Ujian Nasional

By KalaSanggurdi

8K 588 40

Ujian nasional tengah berlanjut di Indonesia pada tahun 2014. Sarah bersama teman-temannya tengah mempersiapk... More

Menteng: Rabu, 25 Desember 2013
Sawah Besar: Jumat, 24 Januari 2014
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 2
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 3
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 4
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 4 [Tambahan]
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 5
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 6 [Tambahan]
[Tambahan] Matraman: Selasa, 15 April 2014
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 2
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 2
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 3
[Tambahan] Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 3
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 4
Menteng: Selasa, 15 April 2014
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 1
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 2
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 3
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 4
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 1
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 2
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 3
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 4
Sawah Besar: Kamis, 14 April 2039

Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 6

242 23 3
By KalaSanggurdi

Sarah berdiri perlahan dan sempoyongan, kemudian membuka kunci pintu menuju ruang tamu. Ia disambut oleh wajah Robi di depannya, dan kemudian kikuk mencari arah keluar yang terblokir dua kali oleh Robi yang geser kanan geser kiri. Setelah itu, Sarah dikawal oleh Jaka keluar rumah kumuh itu.

Kini Robi masuk ke ruang tengah, dan diamati dengan saksama oleh Jon. Mata Jon tertuju pada noda merah besar di pinggang Robi, yang sedari tadi ia pegang dalam rangka menahan sakit.

"Lepas seragammu," suruh Jon. Tanpa banyak basa-basi, Robi melepas seragamnya. Jon melihat luka yang menganga lebar di pinggang Robi, lebih lebar dari luka di payudara Sarah. Jon mengubah pikirannya yang tadinya hendak membereskan alat jahit medisnya.

"Kuat sekali kamu. Kamu menahan selama ini dan tak meringis sama sekali. Duduklah," ujar Jon dengan senyum.

"Saya akan dijahit, Pak?" tanya Robi dengan keringat dingin.

"Ada bius. Tenang saja."

"Saya nggak bakal kenapa-kenapa kan?"

"Tenang. Kamu sudah kuat menahan. Kamu ndakkan kenapa-kenapa."

Jon pun memulai proses pengobatan Robi. Sembari ia mengurusi luka besar di pinggang Robi, ia menyadari aksen Robi tidak seperti aksen orang Indonesia. Jon merasa Robi berusaha menyembunyikan aksen tersebut.

"Kamu orang mana?"

"Saya... orang..."

"Malaysia ya?"

Robi tidak menjawab.

"Kamu sekolah di sini?"

"Iya, Pak."

"Orangtua di sini juga?"

"Nggak."

"Jadi kamu sekolah sendiri?"

"Sekarang sih iya Pak."

"Orangtuamu pulang ke Malaysia, dan kamu masih sekolah di sini. Pindah buat kerja, ya?"

"Iya, Pak."

"Ini pertama kalinya kamu hidup sendiri tanpa orangtua?"

"Iya."

"Berani juga kamu."

"Nggak juga, Pak."

Robi jelas terlihat tidak santai, dan Jon menyadari. Nada Jon di kalimat terakhirnya mungkin terkesan menuduh, walau sebenarnya itu hanya aksen Jon. Jon berusaha menjelaskan.

"Tenang, Robi. Kamu tetap saya tolong kok."

Robi tidak menjawab.

"Tadi saya sempat cerita ke temanmu. Saya pernah ke Aceh. Di sana juga ada perang. Korban berada di kedua belah pihak, dan juga orang-orang yang ndak memihak siapa-siapa."

"Perang di Aceh?"

"Mungkin kamu belum pernah dengar. Maklum. Tapi, iya. Waktu itu waktu yang sulit. Saya ndak pandang bulu. Jika ada yang butuh bantuan, saya akan bantu.

"Saya ndak menyangka hal yang membuat saya berhenti jadi dokter terulang lagi. Di Jakarta ini malah."

"Bapak berhenti jadi dokter?"

"Iya."

"Karena perang?"

"Karena perang."

Robi memikirkan kampung halamannya. Ia memikirkan bagaimana cara para pemimpin meyakinkan penduduknya untuk membenarkan peperangan melawan Indonesia. Ia memikirkan mayat Mas Panca, dan bagaimana para tentara negaranya tak mengacuhkan; mengatasnamakan kematian sultan mereka. Para tentara di atas sayap-sayap hitam itu pun tak memikirkan bahwa ada dia di balik atap-atap yang mereka hujani dengan api. Robi mempertanyakan kebanggaannya sebagai orang Malaysia, dan mempertanyakan bagaimana penduduk Malaysia bisa menarik kebanggaan dari melakukan peperangan ini.

"Ndak usah dipikirkan," ujar Jon tiba-tiba. Robi merasa pikirannya terbaca. Jon melanjutkan, "Kamu fokus bertahan hidup dulu. Kamu laki-laki sendiri, kan? Lindungi gadis-gadis itu."

"Iya, Pak."

"Jangan iya-iya terus. Saya ndak mendengar keyakinan dari iya-iyamu itu."

"Iya—"

"Nak. Saya tahu. Kamu sedang takut."

Robi tak menjawab.

"Ndak ada salahnya takut. Yang salah adalah ndak yakin. Yang benar bukan menghadapi halang rintang tanpa rasa takut, tapi menghadapi halang rintang meski rasa takut menerjang."

"Kalau gitu kenapa bapak berhenti jadi dokter?" Robi menantang.

"Memangnya yang saya lakukan saat ini apa?" Jon tergelak. Robi tersipu merah. Jon menyambung, "Saya berhenti bukan karena saya takut. Saya berhenti karena saya masih muda. Belum tumbuh kebijaksanaan untuk punya keteguhan seperti tadi."

"Jadi bapak main wayang?"

"Kok tahu?"

"Di ruang tamu ada wayang."

"Hahaha! Tertebak."

"Apa bapak ngerasa salah berhenti jadi dokter?"

"Jelas."

"Terus kenapa berhenti?"

"Merasa salahnya telat. Waktu jatuh miskin baru sadar."

"Soalnya kalau jadi dokter, bapak pasti kaya kan?"

"Hahaha! Dasar kamu. Yah, itu ada benarnya juga. Setelah bosan main wayang, ya saya jadi tukang urut. Kalau ada yang sakit parah, saya jadi dukun."

"Bapak nyesel nggak nerusin jadi dokter?"

"Oh, ndak."

"Tapi tadi bapak ngomongnya ngerasa salah!"

"Itu merasa salah. Beda sama menyesal."

"Emang bedanya apa pak?"

"Salah itu wajar. Tak mungkin kamu bisa luput dari kesalahan. Tapi menyesal, itu bagian dari ketidakyakinan. Itu tandanya kamu merasa ada pilihan yang lebih tepat, yang tak akan menjerumuskan kamu ke kondisi kamu sekarang. Memangnya kamu bisa jamin pilihan lain akan lebih baik? Memangnya pilihan yang dulu tak ada sisi terangnya? Ndak. Kamu tak bisa jamin. Kamu tak bisa menebak masa depanmu. Kamu juga tak bisa menebak apa yang akan terjadi kalau kamu memilih pilihan lain. Tapi kalau kamu yakin, bahkan kesalahan pun bisa jadi pelajaran ketimbang penyesalan."

Robi memandang Jon. Gigi Jon yang tinggal seberapa terpamerkan oleh senyumnya. Robi ikut tersenyum, hampir tertawa. Kemudian, ia diam sementara.

"Pak, saya khawatir sama Sarah."

"Kenapa? Pacarmu?"

Robi tersenyum kikuk.

"Kenapa khawatir? Temanmu satu lagi ndak kamu khawatirkan?"

"Bukan gitu, Pak. Saya khawatir. Dia kelewat keras sama dirinya sendiri."

"Iya?"

"Kayaknya sih."

"He! Kok ndak yakin? Baru saya bilang panjang lebar! Dasar. Hahaha!"

"Ya maaf, Pak."

"Kalau kamu merasa dia begitu, ya santaikanlah dia. Ajak bicara lah. Nanti waktu makan, nyanyi saja kalian. Atau menari. Jangankan di waktu-waktu seperti sekarang; pada waktu biasa saja kalian yang masih muda selalu butuh hiburan. Istirahat sejenak.

"Oke. Sudah selesai," ujar Jon. Semua luka Robi sudah diobati, dan kini ia pun berbalut perban di perutnya. Jon melanjutkan, "Saya ada baju di belakang. Harusnya muat sama kamu. Hati-hati, nanti temanmu bangun."

Sarah meminta Jaka untuk membuka mobil sementara, hendak mengambil peranti pengisi baterai milik Novi. Isinya tinggal sedikit, tetapi cukup untuk mengisi baterai gawainya. Sarah memutuskan untuk membiarkan gawainya terisi dulu sebelum menyalakannya. Setelah itu, ia dan Jaka berjalan kaki menuju ke beberapa tempat yang dikatakan Jaka menyimpan makanan yang dapat dimasak.

Sebelumnya, Sarah sempat menganjurkan Jaka untuk mengunjungi toko swalayan kecil yang didatanginya tadi bersama Robi. Hanya saja Jaka berpendapat bahwa toko tersebut tidak menyimpan begitu banyak makanan yang bisa dimasak. Pada akhirnya, mereka mengunjungi toko swalayan lain yang lebih besar.

Sesampainya di sana, seperti dugaan Sarah, toko swalayan itu porak poranda. Banyak lorong yang berantakan serta kosong. Jaka dengan saksama memerhatikan beberapa lorong lain yang mungkin masih menyimpan makanan cepat saji, sedangkan Sarah sendiri berdiam mengikuti.

Sarah mengecek kembali gawainya, memperhatikan bahwa baterainya sudah terisi sepertiga. Ia kemudian mencabut kabel peranti pengisi baterai—hendak menyimpan tenaga listrik untuk hari-hari berikutnya. Ketika ia nyalakan, ia mendapat puluhan panggilan tidak terjawab dari nomor ibunya. Jakarta masih sore hari saat terakhir kali ibunya berusaha meneleponnya.

Sarah memutuskan untuk menelepon ibunya. Setelah beberapa dering, ibunya tak menjawab. Ia kemudian menghela napas dan kembali mengikuti Jaka mengelilingi toko swalayan.

Ketika Jaka merasa sudah cukup, ia dan Sarah keluar dari toko swalayan tersebut dengan sedikit makanan untuk malam itu dan esok pagi. Tiba-tiba, gawai Sarah berdering. Sarah melihat gawainya, dan melihat ibunya memanggil. Sarah menjawab panggilan tersebut.

"Halo? Bunda?"

"Sasa! Ini Sasa?!"

"Iya, Bun."

"Alhamdulillah, ya Allah! Sasa! Sasa!"

"Bunda."

"Apa kabar, sayang? Sasa baik-baik saja?"

"Iya, Bun. Sasa baik."

"Bunda dengar kabar dari Jakarta. Bunda takut sekali."

"Sasa nggak kenapa-kenapa, Bun. Bunda tenang aja."

"Sasa... Sasa yang kuat ya."

"Iya, Bun."

"Sasa yang kuat."

"Iya."

"Sasa... yang kuat..."

"Kenapa, Bun?"

"Yang kuat..."

"Bunda kenapa? Kenapa nangis?"

"Sasa."

"Kenapa, Bun?"

"Ayah."

"Ayah kenapa?"

"Sasa."

"Ayah kenapa, Bun?"

"Sasa yang kuat ya."

"Bunda?"

"Sasa yang kuat."

"Bunda, ayah kenapa?"

"Yang kuat."

"Ayah kenapa, Bunda?"

"Ayah gugur."

"Apa?"

"Ayah gugur, sayang."

"Bunda serius?"

"Ayah gugur, Sasa. Ayah gugur."

"Inalillahi wainailaihi rojiun."

"Yang kuat ya, sayang."

"Iya, Bun. Bunda juga yang kuat ya."

"Iya, sayang. Sasa yang baik ya, di sana."

"Tenang, Bun."

"Sasa yang baik."

"Iya, Bun. Bunda juga."

"Yang baik."

"Sudah, Bun. Sudah nangisnya. Sasa baik kok."

"Doakan ayah ya, Sasa."

"Iya, Bun."

"Doakan ayah."

"Iya."

"Berdoalah."

"Selalu, Bun."

"Bunda dipanggil lagi. Besok kita ngobrol lagi ya, sayang."

"Iya, Bun."

"Bunda sayang Sasa."

"Sasa sayang Bunda."

Panggilan itu berhenti. Jaka sedari tadi di samping Sarah, tengah duduk di anak tangga depan toko swalayan. Ia mendengarkan Sarah dan ibunya bercakap. Ia hanya dapat terdiam.

Setelah menghembuskan napas yang dalam, Sarah terduduk di anak tangga; di samping Jaka. Ia tidak menangis seperti ibunya. Ia hanya melamun. Ia mengingat-ingat wajah ayahnya, yang perlahan berubah sedari ia kecil hingga beberapa hari yang lalu. Ia berusaha mengingat kapan pertama kali ia melihat keriput di wajah ayahnya. Mungkin waktu ia SMP dulu? Mungkin. Ia tak banyak bertemu ayahnya, karena ayahnya sering ditugaskan ke luar daerah. Hanya saja, ia ingat hari-hari ketika ayahnya pulang, dan ia dengan badan kecilnya memeluk badan ayahnya yang besar dan berseragam tentara. Saat ayahnya di rumah, setelah ibadah malam, ayahnya mengajarkannya menghitung menggunakan sempoa. Pada malam yang lain, ayahnya mengajarkannya cara membuat tulisan yang layak dibaca, atau menyuguhkan bacaan berisi fabel maupun legenda. Kadang, ia mengaji bersama ayahnya, dan belajar banyak hal tentang ibadah dan peraturan-peraturan agama.

Sarah berusaha mengingat wajah ayahnya: kulitnya gelap seperti istrinya, rahangnya tegas juga seperti istrinya, matanya lebar seperti istrinya, dan rautnya yang seram adalah satu-satunya hal yang tidak seperti istrinya; tapi senyumnya damai, secerah dan seterang kulit Sarah. Sarah mungkin tidak mempunyai kulit segelap ayahnya, atau rahang setegas ayahnya, tapi matanya berbinar seperti mata ayahnya. Ia berusaha mengingat kembali ayahnya, dan berusaha membayangkan masa depan tanpanya. Apakah ayahnya akan dikubur di Depok dekat rumahnya, atau di kampung halaman ayahnya di Blora? Apakah Bunda akan menikah lagi? Ia takkan dibanggakan ayahnya ketika ia resmi lulus sekolah nanti; pun ia takkan dapat mengenalkan anaknya kelak ke ayahnya. Hari-hari di masa depan kelak akan seperti hari-hari di masa lalu, ketika ayahnya sedang bertugas ke luar daerah. Hanya saja, yang akan ada hanya hari-hari itu, dan takkan ada lagi hari-hari ketika Sarah membuka pintu rumah dan melihat ayahnya membuka gerbang, kemudian berlari untuk berpelukan.

Sarah mencoba mengingat kembali rupa ayahnya. Tapi ia tak dapat mengingat apa-apa.

Lucu, pikir Sarah, aku tak dapat menangis. Napasnya terasa berat, dan badannya terasa lemas. Matanya terasa buyar, dan tak henti-hentinya ia mencoba mengingat-ingat ayahnya. Ia juga mengingat tangis ibunya tadi, dan timbul perasaan untuk merawat ibunya—sebagaimana ayah merawatnya dan ibu.

Jaka memegang pundak Sarah. Ia hendak memeluknya, tetapi baginya itu tidak sopan. Ia kemudian mengelus pundak Sarah beberapa kali dan berkata, "Yuk, kita pulang."

Continue Reading

You'll Also Like

SARLA By Ini Al

General Fiction

859K 35.4K 92
[ Follow sebelum membaca!] [Happy reading ] (Lengkap) ⚠️CERITA HASIL PEMIKIRAN SENDIRI⚠️ ⚠️PLAGIAT HARAP MENJAUH!!, MASIH PUNYA OTAK KAN?! MIKIR LAH...
7.2K 170 29
Adakah yang lebih menyakitkan dari sebuah perpisahan?
7.3K 239 49
Banyak kata yang ingin kuucapkan tapi apa daya semuanya tercekat ditenggorokan. Banyak perasaan yang ingin kuungkapkan tapi apa daya semuanya terhent...
429K 37K 57
jatuh cinta dengan single mother? tentu itu adalah sesuatu hal yang biasa saja, tak ada yang salah dari mencintai single mother. namun, bagaimana jad...