Hari ini aku meninggalkan kantor dua jam lebih awal dari jam pulang. Dikarenakan aku akan rapat dengan Daniel Rajendra untuk mendiskusikan kembali tentang anniversary pernikahan orang tua pria itu. Kebetulan hari ini Dewa sedang ada perjalanan bisnis ke Bogor, sehingga aku menemui Daniel sendiri.
“Sori, telat,” ringisku. “Ka Jendra tau, kan, Jakarta dan kemacetan udah kaya soulmate? Susah bener dipisahin. Gila ... di bundaran HI mobilku nggak gerak sama sekali,” keluhku seraya duduk di depan Daniel.
Daniel mengangguk mengerti seraya terbahak. “It’s okay. Aku juga baru nyampe, kok,” ujarnya menenangkan.
Kemudian pria itu mengangkat tangan bermaksud memanggil pelayan. Seorang pelayan berseragam hitam putih menghampiri kami. “Mau pesan apa, Mas, Mbak?” tanyanya sopan.
Aku membuka buku menu dan mulai menyisirnya dengan netraku. “Saya pesen roti bakar keju sama es krim green tea, ya, Mas,” ujarku seraya tersenyum.
“Kalo saya roti bakar nanas sama es krim green tea, Mas,” sahut Daniel.
Si mas pelayan mengangguk mengerti, kemudian menulis pesanan kami dengan telaten. Setelah itu ia segera pergi ke dapur untuk menyiapkan pesanan kami.
“Ah, Ka Jendra nggak seru. Harusnya pesen es krim rasa beda dong! Biar nanti aku bisa nyicip,” candaku.
Daniel terkekeh seraya mengusap kepalaku lembut. “Masih jadi maniak es krim ternyata, tapi aku suka sekarang kamu udah berubah. Nggak pendiem kaya dulu,” ujarnya seraya tersenyum manis.
Aku membalas senyuman Daniel, lalu mengangguk setuju. Harus kuakui kalau aku yang sekarang memang sudah banyak berubah. Ke arah yang lebih baik tentunya. Aku yang dulu hanyalah remaja ingusan cupu, buluk, pendiam, kurus, dan pemalu yang selalu menunduk saat berjalan. Dulu, aku selalu mencemaskan banyak hal. Bahkan, menatap lawan bicara saja aku gentar dan tubuhku akan langsung gemetaran.
Namun, sekarang aku sudah jadi wanita dewasa pemberani yang selalu berpikiran: sama-sama makan nasi, kok, takut? Kecuali dia makan besi tanpa cedera gigi. Walau kadang aku masih saja over thinking dan krisis kepercayaan diri. Seperti saat mengingat ucapan Arjuna Pradipto contohnya.
Aku menggeleng pelan untuk mengusir semua bayangan menyesakkan itu lagi. Jangan buang waktumu untuk mengingat ucapan si bajingan itu, Pitaloka! Kamu tidak menjijikan!
Saat aku mulai berdiskusi dengan Daniel, pesanan kami disajikan. Alhasil kami berdikusi santai sembari memakan roti bakar dan es krim masing-masing. Terkadang aku usil mencomot roti bakar nanas Daniel, membuat pria itu hanya geleng-geleng kepala seraya terkekeh pelan.
“Fix, ya, nih, Ka. Buat makanan Manado-nya tinutuan, ikan woku, sama gohu?” tanyaku yang langsung dijawab Daniel dengan anggukkan mantap.
“Kalo khas Jogja-nya gudeg, krecek, sama yangko?”
“Yangko bisa diganti cenil nggak? Soalnya mama suka banget sama cenil,” jelas Daniel.
“Bisa, Ka,” jawabku mantap. “Buat tumpengnya fix nasi kuning, ‘kan?” tanyaku yang langsung direspons Daniel dengan anggukkan mengiakan. Sip, makanan beres tinggal dekorasi.
“By the way, Ka Jendra mau dekorasi kaya gimana?”
Daniel terkekeh. “Aku payah soal dekorasi. Dari kemarin aku mikir soal dekor dan yang muncul di kepalaku cuma warna merah putih.”
Aku terbahak. “Wajar, sih, Ka Jendra mikir gitu. Kakak, kan, cinta banget sama Ibu Pertiwi,” candaku. “Red and white sounds good, sih, tapi gimana kalo putihnya diganti gold? Nggak, bukannya dekor merah putih itu jelek tapi takutnya—“
“Nanti dikira acara tujuh belasan?” potong Daniel seraya terkekeh.
Aku meringis. “Ya, gitu, deh. Tapi kalo Ka Jendra mau red and white nggak papa, sih. Aku cuma ngasih masukan,” lanjutku.
Daniel mengangguk mengerti. “Oke, kita pakai red and gold kayaknya itu lebih elegan. Mama pasti suka walau ayah bakal bodo amat,” kekeh pria itu.
Aku mengembuskan napas lega. Akhirnya semuanya sudah fix. Sumpah, aku sudah nggak sabar ketemu tambahan bonusku minggu depan.
Setelah rapat aku dan Daniel tidak langsung pulang, tapi memilih ngobrol dulu tentang banyak hal. Mulai dari kenangan-kenangan masa SMP kami, sampai kami mengobrol tentang kucing Daniel yang saat ini sudah punya anak lima karena dibuntingin oleh Samuel si kocheng oren barbar milik tetangganya.
“Sumpah aku kesel banget sama Samuel. Kalo tau si Samuel ternyata kucing mesum nggak bakal aku kenalin sama Luzi. Luziku jadi ternodai!” sungutnya.
Aku terbahak. “Tapi anaknya lucu-lucu, ‘kan?”
“Lucu, sih, yang tiga putih bersih mirip Luzi. Yang dua mirip bapaknya,” jelas Daniel yang membuatku mengangguk-angguk mengerti.
“Hoi, bro! Liat, deh, cewek yang baru masuk,” ujar seorang pria yang duduk di meja sebelah.
“Cakep, sih, tapi sayang make up-nya tebel bener!”
“Ck, ck, padahal kita para cowok suka yang natural, ya!”
Preeet!
“Ho-oh. Buat apa cantik kalo hasil make up!”
“Gue berani taruhan. Itu, cewek aslinya jelek.”
Mendengar obrolan segerombolan pria yang ada di samping mejaku—aku lebih suka menyebut mereka banci—aku memutar bola mata malas. Yaelah jadi cowok, kok, nyinyir amat, sih! Nggak make up dan keliatan buluk salah. Make up biar cantik salah, maunya gimana paijoooo?!
“Ka, boleh nggak, sih, aku nampol bibir para banci di sebelah pake stilleto?” tanyaku sebal.
Daniel terkekeh mendengar ucapanku. “Boleh banget. Omongan mereka emang udah keterlaluan, sih, tapi kamu siap viral nggak?”
Mendengar kata viral aku jadi merinding sendiri. Alhasil aku mengurungkan niatku walau aku ingin sekali memukul para banci di sebelah dengan sepatu. Kan, nggak lucu kalau besok ada video viral di Mak Lambe dengan judul ‘Mbak-mbak ngamuk di kedai es krim tanpa sebab, diduga kurang belaian. Mau link? Dm aja. Kita punya info lengkap esek-esek terlarang dodol garut. Penasaran kan cyinnnn. Siape seh sesembaknya?’ hih ngeri!
“Amit-amit!” seruku merinding. “Tapi sumpah, Ka. Kadang aku jadi cewek, itu, bingung. Para makhluk berkromosom XY itu maunya gimana? Nggak make up dibilang buluk nggak bisa merawat diri. Giliran make up dibilang nggak natural nggak mensyukuri pemberian Tuhan. Padahal kalo kita kinclong, cantik, glowing, mereka demen juga ngeliatinnya.”
“Lagian, hey fucking boy! Gue make up bukan buat lo, tapi buat diri gue sendiri!” seruku berapi-api sembari melirik sinis ke arah meja sebelah. “Kalo menurut Ka Jendra cewek yang pake make up gimana?”
“Cantik,” jawab Daniel. “Menurutku, cewek yang mempercatik diri dengan make up itu wajar dan sah-sah aja. Ya, apa masalahnya jadi cantik? Kalo mereka cantik, toh, aku juga suka ngeliatinnya. Hell yeah girls, kita cowok normal jelas suka yang cantik-cantik. Jadi, jangan memandang kita—para cowok normal—dengan pandangan menghakimi hanya karena kita suka ngeliat cewek-cewek bening.”
Aku mengangguk mengerti. “Jujur, aku juga suka, kok, cowok-cowok ganteng. Bukan, bukan karena hanya memandang fisik. But i think ... nggak ada yang jatuh cinta pada kepribadian seseorang pada pandangan pertama, ‘kan? Jadi, kalo pertama liat fisik itu wajar dan kalo ada cewek yang dandan blablabla biar keliatan cantik itu wajar, begitu pun dengan pria.”
Daniel menangguk-angguk setuju, lalu kami menghabiskan es krim dan roti bakar masing-masing sebelum akhirnya pulang.
****
Sekarang aku sudah ada di rumah dan tengah berdiskusi dengan Danang lewat video call. “Nang, cenil kan, ada bahan yang dari kelapa. Kalo kelamaan bisa cepet basi, jadi tolong nanti disiasati biar tetep fresh, ya!”
“ .... “
“Ho-oh. Nasi tumpengnya pake nasi kuning. Dekorasinya red and gold mirip-miriplah sama acara pak Subrata bulan lalu.” Aku mengangguk-angguk. “Udah fix, kok, ini nggak bakal dirubah-rubah lagi. Bisa, ya? Oke, kalo ada apa-apa langsung hubungi saya atau hubungin pak Dewa juga nggak papa.”
“ .... ”
Aku terbahak. “Yang semangat kerjanya! Inget kalo ini berhasil kalian ada bonus liburan gratis dari pak Dewa. Bye, selamat malam juga!”
Panggilan video call berakhir. Aku meregangkan tubuh yang pegal karena duduk terlalu lama. Kemudian aku melirik jam dinding di atasku. Pukul 23:21 WIB, pantas saja aku sudah ngantuk berat.
Saat aku hendak menarik selimut dan segera tidur, tiba-tiba ponselku berdering. Sederet angka tak dikenal yang terpampang di layar gawai membuatku mengerutkan kening. Aku menggigit bibir, ragu untuk menjawab telepon tersebut. Namun, akhirnya aku memutuskan untuk mengangkatnya.
“Moshi moshi, Pitaloka-chan?”
***