Unforgettable Marriage

By FlatFlo

3.4M 112K 7.9K

Ini hanyalah sepenggal kisah tentang Iris Jingga yang kembali dipertemukan dengan sahabat seumur hidupnya. Ki... More

Permulaan
BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 10a
Spoiler
BAB 10b
BAB 11
BAB 12
BAB 13
BAB 14
Short Version
BAB 15
Pengumuman
BAB 16
BAB 17
BAB 18
BAB 19
BAB 20
BAB 21
BAB 22
BAB 23
BAB 24
BAB 25
BAB 26
BAB 27
BAB 28 ( Banyu POV )
Another Story of BanRis^^
BAB 29
BAB 30
BAB 31
BAB 32
BAB 33
BAB 34
BAB 35
BAB 36 [ Ending ]
Sesuatu something^^
BAB 36 [ Repost Ending ]
[Best Moment] : Pasukan (Banyu) Biru
About Triplet Biru
Kejutan
Tanya Jawab

BAB 9

57.3K 2.7K 120
By FlatFlo

~ Maaf kalau masih banyak typo, nggak nge-feel and bla...bla... Maklumi ya, masih anak bawang^^ ~

***

Siang ini aku berencana menemui Banyu, semacam memberikan kejutan kecil dengan menyempatkan diri datang ke kantornya. Selain ingin mengantarkan sekotak makanan cepat saji sebagai ucapan maaf karena telah mengerjainya habis-habisan kemarin malam, ada sesuatu dalam diriku yang setiap menitnya selalu mendesak agar bisa kembali melihat wajah itu. Wajah yang entah sejak kapan membayangi pelupuk mataku. Apa, ini pantas disebut sebagai kerinduan? Perasaan menggebu-gebu yang tidak bisa dihilangkan begitu saja kalau belum membingkai wajah itu untuk kembali ku simpan rapat dalam memori.

Ku bereskan barang-barang yang tergeletak di atas meja, beberapa sketsa yang belum juga menemukan hasil akhir karena pikiranku yang carut-marut bertumpuk menjadi satu di dalam sebuah map plastik berwarna biru tua. Setelah semua barang tertata rapi dan kembali ke tempat asal, aku menemui Mbak Ghea, orang kepercayaanku yang kebetulan dulu adalah seniorku di kampus yang hampir dua tahunan ini bekerja disini. Aku berpesan, kalau ada masalah di butik tinggal menghubungiku saja karena aku ada keperluan penting yang tidak bisa ditinggal begitu saja. Dan sialnya! Di tengah terik matahari yang begitu menyengat, aku harus terjebak dalam antrian mobil yang begitu panjang. Pemicunya adalah, sebuah mini bus yang mengangkut banyak penumpang mengalami tabrakan maut dengan sebuah Avanza silver hingga memakan kurang lebih 6 korban nyawa. Oh, itulah gunanya mentaati peraturan lalu lintas ketika sedang berkendara. Tidak seenaknya ngebut seolah-olah jalan raya itu warisan nenek moyang yang bisa dipakai sesuka hati.

Kalau biasanya hanya butuh waktu satu jam untuk mencapai kawasan gedung perkantoran Banyu, maka sekarang perjalanan menjadi molor dua jam. Untung saja lagu-lagu lawas menjadi penghibur rasa bosanku. Lagu Barry Manilow yang berirama riang tapi memiliki lirik yang merepresentasikan isi hatiku jadi salah satunya.

Can't Smile Without You.

Yeah, senyumku yang lambat laun pudar setelah berpisah dengan Banyu. Tapi...sudahlah. Aku tidak ingin lagi berjalan mundur ke belakang kalau sekarang Tuhan sedang memberiku kesempatan kedua untuk meraih apa yang selama ini menjadi impianku. Ku parkir Volkswagen diantara beberapa mobil lain tepat di depan sebuah gedung pencakar langit yang terlihat megah. Entah terdiri dari berapa lantai, aku juga tidak tahu karena ini kali pertama aku menjejakkan kaki di sini.

Ada perasaan gugup menderaku. Keringat dingin juga mulai mengucur dari leherku yang tertutup rambut. Aku jadi sedikit ragu. Apakah harus meneruskan kejutan ini, atau mengurungkannya saja dengan alasan tidak etis seorang wanita sepertiku bertindak agresif dibandingkan Banyu yang hanya jalan di tempat. Aku menghempaskan punggung ke jok mobil, mengambil nafas lewat mulut berkali-kali dengan irama teratur. Setelah memantapkan diri, aku keluar dan berjalan menapaki tiap jengkal ubin marmer berwarna putih gading.

"Selamat siang, Mbak. Bisa saya bantu?" Tanya seorang wanita berlesung pipi yang tersenyum ramah kepadaku.

"Apa saya bisa bertemu dengan Bapak Banyu?" jawabku langsung tanpa berniat mengulur-ukur waktu lagi. Jam di pergelangan tangan juga sudah menunjuk pada angka yang melewati jam batas makan siang. Aku takut bungkusan makanan yang masih ku cengkeram erat ini hanya akan berakhir di tong sampah tanpa disentuh Banyu.

"Kalau boleh tahu, apa Mbak sudah membuat appointment dengan Pak Direkur?"

"Belum," wanita muda yang bernama Diandra Anindita ( sesuai dengan yang ku eja dari name tag yang menggantung di atas dada sebelah kanan ) menatapku ragu. Cepat-cepat aku menyela sebelum dia salah sangka dan memanggil security untuk menggeretku paksa dari sini.

"Tadi Pak Banyu berpesan minta dibelikan ini untuk makan siang," ku acungkan bungkusan plastik dengan logo sebuah restoran Jepang yang cukup terkenal,mbak resepsionis masih menatapku skeptis.

"Kalau boleh tahu, Mbak ini siapanya Bapak?"

"Sepupunya," jawabku dengan suara ku buat setenang mungkin, berharap mbak-mbak resepsionis cantik satu ini langsung percaya.

Cukup lama dia memberikan pertimbangan. Aku paham betul, sebagai karyawan biasa, tentu tidak boleh sembarangan membiarkan orang asing sepertiku yang notabene baru sekali ini menginjakkan kaki di Dharmawangsa Group bisa secara leluasa keluar masuk gedung tanpa status yang jelas. Untuk lebih meyakinkannya dan meminimalisir terjadinya kesalahpahaman, ku keluarkan hp dari dalam tasku.

"Kalau anda kurang yakin, silahkan tanyakan langsung pada Mami Laras," aku merujuk nama besar ibu Banyu agar kejutan kecil ini berjalan tanpa hambatan. Ku angsurkan hp ke atas meja, membiarkan benda persegi panjang berwarna hitam itu tergeletak begitu saja. Setelah cukup lama berpikir, mbak resepsionis tersenyum sekilas dan mengangkat gagang telepon. Dia menekan beberapa digit angka hingga tersambung dengan seseorang entah dibagian divisi mana dan mulai berbincang.

"Maaf, dengan mbak siapa?"

"Iris, nama saya Iris Jingga," perkenalan singkatku. Dia mengangguk, lantas menjelaskan kalau seorang OB sebentar lagi akan tiba untuk mengantarkanku ke ruangan Banyu.

"Terima kasih," pamitku sebelum melangkahkan kaki ke lantai delapan belas dan mengekor patuh di belakang seorang pria berseragam biru langit yang baru saja tiba dengan gaya...jadul.

Rambutnya klimis seperti disiram dengan lima botol hairgel. Dandanannya rapi dengan sebuah sisir berwarna pink yang sedikit menyembul dari saku seragam yang dia kenakan. Tanpa peduli eksistensiku, pria muda berumur sekitar dua puluhan ini bersenandung kecil dalam bahasa india. Sebenarnya, telingaku agak terganggu mendengarkan suara sumbangnya, tapi entah kenapa yang ku lakukan hanya berusaha mati-matian menahan tawa.

"Suka lagu india ya, dek?" tanyaku basa-basi untuk mencairkan suasana sepi di dalam lift.

"Banget Mbak'e," aksen jawanya terdengar kental sekali.

"Artis favoritnya siapa?"

"Now and forever. Sekarang dan selamanya om ganteng Shah Hruk Khan yang tak tergantikan," meski super duper lebay, tapi sedikit berhasil mengendurkan otot-otot pipiku yang semula kaku karena susah ditarik untuk sekedar tersenyum tipis.

"Yang main Kuch-Kuch Hota Hai itu ya? Yang akhirnya nikah sama sahabatnya sendiri?"

Pikiranku menerawang ke langit-langit lift yang terus bergerak naik. Film yang kisahnya hampir sama dengan kisahku dengan Banyu, hanya saja dengan ending yang tak serupa. Kalau diakhir cerita mereka menikah karena sadar saling mencintai satu sama lain, sedangkan dalam dunia nyataku cinta tetap tumbuh dari sepihak, dari seorang wanita tolol yang tidak kunjung bisa memusnahkan perasaannya meski putaran waktu terus merangkak meninggalkan masa lalu yang pahit.

"Mbaknya suka nonton film india juga, toh?"

"Kalau lagi iseng aja, dek...," aku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal dan nyengir kuda pada bocah di depanku ini.

"Namanya siapa?" Pertanyaan spontan yang meluncur begitu saja dari mulutku setelah melihat tulisan "My Name Is Khan" menempel di salah satu sudut atas seragamnya. Nama yang aneh, pikirku.

"My name is Khan," sambil mengulurkan tangan. Dan aku menyambutnya dengan keraguan yang bergelayut manja. "My name Iskhandar lebih lengkapnya, Mbak'e," sambungnya begitu tangan kami bertaut.

Edyannn!!!!

Hanya itu satu-satunya komentar yang tertahan di ujung lidah. Aku jadi berpikiran ingin mengadakan barter dengan Banyu, menukar OB-ku dengan Si Iskhandar ini. Aku yakin, Avelyn pasti tidak akan menolak, toh dia akhirnya dia bisa ketemu kembarannya yang berbeda jenis kelamin.

~ Tring ~

Pintu lift terbuka, Iskandar membawa langkahku berhenti di depan sebuah pintu kayu berwarna cokat tua yang terlihat mengkilap, seperti habis dipelitur ulang menghidu dari bau catnya yang terasa menusuk-nusuk hidungku. Ku lirik meja sekretaris Banyu yang jaraknya hanya beberapa meter dari ruangan si bos tampak kosong. Kemungkinannya, dia sedang sibuk dengan pekerjaan lain.

"Ini ruangannya bapak, Mbak Iris," volume suaranya menurun, seperti tengah berbisik.

"Makasih ya, dek," Iskandar mengangguk.

Setelah kepergian Iskhandar, aku menatap pintu kayu yang berdiri kokoh di depanku. Tidak bisa dibilang menutup sih sebenarnya karena masih ada celah hampir seperdelapan bagian yang membuat mataku bisa menangkap interior kantor yang terbilang cukup rapi. Saat tanganku hendak meraih handle, aku mengurungkannya. Rupanya Banyu tidak sedang sendirian.

"Please, Banyu! Kasih aku kesempatan sekali lagi," suara seorang wanita yang terdengar begitu asing.

Dadaku mulai berdebar-debar. Ada perasaan cemas bahwa ini akan menjadi pertanda buruk untuk kelangsungan rencana kami. Dan yang lebih parahnya hingga membuat tulang-tulang kakiku seperti dilolosi, saat wanita itu dengan leluasa menangkap punggung lebar Banyu dan memeluknya erat dari belakang.

"Harus berapa kali ku katakan, nggak ada lagi yang tersisa dariku untukmu, Citra."

"Please, Banyu...," mohon wanita itu sekali lagi. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena posisi mereka yang memunggungiku.

Hanya sekilas mendengar, aku bisa menyimpulkan bahwa ada sesuatu diantara mereka di masa lalu. Tapi apa? Apa...apa mereka pernah menjalin hubungan sebelumnya? Tiba-tiba saja lidahku terasa kelu. Saat aku mati-matian mempertahaankan perasaanku selama tiga belas tahun ini, justru sudah berapa banyak wanita yang datang silih berganti dalam kehidupan Banyu. Saat aku tetap berdiri meski dengan sedikit harapan yang tersisa, badai itu harus kembali menghantamku seperti sebuah godam yang menggilas tubuhku hingga remuk redam.

"Maaf, Citra....," Banyu menggeleng mantap. Pelupuk mataku sudah berair, menatap nanar pemandangan yang terlihat begitu melukaiku seperti mata belati yang menghunus tepat di ulu hati.

"Apa karena Liana?" Wanita yang bernama Citra itu melepas pelukannya, menarik lengan Banyu hingga dua pupilku bisa kembali membingkai wajah itu, tapi dengan perasaan yang tidak menentu sesaat setelah nama Liana kembali disebut-sebut.

Aku menahan nafas. Seperti tahanan yang menanti detik-detik eksekusinya.

Banyu bungkam. Mulutnya tertutup rapat. Ku mohon Banyu, hanya kali ini saja, sekali ini katakan tidak agar aku punya alasan yang masuk akal untuk mempertahankanmu, untuk memperjuangkan cintaku.

"Jawab aku Banyu! Kamu masih cinta Liana, huh!" Tanya Citra dengan tidak sabaran. Bahkan wanita itu tahu siapa Liana. Entah sudah berapa banyak yang aku lewatkan dari kehidipan pribadi Banyu selama ini.

"Kalau aku bilang, aku masih sangat mencintainya. Apa itu bisa membuatmu mundur?"

Aku....aku tidak tahu lagi harus mendeskripsikan seperti apa hatiku ini. Mungkin seperti sebuah porselen yang dibanting dengan kekuatan super ke lantai hingga membuatnya jadi pecah berkeping-keping.

Dadaku sesak sekali.

Bahkan suara-suara yang berdengung di sekitarku tidak terdengar. Hanya satu kata yang berputar-putar di kepala. Hanya satu kata "sangat" sanggup meruntuhkan pertahananku. Aku tidak bisa mencegah airmata sialan ini. Aku tidak punya alasan lagi untuk berdiri lebih lama lagi di sini kalau jawaban dari semua pertanyaanku sudah ku dapat.

Aku menyandarkan tubuh ke dinding, membiarkan paru-paruku mengambil udara yang terasa hampa sebelum sendi-sendi tulangku kembali mendapatkan kekuatannya. Aku berjalan pelan, meninggalkan Banyu dengan perasaan sakit ini. Sangat sakit hingga beberapa kali aku menepuk dada kuat. Sebelum masuk ke dalam lift, aku berpapasan dengan wanita yang membalut tubuh langsingnya dengan sebuah blouse putih dan rok hitam selutut yang tampat begitu serasi. Dia sempat menatapku bingung, tapi tidak mengatakan apapun.

Sampai di dalam volkswagen, ku benamkan sepenuhnya wajahku dibalik stir dan menumpahkan segalanya. Membuat mendung yang menggelayuti hatiku menjatuhkan rintik-rintik hujan dalam bentuk tangisan yang terdengar begitu memilukan. Aku tidak peduli. Persetan dengan suara isakanku yang mungkin saja bisa tembus keluar. Apa aku salah jika ingin menangis sepuasnya? Bahkan dengan wanita lain Banyu bisa dengan semudah itu menjalin hubungan, tapi kenapa tidak denganku? Aku tahu, aku tidak semenarik mereka. Tapi tidak bisakah melihat cinta yang tidak pernah surut dari kedua mataku ini?

Banyu, apa sebaiknya aku harus menyudahinya? Perasaan sakit, lelah, dan kecewa tak ubahnya seperti molotov yang dijatuhkan tepat di atas kepalaku. Seperti racun mematikan yang perlahan akan mencabut nyawaku. Aku lelah. Sangat lelah dengan takdir yang terus seperti ini.

Continue Reading

You'll Also Like

397K 20.7K 28
"Aku bukan Widura dan kamu bukan Padmarini. Aku juga bukan Papa, dan kamu juga bukan Mama. Tetapi aku pikir kita bisa belajar bersama untuk mencintai...
29.3K 2.2K 11
#miniseri 3 Menjadi orang yang dilimpahi kasih sayang dan kepedulian oleh Banyu membuat Biru hilang kendali atas hatinya. Ia mulai memiliki rasa di a...
980K 96K 58
Don't Cross the Line, sebuah idiom sakti yang menuntun Hanni tetap bertahan pada posisinya. Seorang wanita dewasa yang sejak kecil sangat terlatih da...
1M 48.4K 47
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...