Ujian Nasional

By KalaSanggurdi

8K 588 40

Ujian nasional tengah berlanjut di Indonesia pada tahun 2014. Sarah bersama teman-temannya tengah mempersiapk... More

Menteng: Rabu, 25 Desember 2013
Sawah Besar: Jumat, 24 Januari 2014
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 2
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 3
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 4
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 5
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 6
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 6 [Tambahan]
[Tambahan] Matraman: Selasa, 15 April 2014
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 2
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 2
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 3
[Tambahan] Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 3
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 4
Menteng: Selasa, 15 April 2014
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 1
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 2
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 3
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 4
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 1
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 2
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 3
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 4
Sawah Besar: Kamis, 14 April 2039

Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 4 [Tambahan]

211 15 0
By KalaSanggurdi

Diva berjalan, dan berjalan. Hingga akhirnya, ia ambruk. Kakinya terlalu sakit untuk digerakan, dan sakitnya terlalu parah untuk dirasakan. Ia kehausan dan kelaparan, dan seragamnya basah lagi karena keringat.

Seseorang di dalam mobil yang tengah berjalan melihat ambruknya Diva dan segera menepi. Ia memberhentikan mobilnya dan membuka pintu untuk melihat keadaan gadis yang ambruk itu. Dengan gawainya, ia menyalakan lampu kilat dan mendapatkan seorang siswi SMA dengan seragam bersimba darah. Ia tak tega. Ia membuka pintu belakang mobilnya lebar-lebar dan mengangkat gadis itu untuk membawanya masuk ke dalam.

Dengan kesadarannya yang tersisa, Diva menyadari ia sedang diangkat. Oleh seorang wanita, sepertinya, ketika ia merasakan dada orang tersebut. Ia berusaha melawan, tetapi ia tak punya tenaga lagi. Ia berusaha berteriak, tetapi tenggorokannya terlalu perih untuk mengeluarkan suara. Wanita yang mengangkatnya menyadari, dan menjelaskan, "Tenang, dek. Tenang."

Setelah Diva berhasil diangkat ke dalam mobil, ia merasakan empuknya tempat duduk mobil tersebut. Sejenak, ia dapat merasakan kelembutan, dan ia menenang. "Kenapa kamu sendiri?" ia dengar. "Mau ke mana kamu?" dengarnya lagi.

"Apartemen Tamansari," bisik Diva. Yang keluar dari mulutnya hanya angin, dan wanita itu tak dapat mendengar kata-kata yang keluar. Wanita itu menebak, dan Diva mengangguk.

"Saya akan mengantarmu ke sana," wanita itu berusaha membantu. Diva hendak bertanya banyak hal, tetapi fisiknya tak mengizinkan. "Kamu haus?", dengar Diva. Diva mengangguk. Ia didudukkan oleh wanita itu, dan wanita itu mengambil botol air dan membantunya minum. Diva yang tak pernah benar-benar meminum air kini meminumnya layak anggur merah yang rajin ia teguk ketika bermalam dengan Arli.

Kesadaran Diva kembali, dan matanya samar melihat sosok wanita yang tengah membantunya. Wanita itu sepertinya pegawai kantoran—mungkin manager atau direktur, dengan parasnya yang begitu rapi. "Saya Mawar. Saya kerja dekat sini," dengar Diva lagi. "Kamu yakin mau ke sana? Lebih baik saya antarkan kamu ke rumah sakit terdekat. Atau ke rumah saya," dengarnya lagi. Diva menggeleng lemah, tak mau. "Orangtuamu di sana?" dengarnya lagi. Diva membentuk "Kakak" dengan mulutnya yang tak dapat mengeluarkan suara. Wanita bernama Mawar itu mengangguk.

Perlahan, Diva berusaha berbaring. Mawar menyadari, dan mengambil bantal di barisan duduk paling belakang. Ia menaruh bantal kecil di antara kepala Diva dan kursi mobil. Ia menutup pintu belakang mobilnya, dan kembali ke pintu pengemudi. Ia menyalakan mobilnya kembali, dan lampu mobil kembali menerangi lingkungan sekitar.

Mobil itu melaju lambat dan hati-hati. Mawar tahu di mana Apartemen Tamansari itu, dan berusaha mengajak siswi SMA itu berbicara. Ia menanyakan banyak hal: sekolah di mana, tinggal sama siapa saja, ada kenalan siapa saja. Ia berusaha untuk tidak menanyakan apa yang telah terjadi, karena takut mengembalikan trauma siswi tersebut. Ia tak mendapat jawaban dari siswi itu, karena siswi itu terlalu lemah untuk menjawab dengan suara. Mungkin ia sudah tertidur, pikirnya, ketika melirik lewat cermin.

Mawar yakin bahwa siswi itu tak boleh kehilangan kesadaran. Tidak sekarang, ketika ia belum dapat membantunya. Akhirnya ia bercerita tentang dirinya.

"Saya baru dari kantor. Tadi kantor sedang gempar-gemparnya. Tahu lah, kenapa. Ada banyak hal yang perlu saya urus. Kamu tadi bilang kamu tinggal dengan kakak ya? Yah, saya sih tinggal sendiri. Karena kerjaan. Di Jakarta Timur."

Mawar kembali melirik ke cermin. Karena terlalu gelap, ia menyalakan lampu. Ia dapat melihat gadis itu agak terganggu dengan cahaya yang tiba-tiba muncul, dan bersyukur gadis itu masih punya kesadaran. Ia hendak lanjut bercerita, minimal agar gadis itu bisa tetap sadar dengan mendengar. Hanya saja, ia terbata-bata, tak terlalu tahu mau berbicara tentang apa.

"Saya... sebenarnya saya juga tidak menyangka ini semua terjadi. Tapi semua telah terjadi. Besok saya takkan kembali ke kantor pastinya. Lebih baik menunggu hingga suasana kembali seperti semula. Kamu sendiri bagaimana, dik? Ah... tak perlu menjawab. Kamu istirahat saja. Saya temani kamu sembari jalan.

"Saya juga punya anak gadis. Masih lebih muda dari kamu. Dia tinggal sama suami saya di Bogor. Lucu anaknya, cantik sepertimu. Awalnya saya mau pulang ke Bogor, tapi kamu jelas butuh pertolongan. Tidak apa, dek, saya sudah menghubungi mereka tadi. Mereka tidak apa. Sepertinya serangan udaranya tak sampai ke Bogor.

"Saya..." Mawar memantau jalan, menemukan jalannya terhalang oleh reruntuhan gedung. Ia tak dapat melihat seluruhnya di kegelapan, tapi Apartemen Tamansari tak terlihat berdiri di tempat semestinya.

Mawar melambatkan mobilnya hingga berhenti di depan puing-puing. Ia yakin bahwa puing-puing ini dulunya adalah apartemen tempat gadis itu tinggal. Ia tak kuasa mengatakan apa yang terjadi, dan ia tak kuasa juga menjelajahi puing-puing itu dengan matanya. Ia takut melihat mayat siapa pun, yang mungkin salah satunya adalah mayat kakak dari gadis itu.

"Dek, untuk saat ini, saya antar kamu ke rumah saya saja di Jakarta Timur. Kamu perlu dirawat dulu. Tidak apa ya?"

Diva hendak bertanya, tetapi ia tak kuasa berbicara. Ia tak bisa mengelak ketika Mawar memundurkan mobilnya dan memutar balik. Diva hanya menerima kata-kata Mawar, "Jalan ke apartemenmu terhalang, dek. Saya tak tahu bisa masuk dari mana."

Mobil melaju lebih cepat dari sebelumnya. Tetapi, Mawar tidak dapat membawa mobil itu secepat ia biasa membawanya karena kegelapan yang hampir mutlak. Jalannya hanya diterangi cahaya lampu sorot mobilnya dan bulan serta bintang. Mawar juga melihat ke semua penjuru, jaga-jaga ada perusuh yang akan menghentikan mobilnya. Hatinya tetap tak tenang meskipun tak melihat sekelompok perusuh di jalanan, karena ia juga kadang melihat beberapa mayat bergelimpangan begitu saja, atau bersama orang-orang terdekat mereka. Mawar juga menghindari titik macet serta jalan tol, sambil kemudian menyetel radio untuk memantau keadaan Jakarta.

Dari radio mobil, Mawar hanya mendengar desis-desis dari berbagai kanal Jakarta. Ia berusaha mengganti kanal berkali-kali, berharap ada satu kanal yang dapat memberikan suatu informasi. Akhirnya ia menemukal satu kanal yang sepertinya kanal nasional. Suasana mobil kini ramai dengan orang radio berbicara, tidak lagi dengan monolog Mawar.

Mawar tidak dapat tenang mendengar radio dengan saksama, tetapi ia dapat mendengar "Madiun" dan "mobilisasi Angkatan Udara". Ia mendapati informasi seperti bahwa serangan udara di Jakarta direncanakan berbulan-bulan yang lalu, dimulai dari sabotase Satuan Radar 211 di Tanjung Kait, Tangerang—yang dulunya diduga hanya kebakaran besar karena arus pendek listrik entah di gedung atau rumah warga mana. Ia juga mendengar kalimat-kalimat yang kurang ia mengerti, seperti bahasan Malaysia melanggar Den Haag dengan menarget PLN dan PAM, sabotase bendungan di Purwarkarta oleh orang dalam Malaysia, perdebatan antar Inggris dan Amerika Serikat mengenai serangan Malaysia, serta kecurigaan terhadap Singapura yang membiarkan tentara Malaysia mobilisasi ke Batam. Percakapan panjang yang cepat dan terlalu banyak kata-kata rumit, tetapi Mawar berusaha mendengar mengenai Jakarta. Yang ia tahu adalah bahwa listrik dan air di rumahnya pasti mati, dan ia harus mencari cara agar dapat bertahan hidup tanpa dua komoditas penting itu.

Kemudian Mawar mendengar pembicaraan di radio yang membuatnya tercengang. Presiden Indonesia dinyatakan gugur ketika sedang berpidato di Lapangan Banteng. Pembicaraannya membahas bahwa demikianlah tujuan serangan udara Malaysia ke Jakarta, dan bahwa kini telah ditetapkan Indonesia dalam keadaan darurat militer. Wakil Presiden kini mengambil alih pemerintahan, dan Jakarta akan digerayangi pasukan tentara sebagai respon darurat militer. Hal ini mengartikan bahwa ia tidak dapat pulang ke Jakarta Timur, dan harus segera menemui keluarganya di Bogor. Ia kembali melirik ke cermin mobil, memerhatikan gadis yang baru ia selamatkan. Sepertinya ia juga mendengar berita radio.

Suara Diva kini telah kembali sebagian, dan ia dapat berbisik, "Mbak, mbak ke Bogor saja."

Mawar terdiam sejenak, "Kamu juga dengar, ya?"

"Iya," Diva berbisik lemah dan berusaha duduk.

Mawar memalingkan pandangan dari cermin ke jalan. Ia terdiam bingung. Di satu sisi, ia tidak dapat melupakan gadis yang baru ia selamatkan. Mawar berkata, "Kamu ikut saya saja."

"Tidak perlu, mbak."

"Kamu masih ada kerabat yang bisa menampungmu?"

"Masih."

"Di mana?"

"Matraman."

"Wah, dekat dengan rumah saya. Baiklah, saya bawa kamu ke sana saja ya. Kamu tahu jalannya?"

"Tahu."

"Oke. Tunjukkan jalan ya. Minum lagi. Habiskan airnya. Tidak apa-apa."

Diva mengambil botol air dan meneguknya hingga habis, "Saya ada kudapan di depan. Kamu pasti lapar. Makanlah, untuk ganjal perut," ujar Mawar sambil mengambil dan memberi Diva serauk wafer cokelat. Diva langsung membuka satu bungkus dan memakannya lahap-lahap. Satu per satu habis dalam waktu singkat.

Diva dibawa oleh Mawar hingga ke Matraman, dan kemudian menunjukkan jalan menuju kediaman saudaranya. Tetapi kemudian dari kejauhan, mereka berdua dapat melihat terang bara api. Ketika mereka sampai di suatu jalan, Diva melirik ke jendela dan terdiam.

"Kenapa?"

"Di dekat sini."

Mawar tak mengerti. Ia kembali mendengarkan arahan Diva, hingga akhirnya mereka tiba di tengah bara api. Tak terlihat ada orang yang berusaha memadamkan api, karena api menjalar ke seluruh penjuru. Mawar ragu, kemudian memberhentikan mobilnya.

"Itu," ujar Diva dengan suara gemetar. Ia menunjuk ke suatu kediaman yang cukup luas, atau setidaknya bekas dari kediaman tersebut. Hanya api dan rata tanah yang terlihat oleh Mawar, dan ia langsung mengerti apa yang terjadi. Diva meringis, kemudian terisak. Lama kelamaan, ia terdengar jelas menahan tangis yang tak dapat ia bendung.

Mawar menaruh kedua tangannya di atas kursi mobilnya. Ia berpikir. Gadis ini tinggal di apartemen yang rata dengan tanah, dan mungkin telah kehilangan kakaknya. Ia tak tahu mengenai orangtua gadis ini, dan entah di mana mereka—mungkin sudah meninggal, mungkin di tempat jauh. Kini, ia mendapati kerabat gadis ini sudah tak berumah, dan mungkin sudah tak bernyawa pula. Ia juga memikirkan keluarganya, yang baru ia telepon tadi sore, yang menuntutnya untuk kembali ke Bogor. Isak tangis gadis ini terlalu menusuk telinganya, dan membuatnya gemetaran.

"Kamu..." Mawar berhenti berbicara. Ia hendak bertanya mengenai kerabat lain dari gadis ini, tetapi ia tak kuasa. Ia lama diam, dan hening itu diisi tangisan lemah Diva yang tertahan.

"Tidak apa, mbak. Turunkan saja saya di sini," Diva berusaha tersenyum. Mawar melirik ke cermin, dan napasnya mulai tak teratur.

"Dek, ke rumah saya tak apa?" tanya Mawar. Diva tak menjawab. Mawar melanjutkan, "Dekat dari sini kok. Kamu jangan turun di sini. Kamu terlalu lemah. Kalau kamu kenapa-kenapa, saya akan merasa bersalah."

Entah kenapa, Mawar tak memikirkan mengenai darurat militer yang ia dengar di radio tadi. Ia tak memikirkan pasukan tentara yang akan memenuhi jalan dan menahannya pergi ke Bogor esok hari. Yang ia pikirkan hanya gadis itu, bahwa ia harus menolong insan Tuhan yang malang ini. Ia berusaha tersenyum, "Oke? Kita jalan ya."

Diva tak menjawab. Ia hendak menolak, tetapi ia tak tahu lagi apakah ia benar ingin menolak. Ia tak tahu harus pergi ke mana, dan ia tak tahu apakah bertemu dengan wanita paruh baya bernama Mawar ini merupakan keberuntungan atau takdir. Ia hanya diam, menahan tangis karena malu.

Mobil melaju lambat, meninggalkan lautan api menuju Jalan Pramuka. Lautan api itu begitu terlokalisasi. Betapa sialnya gadis yang diselamatkannya, pikir Mawar, betapa beruntungnya lautan api itu tidak berada di kediamanku.

Mobil berhenti di depan rumah. Gelap gulita. Mawar turun, membuka gerbang, dan memasukkan mobil ke garasi. Ia kemudian membantu Diva yang turun tertatih-tatih. Menggunakan lampu kilat gawainya, ia mengantar Diva ke dalam rumah mewahnya dan mendudukkannya di sofa ruang tamu. Ia menyuruh Diva untuk menunggu selagi ia mengambil beberapa lilin untuk menerangi seisi rumah.

Setelah titik-titik cahaya redup mengisi rumah itu, Diva diberikan pakaian ganti oleh Mawar. Mawar agak sewot ketika mengetahui tidak ada air yang mengalir di mana pun, dan akhirnya memberikan Diva beberapa botol air dari kulkas yang sudah tak dingin. Ia instruksikan Diva untuk membersihkan dirinya dengan air yang ada, sambil memberikan alat mandi dan handuk.

Mawar bersyukur kompor gasnya bisa dipakai, kemudian menghalangi Diva untuk menghabiskan air yang baru saja ia berikan. Ia ambil botol-botol itu dan ia tuangkan ke dalam panci untuk dihangatkan. Sebagai ganti, Diva diberikan susu yang tak lagi dingin dari kulkasnya beserta gelas kaca.

Setelah air masak, Mawar mengambil bak kecil beserta handuk. Ia membawa semua itu ke ruang tamu, dan menginstruksikan Diva untuk membuka semua bajunya. Ia dapat melihat noda darah di sofanya, dan ia tak peduli. Kemudian, ia memandikan Diva dengan melap seluruh badannya menggunakan handuk hangat.

Diva meringis perih ketika luka-lukanya bertemu handuk panas dan sabun, tetapi ia tak mengeluh. Dalam hening itu, Mawar mengajaknya mengobrol.

"Jadi, siapa namamu, dek?"

"Diva."

"Oh, Diva. Sekolah di mana kamu?"

"Di Pasar Baru," Diva sengaja tak menyebut nama sekolahnya. Tak penting, pikirnya.

"Baru pulang UN? Kok sore sekali?"

"Habis... habis belajar buat UN besok."

"UN tidak dibatalkan?"

"Saya nggak tau."

"Harusnya dibatalkan 'kan?"

"Harusnya."

"Kenapa masih belajar sampai sore?"

"Karena..."

"Tidak apa, kalau tidak mau menjawab."

"Iya, mbak."

"Kamu tinggal dengan kakakmu?"

"Iya."

"Orangtuamu?"

"Di Medan."

Mawar tak mau melanjutkan percakapan ke arah sana, takut memancing tangis dari Diva. Mawar juga tahu keadaan Medan.

"Oh. Kamu ada hape?"

"Ada, tapi... saya nggak tau masih bisa nyala atau nggak."

"Saya ada power bank. Saya cas-kan ya nanti."

"Makasih, mbak."

"Tante saja, tidak apa. Saya tidak semuda itu kok."

"Mbak masih kelihatan awet muda kok. Cantik."

Mawar terkekeh sedikit, "Terima kasih. Kamu juga sangat cantik."

Setelah selesai membersihkan badan Diva, Mawar berujar, "Saya ambilkan power bank ya. Kamu harus menghubungi keluargamu. Kabari mereka kamu tidak apa-apa. Saya masak apa yang ada. Istirahatlah sekarang."

"Mbak."

"Ya?"

"Keluarga Mbak gimana?"

"Tidak apa, Diva. Mereka akan mengerti. Saya bisa bertemu mereka besok. Kamu ikut saja. Main sama anak saya."

Diva mengangguk kecil; "Saya masak ya," Mawar tersenyum. Diva kemudian memakai pakaian yang diberi Mawar. Sepertinya pakaian anaknya, pikir Diva ketika merasa pakaian tersebut agak kekecilan. Ia tak mau protes.

Setelah Mawar selesai memasak, ia menyuguhkan nasi goreng telur kepada Diva, beserta peranti pengisi baterai. Setelah menyambungkan gawainya dengan peranti tersebut, Diva makan dengan lahap bersama Mawar.

"Sepertinya hape kamu masih bisa menyala. Satu lagi hape kamu juga? Saya ada kabel satu lagi kok."

"Ini hape temen saya. Ketinggalan."

"Oh. Sekalian saja dicas."

"Boleh, mbak."

Diva menyalakan gawainya seusai makan, dan gawainya dihujani panggilan tak terjawab dari nomor ibunya. Puluhan jumlahnya, hampir ratusan. Diva tertegun. Tak selang beberapa detik, gawainya berdering. Panggilan dari ibunya. Diva segera mengangkat.

"Mama?"

"Diva? Diva! Kau gimana, sayang?! Kau tak apa?"

"Baik Ma."

"Puji Tuhan! Kau di mana sekarang? Mana angkang⁶?"

"Angkang..."

"Mana angkang?"

"Aku kepisah sama angkang, Ma. Aku nggak tau angkang di mana."

"Ya Tuhan... kau tak kenapa-kenapa kan? Sekarang kau di mana? Di rumah tulang⁷ kau?"

"Nggak, Ma... aku di rumah temen."

"Kok di rumah teman kau? Kenapa tak ke tulang saja?!"

"Tulang... tulang nggak selamat, Ma."

"Hah?! Apa?!"

"Tulang nggak selamat..."

"Tuhan Yesus... Tuhan Yesus! Amangamanghu⁸! Bagas, mang, Bagas! Dia mati! Dia mati! Tuhan Yesus! Tuhan...! Tuhan..."

"Papa di sana, Ma?"

"Iya, sayang?"

"Papa di sana?"

"Iya. Mau kau bicara sama papa?"

"Mau, Ma. Mau. Mau sekali."

"Ya sudah. Mama kasih ke Papa, ya."

"Pa?"

"Sayang?"

"Pa."

"Iya, sayang."

"Papa."

"Iya?"

"Diva kangen Papa."

"Iya, sayang. Papa juga."

"Diva kangen Papa!"

"Iya, sayang."

"Papa ke mana aja? Kenapa Papa nggak pernah ngubungin Diva?! Papa ke mana?! Kenapa baru sekarang?!"

"Papa minta maaf, sayang. Papa minta maaf."

"Diva kangen Papa. Diva kangen Papa!"

"Papa juga kangen Diva, sayang."

"Papa!"

"Sudah, sayang. Cup, cup, cup. Papa di sini, sayang."

"Papa jangan pergi lagi!"

"Iya, sayang. Papa di sini."

"Papa jangan pergi lagi."

"Iya."

"Papa jangan pergi lagi."

"Iya, sayang. Papa sama Mama."

"Pa."

"Kamu yang baik di Jakarta. Nanti Papa sama Mama ke sana."

"Pa."

"Papa cari cara buat jenguk kamu. Sekarang Papa sama Mama nggak bisa ke mana-mana. Banyak tentara."

"Pa."

"Diva, banyak berdoa ya. Doalah ke Tuhan. Doakan tulang-mu. Doalah biar kita bisa bertemu lagi."

"Pa."

"Diva yang baik di Jakarta ya, sayang."

"Pa."

"Papa sama Mama udah baikan, sayang. Kita nggak akan pisah lagi. Kita nanti ketemu di Jakarta. Kamu yang baik di sana."

"Pa."

"Cari angkang­-mu. Kita nanti kumpul sama-sama lagi."

"Pa."

"Papa sayang Diva."

Suara tanda pulsa habis terdengar beberapa saat yang lalu, dan panggilan itu terputus.

"Pa? Pa. Pa! Papa! Jangan tinggalin Diva sendiri, Pa. Jangan tinggalin Diva! Diva takut! Diva kangen! Pa? Pa!" Tangis Diva meledak. Dan hanya tangisnya yang kini terdengar.

Setelah puas menangis, Diva menoleh ke Mawar. Mawar ternyata menangis juga, dan mendengar percakapannya sedari tadi. Diva merasa malu dan bersalah. Ia berusaha menghentikan tangisnya, tetapi isaknya tak tertahankan.

Mawar merogoh tas kecil yang ia taruh di atas meja ruang tamu. Di dalamnya terdapat rokok mentol persis seperti kesukaan Diva. Ia keluarkan bungkus rokok itu dan ia taruh di atas meja, lalu ia ambil satu. Dari sakunya, ia mengeluarkan korek api yang tadi ia gunakan untuk menyalakan lilin. Ia nyalakan api dan rokok itu. Setelah hembusan pertama, Mawar terdiam.

"Saya biasanya tidak merokok kalau dengan keluarga. Hanya pada saat-saat seperti ini saja. Maafkan saya kalau kamu tak senang asap rokok."

Diva terdiam. Ia lalu mengambil satu linting rokok itu dari bungkusnya, dan menyodorkan tangannya ke Mawar, meminta korek. Mawar tersenyum, dan memberikan korek api itu. Diva menyalakan rokoknya.

"Maafin saya juga, masih SMA udah merokok."

Mawar tertawa, "Saya juga kok. Saya lebih senang pakai korek api kayu. Lebih khas rasanya."

"Saya nggak bisa ngebedain rasanya, mbak," Keduanya terkekeh.

"Sayang, saya tidak seberani kamu. Saya pernah mau punya tato juga, tapi orangtua saya melarang."

"Orangtua saya nggak tau saya punya tato."

Mawar terkekeh, "Dasar. Nakal kamu, ya."

"Mbak Mawar."

"Ya?"

"Kenapa Mbak nolong saya?"

"Kenapa?"

"Iya, kenapa."

"Yah, kenapa ya. Saya juga tak mengerti kenapa awalnya."

"Awalnya?"

"Iya, awalnya. Sekarang saya mengerti."

"Mengerti apa, Mbak?"

"Kamu mirip saya waktu muda."

"Ah, masa?"

"Iya. Sama-sama bandel," Diva tersenyum mendengarnya.

"Saya bandel banget sih, Mbak."

"Sama... sama-sama sayang papa ketimbang mama."

Diva berhenti tersenyum, "Mbak... orangtuanya... juga..."

"Oh, tidak. Tidak separah kamu. Sering berantem, tapi tidak pernah pisah. Justru saya heran kenapa tidak pisah saja."

"Oh."

"Untung sama suami saya, saya jarang berantem."

"Saya..."

"Kenapa?"

"Pacaran sama guru."

"Hah! Serius? Pasti seru ya."

"Iya, seru, Mbak. Sembunyi-sembunyi. Backstreet istilahnya."

"Lucu ya, kamu bisa sama guru kamu. Coba saya dulu bisa. Ada tuh, dulu. Guru geografi saya ganteng sekali."

"Yang 'ini' memangnya nggak ganteng, Mbak?"

"Oh, jelas ganteng. Kalau nggak ganteng nggak saya nikahi."

Keduanya terkekeh. Mereka seru mengobrol dalam gelap, hingga bungkus rokok itu habis. Mawar bercerita tentang masa mudanya, sedangkan Diva bercerita tentang dirinya sendiri dan kenakalan-kenakalan yang ia lakukan.

"Mbak Mawar."

"Kenapa lagi, Diva?"

"Terima kasih ya."

Mawar tersenyum memandangi Diva agak lama. Ia memerhatikan Diva dalam-dalam. Ia kemudian memadamkan rokoknya yang sudah habis.

"Sama-sama, Diva. Yuk, kita tidur. Besok kita ke Bogor."

"Mbak."

"Kenapa lagi, Diva?"

"Saya ke tempat pacar saya saja."

"Oh, serius? Memangnya di mana?"

"Dekat sekolah saya kok."

"Tidak apa nih?"

"Tidak apa. Kalau besok banyak tentara, saya jalan saja."

"Nanti kalau ditanya-tanya bagaimana? Saya antarkan saja deh."

"Tidak apa, Mbak. Mbak ke keluarga Mbak aja. Nanti saya merepotkan Mbak."

"Tidak apa, Diva."

"Tidak, Mbak. Saya ke pacar saya aja. Biar dia yang repot, bukan Mbak. Hehehe."

"Ah, dasar! Baiklah. Sekarang tidur saja. Besok pagi-pagi sekali kamu ke sana. Siapa tahu tentaranya belum ramai pagi-pagi."

"Iya, Mbak."

[]

⁶ Angkang = kakak

⁷ Tulang = paman

⁸ Amangamanghu = suami saya

Continue Reading

You'll Also Like

3.6M 635 4
(cerita di hapus, dalam proses penerbitan) Isabella, gadis 18 tahun, bukan gadis pendiam tapi hanya bicara seperlunya. Tapi jalan hidupnya menuntut...
STRANGER By yanjah

General Fiction

247K 28.1K 34
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...