8 LETTERS

By cynthiaaama

11.4K 4.7K 16.2K

Kata orang takdir ada di tangan Tuhan. Jalan hidup kita sudah ditentukan. Kalau memang demikian, bukankah tak... More

PROLOG
CAST
SATU
DUA
TIGA
PERPISAHAN DENGAN TOKOH YANG TAK PERNAH ADA
LIMA
CAST pt. 2
ENAM
TUJUH
DELAPAN
SEMBILAN
SEPULUH

EMPAT

723 331 1.2K
By cynthiaaama

"Halo? Bagaimana? Sudah kau urus?"

"Sudah, Tuan. Saya sudah memesan tiket penerbangan untuk besok jam satu siang. Barang-barang Anda juga sudah saya kemas. Apa ada lagi yang Anda perlukan?"

"Tidak, tidak ada lagi. Kau sudah bekerja keras."

"Ah, baiklah. Terima kasih, Tuan. Kalau begitu saya tutup tele-"

"Tunggu! Tahan sebentar!" sergah pria itu teringat sesuatu. "Bisa sekalian kau ... kemas semua barang di ruangan itu? Maaf, merepotkan. Tapi barang-barang itu sangat penting bagiku."

"Oh, baiklah. Akan kukemasi sekalian, Tuan. Apa ada lagi?"

"Tidak, itu saja. Tolong kemasi dengan baik. Jika sudah selesai jemput aku di kafe biasa."

"Baik, Tuan. Saya tutup dulu."

"Baiklah."

Tit!

Angkasa membanting ponselnya, cukup kuat hingga menarik atensi para pengunjung kafe. Tak terkecuali wanita bersurai lurus sebahu yang tengah menyesap secangkir kopi hitam polos. Ia sempat tersentak, namun segera menetralisir ekspresinya mengingat tujuannya datang kemari.

"Sepertinya bukan hal mudah menyuruhnya membereskan barang-barangmu," ujarnya basa-basi.

Pria itu menghela napas, membenarkan ucapan wanita di depannya. "Iya. Benda itu memang sangat penting. Bisa jadi masalah kalau aku sempat melupakannya."

Berpikir sejenak, wanita pemilik nama Margaretha Maria itu mengulas senyum tipis. "Baiklah, aku tidak suka basa-basi. Langsung saja pada intinya."

Angkasa segera duduk tegak. "Apa yang ingin anda sampaikan hingga harus menemuiku di sini?"

"Aku ingin membeli lukisanmu," pungkasnya tegas tanpa beban.

"Maaf, tapi lukisanku bukan untuk dijual," sahut Angkasa tak kalah tegas.

"Kau yakin? Ini akan menguntungkan bagimu. Akan ada pameran lukisan di galeriku tak lama lagi. Dan aku ingin kau turut ambil bagian di dalamnya. Bila dilihat dari koleksi lukisan pribadimu di media sosial, kau memang pantas berdiri bersama para seniman kelas atas lainnya. Tentu, aku yakin pameran ini akan sukses dan menguntungkan kedua belah pihak. Bagaimana menurutmu?"

"Maaf, tapi jawabanku tetap tidak. Aku melukis bukan untuk uang. Aku melukis karena hobi, karena aku bisa melupakan sejenak realita yang keji. Aku harap kau mengerti itu."

Kedua alis Margaretha naik. Tak menduga akan sesulit ini membujuk seorang pria yang terpaut 3 tahun lebih muda darinya. "Baiklah, aku mengerti. Bagaimana bila membuat replikanya? Ini tidak akan merugikanmu, bukan? Lukisan aslinya tetap ada padamu. Hanya saja harga replikanya tentu lebih murah ketimbang lukisan aslinya."

"Jawabanku masih sama. Membuat replika sebuah karya tanpa seizin pelukisnya sama saja dengan melanggar hak cipta."

"Jadi maksudmu kau tidak setuju?"

"Sekarang kau mengerti maksudku."

Kali ini Margaretha tertawa lepas. Untuk pertama kalinya sebagai Presdir Galeri Seni Waldeinsamkeit, ia ditolak secara terang-terangan. "Aku tak menyangka ternyata bisa sesulit ini membujuk pria muda sepertimu. Boleh aku tahu apa yang menjadi alasanmu untuk berkarya di atas kanvas?"

"Hanya hobi. Itu saja. Bukan demi uang, bukan demi ketenaran. Aku hanya ingin menyalurkan sekaligus mengasah bakatku. Salahkah itu?"

"Tidak. Aku hanya merasa kau seperti menyembunyikan sesuatu."

Angkasa mengedikkan bahu tak acuh. Ia meneguk air dingin pesanannya hingga tandas. Percakapan ini membuat kerongkongannya kering.

Alih-alih suasana menjadi canggung, Margaretha mencomot asal topik pembicaraan. "Kau mau tahu kenapa aku memilihmu untuk pameran ini?"

"Tidak."

Margaretha terkekeh. "Meski begitu aku akan tetap memberitahumu. Tidak enak rasanya canggung seperti ini."

Angkasa meletakkan kembali cangkir yang telah kosong. Memasang perhatian penuh sebagai tanda hormat pada yang lebih tua. Meski sebenarnya ia sama sekali tidak berminat.

"Setiap kali bertemu dengan para seniman, pasti mereka bertanya kenapa memberi nama waldeinsamkeit pada galeriku. Maknanya terlalu kelam dan miris." Margaretha menjeda kalimatnya. "Namun jawabanku tetap sama. Kau tahu arti dari kata waldeinsamkeit?"

Berpikir sebentar, Angkasa menjawab, "Perasaan kesendirian? Barang kali juga kesepian?"

"Tidak aneh jika kau orang pertama yang tidak menanyakan hal itu." Jeda sebentar. "Aku menamainya waldeinsamkeit karena galeri ini berdiri di titik terkelam kehidupanku."

Angkasa kebingungan. Belum bisa menangkap hubungan nama galeri ini dengan dirinya. "Apa hubungannya denganku?"

Margaretha terkekeh sinis. "Kau sungguh tak tahu atau pura-pura tak tahu? Siapapun yang melihat lukisan pertama di media sosialmu akan langsung paham makna di baliknya."

Cowok yang telah beranjak dewasa itu terdiam. Waldeinsamkeit. Makna kata tersebut seperti sedang mengejek dirinya. Sebagian diri Angkasa tidak setuju. Dia cukup pandai bersosialisasi meski baru pertama kali di Swiss. Awalnya memang sulit, Angkasa tak terlalu fasih berbahasa Inggris. Tapi lama kelamaan dia mulai terbiasa, bahkan sudah menguasai bahasa Jerman dan Prancis.

Terlepas dari fakta ia punya cukup banyak kenalan, lebih banyak bagian dalam dirinya setuju akan hal itu. Mahir berbahasa asing dan pandai bersosialisasi tidak menjamin ia tidak kesepian. Ada sebuah bilik kecil di hatinya yang masih kosong, pikir Angkasa. Dan dia tak tahu apa penyebabnya. Yang jelas bukan Vanilla. Meski bertahun-tahun sudah lewat, memori tentang setiap momen yang dihabiskan bersama gadis pujaannya masih melekat kuat.

"Kenapa? Sedang sibuk berpikir sampai tidak sadar ponselmu berdering?"

Lamunannya pecah. Ponsel yang tadi ia banting kini berbunyi nyaring tanda ada panggilan. "Halo?"

"Apa ada masalah, Tuan? Lama sekali Anda menjawabnya."

"Tidak, maaf. Kau sudah sampai?"

"Iya, saya sudah di depan kafe."

Cowok itu sedikit bangkit dari tempatnya guna memeriksa. Tak jauh dari pintu kafe, sopir pribadinya-Virgo-sedang melambaikan tangan dari dalam mobil. Angkasa lantas segera pamit undur diri. Lagi pula topik pembicaraan tadi membuatnya sedikit tidak nyaman. "Sopirku sudah tiba, aku pamit dulu. Terima kasih atas tawaranmu tadi."

Margaretha sedikit membelalak. "Cepat sekali?"

Angkasa mengangguk. Baru saja ia hendak mengangkat kaki, Margaretha duluan mencegat. "Ini kartu namaku. Untuk berjaga-jaga siapa tahu kau berubah pikiran." Wanita itu tersenyum.

Merasa tidak enak hati sudah menolak, Angkasa terpaksa menerimanya. "Baiklah, akan kuhargai usahamu. Sekarang permisi."

Baru sekali melangkah, tapi lagi-lagi cowok itu teringat akan sesuatu. "Oh! Kalau boleh tahu kapan jadwal pameranmu itu?"

"Sekitar 1 bulan lagi. Kenapa?"

"Seperti yang kau bilang, bisa saja aku tiba-tiba berubah pikiran. Siapa tahu, bukan?"

~•^Δ^•~

Vanilla tak menduga akan ada rumah semegah ini di tengah hutan. Mulutnya menganga lebar, terpukau dengan gaya arsitektur para kelas atas. Bangunan bertingkat tiga tersebut didesain sedemikian rupa dengan tema rustic. Di sekelilingnya, dibangun area balkon yang menyajikan langsung pemandangan alam. Dan tak jauh dari sana, deretan anak tangga menuntun jalan menuju ruang utama bangunan. Gelapnya malam bukan menjadi masalah bila ada lampu-lampu kecil yang merangkap sebagai pagar rumah.

Thug!

"Tuh mulut ditutup napa," cela Marco seraya mengatup mulut Vanilla.

Gadis itu tersadar. Mudah sekali ia terbuai dengan segala kepunyaan Bazzell. "Pa, ini beneran rumah mereka? Papa gak salah jalan, kan?" tanyanya ragu sambil celingak-celinguk.

"Benar kok. Ayah sudah mastiin di GPS." Collisius-sang ayah-mengecek sekali lagi rute jalan yang ia lalui di aplikasi penunjuk jalan tersebut.

Menepati janji, malam ini akan ada acara makan bersama yang diadakan keluarga Bazzel. Untuk pertama kalinya Vanilla akan bertemu langsung dengan orang tua Vino. Tentu, dia sempat menolak. Tapi karena tak tega melihat Collisius terus-terusan membujuknya, Vanilla pasrah. Selama ia memegang prinsip 'demi usaha ayah', semua akan baik-baik saja.

"Memang di hutan ada sinyal ya, Pa?"

Dahi berkeriput itu mengerut serupa ombak. Sedetik kemudian, Collisius menepuk dahinya. Pantas saja garis berwarna biru ini tidak bertambah-tambah seiring mobilnya melaju. "Ayah lupa di sini gak ada sinyal," decak Collisius sebal.

"Berarti ini bukan rumah Vino?"

"Gak tahu juga. Ayah yakin kok udah ngikut jalannya meskipun gak ada sinyal," ujar Collisius memberi pembelaan.

Tok! Tok! Tok!

Suasana mendadak hening saat mendengar suara ketukan. Collisius bergegas mengarahkan senter ponselnya ke jendela terdekat. Takut-takut kalau ternyata ada penguntit yang mengikuti mereka dari tadi. Namun nyatanya, seorang pria dengan setelan tuxedo-nya tengah tersenyum seraya memberi kode untuk keluar. Dan Collisius kenal betul siapa itu.

"Hei! Apa kabar, Jay? Lama tidak bertemu," sapa Collisius ramah begitu turun dari mobil.

Vanilla dan Marco yang baru saja keluar nampak kebingungan. "Siapa orang itu? Ayahnya Vino?" Marco berbisik pelan. Sementara sang adik mengedikkan bahu tak tahu.

"Aku baik. Bagaimana denganmu? Pasti sulit bukan mencari jalan ke sini? Hahahaha ...."

"Ah, iya. Aku hampir tersesat tadi. Bahkan aku hendak pergi dari sini kalau-kalau ternyata ini bukan tujuan yang tepat." Collisius menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Pandangan Jacob lalu beralih pada dua anak muda yang berdiri tak jauh darinya. "Oh! Perkenalkan ini Marco, putra sulungku. Dan ini Vanilla, calon menantumu," ucap Collisius menyadari maksud tatapan itu.

Kedua mata Jacob seketika berbinar. "Benarkah? Kalau begitu perkenalkan, saya Jacob Diego Bazzell, ayahnya Vino." Jacob mengulurkan tangan.

Marco yang pertama menerima. "Salam kenal, Paman Jacob."

"Hahaha ... tidak usah formal begitu. Santai saja. Lagian tidak lama lagi kita berkeluarga bukan?" goda Jacob menaik-turunkan alisnya.

Marco cengengesan, gugup. Giliran Vanilla yang berjabat tangan dengan ayah tunangannya. "Salam kenal, Paman. Saya Vanilla Aisle Lamonda, tunangan putra paman." Vanilla bergidik di akhir kata.

Kali ini Jacob tertawa lepas. Pria yang mulai beruban itu nampak sangat bahagia. "Jadi ini yang namanya Vanilla? Wah ... ini pertama kalinya aku bertemu putrimu, Sius. Seharusnya kau mengajak putrimu saat kita merencanakan perjodohan ini waktu itu."

"Ah! Maaf, gadis ini agak sedikit keras kepala. Dia malu bertemu dengan kalian." Pria itu sedikit membungkuk.

Vanilla mengernyit heran. Untuk apa ayahnya meminta maaf karena hal sesepele ini? Se-berkuasa itukah keluarga Bazzell sampai ayahnya sendiri segan dengan mereka?

"Baiklah. Sudah-sudah, kita masuk dulu. Istri dan putraku sudah menunggu di meja makan."

Vanilla dan Marco menghela napas lega. Akhirnya sesi perkenalan ini selesai juga, pikir mereka.

Sang tuan rumah berperan sebagai penuntun jalan. Dress merah maroon yang membalut tubuh Vanilla membuat gadis itu sedikit kesulitan untuk bergerak leluasa. Oh, dan jangan lupa bagian atas pakaiannya yang mengekspos belahan dada dan ketiak Vanilla. Demi kerang ajaib, Vanilla lebih memilih mengenakan seragam sekolahnya sekarang.

Baru saja hendak menginjak tangga pertama, Collisius tiba-tiba berseru, "Eh! Aku lupa memarkirkan mobilku. Boleh aku meminjam garasimu? Langit sudah mendung dan aku baru saja membersihkan mobil ini."

"Oh, baiklah. Silahkan saja, jangan sungkan. Ayuk Vanilla, Marco, kalian duluan."

~•^Δ^•~

Seperti biasa, menjelang fajar menyingsing, pria itu selalu menyempatkan diri berkutat dengan hobinya. Suara halus gesekan kuas dengan kanvas menjadi musik favoritnya tersendiri. Diam-diam, pria itu membangun ruangan khusus untuk menumpahkan imajinasinya. Tentunya tanpa sepengetahuan para bodyguard bertubuh kekar itu. Ia bisa saja tiba di Indonesia tanpa kepala kalau rahasianya sempat bocor. Satu-satunya orang yang bisa dipercaya di negeri penghasil susu dan madu terbaik di Eropa ini hanya Virgo, sopir pribadinya.

Lupa mengunci pintu? Tenang, ada Virgo. Ingin melukis di suatu tempat tapi lupa membawa kanvas dan cat acrylic-nya? Tenang, Virgo bisa mengatasinya. Atau jangan-jangan kalian ingin memindahkan seisi ruangan ini tapi takut ketahuan? Santai, Virgo ahlinya. Hidup dan mati Angkasa sudah seperti ada di tangan pemuda berkepala 3 tersebut.

Sesaat mengamati sekitaran, Angkasa baru sadar ruangan ini sudah kosong melompong. Menyisakan satu-satunya lukisan yang tengah ia kerjakan di tengah ruangan. Sepulangnya dari Swiss, Angkasa pasti akan rindu tempat ini. Rindu caranya mengendap-ngendap masuk, rindu setiap detik yang ia habiskan untuk melupakan sejenak dunia yang egois.

Drttt ... Drttt ...

Angkasa terpaksa menunda kegiatannya tatkala mendapat panggilan. Tertera nama 'Brandon Dewantara' di layar ponsel. Angkasa menarik napasnya dalam-dalam sebelum berbicara.

"Halo ayah?"

"Gunakan bahasa Jerman saat berkomunikasi denganku. Biar kulihat seberapa jauh kemampuan berbahasamu."

Ya. Brandon baru saja mengabaikan salam putranya sendiri. Angkasa meneguk ludah, mengingat-ngingat betapa tabahnya ia dianugerahi ayah sediktator ini.

"Wie geht es Papa jetzt?" (Bagaimana kabar ayah sekarang?)

Hening sesaat. Brandon tak tahu saja, jantung putranya sudah berdisko ria selagi menanti balasan.

"Papa ist nie weit von einem freundlichen Wort entfernt." (Ayah tidak pernah jauh dari kata baik)

Akhirnya, batin Angkasa lega.

"Ich habe gehört, du gehst morgen nach Hause. Ist alles fertig?" (Ayah dengar kau akan pulang besok. Apa semuanya sudah siap?)

"Schon, Vater. Kein grund zur sorge." (Sudah, Ayah. Tidak perlu cemas)

"Gut. Lass es unnötig. Ich hasse es, wenn du später Müll zurückbringst." (Baik. Tinggalkan saja yang tidak perlu. Aku benci jika kau membawa pulang sampah nantinya)

Deg! Sampah?

"Guter, Vater." (Baik, Ayah)

"Zuletzt, vor dem auflegen dieses telefons." (Terakhir, sebelum menutup telepon ini)

Angkasa menelan salivanya kasar. Apalagi ini?

"Lass mich nicht wissen, was ich nicht wissen sollte." (Jangan sampai aku mengetahui yang tidak seharusnya kuketahui)

Continue Reading

You'll Also Like

335K 388 14
Threesome gangbang bdsm bikin memek basah
197K 13.5K 30
Pertemuan tidak di sengaja sehingga keduanya saling mengucapkan janji kelak akan bertemu kembali. Pada tahun 2008 Raden Sadewa saat itu masih berumu...
4.5M 169K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
3.9M 50.5K 39
Cerita Dewasa! Warning 21+ Boy punya misi, setelah bertemu kembali dengan Baby ia berniat untuk membuat wanita itu bertekuk lutut padanya lalu setela...