Ujian Nasional

By KalaSanggurdi

8K 588 40

Ujian nasional tengah berlanjut di Indonesia pada tahun 2014. Sarah bersama teman-temannya tengah mempersiapk... More

Menteng: Rabu, 25 Desember 2013
Sawah Besar: Jumat, 24 Januari 2014
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 2
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 3
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 4
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 4 [Tambahan]
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 6
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 6 [Tambahan]
[Tambahan] Matraman: Selasa, 15 April 2014
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 2
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 2
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 3
[Tambahan] Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 3
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 4
Menteng: Selasa, 15 April 2014
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 1
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 2
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 3
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 4
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 1
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 2
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 3
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 4
Sawah Besar: Kamis, 14 April 2039

Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 5

254 23 1
By KalaSanggurdi

Sarah memandang keluar sekali lagi. Sayap-sayap hitam itu masih ada, meski tak jelas terlihat karena terlalu cepat. Bahkan dalam mobil yang tertutup, gemuruh tetap terdengar dan menggetarkan seisi mobil.

Sekali lagi, Sarah memandangi Novi. Novi setengah sadar, tapi mungkin sebenarnya sedang berada di ambang antar sadar dan tidak. Biru dan merah di siku Novi yang lepas membuat Sarah pusing dan menahan napas. Seumur hidup, ia tak pernah melihat lengan seseorang bisa berbentuk demikian. Mulut Novi yang berbusa mengocok perut Sarah, dan bahwa Novi adalah temannya, mata Sarah pun ikut terkocok. Belum ada yang keluar dari kedua organ yang terkocok itu, tetapi mungkin bisa keluar kalau Sarah tak lagi menahan kuatnya.

Mobil berlari menuju sebuah jembatan layang di depan Pasar Senen. Sarah yakin dapat melihat sepasang sayap hitam yang lewat. Kemudian dalam sela waktu tertentu, ketika mobil menaiki jembatan layang itu, tiba-tiba rentetan ledakan menghancurkan tengah jembatan serta mengguncangkan mobil Sarah dan kawan-kawan. Jaka dengan ganas menginjak rem mobil, dan semua penumpang terbawa ke depan.

"Pak Jaka! Hati-hati! Novi, Pak!" teriak Sarah. Jaka tak mengindahkan Sarah, karena ia sendiri kaget bukan main. Jaka kemudian melihat sekeliling: Pasar Senen dan Plaza Atrium. Manusia berlarian layak semut, selagi kebakaran menghiasi gedung-gedung—kebakaran karena kerusuhan, bukan karena sayap-sayap hitam di atas. Keadaan di bawah jembatan layang yang hancur menjadi ricuh, dan ratusan orang berusaha lari menjauhi jembatan layang tersebut. Awalnya Jaka berpikir bahwa ia harus lewat jalan bawah, tetapi dengan ratusan orang berhuru-hara, ia tak bisa lewat jalan bawah itu. Akhirnya, Jaka memutar balik mobil dan melaju kencang sebelum ratusan orang panik menghalangi jalannya.

"Pak Jaka, bagaimana?" tanya Sarah. Jaka masih tak menjawab, berusaha berpikir dengan jantung yang terpacu terlalu cepat. Ia memikirkan rute baru, dan mungkin rute yang bisa diambil meski melanggar peraturan lalu lintas. Toh, saat ini ia sedang melawan arus jalan yang lengang, dan tak terlihat polisi lalu lintas yang akan memedulikan. Jaka pun memikirkan rute yang bisa ia lalui, yang cukup besar untuk mobil tapi tak bisa dilewati dalam keadaan normal. Setelah menjalani aspal, tiba-tiba mobil itu berbelok dan melalui trotoar.

"Pak Jaka?!" Sarah kebingungan melihat mobil tersebut berjalan di atas trotoar, kemudian menghancurkan kaca serta berpapasan dengan etalase beberapa toko dalam ruangan. Ia memeluk Novi erat-erat; takut ia kenapa-kenapa lebih dari yang sekarang ini.

"Sudah, Sar. Jangan khawatir," balas Robi tiba-tiba. Karena kalimat itu datang dari Robi, Sarah menenang.

Setelah beberapa lama, mobil akhirnya melaju di jalan normal lagi. Langit yang jingga mulai memerah, dan mobil itu berhenti di depan gang teramat kecil. Gang itu sepi, pikir Jaka yang tak terbiasa melihat gang tersebut tidak dipenuhi anak-anak berlarian dengan jajanan jalanan. Jaka mengundang para siswa untuk memasuki gang tersebut, sambil membopong Novi.

Gang kecil itu kembali disempitkan dengan puing-puing yang berjatuhan dan menghalangi jalan. Dengan gesit, Jaka melangkahi banyak genteng yang jatuh. Ketika jalan gang tertutup oleh puing yang tak dapat dilangkahi, ia menyuruh Sarah dan Robi untuk membuka jalan. Hingga akhirnya ketika langit menghitam, ia berhenti di depan suatu pintu dari rumah sempit dan mendobraknya. Di dalam rumah itu tidak langsung terlihat ada orang, hanya saja rumah itu diterangi lilin. Jaka kemudian memanggil penghuninya, "Bang! Bang! Bang Jon!"

Sarah melihat ke sekitar, selagi Jaka membawa Novi mengelilingi rumah sempit itu. Ia menemukan banyak wayang dan gunungan, tetapi juga tumpahan kopi berumur bulanan serta kursi ruang tamu yang lapuk dan bau apek. Rumah itu begitu sempit: cat tembok hijau sudah retak dan mengeruh di mana-mana, serta lantainya masih lantai semen. Bahkan rumah dinas ayahnya di Depok yang ia kira sudah tua dan terkesan miskin masih kalah dengan rumah sempit satu ini. Ia berpikir lagi bahwa Bang Jon, si penghuni rumah yang kata Pak Jaka adalah tukang urut, mungkin punya paras yang serupa dengan dukun atau orang buta yang keliling menawarkan jasa urut.

Hanya saja, setelah beberapa saat, Sarah melirik ke ruangan dalam. Ia melihat Novi direbahkan di atas kasur putih beralaskan karpet tua. Ia melihat Jaka didampingi sosok botak yang memakai sarung tangan serta masker dokter. Sosok itu setua sosok dukun yang dibayangkan oleh Sarah, tetapi berperilaku layak dokter dan bersih dari rambut gondrong serta jenggot tebal. Apakah itu Bang Jon, tanya Sarah dalam hati.

"Baa, Bang?"

"Tulangnyo ndak patah, tapi sendinyo lapeh. Musitinyo ndak baa. He, iko Sarah jo Robi?"

Sarah tidak mengerti. Ia mengernyitkan alisnya.

"Kamu Sarah?" ucap Jon.

"Iya."

"Duduk kamu. Sama temanmu itu, suruh duduk juga. Kalian tunggu giliran."

Sarah duduk, dan Robi yang sempat mengintip tadi ikut duduk di sampingnya. Sarah melihat Jon bermain secara lihai dengan obat-obat dan perkakas kedokteran yang tak ia kira akan ada di rumah tukang urut. Kemudian, Sarah melihat Jon menggunakan alat suntik untuk menyuntikkan sesuatu ke dalam tubuh Novi. Ia tak percaya; Jon selihai ibunya. Jon bukan seorang tukang urut biasa, tetapi juga seorang dokter.

Sarah melihat ke sekitar, dan menemukan sertifikat dokter terpampang dengan bingkai lapuk. Sertifikat itu sudah menguning, dan sepertinya dari tahun yang bahkan orangtuanya saja belum lahir.

Sarah kembali melihat Jon. Botaknya kepalanya menipu penglihatan Sarah, yang kemudian memperhatikan alisnya yang putih seluruhnya. Jon ternyata sudah sangat tua, dan mungkin sudah pensiun menjadi dokter. Hanya saja dalam keadaan genting seperti ini, ia harus kembali lagi menjadi dokter. Entah kenapa, Sarah merasa kasihan melihat Jon.

Jon tiba-tiba berkata, "Sarah. Kamu dan Robi tolong keluar sebentar. Air di rumah mati. Ambilkan air dari warung depan, atau minimarket depan gang."

Sarah mengangguk. Ia tak perlu banyak tanya dalam situasi seperti ini, dan harus bergerak cepat. "Yuk, Robi," ajaknya kepada Robi yang masih kebingungan. Ia kemudian mengambil salah satu lilin yang ditaruh di atas piring kecil sebagai alat penerangan untuk berjalan keluar.

Sarah dan Robi melihat sekeliling. Gemuruh dan sayap hitam sudah tak terdengar maupun terlihat. Malam itu begitu sunyi.

Sarah tak dapat menemukan warung di gang tersebut, dan Robi masih meringis kecil.

"Rob, kamu yakin kamu nggapapa?"

"Ngapapa kok, Sar."

"Jangan-jangan kamu cuma sok kuat."

"Aku kan emang kuat."

"Halah," Sarah tersenyum.

"Sar."

"Ya?"

"Kamu nggapapa?"

"Iya."

"Tadi... Pak Arli..."

"Jangan dipikirin."

"Kamu nggak mau mikirin?"

"Aku berusaha nggak mikirin."

"Oh. Aku hampir ngira kamu sejahat itu. Aku kira kamu nggak mikirin sama sekali."

"Aku juga hampir ngira begitu. Aku kayak... Aku kayak nggak ngerasa kenal sama diri aku sendiri."

"Biasanya kamu paling rempong. Sekarang paling tenang."

"Iya? Kamu lebih tenang dari aku."

"Siapa bilang."

"Oh. Jadi kamu takut?"

"Eh, siapa bilang!"

Sarah tertawa, "Nggapapa, Rob. Kita semua takut. Nggak usah paksain diri."

"Aku... Aku cuma..."

"Kenapa?"

"Aku nggak percaya."

"Nggak percaya semua ini terjadi?"

"Nggak percaya bahwa negeriku setega ini. Mereka nggak mikir apa, kalau ada warga mereka di sini?"

"Nggak mikir apa, kalau ada penduduk biasa di sini?"

"Iya, itu juga."

"Ya udah. Udah kejadian, Rob. Kamu nggak salah."

"Tadi siang..."

"Tadi siang?"

"Kamu nyadar nggak? Aku diliatin anak-anak?"

"Terus kenapa?"

"Bahkan Daffa sama Bejo, Sar. Mereka kayak... kayak..."

"Kayak apa?"

"Dendam."

"Dendam?"

"Iya, kayak nggak suka sama aku."

"Oh. Nggak itu. Nggak mungkin. Kamu anaknya seru kok."

"Tapi, Sar..."

"Udah. Bukan salah kamu Malaysia nyerang."

"Sar."

"Ini warungnya mana ya?" Sarah berusaha menyudahi pembicaraan. Ia berhenti berjalan dan melihat sekeliling menggunakan cahaya lilin. Tak ada orang selain mereka berdua. Ia bahkan tak mendengar bisik-bisik dari balik pintu-pintu pemukiman kumuh itu. Semua orang seperti menghilang begitu saja.

Sarah dan Robi keluar dari gang tersebut ketika melihat mobil Jaka yang terparkir, dan setelah berjalan sedikit, menemukan toko swalayan. Pintunya hilang satu, dengan isinya gelap gulita. Ketika cahaya lilin mendekati toko tersebut, Sarah dapat melihat bagaimana toko tersebut porak poranda dengan berbagai macam barang jualan yang hilang. Tidak ada yang menjaga toko swalayan itu.

"Kamu ada uang?" tanya Sarah kepada Robi.

"Uang?"

"Iya, uang."

"Ambil aja."

"Ambil aja? Bayar lah!"

"Mau bayar ke siapa, Sar?"

"Minimal masukin uangnya ke mesin kasir."

"Terus? Nanti uangnya diambil siapa?"

"Diambil kasirnya lah, nanti."

"Emang kamu bisa jamin kasirnya balik lagi?"

Sarah berusaha membela dirinya, tetapi ia terdiam. Robi dengan serta merta mengambil banyak sekali barang, termasuk dua botol air satu setengah liter. Dua botol itu pun merupakan botol terakhir. Sarah hendak menghalangi Robi, dan hendak tetap ingin membayar. Tapi ia memikirkan kembali kata-kata Robi. Pada akhirnya, ia membiarkan Robi.

"Sar, bantu bawa," ucap Robi sambil memberi Sarah dua botol air. Robi lanjut mengambil kudapan dan minuman untuk ditaruh di dalam keranjang belanjaan. Sarah hanya menerima dan diam melihat Robi.

"Robi," panggil Sarah, "Diva bagaimana ya?"

"Aku nggak tau, Sar."

"Pak Danu akan ke sini nggak ya? Bawa dia?"

"Aku nggak tau."

"Udah selarut ini. Aku takut dia kenapa-kenapa."

Robi tidak merespon Sarah, melainkan berkata, "Yuk."

Sarah dan Robi kembali ke rumah Jon. Ketika kembali, Sarah tak menemui Novi di ruangan yang sama. Ia hanya menemui Jon yang sedang mengurusi luka-luka Jaka. Pun itu sepertinya sudah hampir selesai.

"Sudah kembali kamu? Taruh airnya di sebelah sana," ujar Jon yang menunjuk ke sebuah sudut ruangan.

"Novi gimana, Pak?"

"Tertidur dia, di belakang."

"Dia baik-baik aja kan, Pak?"

"Ia hanya perlu istirahat sejenak. Tapi, ia perlu dipulangkan ke orangtuanya. Di mana dia tinggal?"

"Di Menteng."

"Kamu punya kontak orangtuanya?"

"Ibunya nggak bisa dihubungi. Beliau masih di laut."

"Nelayan? Tinggal di Menteng?"

"Bukan, Pak. Nakhoda pesiar."

"Ayahnya?"

"Udah lama meninggal."

"Ah, oke. Sini saya lihat luka kamu. Robi, kamu tunggu di depan dulu. Jaka, pai la jo Robi."

Jaka kemudian menuntun Robi keluar ruang tengah. Robi ikut tanpa basa-basi. Tinggal Sarah dan Jon di ruangan tersebut. Jon kemudian menyalakan tiga lilin lagi, hingga akhirnya ruangan itu lebih terang meski masih redup.

"Lepas jilbab dan seragammu," suruh Jon. Sarah sejenak tersentak. Jon meluruskan, "Ndak apa. Saya takkan macam-macam. Di mana saja lukamu?"

Sarah menunjuk ke berbagai penjuru tubuhnya. Jon pun sebenarnya sudah tahu tanpa dikasih unjuk, karena yang ditunjuk Sarah adalah titik-titik seragam yang ternodai darah. Tak bisa dipungkiri oleh Sarah bahwa Jon harus punya akses terhadap kulitnya bilamana ia ingin diobati. Pada akhirnya, dengan ragu, Sarah perlahan membuka jilbabnya.

"Anak baik-baik ya, kamu. Sama seperti anak saya."

"Anak bapak?"

"Iya."

"Siapa, pak?"

"Zahra namanya. Sudah lama meninggal."

"Inalillahi..."

"Waktu dia masih kecil, dia paling ndak suka saya pegang-pegang. Bukan muhrim katanya. Padahal ayahnya sendiri. Hahaha!"

"Istri bapak bagaimana?"

"Sudah lama meninggal juga. Namanya juga umur."

"Jadi, bapak sendiri?"

"Iya. Cucu saya sama menantu, di kampung saya di SumBar. Wah, luar biasa. Kamu sadar di kepalamu ada luka?"

"Ada, pak?"

"Ada."

Sarah tiba-tiba merasa perih di bagian kepalanya saat Jon mulai memberikan luka di kepalanya obat. Hanya saja, sentuhan Jon membuatnya merasa damai dan aman. Sentuhan Jon mengingatkannya kepada sentuhan ibunya, yang juga seorang dokter.

"Nah, saya minta izin dulu ya. Kamu buka sendiri seragammu."

Sarah kini jauh lebih ragu lagi. Tapi ia tetap buka. Satu per satu kancing ia buka, dan kemudian ia melepas seragamnya. Jon kemudian melihat dengan saksama: ada luka di bagian punggung, ada luka di bagian lengan.

"Boleh lihat bagian depan?" Jon kembali meminta izin. Sarah dengan ragu memutar duduknya, dan menutupi badan depannya yang hanya ditutup pakaian dalamnya. Jon menyipitkan matanya, "Tangannya boleh dikesampingkan dulu?" dan Sarah mulai curiga bahwa Jon hanya ingin melihat dirinya tanpa busana.

"Ndak apa, nak. Saya ndakkan berbuat jahat," Jon meyakinkan Sarah sekali lagi. Sarah pasrah, dan menaruh kedua tangannya di atas kasur. Jon terbelalak.

"Onde mande... besar sekali!" ucap Jon agak panik, "Ini harus dijahit!"

Sarah kebingungan. Payudaranya memang terasa perih, tetapi reaksi Jon menandakan bahwa luka di payudaranya cukup parah. Ia tak berani lihat lukanya sendiri, maupun memegangnya.

"Tolong dibuka pakaian dalammu, kemudian rebahan. Saya ambil obat dulu," ucap Jon sambil pergi ke pintu ruang tamu dan menguncinya agar Jaka dan Robi tidak tiba-tiba masuk. Kemudian, ia pergi ke belakang dan kembali dengan alat jahit dokter. Hanya saja, Jon menemukan Sarah hanya berbaring; tidak melepas pakaian dalamnya.

"Apa terlalu sakit buat dibuka? Saya gunting kalau begitu," ujar Jon. Sarah panik, "Biar saya buka sendiri, pak."

"Ndak apa, Sarah. Saya cuma mau menolongmu. Bukalah."

Kali itu adalah kali pertama Sarah menunjukkan rambut dan badan atas tanpa busana kepada lelaki lain. Seumur hidup, ia mengira kejadian seperti itu hanya akan terjadi di malam pertamanya sebagai pengantin kelak. Hanya saja, kejadian itu terjadi di hari Jakarta dihujani api. Sarah sekilas berharap bahwa Jon adalah seorang perempuan, tetapi apa daya. Jon seorang lelaki—kakek-kakek, lebih tepatnya.

"Saya beri bius dulu," ujar Jon sambil menyuntik Sarah. Sarah meringis karena disuntik. Setelah beberapa saat, Jon menyentuh luka di payudara Sarah, "Sudah bebal?" Sarah bahkan tak dapat merasakan bahwa payudaranya tengah disentuh, dan tak merespon dengan ringisan.

Jon kemudian mengambil alat jahit, dan dengan cermat menjahit luka besar di payudara Sarah. Sarah hanya dapat terdiam, menunggu Jon selesai. Kesadaran Sarah menurun karena bius, dan ia bahkan tak dapat merasakan wajahnya sendiri. Ia seakan-akan seperti melayang, karena indranya tengah dikelabui.

"Saya ndak mengira saya akan kembali menggunakan alat-alat ini. Sudah lama rasanya," Jon bercerita. Lemahnya kesadaran Sarah hanya mengizinkannya untuk mendengar.

"Si Jaka itu dulu pernah berobat di saya. Tapi saya sudah jadi tukang urut. Bukan dokter lagi seperti ini. Sekarang ini kerjaan saya ya cuma ngerokok sama ngopi. Sesekali ada yang mau diurut, saya urut.

"Dulu, ada gadis. Mungkin seusia kamu. Waktu itu saya di Aceh... banyak masalah waktu itu, memang. Dia terluka parah, darahnya hampir habis. Saya yang waktu itu bertugas. Harusnya ada seorang dokter perempuan juga, tapi ia ndak hadir. Dan... saya ndak diperbolehkan menyentuh gadis itu. Akhirnya, saya ndak dapat menyelamatkan gadis itu. Anggap saja saat ini saya mau menebus dosa saya."

Sarah dapat mendengar cerita Jon, tetapi tidak dapat mengatakan apa-apa mengenai hal tersebut. Hingga akhirnya luka besar di payudaranya tertutup, Jon melanjutkan, "Sudah. Kamu ndak boleh pakai pakaian dalam dulu. Harus dibalut. Duduklah."

Sarah duduk agak sempoyongan, dan Jon melanjutkan selagi membalut badan Sarah dengan perban, "Biusnya ndak kuat, jadi kamu ndakkan tertidur. Ndak seperti temanmu itu. Kamu harus makan sehabis ini. Nanti saya suruh Jaka pergi mencari makan. Kalau tadi kamu kuat untuk berjalan dengan kesadaran penuh, harusnya kamu kuat menemani Jaka selagi saya mengurusi luka temanmu yang satu lagi."

Jon selesai memakaikan perban. Ia kemudian mengurusi luka-luka Sarah yang lain hingga tuntas. Kelihaian dan kecepatannya dalam mengurusi luka merupakan suatu hal yang mengagumkan bagi Sarah yang ibunya pun juga seorang dokter. Ketika Jon dipertemukan dengan jemari Sarah yang hilang kuku, ia hanya menghela napas panjang dan mengurusnya hingga diperban.

Setelah selesai, Jon bertitah, "Pakailah seragammu lagi. Kancing seragammu hilang, kan? Saya sudah kasih perban di sana. Kamu ndak perlu khawatir. Maaf ya, saya ndak punya baju untuk kamu."

Sarah menjawab dengan lemah setelah memakai seragamnya lagi, "Tidak apa, Pak. Terima kasih."

Jon berdiri, kemudian membuka kunci depan. Ia menjulurkan kepala keluar, "Jaka! Kamari! Cari makan jo Sarah. Kamu, Robi kan? Masuk sini."

Continue Reading

You'll Also Like

101K 6.5K 21
"Hestama berhak tahu kalau ada bagian dari dia yang hidup di dalam rahim lo, Run." Cinta mereka tidak setara. Pernikahan mereka diambang perceraian...
7.2K 170 29
Adakah yang lebih menyakitkan dari sebuah perpisahan?
70.3K 8.7K 24
Aku tidak buta warna. Aku tahu bagaimana indahnya pelangi. Aku pernah merasakan sinar matahari yang menyilaukan mata. Tapi sejak hari itu... mataku...
44.8K 2K 10
Blurb Sekar tak lagi percaya cinta, sebab kata yang dulu sempat diucapkan oleh Arya, kekasihnya yang menghilang tanpa pesan, telah menorehkan luka...