SIGNAL: 86

Da Arabicca69

109K 17.6K 2.4K

[Misteri/Thriller] Bercerita tentang petualangan dua orang detektif kepolisian dari masa yang berbeda. Kisa... Altro

PEMBUKA
[Case 1: Home Sweet Home (?)]
1. HT Tua
2. Rumah (?)
3. Informasi Sang Letnan
4. Cerita Masa Lalu
5. Disza Anszani
6. Lapor
7. Fakta
8. Olah TKP Lanjutan
9. Kronologi Tak Terduga
10. Juru Selamat
11. Mencari Sebuah Kepastian
12. Benarkah Yang Kita Lakukan Ini?
13. Jangan Kuatir
14. Kabar
[Case 2: Sex Interest (?)]
15. Sign
16. No Angels
17. Letter to You
18. Does God Really Exist?
19. Graveyard (?)
20. Am I Just Dreaming?
21. Treasure
22. Chaos
23. It's Okay
24. To Pieces
25. The Dog Named Hachiko
26. Curious
27. If Only I Could
[[ Jalinan ]]
28. Hopeless and Happiness
29. Hiatus
30. Press Release
30.2. Press Release
31. Tragic
32. Regret
[Case 3: Dust & Gold]
33. Berita Buruk
34. A Thing To Remember
35. A Gift
[[ Jalinan ]]
37. Seseorang dari Masa Lalu
38. Breath In
39. Kenangan Dalam Sebuah Foto
[[ Jalinan ]]
40. Transmisi Terakhir
41. Transmisi Terakhir II
[[ Jalinan ]]
42. Peti Mati Tanpa Isi
43. Pesan yang Tak Sampai
43.2. Pesan yang Tak Sampai
44. Babak Baru
45. Sebuah Firasat
46. Tensitas
47. Teror
48. Teror [2]
49. Sebuah Fakta
50. Titik Akhir
51. Titik Akhir [2]
52. Kekalutan
53. Kembali
54. Kehilangan
55. Menelisik
55.2 Menelisik Bagian II
56. Kejutan

36. Rahasia Gambar dalam Gambar

1.3K 219 41
Da Arabicca69

Berulang kali Fred mengetuk pintu, tetapi tidak ada satu orang pun yang menyahut. Tangannya sedang penuh saat ini, terpaksa dia menggerakkan kenop pintu dengan sikunya. Setelah mencoba selama beberapa saat, pintu kayu berukir di hadapannya pun membuka kemudian. Fred masuk tanpa pikir panjang. Dia sudah membuat janji, tetapi tampaknya Dahlan masih sibuk mengurus jenazah di laboratorium. Sesuai dengan perkiraannya, Dahlan tidak ada di ruangan saat ini.

Pot berisi tanaman yang sejak tadi dibawanya pun dia letakkan di tengah-tengah ruangan. Manik matanya kemudian bergulir, menelisik seisi ruangan bernuansa cokelat tua tersebut. Satu. Sudut matanya menangkap sebuah kamera CCTV yang diletakkan di dekat pintu masuk. Hanya satu. Jenis Dome Camera. Namun, diposisikan menghadap ke dalam ruangan. Akan sangat mencurigakan jika Fred bertindak sesuka hati. Dia mesti mencari cara lain untuk bisa mendekati PC di atas meja kerja Dahlan.

"Jo, beralih ke plan b." Fred berbisik melalui earpiece-nya. Di seberang sana Joanna segera menjawab "Roger, Kapten" dengan suara berat yang dibuat-buat.

Fred lalu duduk dengan tenang di atas sofa tamu sembari menyilang sebelah kaki. Dia menguncir rambutnya ke belakang, kemudian menata rambut depannya yang tersisa hingga sedemikian rupa untuk menyembunyikan earpiece yang dia kenakan di telinga kanan. Sialan, batinnya. Kali ini Agus Sinar benar-benar menempatkannya dalam masalah besar. Sama seperti dua tahun lalu—saat Fred terpaksa membobol Bank DNA dalam database milik Pusat Orang Hilang atas perintahnya. Orang-orang dari Divisi Cyber berhasil mengendus jejaknya pada saat itu. Fred terkena sial. Dan, kini, Agus Sinar justru memintanya menyelidiki Dahlan.

Fred sontak bangkit dari sofa ketika mendengar suara langkah kaki dari luar. Dahlan masuk tak lama kemudian. Mendapati Fred yang tengah melambaikan tangan, Dahlan hanya melirik sekilas. “E-mailnya sudah dikirim?” Dia sibuk bertelepon dengan seseorang—entah siapa. “Baiklah. Akan segera kuperiksa.”

Fred memasang senyum terbaiknya ketika melihat Dahlan berjalan menuju meja kerjanya. Dia berbisik lagi pada Joanna, “Dahlan sudah menghidupkan PC-nya.” Lalu, kembali menyunggingkan senyum.

“Lama tidak bertemu, sekarang kau mengubah gaya rambutmu,” ucap Dahlan ketika manik matanya bertemu dengan Fred.

“Yah ...,” Fred melenguh panjang, agak kikuk dibuatnya. “mayat-mayat itu membuatku tak sempat memotong rambut, Pak,” kelakarnya.

“Mau bagaimana lagi,” balas Dahlan kemudian. “Pembunuhan nyaris terjadi setiap hari, tapi Batam hanya punya satu Kepolisian Resor. Kita masih kekurangan anggota Tim Inafis.”

Fred hanya membalas dengan gumaman singkat. Dilihatnya Dahlan kembali sibuk memainkan tetikus dan PC-nya.

Sembari menunggu, Fred memilih melihat-lihat ruangan Dahlan. Sederet foto berpigura yang dipajang di dinding ruangan menariknya untuk mendekat. Kebanyakan potret yang diabadikan di dalamnya adalah foto-foto Dahlan semasa muda. Fred mengangguk-angguk. Dahlan memang telah banyak berkontribusi dalam dunia kepolisian, pikirnya. Ketika terjadi pemekaran di tubuh Satuan Reserse Kriminal, Dahlan lebih memilih bergabung dengan Unit Identifikasi ketimbang divisi-divisi lainnya. Di sanalah awal mula Dahlan mulai menggeluti seluk beluk olah TKP, mayat, dan teka-teki perkara. Tak terhitung berapa banyak kasus yang telah ditanganinya.

Foto pertama yang Fred lihat adalah sewaktu Dahlan ikut membantu mengidentifikasi jenazah korban pesawat jatuh—dalam kasus misteri 2 ton durian yang cukup menggegerkan pada tahun 2005 silam. Peristiwa itu terjadi di Sumatera Utara. Foto selanjutnya, diambil sekitar tahun 2010—di mana Dahlan sempat menjabat sebagai Kepala Unit Inafis Polda Lampung. Kemudian, momen ketika Dahlan berpose di depan para taruna-taruni Akademi Kepolisian angkatan tahun 2013. Pada saat itu Dahlan merupakan seorang tenaga pengajar di Akademi Kepolisian dan Fred adalah salah satu muridnya. Foto Dahlan yang sedang tersenyum sambil memegang buku-buku yang pernah diterbitkannya juga dipajang di sana. Dua bukunya yang paling terkenal—berjudul Jejak Perkara dan Pahlawan Dibalik Layar. Melalui buku-buku tersebut-lah Dahlan banyak membagikan kisahnya selama bertugas di Unit Inafis. Semua hal yang telah dicapainya sampai sejauh ini terabadikan dalam foto-foto tersebut.

Namun, dari semua foto-foto itu, yang paling menarik perhatian Fred adalah, foto peresmian gedung Pusat Orang Hilang Perwakilan Wilayah Kepulauan Riau yang digantung persis di belakang kursi Dahlan. Fred mengernyit heran. Dia tidak pernah tahu kalau Dahlan juga ikut hadir dalam acara peresmian tersebut. Penampilan Dahlan tidak banyak berubah kalau Fred perhatikan; kurus, tinggi, dengan gaya rambutnya yang klimis. Dahlan tampak memegang sebuah gunting dalam foto tersebut—berdiri sejajar bersama orang-orang yang tidak begitu Fred kenali raut wajahnya.

“Apa yang membawamu kemari?”

Suara Dahlan menarik Fred kembali dari lamunannya.

Fred tertawa canggung. Dia sempat kehilangan kata-kata saat mendapati Dahlan menatapnya lamat-lamat. Namun, kemudian, Fred buru-buru menguasai dirinya—sebelum Dahlan memikirkan hal yang tidak-tidak. “Saya dengar, baru-baru ini Anda diangkat sebagai Kepala Lembaga Pusat Orang Hilang untuk Kanwil Kepulauan Riau. Jadi, saya datang untuk mengucapkan selamat kepada Anda.”

Dahlan berpindah ke sofa tamu. Matanya kemudian melirik sebuah pot berisi tanaman anggrek bulan yang diletakkan sembarang di tengah ruangan. Fred lantas tersadar. Dia bermaksud memindahkan pot tersebut ke sudut ruangan, tetapi Dahlan langsung mencegahnya.

“Taruh saja di situ. Nanti akan kusuruh orang lain memindahkannya.” Dahlan mempersilakan Fred kembali duduk di sofa. “Bagaimana kasus-kasusmu di sini, Fred?”

“Banyak kasus menarik, tentunya, yang saya temui selama bertugas di Batam," jawab Fred antusias. "Mulai dari jasad yang telah membusuk, terbakar sampai hangus, korban mutilasi, sampai kasus bunuh diri palsu. Kemarin, kami baru saja selesai menangani kasus penemuan kerangka.”

“Maksudmu, kasus pembunuhan berantai di Desa Batu Bedimbar itu?” tanya Dahlan memastikan.

Fred mengangguk.

“Apa kau mengalami banyak kesulitan selama mengidentifikasi kerangka-kerangka itu?”

“Tidak juga sebenarnya,” ujar Fred sembari menimbang-nimbang. “Tapi ... di antara empat kerangka manusia yang berhasil kami temukan, hanya kerangka waria itu yang sulit diidentifikasi. DNA-nya ternyata tidak ada dalam database POH meskipun laporan kasusnya terdaftar dalam arsip kepolisian. Untungnya ada seorang saksi yang mengenali barang-barang milik korban. Kira-kira ... kenapa bisa seperti itu, Pak?”

Dahlan sempat bergumam sebelum kemudian menjawab pertanyaan Fred. “Aku sudah mempelajari salinan berkas kasusnya.” Dahlan memijat pelipisnya yang mendadak berkedut hebat. “Joseph Judith alias Santini dilaporkan menghilang pada tahun 2002. Kau tahu, kan, kalau lembaga penelitian ini baru diresmikan pada tahun 2007. Jadi, ada kemungkinan kasus-kasus orang hilang yang terjadi sebelum tahun 2007 tidak tersimpan dalam database kami.”

“Lalu, bagaimana dengan kerangka ketiga korban lainnya, Pak? Mereka juga dilaporkan menghilang pada tahun 2002—tapi database menyimpan DNA keluarga mereka.”

Fred tersenyum sekilas. Tampaknya, Dahlan mulai kesal. Ekspresi di wajahnya berubah jengah seketika. Hal-hal semacam ini sebenarnya tidak perlu lagi dipertanyakan karena Fred sudah tahu jawabannnya. Dia hanya mengulur waktu. Joanna pasti sedang memeriksa PC Dahlan saat ini. Jadi, Fred mesti mengalihkan perhatian Dahlan.

Meski enggan, Dahlan terpaksa menjawab juga. Walau bagaimanapun dia sangat menghargai Fred sebagai salah satu anak didiknya.

Dahlan seperti merasakan dejavu ketika lagi-lagi dia diharuskan menceritakan sejarah perkembangan berdirinya lembaga penelitian ini. Pada saat itu, sekitar satu tahun setelah Lembaga POH diresmikan, kepolisian mengimbau kepada masyarakat yang kehilangan anggota keluarganya untuk melaporkan kembali kasusnya ke Lembaga POH. Keluarga korban hanya perlu melaporkan DNA mereka, tetapi tentu tidak semua orang mau melakukannya, sebab urusannya terlalu berbelit-belit.

Untuk kasus Joseph Judith alias Santini sendiri, laporan kasusnya memang tidak pernah tercatat dalam pendataan ulang. Belakangan baru diketahui bahwa ibu kandung korban sudah lama memutuskan hubungan dengan korban. Jadi, kemungkinan, ibu kandung korban tidak pernah melaporkan DNA-nya ke Pusat Orang Hilang. Hal inilah yang menyebabkan hasil ekstrasi DNA dari tengkorak dan gigi milik Joseph Judith alias Santini tidak teridentifikasi—tidak ada rumus sidik jari DNA yang cocok dalam mesin pencarian. Sementara untuk ketiga korban lainnya, laporan kasus mereka sempat tercatat dalam pendaatan ulang, sehingga tidak memerlukan banyak waktu untuk mengetahui identitas mereka.

Fred tidak begitu merespons penjelasan Dahlan. Pikirannya tengah dipenuhi oleh pertanyaan mengapa dan bagaimana. Fred rasa, kecurigaan Agus Sinar pada Dahlan tidaklah berdasar. Dahlan hanyalah seorang petugas Inafis andal yang tiba-tiba diangkat menjadi kepala di lembaga penelitian ini. Tidak sedikit anggota polisi yang memilih berhenti dari dunia kepolisian kemudian melanjutkan karir di tempat lain. Nama besar seperti Novel Baswedan, dulunya adalah seorang anggota polisi, yang memutuskan pensiun dini, kemudian menjalani karirnya sebagai penyidik KPK.

Suara Joanna tiba-tiba merasuk dalam pikirannya. Fred mendengarnya melenguh, seolah sedang menahan kesal, kemudian dia berbicara dari dalam earpiece.

“Fred, aku butuh waktu untuk memeriksa isi dalam PC-nya. Ada sesuatu yang ....”

Joanna menggantung kalimatnya begitu saja, membuat Fred lantas menelan ludah gugup. Sepertinya Joanna berhasil menemukan sesuatu yang sangat menarik, pikirnya.

“Ajaklah dia makan siang di suatu tempat,” ucap Joanna memberi saran.

Namun, Fred tidak segera menyetujuinya. Dia sedang menimbang bahasa. Tidakkah akan sangat mencurigakan jika tiba-tiba dia mengajak Dahlan keluar? Dahlan memang sempat menjadi dosen di Akademi Kepolisian, tetapi belum pernah sekalipun Fred makan di meja yang sama dengannya.

Fred tidak ingin kejadian dua tahun lalu sampai terulang lagi. Dia tidak menyembunyikan IP-nya sewaktu membobol Bank DNA pada saat itu, sehingga Divisi Cyber bisa dengan mudah menelusuri rute hacking dari server yang dia gunakan. Akibat kecerobohannya itu, Fred harus menjalani hukuman enam bulan penjara serta dikenai penundaan kenaikan pangkat sebanyak dua kali. Dia bahkan didiskualifikasi dalam seleksi beasiswa studi forensik yang diselenggarakan institusi kepolisian.

Belum juga Fred menyuarakan usulan Joanna tersebut, Dahlan rupanya telah lebih dulu berinisiatif mengajaknya. “Apa kau sudah makan siang? Ayo, kita makan bersama di kafetaria.”

Dahlan bangkit berdiri, hendak mencapai meja kerjanya untuk mengambil dompet yang dia simpan di dalam laci. Sontak, Fred berteriak, “Izinkan saya menraktir Anda, Pak!”

Untung saja, ucapannya berhasil menghentikan langkah Dahlan. Fred menghela napas lega. Bisa gawat kalau Dahlan sampai melihat penunjuk mouse di layar PC-nya bergerak-gerak sendiri membuka tab folder.

Dahlan pun lantas berbalik. “Ide yang bagus,” katanya, yang kemudian diakhiri tawa renyah.

Fred tersenyum sedikit, tetapi dilakukannya berulang-ulang sembari menatap langit-langit. Sungguh, Agus Sinar harus membayar mahal kerja kerasnya kali ini.

________________

“Jo, apa yang kaudapatkan?” tagih Fred begitu masuk ke dalam mobilnya.

Joanna yang sedang duduk meringkuk di kursi penumpang hanya menaikkan sebelah alis. Tidak sedikitpun dia berniat melirik Fred di sebelahnya. Tatapan mata Joanna tak lepas dari laptop di atas pangkuan. Merasa penasaran, Fred menjengukkan kepalanya ke dalam layar. Dilihatnya Joana sedang sibuk memeriksa beberapa slide foto di sana.

“Jo—”

“Bisakah kita pergi dari sini?” tukas Joanna cepat, setengah berbisik—padahal tidak ada siapa pun di sekitar mereka. “Aku tidak ingin ketauan.”

Fred rasa dia bisa memaklumi kekhawatiran Joanna. Pekerjaan ini memang sangat berisiko. Fred yang tidak ingin berdebat pun segera menuruti permintaan Joanna. Dia memundurkan mobilnya dari lokasi tempat parkir. Tak lama kemudian mereka pun segera meluncur meninggalkan kompleks gedung lembaga penelitian tersebut.

Fred membawa mobilnya menyusuri jalanan besar di kawasan kantor walikota. Dia melihat taman di depan. Cukup ramai oleh para pejalan kaki juga pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar trotoar. Joanna memintanya menepi kemudian. Fred tidak banyak bicara. Diikutinya semua kemauan Joanna. Segera Fred memasang lampu sein kanan. Mobilnya lalu berhenti di bawah pohon rindang.

“Fred, apa yang sebenarnya sedang kita lalukan ini?” tanya Joanna yang masih tidak habis pikir.

“Menurutmu apa?”

Tanpa sebab yang jelas, Joanna tiba-tiba saja tergelak, memaksa kening Fred berkerut menatapnya.

“Kau sudah melakukan pemeriksaan latar belakang terhadap Dahlan, kan?”

“Tentu saja,” sahut Fred sembari mengangguk.

“Dia tampak luar biasa,” timpal Joanna bersemangat. “Aku tidak tau apakah sesuatu yang kutemukan ini berguna untuk membantumu atau tidak—tapi kau harus melihatnya,” katanya lagi, sambil menghadapkan layar laptop ke arah Fred.

Fred menyipitkan kedua mata. Memastikan apa yang tampak di hadapannya hanyalah sebuah foto—berisi sesosok mayat yang wajahnya sudah membengkak keunguan. Dia sama sekali tidak mengerti. Ditilik berkali-kali pun, tidak ada yang tampak begitu istimewa di dalam foto tersebut.

“Apa maksudmu? Kurasa itu hanya foto biasa.”

“Awalnya kukira juga begitu.” Joanna menyugar rambutnya yang jatuh di sekitar pipi Fred. Tenggorokannya mendadak terasa kering. “Fred, belikan aku minum. Harus yang dingin,” titah Joanna dengan nada mutlak.

Fred tidak kuasa menolak. Dia sangat membutuhkan informasi Joanna.

“Baiklah. Hari ini kau adalah ratunya.”

Fred keluar dari dalam mobil untuk membeli dua botol minuman dari seorang pedagang kaki lima. Joanna terkikik kecil saat melihat Fred nyaris jatuh tersandung kakinya sendiri. Fred sempat bercakap-cakap sebentar, sebelum kemudian pergi meninggalkan pedagang tersebut.

Dengan tenang Fred membuka pintu mobil. Joanna menerima botol minuman dari tangannya dengan senyum semringah. Ditenggaknya isi botol minuman itu sampai tersisa setengah, kemudian ditariknya napas dalam-dalam. Sekarang, dia siap menceritakan soal apa saja yang dilihatnya selama meretas PC Dahlan.

Fred pun menyimak baik-baik.

Joanna bilang, begitu proses booting selesai, dia langsung menyusup ke PC Dahlan dengan menanamkan virus palsu. Selama beberapa menit Joanna hanya memantau gerak-gerik panah penunjuk mouse yang Dahlan gerakkan. Dahlan membuka web browser, kemudian login ke e-mail-nya. Ada sebuah pesan masuk yang diterimanya. Berisi lampiran file .jpg. Hanya itu. Tidak ada tulisan apapun di badan message. Usai men-download file .jpg terlampir, Dahlan langsung memindahkannya ke drive D, kemudian memasukkannya ke folder bernama Subjek. Panah penunjuk kemudian berpindah. Dahlan kembali ke tab browser yang tadi dibukanya dan segera menghapus e-mail itu.

“Aneh, bukan? E-mail yang dikirim hanya berisi gambar ini, tetapi dia langsung menghapusnya secara permanen dari Trash. Seolah-olah,” Joanna menjeda di saat yang tidak tepat, membuat ucapannya berkesan sangat misterius. “ada sesuatu yang disembunyikannya,” lanjutnya lagi.

Kemudian, saat perhatian Dahlan teralihkan oleh Fred, Joanna segera masuk ke direktori penyimpanan—folder Subjek. Dia mengendalikan PC Dahlan dari jarak jauh. Terdapat beberapa foto serupa yang tersimpan di sana rupanya. Foto-foto mayat—yang sepertinya diabadikan di dalam ruang otopsi—dengan size yang cukup besar.

“Aku butuh waktu untuk memastikan dugaanku. Dan, kau tau, Fred, menariknya, ternyata si pengirim membubuhkan pesan rahasia dalam gambar ini,” tunjuk Joanna pada file .jpg yang sejak tadi menjadi bahan pembicaraan mereka.

“Maksudmu ...," Fred berusaha menebak-nebak. "Steg—”

"Steganografi," serobot Joanna kemudian.

Fred sangat tercengang dibuatnya.

“Sialan. Dahlan. Apa yang dia lakukan. Dia main sembunyi-sembunyi rupanya.” Fred terkekeh tajam saking senangnya. “Jadi, kita hanya perlu mengekstrak gambar ini, kan?”

Joanna mengangguk. Jari-jarinya lalu bermain dengan lihai di atas papan tombol. Memang, jika diperhatikan foto tersebut tampak biasa saja, tidak cacat warna atau kabur. Namun, begitu Joanna mengekstraknya melalui winrar, ada gambar lain di dalam file .jpg tersebut.

Joanna menekan touchpad sebanyak dua kali. Pesan yang disisipkan pun muncul—berupa hasil scan beberapa dokumen berformat JPG.

“Apa ini?” Kedua alis Fred menyatu saat tampilan hasil scan memenuhi layar laptop Joanna.

“Sepertinya laporan hasil tes DNA milik seseorang.” Joanna membaca sekilas. “Tapi tidak ada kop suratnya.”

Joanna berpindah ke tampilan gambar berikutnya. Kali ini file yang tersaji berupa laporan hasil uji lab darah atas nama ....

"Atas nama Raiza Arieh?" Kedua mata Fred membeliak lebar. Dia tidak percaya ini.

“Sampel darah yang diuji menunjukkan hasil positif. Pasien dipastikan menderita sifilis.” Joanna menyimpulkan diagnosa.

“Jo, apa kau tahu alamat e-mail si pengirim?”

Joanna menggeleng. “Aku tidak sempat membacanya. Dahlan buru-buru menghapus e-mail itu tadi. Mungkin ... karena kau ada di ruangannya.”

Fred memukul batang kemudi. Sial!

_________________

Notes:

Percayalah, saya udah mabok duluan saat nulis part ini. Beberapa informasi hanya berdasarkan riset. So, please drop your comment bellow if you find any information errors.

Banyak sekali plot hole dalam cerita ini, saya tau.

Terutama soal Eja yang tiba-tiba saya buat menderita sifilis. Jadi, sifilis itu adalah penyakit menular seksual. Penjelasan selengkapnya bisa dibaca di google.

Eja pernah di—kalian taulah apa itu—sama Baron dkk. Cuma, bagian itu gak begitu saya ceritain karena ... kurang pantes kali, ya. Dan, saya yakin kalian juga pasti bakal terganggu kalau saya masukin ke dalam cerita. Jadi, anggap aja Eja udah beberapa kali mendapat perlakuan semacam itu dari Baron dkk. Sori banget, Gess. Sori banget buat Eja juga.

Continua a leggere

Ti piacerà anche

36K 3.1K 33
Semalam yang membekas di ingatan😋 #POOHPAVEL ONLY OKE💋
149K 18.1K 16
Book 2 Sekuel I'm not Stupid! "KAMI ADA DAN BERLIPAT GANDA!" __Basis New Generation. 3 tahun sudah kasus tenggelamnya Anarkali di danau Magnesium Hig...
132K 9.5K 26
Disatukan dengan murid-murid ambisius bukanlah keinginan seorang Keyla Zeara. Entah keberuntungan apa yang membuat dia mendapatkan beasiswa hingga bi...
Mine |JESBIBLE| Da cyra

Mistero / Thriller

18.2K 1.7K 19
Jespipat Tilapornputt, psikopat gila berkedok CEO. Dia lebih kejam daripada ayahnya. Tidak hanya membunuh, tapi dia lebih suka bermain-main dengan ko...