Takdir(Sudah Terbit)

By AnnaNoerhasanah

2K 133 12

Kisah perjuangan seorang gadis melewati lika-liku hidupnya yang keras. Berbagai macam cobaan menerpa hidupnya... More

Bab 1. Terpuruk
Bab 2. Membenci Tuhan
Bab. 3. Merantau
Bab. 4. Cobaan Hidup
Bab. 5. Gundah Gulana
Bab. 6. Resah
Bab. 7. Mencapai Kesuksesan
Bab. 8
Bab. 9 Bertemu Calon Mertua
Bab. 10 Putus Harapan
Bab. 11 Terpuruk Kedua kalinya

Bab. 12 Bimbang

142 15 0
By AnnaNoerhasanah

Aku gelisah menunggu kabar Mas Evin. Di dalam ruang UGD dia sedang ditangani. Oh, Allah … selamatkanlah Mas Evin. Jangan Kau ambil nyawanya secepat ini. Dia masih sangat muda.

“Citya! Bagaimana keadaan Evin?” tanya mama yang baru tiba.

Aku langsung menghambur memeluk mama. “Nggak tahu, Ma. Masih ditangani dokter di dalam.” Aku menahan isak.

Mama mengusap pundakku. “Sudah jangan nangis. Lebih baik kita berdoa, semoga Evin baik-baik saja,” ucap mama menenangkanku.

Entahlah, hatiku sangat sakit. Kenapa ujian datang bertubi-tubi? Masalah yang satu belum selesai, datang lagi masalah lain.

“Maafkan aku Mas. Aku selalu saja merepotkanmu. Harusnya aku yang berada di posisi ini. Kenapa kamu harus melindungiku?” Aku bergumam sendiri.

“Semua salah Citya, Ma. Kalau bukan karena melindungi Citya, Mas Evin nggak mungkin berada di dalam sana.” Aku kembali memeluk mama.

“Semua ini takdir, Nak. Jangan salahkan dirimu sendiri. Lebih baik kita berdoa untuk keselamatan Evin.”

Tak lama kemudian, dokter laki-laki yang memakai jas putih keluar dari ruang UGD. Aku langsung menghampirinya.

“Bagaimana keadaan kakak saya, Dok?” tanyaku menahan isak tangis.

“Kondisinya sangat kritis. Karena terjadi benturan yang sangat hebat di kepala yang mengakibatkan darah keluar cukup banyak melalui telinga dan hidung. Mungkin karena benturan hebat pada bagian otak depan atau pun belakang kepala. Satu-satunya jalan, pasien harus segera di operasi.” Dokter laki-laki itu menatap kami bergantian.

“Lakukan yang terbaik demi keselamatannya, Dok.” Aku mengiba.

“Tapi operasi juga tidak bisa menjamin keselamatannya. Namun, tetap kami tim medis akan berusaha yang terbaik, mohon bantuan doanya. Kami hanya berusaha, semua keputusan hanya Allah yang berkehendak. Pasien akan segera dipindah ke ruang operasi.”

Tiba-tiba saja kepalaku terasa pusing.

“Kamu kenapa, Cit?” tanya mama khawatir.

“Citya tiba-tiba pusing, Ma.”

Kamu istirahat saja dulu. Duduk sini. Aku mengangguk. Akan tetapi, tiba-tiba saja limbung dan pandangan gelap.

Saat tersadar aku sudah berada di sebuah ruangan. Aku melihat ke sekililing. Ruangan berdinding putih dan berbau obat. Lalu, tampak mama masuk ke ruangan.

“Bagaimana keadaan Mas Evin, Ma?” tanyaku ketika mama sudah di dekatku.

“Alhamdulillah operasinya berjalan lancar dan kondisinya sudah stabil. Tapi belum sadarkan diri, masih dirawat di ruang ICU”

“Aku mau melihat Mas Evin, Ma.” Aku berkata sambil mencoba untuk duduk.

Namun, rasanya masih pusing. Aku pun berbaring kembali.

“Belum boleh melihat kondisinya, Nak. Sekarang kamu istirahat dulu. Muka kamu pucat sekali. Ini juga sudah lewat tengah malam, sudah dini hari.”

Benar juga kata mama, lebih baik sekarang istirahat dulu. Lagi pula belum boleh dijenguk. Tak lama kemudian aku pun tertidur.


***


Aku menggeliat. Membuka mata dan terasa silau. Melihat ke sekeliling, terasa sangat asing. Aku menepuk dahi, ini kan ruangan rumah sakit. Sekarang sudah merasa sedikit segar, rasa pusing juga sudah hilang. Aku segera beranjak menuju ruang ICU di mana Mas Evin dirawat.

“Mama, gimana kondisi Mas Evin?” tanyaku ketika sudah berada di samping mama.

Mama menoleh. “Kamu sudah nggak pusing lagi?”

Aku menggeleng. “Gimana kondisi Mas Evin, Ma?”

“Belum sadar, Nak.”

“Mama lebih baik sekarang pulang. Istirahat, biar Citya yang jaga Mas Evin. Mama capek banget itu.”

Mama mengangguk. “Kamu baik-baik, ya, kalau ada apa-apa kabari Mama,” ucap mama sambil mencium pipiku.

Aku mengangguk dan mencium tangan mama. Setelah kepergian mama, aku gelisah menanti kabar dari dokter. Ingin rasanya masuk ke ruang ICU, melihat kondisi Mas Evin. Pasti sangat sakit rasanya.

Beberapa jam kemudian tampak dokter keluar dari ruang ICU.

“Bagaimana kondisi kakak saya, Dok? Bolehkah saya melihat keadaannya?” tanyaku khawatir.

“Silakan. Tapi pasien masih belum sadar.” Dokter kemudian berlalu meninggalkanku.

Saat masuk ke ruangan, masyaallah, baru kali ini aku merasa begitu takut melihat kondisi Mas Evin. Khawatir akan kehilangan dia. Keadaannya benar-benar membuatku tidak mampu lagi menahan air mata, membayangkan betapa sakit kepalanya. Segala macam selang di masukkan lewat kepalanya, wallahualam hanya Mas Evin dan Allah yang tahu bagaimana rasanya.
Hatiku terenyuh dan aku menangis tergugu di sampingnya.

Ya Allah … selamatkanlah Mas Evin. Aku menggenggam erat tangannya. Aku memandang wajah Mas Evin. Terlihat sangat pucat.

“Maafkan Citya, Mas. Semua ini gara-gara Citya. Kalau tidak untuk melindungiku, Mas Evin nggak mungkin merasakan sakit.”

Aku menangis tergugu. Oh, Allah … sembuhkan Mas Evin. Semoga dia cepat sadar dan baik-baik saja. Tidak terjadi sesuatu yang berbahaya.

Aku semakin gelisah, karena hingga malam menjelang Mas Evin belum juga sadarkan diri. Aku dan mama menunggu di luar. Sebenarnya mama menyuruh pulang. Namun, aku menolaknya, ingin selalu menemani Mas Evin. Tidak ingin melewatkan perkembangan Mas Evin. Akhirnya aku pun tertidur di kursi tunggu.
Aku menggeliat dan mengerjapkan mata, ternyata hari sudah pagi. Mama datang membawakan minuman untukku.

“Sudah bangun? Ini minum dulu.” Mama menyerahkan sebotol minuman.

Saat sudah tiba waktu jam besuk ICU, aku pun segera masuk. Ingin segera melihat kondisi Mas Evin. Berharap dia sadar hari ini. Aku duduk di samping Mas Evin. Memegang erat tangannya. Sambil membisikkan kata-kata motivasi.

“Mas Evin yang kuat, ini aku Citya. Cepat sembuh ya, Mas. Citya kangen candaan dan jahilan Mas Evin.” Aku menangis tergugu, mencium tangannya.

Tiba-tiba merasakan tangannya bergerak. Segera aku hapus air mata yang menetes. Alhamdulillah Mas Evin sudah bisa membuka matanya. Aku tersenyum. Terlihat Mas Evin mengerjapkan matanya. Tanda dia merespon senyumanku.

Aku segera memberi tahu mama dan dokter. Tak lama kemudian dokter datang dan memeriksa keadaannya. Dokter bilang kalau kondisinya semakin membaik besok sudah bisa dipindah ke ruang perawatan.

Alhamdulillah, lega mendengarnya.
Aku pun mengajak berkomunikasi. Walau hanya dijawab dengan isyarat mata, namun tetap bersyukur karena masih bisa merespon. Berarti tidak terjadi hal yang serius.

Saat-saat berkomunikasi tanpa tersadar air mata jatuh. Sudah berusaha agar tidak menangis di depan Mas Evin, namun apa daya tak bisa mencegahnya. Saat seperti inilah aku langsung keluar ruang ICU, tak sanggup berada terus di dalam.

“Mas Evin istirahat aja supaya cepat sembuh, agar bisa cepat pulang dan beraktivitas seperti biasa. Citya ada di luar kok, nggak ke mana-mana. Sekarang waktu besuk sudah habis. Mas Evin baik-baik, ya.” Aku berkata sambil mencium tangannya lalu beranjak meninggalkan Mas Evin.
Alhamdulillah dia mengerti dan segera mengerjapkan matanya.

Esok paginya Mas Evin dipindahkan ke ruang perawatan karena kondisinya sudah stabil dan semakin baik. Alhamdulillah ya Allah, Engkau kabulkan doa-doa panjangku.
Aku menyuruh mama untuk pulang dan istirahat, kasihan mama pasti sangat capek. Aku tetap di sini menjaga Mas Evin.

Alhamdulillah kondisi Mas Evin semakin hari semakin baik dan perlahan segala peralatan yang ada di kepalanya dilepas satu persatu. Tepat satu minggu selang infus yang menancap di tangannya sudah dilepas. Alhamdulillah jadi bisa bergerak dengan bebas.

Kami melalui hari dengan santai, di warnai canda tawa walau terkadang Mas Evin masih suka berteriak pusing atau sakit. Namun, menurut dokter itu hal yang wajar pasca operasi. Apalagi operasi di kepala yang merupakan daerah yang vital.

“Citya ….” Mas Evin memanggil dengan pelan.

“Iya Mas, ada apa? Butuh sesuatu?” tanyaku.

Mas Evin tersenyum menatapku.

“Terima kasih, ya, kamu sudah merawat dan menjagaku selama di sini.”

“Udah kewajiban aku merawat Mas. Jangan banyak bicara dulu. Istirahat yang cukup, biar cepat sembuh dan segera pulang. Kangen rumah, kan pastinya?” Aku mengajak bercanda Mas Evin.

Mas Evin mengangguk dan tersenyum. Tangannya menggenggam erat tanganku. Tiba-tiba aku merasa sangat pusing dan memijat pelipis.

“Citya … kamu kenapa?” tanya Mas Evin khawatir.

Aku menggeleng lemah dan tersenyum. “Aku baik-baik aja, kok, Mas. Cuma sedikit pusing. Mungkin karena kurang tidur.”

“Tapi wajah kamu pucat sekali. Kamu yakin nggak apa-apa?”

“Nggak kok.” Aku tersenyum.

Mas Evin mengernyit heran dan menatapku meminta penjelasan.

Wajah Mas Evin terlihat panik. “Kalau kamu pusing? Sebaiknya istirahat, pulang dulu.”

“Aku baik-baik saja kok,” ucapku sambil tersenyum. “Cuma sedikit pusing aja, kalau aku pulang siapa yang menjaga Mas,” lanjutku.

Mas Evin pun menatapku tajam. Aku hanya menunduk, sesekali melirik Mas Evin. Kami sama-sama terdiam, larut dengan pikiran masing-masing.
Setiap hari aku selalu menjaga Mas Evin. Sesekali bergantian dengan mama, itu pun karena dipaksa Mas Evin untuk pulang istirahat di rumah.

Sebenarnya enggan untuk meninggalkannya. Ingin selalu di sampingnya, mendampingi dan tahu perkembangannya. Aku merasa bersalah, sebab menjadi penyebab Mas Evin bisa seperti ini.

Hampir setiap hari selalu saja ada rekan-rekan kerja Mas Evin yang menjenguk. Ternyata Mas Evin banyak yang peduli dan menyayanginya. Orang sebaik dia pastilah semua menyukai.

“Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya Mas Evin.

“Siapa yang senyum sendiri, sih?” ketusku.

Mas Evin tergelak. “Gimana hubungan kamu dengan Althan?” tanyanya.

Aku mengangkat bahu. “Entah, aku sendiri bingung. Sampai sekarang nggak pernah menghubunginya.”

“Althan nggak menghubungimu?”

“Dia hampir setiap hari, sih telpon, cuma selalu aku reject. Chat-nya juga nggak aku balas.”

“Kenapa? Kamu nggak mau perjuangkan cinta kalian?” Mas Evin bertanya sambil menatapku lekat.

Aku membuang napas kasar.

“Sudahlah Mas. Nggak usah bahas ini, yang penting Mas Evin sehat dulu. Ayo makan dulu, aku suap,” kataku mengalihkan pembicaraan.

Aku sendiri bingung bagaimana kelanjutan hubungan dengan Althan. Dalam lubuk hati yang paling dalam, ingin sekali melanjutkan hubungan ini. Namun, hati kecil berkata kalau lebih baik cukup sampai di sini.

Tepat 10 hari pasca operasi akhirnya jahitan di kepala Mas Evin dilepas. Aku membayangkan kalau jahitan di kepalanya adalah seutas benang yang di rekatkan di kepala. Ternyata dugaanku salah, jahitannya sejenis streples yang menjepit kulit luar kepala bekas luka nya. Waktu dokter melepas satu persatu streplesannya, badanku serasa lemas, seolah merasakan sakit yang dirasakan Mas Evin.

Besoknya Mas Evin melakukan pemeriksaan MRS, hasilnya bagus dan kondisinya sudah stabil. Akhirnya diizinkan pulang. Lega rasanya Mas Evin bisa kembali ke rumah dan kondisinya sehat.

“Mas lebih baik untuk sementara tinggal di rumah Citya dulu. Sampai benar-benar sehat betul.” Aku memberi saran.

“Mas udah sehat, kok. Bisa mengurus diri sendiri, kamu percaya sama aku.”

“Nanti kalau ada apa-apa gimana? Mas kan di rumah sendiri, nggak ada siapa-siapa.”

“Selama ini Mas juga semua sendiri. Nggak masalah, baik-baik aja.” Mas Evin tersenyum.

Mas Evin memang tidak mau merepotkan orang lain dari dulu. Dia sangat mandiri. Aku kagum pada sosok Mas Evin. Dari kecil sudah terbiasa hidup sendiri. Meski tanpa orang tua, dia sanggup menjalani kehidupan.


***


Sudah hampir satu bulan aku berada di sini, tanpa kabar dari Althan. Kenapa rasanya sesakit ini? Mengapa Althan tidak mencoba mencari? Atau memang dia telah lupa dan menikah dengan Beyza? Ah … aku mengusap wajah secara kasar.

Mengapa harus menyesal dengan keputusan ini? Bukankah ini memang keinginanku. Pergi jauh dan meninggalkan Althan.

Oh, Allah … kenapa mencintai harus sesakit ini? Berharap bisa melupakan Althan, tapi semakin berusaha melupakannya hati semakin sesak. Bayangannya masih saja terlintas di pikiran. Aku menangis pilu.

“Althan tak tahukah bahwa aku sangat mencintaimu? Tak ingin berpisah, tapi bisa apa? Cinta kita terhalang restu.” Aku bergumam sendiri.

Mengapa mencintai harus sesakit ini? Cinta ini sungguh menyakitkan, hati bagai teriris sembilu. Apa kamu tak mengerti betapa hancur dan sakitnya hatiku? Nyenyat. Sunyi dan senyap. Dulu sendiri dan sekarang pun sama.

“Melamun aja kerjaannya. Awas kesambet.” Mas Evin tiba-tiba sudah ada di dalam kamar.

“Apa, sih. Kebiasaan masuk tanpa permisi!” ketusku.

“Dari tadi juga udah ketuk pintu, nggak ada respon.” Mas Evin membela diri.

Aku membuang napas kasar, kembali menatap keluar jendela.

“Hari minggu gini, lebih baik jalan yuk. Biar nggak suntuk. Mukamu biar nggak kusut gitu,” ucap Mas Evin.

Aku bergeming, masih tetap memandang keluar jendela.

“Hei! Malah melamun.” Mas Evin menepuk pundakku.

“Aku males keluar, Mas. Di rumah aja.” Aku melangkah menuju jendela.

“Hhmmm … ya udah terserah kamu. Cuma ngasih saran aja, biar nggak melamun terus gitu,” ucap Mas Evin.

“Atau kamu hubungi Althan, daripada galau terus. Wajahmu sampai kusut gitu.”

Aku menggeleng. Mas Evin menghela napas.

“Sampai kapan kamu akan terus bermalas-malasan begini? Mana Acitya yang kuat dan tegar? Aku rindu Acitya yang dulu.” Mas Evin mengelus lembut kepalaku. “Kamu masih mencintai Althan?” tanya Mas Evin.

Aku menghela napas. “Citya masih sangat mencintai Althan.” Aku kembali terisak.

“Perjuangkan cinta kamu. Yakinkan pada orang tua Althan kalau kamu terbaik dan pantas untuk anaknya,” nasehat mama.

“Tapi ini sulit. Orang tua Althan tidak akan pernah setuju.”

“Kamu jangan menyerah sebelum berjuang. Nggak kembali ke Jakarta lagi?” tanya Mas Evin.

Aku menggeleng. “Untuk apa? Aku sudah resign dari kampus. Ingin kembali ke sini, menemani Mama. Siapa yang akan menjaga Mama nanti?” tanyaku.

“Untuk Althan. Nggak mau menemuinya?”

“Nggak, Mas. Kalau Althan memang sayang dan cinta sama Citya, pasti dia akan datang ke sini.”

“Ya udah kalau itu keputusan kamu. Jangan sedih lagi, ya. Serahkan semua sama Yang Maha Kuasa.”

Aku mengangguk, lalu melangkah keluar menarik tangan Mas Evin.

“Eh mau ke mana? Main tarik-tarik aja,” protes Mas Evin.

Aku meletakkan jari telunjuk di bibir. Mas Evin mengernyit memandangku, seolah minta penjelasan.

“Sudah ikut aja. Nggak usah protes,” kataku.

Tiba di halaman belakang aku berhenti.

“Lihat, Mas. Cantik, kan taman buatanku?” Aku berkata sambil tersenyum menunjukkan taman bunga.

“Kamu yang buat taman ini?” tanya Mas Evin heran.

Aku mengangguk. “Iya, Mas. Udah hampir satu bulan taman ini. Mengisi kekosongan hariku, jadi, ya buat taman ini. Gimana, indah tidak?” tanyaku.

Mas Evin mengacungkan dua jempolnya sambil tersenyum.

Aku berjalan mengelilingi taman bunga yang tidak begitu luas ini. Ada berbagai macam jenis. Harum semerbak baunya, sehingga banyak kumbang yang beterbangan berlomba menghisap madunya. Ah, bunga yang indah dan cantik selalu diperebutkan oleh banyak kumbang.

Ketika menikmati indahnya taman, tiba-tiba mama datang tergesa.

“Ada apa, Ma?” Kedua alisku bertaut.

“Ada Althan. Dia ingin bertemu denganmu,” ucap mama.

Aku mengernyit heran. “Althan?” gumamku.

Mama mengangguk. “Ayo sana temui.”

Aku menatap Mas Evin meminta pendapat. Kulihat dia mengangguk.
Aku pun melangkah menuju ruang tamu dan Mas Evin mengikuti. Hati berbunga-bunga rasanya ternyata Althan menemuiku.

Namun, hatiku kembali hancur dan rasanya bumi berhenti berputar. Aku berdiri kaku saat melihat Althan datang tidak sendiri. Dia bersama Beyza. Untuk apa dia ke sini? Apa hanya ingin memberitahu hari pernikahan mereka? Althan kenapa kamu setega itu?

Aku hendak kembali ke belakang, tapi Mas Evin menghadang. Menyuruh menemui Althan.

“Mau ke mana? Temui dulu Althan.”

“Nggak, Mas. Dia datang bersama Beyza. Sudah pasti dia mau memberitahukan hari pernikahannya.” Aku berkata sambil menahan tangis.

Mas Evin menggeleng. “Temui dulu. Jangan langsung suudzon, nggak baik. Ayo, Mas temani.” Mas Evin menarikku.

Althan langsung mendongak memandangku. Dia tersenyum. Aku muak melihat wajahnya. Kenapa harus datang bersama Beyza? Apa belum cukup puas menyakiti hatiku? Ah … aku benci semua ini!


***

--Bersambung--

Continue Reading

You'll Also Like

138K 10.6K 37
ini cerita pertama maaf kalo jelek atau ngga nyambung SELAMAT MEMBACA SAYANG(⁠≧⁠▽⁠≦⁠)
243K 13.7K 34
Spin off: Imam untuk Ara cover by pinterest follow dulu sebelum membaca.... ** Hari pernikahan adalah hari yang membahagiakan bagi orang banyak,namun...
6.4M 502K 118
"Kenapa harus Ocha abi? Kenapa tidak kak Raisa aja?" Marissya Arlista "Saya jatuh cinta saat pertama bertemu denganmu dek" Fahri Alfreza
2.9M 237K 56
[ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴜʟᴜ sᴇʙᴇʟᴜᴍ ʙᴀᴄᴀ!] ʀᴏᴍᴀɴᴄᴇ - sᴘɪʀɪᴛᴜᴀʟ "Pak Haidar?" panggil salah satu siswi. Tanpa menoleh Haidar menjawab, "Kenapa?" "Saya pernah menden...