Toruka: Pulling Back [COMPLET...

By Zet_12096

3.3K 468 134

Tur dunia One Ok Rock harus terganggu ketika seorang penguntit menguntit Taka. Hal itu semakin lama semakin p... More

Chapter 1
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10 [END]

Chapter 2

367 52 12
By Zet_12096

Taka melipat kedua tangannya di dada. Ia dan tiga anggota lain tengah duduk di ruang ganti melingkari kotak berwarna merah yang sudah terbuka itu. Isinya berupa sepatu merk NIKI yang sepertinya asli dan tentunya berharga fantastis, Taka yang memiliki sekian banyak sepatu bermarga sama bisa mengenalinya dalam satu kedipan. Bukan masalah keaslian atau harga sepatu itu yang membuat empat orang dewasa itu termenung, melainkan isi kartu yang turut menyertai sepatu itu, kartu yang bisa dicirikan sebagai pesan kecemburuan si pengirim terhadap Toru yang memang selalu sekamar dengan Taka.

"Apa ada teman-"

"Bukan, bukan dari temanku." Taka memotong ucapan Tomoya dengan lugas. "Hampir semua kenalanku mengenali Toru-san, dan bahkan mereka sering menitipkanku pada Toru-san."

Mendukung argumen Taka, Toru mengangguk, ia juga setuju. Bahkan, Takeru yang mengklaim bahwa Taka adalah sahabatnya, suaminya, istrinya, dan pacarnya pun menitipkan Taka padanya tanpa rasa cemburu seperti ini, apalagi dengan pesan semacam itu, pesan yang mengganggu dan menggelisahkan.

"Dari... penggemar yang fanatik?" tebak Ryota ragu.

Taka hanya diam. Dirinya mau tak mau merasa setuju. Ia dan Toru sebenarnya sudah membahasnya setelah ia benar-benar terbangun sehabis sarapan di kamar mereka. Sama seperti Ryota, mereka juga menduga si laba-laba ini adalah salah satu penggemar One Ok Rock, dan secara spesifik, dirinya. Ia sebenarnya tidak menyukai dugaan itu, ia selalu ingin menghormati dan memberi yang terbaik untuk para penggemarnya, dan yang mereka lakukan sekarang lebih ke arah mencurigai mereka. Ia tidak menyukainya.

"Ya..." Toru yang menjawab.

Hening menyela sejenak hingga Tomoya memutus keheningan itu dengan kalumat penuh keraguan. "Kalian tahu apa yang kupikirkan?" katanya menarik perhatian yang lain. "Kenapa pengirimnya tahu persis kamar Toru and Taka-chan, padahal kita menyewa seluruh lantai?"

Sontak, waktu di lingkaran empat orang itu seolah terhenti. Selain Tomoya, mereka semua terpaku. Gagasan itu masuk akal, bahkan menyesal tidak terpikir hal itu. Sudah menjadi rutinitas mereka jika tidak menginap di bus tur, mereka akan menginap di hotel dan menyewa satu lantai untuk mereka dan staf-staf beristirahat. Mereka pun selalu memilih kamar secara acak, sesuka hati dan tanpa pola, tidak pernah tetap, juga tidak diharuskan bersebelahan-meski selalu dalam formasi Toru-Taka dan Tomoya-Ryota. Jika sudah begini, hanya ada dua kemungkinan, pengirimnya adalah staf mereka yang mengetahui nomor kamar dan bebas keluar-masuk atau-

"Benar-benar seperti penguntit."

Semua memandang Tomoya. Mereka mendesah gusar menanggapinya. Meski tidak suka, mereka juga memikirkan hal yang sama.

"Jangan membuat keributan dulu," tukas Toru. Ia bangkit dan berjalan hendak keluar. "Aku akan menanyai para staf tentang kotak itu dan juga buket bunga kemarin. Dan kau, Takahiro," -Toru menatap Taka yang sedikit tersentak- "jangan bepergian seorang diri, minta aku atau mereka menemani."

Toru keluar ruangan tanpa repot-repot menunggu balasan dari Taka. Sementara itu, Taka mendengus kasar begitu pintu tertutup. Suasana hatinya buruk sekarang, padahal jumpa penggemar akan mulai tidak kurang dari setengah jam lagi.

"Jangan terlalu dipikirkan Takahiro," ujar Tomoya.

"Aku tidak menyukainya," tukasnya, "tur masih panjang dan hal seperti ini malah terjadi. Apa aku melakukan sesuatu yang salah hingga jadi seperti ini?"

Tomoya dan Ryota bertukar pandang.

"Mori-chan..."

"Daripada itu, apa ada seseorang yang terpikirkan?" Tomoya mengalihkan topik.

Mata Taka jatuh pada Tomoya sejenak, namun dengan segera menggeleng lemah. Tidak ada siapapun yang terlintas di pikirannya, baik itu penggemar, staf, maupun kenalannya. Ia tidak suka perasaan terincar seperti ini, terlebih lagi seperti diharuskan mencurigai satu nama.

"Tapi... ini tidak berbahaya, 'kan?" katanya meminta pendapat, "maksudku, dia hanya memberikan bunga dan sepatu, hadiah, banyak yang melakukannya-"

"Tidak secara anonim, Mori-chan," potong Ryota."

"Mungkin dia hanya malu. Ini tidak berbahaya. Aku baik-baik saja, juga Toru-san, lihat?"

"Kata-kata di suratnya itu membuatku merinding," balas Ryota tidak mau kalah, ia sudah mempunyai perasaan tak enak sejak buket kedua.

"Kau hanya penakut," tukas Taka, "mungkin pengirimnya wanita yang merasa cemburu, Toru dan aku sering dipasangkan."

Ryota tidak lagi membalas. Menimbang betapa keras kepalanya Takahiro, ia dan Tomoya hanya menghela berat. Sementara itu, Taka sudah kembali disibukkan oleh ponselnya. Ia baru saja membuka mulut hendak bersuara, Toru sudah membuka pintu ruang ganti dengan bunyi berderit dan membuat semua perhatian teralihkan kepadanya.

"Belum semua staf kutanyai, tapi tidak ada yang mengetahui kotak itu," katanya, "dan juga, karena kubilang ini mendesak, mereka memberikan kewenangan dan membebaskan kita untuk tetap menyelenggarakan jumpa fans atau tidak... sejujurnya, aku memilih membatalkannya, terlalu berisiko."

"Aku juga," sambar Ryota cepat.

Tomoya menatap Taka yang juga terdiam alih-alih menjawab. Alis Taka bertaut ke bawah, ia sedang marah dan kesal, dan berita dari Toru tadi tidak membantu sama sekali, bahkan membuat suasana hatinya lebih buruk.

Pembatalan acara? Jangan bercanda.

"Taka-chan..."

"Kenapa harus dibatalkan?" desis Taka menahan amarah.

Toru menghempaskan tubuhnya ke samping Taka terlebih dahulu. "Sudah kubilang, terlalu berisiko. Dia akan datang ke sana dan kita tidak mengetahui niatannya juga sejauh mana ia berani bertindak."

"Kita bisa minta para staf memperketat penjagaan! Ada banyak pengawal berotot di sana."

Helaan berat keluar dari Toru. Ia memijat pelipisnya pelan.

"Kita bahkan belum mengetahui apa ia berbahaya atau tidak," lanjut Taka, "kita bisa jadikan ini percobaan!"

"Mana bisa disebut percobaan jika risikonya ada yang terluka?" Toru membalas gemas, juga tak kalah keras.

"Toru-"

"Taka-chan ada benarnya, Toru." Tomoya memotong seruan Taka yang semakin mengeras. "mungkin dari sini kita bisa sedikit menerka apa dia berbahaya atau tidak, dan menetukan langkah selanjutnya."

Toru bungkam. Jika ia berkata sejujurnya, sebagian kecil dirinya memang membenarkan perkataan Tomoya, sementara sebagian dirinya yang lain, yang lebih dominan, tetap merasa risiko yang ada tetaplah ada, besar bahkan, dan dia tidak ingin menyeret satu pun anggotanya dalam mara bahaya.

Setelah lama bungkam, Toru akhirnya membuka mulut.

"Dengan satu syarat."

Taka menatap Toru awas.

"Kita minta dua penjaga tambahan di kedua sisi."

***

Jumpa penggemar malam itu akhirnya tetap terlaksana meski beberapa pengunjung merasa tak nyaman dengan aura penjaga yang mengintimidasi. Namun, nelenceng dari kekhawatiran Toru dan Ryota, acara itu selesai tanpa masalah sama sekali. Hal itu sudah lebih dari cukup untuk membuat suasana hati Taka kembali normal. Saat konser berlangsung pun, ia tidak henti-hentinya melompat kesana kemari saking senangnya memenangkan argumen. Ia bahkan merangkul Toru yang masih sedikit kesal tetapi berlega hati di tengah lagu mereka.

Hasilnya mengejutkan-mungkin tidak bagi sebagian orang, foto rangkulan itu tersebar luas kurang hanya dalam beberapa menit saja.

Sisa hari itu berlangsung tanpa gangguan-setidaknya tidak hingga mereka pergi ke kamar hotel masing-masing, hotel yang baru mereka sewa setelah konser. Sebelumnya, mereka sudah membicarakannya dan memutuskan mereka tetap dalam formasi dua-dua. Selain karena tidak ada bahaya yang timbul sampai konser mereka selesai, mereka juga tidak ingin meninggalkan Taka sendirian karena, lagi, terlalu berisiko. Namun, Toru mulai skeptis dengan keputusan mereka ketika dirinya dan Taka membali ke hotel setelah sesi berjalan-jalan malam dan mendapati plastik berlogo NIKI bersandar di pintu kamar mereka.

"Apa-apaan ini?" keluh Taka dengan suara bergetar. Ia menatap plastik itu dengan tatapan benci sekaligus takut. Napasnya sudah mulai memburu.

Toru membungkuk dan memungutnya. Ia kemudian membuka plastik yang disegel selotip itu. Isinya baju dengan merk NIKI dengan model yang mirip seperti yang Taka sering pakai. Bahkan, Taka salah mengira itu adalah salah satu bajunya jika bukan karena tag yang masih tergantung di leher baju itu.

"Ada kartu lagi," ujar Toru. Ia menarik sebuah kartu berwarna merah marun dengan tajuk For you, my dear Taka dari dalam plastik itu. "Mau membacanya?"

Taka tertegun. Sejujurnya, ia tidak ingin membacanya karena sudah pasti akan membuat segalanya nampak buruk, tetapi pada saat yang bersamaan, ia penasaran apakah di dalamnya terkandung petunjuk. "Di dalam saja."

Tanpa berkata apapun, Toru membuka pintu itu dengan kunci digital berbentuk kartu. Keduanya lantas segera masuk dan membuka kartu itu di atas kasur Taka, kasur terdekat dengan pintu.

Your voice is always good. But I don't like today's gig, especially when Toru approached you. Can you not to be too close with Toru? I hope he doesn't force you using 'leader' as an excuse.

Love,

Taka menggeram setelah matanya selesai menelusuri tiap barisnya dan berakhir di gambar yang sama, laba-laba dengan taring yang panjang. "Dia sudah kelewat batas!"

"Tenanglah, Taka."

"Aku yang mendekatimu," tukasnya, "dia membuatmu seperti kaulah yang jahat di sini."

Toru mengangguk-angguk, entah apa maksudnya. "Dia penggemarmu, bukan penggemarku, itu wajar."

"Seharusnya dia juga penggemar One Ok Rock! Karena aku Taka One Ok Rock."

Pandangan Taka jatuh ke kakinya yang terkipat di atas kasur. Ia merasa ada yang salah dengan kepala orang itu. Ia tidak senang memiliki seorang penggemar yang membenci anggota bandnya karena hal seperti itu membuatnya merasa ia digemari sebagai penyanyi perseorangan, bukan band.

"Tidurlah," ujar Toru. Ia meletakkan plastik beserta kartunya di samping tempat tidur dan berbaring. "Besok kita bicarakan dengan yang lain."

Taka diam sejenak. Ia lalu ikut berbaring di samping Toru.

"Tidurlah di tempatmu," gumam Taka.

"Jika aku di sana nanti kau juga akan pindah, jadi sama saja."

Taka hanya menimpali dengan dengusan pelan, Toru benar.

***

Esoknya, pada satu hari libur dari jadwal mereja yang padat merayap, Ryota dengan tegas menyatakan bahwa mereka harus mengatakan hal tentang laba-laba ini ke agensi. Tentu, emosi Taka langsung terpancing. Kala itu, keempatnya kembali duduk melingkar, tetapi kali ini di kamar Tomoya dan Ryota. Semua pemberian si laba-laba hingga kini-termasuk buket yang hancur-diletakkan di tengah-tengah lingkaran, menjadi saksi bisu rapat band empat anggota itu.

"Apa kita akan membesar-besarkan masalah fans yang cemburu pada Toru-san? Jangan bercanda!" Taka membentak. Wajahnya memerah karena kesabarannya sudah habis.

"Ini bukan masalah cemburu, Mori-chan!" balas Ryota. "Dia menyusup ke ruang ganti, dan bahkan mengetahui letak kamar, itu masalah besar!"

"Bisa saja dia menanyakannya pada staf."

"Dan siapa staf yang membocorkannya?"

Taka langsung bungkam. "Staf hotel?" katanya ragu.

"Tidak mungkin, Mori-chan, mereka sudah dibayar untuk merahasiakan nomor kamar penyewa, selain polisi dengan surat perintah, mereka tidak akan bilang."

"Bisa saja," kata Taka, merengut.

"Cukup," lerai Toru, "aku akan bilang pada agensi tentang penyusupan dan nomor kamar itu, tetapi hanya sekadar itu saja, aku tidak akan bilang apapun tentangmu," katanya sambil menoleh pada Taka.

Taka mencicit pelan tanpa terdengar ketiga temannya yang lain. Mata Toru yang menatapnya benar-benar menyorotkan kesungguhan. Melihat itu, ia sadar, tidak ada gunanya membantah. "Aku mengerti."

Toru tersenyum tipis mendengarnya. Ia menepuk puncak kepala Taka pelan, lalu bangkit untuk menelepon agensi. Ketua itu baru sampai di pojok kamar ketika ponsel Taka berbunyi. Ia menatap Taka yang sedang mengambil ponsel.

Di tempatnya, Taka terdiam sejenak. Yang berbunyi adalah nada dering ponselnya, bukan SNS-nya. Ia tengah memperhatikan layar ponselnya. Nomor tak dikenallah yang meneleponnya-nomor yang bukan milik orang Jepang. Alisnya tertaut lantaran tidak mengenali nomor itu, ia juga tidak ingat memberi nomor ponselnya ke sembarang orang. Lagipula, nomor miliknya nomor Jepang.

"Siapa?" Tomoya bertanya.

Taka menggeleng dan memperlihatkan nomor itu pada Tomoya. Namun, sebelum Tomoya sempat menilik satu per satu deretan nomor itu, dering memekakkan itu berhenti. Taka kembali menatap ponselnya dengan bingung.

Pada saat yang bersamaan, karena tidak melihat adanya bahaya dari telepon itu, Toru mulai menelepon agensi. Akan tetapi, baru dua nada sambung yang ia dengar, makian keras Taka yang disertai bunyi keras yang terdengar dari arah ketiga temannya membuatnya kembali menolehkan kepala. Dari tempat semula, Taka sudah bersingut mundur setelah-sepertinya melempar ponselnya ke dekat barang kiriman si laba-laba, itulah yang menimbulkan bunyi keras tadi.

Suara dari penelepon seberang ("Halo?") Toru abaikan. Ia segera kembali mendekati ketiga temannya yang sudah berwajah pucat pasi dan menatap ponsel Taka yang baru dilempar. Matanya segera membulat sempurna ketika mendapati ponsel itu bergetar tanpa henti lantaran pesan-pesan yang masuk ke nomor Jepang Taka-yang seharusnya hanya kenalan dekat Taka yang tahu-datang bertubi-tubi. Pesan-pesan beruntun yang membuat rambut halus empat orang dewasa itu sontak meremang.

Answer my call.

I'm waiting, Taka.

You won't, I see.

It's about Toru. I saw you letting Toru touch you.

You shouldn't have let him do as he pleases.

Don't throw you phone, it'll be broken.

You do know I'll always watch you, right? I've said that before.

Listen, I'm not mad. I just hate it when someone touches you. I really mean it.

Taka, I love you, you should know that.

I won't forgive him for touching you.

I will watch him for you.

I will protect you from him, from other men, and from everyone, no matter how much it costs.

I will do anything for you. I promise, I always will.

Wait for me.

Tidak ada yang bisa berkata-kata setelah membaca itu kecuali ponsel Toru yang masih ber-halo-halo menunggu jawaban balik, dan akhirnya menyerah setelah tidak menerima jawaban apapun. Keempatnya diam, tenggelam dalam pemikiran yang sama. Pemikiran yang pastinya membuat siapapun tidak bisa tidur malam itu.

Kita diawasi.

--TBC--

Continue Reading

You'll Also Like

3K 560 9
Dunia Itoshi Rin selalu bagai kanvas monokrom, hanya ada hitam dan putih. Dia tidak punya mimpi, sudah terkubur lama di masa lalunya yang kelam. Itos...
3.9K 227 7
Novel Terjemahan. Bukan Milik Sayah Jenderal wanita menjadi populer di industri hiburan dengan pedangnya Pengarang: Orange Li Jenis: Melalui Kelahira...
448K 4.7K 85
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
235K 35.3K 64
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...