Let Me be Your Iron Man

By annisahao

59 4 0

Sebuah cerita cinta tentang seorang gadis ADHD. More

About Me

Let Me be Your Iron Man (Short Story)

42 2 0
By annisahao

Namaku Eve, aku seorang pelajar di sebuah SMA favorit di kotaku. Aku hanya seorang pelajar biasa, kuharap. Karena pada kenyataannya aku tidak biasa. Aku seorang penderita gangguan perkembangan otak, dalam medis istilahnya Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), yaitu sebuah gangguan pada perkembangan otak yang menyebabkan penderitanya menjadi hiperaktif, impulsif serta susah memusatkan perhatian. Gangguan ini menyebabkan aku menjadi anak paling aneh di kelas. Kadang aku sangat pendiam, kadang hiperaktif, susah berkonsentrasi, mudah marah, mudah depresi dan tingkat percaya diriku sangat rendah membuat aku susah berinteraksi dengan teman-temanku.

Dari luar aku tampak baik-baik saja tapi di dalam diriku aku sangat tersiksa dengan ADHD ini, aku benci teman-temanku karena mereka menyebutku aneh dan kadang mengacuhkanku, belum lagi tentang betapa beratnya aku harus fokus dengan pelajaran. Jika orang normal bisa berkonsentrasi dengan pelajaran selama lima menit dalam kurun waktu tiga puluh menit dengan keadaan yang kondusif hal ini tidak terjadi padaku, aku bahkan tidak bisa berkonsentrasi selama satu menit dengan satu hal saja.Dan jangan tanya bagaimana aku bisa diterima di sekolah ini, bukan dengan jalan kotor tetapi dengan belajar mati-matian. Ini semua membuatku depresi dan ketakutan akan dunia luar yang selalu menolakku, aku lelah.

"Eve, bangun nak sudah shubuh, sholat", ibuku berteriak dari luar kamarku.

"Iya bu, ini udah bangun", jawabku malas-malas sambil marah-marah dalam hati.

Inilah kebiasaanku setiap pagi, marah-marah sendiri karena aku sudah tidak tega marah-marah dengan keluargaku yang sudah tahu keadaanku ini, mereka sudah maklum. Gangguan otak menyebalkan ini membuat emosiku naik turun. Dan bangun pagi termasuk hal kecil yang membuatku marah. Aku benci ke sekolah, tempat ramai yang bagiku seperti neraka. Tapi aku harus pergi ke neraka itu setiap pagi selama hampir tiga tahun, sekali lagi itu melelahkan.

"Eh, minggir-minggir si anak autis dateng. Kasih jalan kasih jalan", oceh Meta teman sekelasku.

Aku berjalan begitu saja melewati mereka, mengambil tempat duduk paling belakang dan menyumpalkan earphone ke telingaku dengan volume maksimal. Beginilah caraku mempertahankan diri agar amarahku tidak keluar. Selama ini aku sudah terbiasa dibully oleh temanku, hampir semua teman sekelasku kecuali dia, namanya Rio. Aku tidak tahu apa alasannya tidak ikut mem-bully aku, mungkin dia kasihan atau apalah aku tidak peduli karena pada dasarnya mereka sama saja, menolak aku dan keadaanku.

"Selamat pagi", sapa Bu Ira guru matematika kami.

"Selamat pagi, Bu", jawab kami serentak.

Pagi itu Bu Ira menjelaskan tentang aljabar, aljabar adalah pelajaran yang paling ku benci karena memerlukan konsentrasi dan perhatian maksimal untuk memahaminya sedangkan otakku yang tidak sempurna ini jelas tidak mampu, tapi aku tetap berusaha memahaminya walaupun akhirnya aku harus merasa pusing luar biasa ditambah teman-temanku yang mulai menjahiliku dengan mengambil bukuku dan menuliskan, 'hi idiot, kau tahu 1+1=…' sebenarnya yang idiot itu aku atau mereka sih?

Aku sudah tidak tahan lagi, amarahku sudah di ubun-ubun tapi mereka tetap menjahiliku. Aku segera meminta izin kepada Bu Ira dan bergegas ke kamar kecil. Di kamar kecil aku menutup pintu dan berteriak teriak seperti orang gila, meneriakkan semua sumpah serapah yang aku tahu. Aku tidak peduli jika nanti ada orang yang lewat dan mengira aku orang gila yang bersembunyi di kamar kecil sekolah, yang kuinginkan hanyalah mengeluarkan semua amarah agar aku tidak berakhir depresi dan bisa kembali ke kelas dengan tenang. Saat kurasakan amarahku mereda aku mencuci wajahku dan melangkah keluar. Saat aku membuka pintu, aku dikejutkan oleh Rio yang berdiri di depan kamar kecil.

"Ngapain kamu disini? mau ngintip aku ya!", bentakku dengan sisa-sisa amarah yang tersisa.

"Kamu baik-baik saja?", tanyanya lembut.

Ada apa dengan orang ini? aku sudah membentaknya tapi dia masih sempat menanyakan keadaanku dengan nada yang halus pula.

"Nggak, aku nggak baik-baik saja. Aku gila", jawabku sambil berlalu dari hadapannya.

Aku berjalan menuju lapangan belakang untuk mendinginkan pikiranku, aku belum siap masuk ke kelas untuk menghadapi aljabar dan teman-temanku. Aku ingin membolos beberapa jam saja daripada mengambil resiko aku depresi dan ibuku akan membawaku ke psikiater lagi. Ditambah aku juga tidak siap dengan Rio, entah kenapa tadi dia menatapku dengan tatapan lembut, selama ini aku sudah terbiasa ditatap dengan tatapan mengejek, tapi kalau tatapan lembut aku merasa aneh.

"Kamu mau ngapain kesana, kelas kita kan disana", kata Rio sambil menunjuk kelas kami.

Aku tidak menjawabnya dan berdoa kepada Tuhan agar dia tidak mengikutiku. Tapi rupanya Tuhan berkehendak lain, dia mengikutiku.

"Kamu kenapa?", tanyanya lembut

"Kamu itu bego apa pura-pura nggak ngerti sih? kamu nggak tahu teman-teman menyebut aku ini apa? aku autis", bentakku.

"Oh itu, terus kalo kamu autis kenapa? lagian kamu nggak autis, kamu cuma mengidap ADHD iya kan? ADHD itu beda sama autis, harusnya kamu tahu itu" jawabnya masih dengan nada lembut yang bagiku sangat menenangkan.

Aku menghela nafas dan mulai tenang, ternyata tidak ada gunanya membentak cowok ini. Awalnya aku membentak hanya agar dia jengah dan menjauh dariku.

"Ya aku tahu, aku sangat tahu. Tapi aku tidak ingin susah-susah menjelaskan kepada mereka yang nggak mau mendengarkanku. Buang-buang energi saja" jawabku.

"Kamu nggak perlu menjelaskan, kamu hanya perlu menghadapinya. Ayo kita kembali ke kelas, kamu nggak pengen jadi anak nakal kan?", ajaknya sambil tersenyum.

"Aku belum siap", elakku.

"Oh ayolah, kita hadapi sama-sama", tanpa basa-basi dia mengenggam tanganku dan menarikku ke kelas.

Seumur hidupku aku tidak pernah disentuh oleh cowok, kecuali ayah dan adik-adikku. Saat ada cowok yang menyentuhku aku akan berjingkat dan menjauh. Tapi sekarang apa yang dia lakukan padaku, dia menggenggam tanganku, bahkan aku menerimanya begitu saja. Tentu saja aku menerimanya, rasanya seperti aku mendapatkan kekuatan baru. Aku tersenyum pahit.

Sampai di kelas, seluruh mata langsung menatap aku dan Rio saat kami masuk ke kelas. Aku langsung menarik tanganku dan rasa hampa langsung menyelimutiku. Oh aku benci mengatakannya, tapi rupanya aku membutuhkan tangan itu. Aku segera bergegas kembali ke bangkuku. Aku tidak peduli dengan teman-temanku yang mulai menjahiliku lagi, berkali-kali aku mencuri pandang ke arah Rio, seperti mencari kekuatan dan saat dia memergoki aku sedang mencuri pandang ke arahnya dia hanya tersenyum yang sukses membuat wajahku memerah.

Aku sukses melewati jam demi jam pelajaran tanpa sedikitpun memikirkan kejahilan teman-temanku karena pikiranku sibuk dengan hal lain. Istirahat pun tiba, aku sudah menyiapkan earphone untuk membentengi diriku dari kata-kata pedas teman-temanku.

Saat aku hendak memasang earphone tiba-tiba ada tangan yang menahanku, tangan Rio. Tanpa kusadari dia sudah memindahkan semua barang-barangnya ke meja disampingku yang memang kosong karena aku duduk sendiri.

"Kamu nggak pengen kehilangan pendengaran saat muda kan?", tanyanya sambil tersenyum.

"Iya iya", jawabku malas.

"Ihhhhh Rio, kamu kok mau duduk sama dia sih. Ntar kamu ketularan autis loooh", Kata Meta The Queen of bullying dengan nada ketus.

"Meta, dia nggak autis", Kata Rio menjelaskan.

"Tapi kata Bu Yuyun dia autis, Rio", elak Meta.

Aku sudah mulai jengah. Ibuku memang pernah menjelaskan pada Bu Yuyun wali kelasku tentang kondisiku dan Bu Yuyun pun menjelaskan kepada teman-temanku kalau aku menderita ADHD bukan autis berharap teman-temanku bisa menerimaku tapi kenyataannya mereka menolak bahkan mem-bully aku.

Rio tidak mengelak pernyataan Meta. Sebaliknya, dia malah menggenggam tanganku memberi kekuatan dan membisikkan sesuatu.

"Jelaskan padanya", bisik Rio kepadaku.

"Apa?", tanyaku bingung. Rio hanya menatapku lembut. Aku hanya bisa menghela nafas dan mulai menjelaskan.

"Meta, sebenarnya aku bukan anak autis, aku cuma mengalami gangguan ADHD, ADHD itu berbeda dengaan autis, Bu Yuyun dulu juga bilang kalau aku mengalami ADHD bukan autis seperti yang kamu kira selama ini", aku menjelaskan dengan lancar lalu menatap Rio yang menatapku dengan senyuman.

"Hahaha, peduli setan deh. Udah deh Rio kamu duduk sama aku aja deh", ujar Meta dengan manja.

"Dia kan udah menjelaskan, Met. Seharusnya kamu mendengarkan, kalau kamu nggak mau mendengarkan berarti kamu yang autis", kata Rio tenang.

Meta tidak menanggapi perkataan Rio, dia hanya melengos dan meninggalkan kami berdua. Aku berterima kasih kepada Rio karena telah memberiku kekuatan. Perasaanku sedikit lega, setidaknya aku sudah mencoba menjelaskan, kalaupun mereka tidak menerima aku tidak peduli, toh aku juga sudah terbiasa di-bully.

Sepulang sekolah, Rio menawarkan diri untuk mengantarkanku pulang. Awalnya aku menolak tapi sepertinya memang tidak ada gunanya berdebat dengan Rio. Sebelum pulang ke rumah, Rio mengajakku ke sebuah danau. Danau yang indah dan tenang.

"Tenang", aku mendeskripsikan tempat ini.

"Ya, aku sering kesini kalau sedang suntuk", kata Rio menimpali. Aku hanya tersenyum.

"Apa kau ingin membagi sesuatu?", tanya Rio tiba-tiba.

"Tidak ada", jawabku berbohong.

"Ayolah, aku tahu pasti banyak hal yang kau pikirkan di otak cantikmu itu", godanya.

"Aku belum siap, Rio", jawabku sambil menunduk.

"Baiklah, aku akan menunggu sampai kamu siap. Ingat ya, kalau kamu pengen cerita, kamu cerita aja sama aku. Aku akan selalu ada buat kamu"

"Makasih ya, yo. Mmm.. boleh aku tanya sesuatu padamu, yo?".

"Silahkan".

"Kenapa kamu mau temenan sama aku? Kamu kasihan sama aku?".

"Kasihan? Enggak samasekali. Kamu cewek kuat, buat apa dikasihani"

"Terus kenapa?"

"Nggak tahu, aku cuma mengikuti hati aku aja. Hati aku pengen dekat sama kamu. Apakah itu salah?"

"Enggak, cuma sepertinya kamu buang-buang waktu. Berteman dengan aku itu seperti berteman dengan Hulk, aku bisa saja berubah jadi monster menyeramkan dan ngamuk-ngamuk nggak jelas. Ntar kalau kamu kena amukanku seperti di kamar mandi tadi gimana?"

"Aku siap, aku siap jadi tameng kamu asal itu bisa membuat kamu tenang"

"Cukup dengam genggamanmu untuk membuatku merasa tenang", ucapku dalam hati.

Sore itu kami habiskan di danau itu. Aku merasa tenang, setelah mendengar jawabannya aku sudah tidak takut ditolak. Kurasa aku mulai mencintainya.

Keesokan paginya aku berangkat sekolah seperti biasa, ada yang berbeda pagi itu, teman-temanku tidak mem-bully aku secara blak-blakan seperti biasa walaupun mereka hanya berbisik-bisik, tapi aku tahu siapa obyek bisikan mereka, aku. Aku melihat bangku kosong di sebelahku yang sekarang sudah tidak kosong karena ada Rio disana. Pagi itu terasa damai, tapi kurasa kedamaian itu tidak berlangsung lama.

Saat istirahat semua teman sekelasku keluar kelas, hal ini sangat aneh. Tidak biasanya mereka keluar bersama-sama seperti itu sehingga dikelas hanya tersisa aku, Rio dan Meta.

"Yo, kamu tadi dicari sama Bu Ira, katanya istirahat kamu disuruh menemui beliau di ruang guru", ucap Meta pada Rio.

"Gitu ya?", kata Rio ragu kemudian menoleh ke arahku, "Aku menemui Bu Ira dulu ya, Ve".

Aku hanya mengangguk. Kemudian Rio berdiri meninggalkanku bersama Meta yang tersenyum jahil.

"Heh autis, ikut aku", bentak Meta setelah Rio keluar dari kelas.

"Kemana?", tanyaku malas.

"Udah ikut aja, percuma aku jelasin toh kamu juga gak bakal ngeri. Kamu kan autis".

Perkataan Meta cukup membuat geram dam amarahku mulai muncul. Tapi bodohnya aku, alih-alih menolak aku malah mengikutinya dari belakang. Otakku memang sudah tidak bisa diajak berpikir kalau sedang marah. Aku mengikuti Meta yang berjalan santai di depanku berbeda dengan aku yang tegang karena menahan marah. Di ujung lorong, Meta berbelok ke arah gudang dan lagi-lagi aku mengikuti saja. Saat sudah berbelok aku sangat terkejut melihat semua teman sekelasku ada disana. Entah kenapa aku merasa ada yang aneh disini.

"Kalian ngapain disini?", tanyaku takut-takut.

"Gausah banyak tanya deh, autis. Kan tadi aku udah bilang percuma kita jelasin toh kamu nggak bakal ngerti", bentak Meta.

Tiba-tiba Meta menarik tanganku dan mendorongku masuk ke gudang. Aku mencoba meronta dan mendorong balik Meta, aku berhasil mendorong Meta tapi teman-temanku bukannya membantuku malah ikut-ikutan mendorongku masuk gudang. Apalah dayaku, aku hanya seorang diri. Aku berharap ada Rio disana tapi harapan tinggalah harapan, aku terjerembap ke dalam gudang yang lembab dan apek. Rasa sakit mulai menjalar keseluruh tubuhku, saat aku mencoba berdiri, teman-temanku sudah menutup pintu gudang dan menguncinya dari luar. Aku hanya bisa berteriak-teriak minta dikeluarkan dan yang kudengar hanya suara tawa teman-temanku. Tak tahukah mereka kalau aku takut ruang gelap dan tertutup. Kenapa mereka begitu jahat kepadaku. Selang beberapa saat tiba-tiba ada air yang mengucur deras dari lubang ventilasi di atas pintu membuat aku basah kuyup, apalagi ini?.

Aku benar-benar ketakutan sekarang, kepalaku pusing, dadaku sesak dan badanku nyeri karena terjerembap tadi, ditambah badanku yang basah kuyup membuat aku menggigil kedinginan. Pikiranku sangat kalut dan yang bisa kulakukan hanyalah berteriak-teriak seperti orang gila sampai tenagaku habis dan jatuh terduduk di sebelah pintu. Yang ada di pikiranku sekarang hanya Rio. Aku butuh Rio, aku butuh genggaman tangan besarnya. Saat kesadaranku perlahan-lahan menghilang karena sesak nafas, sayup-sayup aku mendengar suara derap kaki yang tergesa-gesa dan beberapa saat kemudian pintu itu terbuka, ada Rio disana. Rio bergegas ke arahku dan memelukku erat. Tangisku pun pecah, aku menangis meraung-raung mengeluarkan emosiku yang tertahan dan membuatku sesak. Rio semakin memelukku erat, dan pelukannya begitu menenangkan seperti obat penenang dosis tinggi yang dulu sering aku konsumsi tapi yang ini rasanya tidak pahit dan tidak menimbulkan efek samping.

"Aku takut, Yo", rengekku.

"Aku disini Ve, aku disini. Jangan takut", ucap Rio menenangkan.

Rio menggendongku gaya pengantin ke UKS, aku terlalu lemah untuk menolak jadi aku menerima saja. Aku juga terlalu enggan menanggapi pandangam teman-teman satu sekolah yang melihat heran ke arahku. Sampai di UKS, Rio menidurkanku di ranjang UKS dan menyelimutiku kemudian dia beranjak untuk mengambilkan air minum untukku.

"Minumlah", katanya tersenyum seraya menyodorkan gelas berisi air putih ke arahku.

"Terima kasih", ujarku lemah sambil menerima gelas yang ia sodorkan.

"Gimana kamu tahu kalau aku ada disana?", tanyaku kemudian.

"Aku tahu karena sejak awal memang ada yang tidak beres dengan kelakuan mereka. Saat aku menemui Bu Ira, Bu Ira malah kebingungan karena beliau tidak mencariku dan disitulah aku menyadari kamu dalam bahaya, dan benar saja saat aku kembali ke kelas, mereka baru keluar dari lorong gudang. Aku meminta kunci cadangan kepada Pak Tarno dan aku menemukanmu. Sudahlah jangan dipikirkan. Tidurlah sejenak, aku akan kembali ke kelas sebentar", Ujar Rio menenangkanku.

"Apa kau akan meningalkanku?", tanyaku cemas.

"Hahaha, aku hanya akan meninggalkanmu sejenak. Aku akan mengambil tas kita dan kita akan pulang sebentar lagi, jangan takut ya", bujuk Rio.

Rio meninggalkanku, rasa lelah mulai menyergapku, pikiran dan tubuhku terasa sangat lelah. Perlahan aku mulai tertidur. Saat aku membuka mata Rio sudah ada di sampingku dan dia sedang membuka sketch book milikku.

"Kamu sudah bangun?", sapanya saat melihatku terbangun. Aku hanya mengangguk.

"Kau suka Iron Man?", tanyanya lagi setelah melihat-lihat isi sketch book ku yang memang hanya berisi gambar sketch Iron Man. Sekali lagi aku hanya mengangguk.

"Kenapa?", tanyanya masih heran.

"Karena aku ingin punya pendamping hidup seperti Iron Man, orang yang kuat dan sabar terhadapku, yang mau menerimaku apa adanya dan siap menerima amarahku yang mengerikan. Kau boleh menertawaiku sekarang karena khayalan konyolku itu hahaha siapa yang tahan dengan orang sepertiku", kataku miris.

"Ada, Aku orangnya. Biarkan aku yang jadi Iron Man-mu. Biarkan aku yang menjadi pendamping hidupmu", pernyataan Rio ini sukses membuatku syok.

"Apa kau yakin? Kau yakin mampu mendampingi Hulk yang pemarah ini?", tanyaku ragu.

"Ya aku sangat yakin. Aku akan menjaga Hulk cantik di hadapanku saai ini, bahkan aku bisa menjadi Captain America atau power ranger mungkin", jawabnya yakin.

"Tidak perlu, kau hanya perlu menjadi dirimu, menjadi Iron Man-ku", ujarku malu sambil menutupi semburat merah muda di pipiku.

"Aku mencintaimu, Hulk. Aku bersedia jadi Iron Man-mu, apa kau bersedia menyerahkan hatimu?".

"Ya, aku bersedia asal kamu mau menjaganya dengan baik".

"Tentu saja, aku akan menjaganya dengan jaminan hidupku".

Mulai saat itu hidupku yang kelabu dan penuh penolakan telah berubah. Aku tidak perlu lagi pergi ke psikiater karena Rio siap mendengarkan keluhanku dan memberikan bahunya untuk tempatku bersandar dan menangis. Aku tidak perlu lagi mengurung diri di kamar kecil untuk teriak-teriak mengeluarkan amarah karena genggaman tangan Rio bisa menguapkan amarahku entah kemana. Bahkan aku sudah tidak perlu mengonsumsi obat penenang dosis tinggi karena pelukan Rio bagaikan obat penenang dosis tinggi yang manis untukku. Aku memang seorang ADHD, tapi dengan Rio disampingku aku merasa normal.

Continue Reading

You'll Also Like

2.5M 38.1K 50
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
1.1M 106K 27
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...
553K 21.2K 46
⚠️ WARNING!!! : YOUNGADULT, 18+ ‼️ hars word, smut . Tak ingin terlihat gamon setelah mantan kekasihnya berselingkuh hingga akhirnya berpacaran denga...
6.5M 336K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...