Arcadia | KNJ

By frvrxxodairable

184K 29.9K 36.7K

Dan saat jiwanya mulai lelah, Namjoon mendengar bisikan itu. "Kembali ke sini, kau akan temukan yang apa kau... More

Off the Map
Healing Souls
Stay Here
Arcadia: Video
Gray Sight
Homelike Kindness
Falling in Love
Melody From the Past
Bliss of the Soul
Another You
The Heart Knows
Living A Lie
Mystery of the Human Mind
Child at Heart
Departure Time
Like a Mirror
Late Night Confession
Make It Right
Arcadia: Trailer 1
Eternal First Love
Those Who Left and Stay
Before It's Too Late
Waiting For You
The Safest Place
You Still Hold Me
Zero O'Clock
Another Hidden Truth
The Warm Hug
From The Start
Whenever, Wherever
The Realest of Them All
Small Warm Town
The Unexpected Life
Last Day of Winter
Epilog: The Turning Point
Informasi Penerbitan!
OPEN PRE-ORDER
Vote Cover + Giveaway!!
Trailer 2 + OPEN PO

Embrace Me

12.2K 2K 2.2K
By frvrxxodairable

Hampa. Semuanya terlihat gelap dan tak berujung.

Perlahan, sebuah lampu sorot menyala di tengah. Menunjukkan sosok gadis bergaun biru laut yang sedang duduk di depan piano berwarna hitam pekat.

Rambutnya disanggul ke atas. Wajahnya terlihat serius, sementara jari jemarinya bergerak cepat.

Itu aku. Tapi bukan benar-benar diriku. Menonton diri sendiri dari sudut pandang ketiga memang wajar jika kau sedang bermimpi.

Entah apa yang sosok aku yang tengah bermain piano itu rasakan, namun yang kurasakan sekarang adalah gelisah bukan main.

Jantungku berdegup kencang, aku ingin berteriak pada sosokku itu, memberi peringatan padanya untuk lari segera. Karena aku tahu apa yang akan terjadi setelah ini.

Lagu Beethoven 5th Symphony telah memasuki menit keempat, temponya menjadi semakin cepat dan cepat.

Aku panik, dapat kurasakan air peluh mengalir di dahiku, meski sebenarnya tak masuk akal karena aku tak punya wujud sekarang.

Hingga akhirnya, hal yang paling kubenci dari mimpi ini terjadi.

Aku ingin menutup mataku dan menolak untuk melihat, atau mungkin lari sejauh mungkin untuk menghindari pemandangant tersebut. Atau jika mungkin, aku ingin mengganti channel seakan sedang menonton televisi.

Namun itu tak bisa terjadi.

Dua jari di tangan kiriku terpotong begitu saja, tanpa ada benda yang menyentuhnya. Sisa ruas jariku terjatuh di atas tuts.

Dapat kulihat dengan jelas darah segar yang terus menetes, serta daging dan tulang dari jariku yang terpotong.

Rasa sakit dan ngilu memenuhiku. Sementara sosokku masih bermain piano seakan tak terjadi apa-apa. Ia terus melanjutkan lagu hingga selesai, membuat tetesan darahku menghiasi sebagian besar tuts.

Aku menangis. Tapi sosokku malah berdiri dan menatapku-atau pada layar, mungkin penonton, entahlah.

Dan ia tersenyum.

Rasa takut lantas menghampiriku begitu ia membuka mulut dan berbisik, 'kembalikan jariku'.

Napasku tercekat, dan aku terbangun.

Cahaya matahari telah berhasil masuk ke kamarku melalui sela jendela. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu memegang kepalaku.

Jika ada teknologi untuk membuat seseorang berhenti bermimpi, aku akan menggunakannya dengan senang hati.

Setelah sedikit tenang, aku berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka. Saat menyentuh wajahku, baru kusadari bahwa aku benar-benar meneteskan air mata.

Suara pintu tergeser menarik perhatianku.

"Eonni!!" Seorang gadis berseragam memegang ujung pintu dan membuka sepatunya asal-asalan, lantas tersenyum lebar padaku.

Mataku membulat. Itu adikku, Song Jena.

Ia adalah siswa SMA kelas sebelas. Rambutnya dipotong sebahu, padahal rambutnya sangat panjang saat terakhir kali aku bertemu dengannya.

Jena berlari dan memelukku dengan bahagia. Begitu melepasakanku, Jena mengernyit. "Apa kau baru bangun?"

Aku belum menjawab, tapi ia segera menambahkan. "Heol. Padahal ini sudah jam dua belas. Dasar malas," Jena melemparkan tatapan menghina.

"Jika dilihat dari pakaianmu, kau pasti bolos dan malah datang ke sini. Sekarang, siapa yang malas?"

Jena memutar bola matanya. "Bukan begitu. Seoul sangat sumpek belakangan ini. Polusi udaranya bukan main, aku ingin menjaga kesehatanku jadi aku rela mengambil kereta pagi untuk kesini!"

Kuberi jitakan pelan di kepalanya dan berjalan menjauh. "Jika kau begini terus, kau tidak akan lulus."

"Eonni, aku tak butuh lulus. Aku hanya perlu debut." Ia lantas mengibaskan rambutnya dengan bangga.

Aku menggeleng-geleng.

Gadis itu semakin aneh semenjak ia mulai menjadi trainee di salah satu agensi. "Tidak ada yang mau menjadi pengggemarmu jika kau tidak lulus."

"Aku berani bertaruh pasti akan ada, aku kan cantik."

Kuraih handuk di bagian teras. Aku menutup kedua mataku dan menahan gejolak emosi yang tiba-tiba saja ingin meledak.

Kubasahi bibirku, "terserah saja. Aku mau mandi dulu."

***

Aku mematikan kompor begitu air sayuran yang kurebus mendidih. Setelah itu, aku memasak telur gulung dan meletakkannya di meja, tepat di samping nasi panas yang dimasak oleh Jena.

Saat sedang makan, aku berpikir tentang alasan Jena datang kali ini.

Gadis itu tak pernah suka pedesaan, namun aku adalah satu-satunya orang yang bisa dijadikan sebagai pelariannya.

"Kau bertengkar dengan ibu?" tanyaku.

Jena yang sedang mengunyah telur, kini mengangguk. "Dia terus-terusan memintaku untuk berhenti di dunia hiburan. Ah, setiap hari dia berkata aku tak boleh berakhir sepertimu. Menyebalkan sekali."

Aku tersenyum tipis. "Tapi perkataannya tak sepenuhnya salah, bukan?"

Ia menghela napas. "Semua orang punya takdirnya masing-masing, belum tentu aku akan mendapatkan nasib buruk seperti Eonni."

"Dia hanya khawatir."

"Tetap saja, ini sangat tidak adil."

"Nanti aku akan bicara dengannya, bagaimana?" tawarku.

Jena kini mengernyit. "Eonni, apa kau lupa bahwa Ibu bahkan benci untuk sekadar melihat wajahmu saja? Tidak usah, nanti aku hanya akan kena marah darinya."

Aku meneguk segelas air. Semenjak kejadian itu, Ibu memang sangat membenciku.

Bagi wanita itu, aku ialah nasib buruknya. Di pandangannya, aku adalah produk yang telah ia investasikan dengan susah payah, namun berakhir menjadi produk gagal yang layak dibuang.

***

Sore itu, aku kedatangan satu tamu lagi.

Kim Namjoon, lelaki itu tiba di depan rumahku dan memanggil namaku berkali-kali. Ia mengenakan kaos biru tua dan celana abu-abu, serta tas selempang cokelat.

"Song Dain! Dain-ssi!"

Karena ia terdengar panik, aku keluar dari rumah dengan terburu-buru. "Ada apa?"

Kedua alisnya terangkat. "Ah! Bagaimana ini? Sepertinya aku kehilangan dompetku di suatu tempat."

"Apa? Kau menghilangkannya di mana?"

Lelaki itu menggeleng-geleng, "tidak tahu. Mungkin di rumah makan, atau di halte bus, atau hutan pinus.. aku pergi ke banyak tempat hari ini."

"Astaga. Tunggu sebentar," aku berjalan masuk ke rumahku dan menghampiri Jena yang sedang berbaring di kasurku, sedang menonton drama di ponselnya.

Ia menghela napas dan mengeluh. "Ah.., jaringan sampah."

"Aku pergi dulu, ada sesuatu yang mendesak. Kau bisa menjaga rumah?"

Ia mengernyit. "Urusan apa?"

"Aku harus ke kantor polisi untuk menginformasikan barang hilang," ucapku sembari buru-buru mengambil jaket di dalam lemari.

"Kau kehilangan barang apa?"

"Bukan, bukan barangku. Dompet punya Namjoon yang hilang."

"Hah? Namjoon?"

"Eoh, kau bisa jaga rumah kan?" (Ya)

Jena terlihat sedang larut dalam pikirannya sendiri. Ia tersenyum dan terkekeh, "seandainya aku juga punya teman yang bernama Namjoon.. atau mungkin, Jungkook. Hehehe."

"Kau mendengarku atau tidak?"

Kini ia menatapku. "Iya, iya. Asalkan tidak ada kemungkinan seekor beruang atau ular masuk ke rumah ini, aku bisa menjaganya."

"Jika kau beruntung," ucapku dengan nada serius, kemudian berjalan keluar dari kamar.

"Eonni! Kau bercanda, kan?!" serunya. Namun aku tak menghiraukan gadis itu.

Di luar, aku melihat Namjoon sedang membuka dan mengacak-acak isi tasnya lalu menghela napas.

Aku tersenyum tipis. Ia terlihat lucu.

"Cara paling efektif adalah melaporkannya di kantor polisi. Orang-orang di sini biasanya akan memberikan barang hilang yang penting ke sana."

"Geurae? Tapi itu di mana?" (Benarkah?)

Aku mengambil sepedaku. "Lumayan jauh dari sini. Naiklah," ucapku lalu menawarkannya untuk duduk di kursi penumpang.

Namjoon menaikkan alisnya, "kau ingin memboncengku?"

"Lalu, bagaimana? Kau mau berjalan kaki? Jaraknya mungkin lebih dari sepuluh kilometer."

Setelah mendengar hal itu, Namjoon dengan ragu berjalan mendekat.

Ia memegang bagian belakang lehernya, "apa tidak sebaiknya untuk bertukar posisi?"

Kugelengkan kepalaku. "Aku tidak suka jika ada orang lain yang membawa sepedaku. Naik atau jalan kaki, pilih saja."

Akhirnya, lelaki itu pasrah dan duduk di belakangku.

Aku mengukir senyum kemenangan.

Namun, penyesalan datang padaku pada kayuhan kedua. Astaga, berat sekali. Belum lagi kaki panjangnya yang tak jarang menyentuh aspal.

Aku menolehkan kepalaku sedikit ke sisi belakang. "Mr. Long Legs, tolong angkat kakimu."

"Ah, maaf!"

Jalanan menurun membuat laju sepeda semakin cepat, dapat kurasakan tangan Namjoon yang memegang ujung jaketku.

Aku menurunkan pandangan sekilas, pegangannya terlihat ragu-ragu. "Kau akan jatuh jika begitu."

Mendengar perkataanku, Namjoon kemudian mengulurkan kedua tangannya dan memeluk pinggangku dari belakang.

Oh... Astaga. Seharusnya aku tidak berkata begitu.

[]

UHUKKKK
aduh keselek maaf

BTW YANG MASIH BANGUN PAS AKU UPDATE INI LUAR BIASA WKWK

Besok aku republish ya biar yang udah tidur bisa liat notifnya juga wkwk

Juga maaf banget ini updatenya telat:") 💜💜

Question of The Day: Kamu belajar naik sepeda pas umur berapa?

Belakangan ini aku suka sih itung2 olahraga soalnya aku gapernah olahraga hahaha

See u next chapter uwu

Xx,
Jysa.

Continue Reading

You'll Also Like

1.9K 557 45
Aku mungkin mencintainya, sejenak. Saat kami berada setahun di gedung yang sama menuntut ilmu layaknya remaja usia belasan. Itu masa SMA yang kujalan...
189K 16K 85
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
127K 15K 11
[ COMPLETE ] "Hei Jim, senang bertemu denganmu lagi." Menemukan cinta seorang Park Jimin yang sempurna.
320 55 12
Aksa sebagai ketua kelas pun, menyusun rencana untuk mengetahui siapa dalang yang sebenarnya. Dan mencari tau apa alasan kepala sekolah untuk menemp...