SAFE HAVEN

By mtch_n

2.9K 359 144

[TWO-SHOOT] Park Chanyeol adalah seorang penyanyi solo yang baru saja tertimpa skandal. Agensi memintanya unt... More

SAFE HAVEN

SAFE HAVEN - 2

1.3K 187 102
By mtch_n

Hujan benar-benar turun begitu Chanyeol sampai di kediaman neneknya. Pemuda yang kini berusia 28 tahun itu meneduhkan sepeda yang tadi ia gunakan sebelum masuk ke dalam rumah. Sang nenek menyambut dengan hidangan makan siang yang telah tersaji di meja.

"Kau bertemu dengan Yifan?" Tanya Nenek Park ketika dilihatnya sang cucu tidak berhenti tersenyum sejak tadi.

Pemuda itu mengangguk. Masakan sang nenek terasa lebih enak siang ini.

"Aku akan menemuinya lagi besok." Kata Chanyeol dengan mulut penuh makanan.

Sang nenek tersenyum dan membuat kedua matanya seperti membentuk garis.

"Yifan pasti sudah bercerita banyak hal padamu. Aku tidak tahu kenapa anak malang itu masih bertahan di sini dan bukannya menyusul orang tuanya ke China."

Chanyeol otomatis mengernyit dan mengulum sumpitnya. Anak malang?

"Yifan belum mengatakan apapun padaku. Apa yang terjadi?"

Nenek Park terlihat ragu-ragu untuk mengatakan keadaan Yifan pada cucunya itu.

"Yifan tidak mengirimkan undangan padamu ke Seoul?"

Dahi Chanyeol semakin berkerut. Undangan?

"Yifan telah menikah beberapa tahun lalu. Kau ingat dengan teman SMP-mu yang pendiam itu? Uh, Joo-hyun?" Nenek Park berusaha mengingat nama istri Yifan.

Chanyeol mengeratkan pegangan pada sumpit di tangannya. Benda itu tiba-tiba terasa licin dan siap terlepas dari tangannya kapan saja. Tapi Chanyeol tidak seharusnya bereaksi seperti ini. Ia telah sadar sejak bertahun-tahun lalu mengenai posisinya di mata Yifan.

"Maksud nenek, dia Bae Joo-hyun?"

Nenek Park mengangguk. Penduduk desa begitu antusias dengan pernikahan yang digelar sederhana itu. Yifan dan Joo-hyun seperti pasangan yang keluar dari negeri dongeng karena paras mereka yang begitu cantik dan serasi. Nenek Park pikir cucunya itu akan pulang untuk menghadiri pernikahan sahabatnya.

"Aku tidak bertemu dengannya di rumah Yifan kemarin." Kata Chanyeol. Rumah yang dikunjunginya tadi tampak sepi dan tidak terurus.

Nenek Park berhenti makan dan ekspresi wajahnya berubah sendu.

"Joo-hyun meninggal bersama calon bayinya ketika usia kandungannya memasuki empat bulan."

Sumpit Chanyeol benar-benar terlepas dari pengangan tangannya kali ini. Nafsu makannya yang semula kembali tiba-tiba hilang seketika. Nenek Park merasa bersalah karena menceritakan hal ini di meja makan.

"Yifan pasti bersedih." Ucap Chanyeol setelah mengatasi rasa terkejutnya.

"Yifan mengurung diri di dalam rumahnya berbulan-bulan sebelum akhirnya penduduk desa berhasil membujuknya keluar. Yifan yang tadi kau lihat telah melewati banyak hal."

Chanyeol sempat merasa naif karena berpikir bahwa tidak banyak yang berubah dari diri Yifan ketika melihatnya tadi.

.

.

.

.

.

Butuh dua mug penuh atau setara dengan setengah botol anggur untuk membuat Chanyeol memejamkan matanya malam itu. Otaknya sibuk mengingat-ingat kenangan masa SMA-terutama bersama Yifan, yang perlahan mulai muncul ke permukaan. Benarkah Yifan sengaja tidak mengundangnya di acara pernikahannya itu? Atau Chanyeol yang melewatkannya begitu saja karena ia benar-benar kehilangan kontak dengan teman-temannya setelah debut dulu.

Pukul 10.00 siang, Chanyeol akhirnya membuka mata. Pemuda itu telah berjanji untuk mengunjungi Yifan lagi hari ini. Tapi setelah mengetahui fakta tentang sahabatnya itu, Chanyeol ragu-ragu bahwa ia akan bisa menatap Yifan dengan cara yang sama.

Nenek Park memasak ikan Mackarel sebagai sarapan-atau mungkin makan siang karena waktu telah menunjukkan pukul 11.30 siang waktu itu.

"Kau jadi pergi ke rumah Yifan lagi hari ini?" Tanya Nenek Park.

Chanyeol mengangguk sambil menelan makanan di dalam mulutnya. Ia telah menyiapkan sebotol anggur Dolcetto dari koleksi miliknya untuk dibawa.

Setelah menyelesaikan sarapan sekaligus makan siangnya, Chanyeol mengeluarkan kembali sepeda tua milik kakeknya dan meletakkan botol anggur di keranjang sepeda itu. Chanyeol sempat berpikir bagaimana ia harus bersikap di hadapan Yifan nanti. Apakah ia harus berpura-pura tidak mengetahui kisah hidupnya yang nenek Park ceritakan? Atau ia sebaiknya segera berbelasungkawa atas kehilangan Yifan itu? Chanyeol tanpa sadar menghela nafas panjang.

"Kau membawa anggurmu sendiri sekarang." Komentar Yifan ketika Chanyeol mengayunkan botol anggur berwarna hitam di hadapannya.

Yifan tengah berkutat dengan cat air dan kanvas di dalam rumahnya ketika Chanyeol tiba waktu itu. Hamparan bunga berwarna kuning menjadi tema yang lagi-lagi Yifan gambarkan di atas kanvas polosnya.

"Bukankah kau sudah memiliki terlalu banyak lukisan bunga itu?" Tanya Chanyeol.

Yifan yang sedang membereskan peralatan melukisnya hanya tersenyum simpul.

"Kau menjualnya?"

Yifan mengangguk sebelum masuk ke dalam ruangan dan meninggalkan Chanyeol di ruang tengah sendirian. Tak lama kemudian, Yifan keluar dengan menjinjing sebuah ember dan dua buah alat pancing. Chanyeol mengernyitkan dahinya.

"Aku tahu tempat yang cocok untuk menikmati anggur yang kau bawa." Kata Yifan tanpa menunggu persetujuan Chanyeol.

.

.

.

.

.

Beruntung Yifan juga sempat membawa dua buah gelas dan tempat duduk lipat waktu itu. Chanyeol menyesap anggur di gelasnya perlahan sambil menyandarkan punggungnya. Di hadapan matanya saat ini, terhampar pemandangan aliran sungai dan deretan sawah yang ditanami padi. Alat pancing yang tadi Yifan bawa, telah mereka lemparkan ke air dan tinggal menunggu seekor ikan terjebak di kailnya.

Chanyeol mendengus ketika mendapati Yifan tengah mengernyit saat menyesap anggur yang ia bawa.

"Anggur Dolcetto ini baru berusia satu tahun. Aku membawanya setelah melakukan tour di Eropa." Kata Chanyeol membuka percakapan.

Suara desau angin dan gemericik air rupanya terlalu sunyi untuk mereka. Yifan meringis sementara bibirnya terlihat kemerahan setelah menyesap anggur itu.

"Caramu bercerita tentang anggur ini seolah ia adalah anakmu." Komentar Yifan.

Chanyeol tertawa mendengarnya. "They ARE my babies."

Yifan ikut tertawa meski Chanyeol dapat menyaksikan kehampaan di matanya. Pemuda itu tidak tahu bagaimana harus memulai agar Yifan berbagi sesuatu mengenai kehidupannya.

"They? Jadi si Dolcetto ini bukan anak tunggal?"

Chanyeol menggeleng sambil menikmati sapuan angin di wajahnya. "Aku punya banyak di rumah. Aku sengaja naik bus ke tempat ini agar mereka semua bisa ikut denganku."

Chanyeol menggigit bibir bawahnya sebelum menegakkan posisi duduknya. Ia kemudian menatap Yifan dengan ragu-ragu.

"Bagaimana denganmu? Kau-"

Yifan tersenyum sebelum Chanyeol sempat menyelesaikan kalimatnya. Pemuda itu meletakkan gelas anggurnya yang baru berkurang sedikit dan mengalihkan pandangan ke arah sungai.

"Kau pasti sudah mendengar kisahku dari nenek Park. Aku terlihat menyedihkan, huh?"

"Tidak, Yifan! Kau tidak terlihat seperti itu!" Sanggah Chanyeol terburu-buru.

Yifan tertawa melihat reaksi Chanyeol.

"Kau tidak mengundangku ke pernikahanmu?"

Kali ini Yifan membulatkan kedua matanya dan bersikap seolah ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Apa? Chanyeol-aku-whoa!"

Yifan meraih gelas anggurnya tadi dan menyesapnya sedikit. "Aku mengirim tidak hanya satu tapi beberapa undangan sekaligus ke Seoul. UNTUKMU saja. Nenek Park bilang kau mungkin tinggal di apartemen di Gangnam-lalu mungkin di Incheon-aku bahkan mengirimkannya ke kantor agensimu, tapi tidak pernah ada jawaban. Aku kira kau sengaja tidak datang."

"Kapan pernikahanmu berlangsung?"

"Lima tahun yang lalu."

Lima tahun. Berarti saat itu Chanyeol berusia 23 tahun. Ke mana dia saat itu? Otak pemuda itu bekerja cukup keras untuk mengingat kejadian yang telah lama berlalu. Tapi tidak ada satu pun ingatan yang muncul di kepalanya mengenai peristiwa ini.

"Saat aku mencari berita tentangmu, kau baru saja mengeluarkan sebuah album waktu itu. Aku pikir kau pasti sedang sibuk, jadi aku berusaha memakluminya." Kata Yifan.

"Kenapa kau tidak menghubungiku lewat telepon? Apa-"

"Aku sudah melakukannya, Chanyeol. Tapi kau tahu sendiri keadaan pulau ini. Aku bahkan menyempatkan diri pergi ke Jeolla hanya untuk menghubungimu. Tapi waktu itu sambungan telepon kita hanya terhubung beberapa detik sebelum kau matikan."

Chanyeol tidak bisa membela diri lagi. Ia merasa ingatannya ini benar-benar tidak berguna.

"I'm sorry." Kata Chanyeol pada akhirnya.

Yifan tersenyum ketika perdebatan ini mengingatkannya pada masa SMA mereka. Ia juga sering berdebat mengenai apapun dengan Chanyeol seperti ini.

"I'm sorry for your loss, too." Ucap Chanyeol setelahnya.

Senyuman di wajah Yifan perlahan memudar. Pemuda itu tidak bisa lagi menyembunyikan wajahnya yang sendu. Sejak Yifan memperkenalkan diri di depan kelas dulu, banyak murid-termasuk Chanyeol yang mengira Yifan sebagai anak yang angkuh dan memilih-milih teman. Kedua alisnya yang tebal terlihat begitu mengintimidasi dengan raut wajah yang selalu terlihat marah. Namun semua itu rupanya hanya kesalahpahaman. Wajah tampan Yifan memang terlahir seperti itu.

"Aku begitu bahagia ketika mendengar Joo-hyun mengandung. Aku begitu bahagia hingga pergi ke Jeolla untuk membelikannya sebuah hadiah dan meninggalkannya sendirian di rumah."

"Itu bukan salahmu." Kata Chanyeol pelan.

Yifan mengangguk-anggukkan kepalanya. Pemuda itu masih menatap ke arah sungai dan sesekali ke arah langit. "Aku tahu. Butuh waktu yang lama bagiku untuk menyadarinya."

Chanyeol menuangkan kembali anggur ke dalam gelas Yifan sebelum ke gelasnya sendiri. Keduanya melakukan tos pada gelas masing-masing sebelum menenggaknya sekaligus.

"Aku tidak menyangka kau benar-benar bisa menaklukkan Joo-hyun." Ujar Chanyeol agar suasana tidak lagi sendu.

Yifan mendengus ketika mendengarnya. "Dia tidak sependiam yang kita kira."

Setiap pulang sekolah, Yifan dan Chanyeol tidak akan langsung kembali ke rumah. Mereka dan beberapa teman yang lain, akan memilih rute yang memutar hanya agar bisa melewati sekolah khusus perempuan. Sekolah Yifan dan Chanyeol sendiri adalah sekolah khusus laki-laki, jadi melihat gadis-gadis itu adalah kesempatan yang langka. Kebetulan jam pulang sekolah mereka juga sama. Murid-murid perempuan telah berhamburan keluar dari sekolah.

Chanyeol yang tidak memiliki ketertarikan pada lawan jenisnya itu, menganggap kegiatan ini sebagai hiburan. Lagi pula teman-temannya juga pasti akan menganggapnya aneh jika ia menolak tanpa alasan yang jelas. Setelah melakukan kegiatan ini selama beberapa saat, para murid laki-laki itu sudah mengumpulkan cukup banyak informasi mengenai murid perempuan yang menjadi tipe ideal mereka.

Chanyeol mendapati Yifan memperhatikan seorang gadis yang tidak terlalu antusias dengan kehadiran mereka waktu itu. Teman-teman yang lain juga menggoda Yifan agar mendekati gadis itu dan menjadikannya sebagai seorang kekasih. Tapi Yifan selalu menyangkal waktu itu-meski wajahnya selalu tersipu ketika menatapnya.

Chanyeol sendiri tidak pernah mengatakan apapun mengenai ketertarikan Yifan pada Joo-hyun-atau fakta bahwa ia adalah teman SMP-nya dulu. Pemuda itu bukannya tidak ingin melihat sahabatnya bahagia, tapi ia memang tidak suka ikut campur dengan hubungan orang lain.

"Chanyeol! Chanyeol!" Pekikan dan gerakan Yifan bangkit dari kursinya membuat Chanyeol sadar dari lamunan.

Pemuda di sampingnya itu meraih alat pancing milik Chanyeol dan menarik senarnya dengan gesit. Chanyeol mengalihkan wajahnya ketika melihat bagaimana otot dan urat nadi di sekitar tangan Yifan mulai menyembul.

"Fuck!" Chanyeol tanpa sadar mengumpat ketika seekor ikan yang tertangkap kail pancingnya mulai menggelepar dan memercikkan air di sekitar mereka.

Yifan tertawa melihatnya dan justru menyodorkan ikan itu di hadapan Chanyeol.

"Yifan! No!"

Untuk beberapa saat, Chanyeol merasa bahwa ia baru saja kembali ke masa SMA-nya. Masa di mana segalanya terasa jauh lebih mudah dan ia hanya menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang bersama Yifan.

Ikan yang berhasil mereka peroleh itu kemudian Yifan letakkan ke dalam ember yang tadi ia bawa. Chanyeol memicingkan mata ketika sinar matahari menyilaukannya.

"Ayo kita pulang. Aku akan memasak ikan ini untukmu." Kata Yifan sambil mengemasi barang-barang mereka. Chanyeol ikut membantu dengan melipat kursi dan membawa kembali anggurnya yang masih tersisa setengah.

"Tidak ada yang mengenalimu di sini?" Tanya Yifan ketika mereka menyusuri jalan setapak menuju rumahnya kembali. Pemuda itu memang tidak pernah mengikuti berita mengenai sahabatnya yang berprofesi sebagai penyanyi itu.

Chanyeol menggeleng. "Kepopuleranku sepertinya tidak berlaku di sini. Tapi aku justru mensyukurinya. Setidaknya aku bisa beristirahat dengan tenang."

"Kau? Bersyukur?" Yifan mendengus dan membuat Chanyeol mengangkat kakinya untuk menendang pemuda itu.

"Aku tidak percaya kau benar-benar menjadi seorang penyanyi." Komentar pemuda berambut hitam itu.

Yifan selalu kagum dengan kemampuan bermusik Chanyeol. Sejak ia mengenal pemuda itu, Chanyeol adalah seorang jenius dalam bidang musik. Yifan beberapa kali mendapatkan kesempatan untuk mendengarkan lagu-lagu yang Chanyeol ciptakan sendiri ketika mereka masih duduk di bangku SMA dulu.

"Kau seharusnya bangga mempunyai teman seperti aku." Kata Chanyeol menanggapi ketidakpercayaan Yifan.

Pemuda itu tertawa. Salah satu hal yang menjadi favorite Chanyeol pada diri Yifan.

"Tentu. Aku seharusnya merasa bangga padamu. Tapi kau bahkan tidak pernah menunjukkan batang hidungmu setelah meninggalkan rumah, jadi aku menahan rasa bangga itu."

Kali ini Chanyeol menggigit bibir bawahnya karena menyadari kesalahannya.

"Katakan. Kau tidak benar-benar sedang liburan kan sekarang? Kau membuat masalah?"

Yifan membuka pintu rumah dan memimpin Chanyeol menuju dapur sekaligus ruang makan. Tidak ada foto pernikahan maupun foto Joohyun di rumah itu-sejauh yang bisa Chanyeol lihat selama ini. Mungkin Yifan menyimpannya di kamar? Tapi fokus pemuda itu sedang terpusat pada pertanyaan sahabatnya barusan.

Chanyeol menarik nafas dalam-dalam sebelum menghembuskannya perlahan. Aroma teh dan kayu manis mengisi ruangan minimalis itu. Yifan telah berdiri di depan wastafel dan mulai membersihkan ikan yang akan dimasaknya.

"Kau benar-benar tidak pernah berusaha mencari tahu tentang aku?" Tanya Chanyeol perlahan ketika ia memilih untuk berdiri di samping wastafel itu.

Kedua tangan Yifan tidak berhenti bekerja meskipun pemuda itu kini menolehkan wajahnya ke arah Chanyeol.

"Kau tahu kalau aku menyukai laki-laki-kalau aku gay?"

Gerakan tangan Yifan terhenti sejenak. Yifan tampak sedang memilih respons yang tepat untuk diungkapkan. Pemuda itu lantas tersenyum pada Chanyeol. Sebuah senyum pengertian. "Kau tidak pernah bercerita padaku."

Chanyeol tidak lekas menanggapi. Ia sibuk menggigiti pipi bagian dalamnya dan memilih kata-kata yang tepat untuk diucapkan selanjutnya.

"Kau punya kekasih?" Tanya Yifan.

Chanyeol mendengus. Ia kemudian berpindah untuk meraih botol anggur yang tadi ia letakkan di atas meja makan. Pemuda itu menuangkan setengah gelas sebelum menenggaknya hingga habis.

"Kau benar mengenai alasan kepulanganku ini. Aku memang membuat masalah. Ini bukan liburan tapi lebih seperti sebuah hukuman."

Yifan mendengarkan dengan seksama-meskipun ia kini tengah membedah ikan itu dan menyiapkan bahan-bahan lainnya.

"Aku memergoki kekasihku bersama seorang wanita. Aku merusak mobilnya sebagai balasan tapi sialnya aku juga ditangkap polisi karena mengemudi dengan kecepatan berlebih dan nafasku bau alkohol."

Yifan mengawasi bagaimana Chanyeol menuangkan kembali anggur ke dalam gelas dan meminumnya untuk yang ke sekian kali. Namun pemuda itu tidak sampai hati untuk berkomentar.

"Good job! Kau memang tidak berubah. Kau masih Chanyeol-si temperamen dengan telinga peri." Ucap Yifan yang membuat Chanyeol segera meletakkan gelasnya.

"Hey!"

Yifan tertawa untuk menanggapi protes dari pemuda itu. "Mereka seharusnya memberi hukuman yang lebih berat untukmu. Bagaimana bisa hal ini disebut sebagai hukuman?!"

"Aku seharusnya mengeluarkan sebuah single bulan ini." Gumam Chanyeol di antara tegukan anggur itu. Ia bahkan meminumnya langsung dari botol.

"Setidaknya kita bisa bertemu lagi setelah sekian lama. Bukankah hal itu membuatmu merasa lebih baik?"

Chanyeol mendengus dan mengambil tempat duduk di meja makan. Ia memutuskan untuk tidak membantu Yifan dan hanya akan menunggu hingga ikannya matang. Ketika Yifan membalikkan badan untuk menanyakan tingkat kepedasan yang Chanyeol sukai, pemuda itu mendapati sahabatnya telah terlelap dengan kedua lengan terlipat di atas meja.

Mungkin hukuman ini sudah cukup berat untuk Chanyeol. Ia tidak bisa lagi melakukan hal yang ia sukai-tanpa membenci dirinya sendiri, dan bertemu Yifan lagi. Setelah sekian lama.

.

.

.

.

.

Yifan dan Chanyeol menghabiskan waktu istirahat di atap sekolah waktu itu. Keduanya menikmati bekal nasi kepal yang nenek Park bawakan tadi pagi. Beberapa hari menjelang pengumuman kelulusan, para murid sudah tidak sabar untuk keluar dari sekolah dan menjalani kehidupan seperti orang dewasa. Banyak yang melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan, namun tak banyak juga yang memilih untuk segera mencari pekerjaan atau mengadu nasib ke kota besar.

Chanyeol sendiri telah berencana untuk pergi ke Seoul dan mengejar mimpinya sebagai seorang penyanyi-atau setidaknya penulis lagu profesional. Banyak yang meremehkan impiannya itu. Namun tidak ada yang sanggup untuk menghentikan Chanyeol dan kegigihannya meraih sesuatu.

Sebelum berangkat sekolah tadi, Chanyeol membulatkan tekad untuk mengutarakan perasaannya pada Yifan. Paling tidak, ia ingin sahabatnya itu tahu mengenai preferensi seksualnya, bahwa ia menyukai laki-laki. Chanyeol tidak berharap bahwa Yifan akan membalas perasaannya. Ia tahu sahabatnya itu seorang straight. Tapi Chanyeol ingin berangkat ke Seoul dengan hati yang lebih ringan-agar ia tidak meninggalkan apapun lagi di tempat ini, kecuali seorang nenek dan kenangan masa kecilnya.

Chanyeol masih sibuk menata debar jantungnya yang berdetak tidak beraturan. Sementara Yifan tengah mengamati para murid yang berlalu lalang di bawah mereka. Karena dekat dan selalu melakukan apapun berdua, Yifan dan Chanyeol sempat mendapatkan julukan si kembar oleh teman-teman mereka.

"Chanyeol..."

Panggilan itu membuat Chanyeol merasa lebih gugup dari yang seharusnya. Angin yang berhembus cukup kencang menjadi penawar terik matahari yang menusuk.

"Aku pikir aku menyukai seseorang. Menurutmu aku harus mengungkapkan perasaan ini padanya?"

"H-huh?" Chanyeol lupa caranya untuk berpikir kala itu.

Yifan mengulas senyum. Sorot matanya yang tajam kini terlihat lebih teduh. Chanyeol tidak sampai hati untuk menghancurkan suasana dengan mengungkapkan perasaannya pada Yifan-sementara pemuda itu tengah jatuh cinta dengan orang lain.

Chanyeol meraih nasi kepal di kotak bekalnya dan memenuhi mulutnya dengan makanan itu hingga kedua pipinya terasa kebas. Pemuda itu mendengus pelan dan menelan rasa nyeri yang melanda hatinya.

"Katakan saja. Siapa yang akan menolak Wu Yifan, kan?" Chanyeol menyikut lengan Yifan yang berdiri di sampingnya.

"Kau bicara apa? Telan dulu makanan di mulutmu." Yifan menekan kedua pipi Chanyeol hingga bibir pemuda itu mengerucut.

Setidaknya, Chanyeol tahu bahwa Yifan akan baik-baik saja ketika ia pergi ke Seoul nanti. Ia tahu pemuda itu akan hidup bahagia dengan orang lain.

Kunjungan Chanyeol berlanjut di hari-hari berikutnya. Pemuda itu menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah Yifan, meski untuk sekadar melihatnya melukis, bersepeda di sekitar pelabuhan dan menikmati sunset, atau hanya duduk membicarakan masa-masa SMA mereka yang telah berlalu.

Chanyeol begitu menikmati hari-hari itu hingga ia bisa sedikit lupa dengan apapun yang menimpanya di Seoul-termasuk pada ponselnya yang tidak pernah ia gunakan. Namun pemuda itu mulai menyesal karena tidak membawa satu gitar pun ke sini. Kampung halamannya ini adalah tempat yang sempurna untuk dijadikan inspirasi-terutama seseorang yang menjadi penghuninya.

Chanyeol tidak ingin menyangkal bahwa rasa patah hatinya pada Yifan waktu itu, berhasil memberinya banyak inspirasi dalam menciptakan lagu. Album debut Chanyeol sukses besar dan menginspirasinya untuk menghasilkan hasil karya lainnya.

"Kau menjual lukisan-lukisan ini?" Tanya Chanyeol ketika Yifan sedang sibuk dengan pekerjaannya.

"Tentu saja. Dari mana lagi aku akan mendapatkan uang." Kata Yifan tanpa mengalihkan perhatiannya sedetik pun.

Chanyeol mendengus dan menyesap anggur dari gelasnya. Stok bayi-bayi Chanyeol semakin menipis seiring berjalannya waktu. Namun pemuda itu belum juga bisa menghentikan kebiasaannya ini.

"Kau bisa melukis manusia?" Chanyeol tiba-tiba meletakkan gelas anggurnya dan berbaring di sofa milik sahabatnya itu.

"Yifan, lihat! Paint me like one of your french girls." Kata Chanyeol sambil menirukan dialog terkenal dari sebuah film itu.

Yifan menghentikan tarian kuasnya sejenak sebelum tertawa ketika melihat gestur Chanyeol di hadapannya. Namun tak berapa lama, senyum pemuda itu perlahan lenyap.

"Aku berhenti melukis manusia sejak Joohyun meninggal." Kata Yifan pelan. Chanyeol hampir tidak bisa mendengarnya jika saja ia tidak menajamkan telinga. Pemuda itu kemudian bangkit dan mengemasi peralatan melukis milik Yifan.

"Kau bisa melukis di luar. Aku bosan." Kata Chanyeol sambil berjalan ke luar terlebih dahulu.

Yifan mengambil sebuah kanvas kosong dan peralatan melukis yang dibutuhkan sebelum menyusul Chanyeol.

.

.

.

.

.

Chanyeol mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali sebelum mengernyit ketika sadar bahwa ia bangun di tempat asing. Pemuda itu tanpa sadar jatuh tertidur ketika menemani Yifan melukis di sebuah tanah lapang di dekat rumahnya. Matahari yang hampir tenggelam membuat sinarnya tidak lagi terik.

"Kau menyelesaikan sesuatu?" Tanya Chanyeol ketika dilihatnya peralatan melukis Yifan sudah terkemas rapi.

Pemuda di sampingnya mengangguk. Yifan belum berniat untuk pulang ketika ia justru ikut berbaring di samping Chanyeol.

"Aku ingin melihatnya." Kata Chanyeol.

"Itu rahasia." Kata Yifan sambil memejamkan matanya.

Chanyeol mengerucutkan bibir dan tanpa mengindahkan kata-kata Yifan, pemuda itu bangkit dan berniat untuk merebut kanvas itu dengan menjulurkan lengannya melewati tubuh si pelukis. Namun Yifan rupanya lebih cepat dan berhasil menahan tangan Chanyeol di atas tubuhnya. Tatapan kedua pemuda itu bertemu dengan jarak yang cukup dekat. Mereka saling mengunci pandangan selama beberapa saat tanpa berkedip.

Chanyeol bisa merasakan dadanya berdegup lebih kencang. Namun ia tidak ingin berharap lebih hanya karena gestur itu. Chanyeol buru-buru bangkit dan bersikap seolah tidak terjadi apapun. Yifan yang juga merasa canggung kemudian mengubah posisinya menjadi duduk.

Hamparan bunga berwarna kuning masih setia menjadi penghibur mata meski musim dingin sudah dekat.

"Kita sebaiknya pulang." Kata Chanyeol yang sudah tidak tahan dengan kecanggungan di antara mereka.

Yifan mengangguk dan mengikuti pemuda itu untuk bangkit.

"Aku akan mengajakmu naik Kano besok." Kata Yifan.

Chanyeol tanpa sadar menghela nafas lega ketika Yifan tetap bersikap seperti biasa. Pemuda itu mengangguk untuk merespons tawaran sahabatnya.

.

.

.

.

.

Chanyeol membuka tempat penyimpanan anggurnya dan mendapati minuman favoritnya itu hanya tersisa satu botol. Pemuda itu menimbang apakah ia sebaiknya membawa botol itu untuk menemui Yifan nanti atau tidak. Tapi Yifan berjanji untuk mengajaknya naik Kano menyusuri sungai. Bukankah anggur adalah minuman yang cocok untuk mendampinginya?

Chanyeol akhirnya menyerah dan meraih botol anggur terakhirnya. Ia yakin ia tidak membutuhkan minuman ini lagi setelah semuanya habis-karena ia bisa mengunjungi Yifan kapan saja untuk menghabiskan waktu, kan?

Ketika Chanyeol sampai di rumah sahabatnya, Yifan rupanya sudah bersiap dan segera membimbing Chanyeol menuju bagian sungai yang pernah mereka kunjungi untuk memancing waktu itu. Sebuah Kano dengan dua dayung di dalamnya masih terikat pada pasak di tepi sungai.

"Kau naik duluan." Kata Yifan sambil melepaskan tali pengikatnya.

"Whoa-" Chanyeol yang belum pernah naik Kano itu hampir saja kehilangan keseimbangan jika Yifan tidak menahan punggungnya. Pemuda itu bisa menghirup aroma cologne yang menguar dari tubuh Yifan.

"Kau baik-baik saja?" Tanya Yifan sambil memeriksa keadaan pemuda itu.

Chanyeol mengangguk dan meletakkan bekal berisi anggur di tengah sementara ia duduk tanpa melepaskan pegangan dari tangan Yifan.

Suasana di sekitar mereka terlihat lengang ketika Yifan menyusul naik dan mulai mendayung. Mulanya mereka melewati area persawahan sebelum memasuki bagian hutan yang tidak terlalu rimbun.

"Aku sedang berpikir kenapa dulu kita tidak menghabiskan waktu melakukan hal ini." Kata Chanyeol sambil meraih dayung yang lain untuk membantu pekerjaan Yifan.

Pemuda yang berasal dari China itu mendengus. "Kau tahu sendiri bagaimana orang-orang dewasa akan melarang jika kita meminjam Kano mereka."

"Lalu apa yang berubah sekarang?"

"Kita sendiri sudah tua dan Kano ini milikku." Kata Yifan yang otomatis membuat Chanyeol tertawa. Pemuda itu bisa merasakan bagaimana Yifan mengawasi gerak-geriknya saat itu.

Chanyeol memilih untuk mengalihkan perhatiannya pada pemandangan di sekitar yang membuatnya ingin menetap di tempat ini selamanya.

"Aku seharusnya membawa ponselku." Kata Chanyeol. Ia merasa rugi karena tidak dapat mengabadikan momen ini menggunakan kamera ponselnya.

Ketika berada di bagian sungai yang cukup tenang alirannya, Yifan meletakkan dayungnya dan meraih botol anggur yang tadi Chanyeol bawa.

"Cheers?"

Chanyeol mengernyit ketika Yifan mengangkat gelas dan mengajaknya bersulang.

"Untuk apa?" Tanya pemuda bermarga Park itu.

Yifan menatap lurus ke arahnya dengan tatapan tajam sebelum menarik kedua sudut bibirnya. "Untuk persahabatan kita."

Chanyeol menghela nafas yang tanpa sadar ia tahan dan mengetukkan gelasnya pada gelas Yifan. Pemuda itu ikut tersenyum sebelum menenggak anggurnya.

"Kau berniat untuk kembali ke Seoul?"

Chanyeol berusaha membaca ekspresi wajah Yifan dari rahangnya yang mengeras dan alisnya yang menyatu. Tidak ada manusia lain di tempat itu selain mereka berdua sekarang. Bunyi dedaunan yang diterpa angin dan suara hewan-hewan hutan menjadi musik pengiring di antara kesunyian itu.

"Agensi akan memanggilku setelah situasi mulai normal kembali. Tapi aku tidak tahu kapan hal itu akan terjadi." Kata Chanyeol.

Yifan mengisi gelasnya kembali dan membuat Chanyeol juga melakukan hal yang sama.

"Kau sendiri tidak ingin kembali ke China?"

Yifan menggeleng cepat. Ia bahkan melakukannya tanpa berpikir. "Aku akan tetap tinggal di sini. Mungkin dalam beberapa tahun ke depan aku akan mengajukan izin penggantian kewarganegaraan."

"Wow. Lihat dirimu. Kau yakin ingin jadi orang Korea?" Goda Chanyeol untuk mencairkan suasana yang terasa canggung di antara mereka sejak tadi.

Yifan menjilat lidahnya tanpa menghiraukan usaha Chanyeol untuk mengalihkan pembicaraan. "Mungkin kau sebaiknya juga melakukan hal yang sama." Katanya.

Chanyeol terlihat kebingungan. "Apa? Kau ingin aku juga berganti kewarganegaraan? Aku sudah menjadi orang Korea sejak lahir, ingat?" Pemuda itu tertawa ketika mendengar pernyataan konyol dari Yifan.

"Tidak. Maksudku, kau juga tetap tinggal di sini."

Chanyeol menatap ke arah mata Yifan yang juga sedang melakukan hal yang sama dengannya sekarang. Hal itu berlangsung selama beberapa detik sebelum akhirnya Chanyeol membalikkan tubuhnya dengan kasar dan membuat Kano yang mereka naiki sedikit oleng. Beruntung mereka bisa menemukan keseimbangan kembali sebelum benda itu sempat terbalik.

"HA-HA-HA. Uh-aku ingin melihat-lihat lebih jauh." Kata Chanyeol mengeluarkan tawa yang dipaksakan. Pemuda itu meraih dayungnya tadi dan mulai mendayung Kano itu dengan susah payah tanpa bantuan Yifan. Dada Chanyeol terasa nyeri sekaligus berdebar pada saat yang bersamaan. Pemuda itu berusaha mengabaikannya dan tidak lagi terjebak dalam kenaifan yang pernah ia alami sewaktu SMA.

Yifan membungkam mulutnya selama sisa perjalanan. Chanyeol berusaha mengisi kesunyian di antara mereka dengan menggumamkan sebuah lagu yang pernah menjadi favoritnya.

Oh thinkin' about our younger years

There was only you and me

We were young and wild and free

Chanyeol mendengar gerakan di belakangnya dan beban dayungan yang sebelumnya pemuda itu lakukan sendiri kini terasa sedikit berkurang. Yifan rupanya mulai ikut mendayung lagi.

And love is all that I need

And I found it there in your heart

It isn't too hard to see

We're in Heaven

"Yifan." Panggil Chanyeol tanpa membalikkan tubuhnya dan tetap mendayung Kano itu.

"Kau pikir kau bisa menyukai orang lain setelah Joohyun?"

Hening. Yifan tidak lekas menjawab dan hal itu mematahkan sedikit harapan Chanyeol yang tanpa sadar mulai melambung jauh.

"Aku tidak tahu." Kata Yifan pada akhirnya.

Oh, once in your life you find someone

Who will turn your world around

Bring you up when you're feeling down

Yeah, nothing could change what you mean to me

Oh, there lots that I could say

But just hold me now

Setelah hampir satu jam menikmati pemandangan Pulau Cheongsando dari aliran sungai menggunakan Kano, Yifan dan Chanyeol memutuskan untuk pulang. Satu botol anggur telah mereka habiskan berdua di antara suasana canggung dan senandung yang Chanyeol gumamkan selama perjalanan.

"Kau turun duluan." Kata Yifan dengan niat licik tersembunyi di matanya.

Chanyeol yang masih belum terbiasa kemudian mulai berpegangan pada lengan Yifan untuk melangkah, ketika sahabatnya itu justru mendorong tubuhnya hingga terjatuh ke sungai.

"Yifan!" Pekik Chanyeol setelah tubuhnya tercebur ke dalam genangan air itu. Seluruh bagian tubuh Chanyeol termasuk rambut dan wajahnya sukses basah kuyup sekarang.

Yifan tertawa melihat keadaan Chanyeol tanpa berniat untuk menolongnya naik ke atas lagi.

"Aku bersumpah akan menghancurkan semua lukisanmu kalau kau tidak membantuku." Ancam Chanyeol sambil mengulurkan tangannya.

Yifan menggigit bibir bawahnya sebelum akhirnya meraih uluran tangan Chanyeol untuk membantunya, namun seperti yang telah ia duga, Chanyeol menarik tangannya ke bawah hingga ia ikut tercebur ke dalam sungai.

I've been waiting for so long

For something to arrive

For love to come along

Yifan memercikkan air pada wajah Chanyeol menggunakan air sungai yang terlihat jernih itu. Chanyeol memekik dan berusaha menangkis percikan air itu dengan melakukan hal yang sama pada Yifan. Mereka akhirnya berhenti setelah sama-sama kehabisan energi.

Chanyeol menatap ke arah Yifan yang kini tengah mengelap wajahnya menggunakan telapak tangan. Entah kenapa momen itu terasa begitu benar dengan keadaan tubuh mereka yang hanya berjarak beberapa senti. Yifan yang akhirnya sadar jika sedang diperhatikan, kemudian membalas tatapan mata Chanyeol. Untuk ke sekian kali, adu pandang itu tidak dapat dihindari.

Nafas keduanya masih tersengal karena kelelahan juga karena degup jantung masing-masing. Chanyeol yang memberanikan diri untuk memiringkan wajahnya dan mencuri sebuah ciuman di sudut bibir Yifan. Sebuah ciuman polos dari pertemuan dua daging.

Ketika sadar dengan apa yang baru saja diperbuatnya, Chanyeol buru-buru membulatkan mata dan menggumamkan permintaan maaf berulang kali. Ia sudah akan berenang menuju tepi ketika Yifan menahan bahunya dan menempelkan kembali bibir mereka.

.

.

.

.

.

"Unfh!" Chanyeol memekik pelan ketika Yifan mendorong tubuhnya hingga punggungnya sukses menabrak tembok rumahnya. Pemuda itu bahkan belum sempat menyuarakan protesnya ketika Yifan membungkam mulutnya dengan ciuman.

Tidak ada yang tahu bagaimana keduanya bisa sampai di rumah Yifan secepat ini. Yang ada di pikiran keduanya saat itu adalah bagaimana agar mereka bisa segera mengklaim bibir masing-masing.

Yifan membantu Chanyeol melepaskan kancing kemeja yang dikenakannya sementara ia sendiri telah bertelanjang dada. Haruskah mereka menyalahkan alkohol dan kepala mereka yang terasa lebih ringan setelah semua ini selesai nantinya? Tapi keduanya tidak mabuk. Tapi mereka juga tidak dapat membuat otak mereka berfungsi sekarang. Chanyeol membusungkan dadanya di atas ketika Yifan menggigit bagian belakang telinganya.

Pakaian mereka yang basah kini telah teronggok di atas lantai. Terlupakan ketika pemiliknya tengah sibuk bercumbu di atas ranjang. Deru nafas yang memburu, bunyi kecupan-kecupan basah dan gesekan sprei yang tergulung menjadi musik pengiring sore itu.

Chanyeol memejamkan matanya erat ketika ia sadar betul bahwa Yifan tengah menyentuhnya sekarang. Hal itu juga berlaku untuk Yifan yang saat ini telah diselimuti hawa nafsu untuk membuat Chanyeol menjadi miliknya. Dalam waktu singkat, pemuda itu telah sanggup mengusik sesuatu di dalam diri Yifan yang telah lama terkubur.

.

.

.

.

.

Park Chanyeol semakin bergelung di balik selimut ketika sapuan angin menerpa pundak telanjangnya. Pemuda itu segera membuka matanya ketika sadar bahwa ia tidak berada di kamarnya sendiri sekarang. Chanyeol melirik sisi tempat tidur di sampingnya yang kosong sebelum mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar itu. Tidak ada figura foto bahkan jam dinding di dalamnya. Hanya ada sebuah jendela yang dibiarkan terbuka hingga membuat angin berhasil masuk tanpa penghalang apapun.

Chanyeol memeriksa tubuh telanjangnya di balik selimut. Ada beberapa bercak kemerahan di sekitar dada dan pahanya. Chanyeol membungkus kembali tubuhnya sambil mencari-cari pakaiannya tadi.

Pemuda itu kemudian memutuskan untuk keluar dari kamar dan kesunyian adalah hal yang menyapanya pertama kali. Chanyeol memeriksa beberapa ruangan di sekitar rumah Yifan, namun ia tidak berhasil menemukan keberadaan pemuda itu. Tidak mungkin pemuda itu meninggalkan rumah tengah malam seperti ini.

Pertanyaan Chanyeol terjawab ketika ia menemukan pakaiannya yang basah tadi sudah kering dan terlipat rapi di atas meja makan. Selembar sticky note tertempel di atas kemejanya.

Maaf. Aku butuh waktu untuk berpikir sendirian.

Dada Chanyeol mencelos ketika membaca beberapa kata yang tertulis dalam Hangeul itu. Ketakutannya mengenai perasaan Yifan padanya telah terbukti. Chanyeol meremas kertas itu dan dengan terburu meraih pakaiannya untuk dipakai kembali. Bagaimana ia bisa berpikir bahwa Yifan juga memiliki perasaan yang sama dengannya? Chanyeol merasa begitu bodoh karena mempercayai kata hatinya yang ternyata salah.

Sepeda milik kakek Park yang selalu Chanyeol gunakan masih teronggok di halaman rumah Yifan. Pemuda itu mengayuh pedalnya dengan perasaan yang kacau. Angin malam menerpa kulit wajah Chanyeol dan membuat kedua matanya terasa perih. Namun tidak ada yang dapat menandingi rasa nyeri yang hatinya rasakan kini.

Sampai di rumah, Nenek Park yang biasanya sudah terlelap, terlihat sedang menjahit baju di samping lampu hias yang terletak di atas meja. Wanita itu menghentikan pekerjaannya ketika mendengar cucunya pulang.

"Kau baru saja menghabiskan waktu bersama Yifan?" Tanya Nenek Park.

"Hng." Jawab Chanyeol dengan gumaman sebelum berlalu menuju kamarnya. Pemuda itu membuka kotak penyimpanan anggurnya dan mengumpat pelan ketika tidak ada yang tersisa di dalamnya.

Chanyeol jatuh terduduk sambil memeluk kedua lututnya. Pemuda itu tidak pernah menangis karena patah hati. Ia bahkan sudah lupa kapan terakhir meneteskan air mata. Malam ini pun Chanyeol tidak berniat untuk melakukannya-meski dadanya terasa sesak.

"Kau mau minum bersama Nenek?" Tanya Nenek Park yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu kamar Chanyeol yang bahkan tidak pemuda itu sadari masih terbuka.

Chanyeol mendongak dan tanpa mengatakan apapun kemudian mengikuti neneknya menuju ruang tengah. Nenek Park mengeluarkan sebotol soju dan beberapa makanan pendamping. Chanyeol menuangkan segelas kecil untuk neneknya dan dirinya sendiri. Pemuda itu menunggu hingga Nenek Park menenggak minuman itu sebelum ia sendiri melakukan hal yang sama.

"Kau baik-baik saja?" Nenek Park mengawasi wajah Chanyeol yang sejak tadi tertunduk. Pemuda itu tidak biasanya sependiam ini.

Chanyeol mengangguk sebelum menuangkan kembali minuman yang kadar alkoholnya lebih tinggi dibanding anggur yang biasa ia minum.

"Nenek pikir kau sudah melupakan semua yang terjadi di Seoul sejak bertemu Yifan. Apa dia menyakitimu?"

Chanyeol menggeleng, namun cairan panas tiba-tiba meluncur begitu saja dari mata kirinya. Chanyeol buru-buru menyekanya sebelum sang nenek sadar. Namun hal itu sia-sia ia lakukan ketika Nenek Park telah mendekat dan menarik pundaknya ke dalam pelukan. Chanyeol tidak dapat menahan tangisannya lagi kali ini. Pemuda itu terisak di dalam pelukan neneknya seperti ketika ia kecil dulu. Nenek Park tidak akan pernah meminta Chanyeol untuk berhenti menangis. Wanita itu hanya akan memeluknya dan menepuk punggungnya hingga air mata itu mengering dengan sendirinya.

"Kau tidak harus merasa baik-baik saja sepanjang waktu, Chanyeol-ah."

.

.

.

.

.

Tiga bulan telah Chanyeol lalui di tanah kelahirannya, Pulau Cheongsando yang terletak di Provinsi Jeolla. Sudah satu minggu sejak Chanyeol terakhir kali bertemu dengan Yifan. Pemuda itu berhenti mengunjungi sahabatnya dan memilih untuk menghabiskan waktu di rumah bersama sang Nenek.

Seperti hari ini, Chanyeol tengah sibuk membantu neneknya membuat kimchi ketika ia mendengar seseorang datang. Pemuda itu menghentikan pekerjaannya untuk melihat tamu yang berkunjung siang itu.

"Lay hyung!" Chanyeol memekik kegirangan dan segera menghamburkan diri ke pelukan manajernya.

Lay tersenyum dan membalas pelukan pemuda itu. "Bagaimana keadaanmu? Kenapa kau tidak bertambah gendut, huh? Mr. Kim sudah menyiapkan program diet untuk menyambutmu kembali." Kata manajer yang telah bekerja sama dengan Chanyeol selama beberapa tahun itu.

Chanyeol mengedipkan matanya pelan untuk mencerna kalimat yang Lay ucapkan. "Maksud hyung aku sudah bisa kembali ke Seoul lagi?"

Sang manajer mengangguk. Chanyeol menghela nafas lega sebelum memeluk laki-laki itu sekali lagi. Pemuda itu sempat tergiur untuk menetap di Cheongsando ketika mendengar kata-kata Yifan di atas Kano tempo hari. Namun setelah semua yang terjadi, Chanyeol pikir Seoul adalah tempat yang terbaik. Setidaknya ia memiliki banyak hal untuk membuat hati dan pikirannya sibuk-dan tidak hanya memikirkan keadaan sahabatnya itu.

.

.

.

.

.

Setelah membiarkan Lay beristirahat di rumah neneknya selama dua hari, Chanyeol akhirnya berkemas dan bersiap untuk kembali ke Seoul. Ia hanya membawa sedikit pakaiannya kembali dan meninggalkan sisanya di rumah itu. Nenek Park tampak tidak rela ketika ia harus melepas cucunya kembali ke tanah perantauan.

"Kau tidak memberitahu Yifan kalau kau akan kembali ke Seoul hari ini?" Tanya wanita itu.

Chanyeol menggeleng. Keraguan Yifan adalah jawaban untuk Chanyeol. Setidaknya pemuda itu sudah sedikit lega karena apa yang ia simpan sejak SMA telah berhasil ia ungkapkan-meski hasilnya tetap tidak sesuai dengan harapannya.

"Jaga diri nenek baik-baik. Aku akan datang berkunjung sesekali." Kata Chanyeol berpamitan.

Nenek Park mengangguk dan memeluk Chanyeol sebelum pemuda itu berangkat meninggalkan rumah.

Seperti ketika mereka datang tiga bulan yang lalu, kali ini Chanyeol dan manajernya juga harus berjalan kaki dari rumah menuju pelabuhan. Beruntung cuaca tidak terlalu terik siang itu sehingga mereka tidak kepanasan.

"Kau menikmati liburanmu?" Tanya Lay selama perjalanan.

Chanyeol mendengus ketika mendengar kata liburan itu. Tapi pemuda itu kemudian mengangguk. Meski Chanyeol harus merasakan luka yang sama ketika ia meninggalkan rumah untuk pertama kali, ia juga tidak menyesali semua yang telah terjadi kali ini. Chanyeol menikmati hari-hari yang ia habiskan dengan sahabatnya itu. Pemuda itu hanya menyayangkan bahwa hubungan persahabatannya dengan Yifan harus berakhir seperti ini.

Chanyeol jatuh ke dalam lamunan hingga tidak sadar jika ada seseorang yang telah menghadang jalannya waktu itu. Tinggal beberapa meter menuju pelabuhan dan perjalanan Chanyeol harus terhenti sejenak.

"Hyung bisa berjalan duluan. Aku akan berbicara dengannya sebentar." Kata Chanyeol pada manajernya yang kemudian mengangguk.

Angin yang berasal dari laut berhembus kencang dan mengacaukan rambut Chanyeol yang sebelumnya telah tertata rapi. Pemuda itu berjalan mendekat pada laki-laki yang telah menunggunya.

"Kau kembali ke Seoul hari ini?" Tanya Yifan dengan dahi berkerut.

Chanyeol menjilat bibirnya sebelum mengangguk. Pemuda itu sebisa mungkin mengalihkan pandangannya dari laki-laki di hadapannya itu.

"Kau sudah selesai berpikir?" Ucap Chanyeol dengan sarkastik.

Yifan berusaha menahan kedua bahu pemuda itu agar menatapnya. "Aku pikir aku menyukaimu, Chanyeol."

Pemuda bermarga Park itu mendengus. "Tidak, Yifan. Kau tidak menyukaiku. Kau hanya kesepian." Kata Chanyeol tanpa ragu-ragu.

Yifan semakin mengernyit dan mengeratkan cengkeramannya di bahu Chanyeol. "Tidak, Chanyeol. Aku benar-benar-"

"Kalau kau benar-benar menyukaiku, kau ikut ke Seoul bersamaku sekarang."

Cengkeraman tangan Yifan mulai mengendur. Pemuda itu terlihat kebingungan dengan ultimatum yang tiba-tiba Chanyeol berikan.

"Kau tidak bisa, kan?" Chanyeol menatap sahabat yang dicintainya itu. Ia telah membayangkan skenario ini terjadi selama puluhan kali. Namun pemuda itu tetap saja kehilangan kata-kata begitu berhadapan dengan Yifan.

"Yifan, dengar. Aku tidak pernah mengakuinya, tapi aku telah menyukaimu sejak kita masih di SMA-sejak kau melihat Joohyun untuk pertama kali. Aku telah menyukaimu sebelum kau menyukainya." Ucap Chanyeol dengan nafas yang tercekat.

"Ketika aku bertemu denganmu lagi setelah sekian lama, aku pikir aku masih memiliki kesempatan untuk menyukaimu lagi. Aku memang menyukaimu lagi, tapi aku pikir aku tidak akan pernah bisa menggantikan posisi Joohyun di hatimu. Aku tidak yakin bahwa aku bisa bersaing dengan seseorang yang sudah mati." Chanyeol memang terdengar egois saat ini. Namun pemuda itu ingin belajar bahwa ia tidak bisa terus-terusan menjadi pilihan kedua bagi orang lain.

"Aku juga tidak bisa menyembuhkanmu dari rasa kehilangan yang masih kau rasakan hingga sekarang. Itu adalah tugasmu sendiri. Itu adalah hal yang seharusnya kau lakukan sebelum mengatakan bahwa kau menyukai orang lain. Aku-" Chanyeol tidak bisa melanjutkan kata-katanya lagi. Sesuatu yang menyakitkan telah bercokol di tenggorokannya dan Chanyeol pikir satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah berjalan pergi.

"Chanyeol! Tunggu!" Yifan masih berusaha mengejar. Namun Chanyeol juga berjalan semakin cepat-ia bahkan mulai berlari sekarang. Ia takut berubah pikiran jika Yifan berhasil menghentikannya saat itu.

.

.

.

.

.

Setelah melakukan permintaan maaf di hadapan publik sekali lagi, Chanyeol bisa kembali fokus untuk menyelesaikan proyeknya yang sempat tertunda. Jika sebelumnya Chanyeol berniat untuk merilis sebuah single, kini pemuda itu memutuskan untuk mengeluarkan mini album sekaligus. Dalam beberapa minggu, Chanyeol berhasil merampungkan beberapa buah lagu untuk mini albumnya itu dan memilih salah satu sebagai single-nya.

Tidak ada masa promosi seperti biasanya. Chanyeol hanya mengeluarkan mini albumnya dalam bentuk digital dan menerima beberapa sesi wawancara dengan majalah.

"Single untuk mini album Anda ini berjudul 'Safe Haven'. Apakah yang menjadi inspirasi Anda untuk menulis lagu ini?" Tanya seorang wanita yang mewawancarai Chanyeol waktu itu.

"Safe Haven memiliki arti sebagai tempat yang aman-tempat berlindung. Aku pikir aku sedang mendefinisikan tempat kelahiranku, Cheongsando yang sebelumnya memang menjadi tempat pelarianku sejak beberapa kasus menimpaku sekaligus. Aku menghabiskan waktu untuk merefleksikan diri dan bertemu dengan beberapa orang di masa lalu..."

"...Tapi setelah aku pikirkan sekali lagi, Safe Haven ini mungkin mewakili seseorang yang membuatku merasa aman dan terlindungi-seseorang yang menyambutku pulang, tidak peduli apa yang telah aku lakukan sebelumnya."

"Anda bisa menyebutkan seseorang yang terdengar spesial ini?" Goda wanita itu.

Chanyeol mengangkat kedua sudut bibirnya. "Nenekku?" Pemuda itu tertawa mendengar jawabannya sendiri.

.

.

.

.

.

Mini album yang menjadi comeback dan permintaan maaf Chanyeol setelah skandal yang menimpa, rupanya sukses besar dan berhasil merebut simpati publik kembali padanya. Agensi menyiapkan acara fanmeeting untuk mengungkapkan rasa terima kasih pada para fans yang tetap setia menunggu dan mendukung Chanyeol pada masa-masa sulitnya.

Fans yang sebagian besar berisi para wanita itu berdiri mengantre untuk mendapatkan tanda tangan Chanyeol di albumnya. Pemuda itu meladeni setiap pertanyaan fans maupun ungkapan cinta mereka di hadapannya dengan penuh perhatian. Hal itu adalah caranya untuk berterima kasih pada dukungan mereka.

Setelah seorang fans menyelesaikan sesinya, fans yang lain segera menggantikan posisinya dan berdiri di hadapan Chanyeol yang duduk di depan sebuah meja. Kali ini seorang fanboy meletakkan album Chanyeol yang ia beli di hadapan si penyanyi.

"Halo. Kau berasal dari mana?"

Chanyeol yang sudah mulai kehilangan fokus karena kelelahan segera membuka spidol dan bersiap untuk memberikan tanda tangannya.

"Cheongsando." Ucap fanboy itu.

Tunggu. Chanyeol hafal benar dengan suara ini. Pemuda itu lantas mendongak dan mendapati seorang laki-laki bertubuh tinggi tengah menunduk untuk menatapnya.

"Yifan?" Bisik Chanyeol tanpa sadar.

"Aku adalah penggemar pertamamu." Kata Yifan sambil meletakkan sesuatu yang sedari tadi ia simpan di balik punggungnya. Pemuda itu menyerahkan sebuah lukisan yang berisi sosok Chanyeol ketika ia jatuh tertidur di atas rerumputan waktu itu. Lukisan yang Yifan katakan sebagai rahasia ketika Chanyeol ingin melihatnya.

Lay mulai mengingatkan Chanyeol untuk segera mengakhiri sesi dengan Yifan dan melanjutkan sesi dengan fans yang lain.

"Kita bisa bicara setelah ini?" Tanya Yifan.

Lay sudah mendelikkan mata ketika Chanyeol memberikan kode agar si manajer menutup mulutnya.

"Terima kasih sudah datang memberikan dukungan, Wu Yifan-sshi." Kata Chanyeol sambil memberikan tanda tangannya di atas album milik Yifan beserta alamat apartemen yang ia tinggali dan angka 18.00 di sampingnya.

Yifan tersenyum dan bersiap untuk menemui Chanyeol di apartemennya sore nanti.

.

.

.

.

.

END

Not my best work, but I've tried.

Thank you for reading <3

Continue Reading

You'll Also Like

499K 37.2K 59
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
25.8K 3.2K 21
(n.) an extremely confused, complicated, or embarrassing situation. . . . Siapa yang menyangka, kedua aktor paling terkenal di Korea akan memainkan p...
3.7K 161 5
Cerita ini adalah hasil remake dari ceritaku sebelumnya versi Nielcham.
12.9K 1.1K 14
Azka gagal menjadi Cinderella untuk Satya