Ujian Nasional

By KalaSanggurdi

8K 588 40

Ujian nasional tengah berlanjut di Indonesia pada tahun 2014. Sarah bersama teman-temannya tengah mempersiapk... More

Menteng: Rabu, 25 Desember 2013
Sawah Besar: Jumat, 24 Januari 2014
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 2
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 3
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 4
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 4 [Tambahan]
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 5
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 6
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 6 [Tambahan]
[Tambahan] Matraman: Selasa, 15 April 2014
Sawah Besar: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 2
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 2
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 3
[Tambahan] Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 3
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 4
Menteng: Selasa, 15 April 2014
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 1
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 2
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 3
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 4
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 1
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 2
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 3
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 4
Sawah Besar: Kamis, 14 April 2039

Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 1

198 22 1
By KalaSanggurdi

Sarah sedang berada di atas karpet di ruang tengah. Ia tengah memeluk boneka bebeknya sambil menonton televisi. Jari mungilnya meraba-raba karpet untuk mencari pengendali jarak jauh televisi. Rambutnya tergerai sebahu, membulatkan pipinya yang juga bulat. Matanya tertuju kepada kelinci yang tengah ia tonton.

Sarah kemudian berdiri, lelah menonton tetapi masih semangat memeluk bebeknya. Ia ke ruangan orangtuanya yang dipenuhi banyak buku, dan menemukan ibunya yang tengah bersantai di atas kasur sambil membaca Dunia Sophie karangan Jostein Gaarder. Sarah mendekati ibunya, kemudian memegang lengan demi menyudahi bacaan tersebut. Ibunya sedikit kaget, tetapi kemudian tersenyum melihat anaknya yang mungil.

"Sasa!" goda ibunya, "Mana bebeknya? Mana, mana? Sasanya mana? Mana, mana? Ciluk, ba!"

Ibu Sarah tergelak, dan meletakkan buku tebalnya di sampingnya di atas kasur. Ia kemudian terduduk dan menggendong Sarah, "Sasa sudah berat ya sekarang! Sebentar lagi mau masuk TK, ya. Sayang, sayang."

Sarah digendong dan dibawa kembali ke ruang tengah. Ibunya kembali menggoda, "Sasa dah tau? Ayah hari ini pulang loh! Sebentar lagi. Coba Sasa dengar di luar: pagarnya dah diketuk belum?"

Sarah berusaha mendengar bunyi aduan logam pagar. Di atas gendongan ibunya, segalanya terasa tinggi dan jauh. Karpet hijau tempat ia tadi menonton televisi kini memperlihatkan corak jelas berwarna kuning dan biru. Ia pun dapat melihat pengendali jarak jauh televisi yang tadi ia cari dengan rabaan. Ia seakan-akan sedang terbang tinggi bersama boneka bebek kesayangannya.

Bunyi pagar masih belum terdengar oleh Sarah, sehingga ia terdiam mengawasi lantai ruang tengah selagi terbang dalam gendongan ibunya. Tak lupa Sarah juga melihat ibunya yang cantik. Ibunya sedang tak memakai kerudung karena sedang di rumah, sehingga rambut lurus bergelombangnya tergerai hingga ke pinggang. Hidungnya pesek, yang menambah manis wajah ibunya yang berkulit cokelat. Sayang, Sarah berkulit langsat seperti ayahnya. Meski demikian, mata Sarah selebar mata ibunya, dan tak sipit seperti mata ayahnya.

Bahkan ketika sedang di rumah, ibunya masih selalu bau obat. Sarah dapat melihat senyum ibunya karena tak perlu khawatir lagi meninggalkan Sarah sendiri ketika ia kerja malam hari nanti di UGD: ayah Sarah akan pulang.

Ibu Sarah kemudian membawa Sarah ke dapur. Di sana, Sarah melihat dapur mungil dan kulkas yang juga mungil. Di atas kulkas itu, ada beberapa buah sirsak yang menjadi kesukaan Sarah ketika dibuat menjadi jus. Sarah melihat pemanggang yang tengah menyala, dan ibunya memang sedari tadi menunggu agar kue bolu untuk ayahnya mengembang.

Sarah mendengar bunyi pagar. Ibunya pun juga mendengar. Sarah melihat wajah ibunya, dan tersenyum ketika melihat ibunya juga tersenyum. "Itu ayah!" bisik ibunya, "Sambut ayah sana, sayang!"

Ibu Sarah menurunkan Sarah dari gendongannya, dan Sarah lekas berlari kecil menuju ruang tengah kemudian ruang tamu. Ia menggapai gagang pintu rumah dan membukanya. Langit sudah menjingga ketika ia keluar, dan awan bertebaran di mana-mana. Ia menengok ke sana ke mari: ke halaman kecil rumahanya, kemudian ke pagar rumahnya.

Sarah tidak menemukan ayahnya di seberang pagar; pagar itu terlalu tinggi untuk tubuh mungilnya melihat ke baliknya, tetapi pagar itu terus berbunyi. Ibunya kemudian keluar, dan Sarah menengok kepadanya. Setelah beberapa saat berjalan santai, ibunya membukakan pagar. Jantung Sarah berdebar, mencoba mengingat-ingat wajah ayahnya ketika terakhir kali ia bertemu.

Setelah pintu pagar terbuka, Sarah melihat ibunya menuntun suaminya dengan girang.

Hanya saja, setelah beberapa saat, Sarah mengamati ayahnya. Kulitnya benar putih kemerah-merahan. Matanya benar lebar dengan hidung mancung dan beberapa helai rambut pirang. Seperti yang Sarah ingat. Hanya saja, Kepala ayahnya hilang setengah, dan badan atasnya pun juga hilang setengah. Sarah mengamati dengan cermat, dan menyaksikan isi badan ayahnya: otak, rusuk, paru-paru, hati, dan tenggorokan. Ketika ayahnya mendekat, Sarah melihat ayahnya tersenyum dengan bibir dan rahang yang tinggal setengah.

Sarah terbangun.

Ruangan yang sempit itu gelap. Matahari belum terbit. Sarah dibanjiri keringat dan napas terburu-buru, meski ia tidak habis lari dan meski ia tidak kepanasan. Sarah berusaha duduk, dan memperbaiki kerudungnya yang ia pakai karena ia tidur bersama tiga laki-laki. Dadanya sakit, dan matanya berlinang.

Sarah perlu bermenit-menit lamanya untuk menenangkan napasnya dan mengeringkan keringatnya. Menit-menit itu juga ia pakai untuk membiasakan diri melihat dalam gelap, hingga akhirnya ia dapat melihat ruangan tempat ia berada dengan samar. Ia berusaha berdiri, dan kemudian berjalan sempoyongan sambil berhati-hati agar tak menginjak orang-orang yang masih tidur.

Dalam gelap, Sarah mencoba mengingat-ingat kembali tempat Jon menyimpan lilin dan korek api. Ia meraba-raba ruang itu, kemudian ruang depan, dan menemukan kotak lilin dan kotak korek api. Ia kemudian menyalakan lilin, dan kesilauan karenanya. Lilin itu kemudian ia taruh di atas piring kecil bekas lilin semalam.

Sarah tak mengingat apa yang ia mimpikan hingga ia berkeringat dingin dan bernapas cepat, tetapi ia tak menyukai kondisi tersebut saat ia bangun. Ia terduduk sambil mengamati lilin yang baru ia nyalakan, kemudian mencoba mengingat-ingat kembali ayahnya. Lucunya, ia tak dapat benar-benar mengingat wajah ayahnya. Kulitnya putih, hidungnya mancung, matanya lebar, brewoknya tebal, bagai orang Arab. Hanya setengah yang ia ingat; setengah lagi menghilang dalam hitam bayangan benak Sarah.

Saat pergi keluar untuk melihat langit, Sarah menyadari bahwa bulan sudah hampir tenggelam. Meski ia tak benar-benar tahu persis, ia merasa sudah saatnya ia melakukan ibadah. Malah, ia merasa sangat membutuhkan ibadah itu. Akhirnya, ia kembali masuk untuk mengambil sepiring api dan menggoyang-goyangkan semua orang yang tengah tertidur.

"Nov," goyang Sarah, "Bangun yuk. Salat subuh."

"Rob," tepuk Sarah, "Bangun. Salat subuh."

"Pak Jaka, subuh Pak," pegang Sarah.

"Pak Jon, subuh," usap Sarah.

Hanya Jon yang langsung terbangun, "Ah, iya. Iya. Salat, salat. Iya, iya. Jaka, bangun. Salat lai."

Jaka terbangun karena guncangan kuat dari Jon, "Oh, iya. Iya."

Sarah mulai tersenyum. Kedua lelaki dewasa itu membangunkan satu lagi lelaki muda yang masih pulas tertidur. Sarah pun ikut membangunkan gadis muda yang, secara menakjubkan, mempunyai lengan yang normal kembali tanpa perlu dilapis gips. Meski siku Novi dilapisi balutan perban, Jon tidak main-main soal keahliannya sebagai tukang urut.

Novi terbangun dengan sempoyongan, tetapi ia tak terlihat dalam rasa sakit. Sarah semakin takjub.

Setelah menit-menit berlalu, semua orang di rumah itu melakukan ibadah dengan Jon sebagai pemimpin. Ketika selesai, Sarah memulai pembicaraan.

"Pak Jon."

"Kenapa?"

"Kami harus cari Diva."

"Oh, teman kalian itu."

"Kata Pak Jon, besar kemungkinan dia masih di sekolah kan?"

"Besar kemungkinan. Tapi saya tidak menjamin."

"Pak Jaka."

"Iya?"

"Boleh antar kami ke sekolah?"

"Boleh."

"Robi."

"Iya?"

"Ikut juga ya. Novi juga."

"Iya."

Tanpa banyak basa-basi, Sarah bersiap-siap. Ia merapikan seragamnya meski kusut di mana-mana. Robi ikut bersiap-siap, tetapi ia sudah tak lagi memakai seragam.

Novi bertanya kepada Sarah, "Hape?"

Sarah tersadar sejenak, "Di Diva, Nov," tetapi Novi tak melihat Sarah seperti biasa. Novi mulai menggigit kuku; kebiasaan lamanya sebelum mendapat gawai dari ibunya. Sarah khawatir, ia melihat Novi semakin gelisah.

Sebelum Sarah dan kawan-kawan bergegas keluar rumah, Jon memberhentikan pasukan itu sejenak.

"Ingat: teman kalian ketemu atau ndak, kalian harus ke sini lagi. Tentara akan ada di mana-mana, dan kalian bisa saja dicegat terus ditanya-tanya. Sebaiknya, Robi jangan bilang kalau dia berasal dari Malaysia. Nanti bisa-bisa memperkeruh suasana. Kalau kalian ndak dapat ke sini lagi, lebih baik kalian menurut ke tentara-tentara itu dan pergi ke tempat yang telah mereka tentukan. Mengerti?"

Hanya Sarah yang mengangguk.

Robi berusaha mencerna satu kalimat Jon mengenai dirinya. Semakin ia pikirkan, semakin bertanya ia mengenai kewarganegaraannya sendiri. Gawainya yang mati sedari kemarin memutuskan hubungan dengan orangtuanya di Malaysia, dan hanya teman-teman Indonesianya yang benar-benar ia pikirkan—beserta mayat-mayat orang Indonesia yang bergelimpangan di sekolahnya. Ia memikirkan pembicaraannya dengan Jon tadi malam, dan bagaimana Jon masih mau membantunya meski negaranya menyerang. Semakin ia pikirkan, semakin marah ia terhadap Malaysia. Semakin ia pikirkan, semakin ragu ia terhadap kewarganegaraannya. Pun, semakin ia pikirkan, semakin marah dan ragu ia terhadap dirinya sendiri. Robi hanya dapat menghembuskan napas panjang.

"Baiklah. Hati-hati di jalan," salam terakhir Jon.

Continue Reading

You'll Also Like

7.3K 239 49
Banyak kata yang ingin kuucapkan tapi apa daya semuanya tercekat ditenggorokan. Banyak perasaan yang ingin kuungkapkan tapi apa daya semuanya terhent...
7.2K 170 29
Adakah yang lebih menyakitkan dari sebuah perpisahan?
41.2K 4.3K 12
Sekalipun hatinya berulang kali jatuh dan patah, pada kenyataannya, tidak sedikit orang yang lebih memilih untuk berterima kasih. Dan kabar baiknya a...
SARLA By Ini Al

General Fiction

859K 35.4K 92
[ Follow sebelum membaca!] [Happy reading ] (Lengkap) ⚠️CERITA HASIL PEMIKIRAN SENDIRI⚠️ ⚠️PLAGIAT HARAP MENJAUH!!, MASIH PUNYA OTAK KAN?! MIKIR LAH...