan dan ekspetasi Vana mengenai Dave, memang sedikit sakit rasanya mengingat hidup terkadang tak seindah drama korea, padahal tadi Vana sudah membayangkan kalau Dave akan melamarnya dengan cincin.

"Makasih cincin- eh kalung nya."

"Kau tidak berpikir aku akan melamar mu dengan cincin kan? Ini hanya hadiah dariku."

"Tentu saja tidak! Lagipula jika kau melamar pun aku belum tentu akan menerimanya." Sewot Vana kesal, wajahnya berubah memerah seakan menahan amarah.

Vana menyahut kotak itu lalu melihat lebih jelas kalung berlian pemberian Dave.

"Ini indah."

"Kau tahu apa yang jauh lebih indah dari kalung ini?" Tanya Dave.

"Apa?"

"Kata pertama dari pertanyaanku."

Air mata yang sedari tadi Vana tahan runtuh seketika, entah mengapa Vana merasa senang sekaligus kesal dengan pria menyebalkan ini.

"Mengapa kau menangis?" Dave yang menyadari air mata Vana mengalir langsung mengusap pelan pipi Vana "Apa karna bahagia?"

"Tidak," Jawab Vana membuat Dave mengerutkan alisnya "Aku menangis karna kesal padamu." Lanjutnya.

Jika boleh jujur, asalan Vana menangis memang karna ekspetasinya hancur berantakan. Tapi tentu saja dia merasa gengsi untuk mengungkapkannya pada Dave. Terserah jika kalian ingin menyebut Vana sobat ambyar atau apapun itu.

Yang jelas Dave itu PLP, pemberi lamaran palsu!

Dave

Vana

T.b.c

Scroll terus guys, author double update :)

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 100K 43
END 1 #pregnant 1 #barat 1 #end 1 #complete Untuk pertama kali dalam hidupnya, Veina Collins memberanikan diri untuk membuka hati. Namun, tidak ada...
16.9M 751K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
981K 146K 49
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
837K 33.2K 50
[Complete] Apa jadinya, jika CEO sebuah perusahan yang begitu dingin, tidak pernah tersenyum,perfeksionis, bertemu dengan wanita bodoh, dan ceroboh...