Remember Us

By ideaFina

7.9M 315K 12.5K

Randi tidak bisa mempercayai penglihatannya saat ini. Perempuan yang 8 tahun lalu sempat menjadi pacarnya sel... More

Sinopsis
1. Wanna find you
2. Is That Her?
4. Is That Her? (II)
5. The Meeting and The Letter
6. Their Past
7. Afraid
8. The Allergies
9. His Sadness
10. Pinky Promise
10. Pinky Promise (double-lewatin aja)
11. Family
12. The Bonding Time
13. The Bonding Time (II)
14. In Our Time
15 In Our Time (II)
16 Matchmaking Plan
17 Sabotage
18 Picture of You
19 Of Hope and Denial
20 The Death
21. Meeting Her Parents
22 Fragment of The Past
23 Fragments of The Past
24 Hard to say the truth
25 She finally knows
26 The bitter truth
27 Not The Perfect Time to Say The Truth
28 The Misunderstanding
Bab 29 Reunion
30 Always Keep The Faith
31. Together Forever (Ending)
PENGUMUMAN PENERBITAN
[Pengumuman] Voting Cover
Pengumuman Penerbitan
[Pengumuman Penerbitan] TEASER
PENGUMUMAN PRE ORDER (Grab it fast!)
'Remember Us Fun Challenge' (Give Away)
RU on Goodreads (Beri rating yaaa^^)
How to buy RU?
Special Promo RU
E-book RU
Kuis HARBOLNAS
Promo Imlek (disk 35% all books)

3. Grandmother and grandson (?)

298K 14.1K 183
By ideaFina

Dua minggu berlalu semenjak Randi melihat Cherisha di rumah sakit, namun pria itu masih juga belum melihat Cherisha lagi. Ia sudah mengerahkan seluruh waktu luangnya untuk mencari keberadaan wanita itu di rumah sakit. Dengan bertanya-tanya ke semua orang yang mungkin tahu di rumah sakit itu, seperti Kepala Perawat, Ahli Gizi, karyawan administrasi dan lainnya. Padahal ia sudah menyertakan foto Cherisha saat remaja. Meskipun ia yakin penampilan wanita itu tidak jauh berbeda dibandingkan sekarang, namun tidak ada satupun yang mengenali wanita itu.

Akhirnya Randi mencari Cherisha dengan melakukan sesuatu yang melanggar prinsipnya. Pria itu tidak suka jika orang menganggapnya menggunakan kekuasaan orangtuanya, tapi sekarang inilah yang dilakukannya. Dengan menggunakan posisinya sebagai keponakan Direktur rumah sakit dan anak pemilik rumah sakit itu, Randi berhasil meminta file berisi seluruh pasien rumah sakit dan juga karyawan. Jika sudah mendapatkan file itu, mudah saja Randi mencari nama Cherisha.

Namun yang aneh dan juga mengecewakan, dari ribuan pasien yang tercatat dan juga daftar karyawan, tidak ditemukan nama Cherisha disana. Hal ini tentu saja membuat Randi kesal dan juga uring-uringan. Akhirnya Tania yang paling sering berinteraksi dengan Randi yang selalu menjadi sasaran kemarahan pria itu.

Tania mengangkat telpon yang berdering di mejanya, lalu menghela napas setelah mendapatkan informasi dari orang yang menelpon. Padahal ia baru saja mau makan siang, tapi kenapa sekarang ia harus menyampaikan pesan untuk Randi?

Tania bergidik mengingat dokter tampan pujaan orang-orang di rumah sakit ini, yang ternyata adalah dokter terjudes yang pernah dikenalnya. Awalnya sih dokter itu bersikap baik padanya dengan memberikan tandatangan di album Orion miliknya. Tapi selama dua minggu kerja bersama dr. Randi ini, membuat Tania gerah karena selalu dimarahi.

Dengan takut-takut Tania mengetuk pintu ruangan Randi. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk sekali lagi dengan lebih keras. Segera saja ia mendengar suara kesal dan judes milik Randi. "Masuk!"

Tania masuk dengan takut-takut. Ia melihat Randi yang duduk di examination bed dengan tampang kusut menatapnya garang. "Bukannya kita sudah nggak ada pasien? Kamu mengganggu tidur saya, Tania."geram Randi.

Randi merasa kepalanya sakit karena sudah berhari-hari tidak bisa tidur memikirkan Cherisha, padahal waktu tidurnya sedikit karena harus praktek dan mengoperasi pasien. Tadi ia sengaja meminta Tania membatasi pasien karena ia ingin istirahat sebelum operasi yang dimulai dua jam lagi. Tapi sekarang asistennya itu malah mengganggunya.

Tania berjengit mendengar kejudesan sang dokter. 'Gila! Pedeessss banget deh tuh suaranya! Pantesan dulu nggak jadi vokalis!'pikir Tania.

"Mmm... maaf dok, udah ganggu. Tapi saya dapat pesan dari Pak Direktur kalau ibunya dokter sekarang sedang dirawat. Pak Direktur udah nelpon berkali-kali ke hape dokter tapi nggak ada jawaban."jelas Tania.

Mata Randi membelalak lebar. "Mama sakit? Di mana ruangannya?"tanyanya cemas.

"Di ruang VIP no.1."jawab Tania. Segera saja Randi berlari keluar ruangan untuk pergi menemui ibunya.

***

Ny. Rani Hilman menatap sengit adik iparnya. Sudah sejak sejam yang lalu ia meminta Randi datang untuk memeriksanya, tapi putra satu-satunya itu belum juga muncul di ruang rawatnya. Adik iparnya, Alfian Hilman yang merupakan Direktur rumah sakit milik keluarga suaminya itu, sudah berkali-kali menjelaskan jika Randi sibuk dan tidak bisa dihubungi. Tapi sang nyonya besar masih saja tidak bisa menerima jika ia harus diperiksa oleh orang lain selain anaknya.

"Ini salah kamu, Fian! Kenapa kamu bikin Randi sibuk banget gitu?! Sampai-sampai dia jarang nengokin mamanya. Trus sekarang mamanya sakit dia malah nggak bisa datang?!"omel Ny. Rani.

Sang adik ipar menghela napas untuk ke sekian kalinya. Jika saja abangnya ada saat ini, ia tidak perlu meladeni kemarahan kakak iparnya. Yah tapi kalaupun abangnya saat ini ada, tidak mungkin kakak iparnya sekesal ini. Lagipula penyebab kakak iparnya kesal adalah kepergian suaminya mengurusi bisnis keluar kota, dan anaknya yang terlalu sibuk di rumah sakit.

"Yang mengurus jadwal Randi di rumah sakit bukan aku, semua tergantung dokter yang siap menangani berapa pun pasien yang ada. Dan Randi memang banyak memegang pasien karena ia siap dan mampu. Kak Rani tenang aja. Aku sudah menghubungi asistennya Randi untuk memberitahu Randi. Hape anak itu sejak tadi susah dihubungi."jelas Dr. Alfian panjang lebar.

"Awas saja kalau anak itu datang! Nanti aku..."

Dokter Alfian menghela napas lega karena pintu yang tiba-tiba terbuka sudah menginterupsi omelan kakak iparnya yang sejak tadi membuat kupingnya panas. Randi masuk ke dalam ruang VIP itu dengan wajah cemas.

"Mama kenapa?"tanya Randi cemas dengan menghampiri ibunya. Ia meraih tangan ibunya dan menciumnya. Lalu melakukan hal yang sama pada Om-nya. Kebiasaan sopan santun yang tak pernah dilupakannya walaupun lama bersekolah di luar negeri.

"Mama sakit tahu! Kamu sih sibuk terus dua minggu ini, jadinya nggak tahu kan mama sakit?!"omel Ny. Rani.

Randi meringis mendengar omelan mamanya yang memekakkan telinga itu. "Maaf Ma, Randi sibuk banget. Tapi kan Randi telpon Mama terus."

"Tetap aja nggak cukup! Baru pulang dari Inggris tapi hampir tiap hari di rumah sakit, pulang cuma buat mandi sama tidur sebentar! Papa kamu juga pergi keluar kota! Kan mama kesepian..."kata Ny. Rani dengan nada sedih.

Randi memeluk mamanya lalu bergumam, "Maafin Randi ya ma..."ucapnya merasa bersalah. Seharusnya rasa frustasinya karena tidak bisa menemukan Cherisha tidak membuatnya jadi gila kerja begitu dan meninggalkan ibunya sendirian di rumah besar mereka. Yah walaupun banyak asisten rumah tangga, tapi tetap saja berbeda jika dibandingkan keluarga.

"Mama sakit apa, Om?"tanya Randi pada pamannya.

"Tekanan darahnya tinggi sekali. Makanya Mama kamu pusing dan sempat pingsan. Mama kamu harus bisa menenangkan pikirannya dan istirahat yang cukup untuk beberapa hari di rumah. Besok udah bisa pulang. Tapi dia mau lama disini."jelas Dr. Alfian sedikit menggerutu.

Ny. Rani memelototi adik iparnya itu. "Memangnya nggak boleh istirahat disini? Randi juga lebih sering di sini daripada di rumah."

Randi menghela napas. "Ya udah. Mama boleh dirawat disini, tapi nggak usah lama-lama ya. Lagian kalo Mama lama-lama disini, Mama juga nggak ada kerjaan. Lebih enak di rumah."

"Di rumah juga Mama mau ngapain? Nggak ada cucu buat diajak main."gerutu Ny. Rani.

"Ma..."

"Topik sensitif udah mulai nih. Om keluar aja deh ya."kata dr. Alfian tersenyum geli melihat wajah cemberut Randi. "Kak Rani, nanti kalau ada apa-apa telpon aku ya."Lalu dr. Alfian pergi keluar kamar rawat VIP itu.

"Jadi apa yang bikin tekanan darah Mama sampai tinggi banget gitu?"tanya Randi.

"Mama stres, Di! Mama kesepian dan bosan. Papa kamu lagi sibuk ngurusin rumah sakit cabang di Medan. Tadinya Mama mau ikut, tapi karena kamu pulang, Mama lebih milih dirumah aja. Eh ternyata sekarang kamu juga sama aja kayak Papa kamu. Sibuk juga. Makanya Mama mau ngapain coba di rumah?"

"Mama kan sering ikut atau ngadain acara arisan. Trus Mama juga suka berkebun. Itu ada kerjaan kan?"

"Tapi Mama mau cucu, Randi! Kalau kamu udah nikah kan Mama punya menantu yang bisa nemenin Mama trus punya cucu yang bisa diurusin sama diajakin main!"ucap Mamanya bersikeras.

Randi menghela napas. "Umurku baru 29 tahun, Ma..."

"Umur segitu udah tua tau! Mama sama Papa dulu nikah umur 26! Waktu kita masih kuliah spesialis! Makanya Mama nggak pengen kamu kuliah di luar negeri. Ntar bisa-bisa kamu bawa calon bule. Big No No No! Tapi kalo nggak bawa calon juga bikin Mama khawatir. Kalo kelamaan nanti jadi bujang lapuk kamu!"

Randi tertawa geli mendengar istilah yang diucapkan ibunya. "Bujang lapuk? Nggak sekalian Siti Nurbaya, Ma?"

Ny. Rani menatap sinis anaknya. "Lebih bagus kan daripada disebut 'Perjaka Ting-ting'?"

Randi meringis mendengar kalimat itu. Kalimat yang tidak tepat karena ia sudah tidak perjaka lagi. Tapi ibunya tentu saja tidak boleh tahu hal itu.

"Ya udah Mama jodohin aja kamu kayak Siti Nurbaya ya!"

"Eh jangan, Ma! Jangan!"tolak Randi buru-buru.

Ny. Rani merengut. "Kenapa kamu nolak? Mama tuh khawatir kamu bakalan kayak teman-teman kamu itu, Ryan, Andra dan Jovan. Udah pada tua-tua udah umur 33 sama 34 tahun masih belum juga nikah. Seharusnya kamu contoh Micky, dia udah nikah 7 tahun ini. Dan dia kelihatan bahagia banget sama istri dan anaknya."

'Sial, Bang Mick!'gerutu Randi dalam hati. Randi tentu saja ingin menikah, tapi hanya ada satu wanita yang ia pikirkan, dan wanita itu belum bisa ia temukan sampai sekarang. Mana mungkin ia mengatakan hal itu pada ibunya kan? Nanti ibunya bisa bertanya macam-macam tentang hubungan mereka. Hal yang Randi tidak siap untuk ceritakan. Bisa-bisa ibunya ngamuk mendengar apa yang telah ia lakukan bersama dengan Cherisha 8 tahun lalu.

"Randi mau Ma nikah cepat. Tapi Randi belum ketemu sama calonnya aja. Randi nggak mau Mama jodoh-jodohin begitu. Pengen nyari sendiri aja. Ya Ma?"

Ny. Rani menghela napas. 'Kamu masih nyari gadis itu, Randi?' tapi ia hanya bisa mengatakan itu di pikirannya. Jika Randi tidak mau bercerita sendiri, akan sulit untuknya meminta putra satu-satunya itu bercerita. Lagipula Randi tidak tahu jika ia tahu mengenai gadis yang 8 tahun lalu dicari-cari putranya itu.

"Mama udah makan siang sama minum obat?"

"Udah tadi sebelum kamu datang."

"Randi pergi dulu ya Ma. Jam 2 ada operasi, tapi Randi sekarang belum makan siang. Mama nggak apa-apa kan Randi tinggal?"

Ny. Rani tersenyum mendengar nada cemas anaknya. "Nggak apa-apa. Nanti Ayu datang kok dari rumah. Tadi Mama suruh ambil baju ke rumah dianter Amin."kata Ny. Rani menyebut nama ART dan supirnya itu.

"Ya, udah. Randi pergi dulu ya, Ma."kata Randi lalu memeluk dan mencium kening ibunya. "Assalammu' alaikum."

"Walaikumsalam."jawab Ny. Rani. Wajahnya kembali cemberut. Ia sendirian lagi.

***

"Aku ingin begini, aku ingin begitu, ingin ini ingin itu banyak sekali~ Semua semua semua dapat dikabulkan. Dapat dikabulkan dengan kantong ajaib~"nyanyi Rendi.

Cherisha tertawa mendengar putranya yang begitu riang saat ia menjemputnya di rumah bibinya. Rendi memang mengeluhkan jarangnya ia bertemu sang ibu. Dulu saat Cherisha tidak bekerja di rumah sakit, setidaknya Rendi bisa bersama ibunya pagi-pagi dan diantarkan ke sekolah, lalu bertemu malam saat ibunya pulang kerja.

Walaupun sekarang Cherisha pulang kerja lebih cepat, di sore hari. Tapi sekarang ibunya itu malah sudah tidak ada sejak subuh, dan akhir pekan pun juga bekerja. Membuatnya kurang bersemangat ke sekolah karena tidak bisa melihat wajah ibunya pagi-pagi.

Karena itulah Rendi meminta diajak ke rumah sakit. Jarak antara rumah kontrakan mereka dan rumah sakit tidak begitu jauh, dan Rendi tidak berkeberatan menunggu ibunya bekerja dengan bermain di taman rumah sakit. Hal yang terpenting adalah ia bisa memiliki waktu yang lebih banyak bersama ibunya.

Mereka tiba di rumah sakit dan Cherisha langsung mengajak Rendi ke gazebo taman rumah sakit. Rendi duduk di bangku dalam gazebo itu lalu melepaskan tas ransel yang sedari tadi digendongnya.

"Rendi nggak apa-apa sendirian disini?"tanya Cherisha cemas.

"Nggak papa kok Bun. Kan disini juga deket dari dapur. Nanti kalo Rendi bosen main sendirian trus mau ketemu Bunda, Rendi kan bisa kesana."kata Rendi tersenyum lebar, menenangkan ibunya.

"Bener nggak papa?"tanya Cherisha masih cemas.

"Beneran deh! Kan Rendi bawa mainan, biskuit sama buku. Rendi nggak bakalan bosen deh!"

Cherisha tersenyum, mengelus lembut pipi putranya. "Nanti Bunda sering-sering ngecek Rendi trus bawain Rendi kue. Main disini aja ya, Nak. Jangan kemana-mana. Jangan ngomong sama orang nggak dikenal."

"Iya, Bundaaaaaa~"

Cherisha tersenyum lalu mengecup kening Rendi. "Bunda pergi dulu ya."katanya lalu pergi dari gazebo itu.

"Daaahhh Bundaaaa~"

"Dadaahh sayang~"

Setelah tidak melihat Bunda-nya lagi, Rendi membuka tasnya dan mengeluarkan isinya satu persatu. Di tas yang tidak terlalu besar itu ada rubik segitiga, biskuit cokelat, dua buah buku pelajaran dan buku gambar beserta pensil warna. Rendi berpikir-pikir sebentar. Apa yang harus dilakukannya lebih dahulu? Main rubik atau mengerjakan peer?

Ia tertarik untuk memainkan rubik yang baru dibelikan oleh bundanya itu. sebelumnya ia sudah mempunyai rubik segiempat berukuran 3x3 dan 4x4. Karena sudah seringkali berhasil memecahkannya, kemarin Cherisha membelikan yang segitiga. Rendi ingin mencoba memainkannya, tapi ia banyak peer juga.

Rendi memikirkan hal itu dengan begitu serius, keningnya dikerutkan dan bibirnya mengerucut. Ekspresi gemas itu membuat Ny. Rani yang berjalan-jalan dengan menggunakan kursi roda di taman itu begitu tertarik. Ia meminta Ayu mendorong kursi rodanya mendekati gazebo.

"Adik kecil sedang apa?"tegur Ny. Rani, membuat Rendi terkejut. Anak itu mengalihkan pandangannya ke Ny. Rani. Dan sesaat, Ny. Rani terkejut melihat wajah bocah berumur 7 tahun itu. Wajah yang begitu familiar untuknya.

"Lagi mikir, Nek."kata Rendi ketika menyadari yang bertanya padanya adalah seorang wanita tua berjilbab yang duduk di kursi roda. Kalau yang seperti ini bukan orang asing yang berbahaya kan?

"Mikir apa?"tanya Ny. Rani dengan tersenyum.

"Rendi lagi mikir, mau main rubik dulu apa ngerjain peer. Peer Rendi banyaaakkkk banget! Tapi Rendi juga mau main rubik yang baru dibeliin Bunda."jelas Rendi dengan begitu menggemaskannya di mata Ny. Rani.

"Adik kecil ganteng banget sih!"kata Ayu gemas.

Rendi tersenyum lebar mendengar pujian itu. "Iya dong! Kan Rendi anaknya Bunda! Makasih Tante!"

"Aduh, jangan panggil Tante ya. panggil 'mbak' aja."kata Ayu keberatan. Ny. Rani geleng-geleng kepala mendengar ucapan ART-nya itu. padahal Ayu berusia lebih tua dari Randi, wajar saja kalau anak ini memanggilnya 'Tante'.

Rendi mengangguk, walau sedikit bingung.

"Jadi nama kamu Rendi?"tanya Ny. Rani penuh minat. Anak ini begitu mirip dengan Randi waktu kecil, dan perasaan hangatnya saat dipanggil nenek tadi membuatnya berharap jika Rendi ini adalah cucunya. Pikiran yang memang ia akui begitu aneh karena anak kecil yang ada di hadapannya ini kan baru dikenalnya.

Rendi turun dari bangku dan menghampiri Ny. Rani yang berada di kursi roda. "Iya, Nek! Kenalin, Rendifa Hilmi."kata Rendi lalu mencium tangan Ny. Rani, membuat Ny. Rani begitu senang.

"Kamu sopan sekali, sayang."kata Ny. Rani senang saat memperhatikan Rendi yang juga berkenalan dengan Ayu dan mencium tangannya.

"Kata Bunda kita harus sopan sama yang lebih tua trus sayang sama yang lebih kecil."

Ny. Rani senang sekali mendengar ucapan Rendi. Fisik dan sifat sopannya benar-benar mirip putranya! Seandainya saja Rendi ini cucunya. 'Eh tapi kenapa dari tadi Rendi hanya menyebut Bunda?'pikirnya.

"Rendi ngapain sendirian disini? Orangtua kamu mana, sayang?"tanya Ny. Rani sambil mengelus rambut tebal Rendi.

"Bunda lagi kerja, Nek. Bunda kan yang masak buat pasien disini. Jadi sekarang lagi kerja di dapur. Trus Rendi nungguin Bunda disini."jelas Rendi. Ia duduk di bangku gazebo bersama dengan Ayu sementara Ny. Rani duduk di hadapannya dengan kursi roda.

"Trus Ayah mana?"

Rendi menundukkan wajah sedihnya. "Rendi nggak punya ayah, Nek."

Ucapan dan ekspresi Rendi membuat Ny. Rani dan Ayu merasa bersimpati. Ny. Rani merasa jika ibunya Rendi pasti adalah single mother yang begitu hebat dalam mendidik anak. Anak sekecil ini sudah berbicara begitu pintar dan sopan. Membuat Ny. Rani kagum.

"Rendi nggak tahu ayah Rendi siapa atau dimana. Setiap Rendi nanya Bunda, Bunda pasti sedih. jadi Rendi nggak pernah nanya-nanya lagi."jelas anak itu, membuat Ny. Rani tersentak.

Bagaimana mungkin bisa seperti ini? Anak kecil yang begitu mirip dengan Randi, dan tidak punya ayah. Ini hanya tebakan nggak beralasan kan?

"Nenek sedih ya denger ceritanya? Hehe... maaf ya Nek, Rendi cerita yang sedih-sedih."kata Rendi saat melihat ekspresi kaget dan sedih Ny. Rani.

"Nggak papa kok, sayang."kata Ny. Rani dengan mengusap sayang rambut Rendi.

Rendi begitu menikmati usapan sayang Ny. Rani. Padahal mereka baru bertemu dan bundanya bilang ia tidak boleh berbicara dengan orang asing. Tapi nenek ini begitu baik padanya, membuat Rendi merasa begitu nyaman. Ia jadi melupakan peer dan rubiknya.

"Nenek sama Tante, eh Mbak, mau biskuit?"Rendi menawarkan biskuit kepada keduanya. Ayu mengambil satu sementara Ny. Rani menolaknya dengan halus.

"Kakinya Nenek sakit ya?"tanya Rendi disela-sela kunyahannya. Biskuit cokelat menempel di giginya, membuat Ny. Rani terkekeh melihat hal itu.

"Kaki Nenek nggak sakit kok. Cuma Nenek lemas aja, makanya nggak bisa jalan-jalan, jadinya jalan-jalannya pake kursi roda deh."

"Kata Bunda, kalo kita makan makanan yang berzat gula, bisa bikin lebih bertenaga trus lebih aktif dan bersemangat. Jadi supaya nggak lemas, banyak-banyak makan yang manis, Nek."jelas Rendi.

"Oh ya?"tanya Ny. Rani, tertarik mendengar penjelasan anak kecil yang begitu pintar ini.

"Iya! Makanya Rendi selalu bersemangat. Bunda bilang hiperaktif. Itu karena Rendi banyak makan! Hehe... Rendi kan hobi makan!"

Ny. Rani mengernyit lagi. 'Hobi makan? Randi banget.'

"Rendi suka makan apa aja?"tanya Ayu.

"Banyak Tante! Eh Mbak. Hehe~ salah lagi manggilnya. Rendi suka donat, kue bronis, risol, trus jajanan macem-macem deh! Tapi paling suka masakannya Bunda! Masakan Bunda pokoknya paling enaaaakkkk sedunia!"katanya riang membuat Ny. Rani dan Ayu tertawa.

Ucapan-ucapan polos dan pintar Rendi membuat Ny. Rani begitu gembira. Mereka mengobrol mengenai banyak hal. Dan setiap kali, Ny. Rani selalu terkejut dengan kalimat yang dikeluarkan anak berumur 7 tahun itu.

Bagaimana mungkin anak berumur 7 tahun ini bisa tahu banyak hal yang tidak diketahui atau dipedulikan anak seusianya? Anak ini bahkan tahu banyak hal tentang makanan sehat dan tidak sehat, lalu berpantang terhadap makanan tidak sehat. Padahal anak ini doyan makan!

'Ibunya mendidiknya dengan sangat baik.'pikir Ny. Rani. Ia jadi ingin bertemu dengan ibu dari anak ini.

"Boleh Nenek tahu nama Bunda-nya Rendi siapa?"tanya Ny. Rani akhirnya setelah tidak bisa mengatasi rasa penasarannya.

"Cherisha Anata."kata Rendi dengan tersenyum lebar, sementara wajah Ny. Rani memucat. "Namanya bagus kan, Nek?"

'Cherisha, kamu dimana? Aku nyari kamu kemana-mana. Cher, maafin aku. Pliss aku mau ketemu kamu!'

'Randi! Ini Mama! Kamu dilihat-lihat dong kalo ngangkat telpon!'

'Ma.. maaf Ma.'

'Siapa itu Cherisha?'

'Bukan siapa-siapa.'

Ny. Rani masih mengingat nama itu dengan sangat baik. Karena Randi, anaknya yang gila belajar dan hobi nge-drum, yang setahunya belum pernah berhubungan dengan wanita, tidak sengaja menyebutkan nama itu delapan tahun lalu. Nama yang ia yakin sekali sangat sedikit dipakai orang.

"Bener nama Bunda kamu Cherisha?"tanya Ny. Rani sekali lagi masih dengan kaget.

Rendi dan Ayu kebingungan melihat ekspresi Ny. Rani. "Ngg... iya Nek. Nama Bunda-nya Rendi, Cherisha Anata."

Kali ini wanita tua itu merasa yakin dengan dugaannya. Tidak pernah dilupakannya ekspresi gembira Randi saat membuka kado ulang tahun ke-17 nya dari seorang gadis yang sengaja menitipkan kado ke manajer Orion saat itu. Saat itu, Rani membaca kartu yang ditempelkan di kotak kado itu. 'From your number 1 fans. With love, Cherisha Anata'

Wajah wanita tua itu memucat ketika memikirkan kemungkinan yang ada. Wajah anak kecil yang begitu mirip dengan putranya waktu kecil, lalu nama ibu dari anak itu yang sama dengan gadis yang mengenal Randi...

'Ya Allah, Randi! What have you done?!'


~Tijpok Bibir Changmin (TBC) ~ 

*Eaaaaaaaaaa hahaha

Continue Reading

You'll Also Like

Dialektiva By cand

General Fiction

314K 56.6K 50
Ini cerita tentang Tiva dan kejenuhannya terhadap tipe-tipe mahasiswa yang ada di kampusnya--terutama di kelasnya. Tipe mahasiswa yang caper sama dos...
14.4K 1.4K 8
{~'°'~Folow dulu sebelum baca oke} Meninggal?? karna tersedak nyamuk?!!itulah yang di alami oleh Alina Salsabila, gadis bar bar dengan segala tingkah...
9.2M 520K 50
ɪ ᴅᴏɴ'ᴛ ɴᴇᴇᴅ ʏᴏᴜ ᴛᴏ ʟɪɢʜᴛ ᴜᴘ ᴍʏ ᴡᴏʀʟᴅ, ᴊᴜsᴛ sɪᴛ ᴡɪᴛʜ ᴍᴇ ɪɴ ᴛʜᴇ ᴅᴀʀᴋ Nicolaus Copernicus bilang matahari merupakan pusat tata surya dengan bumi besert...
2.3M 235K 39
Cerita sudah dihapus sebagian untuk kepentingan penerbitan meet Karenina, gadis 23 tahun dengan penampilan seperti anak remaja dan nggak bisa pasang...