Suling Naga 2 (Kho Ping Ho)

By bacaan

7.6K 45 1

More

Suling Naga 2 (Kho Ping Ho)

7.6K 45 1
By bacaan

***

Wanita itu menangis seorang diri, terisak-isak dan tersedu-sedan di dalam pondok tua di tepi jalan yang sunyi itu. Sudah berjam-jam ia menangis seo­rang diri, pundaknya terguncang-guncang dan kadang-kadang tangisnya terdengar menyedihkan.

Ia seorang wanita yang cantik, usianya tigapuluh dua tahun. Sebetulnya ia mengenakan pakaian yang indah, dari sutera yang mahal dan mewah, dengan hiasan-hiasan rambut dan tubuh terbuat dari pada emas permata. Akan tetapi pakaian yang indah itu kini kusut dan bahkan kotor karena beberapa hari tidak pernah diganti. Rambutnya yang panjang hitam itu terlepas dari sanggulnya, riap-riapan menutupi sebagian mukanya. Di dekatnya, terletak di atas lan­tai, nampak sebuah pedang dalam sarung pedang yang indah.

Ia bukan wanita sembarangan, melainkan seorang wanita yang memiliki ilmu silat tinggi. Jarang ada orang dapat menandinginya. Ia seorang wanita kosen dan lihai. Akan tetapi, sekarang ia berada dalam kedukaan dan ketika ia menangis seperti itu, nampak betapa bagaimanapun juga, ia hanya seorang perem­puan yang lemah tak berdaya dan membutuhkan per­lindungan!

Wanita itu adalah Ciong Siu Kwi atau yang dike­nal dengan julukan Bi-kwi (Iblis Cantik). Seperti telah kita ketahui, gerakan wanita ini dengan semua sekutunya telah mengalami kegagalan dan hanya berkat pengampunan yang diberikan oleh Bi Lan atau Siauw-kwi (Iblis Cilik) sajalah maka ia sendiri dapat keluar dari pertempuran itu dengan selamat. Sekutu­nya telah hancur, semua orang yang bekerja sama dengannya telah tewas dalam pertempuran melawan para pendekar. Guru-gurunya, Sam Kwi, tewas se­mua, juga Bhok Gun, kekasihnya yang terakhir, tewas. Demikian pula orang-orang sakti seperti Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nio-nio tewas di tangan para pendekar.

“Uuhhhh....hu-hu-huhhh....!” Ciong Siu Kwi menangis terisak-isak. Ia bukan menangisi mereka itu. Sama sekali tidak. Bagaimanapun juga, permainan cintanya dengan Bhok Gun hanya merupa­kan petualangannya saja. Tidak ada rasa cinta di dalam hatinya terhadap Bhok Gun atau siapapun juga ia, wanita ini belum pernah mencinta orang, arti kata yang sesungguhnya. Permainan cintanya dengan pria-pria seperti yang sudah-sudah, hanyalah merupakan pelampiasan nafsu belaka. Juga tidak ada rasa cinta terhadap Sam Kwi, tiga orang gurunya yang juga memperlakukan sebagai kekasih.

Cintakasih tidak mendatangkan duka. Cintakasih tidak membelenggu batin. Cintakasih itu bebas dan wajar, seperti sinar matahari yang menghidupkan se­gala yang berada dalam sentuhannya, menghidupkan dan membahagiakan, sama sekali tanpa pamrih untuk kepentingan atau kesenangan diri sendiri. Se­baliknya, nafsu berahi, seperti segala macam nafsu, menimbulkan ikatan, membelenggu. Dan tentu saja menimbulkan derita karena ikatan berarti ketergan­tungan. Kita menggantungkan kesenangan batin ter­hadap sesuatu atau seseorang dan kalau gantungan itu terlepas, tentu kita akan jatuh dan kita menderita duka. Ikatan itu dapat saja berupa ikatan terhadap kekasih, keluarga, harta benda, kedudukan, bahkan ikatan terhadap suatu cita-cita. Dan yang suka meng­gantungkan diri, mengikatkan diri adalah si aku, ciptaan pikiran. Pikiran menciptakan aku yang selalu ingin senang, pikiran menimbulkan ikatan terhadap segala sesuatu yang menyenangkan si aku, dan kalau terjadi kegagalan dan perpisahan sehingga terlepas ikatan itu, maka pikiran pula yang tenggelam ke da­lam duka. Si aku selalu condong untuk membesarkan iba diri, pementingan diri pribadi, karena dasarnya adalah pengejaran terhadap kesenangan pribadi dan pelarian terhadap hal-hal yang dianggap tidak menye­nangkan.­

Siu Kwi tidak menyedihi kematian orang-orang itu. Tidak ada ikatan dalam batinnya terhadap mere­ka. Guru-gurunya, Bhok Gun dan yang lain-lain itu baginya hanya berupa alat belaka, untuk mencapai idaman hatinya, cita-citanya. Kehilangan alat-alat itu tidak mendatangkan duka, karena dapat saja ia mencari alat-alat lain. Akan tetapi, yang menimbul­kan duka adalah hancurnya semua cita-citanya. Habislah segala-galanya. Gagal semuanya dan rasa kece­wa dan iba diri membuatnya berduka sehingga ia, seorang wanita perkasa yang biasanya amat keras hati, kini menangis dan air matanya mengalir deras tanpa dapat dibendungnya. Ia sudah tidak dapat menguasai dirinya lagi yang dicengkeram duka. Ia merasa ham­pa, kosong dan tidak ada artinya hidup ini baginya. Hatinya nelangsa dan terasa kesepian yang mengeri­kan mencekam hatinya.

Apa lagi kalau diingat betapa ia telah kalah oleh Bi Lan! Gadis itu adalah sumoinya, bahkan lebih dari itu, dapat dibilang muridnya karena ialah yang membimbing dan melatihnya sejak awal. Bah­kan ia telah menyelewengkan pelajaran silatnya untuk mencelakakan Bi Lan. Akan tetapi, Bi Lan tidak mati, tidak celaka, bahkan memperoleh ilmu-ilmu yang hebat. Membanding-bandingkan keadaan diri­nya dan Bi Lan membuat perasaan hatinya tertusuk dan terasa nyeri sekali. Tertusuk rasa kecewa dan iri hati. Anak yang hampir gila itu kini malah menjadi seorang pendekar, menjadi seorang tokoh baik yang menonjol, dan bahkan dibela oleh para pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir!

Penilaian secara otomatis menimbulkan perban­dingan keadaan diri sendiri dengan orang lain dan muncullah ketidakpuasan, bahkan putus harapan. Ki­ta selalu merasa kurang, selalu merasa betapa buruk keadaan kita karena kita menilai dan membanding­kan. Dan kalau sudah ada penilaian dan perbandingan, tentu saja tidak ada yang sempurna di dunia ini.

Hasil pemikiran tentu saja tidak sempurna karena pi­kiran merupakan suatu sumber kekacauan dari konflik-konflik dan pertentangan-pertentangan antara ba­ik buruk, untung rugi dan sebagainya. Bagi orang yang tidak menilai, tidak membandingkan, melainkan memandang dan mengamati segala sesuatu tanpa pe­nilaian, tanpa perhitungan untung rugi, akan nampak bahwa tidak ada yang tidak sempurna pada alam semesta ini! Bagaimana mungkin hasil dari ulah dan perbuatan kita akan sempurna kalau kita sendiri penuh dengan benci, iri, dan pementingan diri sendiri?

Siu Kwi menangis tersedu-sedu. Mengingat akan keadaan Bi Lan yang dianggapnya hidup penuh kebahagiaan, ia merasa betapa ia tidak punya apa-apa lagi. Ia merasa kesepian dan takut untuk melanjutkan hidup, merasa tidak kuat untuk memulai hidup baru. Mengapa hidµpnya begini sengsara dan serba mengecewakan? Mengapa ia seakan-akan dikutuk? Keti­ka hatinya mengeluh demikian, ada bisikan pada hati nuraninya yang membuat Siu Kwi menghentikan ta­ngisnya, mukanya pucat dan sepasang matanya yang menjadi membengkak dan merah karena tangis itu kini sayu memandang jauh ke depan, merenungkan segala kehidupannya yang lalu. Nalurinya membisik­kan bahwa hidupnya yang lalu penuh dengan penye­lewengan dan kejahatan. Sebagai manusia, tentu saja ia mempunyai kesadaran dan pengertian tentang baik buruk. Akan tetapi, selama kejahatan yang dilaku­kannya itu mendatangkan hasil baik dan mendatang­kan kesenangan, ia tidak perduli dan seperti lupa bahwa yang dilakukan adalah jahat. Barulah, setelah perbuatan jahat itu mendatangkan suatu malapetaka yang menimpa diri, timbul penyesalan! Walaupun penyesalan itu belum tentu berarti mendatangkan perasaan bertaubat, melakukan lebih condong menye­sali kegagalan atau malapetaka itu!

Akan tetapi, Siu Kwi merasa benar-benar menye­sal mengapa ia membiarkan dirinya terseret ke dalam kejahatan. Timbul keinginan hatinya untuk mengu­bah cara hidupnya, meninggalkan dunia sesat dan mencontoh jahn yang ditempuh oleh sumoinya. Akan tetapi bagaimana caranya? Jalan apakah yang harus diambil? Namanya sudah menjadi rusak dan kiranya tidak ada seorangpun manusia di dunia ini, kecuali mereka dari golongan sesat pula, yang akan mempercayanya dan mau menerimanya. Akan tetapi kalau ia bergaul lagi dengan golongan sesat, maka sejarah akan terulang. Ia tentu akan bergelimang kejahatan lagi dan ia sudah merasa takut untuk menderita akibatnya yang amat buruk, seperti yang dirasakannya sekarang.

Pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan memang dapat menimbulkan kepalsuan-kepalsuan dalam batin kita. Kalau kita TAHU bahwa kita ber­buat baik, maka pengetahuan ini saja sudah menyem­bunyikan suatu pamrih di balik perbuatan kita itu. Tahu tentang kebaikan tentu saja dirangkai dengan tahu bahwa kebaikan itu membuahkan suatu keuntungan! Sebaliknya,tahu tentang kejahatan di­sertai pengetahuan bahwa perbuatan jahat itu mem­buahkan keburukan dan kerugian kepada kita. Dengan demikian, kita BERUSAHA untuk melakukan kebaikan, tentu saja karena tahu bahwa hal itu akan mendatangkan keuntungan bagi kita. Kita memaksa diri tidak mau melakukan kejahatan dengan pengeta­huan bahwa hal itu akan mencelakakan kita sendiri. Jelaslah bahwa pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan ini dapat mendorong kita untuk menjadi munafik, untuk menjadikan perbuatan kita palsu dan tidak wajar!

Tentu saja bukan maksud kita untuk mengabai­kan pengetahuan tentang baik dan jahat. Akan tetapi kita harus mengenal dasar dari perbuatan kita sendiri, mengenal watak-watak palsu kita sendiri dengan cara pengamatan terhadap diri sendiri, setiap kali kita berbuat, setiap kali kita bicara, setiap kali kita berpikir. Amat jauh bedanya antara perbuatan baik yang kita sadari dengan perbuatan apapun juga yang kita lakukan dengan dasar cinta kasih! Jika ada sinar cinta kasih menerangi sikap dan perbuatan kita, maka perbuatan itu wajar, kita lakukan tanpa penilaian baik ataukah buruk dan yang sudah pasti sekali, sega­la perbuatan yang dilakukan dengan dasar cinta kasih, seperti matahari menyinarkan cahayanya, seperti bu­nga menyiarkan keharuman dan keindahannya, seperti ibu menyusui anaknya, maka perbuatan itu adalah suci!

Ketika Siu Kwi sedang terombang-ambing dalam lamunannya sendiri, mulai timbul rasa penyesalan terhadap segala perbuatannya yang sudah-sudah, dan timbul pula keinginan untuk mengubah jalan hidup­nya, meninggalkan kesesatannya, tiba-tiba ia mendengar suara seorang laki-laki bernyanyi. Suara itu lantang dan bersih, kadang-kadang tersendat suaranya seperti tertahan sesuatu, dan lagunyapun lagu dusun yang sederhana sekali, seperti orang membaca sajak saja.

“Alangkah cantiknya duniaku!

Langit biru terhias awan bergumpal-gumpal

Itulah atap rumahku!

Pohon-pohon berdaun hijau

berbunga aneka warna

Itulah dinding rumahku!

Tanah segar dengan babut rumput hijau

Itulah lantai rumahku....!”

Siu Kwi membelalakkan kedua matanya. Hatinya tersentuh. Ada kesederhanaan dan keaselian dalam suara itu. Kewajaran yang indah walaupun isi nya­nyian itu teramat sederhana. Dan suara itu begitu wajar dan segar, membayangkan bahwa penyanyinya tentulah berada dalam kebahagiaan.

Siu Kwi yang tadi merasa sengsara, jauh dari kebahagiaan yang didambakannya, menjadi tertarik sekali. Tangisnya terlupa, terhenti dengan sendirinya dan sejak tadi ia terbawa hanyut oleh suara nyanyian.

Suara itu masih bernyanyi, mengulang-ulang kata-kata itu akan tetapi tidak menjemukan, seperti suara burung-burung pagi berkicau dengan riang. Ia bang­kit berdiri, membereskan pakaiannya yang kusut, juga rambutnya yang awut-awutan dalam keadaan setengah sadar karena gerakan itu hanya terjadi ka­rena kebiasaan, kemudian ia keluar dari dalam pon­dok tua dan berjalan menuju ke arah suara nyanyian. Wajahnya masih agak pucat, bekas-bekas air mata masih nampak di kedua pipinya. Matanya masih ke­merahan dan agak membengkak. Isaknya kadang-kadang masih mengguncang dadanya, seperti gema tangisnya tadi. Ia berjalan perlahan ke arah suara.

Pria itu berusia antara duapuluh lima tahun. Dia tidak berbaju, hanya memakai sebuah celana dari kain kasar yang berwarna hitam. Celana panjang itu digulungnya sampai ke lutut dan di sana-sini ternoda lumpur. Badan yang tidak tertutup baju itu memperlihatkan otot-otot yang berkembang dengan bagusnya, bergerak-gerak ketika kedua lengannya mengayun cangkul. Tubuh yang tegap itu nampak penuh dengan tenaga. Wajahnya sederhana saja, bersih dan penuh kejantanan. Pria itu mencangkul tanah ber­lumpur sambil bernyanyi, suara nyanyiannya kadang-kadang tersendat kalau cangkulnya terayun dan menghunjam tanah basah di depan kakinya. Bunyi “crok-crok!” cangkulnya seirama dengan nyanyian­nya dan agaknya suara itu menjadi pengiring nyanyi­annya yang sederhana. Pria itu memusatkan perhati­annya dengan sepenuhnya kepada tanah yang dicang­kulnya dan ini merupakan suatu keharusan. Kalau tidak, cangkulnya dapat menghantam batu atau menyeleweng, ke arah kakinya sendiri. Akan tetapi ada yang lebih dari pada itu, yalah rasa cinta terhadap apa yang dikerjakannya! Dan rasa cinta inilah yang mendatangkan ketekunan, mendatangkan pencurahan perhatian, sepenuhnya. Dan sepatutnya, kita semua mencontoh pemuda itu, yaitu : melakukan segala pekkerjaan dengan perasaan cinta terhadap apa saja yang kita kerjakan! Dan kalau sudah begitu, kita bekerja tanpa mengharapkan apa-apa, karena di da­lam pekerjaan itu sendiri kita sudah menemukan suatu kebahagiaan besar. Adapun hasil pekerjaan itu hanyalah merupakan akibat saja dari pekerjaan kita, merupakan bunga dan buah dari pada pohon yang kita tanam.

Siu Kwi memandang ke arah pria itu dengan terpesona. Sampai lama ia berdiri seperti patung mengamati pria itu, mengikuti seluruh nyanyiannya, meng­ikuti setiap gerak kaki tangannya. Biasanya, ia memandang rendah kepada orang-orang yang bekerja ka­sar, apa lagi seorang petani miskin dan kotor seperti pria itu! Seorang pria yang tentu saja tidak terpela­jar, bodoh dan juga lemah, hanya memiliki tenaga ka­sar saja, bukan ahli silat! Biasanya, terhadap seorang pria mencangkul sawah seperti ini, ia tentu sama se­kali acuh, menengokpun tidak sudi. Akan tetapi se­karang, ia terpesona!

Ada keindahan tersendiri yang khas pada tubuh pria itu. Wajahnya yang sederhana, tubuhnya yang tegap, nyanyiannya, semua itu nampak begitu riang dan cerah, seperti burung yang berkicau sambil ber­lompatan dari dahan ke dahan, seperti sinar matahari pagi itu. Ah, dia tentu seorang yang berbahagia, pi­kir Siu Kwi. Dan iapun ingin sekali tahu. Bagaimana ia akan bisa memperoleh kebahagiaan? Bagaimana pula pria petani sederhana ini dapat hidup demikian bahagia, walaupun bergelimang kesederhanaan, lum­pur kotor dan mungkin kemiskinan? Pada hal pria itu jelas seorang yang amat sederhana, bodoh hanya seorang petani biasa!

Siu Kwi melangkah maju menghampiri sampai ia tiba di tepi sawah. Pemuda yang sedang mencang­kul itu belum juga melihat kedatangannya. Ini saja biasanya cukup untuk menjengkelkan hati Siu Kwi yang merasa tidak diperhatikan, pada hal jarak antara ia dan pemuda itu hanya beberapa meter saja.

“Heii, bung! Aku ingin bertanya sedikit pada­mu.” Akhirnya Siu Kwi berkata dan biarpun tidak ada kemarahan di hatinya terhadap pemuda itu, ka­rena sudah menjadi kebiasaannya, suaranya terdengar lantang dan juga galak.

Pria petani itu nampak terkejut. Tak disangka­nya akan ada seorang wanita datang menegurnya dan ketika dia menengok, dia menjadi semakin terkejut sehingga sampai beberapa lamanya dia hanya bengong saja memandang, menoleh ke arah Siu Kwi dengan cangkul masih dalam genggaman kedua tangan. Ten­tu saja, melihat seorang wanita dengan pakaian indah dan sedemikian cantiknya kini berdiri di depan­nya dan mengajak dia bicara, merupakan suatu peng­alaman yang amat mengejutkan dan mengherankan bagi petani itu. Tentu saja dia menjadi bengong dan tak mampu mengeluarkan jawaban.

Siu Kwi mengerutkan alisnya. Biasanya, melihat pertanyaannya tidak segera dijawab orang, tentu akan membuat ia marah sekali. Akan tetapi aneh, sekali ini tidak. Ia seperti dapat mengerti bahwa pria ini terheran-heran dan terkejut, sehingga melihat orang itu bengong, ia merasa geli sendiri.

“Heii, bung! Apakah engkau tuli ataukah gagu sehingga tidak mendengar dan tidak dapat men­jawab?”

Barulah pemuda petani itu nampak semakin gu­gup. Ia menurunkan cangkulnya, demikian keras dan canggung sehingga cangkul itu menimpa lumpur yang memercik ke atas dan mengenai dagunya! Melihat ini, Siu Kwi menjadi semakin geli dan tanpa disadari­nya, wanita itu tersenyum lebar dan iapun tidak sa­dar betapa senyumnya ini membuat wajahnya manis sekali.

“Uh, maaf....!” kata pemuda itu, mencoba untuk membungkuk sebagai tanda penghormatan.

“Nyonya.... eh, nona.... tadi bertanya apakah?” Sikap yang canggung dan suara yang lantang itu saja sudah mendatangkan kegembiraan di hati Siu Kwi. “Aku belum bertanya,” jawabnya, “akan te­tapi aku ingin bertanya sedikit padamu dan maafkan kalau aku mengganggu pekerjaanmu.” Siu Kwi mera­sa heran sendiri mendengar sikap dan bahasanya. Ia seolah-olah mendengar suara orang lain bicara melalui dirinya. Belum pernah ia se “ramah” dan se “sopan” ini terhadap orang lain, apa lagi hanya seorang pria petani.

Pemuda itu tentu saja mengira bahwa tentu nona kota ini hendak bertanya jalan, atau menanyakan du­sun di sekitar tempat itu, maka dia menjawab, “Bo­leh saja kalau nona mau bertanya. Apakah yang no­na tanyakan?”

“Yang ingin kutanyakan adalah : Apakah engkau berbahagia?”

Petani muda itu melongo. Sama sekali tidak per­nah disangkanya dia akan menerima pertanyaan se­perti itu. “Apa....? Ehh....... aku....? Bahagia? Ah, aku tidak tahu, nona.”

Pemuda ini terlalu polos dan jujur, kalau mengatakan tidak tahu, tentu benar-benar tidak tahu, atau tidak mengerti apa yang ia tanyakan. Ia mengangguk yakin. “Engkau tentu seorang yang hidup bahagia. Ya, aku yakin engkau tentu berbahagia!”

Akan tetapi pemuda itu tidak yakin. “Bahagia? Apa sih bahagia itu, nona?”

Kini Siu Kwi yang bengong. Apa sih bahagia itu? “Bahagia.... ya, bahagia, hidupnya senang dan tenteram, aman makmur penuh damai....”

Pemuda itu mengangguk-angguk. “Itukah yang dinamakan bahagia?”

“Begitulah.... atau mungkin aku keliru, en­tahlah.”

Pemuda itu memandang bingung. “Bagaimana pula ini? Kalau nona sendiri tidak tahu dengan je­las, apa lagi aku. Aku tidak pernah mendengar kata itu dan akupun tidak membutuhkan kebahagiaan itu.”

Siu Kwi membelalakkan kedua matanya. Tidak membutuhkan kebahagiaan! Pemuda sederhana ini tidak membutuhkan kebahagiaan! Sedangkan ia yang berenang di dalam kemewahan begitu rindu dan butuh akan kebahagiaan karena merasa tidak bahagia, karena merasa nelangsa dan berduka. Agaknya itulah jawabannya. Pemuda itu berbahagia di dalam kese­derhanaannya, berbahagia karena tidak butuh bahagia lagi. Dan iayang berduka, merasa ditinggalkan ke­bahagiaan, maka ia amat membutuhkan kebahagiaan! Kalau saja ia tidak berduka, kalau saja ia dapat me­nikmati segalanya seperti pemuda ini, tentu iapun tidak akan butuh kebahagiaan karena sudah berbaha­gia!

“Ya, tentu engkau berbahagia, karena engkau bekerja sambil bernyanyi-nyanyi gembira. Engkau tentu seorang yang hidup berbahagia,” katanya lagi, memandang wajah dan tubuh pemuda itudengan kagum.

Pemuda itu mengerutkan alis sejenak, lalu mengangguk-angguk pula. “Boleh jadi. Aku dapat meli­hat semua keindahan pagi ini, dapat mendengarkan kicau burung yang gembira, melihat bunga-bunga dan pohon-pohon, mencium keharuman tanah yang ku­cangkul, dapat menghirup udara segar dengan bebas, kalau lapar dapat makan dan kalau haus dapat mi­num, memiliki pekerjaan. Mau apa lagi?”

Siu Kwi semakin tertarik dan memandang kagum. Bukan kagum dan bukan seperti biasanya tertarik oleh laki-laki karena dorongan nafsu berahi. Bukan sama sekali. Sekali ini, ada sesuatu yang aneh terjadi di dalam hatinya. Ia merasa tertarik dan kagum ka­rena ia melihat betapa laki-laki yang berlepotan lumpur ini lebih utuh sebagai manusia dari pada dirinya sendiri. Laki-laki ini jauh lebih berarti dalam kehi­dupan ini. Ia seperti melihat mutiara gemerlapan di dalam lumpur. Seorang pemuda yang amat polos, jujur terbuka, bersih seperti batu kemala yang belum digosok, nampak kasar dan biasa saja namun mengandung keindahan yang amat berharga di dalamnya. Ja­waban pemuda itu merupakan suatu pelajaran yang tak ternilai harganya, walaupun pemuda itu tidak se­ngaja hendak mengajarkan sesuatu kepadanya.

Memang demikianlah. Guru berada di mana-ma­na kalau saja kita mau membuka mata lahir batin dan mau mengamati segala sesuatu di dalam dunia ini, di luar dan di dalam diri sendiri, secara seksama dan waspada. Melayangnya sehelai daun kering dari atas pohon karena patah dari tangkainya, sudah dapat merupakan suatu pelajaran tentang hidup dan mati. Dalam mempelajari dan mengerti tentang hidup, tak perlu mencari guru dalam bentuk seorang manusia, karena kehidupan adalah sesuatu yang bergerak terus. Kehidupan adalah suatu kenyataan yang kita hayati sendiri. Sedangkan apa yang dapat diajarkan oleh se­orang guru hanyalah pengetahuan mati tentang kehi­dupan. Jawaban pemuda petani itupun dapat meru­pakan suatu pembukaan rahasia tentang kebahagiaan. Dia sudah dapat menerima segala sesuatu yang ada sebagai suatu kenikmatan hidup. Dia TIDAK MEN­CARI SESUATU YANG TIDAK ADA PADANYA! Karena itulah dia tidak merasa kekurangan apa-apa, dia tidak mengejar apa-apa. Kalau sudah begitu, tentu saja tidak ada kekecewaan, tidak ada iri, tidak ada kebutuhan akan sesuatu dan tidak ada duka. Dan kalau sudah begini, tentu saja dia tidak membutuh­kan kebahagiaan, karena kebutuhan akan kebahagiaan muncul apabila kita merasa bahwa kita tidak bahagia!

Kalau semua orang seperti pemuda petani itu, tentu tidak akan ada kemajuan! Demikian orang membantah. Mungkin dia benar! Akan tetapi, apa­kah yang kita namakan kemajuan itu? Kita men­dambakan kemajuan, kita mengagung-agungkan ke­majuan. Akan tetapi apakah sebenarnya kemajuan itu? Model celana dipotong pendek, lalu panjang la­gi, lalu pendek lagi, panjang lagi. Sempit, lalu long­gar, sempit lagi. Itukah kemajuan? Benda-benda dibikin modern agar LEBIH MENYENANGKAN. jadi, kemajuan berarti pengejaran sesuatu yang dianggap lebih menyenangkan! Itukah kemajuan? Dan sampai di mana kita sekarang ini maju? Sudah maju­kah? Sudah sampai di batas manakah?

Matahari menyinarkan cahayanya yang cerah. Bu­rung-burung berkicau di pohon-pohon. Bunga-bunga mekar semerbak harum. Sejak jutaan tahun yang lalu sudah begitu, dan terus begitu. Semua itu tidak mengejar kemajuan, melainkan bertumbuh dengan wajar. Apakah keadaan alam seperti itu dapat kita katakan tidak maju?

Pikiran yang didorong oleh keinginan untuk men­cari kesenangan yang lebih, tidak mungkin berdaya cipta (creative). Tidak akan menjadikan kita bijaksa­na dan cerdas. Sebaliknya, pikiran yang selalu me­ngejar kesenangan yang lebih akan menjadi licik penuh akal, kejam dan tak pernah puas. Perbaikan ke­adaan tentu terjadi karena manusia mempergunakan akal budi yang memang sudah ada padanya sejak la­hir. Keburukan hidup menghadapi alam, akan men­dorong manusia mempergunakan akal budinya untuk mengatasi segala kesukaran. Daya cipta akan berkem­bang secara wajar, demi kesejahteraan hidup, bukan demi pergejaran kesenangan.

Selagi Siu Kwi termenung karena jawaban pemu­da tani itu, tiba-tiba pemuda itu nampak gelisah. ”Nona, harap kau cepat bersembunyi di balik pohon dan semak-semak itu. Cepat, di sana datang tiga orang pemuda berandalan. Mereka baru sepekan ber­keliaran di sini, dan mereka itu pemuda-pemuda dari kota yang berandalan. Cepat, bersembunyilah, nona, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”

Siu Kwi sadar dari lamunannya dan ia menengok. Benar saja, dari jauh nampak tiga orang laki-laki yang agaknya bicara sambil bergurau dan tertawa-tawa. Akan tetapi mereka masih terlalu jauh untuk dapat didengar apa yang mereka bicarakan dan untuk meli­hat orang-orang macam apa adanya mereka. Kalau menurut wataknya yang biasa, tentu saja Siu Kwi akan memandang rendah segala pemuda beran­dalan seperti itu. Akan tetapi sekali ini memang ter­jadi hal yang aneh dalam hati Ciong Siu Kwi. Men­dengar ucapan pemuda petani itu, ia tidak membantah, melainkan cepat-cepat pergi bersembunyi di ba­lik semak-semak tak jauh dari tempat itu, di tepi jalan dekat pohon besar.

Makin dekatlah tiga orang laki-laki yang keluyur­an sambil bersendaugurau itu dan akhirnya mereka tiba di tepi sawah di mana pemuda petani itu sudah melanjutkan pekerjaannya yang tadi, yaitu mencang­kul tanah. Tiga orang pemuda iseng itu sejak tadi memang sudah merasa bosan karena tempat itu sunyi dan kini melihat pemuda yang sedang mencangkul tanah, timbul kegembiraan mereka. Mereka menemu­kan seorang yang dapat dijadikan bahan olok-olok dan keberandalan mereka.

“Hei, lihat itu si tolol bekerja keras!” teriak orang pertama yang kepalanya besar dan kedua te­linganya kecil seperti telinga tikus.

“Ha-ha-ha, kusangka dia tadi seekor kerbau yang sedang meluku sawah!” teriak orang ke dua, orang ini kurus kering seperti berpenyakitan.

“Kaukira apa? Apa sih bedanya si tolol dengan seekor kerbau? Hei, tolol! Coba tirukan suara ker­bau, bagaimana?” teriak orang ke tiga yang gendut. Mereka itu tiga orang pemuda yang melihat pakaian­nya saja dapat diketahui bahwa mereka itu adalah orang-orang kota! Padahal, merekapun tadinya orang-orang dari dusun tak jauh dari situ, hanya su­dah lama mereka tinggal di kota dan ketularan ke­sombongan orang-orang kota yang memandang rendah kepada para petani yang miskin. Kini mereka mem­perolok seorang pemuda petani, padahal mereka lahir di rumah-rumah keluarga petani.

Pemuda yang sedang mencangkul itu sudah men­dengar bahwa tiga orang pemuda itu adalah pemuda berandalan yang sudah sepekan suka melakukan hal-hal yang buruk, memperlihatkan kenakalan mereka mendatangkan keributan dan perkelahian, juga keka­cauan. Oleh karena itu dia bersikap tidak perduli dan pura-pura tidak mendengar saja.

Tiga orang pemuda itu mendongkol juga karena olok-olok mereka sama sekali tidak dilayani. Mereka selalu memperoleh kegembiraan dari olok-olok mere­ka, baik kalau yang dihina itu melawan maupun keta­kutan. Akan tetapi pemuda petani itu diam saja, menganggap mereka seperti angin saja! Marahlah mereka.

“Hei, tolol! Apakah kamu tuli atau gagu?”

“Hayo naik ke sini, kau harus bersihkan sepatu kami dengan baik!“

“Kalau tidak, akan kuhajar kamu! Hayo naik ke sini!”

Akan tetapi, pemuda itu tetap diam saja, hanya melirik sedikit dan di dalam hatinya dia mengambil keputusan bahwa kalau tiga orang itu berani masuk ke sawahnya, dia akan melawan mereka, akan mem­buat mereka berenang di sawahnya dan minum air lumpur!

“Hayo naik kamu, pengecut! Naik ke sini biar kuhajar kau sampai minta-minta ampun!” teriak pula tiga orang pemuda itu sambil mencak-mencak dengan marah. Mereka tidak berani memasuki sawah karena takut kalau sepatu dan pakaian mereka men­jadi kotor. Akan tetapi pemuda petani itu tetap diam saja dan melanjutkan pekerjaannya mencangkul dengan tekun.

“Kurang ajar! Serang dia dengan batu kata seorang dari mereka dan mereka bertiga kini mencari batu-batusebesar kepalan tangan dan menyambitkan batu-batu itu ke arah pemuda petani. Pemuda petani itu berusaha untuk menangkis dan mengelak, akan tetapi masih ada batu yang mengenai kepalanya sam­pai timbul benjolan besar. Tiga orang pemuda itu tertawa-tawa. Mulai giranglah hati mereka karena mereka dapat menghajar pemuda petani itu. Mereka akan menghujankan batu sampai pemuda itu roboh dan minta-minta ampun!

Melihat keadaan pemuda petani itu, hati Siu Kwi merasa khawatir. Ia sudah marah sekali terhadap tiga orang pemuda berandalan dan kalau ia mau, se­kali menggerakkan tangan saja ia akan dapat membu­nuh mereka dan hal itu tentu sudah dilakukannya sejak tadi kalau saja tidak terjadi perubahan besar dalam hati Siu Kwi. Kini ia keluar dari balik semak-semak dan berseru dengan suara yang sengaja dibikin agar terdengar seperti suara orang ketakutan.

“Jangan sambiti dia.... ah, jangan sakiti dia....!”

Tiga orang pemuda itu terkejut dan menoleh he­ran. Akan tetapi wajah mereka menjadi terang ber­seri dan mulut mereka menyeringai nakal ketika me­reka melihat bahwa yang berseru itu adalah seorang wanita yang demikian cantik manisnya! Mereka me­rasa tercengang dan tidak pernah menduga sama seka­li bahwa di tempat sunyi itu mereka akan dapat ber­temu dengan seorang wanita secantik itu! Tentu saja mereka menjadi girang sekali karena mereka su­dah membayangkan kesenangan yang akan mereka dapat dari wanita itu.

“Ahhh....! Tidak mimpikah aku?” teriak si gendut.

“Benarkah di depanku ada wanita secantik bidadari?”

“Luar biasa sekali! Petani tolol busuk itu mempunyai seorang pacar yang begini cantiknya!” kata si kepala besar.

“Hati-hati, kawan. Jangan-jangan ia ini seorang siluman!” kata si kurus kering.

Siu Kwi merasa heran sekali atas perubahan yang terjadi pada dirinya. Kenapa ia tidak marah dan membunuh mereka ini? Dahulu, jangankan sampai menggoda dengan nada menghina, baru memandang secara kurang ajar saja, kalau ia tidak suka kepada laki-laki itu, tentu akan dibunuhnya seketika!

“Dia tidak bersalah apa-apa, kenapa kalian menganggunya?” Hanya itu saja yang ia katakan, itupun dengan nada meminta agar para pemuda itu jangan mengganggu si petani.

Sementara itu, pemuda petani itu terkejut bukan main melihat munculnya wanita cantik itu dari balik semak-semak. Dia tahu bahwa tiga orang pemuda berandalan itu tentu tidak akan mau melepaskan wanita itu begitu saja. Karena khawatir kalau gadis itu menderita dari gangguan mereka yang kurang ajar, pemuda petani itu segera melangkah keluar dari dalam sawah, lalu cepat menghampiri mereka dan ber­diri di depan gadis itu dengan sikap melindungi.

Kuharap kalian tidak mengganggu gadis ini. Kami adalah orang-orang yang tidak pernah mengganggu kalian, maka kuminta dengan sangat agar kalian tidak mengganggu kami,” kata pemuda itu dengan sikap tenang.

Melihat pemuda yang bertelanjang dada dan berlepotan lumpur ini kini berani melindungi wanita itu, tiga orang pemuda berandalan menjadi marah sekali.

“Petani busuk, mampuslah!” bentak si perut gendut dan dia sudah menyerang dengan pukulan keras menyambar ke arah muka si pemuda petani.

“Desss....!” Pemuda petani itu tidak me­ngira bahwa dia akan dipukul, maka dia tidak sempat menangkis dan mukanya kena dipukul. Pukulan ini tepat mengenai batang hidungnya, maka segera nam­pak darah keluar dari lubang hidungnya.

“Plakkk....!” Karena marah, si pemuda petani membalas dan tangannya yang menampar me­ngenai pipi si gendut. Tubuh si gendut terpelanting. Tamparan itu demikian kerasnya sampai membuat matanya berkunang dan kepalanya berdenyut-denyut, ditambah rasa panas dan pedih di pipinya. Dua orang temannya segera maju mengeroyok.

Pemuda petani itu mengamuk. Kini dia dikero­yok tiga, dan tiga orang pemuda berandalan itu seperti tiga ekor serigala yang mengeroyok seekor an­jing pemburu yang melawan mati-matian. Akan teta­pi karena pemuda petani itu tidak pandai silat, hanya mengandalkan kekuatan tubuh yang tahan pukulan dan tenaga besar semangat berkobar, dia menjadi bu­lan-bulanan pukulan dan tendangan tiga orang penge­royoknya. Biarpun demikian, sungguh dia bertubuh kuat dan biarpun dihujani pukulan dan dikeroyok, dia masih sempat berteriak.

“Nona, cepat kaupergilah dari sini!”

Siu Kwi memandang dengan penuh kagum. Pe­muda petani itu kini menjadi seorang yang kega­gahannya tidak kalah oleh para pendekar manapun juga. Bahkan mungkin lebih gagah, pikirnya. Kalau seorang pendekar berani membela orang lain, dia mengandalkan kepandaian silatnya dan senjatanya. Akan tetapi, pemuda ini membelanya mati-matian, pada hal pemuda sederhana ini tidak pandai silat. Bahkan dalam hujan pukulan itu dia masih minta kepadanya untuk menyelamatkan diri. Dia benar-benar merasa gembira karena selama hidupnya baru sekaranglah dia bertemu dengan seorang pria yang membelanya mati-matian tanpa pamrih sedikitpun juga! Biasanya, di dalam kehidupannya yang lalu, kalau ada pria membelanya, maka di balik pembelaan itu tentu mengandung pamrih tertentu. Seperti Bhok Gun misalnya. Para pria yang bersikap baik kepada­nya tentu mengharapkan imbalan jasa. Akan tetapi pemuda petani ini sama sekali tidak! Mereka tidak saling mengenal, dan pemuda itu jelas tidak mengha­rapkan apa-apa, bahkan minta agar ia pergi secepat­nya. Keharuan, suatu perasaan aneh yang baru per­tama ini dikenal Siu Kwi, menyelubungi hatinya dan iapun cepat pura-pura melarikan diri. Akan tetapi ia cepat menyelinap kembali, tanpa diketahui mereka, dan bersembunyi di balik pohon tak jauh dari tempat perkelahian itu terjadi, mengintai dengan hati penuh kagum dan khawatir.

Pemuda tani itu benar-benar hebat! Biarpun tubuhnya menjadi bulan-bulan pukulan dan tendang­an sehingga dada yang bidang itu, juga lengannya, menjadi matang biru, bahkan mukanya juga benjol-benjol, namun dia pantang menyerah. Seperti seekor harimau terbuka dia mengamuk terus, tidak sedikit­pun keluhan keluar dari mulutnya. Sebaliknya, setiap kali dia membalas dan mengenai tubuh lawan, tentu pengeroyok yang kena dipukul atau ditendang berteriak kesakitan lalu memaki-maki dan membalas de­ngan serangan membabi buta. Dari keadaan perke­lahian itu saja sudah dapat dinilai watak masing-ma­sing.

Pemuda petani itu bertubuh kuat sehingga akhirnya tiga orang lawan yang mengeroyoknya dan lebih banyak memukulnya itu menjadi kewalahan sendiri. Mereka lalu mencabut pisau belati dan mengepung dengan wajah beringas seperti serigala haus darah. Melihat berkilatnya tiga buah pisau belati di tangan mereka, Siu Kwi mengerutkan alisnya. Pemuda petani itu tentu akan celaka kalau ia tidak turun ta­ngan, pikirnya. Jari-jari tangannya memungut tiga butir batu kerikil dan tiga kali tangannya terayun ke depan.

Tiga orang pemuda yang sudah mencabut pisau belati itu tiba-tiba mengeluarkan pekik kesakitan, pisau mereka terlepas dari tangan dan untuk beberapa detik lamanya mereka tidak mampu bergerak. Ke­sempatan ini dipergunakan oleh pemuda tani, yang tidak tahu mengapa mereka melepaskan kembali pi­sau-pisau mereka, untuk maju menghajar mereka dengan pukulan-pukulan keras.

Tiga orang pemuda itu jatuh bangun dan sema­ngat mereka sudah buyar sama sekali. Mereka masih ketakutan karena tanpa sebab mereka tadi merasa ta­ngan mereka nyeri bukan main, pisau mereka terlepas dan mereka tidak mampu bergerak. Teringatlah me­reka akan wanita cantik tadi dan kembali timbul du­gaan bahwa wanita itu tentu siluman dan kini mem­bantu si pemuda petani. Maka, tanpa dikomando lagi, mereka bertiga lalu melarikan diri tunggang ­langgang!

Pemuda petani itu berdiri memandang mereka sampai bayangan mereka lenyap di antara pohon-po­hon. Dia lalu menyeka darah dari hidung dan bibir­nya yang pecah-pecah, menggunakan punggung ta­ngan yang juga matang biru membengkak. Setelah tiga orang lawannya pergi, baru dia merasa betapa se­luruh tubuhnya sakit-sakit dan diapun agak terhu­yung menghampiri pohon besar di tepi jalan.

“Ah, kau terluka....”

Hampir saja pemuda petani itu menerjang dan menyerang Siu Kwi yang muncul dengan tiba-tiba dari balik batang pohon besar. Dia sudah melupakan wanita itu yang disangkanya tentu sudah melarikan diri ketakutan dan tidak akan kembali lagi ke tempat itu.

“Ah, kau....?” serunya kaget, juga girang bukan main. Kukira engkau sudah pergi jauh dari tempat ini, nona. Dengan hati merasa lega sekali pemuda tani itu lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput, karena tubuhnya kini terasa lelah bu­kan main, tenaganya seperti hampir habis.

Siu Kwi cepat berlutut di dekatnya. “Ah, tubuh­mu luka-luka semua, babak bundas.... ah, tentu nyeri sekali....” katanya dan dengan lembut jari-jari tangan wanita itu menyentuh dada, pundak dan pangkal lengan yang memar dan matang biru.

Sentuhan-sentuhan lembut itu seperti obat yang amat nyaman terasa oleh pemuda tani. Biarpun usia­nya sudah duapuluh lima tahun, akan tetapi dia be­lum pernah menikah, bahkan jarang bergaul dengan wanita. Dan kini, tiba-tiba muncul seorang wanita yang luar biasa cantiknya berdekatan dengannya, me­nyentuh tubuhnya dengan lembut. Jantung pemuda itu berdebar keras sekali dan hal ini mudah nampak oleh Siu Kwi sehingga wanita inipun diam-diam me­rasa girang sekali. Ia sudah berpengalaman, sudah mengenal banyak pria dan tahu akan keadaan seorang pria. Maka mudah saja ia mengetahui bahwa pria dusun inipun amat tertarik kepadanya dan bahwa pendekatannya membuat pemuda itu berdebar jantungnya. Anehnya, sekali ini ia merasa demikian girang dan bangga akan kenyataan ini!

“Luka-lukamu ini perlu dirawat. Aku biasa me­rawat luka, marilah kuantar engkau pulang dan akan kurawat luka-lukamu.... ahhh....” Tiba-tiba Siu Kwi teringat dan mukanya berubah pucat dan iapun bangkit dan melangkah mundur.

Pria petani itu sudah merasa girang mendengar bahwa wanita cantik itu akan ikut dia pulang dan akan merawat luka-lukanya, akan tetapi terkejut me­lihat perubahan sikap wanita itu. Diapun bangkit berdiri, memandang penuh selidik.

“Ada apakah, nona?”

“Kau....ah, tentu di rumahmu ada isteri dan keluargamu yang akan merawatmu....” kata Siu Kwi, memandang penuh pertanyaan dan dengan hati gelisah. Mengapa dia tidak ingat akan hal itu? Seorang pria sedewasa ini, apa lagi hidup di dusun,sudah tentu pria ini sudah menikah dan mungkin sudah mempunyai beberapa orang anak! Hatinya seperti ditusuk-tusuk. Kalau dulu, ia tidak akan perduli apakah seorang laki-laki itu berkeluar­ga atau tidak, mau atau tidak padanya. Kalau ia suka, dengan halus maupun kasar ia tentu akan memiliki pria itu, atau membunuhnya. Akan tetapi sekarang, ia ragu-ragu, khawatir dan berduka membayangkan­ bahwa laki-laki ini tentu sudah beristeri!

Pemuda petani itu tersenyum. Senyumnya cerah, wajar dan sehat. “Nona, aku belum pernah menikah. Di rumahku hanya tinggal aku dan ayahku seorang. Ibuku sudah lama meninggal.”

Merasa bagaikan sebongkah batu dilepaskan dari hatinya yang tertindih, Siu Kwi ingin sekali merang­kul dan mencium pemuda itu. Namun aneh lagi. Ia merasa malu melakukannya, dan ia menahan gejolak perasaannya itu. “Aih, kalau begitu baru aku berani ikut denganmu dan merawat luka-lukamu.”

Karena pertanyaan wanita itu, kini si pemuda petani juga memandang ragu. Masih nonakah wanita ini ataukah sudah nyonya? Kiranya sukar dipercaya kalau masih nona, karena usianya sudah tidak begitu muda lagi walaupun kecantikannya membuat ia nampak jauh lebih muda. Setidaknya, tidak lebih muda darinya dan wanita seusia ini tak mungkin masih pe­rawan.

“Dan bagaimana dengan engkau sendiri, nona.... atau.... nyonyakah?”

Luar biasa sekali! Siu Kwi merasa mukanya pa­nas dan ia tentu akan terheran-heran kalau dapat melihat betapa kulit mukanya berubah kemerahan seperti seorang perawan yang tersipu malu! Heran sekali ia, mengapa ia merasa begini malu dan cang­gung ditanya oleh pemuda ini apakah ia masih gadis ataukah sudah menikah? Tentu saja akan tidak enak sekali kalau ia mengaku masih gadis, karena usianya sudah tidak pantas untuk itu.

“Aku.... aku seorang janda yang ditinggal mati suamiku, beberapa tahun yang lalu. Semenjak itu, aku hidup seorang diri saja....”

“Ahh....! Maafkan pertanyaanku kalau aku telah menyinggung perasaanmu dan mendatang­kan kembali kenangan yang menyedihkan,” kata pe­muda itu, agak terkejut.

Siu Kwi tersenyum, manis sekali.

“Hal itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu, kesedihan sudah lama meninggalkan hatiku. Akan tetapi, aku ingin mengetahui siapakah namamu dan di mana rumahmu?”

“Aku she Yo bernama Jin, tinggal berdua dengan ayah di dusun sebelah selatan itu.” Dia menudingkan telunjuknya ke arah selatan di mana nampak dari situ sekelompok rumah dusun.

“Namamu Jin (Welas Asih), pantas engkau ber­hati mulia, mau membela dan menolong aku yang sama sekali tidak kaukenal. Aku she Ciong, namaku Siu Kwi dan lempat tinggalku tidak tetap karena aku sudah tidak memiliki keluarga lagi.”

Pemuda dusun yang bernama Yo Jin itu meman­dang dengan sinar mata mengandung iba dan dia menggeleng kepala. Akan tetapi.... apakah sama sekali tidak mempunyai anggauta keluarga? Orang tua, saudara-saudara....“

Akan tetapi Ciong Siu Kwi menggeleng kepala dan ia memang tidakberbohong. Ia sendiri sudah tidak mempunyai sanak keluarga sama sekali ketika dipungut oleh Sam Kwi. “Aku hidup sebatangkara, seorang diri saja di dunia yang luas ini. Aihh, kenapa kita bercakap-cakap saja, engkau perlu dirawat. Mari kuantar engkau pulang.”

Siu Kwi lalu memegang lengan pemuda itu dan membantunya bangkit berdiri. Melihat betapa wanita itu memegang lengannya, kembali jantung Yo Jin tergetar dan diapun masih merasa ragu-ragu. Seorang wanita secantik ini, sudah menjanda dan nampak begitu mewah pakaiannya, hendak menggandengnya!

“Tapi, nyonya....”

“Hemm, Yo Jin. Aku sudah memperkenalkan bahwa namaku Siu Kwi, bukan?”

“Baiklah,.... adik Kwi. Aku.... aku masih sangsi apakah mungkin seorang seperti engkau ini merawatku....?”

Senang hati Siu Kwi disebut Kwi-moi (adik Kwi) walaupun ia yakin bahwa ia lebih tua dari pemuda itu. Diapun sengaja menyebut toako (kakak) untuk mengimbangi sebutan Yo Jin dan untuk menghormati pemuda dusun itu. Kenapa tidak, Jin-toako? Eng­kau sudah menolongku, menyelamatkan aku dari gangguan tiga pemuda berandalan itu. Budimu ter­lampau besar dan sudah sepatutnya kalau aku kini merawatmu, sekedar untuk membalas kebaikanmu dan menyatakan terima kasihku. Akan tetapi.... tentu saja aku tidak berani memaksa kalau engkau tidak sudi dirawat oleh seorang janda yang hidup merana dan kesepian      Di dalam kalimat ter­akhir itu terkandung isak dan inipun bukan pura-pura karena memang hati Siu Kwi merasa sedih sekali membayangkan hatinya yang sedang kesepian dan merana itu menderita pukulan karena ditolak oleh Yo Jin. Ia merasa kagum dan suka sekali kepada pemuda ini. Bukan sekedar nafsu berahi yang mendorongnya. Entah bagaimana, melihat sikap pemuda ini yang melindungi dan membelanya mati-matian tanpa pamrih, ia merasa aman sentausa berada di sam­ping Yo Jin. Perasaan sepi lenyap.

“Aih, mana mungkin aku menolak uluran tangan­mu, Kwi-moi? Mari, marilah kita pulang.”

“Pulang?” Seperti dalam mimpi Siu Kwi meng­ulang kata yang terdengar amat luar biasa itu, amat asing namun amat indahnya.

“Ya, pulang! Bukankah engkau tadi mengajak­ku pulang? Ke rumahku, rumah ayahku.”

“Pulang....?” Kembali Siu Kwi mengulang kata itu, kata yang baginya mengandung makna yang asing dan indah, seolah-olah “pulang” merupakan sebuah tempat milik mereka berada, sebuah sarang yang aman sentausa, yang nyaman dan penuh keda­maian.

Ayah Yo jin adalah seorang kakek petani yang bertubuh tinggi besar, berwatak jujur dan dia me­nyambut pulangnya puteranya dengan alis berkerut. Tentu saja dia merasa heran bukan main melihat anaknya pulang bersama seorang, wanita cantik ber­pakaian mewah yang menggandengnya. Mereka nam­pak demikian mesra! Akan tetapi perasaan heran ini menjadi kekagetan dan kekhawatiran ketika dia melihat betapa muka anaknya itu matang biru dan bengkak-bengkak. Baru dia mengerti setelah Yo Jin menceritakan bahwa dia diganggu dan dikeroyok oleh tiga orang pemuda kota yang berandalan itu dalam membela Ciong Siu Kwi yang hendak diganggu.

“Nyonya.... eh, adik Ciong Siu Kwi mene­mani aku karena ia hendak merawat luka-lukaku, ayah. Aku tidak dapat menolak maksud baiknya itu.”

Ayahnya mengangguk-angguk dan menatap wajah wanita ini dengan tajam penuh selidik. Pandang mata itu membuat Siu Kwi merasa kikuk sekali, akan te­tapi ia hanya menundukkan mukanya.

“Mari, Jin-toako, kucuci luka-luka itu, karena kalau didiamkan saja dan terkena kotoran dapat membengkak dan berbahaya,” katanya halus kepada Yo Jin. Pemuda itu mengangguk dan mulailah Siu Kwimerawatnya. Ia mencuci luka-luka itu, dengan jari-jari tangan menyentuh halus ia menggosok bagian yang bengkak, menaruh obat pada bagian yang memar dan matang biru. Entah mana yang lebih manjur, obat yang dipergunakan Siu Kwi ataukah sentuhan jari-jari tangannya, akan tetapi Yo Jin merasa betapa kenyerian di tubuhnya lenyap seketika. Mau rasanya dia dipukuli orang setiap hari kalau sesudah itu dira­wat oleh jari-jari tangan wanita cantik ini! Karena dia memang jujur, maka suara hatinya ini tak dapat ditahannya.

“Wah, aku sungguh beruntung!” katanya, Ayahnya sudah meninggalkan mereka yang berada di ruangan samping.

“Beruntung? Kenapa?” tanya Siu Kwi, ingin tahu sekali.

“Ya, beruntung telah dipukuli orang sampai babak belur dan matang biru.”

Siu Kwi memandang heran. “Eh? Betapa aneh­nya!”

“Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin aku akan mendapatkan perawatanmu seperti ini?”

Siu Kwi merasa betapa jantungnya berdebar. Ingin ia merangkul pemuda itu, akan tetapi hal itu tidak dilakukannya. Ia harus bersikap biasa, ia tidak menuruti lagi segala kehendak hatinya seperti yang sudah-sudah. Namun ia tidak dapat terbebas dari perasaan jengah sehingga mukanya berubah kemerahan.

“Jin-toako, masih sakitkah bekas pukulan dan tendangan itu?"

“Tidak, sama sekali sudah lenyap. Sentuhan tanganmu yang lembut mengusir semua rasa nyeri,” jawab Yo Jin sungguh-sungguh.

“Senangkah engkau kurawat begini?”

“Senang sekali! Mau rasanya aku setiap hari menerima pukulan asal engkau yang merawatnya.”

Siu Kwi memandang penuh perhatian. Bersandiwarakah pemuda ini? Apakah dia sebenarnya seorang laki-laki yang pandai merayu hati wanita dan kini berpura-pura sebagai seorang pemuda dusun yang bodoh? Tidak, dia merasa yakin bahwa pemuda ini bukan seorang perayu, melainkan seorang yang amat jujur. Apa yang diraskannya, apa yang dipikirkannya, langsung saja keluar melalui mulutnya. Dan ia mera­sa betapa ada suatu kegembiraan besar memenuhi dadanya.

Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan nyaring di luar rumah dan ayah Yo Jin memasuki ruangan itu dengan wajah membayangkan kekhawatiran besar. “Mereka bertiga datang bersama Lui-kongcu putera kepala dusun di timur! Ah, Yo Jin, engkau mencari gara-gara saja. Bagaimana baiknya sekarang?”

Yo Jin mengerutkan alisnya dan diapun bangkit. Sedikitpun dia tidak merasa takut.

“Ayah, mereka itu pengacau-pengacau tak tahu malu. Kalau mereka berani datang untuk membikin ribut di sini, biarlah aku akan menghajar meereka lagi.” Berkata demikian, dengan sikap gagah Yo Jin lalu melangkah keluar.

“Toako, berhati-hatilah....”      Siu Kwi berseru dan iapun sudah bangkit dan memegang lengan pemu­da itu.

Yo Jin menoleh. “Lebih baik engkau jangan keluar, jangan memperlihatkan diri. Biar aku yang menghadapi mereka.”

“Tapi.... tapi engkau akan dikeroyok lagi, dipukuli....“

Yo Jin tersenyum dan untuk beberapa detik lama­nya tangannya menggenggam tangan wanita itu. “Tak perlu dirisaukan! Bukankah di sini ada engkau yang akan mengobati semua bekas pukulan?” Dia lalu melepaskan tangannya dan cepat keluar karena orang-orang itu sudah berteriak-teriak lagi.

Siu Kwi berdiri bengong dan mulutnya tersenyum, wajahnya berseri. Ia merasa seperti seorang gadis remaja yang baru pertama kali jatuh cinta! Akan tetapi ia segera mengkhawatirkan keadaan Yo jin dan iapun cepat mengintai dari balik pintu.

Ternyata tiga orang pemuda berandalan itu, setelah melarikan diri. Segera pergi menghadap Lui-kongcu (tuan muda Lui), putera dari kepala dusun tempat asal tiga orang pemuda itu. Mereka memang berkawan dengan putera kepala dusun yang terkenal mata keranjang. Mereka memuji-muji kecantikan wanita yang menjadi pacar seorang pemuda petani di dusun selatan sehingga Lui-kongcu tertarik sekali. Apa lagi mendengar betapa tiga orang pemuda itu yang diang­gap sebagai anak buahnya, telah dihajar babak-belur oleh pemuda itu karena memperebutkan wanita cantik, Lui-kongcu merasa penasaran. Mengandalkan kedudukan ayahnya, dia memang sudah biasa merajalela dan suka membikin kacau, menekan para pendu­duk yang tentu saja takut kepadanya mengingat akan kedudukan ayahnya, yaitu kepala dusun Lui.

Ketika Yo Jin muncul diikuti oleh ayahnya yang memandang khawatir, Lui-kongcu sudah menyambut­nya dengan dampratan. “Monyet inikah yang telah lancang tangan berani memukuli tiga orang pemuda dusun kami?” Dia membentak sambil menudingkan telunjuk kanannya ke arah muka Yo Jin. “Siapakah namamu?”

Yo Jin tidak mengenal pemuda yang bertubuh jangkung kurus dan berwajah tampan akan tetapi angkuh ini. Akan tetapi tadi ayahnya sudah memberi tahu bahwa tiga orang pemuda berandalan itu datang bersama Lui-kongcu putera kepala dusun timur.Maka dia dapat menduga tetu pemuda tampan jangkung berpakaian mewah ini putera kepala dusun itu.

“Maaf, bukan aku yang memukuli dan mengeroyokku. Aku hanya membela diri saja. Namaku adalah Jin she Yo....”

“Bagus, Yo Jin. Aku adalah Lui-kongcu, putera kepala dusun kami di timur. Engkau telah berani kurang ajar terhadap kami, hayo cepat berlutut minta ampun!”

Bukan watak Yo Jin untuk merendahkan diri karena takut. Dia tidak merasa besalah, maka diapun tidak takut terhadap siapa juga. ”Lui-kongcu, sudah kukatakan bahwa aku tidak bersalah, maka diapun tidak takut terhadap siapa juga. “Lui-kongcu, sudah kukatakan bahwa aku tidak bersalah. Merekalah yang terkenal sebagai pemuda-pemuda berandalan yang suka membikin kacau. Sebaiknya kalau Lui-kongcu sebagai putera kepala dusun, menghukum mereka agar mereka tidak lagi menjadi berandalan-berandalan yang suka mengacau ke kampung-kampung.”

“Tutup mulutmu! Engkau berani membantah dan melawan aku, ya?” bentak Lui-kongcu marah sambil melangkah maju mendekati Yo Jin. “Hayo lekas berlutut!”

“Aku tidak bersalah apa-apa, kenapa harus berlutut?” jawab Yo Jin dengan sikap tenang dan alis berkerut, pandang mata tajam ditujukan kepada wajah kongcu itu.

“Engkau melawanku?” Lui-kongcu membentak, lalu membuat gerakan memasang kuda-kuda dengan gagah dan membentak, “Haiiiit....!” Lalu tubuhnya menerjang ke depan, tangannya yang dikepal memukul bertubi-tubi.

Yo Jin menyangka bahwa anak kepala dusun ini akan memukulnya, dan dia pun merasa sungkan untuk membalas, maka dia menangkis sedapatnya. Karena tidak membalas, dan karena dia masih lelah, beberapa pukulan mengenai tubuhnya, dan tentu saja terasa nyeri karena mengenai bagianyang memar dan masih biru. Lui-kongcu melanjutkan serangannya sambil berteriak-teriakseperti lagak seorang jagoan tulen.

Karena kesakitan, Yo Jin lalu melawan. Dia membalas dengan pukulan tangan kanan yang mengenai dada Lui-kongcu sehingga tubuh si jangkung ini terpelanting! Kiranya, hanya lagak saja seperti jagoan. Memang dia pernah belajat silat, akan tetapi orang seperti dia mana ada ketekunan belajar secara sungguh-sungguh? Dia belajar hanya untuk berlagak, makayang dihafalnya hanyalah pemasangan kuda-kuda dan gerakan-gerakan yang nampak indah, namun karena dia tidak tekun mempelajari dasar-dasarnya, maka semua gerakannya itu kosong belaka, bagaikan bungkusan indah yang tidak ada isinya. Maka, begitu Yo Jin membalas, diapun terkena pukulan dan terpelanting. Melihat demikian, tiga orang pemuda berandalan itupun maju mengeroyok. Tentu saja Yo Jin yang masih belum pulih kesehatannya, dan masih lelah itu, harus menerima hajaran empat orang pengeroyoknya, dipukul dan ditendang sampai babak belur. Namun, dengan gigih dia membela diri dan melawan, sedikitpun tidak pernah mengeluh.

“Heiii, jangan berkelahi! Jangan pukuli anakku....!” Ayah Yo Jin yang melihat puteranya dipukuli orang lalu maju untuk melerai, akan tetapi ia disambut oleh pukulan-pukulan yang membuat ia roboh terpelanting pula!

Melihat itu, Siu Kwi lalu keluar dari tempat persembunyiannya. “Tahan, jangan berkelahi!”

Mendengar suara perempuan, empat orang pengeroyok itu menghentikan amukan mereka dan Lui-kongcu memandang bengong ketika dia melihat seorang wanita muda yang amat cantik jelita berdiri di situ. Tiga orang pemuda berandalan itupun memandang an mereka segera mengenal wanita itu.

“Kongcu, itulah pacarnya yang cantik!“

Lui-kongcu tidak perlu diberitahu lagi karena matanya yang berminyak sudah melahap kecantikan yang berada di depan matanya dan diapun sudah dapat menduga bahwa tentu wanita ini yang menjadi gara­-gara keributan itu, yang diperebutkan dan dia tidak menyalahkan anak buahnya kalau tergila-gila kepada wanita ini. Memang cantik jelita!

“Yo Jin, aku akan mengampunimu kalau engkau mau memberikan pacarmu ini kepadaku, setidaknya kupinjam dia untuk beberapa malam lamanya!” kata Lui-kongcu tanpa malu-malu lagi.

Dapat dibayangkan betapa panas rasanya hati Yo jin. Dia sudah jatuh cinta kepida Siu Kwi dan kini mendengar kata-kata yang tidak sopan dan kurang ajar itu, yang ditujukan kepada Siu Kwi, tentu saja dia menjadi marah. “Lui-kongcu, andai kata ia itu pacar­ku, tunanganku atau isteriku, tentu takkan kuserahkan kepadamu, dan akan kuhajar engkau yang berani bersikap kurang ajar! Akan tetapi sayang, ia hanya seorang sahabat baru dan seorang tamuku yang ter­hormat.”

Mendengar jawaban ini, Lui-kongcu dan tiga orang pemuda berandalan itu saling pandang. Si gen­dut, seorang di antara tiga pemuda berandalan itu, berseru tak percaya.

“Kau bohong! Kalau bukan pacarmu, kenapa engkau membelanya sampai mati-matian?”

“Hemmm, orang-orang macam kalian ini tentu me­rasa heran, akan tetapi orang-orang sopan tentu me­ngerti bahwa sudah sepatutnya kalau seorang pria menghormati wanita, membelanya dan bukan seperti kalian yang hendak menghinanya dan mempermainkannya!”

“Ha-ha-ha, bocah petani dusun tolol! Orung macam engkau mau memberi kuliah kepadaku? Kalau ia bukan apa-apamu, sudah, mundur kau dan jangan turut campur!” kata Lui-kongcu yang diam-diam merasa jerih juga melihat kenekatan Yo Jin yang agaknya tidak mengenal takut dan sakit. Ia menghampiri Siu Kwi dan tersenyum menyeringai sambil memasang aksi.

“Nona cantik, marilah engkau ikut bersamaku. Aku adalah Lui-kongcu, putera kepala dusun di timur yang kaya raya. Engkau tentu akan mengalami kesenangan kalau ikut bersamaku. Jadilah tamuku yang terhormat dan kita bersenang-senang bersama. Marilah, manis!” Dia mengulur tangan hendak meme­gang tangan Siu Kwi. Agaknya, pemuda ini selalu yakin bahwa setiap orang perempuan tentu akan tun­duk dan memyambut ajakannya dengan girang. Wanita mana yang dapat menolaknya? Dia masih muda, tam­pan dan gagah, kaya raya dan ayahnya menjadi kepala dusun yang hidupnya seperti seorang raja kecil saja di dusunnya! Sudah terlalu banyak wanita yang tunduk kepadanya, seperti kerbau dicocok hidungnya kalau dia merayu dan mengajak mereka.

Siu Kwi ingin sekali tampar menghancurkan ke­pala Lui-kongcu itu. Akan tetapi ia masih terus sadar dan teringat bahwa ia kini harus menjadi seorang yang baru sama sekali, tidak boleh lagi mempergunakan il­munya untuk mengulangi lagi kehidupan sesat dan kejam seperti yang sudah-sudah. Akan tetapi, tentu saja ia tidak dapat memadamkan kemarahan yang berkobar di dalam dadanya melihat sikap anak kepala dusun itu.

“Tidak, aku tidak mau pergi ke mana-mana, ti­dak mau pergi meninggalkan Jin-toako yang membu­tuhkan perawatanku. Kalian pergilah dari sini dan jangan membikin kacau!”

Lu-kongcu tertawa dan membelalakkan matanya. “Aih, kenapa begitu, nona manis? Apakah engkau lebih suka tinggal di sini, di tempat yang kotor dan amat tidak pantas bagimu ini? Dan lihat si tolol Yo Jin ini, seorang petani busuk yang kotor dan bo­doh. Tidak patut sama sekali engkau bersahabat dengan orang tolol macam ini. Untuk menjadi bu­jangmupun, dia belum pantas!”

Siu Kwi menjadi marah bukan main. “Huh, toa­ko Yo Jin ini adalah seorang laki-laki sejati. Dia seri­bu kali lebih baik dari pada kamu dan kawan-kawan­mu. Pergilah dan jangan menganggu kami lagi!”

Mendengar ucapan ini, Lui-kongcu menjadi ma­rah. Mukanya merah sekali. Pemuda dusun itu seri­bu kali lebih baik dari dia? “Hajar mampus petani busuk ini, baru kularikan gadis tak tahu diri itu!” katanya dan diapun sudah menyerang Yo jin dengan marah, dibantu kawan-kawannya. Dan kini, mereka mencabut pisau yang sudah mereka persiapkan lebih dulu.

“Jin-toako, kaupukul mereka sampai puas!” tiba­tiba Siu Kwi berkata. “Cepat hajar mereka, toako!”

Tentu saja Yo Jin terheran mendengar seruan itu, akan tetapi dia menjadi semakin heran dan girang melihat betapa empat orang pemuda yang mengeroyoknya itu tiba-tiba saja menghentikan gerakan-gerak­an mereka dan ketika dia memukul mereka, empat orang itu sama sekali tidak melawan, tidak menangkis atau mengelak. Dia tidak tahu bahwa dengan gerak­an yang luar biasa cepatnya, Siu Kwi telah membuat mereka untuk sementara lumpuh dengan sambitan­nya, mempergunakan kerikil-kerikil kecil sekali. Enak saja Yo Jin membabat mereka dengan kaki tangannya, memukul dan menendang sampai mereka itu tergu­ling-guling. Ketika pengaruh totokan sudah hilang dan mereka mampu bergerak kembali, mereka sudah menjadi ketakutan.

Lui-kongcu bangkit berdiri, sempoyongan dan memandang kepada Yo Jin dan Siu Kwi bergantian, kemudian dia memandang kepada ayah Yo jin dan ber­kata sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Siu Kwi, “Ia seorang siluman! Ya, seorang siluman betina yang jahat dan akan menghancurkan keluargamu!” Setelah berkata demikian, Lui-kongcu melari­kan diri diikuti tiga orang pemuda berandalan. Tadi, tiga orang pemuda itu sudah menceritakan betapa mereka mengalami hal yang aneh ketika mencabut pisau sehingga mereka dihajar oleh Yo Jin. Sekarang, kembali mereka mengalami hal yang sama dan juga Lui-kongcu mengalaminya. Maka, mereka semua condong percaya kepada dugaan pemuda berandalan kepala besar bahwa agaknya Yo Jin dibantu siluman, dan siapa lagi kalau bukan perempuan cantik itu si­lumannya?

“Mereka sungguh kurang ajar!” bentak Yo Jin marah ketika mendengar wanita yang telah menjatuh­kan hatinya dimaki siluman.

“Biarkan mereka pergi, Jin-toako. Mereka adalah anak-anak yang masih bodoh dan hanya mengandal­kan kedudukan orang tua dan kekayaan saja. Wah, luka-lukamu lecet kembali, mari kuberi obat lagi.”

“Baik, Kwi-moi dan terima kasih atas kebaikan­mu.” Dua orang muda itu hendak masuk kembali ke dalam rumah.

“Nanti dulu!” Tiba-tiba terdengar ayah Yo Jin membentak. Orang tua ini sungguh amat terpengaruh oleh kata-kata yang ditinggalkan oleh Lui-kongcu. Pada jaman itu, memang semua orang amat percaya akan tahyul, percaya akan siluman-siluman yang suka mendatangkan gangguan terhadap kehidupan manusia, percaya pula akan dewa-dewa pelindung dan segala macam tahyul lagi. Mendengar ucapan Lui-kongcu, ayah inipun terkejut dan sejak tadi dia sudah menga­mati Siu Kwi penuh perhatian. Seorang wanita yang amat cantik, dengan pakaian mewah dan perhiasan emas permata yang mahal-mahal. Dan wanita seperti itu mau mendekati puteranya, seorang petani biasa! Dan pula, wanita itu muncul begitu tiba-tiba. menga­ku tak memiliki keluarga, tak memiliki rumah tinggal. Mana mungkin ini? Seorang wanita gelandangan tidak sekaya ini, apa lagi secantik ini. Dan mengapa Yo Jin tiba-tiba saja menjadi begitu nekat membela­nya sehingga anak itu bahkan berani menentang seorang putera kepala dusun? Agaknya anaknya itu sudah tergila-gila kepada siluman ini, yang tentu saja telah mempergunakan ilmunya untuk menundukkan Yo Jin. Puteranya itu walaupun sudah berusia dua­puluh lima tahun, akan tetapi dia yakin masih seorang perjaka tulen dan menurut dongeng, siluman memang suka mengubah diri menjadi seorang perempuan can­tik untuk menghisap sari tenaga dari tubuh seorang perjaka! Dan menurut dongeng, seorang perjaka yang terpikat oleh siluman, akan mati kehabisan darah, bahkan keluarganya juga akan ikut tertimpa malapetaka!

Mendengar bentakan ayahnya dan kini melihat betapa ayahnya memandang dengan mata terbelalak kepada Siu Kwi, Yo Jin merasa heran. “Ada apakah, ayah?”

“Tidak boleh.... nona ini tidak boleh mema­suki rumah kita....!” Lalu orang tua itu menjadi ketakutan ketika teringat bahwa seorang siluman amat sakti dan akan mampu membunuhnya hanya dengan pandang matanya, dan juga amat kejam, maka cepat dia menjura kepada Siu Kwi. “Nona, harap maafkan kami.... harap suka mengasihani seorang tua seperti aku, seorang duda yang hidup berdua de­ngan anakku Yo Jin. Harap kau suka memaafkan ka­mi dan jangan.... jangan menjadikan anakku korban.... carilah korban lain, masih banyak ter­dapat perjaka di dusun ini dan dusun-dusun lain­nya....”

Biarpun Yo Jin dan Siu Kwi terheran-heran mendengar ucapan yang tersendat-sendat itu, mereka berdua maklum apa yang dimaksudkan oleh orang tua itu. Kakek itu menuduh Siu Kwi siluman!

“Ayah....! jangan begitu....”

“Lopek, aku mengerti apa yang kaumaksudkan. Engkau menuduh aku seorang siluman betina, bukan­kah begitu?” kata Siu Kwi, suaranya terdengar dingin menusuk. Wanita ini memang marah bukan main. Gatal-gatal kedua tangannya. Ia telah diusir, bahkan dituduh seorang siluman. Kalau dulu, bebe­rapa hari yang lalu saja, tak mungkin ia dapat meng­ampuni orang yang berani mengusirnya dan menuduh­nya siluman. Tentu ia akan membunuh orang itu. Akan tetapi, ia kini hanya merasa marah dan juga berduka sekali. Ayah pria yang menjatuhkan hatinya kini mengusirnya dan menuduhnya siluman.

Kakek itu menjura.     “Maafkan.... maafkan kami....”

Siu Kwi tidak dapat menahan kesedihannya. Ia terisak lalu berlari pergi.

“Kwi-moi....! Tunggu, jangan tinggalkan aku, Kwi-moi....!” Yo Jin berteriak dan me­ngejar.

“Yo Jin, berhenti kau!” Ayahnya menghardik. Selama ini, Yo Jin hanya hidup berdua dengan ayah­nya, maka tentu saja dia amat menyayang ayah ini dan mentaatinya. Kini, mendengar bentakan ayahnya, dia seperti tertahan oleh sesuatu yang amat kuat, ber­henti berlari, menoleh dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut.

“Ayah...., Kwi-moi....!” Dan pemuda inipun terguling, pingsan. Setelah mengalami penge­royokan sampai dua kali, menerima gebukan-gebukan yang amat banyak, dan hanya sentuhan dan sikap Siu Kwi saja yang menguatkan hatinya sehingga dia dapat bertahan, kini dia tidak dapat menahan pukul­an batin melihat ayahnya menuduh kekasihnya itu siluman dan Siu Kwi pergi meninggalkannya!

***

“Orang she Yo, sungguh besar sekali nyalimu! Engkau membiarkan anakku yang kurang ajar itu untuk memukul dan melukai Lui-kongcu, putera ke­pala dusun timur! Sungguh, engkau membikin malu aku yang menjadi kepala dusun di sini!” kata kepala dusun Tong kepada kakek Yo. Dia menerima penga­duan dari rekannya, kepala dusun Lui dan karena me­rusa malu hati terhadap rekannya, maka dia cepat memanggil kakek Yo datang menghadap dan mene­gurnya dengan keras. “Sekarang juga Yo Jin harus menyerahkan diri agar dapat kuantarkan kepada kepala dusun Lui untuk menerima hukuman!”

Tentu saja kakek Yo terkejut mendengar ini dan dia cepat-cepat memberi hormat. “Mohon beribu ampun dan kebijaksanaan Tong-thungcu,” katanya. “Sesungguhnya anak saya Yo Jin sama sekali tidak bersalah, akan tetapi dia terbujuk oleh siluman betina. Untung bahwa saya telah berhasil mengusir siluman betina itu dan menyelamatkan anakku dari ancaman malapetaka.”

Kepala dusun itu tertegun. “Siluman....? Apa maksudmu?”

Kakek Yo lalu menceritakan tentang munculnya siluman betina yang menyamar sebagai seorang wanita cantik sehingga menjadi perebutan antara anaknya dan Lui-kongcu dan terjadi perkelahian. Akan tetapi, anaknya itu terbujuk oleh siluman dan dalam keadaan tidak sadar.

“Kalau terlambat sedikit saja saya mengusir siluman itu, tentu anakku telah mati. Siluman itu sudah saya usir, dan harap Tong-thungcu suka membu­juk Lui-thungcu agar mengampuni anak saya yang sebenarnya tidak salah karena berada dalam pengaruh siluman dan tidak sadar.”

“Ah, jangan mencari alasan dengan cerita yang

gila!” bentak kepala dusun Tong. “Siapa mau percaya omonganmu? Hayo bawa Yo Jin ke sini, atau­kah aku harus ke sana sendiri untuk menangkapnya?”

“Ah, Tong-thungcu tidak percaya? Marilah, ha­rap dilihat sendiri keadaan anak saya yang sampai sekarang masih belum sadar benar,” kata kakek Yo. Kepala dusun itu merasa heran dan diapun segera mengikuti kakek Yo, dikawal oleh tiga orang anak buahnya.

Setelah tiba di dalam rumah kakek Yo, kepala dusun Tong melihat betapa Yo Jin benar-benar bera­da dalam keadaan sakit dan tidak sadar. Pemuda itu berbaring demam gelisah di atas pembaringan di da­lam kamarnya. Mukanya merah sekali, tubuhnya panas dan pemuda itu mengigau, memanggil-manggil “Kwi-moi!” berkali-kali.

“Nah, begitulah keadaannya, thungcu. Yang dipanggilnya itu adalah nama siluman itu. Maka harap Tong-thungcu suka mengasihaninya dan suka mem­bujuk Lui-thungcu.” Kakek Yo dengan suara mohon dikasihani minta kebijaksanaan kepala dusun Tong sambil menyerahkan bungkusan yang terisi seluruh simpanan uangnya kepada pembesar itu.

Mula-mula kepala dusun itu berpura-pura menolaknya. Akan tetapi, melihat bahwa isi buntalan itu cukup banyak, diapun menyuruh pengawalnya untuk menerima bungkusan itu sambil berkata, “Sebenarnya, berat bagiku untuk memenuhi permintaanmu. Aku merasa malu hati kepada rekanku, kepala dusun Lui. Akan tetapi, melihat keadaan anakmu, aku percaya dan biarlah saya akan membicarakan hal ini dengan dia.”

Kakek Yo merasa girang dan berterima kasih, dan sambil membungkuk-bungkuk dia mengantar kepala dusun itu meninggalkan rumahnya sampai di luar pe­karangan. Dia rela kehilangan semua simpanannya asal anaknya tidak ditangkap.

Kakek Yo benar-benar percaya bahwa anaknya sakit karena berdekatan dengan siluman. Hawa si­luman yang menimbulkan sakit panas itu, maka dia­pun mengundang seorang dukun untuk menyembuh­kan puteranya. Dukun itu seorang tosu yang suka mempelajari ilmu klenik dan sang tosu, dengan biaya yang cukup besar tentunya, segera melakukan sem­bahyangan di situ, menggunakan darah anjing dipercik-percikkan di empat penjuru rumah, berkemak-ke­mik membaca mantera dan dengan rambut riap-riapan dan pedang di tangan dia berjalan pula mengitari ru­mah sampai tujuh kali. Akhirnya dia meninggalkan rumah kakek Yo sambil mengantongi hadiah yang cukup banyak, juga sebungkus masakan yang lezat.

Akan tetapi, penyakit Yo Jin tidak menjadi sem­buh, bahkan setelah lewat tiga hari, keadaannya menjadi semakin payah. Dan pada malam hari ke tiga itu, setelah kakek Yo tertidur nyenyak saking lelah­nya, sesosok bayangan hitam berkelebat di atas gen­teng rumah itu. Bayangan itu melakukan pengintaian dari atas genteng, membuka genteng di atas kamar Yo Jin dan ia mendekam sambil mengintai ke dalam kamar. Dilihatnya Yo Jin rebah terlentang dengan muka merah akan tetapi kurus sekali, dan pemuda itu bergerak gelisah ke kanan kiri dengan gerakan lemah.

“Kwi-moi.... Kwi-moi.... jangan tinggalkan aku.... Kwi-moi....”      Demikianlah dia mengigau berkali-kali, mengulang-ulang nama itu dengan bisikan-bisikan lemah.

“Ohhh....!” Bayangan itu terisak dan mena­ngis. Bayangan itu adalah Siu Kwi dan iapun cepat melayang turun dan memasuki kamar Yo Jin. Ditubruknya Yo Jin dan dirangkulnya tubuh yang panas itu.

Yo Jin membuka kedua matanya dan melihat wa­jah orang yang dirindukannya, diapun merangkul. “Kwi-moi....!”

“Jin-toako! Aihh.... toako, kau kenapa­kah....?”

“Kwi-moi, tangan tinggalkan aku lagi....” pemuda itu mengeluh lemah.

“Tidak, tidak      ah,.... betapa bodohku telah meninggalkanmu.” Ia mencium dahi pemuda itu. “Hemm, badanmu panas. Engkau demam.” Cepat ­Siu Kwi memeriksa keadaan Yo Jin dan wanita yang pandai dan banyak pengalaman ini maklum bahwa pemuda itu terserang demam karena luka-lukanya yang tidak terawat kini membengkak dan keracunan! Cepat ia bekerja, mencuci luka-luka itu dan menaruh­kan obat luka yang selalu dibawanya, dan juga me­nyuruh Yo Jin menelan dua butir pel kuning. Setelah menelan pel, Yo Jin tidur pulas dengan kepala di atas pangkuan Siu Kwi.

Siu Kwi duduk di tepi pembaringan, mengelus-elus rambut dikepala Yo Jin yang kusut. Ia meman­dangi wajah yang kurus itu dan tak terasa dua butir air mata menetes turun, keluar dari kedua matanya. Hatinya diliputi keharuan yang amat mendalam. Se­lama tiga hari ini, ia sendiri tersiksa sekali. Ia berkeliaran di hutan-hutan dan gunung-gunung, mencoba untuk melupakan Yo Jin, namun tidak berhasil sama sekali. Makin dilupakan, makin teringat dan selama tiga hari ini ia hampir tidak makan dan tidak tidur sama sekali. Akhirnya, iapun tidak kuat dan memak­sa diri kembali ke dusun itu dan di waktu malam te­lah menggelapkan dusun, iapun mendatangi rumah pria yang dicintanya untuk menengok dengan diam-diam. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat Yo Jin ternyata dalam keadaan sakit yang cukup payah. Dan lebih terharu lagi ketika ia men­dengar igau pemuda itu dalam sakitnya. Baru ia tahu bahwa sepeninggalnya, Yo Jin jatuh sakit dan terus mencari-cari dan memanggil-manggilnya!

“Ah, Jin-toako.... aku cinta padamu.... aku cinta padamu....“ bisiknya berkali-kali dan ia mendekap kepala di pangkuannya itu seperti men­dekap sebuah mustika yang takkan pernah dilepaskan­nya lagi.

Karena ia sendiri selama tiga hari kurang tidur, setelah kini bertemu kembali dengan Yo Jin, bahkan pemuda itu tertidur di pangkuannya, hati Siu Kwi merasa demikian tenteram sehingga iapun memejam­kan matanya, bersandar pada dinding dan dengan ke­pala pemuda itu masih di atas pangkuannya, iapun tertidur pulas.

Seperti itulah keadaan mereka ketika pada keesokan harinya kakek Yo memasuki kamar anaknya. Dia berdiri terpukau di ambang pintu, terbelalak, bahkan sempat menggosok mata dengan punggung tangan beberapa kali seperti tidak percaya akan penglihatan­nya sendiri. Perempuan siluman itu telah berada da­lam kamar anaknya!

Agaknya kehadiran kakek ini cukup untuk membangunkan Siu Kwi. Ia membuka matanya dan meli­hat kakek itu di ambang pintu kamar, ia segera ter­ingat akan keadaannya. Wajahnya menjadi merah sekali dan dengan lembut ia menurunkan kepala Yo Jin dari atas pangkuannya.

“Aku....     aku datang untuk mengobati Jin-toako yang ternyata terserang demam karena luka-lukanya,” katanya lirih kepada kakek Yo. Kakek Yo masih tidak mampu bersuara. Ada perasaan marah akan tetapi juga takut terhadap perempuan di depan­nya.

Pada saat itu, Yo Jin juga terbangun. “Kwi-moi keluhnya dan ketika dia membuka mata dan melihat Siu Kwi telah berada di dekat pembaringan, dia cepat menangkap tangan gadis itu. “Ah, Kwi-moi, benarkah engkau ini? Engkau telah datang kembali?” tanyanya dengan suara gemetar.

Siu Kwi meremas tangan pemuda itu. “Aku da­tang untuk mengobatimu, Jin-toako.

“Ah, terima kasih, Kwi-moi. Aku sudah sembuh! Melihat engkau datang saja aku sudah sembuh sama sekali. Lihat, aku sudah bisa duduk!” Seperti seorang anak kecil yang kegirangan, pemuda itu bangkit duduk walaupun dengan tubuh yang masih lemas. Hati Siu Kwi merasa terharu bukan main.

Kakek Yo tidak dapat menyangkal bahwa anaknya benar-benar kelihatan sembuh. Akan tetapi, hal ini bahkan memperkuat dugaannya bahwa Siu Kwi ten­tulah seorang siluman tulen yang sengaja membuat Yo Jin sakit dan kini kembali untuk mengobati Yo Jin agar dia dapat percaya! Akan tetapi, untuk me­nuduh demikian, dia tidak berani. Pertama, diapun ingin melihat anaknya sembuh dulu, dan ke dua, dia mulai merasa ngeri dan takut terhadap Siu Kwi.

“Kwi-moi, jangan kau pergi lagi, Kwi-moi....” kata Yo Jin sambil menggenggam tangan wanita itu.

“Tidak, Jin-toako. Aku kembali uutuk menemani­mu dan merawatmu sampai sembuh.”

“Sampai sembuh dan engkau akan pergi lagi? Tidak, Kwi-moi, engkau tidak boleh pergi, selamanya, dari sampingku!” Genggaman tangan Yo Jin sema­kin erat seolah-olah dia benar-benar merasa khawatir kalau-kalau wanita itu akan pergi lagi.

Siu Kwi memandang ke arah kakek Yo. “Kalau saja Yo-lopek mau mengijinkannya.”

“Ayah, biarkan Kwi-moi di sini. Aku.... aku tidak dapat hidup tanpa ia, ayah!” Yo Jin berkata dengan suara lantang dan nekat. Sikap ini sungguh membuat Siu Kwi terharu sekali dan kembali dua titik air mata runtuh dari matanya yang berlinang-linang. Pemuda ini belum pernah menyatakan cinta, akan tetapi setiap katanya, setiap pandang mata, sela­lu penuh dengan sinar cinta yang mendalam.

Kakek itu menghela napas dan memutar otaknya. Dia tentu saja tidak setuju, akan tetapi tidak berani mengaku terus terang di depan siluman itu. Akhirnya dia memperoleh akal dan berkata, “Baiklah, biar ia merawatmu sampai engkau sembuh. Setelah engkau sembuh, baru kita bicara tentang itu.” Setelah ber­kata demikian, kakek Yo lalu meninggalkan kamar itu.

Setelah kakek itu memberi perkenan, bukan main lega dan girang rasa hati Siu Kwi. Ia melepaskan tangan Yo Jin dan berkata, “Nah, sekarang engkau ha­rus tidur lagi. Aku akan membuatkan bubur untuk­mu, engkau harus makan yang banyak, selalu minum obat, dan banyak tidur....“

“Akan tetapi, aku ingin bercakap-cakap denganmu, Kwt-moi....”

“Hsshhh, belum waktunya mengobrol. Ingat, aku perawatmu dan kau harus mentaati semua per­mintaanku!” Ia mengangkat telunjuknya seperti orang mengancam, dengan sikap yang manja dan ge­nit saking girang hatinya.

Yo Jin tertawa. “Baiklah, baiklah. Aku akan mentaatimu dan menutup mulutku.”

“Heii, jangan ditutup terus. Tidak enak kalau kau kelihatan marah dan tidak mau mengajak bicara padaku.” Mereka tertawa dan di dalam suara ketawa mereka terkandung keriangan. Keadaan hatinya saja sudah merupakan obat yang amat mujarab bagi pe­nyakit Yo Jin.

Selama tiga hari, Siu Kwi merawat Yo Jin dengan amat tekunnya. Ia juga mencucikan pakaian Yo Jin. Kakek Yo tetap tidak mau dibantunya dan bahkan tidak membolehkan Siu Kwi mencucikan pakaiannya yang kotor! Pendeknya, dia tidak mau bersentuhan dengan siluman! Juga segala yang dimasak oleh Siu Kwi, kakek itu tidak mau menyentuhnya. Dia selalu makan di luar, di rumah teman-teman atau di warung nasi selama Siu Kwi berada di rumahnya.

***

Ketahyulan membuat orang dapat melakukan hal­ yang amat bodoh. Ketahyulan muncul kalau orang mudah percaya kepada diri sendiri, tidak mau melihat kenyataan yang ada melainkan dipermainkan oleh khayal, mengagungkan hal-hal yang dianggap aneh dan berada di luar pengertian mereka. Jelaslah bahwa ketahyulan adalah suatu kebodohan dan orang dapat melakukan segala hal yang tidak masuk akal.

Kakek Yo masih tebal perasaan takut terhadap setan-setan, sebagai akibat dari ketahyulannya. Menghadapi kehadiran Siu Kwi, dia percaya sepenuhnya bahwa wanita itu adalah siluman. Banyak hal yang dianggapnya cukup menjadi bukti bahwa Siu Kwi adalah siluman. Pertama, asal-usulnya yang tidak jelas, kemunculannya begitu saja. Ke dua, kecantikannya yang menyolok dan betapa orang yang secantik dan sekaya itu, melihat kemewahan pakaiannya, dapat ja­tuh cinta kepada anaknya, seorang pemuda tani du­sun. Ke tiga, kepandaiannya mengobati. Ke empat, kemunculannya kembali yang aneh, tahu-tahu berada di dalam kamar! Sungguh seperti setan!

Karena rasa takutnya, kakek Yo lalu melaporkan kembalinya Siu Kwi kepada kepala dusun Tong secara diam-diam dan mendengar bahwa di rumah kakek Yo telah datang siluman yang ditakuti itu, kepala dusun Tong cepat memberi kabar kepada kepala dusun Lui. Terjadilah persekongkolan antara kakek Yo dan ke­dua orang pejabat itu untuk bersama-sama mengha­dapi siluman

Si tosu dusun lalu dihubungi dan tosu inilah yang mendatangkan tosu-tosu lain, tokoh-tokoh yang akan membuat dua orang kepala dusun itu sendiri terkejut setengah mati kalau mengenal mereka karena para tosu itu adalah tokoh-tokoh besar Pek-lian-Liuw (Agama Teratai Putih) dan Pat-kwa-kauw (Agama Segi Delapan) yang condong ke arah golongan sesat dan terkenal pula sebagai pemberontak-pemberontak.

Setelah mereka yang bersekongkol itu mengada­kan pertemuan mengatur siasat, kakek Yo lalu men­dapat tugas untuk membawa Yo Jin ke rumah kepala dusun Lui yang menjadi sarang pertemuan mereka. Mereka akan melihat gelagat dulu sebelum mengguna­kan kekerasan karena menurut para tosu, siluman da­pat memiliki kesaktian yang sukar dikalahkan.

Demikianlah, setelah Yo Jin kelihatan sembuh benar, ayahnya lalu mengajaknya untuk pergi menghadap ke rumah kepala dusun Lui. “Kita harus pergi ke sana, anakku. Memang, dengan bijaksana kepala dusun Lui telah memaafkanmu, akan tetapi yang memintakan maaf adalah aku. Kalau engkau sendiri yang datang menghadap dan minta maaf, tentu dia akan lebih senang hatinya dan selanjutnya, kita tidak akan mengalami gangguan lagi.”

Siu Kwi mendengarkan percakapan itu dan ia mengerutkan alisnya. “Jin-toako, kuharap engkau berhati-hati menghadapi orang-orang seperti Lui-kongcu itu. Orang-orang seperti itu tidak mudah melupakan kekalahan dan selalu menaruh dendam, dan mereka mungkin akan menggunakan siasat untuk menjebak­mu. Kurasa lebih baik kalau engkau tidak pergi ke sana.”

Yo Jin tadinya sudah siap mengikuti ayahnya. Mendengar ucapan Siu Kwi, dia menjadi ragu-ragu. “Kurasa benar juga pendapat Kwi-moi, ayah. Meng­apa aku harus menghadap ke sana kalau aku tidak bersalah apa-apa terhadap mereka? Pula, mereka su­dah diam saja, berarti sudah tidak ada apa-apa. Kuha­rap saja Lui-thungcu tidak jahat seperti puteranya dan dapat menyadari kesesatan puteranya dan dengan kesadaran itu memaafkan aku. Kalau aku muncul, jangan-jangan dia malah menjadi marah kembali dan melakukan tindakan yang tidak menguntungkan.

Tentu saja kakek Yo kecewa bukan main dan hati­nya mendongkol. Puteranya itu selalu taat kepadanya, akan tetapi setelah siluman itu mencengkeram dan menguasainya, kini berani membangkang terhadap perintahnya.

“Yo Jin....,” bentaknya marah. Dia hanya berani memarahi anaknya, sedangkan terhadap Siu Kwi, dia memandangpun tidak. “Selama ini engkau seorang anak penurut, akan tetapi sekarang engkau berani membantah kehendak ayahmu! Baik, engkau boleh tidak menurut kepadaku, akan tetapi selamanya eng­kau tidak perlu mentaati aku lagi!” Berkata demi­kian, kakek itu lalu memutar tubuh dan keluar.

“Ayah....!” Yo Jin berseru dengan kaget, cepat dia lari keluar mengejar ayahnya. Setelah tiba di luar dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya. “Ayah, maafkan aku, bukan maksudku untuk membantah....“

“Cukup, cepat berganti pakaian dan ikut aku ke rumah Lui-thungcu atau.... jangan sebut aku ayah lagi!“

Tentu saja Yo Jin tidak berani membantah. Dia masuk lagi ke dalam kamar dan berganti pakaian sambil berkata kepada Siu Kwi, “Kwi-moi, kauma­afkan aku. Aku terpaksa pergi sebentar ikut ayah. Dia marah dan kau tentu maklum bahwa aku tidak mungkin menentang kehendaknya.”

Siu Kwi tersenyum sabar. “Aku mengerti, toako. Pergilah, aku akan menanti kembalimu di sini dengan sabar hati.”

Lega rasa hati Yo Jin mendengar dan melihat si­kap Siu Kwi itu dan diapun segera pergi bersama ayahnya, meninggalkan dusun mereka yang terletak di sebelah selatan itu untuk berkunjung kepada kepa­la dusun Lui di dusun sebelah timur. Di sepanjang perjalanan itu, kakek Yo memperoleh kesempatan untuk menasihati anaknya. Dia memperingatkan anaknya tentang bahaya yang mengancam dirinya ka­lau semakin akrab dan dekat dengan wanita cantik yang menjadi tamu mereka.

“Sadarlah engkau, anakku,” demikian dia menu­tup nasihatnya yang agaknya tidak diperdulikan oleh Yo jin, didengarkan tanpa dijawab. “Engkau sudah berada dalam cengkeramannya, engkau sudah dibikin mabok oleh hawa siluman. Masih untung bahwa se­lama ini engkau belum timur bersama siluman itu, ka­rena kalau hal itu terjadi, akan celakalah engkau. Sa­dar dan mundurlah sebelum terlambat, anakku.”

Biarpun Yo Jin maklum bahwa ayahnya membujuknya untuk menjauhi Siu Kwi terdorong oleh rasa sayang karena ayahnya tidak ingin melihat dia celaka, akan tetapi hatinya terasa panas dan tidak enak mendengar betapa ayahnya yakin bahwa Siu Kwi adalah seorang siluman.

“Ayah, sudah beratus kali kukatakan bahwa Ciong Siu Kwi bukan seorang siluman, melainkan se­orang wanita yang patut dikasihani, yang berhati mulia.”

“Tapi tosu itu....“

“Persetan dengan tosu tahyul itu, ayah! Dengar, ayah. Sudah beberapa lama aku mengenal Siu Kwi dan belum pernah satu kalipun ia melakukan hal yang bukan-bukan. Ia selalu sopan dan merawatku dengan teliti dan tekun. Ia suka kepadaku, hal itu amat ku­harapkan dan nampaknya begitu, dan aku.... cinta padanya, ayah, akan tetapi selama ini belum per­nah ia memperlihatkan perasaannya dengan perbuat­annya yang melanggar susila. Ia seorang wanita baik-baik, ayah, seorang wanita yang sudah banyak men­derita.”

Kakek itu mengerutkan alisnya. Agak ragu-ragu juga hatinya setelah mendengar ucapan anaknya itu. Memang tidak ada bukti nyata bahwa Siu Kwi seo­rang siluman. Akan tetapi keganjilan-keganjilan yang terjadi bersama kemunculannya    ia meragu dan hanya menggeleng kepala. Biarlah, biarlah Lui-thungcu yang akan menangani persoalan ini. Dia su­dah berunding dengan kepala dusun itu. Ajakannya kepada puterannya untuk menghadap kepala dusun Lui ini juga termasuk pelaksanaan dari rencana mere­ka. Dia harus mengajak Yo Jin ke sana agar para tosu sakti yang sudah berada di rumah Lui-thungcu dapat mengobati dan membersihkan diri Yo Jin dari hawa siluman itu. Hal ini akan lebih mudah kalau dilakukan sewaktu Yo Jin tidak berada di rumah.

Ayah dan anak ini disambut oleh kepala dusun Lui yang didampingi Lui-kongcu dan juga dua orang tosu tua yang memegang tongkat. Tosu pertama me­makai pakaian yang longgar berwarna putih dan di dadanya terdapat lukisan bunga teratai putih di atas dasar biru yang berbentuk bulat. Tosu ini usianya sudah tujuhpuluhan tahun, mukanya merah sekali seperti berdarah dan tangannya memegang sebatang tongkat berbentuk naga berwarma hitam. Tubuhnya kecil kurus seperti tulang-tulang dibungkus kulit saja. Adapun tosu ke dua, tinggi besar dan perutnya gendut. Pakaiannya berwarna kuning dengan lukisan pat-kwa (segi delapan) di dadanya, Berbeda dengan tosu pertama yang rambutnya digelung ke atas, tosu ke dua ini rambutnya dibiarkan riap-riapan dan karena rambutnya sudah putih semua, maka nampaklah dia seperti seorang yang suci. Juga dia memegang tong­kat hitam berbentuk ular, lebih kecil dari pada tong­kat tosu pertama. Tosu ke dua ini bermuka pucat kekuningan, seperti orang berpenyakitan.

Begitu menghadap kepala dusun ini, kakek Yo yang di tengah perjalanan tadi sudah memberi tahu kepada anaknya apa yang diakukan kalau sudah berhadapan dengan kepala dusun Lui, menyentuh lengan anaknya memberi isyarat.

Yo Jin mengerutkan alisnya. Begitu menghadap kepala dusun itu dan melihat betapa kepala dusun memandangnya dengan sinar mata marah, terutama sekali Lui-kongcu yang jelas sekali kelihatan marah kepadanya dan memandangnya penuh kebencian, hatinya sudah merasa menyesal mengapa dia datang ke tempat ini. Akan tetapi, untuk menyenangkan hati ayahnya, dia lalu melangkah maju dan memberi hor­mat kepada kepala dusun itu bersama puteranya, sam­bil berkata dengan suara lantang.

“Lui-thungcu dan Lui-kongcu, mentaati perintah ayah, maka saya datang menghadap ji-wi untuk mo­hon maaf atas segala hal yang telah terjadi antara saya dan Lui-kongcu.”

Ayah dan anak yang biasanya dihormati orang dan diagungkan seperti keluarga raja kecil itu, mengerutkan alis lebih dalam karena mereka merasa tidak puas melihat sikap Yo Jin.

“Kenapa tidak dari dulu engkau datang mohon maaf?” bentak Lui-kongcu dengan suara marah.

Yo Jin menoleh kepada ayahnya. Sikap pemuda itu sama sekali tidak diduganya, karena menurut ayah­nya, keluarga Lui sudah memaafkannya, akan tetapi mengapa Lui-kongcu masih bersikap demikian keras? Dia melihat ayahnya hanya menunduk, maka dia lalu mengangkat muka menentang pandang mata Lui-kongcu. Dilihatnya kongcu itu memandang kepadanya de­ngan sikap yang amat angkuh. Bangkitlah rasa pena­saran di dalam hati pemuda ini.

“Saya baru saja sembuh dari sakit, dan baru hari ini ayah mengajak saya datang ke sini,” jawabnya, singkat dan suaranya juga sama sekali tidak merendah.

“Brakkk!” Tangan kepala dusun Lui mengge­brak meja di depannya. “Yo Jin, engkau sungguh seorang pemuda yang keras kepala! Di depan kami engkau berani bersikap seperti ini? Hayo lekas ber­lutut!”

Wajah Yo Jin menjadi marah karena penasaran. Ayahnya kembali menyentuh lengannya.

“Anakku, taatilah perintah Lui-thungcu.”

Akan tetapi Yo Jin tidak mau. “Tidak, ayah. Aku tidak bersalah, mengapa aku harus berlutut min­ta ampun dan mohon dikasihani? Tidak, aku mau pulang saja!”

Berkata demikian, Yo Jin lalu membalikkan tu­buhnya dan melangkah pergi tanpa pamit dari depan kepala dusun itu.

“Eh, bocah laknat, berani kau kurang ajar kepadaku? Kembali kau!” bentak kepala dusun itu de­ngan marah.

“Henmm, Yo Jin, kembalilah kau!” tiba-tiba terdengar suara parau dan yang mengeluarkan ucapan ini adalah tosu bermuka merah, tokoh Pek-lian-kauw itu. Dia berkata sambil menggerakkan tangan kiri ke arah Yo Jin Dan terjadilah keanehan! Tiba-tiba saja Yo Jin yang sudah melangkah pergi itu menghen­tikan langkahnya, menoleh dan memutar tubuh lalu kembali ke depan kepala dusun Lui! Pemuda itu sendiri terkejut bukan main. Mendengar suara parau tadi, seolah-olah ada kekuatan aneh yang memaksa­nya, bahkan kemauannya seperti membeku dan kedua kakinya, seluruh tubuhnya bergerak sendiri di luar kehendaknya

Dia kini berdiri di depan kepala dusun itu, berdiri tegak dan mukanya menunjukkan kekerasan hatinya yang enggan tunduk. Kembali tokoh Pek-lian-kauw itu menggerakkan tangan kirinya seperti orang me­lambai.

“Yo Jin, berlututlah di depan Lui-thungcu!”

Sungguh luar biasa sekali. Yo Jin tidak sudi berlutut, akan tetapi tiba-tiba saja kakinya terasa lemas dan diapun jatuh bertekuk-lutut! Terdengar kakek Pek-lian-kauw itu terkekeh girang. Yo Jin mengang­kat mukanya memandang, dan terkejut melihat beta­pa sepasang mata kakek itu mencorong seperti mata kucing.

“Kau....     kau.... bukan manusia, kaulah yang siluman!” bentaknya dan suara ini baru bisa dikeluarkannya setelah dia menguatkan hatinya dan memaksa mulutnya untuk meneriakkan kata-kata ini.

“Bocah kurang ajar kau!” bentak Lui-thungcu sambil menggapai empat orang perajurit pengawal yang berjaga tak jauh dari situ. “Hajar dia!”

“Ha-ha, tak perlu pakai banyak orang, Lui-thungcu. Biar pinto yang menghajarnya!” yang bicara adalah kakek tokoh Pat-kwa-kauw yang bertubuh tinggi besar itu dan sebelum si kepala dusun menja­wab, tangan kirinya sudah menyambar ke depan. A­ngin yang kuat sekali keluar dari gerakan tangan itu dan tubuh Yo Jin terpelanting seperti didorong oleh tenaga yang amat keras! Pemuda itu terkejut, mencoba bangkit kembali, akan tetapi setiap kali tosu Pat­kwa-kauw itu menggerakkan tangan, diapun terban­ting dengan keras. Sampai beberapa kali Yo Jin jatuh bangun dan terbanting keras di atas lantai, berguling­an di depan kepala dusun Lui dan puteranya yang ter­tawa girang melihat betapa musuh yang dibencinya itu kini menjadi bulan-bulan kesaktian dua orang ka­kek itu.

Sementara itu, kakek Yo terkejut sekali melihat betapa anaknya disiksa. Diapun cepat maju berlutut di depan kepala dusun Lui. “Lui-thungcu, maafkan anakku. Perjanjian antara kita tidak begini! Harap jangan pukul lagi puteraku!”

Kepala dusun Lui menjadi marah. “Usir tua bangka yang tidak mampu mengajar anak ini keluar dan penjarakan Yo Jin!”

Empat orang pengawal itu maju, memegang le­ngan kakek Yo dan menariknya bangun. Kakek itu menjadi marah sekali.

“Aturan mana ini? Kita berjanji untuk bersama-sama menghadapi siluman, akan tetapi mengapa anak­ku disiksa dan aku diusir? Lui-thungcu, apakah eng­kau sudah melupakan perjanjian antara kita....?”

“Usir dia! Seret dan pukul agar dia tidak banyak cerewet lagi!” bentak kepala dusun Lui. Memang benar bahwa kakek Yo pernah bersekutu dengannya untuk menghadapi siluman yang berada di rumah ke­luarga Yo, Akan tetapi, kepala dusun itu yang kini dibantu oleh dua orang kakek tosu yang sakti, masih tidak melupakan dendamnya ketika puteranya dipukuli Yo Jin sehingga pulang dengan muka bengkak-bengkak. Kakek Yo hanya melaporkan tentang ada­nya siluman dan dia akan membasmi siluman itu ber­sama dua orang tosu sakti. Kakek Yo tidak dibutuh­kannya sama sekali, bahkan perlu dihajar karena kelu­arga Yo pernah menghina puteranya.

Kini kakek Yo menjadi marah. Dia meronta dan melepaskan pegangan, mengamuk dan memukul ro­boh seorang pengawal. Akan tetapi tiga orang penga­wal itu mengeroyoknya dan tubuhnya yang tua dihu­jani pukulan. Kakek Yo yang tinggi besar dan biasa bekerja berat dan kasar ini, melawan mati-matian dan ternyata tubuhnya memang kuat. Empat orang pe­ngawal itu sampai kewalahan untuk dapat menang­kap dan menyeretnya keluar.

“Ha-ha, biar aku yang melemparnya keluar kata tosu Pit-kwa-kauw yang membiarkan Yo Jin yang tadi terbanting-banting itu kini mendekam lemas dan pusing, lalu dia turun dari atas kursinya, meng­hampiri kakek Yo. Kakek Yo yang sudah menjadi marah sekali, menyambutnya dengan pukulan keras!

“Dukk!” tongkat berbentuk ular itu menotok dan seketika tubuh kakek Yo roboh lemas. Kembali tongkat itu bergerak, mengungkit dan seperti orang melempar kulit pisang menggunakan sebatang tong­kat, sekali tangannya bergerak, tubuh kakek yang tinggi besar itu terlempar keluar pintu dan terbanting roboh dengan keras sekali di luar pintu!

Kakek Yo merangkak bangun, dari mulut dan hidungnya keluar darah. Totokan tongkat yang me­ngenai dadanya tadi membuat dadanya terasa seperti akan pecah dan kekuatan dalam tubuhnya habis. Dia merangkak, tertatih-tatih bangkit.

“Ayahhh....” Yo Jin berteriak melihat be­tapa ayahnya disiksa. Akan tetapi, empat orang pe­ngawal itu telah menangkapnya, mengikat kedua le­ngannya ke belakang dan menyeretnya dari ruangan itu untuk dijebloskan dalam kamar tahanan.

“Ayah peringatkan Kwi-moi....!” Yo Jin masih sempat berteriak dan teriakan ini didengar oleh kakek Yo. Kini baru kakek Yo teringat akan semua ucapan puteranya, betapa jahatnya keluarga Lui dan betapa Siu Kwi adalah seorang wanita yang amat baik, seorang janda yang patut dikasihani dan yang agaknya saling mencinta dengan Yo Jin. Timbul penyesalan di dalam hatinya dan kakek ini maklum kini bahwa per­lakuan keluarga Lui kepada dia dan puteranya adalah karena Lui-kongcu ingin mendapatkan wanita cantik itu! Wanita itu bukan siluman dan kini terancam bahaya! Dia merasa menyesal sekali telah memusuhi Siu Kwi dan dialah yang mendorong puteranya se­hingga kini Yo Jin ditangkap dan Siu Kwi terancam bahaya. Penyesalannya mendatangkan kekuatan baru pada diri kakek ini dan biarpun dia telah menderita luka parah di dalam tubuhnya, namun dia masih mampu mengeluarkan tenaga terakhir untuk berlari pulang secepatnya.

Tenaga kakek Yo habis ketika dia tiba di depan rumahnya dan diapun roboh terguling. Pada saat itu, Siu Kwi yang melihat dia pulang berlari-lari sendirian saja, sudah cepat keluar menyambut. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Siu Kwi melihat kakek itu roboh dan mukanya cepat sekali, napasnya terengah-engah dan dari mulut dan hidungnya keluar darah. Cepat ia berlutut an ketika ia mengangkat tubuh atas kakek itu untuk didudukkan, wanita ini terkejut. Dengan pengalaman dan kepandaiannya, ia dapat melihat bahwa kakek ini telah menderita luka dalam yang amat hebat dan tidak akan dapat disembuhkan lagi! Kakek ini telah menerima serangan orang yang menggunakan ilmu kepandaian tinggi, mungkin totokan atau tamparan. Hatinya mulai merasa gelisah, apalagi karena Yo Jin tidak pulang bersama kakek itu.

“Yo-lopek, kau kenapakah? Apa yang telah terjadi dan mana Jin-toako?”

Kakek itu membuka mulut untuk bicara, akan tetapi yang keluar hanya suara menggelogok diikuti tumpahan darah! Siu Kwi cepat menekan bagian dada kakek itu dan menotok beberapa jalan darah. Kakek itu kini berhasil mengeluarkan suara.

YO Jin.... ditangkap.... Lui-thungcu.... dua tosu sakti....aaahhh....” kakek itu menghentikan kata-katanya, matanya terbelalak, lalu terpejam dan kepalanya terkulai lemas.

Siu Kwi maklum bahwa kakek itu telah tewas. Ia mengangkat tubuh kakek itu dan membawanya ke dalam rumah. Setelah merebahkan mayat itu di da­lam kamar kakek Yo, ia lalu melompat keluar dan seperti terbang saja Siu Kwi sudah berlari menuju ke dusun timur. Hatinya gelisah sekali, akan tetapi juga marah. Yo Jin ditangkap dan ayahnya dibunuh!

Hari telah sore ketika Siu Kwi tiba di dusun ti­mur dan ia langsung mencari rumah kepala dusun, Setelah tiba di depan pintu gerbang pekarangan rumah besar itu, Siu Kwi langsung saja masuk. Dua orang penjaga menghadangnya dan dua orang ini se­nyum-senyum kurang ajar ketika melihat bahwa tamu yang datang adalah seorang wanita cantik.

“Nona hendak mencari siapakah?” tanya seorang di antara mereka sambil melintangkan tombaknya de­ngan lagak galak, namun sinar matanya seperti hen­dak menelanjangi wanita yang berdiri di depannya.

“Apakah ini rumah kepala dusun Lui?”

“Benar,” jawab orang ke dua yang perutnya gen­dut.

“Dan kalian ini penjaga-penjaga di sini?” Siu Kwi bertanya lagi. Dua orang itu mengangguk. Siu Kwi menahan diri agar tidak sembarangan membunuh orang. Kepala dusun itulah yang harus dihadapi, bu­kan segala macam penjaga rendahan. Maka ia lalu melangkah maju lagi untuk masuk ke dalam rumah itu, mencari kepala dusun Lui.

“Hei, nona, tunggu dulu!”

“Kau tidak boleh masuk begitu saja! Beritahu­kan nama dan keperluan, dan kami akan lebih dulu melapor ke dalam!”

Siu Kwi memandang kepada dua orang penjaga yang sudah melintangkan tombak di depannya itu. Kesabarannya hilang dan ia membentak, “Pergilah!” Kedua tangannya dipentang seperti orang membuka daun pintu dan tubuh dua orang penjaga itupun ter­pelanting ke kanan kiri dan terguling-guling sampai jauh!

Siu Kwi tidak memperdulikan lagi dua orang yang merangkak bangun dengan mata terbelalak dan kepala nanar itu, dan ia terus melangkah maju sampai ke ruangan depan. Lima orang pengawal mengejar ke­luar ketika mendengar suara ribut-ribut dan mereka tadi sempat melihat betapa dua orang rekan mereka terguling-guling dan seorang wanita cantik berjalan memasuki ruangan itu. Cepat mereka mengepung wa­nita itu.

“Aku tidak mau berurusan dengan kalian. Suruh kepala dusun Lui keluar, atau aku akan mencarinya sendiri dan menyeretnya keluar!” kata Siu Kwi, suaranya dingin sekali karena ia sudah marah. Kalau saja ia masih Siu Kwi sebulan yang lalu, tentu ia tidak akan banyak cakap lagi dan membunuh lima orang ini. Jaga dua orang penjaga tadi tentu kini tak dapat bangun lagi. Akan tetapi sekarang ia men­jaga diri dengan ketat agar jangan sampai ia semba­rangan saja membunuh orang.

Tentu saja lima orang pengawal itu tidak sudi memenuhi permintaannya. Mereka tadi sudah meli­hat betapa wanita ini merobohkan dua orang rekan­nya, hal ini saja sudah menunjukkan bahwa wanita ini datang sebagai musuh majikan mereka. Betapapun juga, lima orang pengawal ini masih memandang ren­dah kepada Siu Kwi. Mereka yang sudah mengepung itu langsung mengulurkan tangan dan menubruk, se­perti hendak berlumba menangkap dan memeluk pe­rempuan cantik itu.

“Pergilah kalian!” bentak Siu Kwi dan tiba-tiba tubuhnya bergerak dengan kecepatan luar biasa. Terdengar lima orang pengeroyok itu mengaduh dan tubuh merekapun terpelanting ke kanan kiri, roboh berserakan. Sejenak mereka menjadi nanar dan terheran-heran. Mereka tidak tahu bagaimana mereka tadi sampai roboh. Kedua tangan wanita itu berge­rak membagi-bagi tamparan seperti kilat menyambar-nyambar saja. Kini merekapun sadar bahwa mereka ­berhadapan dengan seorang wanita yang memiliki il­mu silat tinggi, maka mereka bangkit lagi sambil mencabut golok dari pinggang. Mereka mengepung lagi dengan besar hati karena keributan itu telah me­narik perhatian orang dan kini dari dalam muncul pa­sukan pengawal berjumlah belasan orang, mengiringkan Lui-thungcu yang datang bersama Lui-kongcu dan dua orang tosu.

Akan tetapi, serangan golok lima orang itupun tidak ada artinya sama sekali bagi Siu Kwi. Ketika melihat lima orang itu menyerang serentak dengan golok mereka, Siu Kwi mendahului mereka. Tubuhnya ber­gerak cepat dan tahu-tahu lima orang itu sudah ber­pelantingan kembali, golok mereka beterbangan dan kini mereka terbanting lebih keras dari pada tadi sehingga mereka tidak dapat serentak bangun seperti tadi melainkan merangkak-rangkak sambil mengeluh seperti segerombolan anjing kena gebuk!

“Itulah siluman itu!” tiba-tiba Lui-kongcu berseru sambil menudingkan telunjuknya ke arah Siu Kwi. Mendengar ini, kepala dusun Lui segera mem­beri isyarat kepada tigabelas orang pengawalnya un­tuk maju.

“Tangkap siluman ini, hidup atau mati!” perintahnya. Tigabelas orang pengawal itu merupakan pengawal-pengawal pribadi yang pilihan dan rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, tidak seperti lima orang pengawal biasa yang sudah dirobohkan itu tadi. Mereka bergerak hati-hati, mencabut pe­dang dan perisai baja, lalu mengepung Siu Kwi. Wa­nita ini melihat bahwa ruangan itu terlampau sempit untuk menghadapi pengeroyokan, maka iapun meloncat turun ke pekarangan yang lebar. Tigabelas orang itu mengejarnya tanpa meninggalkan gerakan ba­risan yang teratur. Ternyata tigabelas orang pengawal ini bukan orang-orang sembarangan dan mereka bergerak dalam gaya barisan Cap-sha Kiam-tin (Ba­risan Pedang Tigabelas) yang berubah-ubah seperti garis perbintangan. Karena itu, biarpun Siu Kwi me­lompat ke pekarangan, tetap saja wanita itu dalam keadaan terkepung.

Kini Siu Kwi berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Kegembiraannya timbul kembali. Sudah terla­lu lama ia menganggur dan tak pernah menghadapi perkelahian. Kini, dikepung tigabelas orang yang berpedang, timbul gairahnya untuk berkelahi. Akan tetapi, kesadarannya akan kesesatan yang dimasukinya dalam kehidupannya yang lalu tak pernah meninggal­kan batinnya sehingga kini ia menghadapi mereka tanpa ada perasaan benci. Perasaan benci inilah yang membuat orang dapat berbuat kejam, dapat membuat orang membunuh orang lain dengan mudah saja. Ti­dak, ia tidak akan membunuh orang, biarpun untuk menyelamatkan Yo Jin ia mau berbuat apa saja.

Melihat orang yang mereka kepung itu hanya ber­diri tegak sambil bertolak pinggang, tigabelas orang itu menjadi penasaran. Wanita ini sungguh meman­dang rendah kepada mereka. Orang yang memimpin barisan itu, yang berkumis panjang, mengeluarkan aba-aba dan tiga orang yang berada di belakang Siu Kwi sudah menyerang dengan pedang mereka. Seo­rang membacok ke arah leher, seorang lagi menusuk ke punggung dan orang ke tiga membabat ke arah kaki! Sungguh merupakan serangan dari belakang yang amat berbahaya karena semua barisan tubuh la­wan, atas, tengah dan bawah diserang dengan berba­reng. Dan yang diserang masih kelihatan enak-enak­an saja.

“Ia akan mampus sekarang! kata kepala dusun Lui melihat serangan itu.

“Heh-heh, dugaanmu keliru, thungcu. Orang­orangmu yang akan kalah!” Ucapan ini keluar dari mulut tosu tokoh Pek-lian-kauw yang berada di dekatnya sehingga kepala dusun itu terkejut bukan main.

Memang dugaan tosu itulah yang tepat. Ketika tiga batang pedang itu sudah menyambar dekat, tiba­-tiba tubuh Siu Kwi meloncat ke depan sehingga tiga serangan dari belakang itu luput dan wanita itu kini malah menyerang pengepung yang berada di depan­nya. Empat orang serentak menyambutnya dengan pedang dan perisai. Akan tetapi agaknya Siu Kwi ti­dak perduli akan ini. Kaki tangannya bergerak cepat sekali dan terdengar suara keras ketika dua perisai baja pecah oleh tendangan Siu Kwi dan kakinya ma­sih terus mengenai dada para pemegangnya, sedang­kan kedua tangannya sudah merobohkan dua orang lain lagi. Dalam segebrakan saja, dari keadaan diserang oleh empat orang di belakangnya, wanita itu telah merobohkan empat orang di depannya! Hal ini sungguh sama sekali tak pernah disangka oleh barisan tigabelas orang itu. Mereka kini tinggal sembilan orang dan mereka cepat melangkah mengitari Siu Kwi yang kembali berdiri tegak sambil bertolak pinggang di tengah lingkaran. Tubuhnya sama sekali tidak bergerak, hanya kedua bola matanya yang bergerak mengikuti gerakan sembilan orang pengepung itu.

“Orang she Lui!” Siu Kwi sempat berseru kepa­da kepala dusun yang berdiri di kepala anak tangga bersama puteranya dan dua orang tosu itu. “Bebas­kan Yo Jin dan aku akan meninggalkan tempat ini!”

Akan tetapi pada saat itu, sembilan orang penge­pungnya sudah menerjang maju secara serentak. Ba­nyak pedang berkilat dari segenap penjuru, menye­rang ke arah tubuh Siu Kwi. Agaknya, sembilan orang itu hendak mencincang tubuh wanita itu menjadi ba­han bakso!

Namun, Siu Kwi menyambut serangan itu de­ngan gerakan tubuhnya yang lincah. Begitu tu­buhnya berkelebat, bayangannya saja yang nampak, tubuhnya sudah lenyap saking cepatnya ia bergerak. Sembilan orang itu terus menyerang ke arah bayang­an, namun mereka kalah cepat. Bayangan itu sudah menerjang ke kanan kiri, depan belakang dan bertu­rut-turut terdengar pekik kesakitan disusul robohnya seorang pengeroyok. Siu Kwi tak pernah menghenti­kan gerakannya. Bayangannya terus berkelebatan dan akhirnya, sembilan orang pengeroyok itupun roboh seperti empat orang pertama! Pedang dan perisai berserakan dan mereka itu mengaduh-aduh karena biarpun tak seorang di antara mereka tewas, namun mereka menderita patah tulang atau setidaknya salah urat yang membuat mereka tidak mampu berkelahi lagi. Dengan muka pucat dan mata terbelalak kini memandang gentar, tigabelas orang itu lalu merangkak bangun dan menyusul lima orang rekan mereka yang sudah lebih dulu mengundurkan diri, minggir di tempat aman sambil berusaha untuk mengobati cedera pada tubuh mereka.

Kepala dusun Lui dan puteranya saling pandang dengan muka berubah pucat. Tak mereka sangka bahwa duapuluh orang penjaga dan pengawal semua roboh oleh wanita itu!

“Ia benar-benar siluman! bisik Lui-kongcu yang kini menjadi ketakutan sehingga lenyap­lah semua gairahnya terhadap wanita cantik itu.

Akan tetapi, selagi ayah dan anak itu memandang khawatir dan mulai ketakutan, tiba-tiba terdengar su­ara ketawa dari dua orang tosu itu.

“Ha-ha-ha, siluman betina ini memiliki kepandai­an yang lumayan! Timbul kegembiraan pinto untuk mencobanya!” Dan tosu bermuka pucat tokoh Pat-kwa-kauw sudah menuruni anak tangga dan meng­hampiri Siu Kwi.

“Heh-heh, tosu. Hati-hatilah, atau kau akan kalah. Pinto tadi melihat gerakan-gerakan luar biasa dari kaki tangannnya, seperti pernah pinto kenal jurus-jurus yang dipergunakannya,” kata tosu Pek-lian-kauw yang juga menuruni anak tangga.

Siu Kwi yang masih berdiri tegak, kini mengha­dapi dua orang tosu itu dan memandang tajam penuh selidik. Tosu pertama yang memakai jubah berlukis­kan gambar pat-kwa itu memiliki wajah yang pucat kekuningan, hampir sama kuningnya dengan jubah­nya. Perawakannya tinggi besar akan tetapi karena mukanya pucat, dia nampak seperti orang yang men­derita sakit. Di tangan kanannya terdapat sebatang tongkat berbentuk ular hitam, panjangnya seperti pedang dan ujungnya yang berupa ekor ular itu runcing. Adapun tosu ke dua, usianya hanya beberapa tahun lebih tua dari tosu pertama, tubuhnya kurus kering, pakaiannya putih dengan tanda gambar teratai di da­da. Tosu kurus kering ini mukanya berwarna merah darah sehingga kembali Siu Kwi terkejut. Di tangan tosu ini terdapat sebatang tongkat panjang, sepanjang tubuh tosu itu berbentuk naga hitam.

Biarpun ia tidak pernah bertemu dengan mereka dan tidak mengenal mereka, namun dengan mudah Siu Kwi dapat menduga bahwa tosu pertama tentulah seorang tokoh Pat-kwa-kauw, sedangkan tosu ke dua tentulah seorang tokoh Pek-lian-kauw. Dan dari war­na muka mereka, juga dari sinar mata mereka, tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan dua orang sakti yang tidak boleh dipandang ringan.

“Heii, siluman betina. Sebenarnya siapa kamu? Berterusterangiah kepada pinto, karena kalau engkau bersikap lunak, mungkin pinto dapat pula bersikap lunak kepadamu, heh-heh-heh!” Sepasang mata tosu Pat-kwa-kauw yang mencorong itu kini menjelajahi wajah dan tubuh wanita di depannya. Sekali pandang saja maklumlah Siu Kwi bahwa tosu tua bertubuh tinggi besar dan berperut gendut ini adalah seorang mata keranjang.

“Siancai....,    toyu Ok Cin Cu memang suka bersikap lunak terhadap wanita. Memang sebaiknya kalau engkau mengaku terus terang siapa kamu dan apa sebenarnya maksudmu sehingga orang seperti eng­kau ini membela dan melindungi seorang dusun seper­ti orang she Yo itu!“ kata pula tosu Pek-lian-kauw.

Tentu saja hati Siu Kwi menjadi panas sekali. Ia dan ketiga orang gurunya adalah orang-orang yang tidak pernah mengenal takut dan walaupun mereka tidak pernah memilih kelompok, namun ia sendiri tidak pernah bermusuhan dengan orang-orang Pek-lian-kauw ataupun Pat-kwa-kauw.

“Ji-wi totiang (dua pendeta), aku bernama Ciong Siu Kwi dan selamanya aku tidak pernah bentrok dengan Pek-Lian-kauw maupun Pat-kwa-kauw. Jalan hidupku bersimpang dengan jalan hidup ji-wi. Karena itu, demi keutuhan dunia persilatan, kuharap ji-wi tidak mencampuri urusan pribadiku. Aku menbela ia karena aku mencintanya! Nah, aku sudah berterus terang, hendaknya ji-wi juga suka bersikap jujur.”

Dua orang tosu itu adalah orang-orang yang terpandang di dalam golongan masing-masing, bahkan menduduki tingkat tinggi sebagai ketua-ketua cabang perkumpulan masing-masing. Melihat sikap dan men­dengar ucapan Siu Kwi, dua orang kakek itu terse­nyum lebar dan diam-diam merekapun dapat menduga bahwa wanita yang masih muda ini tentu bukan orang sembarangan. Jelas bukan siluman seperti yang me­reka katakan dengan yakin untuk membuat kepala dusun Lui percaya kepada mereka. Dan merekapun tahu bahwa wanita bernama Ciong Siu Kwi ini lihai sekali ilmu silatnya, seorang wanita yang sudah ba­nyak makan asam garamnya hidup di dunia sesat yang penuh kekerasan. Wanita ini bukan golongan pende­kar, hal ini dapat diduga oleh mereka. Dan seorang wanita yang keras hati dan jujur sehingga mengaku begitu saja tentang cintanya kepada seorang pemuda dusun, hal yang sendirinya sudah merupakan suatu keganjilan. Aneh sekali selera wanita ini, pikir mereka. Mengapa menjatuhkan pilihan kepada seorang pemuda dusun yang bodoh dan tolol dan amat seder­hana? Pada hal, wanita seperti ini, akan mudah saja memilih pacar di antara para kongcu yang kaya dan pandai di kota-kota besar.

“Ho-ho, engkau hendak berkenalan dengan pinto, nona? Pinto memang ketua cabang Pat-kwa-kauw berjuluk Ok Cin Cu. Pinto juga tidak ingin bermu­suhan dengan engkau, hanya memenuhi permintaan Lui-thungcu untuk menghadapi siluman, Akan tetapi, pinto tidak membenci siluman, asal ia bersikap manis kepada pinto, heh-heh!” Kakek mata keranjang ini mengedipkan sebelah matanya untuk memberi isyarat kepada Siu Kwi.

“Dan pinto adalah ketua cabang Pek-lian-kauw, berjuluk Thian Kek Seng-jin. Benarlah katamu, nona. Diantara kita orang-orang dunia persilatan tidak perlu pecah belah. Karena itu, mari kita tinggalkan saja urusan lurah Lui dengan keluarga Yo, dan kita mem­perdalam perkenalan ini. Bagaimana?” Tosu Pek lian-kauw terkekeh.

“Ji-wi totiang memang tidak mempunyai sangkut­paut dengan urusan ini. Akan tetapi urusan ini langsung menyangkut diriku! Orang yang kucinta, Yo Jin, telah ditawan, bahkan ayahnya telah tewas. Aku harus membebaskan Yo Jin, baru aku mau meninggal­kan tempat ini bersama dia dan tidak akan memper­panjang urusan.”

“Ho-ho, nanti dulu, nona. Yo Jin sudah berdosa terhadap Lui-thungcu, tidak dapat dibebaskan begitu saja sebelum menerima hukuman. Dan pinto telah membantu Lu-thungcu untuk menangkapnya,” kata Thian Kek Seng-jin sambil tertawa.

“Kalau begitu, aku akan membebaskannya dengan menggunakan kekerasan!” kata Siu Kwi dan tubuh­nya sudah meloncat ke samping untuk memasuki ru­mah besar itu mencari pria yang dikasihaninya dan ditawan di tempat itu.

Akan tetapi nampak sinar berkelebat dan tahu­ tahu tongkat ular hitam di tangan Ok Cin Cu sudah menodong dada Siu Kwi dari samping. “Ha-ha, tidak begitu mudah, nona. Sebaiknya engkau bersikap ma­nis dan menurut saja kepada pinto agar tidak perlu pinto menghadapimu sebagai lawan.”

Kesabaran yang sejak tadi ditahan-tahan oleh Siu Kwi sudah habis. “Tosu keparat!” bentaknya dan iapun menerjang dengan sengit. Tangan kirinya me­mukul dengan jari terbuka ke arah dada lawan sedang­kan tangan kanannya mencengkeram ke arah kepala, seperti hendak menjambak rambut putih yang riap-riapan itu.

“Heh-heh, liar juga engkau, nona!” kakek Pat-kwa-kauw itu tertawa mengejek dan dari sikapnya ini jelas bahwa dia memandang rendah kepada lawannya yang hanya seorang wanita muda. Tongkat hitamnya diputar untuk menangkis pukulan ke arah dadanya sedangkan tubuhnya melangkah mundur agar cengke­raman ke arah kepalanya itu tidak sampai.

“Uhhh....“ Sikap memandang rendah dari Ok Cin Cu hampir saja mencelakakan dirinya sendiri ketika tiba-tiba saja kepalanya nyaris kena dicengke­ram oleh tangan Siu Kwi yang terus mengejarnya. Lengan wanita itu dapat memanjang dan dapat me­lanjutkan cengkeraman tangannya walaupun sudah dielakkan! Kalau saja Ok Cin Cu tidak memandang rendah, tentu dia tidak sekaget itu. Kini, terpaksa dia melempar diri ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali sehingga tubuhnya terhuyung-huyung ketika dia sudah berdiri kembali. Wajahnya yang pucat kuning itu berubah agak merah.

Kini dia tidak berani memandang rendah lagi dan tanpa banyak cakap, dia memutar tongkatnya dan menerjang ke depan. Tongkat itu berubah menjadi gulungan sinar hitam yang amat kuat. Melihat gerakan tongkat ini, Siu Kwi terkejut juga. Kiranya tongkat itu merupakan senjata pengganti pedang dan permainan pedang lawannya amat lihai. Diam-diam ia merasa menyesal mengapa ia tidak membawa pe­dang. Semenjak ia bertemu dengan Yo Jin, ia telah menyembunyikan pedangnya dan mengubur senjata itu di dalam hutan tak jauh dari dusun tempat tinggal Yo Jin. Akan tetapi Siu Kwi tidak takut. Ia mengandalkan kelincahan gerakannya dan juga kekebalan yang disalurkan di kedua lengannya untuk mengha­dapi tongkat lawan dengan tangan kosong. Ia masih tetap memainkan Hek-wan Sip-pat-ciang, ilmu simpanan mendiang Raja Iblis Hitam yang membuat lengannya dapat memanjang. Akan tetapi ilmu tong­kat tosu Pat-kwa-kauw itu benar-benar ampuh dan gulungan sinar hitam itu tidak dapat ditembus Hek-wan Sip-pat-ciang.

Wanita yang memiliki banyak macam ilmu silat itu merobah-robah gerakannya dan mainkan berbagai ilmu yang dipelajarinya dari mendiang Sam Kwi. Ia sudah mempergunakan ilmu tendangan Pat-hong-twi yang ampuh, mainkan ilmu silat Hun-kin-tok-ciang yang amat berbahaya, bahkan menggunakan Kiam-ciang (Tangan Pedang). Namun, lawannya memang hebat. Ok Cin Cu adalah seorang di antara tokoh-tokoh besar Pat-kwa-kauw yang sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi. Bukan hanya ilmu silatnya yang sudah mencapai tingkat tinggi, juga kakek ini memiliki tenaga yang kuat. Kalau saja Siu Kwi tidak memiliki ilmu kebal Kulit Baja yang diwarisi dari mendiang Iblis Akhirat, tentu ia sudah roboh karena sudah tiga kali tongkat ular hitam itu berhasil mengenai tubuhnya.

Kini dua orang tosu itu benar-benar kagum dan juga penasaran. Hanya karena mereka merasa bahwa kedudukan mereka sudah tinggi yang mencegah mere­ka melakukan pengeroyokan. Biarpun kadang-kadang merasa kewalahan, Ok Cin Cu merasa malu untuk minta bantuan kawannya, sedangkan Thian Kek Seng-jin juga merasa sungkan untuk turun tangan mengero­yok. Di situ terdapat banyak orang menonton dan apa akan kata dunia kang-ouw kalau mendengar bahwa mereka berdua mengeroyok seorang wanita muda?

“Takkk....!” Untuk ke empat kalinya, ujung tongkat ular hitam itu menotok dan mengenai lam­bung Siu Kwi, namun wanita itu hanya terhuyung mundur sedikit dan kini Siu Kwi yang juga merasa penasaran mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya seperti lenyap menjadi bayangan yang ber­gerak cepat sekali. Dan angin kuat menyambar-nyam­bar ganas dibarengi suara bercuitan ketika ia maju menyerang! Ok Cin Cu terkejut bukan main sehing­ga dia terdesak mundur sampai lima langkah!

“Tahan....!” terdengar bentakan Thian Kek Seng-jin dan tongkatnya meluncur ke depan melin­tang dan menghadang Siu Kwi yang terpaksa meng­hentikan gerakan serangannya.

“Nona, aku mengenal ilmu-ilmumu. Masih ada hubungan apakah antara engkau dan Sam Kwi? tanya kakek dari Pek-lian-kauw itu.

Siu Kwi tidak ingin memperkenalkan guru-guru­nya, akan tetapi karena lawan sudah mengenal ilmu silatnya, iapun menjawab dengan ketus, “Mereka adalah guru-guruku dan seingatku, baik Sam Kwi maupun aku sendiri, tidak pernah bentrok dengan pi­hak Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw!”

“Siancai....! Kalau begitu engkau tentu yang berjuluk Bi-kwi!” kakek Pek-lian-kauw itu berseru lagi sambil memandang dengan penuh selidik.

Siu Kwi menarik napas panjang. Nama julukan Bi-kwi telah begitu tersohor dan kotor, bahkan lebih terkenal dari orangnya sendiri. Buktinya, tosu Pek-lian-kauw ini tidak mengenal dirinya, akan tetapi te­lah mengenal nama julukannya. Dan ia sendiri sudah mengambil keputusan untuk membuang nama julukan itu jauh-jauh, tidak akan pernah memakainya lagi. Akan Tetapi kini ia diingatkan bahwa nama julukan­nya adalah Bi-kwi!

“Nama itu pernah kupakai, sekarang tidak lagi!” jawabnya dengan suara dingin.

“Bagus! Kiranya di antara para antek Hou Seng masih ada yang berkeliaran di sini!” berkata demi­kian, Thian Kek Seng-jin sudah menerjang maju de­ngan tongkat panjangnya yang berbentuk naga hitam. Gerakannya nampak lambat, namun mendatangkan angin pukulan yang keras dan didahului oleh suara berdesir.

Siu Kwi cepat mengelak, akan tetapi dari sam­ping, Ok Cin Cu menyambutnya dengan tongkat ular hitamnya Wanita ini meloncat dan menghadapi dua orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu, ia lalu memainkan ilmu silatnya yang paling baru, yaitu Sam-kwi Cap-sha-kun! Ilmu silat ini memang ciptaan Sam Kwi yang paling hebat, diciptakan bersama bersumber dari semua ilmu silat mereka yang pilihan, digabungkan menjadi satu. Dalam ilmu silat ini ter­kandung gerakan pukulan ilmu silat Hek-wan Sip-pat-ciang, tendangan Pat-hong-twi dan ilmu silat Hun-kin Tok-ciang, juga terkandung Kiam-ciang yang ampuh.

Dua orang tosu itu terkejut menghadapi ilmu silat ini yang memang dahsyat sekali dan beberapa kali mereka sampai terdesak mundur. Akan tetapi, mere­ka adalah orang-orang yang selain memiliki ilmu silat tinggi, juga banyak pengalaman dalam perkelahian, maka dengan berpencar, kedua tosu itu mengurung dan gerakan tongkat mereka dapat membendung ke­dahsyatan Sam-kwi Cap-sha-kun. Apa lagi ketika Thian Kek Seng-jin mulai mengeluarkan bentakan-bentakan dengan suaranya yang parau dan penuh wi­bawa, mengandung tenaga sakti ilmu hitam dan si­hir, maka beberapa kali Siu Kwi merasa jantungnya terguncang dan karena itu gerakannya kurang sem­purna sehingga hampir saja ia menjadi korban hantaman tongkat.

Siu Kwi mulai terdesak dan setelah lewat limapuluh jurus, tiba-tiba tongkat hitam di tangan tokoh Pek-lian-kauw berhasil menghantam pundak kirinya.

“Bukkk....!” Biarpun tubuh Siu Kwi sudah terlindung ilmu kekebalan, tetap saja ia terpelanting dan hampir terbanting roboh kalau saja ia tidak ce­pat membuat gerakan jungkir balik beberapa kali. Siu Kwi menggigit bibir menahan rasa nyeri. Biarpun ia tidak terluka, namun kerasnya pukulan itu seolah-olah merontokkan isi dadanya! Dan dua orang ka­kek itu masih menerjang terus tanpa mengenal am­pun. Siu Kwi berusaha mengelak, namun sebuah tusukan dengan tongkat ular hitam dari Ok Cin Ca yang menyambar dadanya, ketika ia mengelak, masih saja menyerempet pangkal lengan kanannya sehingga kulit dan sedikit dagingnya robek dan mengucurkan darah!

Maklumlah Siu Kwi bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya ia akan tewas di tangan dua orang kakek sakti ini. Dan kalau ia mati, berarti Yo Jin tidak akan ada yang menolong lagi. Maka, tiba-tiba saja ia melempar tubuh ke atas tanah, bergulingan dan ketika dua orang kakek itu mengejarnya, Siu Kwi mengge­rakkan kedua tangannya. Sinar hitam menyambar ke arah muka dua orang lawannya. Yang disambitkannya itu hanyalah pasir dan tanah, namun tidak boleh dipandang rendah karena yang diserang adalah muka dan sambitan itu didorong oleh tenaga sin-kang yang amat kuat sehingga jangankan sampai mengenai mata, baru mengenai kulit muka saja sudah dapat mengaki­batkan luka-luka. Dua orang kakek itu terkejut dan ce­pat memutar tongkat sambil berlompatan ke beiakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Siu Kwi untuk melompat jauh dan melarikan diri. Cuaca sudah mulai remang-remang gelap sehingga ia dapat menyelinap hilang di dalam bayangan rumah-rumah dan pohon-pohon. Dua orang kakek itupun tidak melakukan pengejaran.

***

Malam itu gelap dan sunyi sekali di rumah kepala dusun Lui. Agaknya peristiwa sore tadi masih berbe­kas. Robohnya semua pengawal yang jumlahnya dua­puluh orang sungguh membuat gelisah hati keluarga Lui, walaupun kemudian ternyata bahwa dua orang tosu sakti itu dapat mengusir “siluman”. Kini diam-diam kepala dusun Lui mendatangkan pengawal-pe­ngawal baru yang jumlahnya tidak kurang dari lima­puluh orang, berjaga-jaga di sekitar perumahan keluarga itu. Terutama sekali di kamar tahanan terdapat penjagaan yang amat ketat karena di situlah tempat Yo Jin ditahan dan kepala dusun Lui tidak ingin me­lihat tahanan ini lolos.

Walaupun dia berada di dalam tahanan, Yo Jin mendengar dari percakapan para penjaga di luar kamarnya tentang siluman betina yang mengamuk dan merobohkan duapuluh orang pengawal akan tetapi kemudian dapat diusir pergi oleh dua orang tosu. Diam-diam dia merasa heran sekali. Siapakah yang mereka maksudkan dengan siluman betina itu? Be­narkah ia itu Siu Kwi? Siu Kwi mengamuk dan mengalahkan duapuluh orang pengawal? Sukar baginya untuk mempercayai berita ini. Siu Kwi demikian lemah-lembut. Alisnya berkerut ketika ia teringat bahwa wanita itu dituduh sebagai siluman, bahkan ayahnya sendiripun menganggapnya demikian. Ja­ngan-jangan memang benar! Dan kini Siu Kwi meng­amuk sebagai siluman! Dia bergidik dan cepat mengusir pikiran ini, lalu membayangkan ayahnya. Ayahnya dipukul dan disiksa, dan dia merasa gelisah sekali memikirkan ayahnya. Dia menarik-narik be­lenggu kaki tangannya, namun tiada guna. Hal itu sudah dilakukannya sejak dia ditahan dan sampai ku­lit pergelangan kaki dan tangannya lecet-lecet dan nyeri bukan main.

Menjelang tengah malam, sesosok bayangan berkelebatan di luar pekarangan perumahan kepala du­sun Lui. Bayangan ini adalah Siu Kwi. Setelah sore tadi ia berhasil melarikan diri, ia bersembunyi di da­lam hutan dan duduk bersila, memulihkan tenaganya dan memulihkan pula kesehatannya karena hantam­an pada pundak dan tusukan pada pangkal lengannya. Ia sudah mengobati luka di pangkal lengannya. Ha­tinya gelisah bukan main. Ia belum berhasil membe­baskan Yo Jin dan di tempat itu terdapat dua orang lawan yang demikian tangguhnya. Hatinya terasa pe­rih kalau ia teringat kepada pria yang dikasihaninya.

Tak lama kemudian, ia lalu berlari cepat, kembali ke dusun selatan dan dengan bantuan para tetangga, ia mengurus pemakaman kakek Yo. Karena keadaan, maka terpaksa jenazah itu dikubur secara sederhana sekali. Para tetangga juga melakukannya dengan ketakutan setelah mendengar dari Siu Kwi bahwa kakek itu mati karena dipukuli orang-orang kepala dusun Lui, dan juga bahwa Yo Jin ditangkap oleh mereka. Maka, setelah selesai mengubur jenazah itu malam itu juga, para tetangga bergegas pulang ke rumah masing-masing, takut kalau sampai tersangkut urusn itu. Dan Siu Kwi lalu melakukan perjalanan kembali ke dusun timur. Bagaimanapun juga, ia harus dapat menyelamatkan Yo Jin , harus dapat membebaskan pemuda itu dari dalam tahanan.

Sampai lama ia berkeliaran di luar rumah keluar­ga Lui. Dengan susah payah, tadi ia mengisi perut­nya. Ia hampir tak dapat menelan nasi, akan tetapi dipaksakannya karena ia maklum bahwa ia membu­tuhkan tenaga sepenuhnya untuk dapat menyelamatkan Yo Jin. Kalau ia membiarkan perutnya kosong, tentu tenaganya menjadi berkurang. Kini ia berkeliar­an di luar pekarangan, untuk meneliti keadaan. Hati­nya terasa girang. Agaknya keluarga Lui menyangka bahwa ia sudah jera untuk datang lagi, sudah takut terhadap dua orang kakek itu, maka kini keadaan di rumah itu sunyi saja, tidak terdapat penjagaan yang ketat. Sunyi dan gelap.

Namun, Siu Kwi bukan seorang bodoh. Ia tidak mau mudah terjebak oleh siasat musuh. Siapa tahu kalau-kalau pihak musuh mengatur jebakan dan sengaja memancingnya. Karena itu ia tidak segera masuk, melainkan melakukan pengintaian dan pemeriksaan dari luar. Ia menanti sampai tengah malam dan setelah melihat bahwa benar-benar tidak terdapat penjaga di sekitar pagar tembok, baru ia meloncat naik ke atas pagar tembok, mendekam di atasnya un­tuk mengintai ke dalam. Ia merasa heran. Keadaan amat sunyi dan gelap. Benarkah keluarga Lui demi­kian lengahnya sehingga setelah kemenangan dua orang kakek sore tadi lalu menganggap bahwa ia ti­dak akan berani muncul kembali? Ataukah setelah ia merobohkan duapuluh orang penjaga itu, lalu ti­dak ada penjaga lain yang menggantikan karena me­reka semua itu lelah dan mengalami patah tulang dan luka-luka? Ia tidak dapat menerima kemungkinan ini. Tak mungkin, pikirnya. Andaikata kepala daerah itu lengah, dua orang tosu lihai itu pasti tidak.

Akan tetapi, mengingat akan Yo Jin, ia tidak perduli lagi. Biarlah mereka mengatur jebakan, ia tidak takut. Ia akan berusaha membebaskan Yo Jin, kalau perlu dengan taruhan nyawa! Setelah meneliti kea­daan di dalam dan tidak nampak berkelebatnya orang, ia lalu meloncat turun ke dalam kebun belakang ru­mah itu. dan menyelinap di antara semak-semak, men­dekati bangunan rumah di belakang. Ia menduga bahwa tentu tempat tahanan itu berada di bagian belakang.

Yo Jin mendengar percakapan para penjaga di luar pintu kamar tahanan itu dengan hati khawatir.

“Kalau dombanya dijaga, tentu harimaunya tidak berani muncul. Karena itu maka kita harus bersembunyi.” Demikian antara lain dia mendengar seorang penjaga bicara, kemudian terdengar suara mendesis tanda bahwa pembicara itu disuruh diam. Keadaan lalu menjadi sunyi dan ketika Yo Jin bangkit berdiri dan menjenguk dari jeruji pintu, dia melihat betapa di luar pintu tidak terdapat seorangpun penjaga lagi. Keadaaan amat sunyi, dan tempat itu hanya diterangi oleh sebuah lampu gantung. Agaknya lampu-lampu lainnya telah dibawa pergi atau dipadamkan. Suasana sunyi sekali, tak nampak seorang pun di luar kamar tahanan. Sunyi dan gelap di kebun belakang itu, yang nampak dari dalam kamar tahanan.

Yo Jin menggerakkan      kedua kakinya melangkah ke arah pintu. Suara belenggu kakinya terseret memecahkan kesunyian. Dia berdiri di belakang pin­tu kamar yang terbuat dari besi itu, dan berpegang dengan kedua tangan yang terbelenggu pada jeruji besi, memandang ke luar, termenung. Apakah mak­sud ucapan penjaga tadi? Diakah yang diumpamakan domba tadi? Dan siapakah harimaunya yang diharap­kan akan muncul? Siu Kwikah? Jantungnya berdebar tegang. Dia tidak dapat yakin bahwa Siu Kwi yang dimaksudkan harimau itu, betapapun juga, dia tahu bahwa para penjaga itu sedang mengatur siasat untuk memandang dan menjebak seseorang yang dise­but harimau, dengan menggunakan dia sebagai domba, sebagai umpannya. Dengan jantung berdebar penuh ketegangan, Yo Jin meninggalkan belakang pintu. memandang ke luar dengan penuh perhatian. Sepa­sang matanya seperti ingin menembus kegelapan ma­lam di depan sana.

Entah berapa lama dia berdiri memandang keluar itu. Tiba-tiba pandang matanya menangkap berkelebatnya sesosok bayangan hitam. Dia terkejut dan mengikuti dengan pandang matanya. Bayangan itu melompat dan tahu-tahu di bawah lampu gantung, hanya lima meter dari pintu kamar tahanan, berdiri seorang wanita yang bukan lain adalah Siu Kwi!

“Kwi-moi....!” serunya lirih, matanya terbe­lalak seolah-olah dia tidak dapat percaya kepada pan­dang matanya sendiri. “Kaukah itu....?” Dan diapun merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Kalau wanita ini benar Siu Kwi, apakah ia benar­-benar....siluman? Cara pemunculannya ini!

“Sssttt....!” Wanita itu menaruh telunjuk di depan bibir. “Jin-toako, aku datang untuk membebaskanmu....”

Akan tetapi Yo Jin teringat akan percakapan para penjaga dan wajahnya berubah pucat. Celaka, kiranya harimaunya benar Siu Kwi dan tentu kini Siu Kwi telah terperangkap.

“Kwi moi, awas! Ini sebuah perangkap....!” teriaknya. “Kau larilah, pergilah!”

Pada saat itu, tiba-tiba saja nampak sinar terang disusul suara berisik. Dan ketika Siu Kwi memba­likkan tubuh memandang, ternyata tempat itu telah dikepung; oleh puluhan orang bersenjata lengkap di tangan kanan dan dengan obor di tangan kiri. Agak­nya mereka tadi bersembunyi dan serentak memasang obor sambil mengepung tempat itu. Dan muncullah dua orang tosu yang sore tadi telah mengalahkannya!

“Ha-ha-ha-ha, siluman betina ini berani muncul lagi. Benar-benar keras kepala dan sudah bosan hi­dup!” kata Ok Cin Cu dan perutnya yang gendut itu bergoyang-goyang ketika dia tertawa.

“Ia bukan siluman!” Yo jin membentak marah dari dalam kamar tahanan.

“Heh-heh-heh, siapa bilang bahwa Bi-kwi bukan siluman? Engkau telah mabok oleh rayuannya, orang muda, heh-heh!“

“Tutup mulutmu yang kotor!” Siu Kwi membentak dan menyerang ke arah Thian Kek Seng-jin yang masih tertawa. Panas hatinya mendengar dirinya dihina di depan Yo Jin. Ketika tosu Pek-lian-kauw itu mengelak sambil memutar tongkatnya untuk balas menyerang, Siu Kwi sudah mencahut pe­dangnya dan menangkis. Ia tadi sudah mengambil senjata ini dan begitu menangkis, iapun menusuk de­ngan ganasnya.

“Tranggg....”    bunga api berpijar ketika pedangnya kini ditangkis dlari samping oleh Ok Cin Cu yang menggunakan tongkat ular hitamnya. Ketua cabang Pek-lian-kauw itupun menerjang dengan tong­kat naga hitam, untuk membantu kawannya. Kem­bali terjadi pengeroyokan. Akan tetapi Siu Kwi mengamuk dengan hebat. Pedangnya lenyap berubah men­jadi sinar bergulung-gulung yang menyelimuti tu­buhnya.

Yo Jin memandang bengong. Baru dia tahu bah­wa wanita yang dicintanya itu sama sekali bukanlah seorang wanita lemah, melainkan seorang ahli silat yang amat lihai! Kini diapun sadar mengapa dalam perkelahian-perkelahiannya, dia selalu menang walaupun dikeroyok, dan kini terjawab pula keanehan ketika para pengeroyoknya mencabut belati akan tetapi tidak sempat mempergunakan senjata itu. Tentu Siu Kwi bukan siluman betina, melainkan seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi!

“Kwi Moi....!” keluhnya dengan terharu. Seorang pendekar wanita telah bersikap demikian baik kepadanya! Kini dia menonton dengan hati yang tidak karuan rasanya. Ada rasa heran, bangga, akan tetapi juga kegelisahan besar melihat betapa kini kekasihnya itu dikeroyok oleh banyak orang.

Para pengawal itu sudah mendengar bahwa banyak rekan mereka sore tadi dilukai oleh wanita ini. Maka, merekapun tidak tinggal diam dan ikut menyerang. Hasilnya sunggh celaka bagi mereka. Begitu ada para pengawal ikut menyerang, gulungan sinar pedang Siu Kwi semakin melebar dan setiap kali ada sinar mencuat dari gulungan cahaya itu, terdengar pekik disusul robohnya seorang pengawal. Dalam waktu sebentar saja, tidak kurang dari tujuh orang pengawal roboh dan terluka oleh ujung pedang di tangan Siu Kwi! Melihat ini, dua orang tosu itu menjadi marah.

“Kalian semua mundur! Biarkan kami berdua yang menangkapnya!” teriak Thian Kek Seng-jin.

Mendengar teriakan ini, para pengawal itu mun­dur karena merekapun jerih melihat betapa dalam segebrakan saja, setiap orang rekannya yang berani menyerang pasti roboh terluka. Kini mereka mengepung sambil menonton dua orang tosu itu mengeroyok Siu Kwi! Seperti sore tadi, kembali Siu Kwi dikeroyok dua. Kali ini mereka berkelahi lebih mati-matian karena pedang di tangan Siu Kwi kini tidak sungkan-sungkan lagi, mengirim serangan maut yang amat berbahaya. Namun, seperti juga tadi. Siu Kwi belum cukup kuat untuk menghadapi pengeroyokan dua orang tosu yang amat lihai itu, setelah lewat limapuluh jurus, gulungan sinar pedangnya makin menyempit dan iapun terdesak terus oleh dua batang tongkat panjang dan pendek itu. Apa lagi seperti tadi, Thian Kek Seng-jin mengeluarkan bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan sihir untuk melemahkan lawan, maka Siu Kwi hamir tidak mampu balas menyerang lagi, melainkan hanya mengelak dan menangkis sambil mundur.

Yo Jin tidak dapat mengikuti perkelahian itu dengan baik karena selain dia berdiri di belakang pintu jeruji yang sempit, juga jalannya perkelahian itu telampau cepat baginya sehingga ia tidak dapat mengikuti dengan andang matanya yang menjadi kabur. Dia hanya melihat gulungan sinar putih dari pedang Siu Kwi dikurung dua gulungan sinar hitam, dan ka­dang-kadang saja nampak tubuh tiga orang itu atau kaki mereka yang menginjak tanah. Namun, hatinya merasa khawatir sekali.

“Bukkk....!” Sebuah pukulan tongkat Thian Kek Seng-jin mengenai punggung Siu Kwi dan sedikit darah keluar dari mulut wanitaitu. Ia telah terluka. Maka iapun tahu bahwa sekali ini ia juga tidak ber­hasil. Diputarnya pedangnya dengan nekat sambil membalikkan tubuhnya. Para pengawal yang berada di belakangnya menjadi panik, apa lagi ketika ketika dua orang pengawal roboh. Terpaksa mereka mundur dan membuka kepungan. Siu Kwi menerobos keluar dan meloncat ke dalam kebun, terus meloncat naik ke atas tembok pagar dan melarikan diri. Seperti sore tadi, dua orang tosu itu tidak mengejarnya, melainkan tertawa mengejek.

Terhuyung-huyung Siu Kwi lari memasuki hutan. Ketika tiba di tengah hutan, di bagian terbuka, iapun menjatuhkan diri di atas rumput, menelungkup dan menangis! Ia bukan menangis karena lukanya, melainkan menangis karena tidak mampu manyelamatkan Yo Jin. Kalau ia mengingat kembali betapa Yo Jin berdiri di belakang pintu jeruji dengan kaki ta­ngan terbelenggu dan pucat, ia merasa kasihan sekali dan tangisnya makin mengguguk. Akan tetapi, wanita yang keras hati ini segera dapat menguasai di­rinya. Tugasnya masih belum selesai. Yo Jin belum diselamatkan. Dan ia kembali terluka, sekali ini lebih parah karena pukulan dengan tenaga sin-kang itu telah mengakibatkan luka dalam, walaupun tidak amat berbahaya namun membutuhkan pengobatan dengan segera. Diusirnya bayangan Yo Jin yang melemahkan batinnya.

Siu Kwi mengeluarkan obat dan menelan dua butirpil merah Kemudian iapun duduk bersila untuk mengumpulkan hawa murni, mengobati lukanya dan memulihkan tenaganya. Ia terus bersila sampai pagi, kesehatannya berangsur-angsur pulih, dan juga tenaga­nya mulai pulih kembali.

Matahari mulai meneroboskan cahayanya melalui celah-celah ranting dan daun pohon, namun Siu Kwi masih bersamadhi dengan lelap. Demikian lelapnya sampai ia tidak tahu bahwa di dalam hutan itu muncul dun orang yang sejak tadi mengintainya. Baru setelah dua orang itu melangkah dekat menghampiri­nya, ia sadar dan cepat ia membuka mata. Dapat di­bayangkan betapa kagetnya ketika ia mengenal mere­ka sebagai Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin!

Akan tetapi rasa kaget ini juga dibarengi kemarahan yang meluap-luap karena kedua orang inilah yang telah menggagalkan usahanya untuk membebas­kan Yo Jin. Maka ia meloncat dan menghadapi dua orang tosu itu dengan sepasang mata bernyala ganas penuh kebencian.

“Dua tosu jahanam, kalian masih hendak mendesakku? Baik, aku akan mengadu nyawa dengan ka­lian!” bentaknya dan iapun sudah memasang kuda-kuda, siap untuk berkelahi mati-matian.

Akan tetapi dua orang tosu itu sama sekali tidak memperlihatkan sikap bemusuh, bahkan tersenyum.

“Bi-kwi....“

“Namaku Ciong Siu Kwi dan aku tidak mau menggunakan julukan itu lagi!” bentak Siu Kwi me­motong kata-kata Ok Cin Cu.

Kakek tinggi besar berperut gendut dengan ram­but riap-riapan ini tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, harimau hendak berganti bulu domba, ya? Baiklah, nona Ciong Siu Kwi, kami datang bukan untuk men­desakmu, melainkan untuk berdamai denganmu.”

Siu Kwi memandang dengan mata tajam penuh selidik. Tentu saja ia tidak dapat mempercaya begitu saja kepada orang-orang seperti tosu itu. “Apa kehen­dak kalian?“ tanyanya singkat, masih bersikap seperti seorang musuh.

“Ha-ha, bukankah engkau menghendaki agar pe­muda she Yo itu kami bebaskan?“ kini Thian Kek Seng-jin, ketua cabang Pek-lian-kauw bertanya.

Mendengar pertanyaan ini, sepasang mata Siu Kwi berkilat. Tentu saja timbul gairahnya mendengar pertanyaan itu. Akan tetapi ia seorang cerdik, dan cepat wajahnya nampak biasa seolah-olah pert­anyaan itu bukan merupakan penawaran yang memikat hatinya.

“Hal yang sudah jelas itu mengapa kautanyakan lagi?” Ia balas bertanya.

Kembali dua orang tosu itu tersenyum lebar. “Kita adalah orang-orang segolongan dalam dunia persilatan, karena itu, perlu apa kita harus saling bermusuhan? Sebaiknya kalau kita bekerja sama, saling bantu, bukankah hal itu akan lebih menguntung­kan kita kedua pihak?” kata pula Thian Kek Seng­-jin yang lebih pandai bicara dibandingkan Ok Cin Cu.

“Kaumaksudkan, kalian akan membebaskan Yo Jin dan sebagai gantinya aku harus melakukan sesuatu untuk kalian?”

“Ha-ha-ha, ia memang seorang wanita yang amat cerdik, toyu!” Ok Cin Cu tertawa girang dan Thian Kek Seng-jin mengangguk-angguk.

“Tepat dugaanmu, nona Ciong. Engkau mem­butuhkan pembebasan Yo Jin, dan kami berdua juga mempunyai kebutuhan yang kami harapkan akan men­dapat bantuanmu agar terlaksana.”

“Katakan, apa yang harus kulakukan untuk mem­bantu kalian?”

“Kami berdua mempunyai kebutuhan masing-ma­sing, dan kami akan membebaskan Yo Jin kalau eng­kau suka memenuhi dua permintaan kami untuk kebutuhan kami itu. Bagaimana, nona Ciong?” tanya pula Thian Kek Seng-jin.

“Katakan, apa yang harus kulakukan.” jawab Siu Kwi dan di dalam batinnya, wanita ini tentu saja su­dah menyetujui permintaan mereka. Apapun akan ia lakukan demi menyelamatkan Yo Jin, pria yang dicin­tanya itu.

Thian Kek Seng-jin memandang kepada Ok Cin Cu, kemudian kepada Siu Kwi lagi sambil berkata. “ Biarlah sahabat Ok Cin Cu akan menceritakan sen­diri permintaannya. Adapun pinto ingin engkau mem­bantu pinto menghadapi seorang musuh besar. Kami sudah maju berdua, namun belum dapat menandinginya. Kulau engkau maju membantu kami, aku yakin akan dapat mengalahkan musuh besar itu.”

Siu Kwi terkejut. Kalau dua orang seperti tosu Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw ini saja tidak mam­pu menandingi orang itu, tentu musuh besar Thian Kek Seng-jin itu seorang yang lihai bukan main. Akan tetapi ia hanya membantu mereka berdua, dan hal ini tentu saja tidak berat baginya. Hanya, ia sudah meng­ambil keputusan tidak melakukan perbuatan jahat, maka iapun ingin tahu lebih dahulu siapa orang yang akan mereka keroyok itu.

“Siapakah orang itu?”

“Dia adalah seorang keturunan pendekar Pulau Es.”

Siu Kwi terkejut dan mengerutkan alisnya. Kelu­arga Pulau Eslah yang telah menghancurkan semua cita-citanya, dan biarpun tadinya ia sudah tidak mau memikirkan hal itu dan tidak mau menanam persiapan dengan siapapun, akan tetapi sedikit banyak ada perasaan tidak suka terhadap keluarga Pulau Es dalam hatinya. Maka mendengar bahwa musuh besar ketua cabang Pek-lian-kauw ini adalah seorang ang­gauta keluarga Pulau Es, iapun tanpa berpikir panjang lagi lalu mengangguk.

“Baiklah! Aku akan membantu kalian mengha­dapi musuh itu, dan kalian harus membebaskan Yo Jin.”

“Heh-heh, nanti dulu! Tiba-tiba Ok Cin Cu berkata sambil menyeringai sehingga nampak mulut­nya yang tinggal mempunyai beberapa buah gigi yang besar-besar. “Itu adalah syarat yang diajukan saha­bat Thian Kek Seng-jin, sedangkan syarat dari pinto masih belum. Kaleu engkau membantu menghadapi musuh itu, berarti baru separuh dari syarat kami kau penuhi. Engkau tentu tidak ingin kami membebaskan separuh badan orang she Yo itu, bukan? Kau memi­lih dari pingang ke atas atau dari pinggang ke bawah yang harus dibebaskan?”

Siu Kwi tidak mau menyambut kelakar ini. Tentu saja ia tidak mau mendapatkan setengah saja dari badan Yo Jin. “Katakanlah, apa syaratmu!” katanya cepat dan ketus.

Ok Cin Cu menyeringai dan Thian Kek Seng Jin mentertawakan temannya itu. Akan tetapi yang ditertawakan sama sekali tidak merasa malu, bahkan nampak gembir sekali ketika berkata, “Ciong Siu Kwi, sudah lama sekali pinto mendengar akan nama Bi-kwi yang selain lihai ilmu silatnya, juga lihai sekali dalam hal lain mengenai pria. Nah, ilmu silatmu su­dah pinto lihat dan rasakan. Akan teapi pinto ingin membuktikan sendiri kelihaianmu dalam hal yang lain itu. Pinto ingin agar engkau tidur bersama pinto satu malam dan melayani pinto. Baru pinto mau membe­baskan Yo Jin seutuhnya!”

Kalau lain wanita yang diajukan itu, tentu ia akan merasa malu dan tersinggung sekali. Akan tetapi, bagi Siu Kwi, hubungan dengan pria bukan merupakan hal yang aneh. Sejak remaja ia sudah melayani Sam Kwi, tiga orang gurunya yang juga sudah kakek-kakek, dan selama ia bertualang sebagai Bi-kwi, entah sudah berapa banyak pria yang dipermainkannya uutuk melampiaskan napsunya. Per­mintaan terang-terangan dari Ok Cin Cu itu dianggapnya biasa saja, walaupun ia merasa terhina karena bia­sanya, ialah yang memilih laki-laki. Kecuali Sam Kwi, belum pernah ia melayani pria secara terpaksa. Akan tetapi, sekali ini, ia tidak berani marah, ia akan melakukan apa saja untuk pembebasan Yo Jin dan sya­rat yang diajukan oleh Ok Cin Cu itu, baginya adalah lebih berat dari pada syarat yang diajukan Thian Kek Seng-jin. Menyerahkan badannya bagi Siu Kwi tidak ada artinya, karena hatinya sudah ia serahkan sebulat­nya kepada satu orang saja, yaitu Yo Jin! Dan ia melakukan itu bukan karena penyelewengan, bukan karena pemuasan nafsu, melainkan semata-mata untuk menyelamatkan Yo Jin!

“Baik, kuterima syaratmu. Nah, sekarang kalian bebaskan Yo Jin, dan aku akan memenuhi syarat kalian!“

“Ho-ho-ho, jangan tergesa-gesa, nona manis Thian Kek Seng-jin berseru. “Kami yang mengajukan syarat, maka kami harus melihat syarat-syarat itu terlaksana lebih dulu, baru kami akan membebaskan Yo Jin.”

Betapa mendongkolnya rasa hatinya, terpaksa Siu Kwi menurut. Pagi hari itu juga kedua orang tosu mengajak Siu Kwi untuk membantu mereka menghapi musuh besar Thian Kek Seng-jin. Hari telah siang ketika mereka bertiga tiba dilereng sebuah bukit tandus yang penuh dengan batu-batu besar dan guha-guha. Dan di sebuah di antara guha-guha itulah terdapat musuh besar yang dimaksudkan!­

Laki-laki itu sedang duduk bersila dimulut guha ketika Ok Cin Cu, Thian Kek Seng-jin dan Ciong Siu Kwi memandang penuh perhatian. Hatinya tertarik untuk melihat orang yang demikian lihainya sehingga dua orang tosu seperti Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin sampai tidak mampu menandinginya.

Laki laki itu belum tua benar, paling banyak empatpuluh tahun usianya. Mukanya bulat dengan kulit yang agak gelap, namun bentuk mukanya tampan dan gagah, juga terawat rapi. Rambutnya yang dikuncir mengkilap bersih dan halus karena minyak, wajahnya juga bersih, tidak ditumbuhi brewok karena agaknya dia rajin mencukur kumis dan jenggotnya. Pakaiannya juga baik dan bersih, bahkan agak mewah. Seorang pria yang pesolek, pikir Siu Kwi. Ia belum pernah bertemu dengan pria ini. Di punggung pria yang duduk bersila itu nampak sepasang pedang beronce biru dan sarungnya terukir indah.

Pria yang gagah ini memang benar keluarga Pulau Es. Bahkan dia masih cucu dari mendiang Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, karena dia adalah Suma Ciang Bun! Seperti kita ketahui, delapan tahun yang lalu, Suma Ciang Bun menyelamatkan nyawa Gu Hong Beng yang kemudian selama tujuh tahun di­gemblengnya di pegunungan. Setelah Hong Beng menjadi seorang pemuda yang lihai, Suma Ciang Bun mengutus muridnya itu untuk memperluas pengalam­an dan pengetahuan, pergi ke kota raja untuk mela­kukan penyelidikan terhadap pembesar Hou Seng. Dan seperti telah diceritakan di bagian depan, akhir­nya dengan beryambung bersama para pendekar sakti, Hong Beng membantu runtuhnya kekuasaan yang dibentuk oleh Hou Seng itu.

Sementara itu Suma Ciang Bun sendiri menyepi ke gunung-gunung untuk bertapa. Seperti biasa di sepanjang perjalanannya, kalau melihat hal-hal yang tidak adil, dia pasti turun tangan sebagai seorang pen­dekar. Dan sudah beberapa pekan lamanya dia ber­ada di pegunungan tandus itu, menanti kembalinya Hong Beng karena dia sudah berpesan kepada muridnya itu agar dua tahun kemudian datang mencarinya di pegunungan tandus itu.

Kehadirannya di dalam guha di gunung itu dike­tahui oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin. Dua orang tokoh besar Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw ini segera mengenal pendekar keturunan keluarga Pu­lau Es ini dan semenjak dahulu memang kedua aliran ini menganggap keluarga Pulau Es sebagai musuh be­sar. Semenjak jaman Pendekar Super Sakti masih mu­da, kedua aliran ini, terutama sekali Pek-lian-kauw, sudah memusuhi Pendekar Pulau Es. Melihat Suma Ciang Bun, tentu saja Thian Kek Seng-jin yang kebe­tulan berada di situ cepat turun tangan menyerang. Akan tetapi, dia tidak dapat menandingi kelihaian Suma Ciang Bun. Bahkan ketika Ok Cin Cu mem­bantunya, dua orang tosu itu tetap saja kewalahan dan akhirnya mereka melarikan diri.

Itulah sebabnya, melihat kelihaian Siu Kwi, Thian Kek Seng-jin lalu mempunyai akal untuk mengajak wanita itu membantunya dengan janji akan membe­baskan Yo Jin dan seperti telah diperhitungkannya, Siu Kwi yang benar-benar jatuh cinta kepada Yo Jin, tak dapat menolak syaratnya.

Dengan hati besar karena mereka kini datang bertiga, Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin tertawa melihat musuh besar itu masih duduk bersila. “ Ha-ha-ha, Suma Ciang Bun! Kematianmu sudah berada di de­pan mata. Bangunlah dan terimalah kematianmu di tangan kami! Thian Kek Seng-jin berseru dengan nyaring sedangkan Ok Cin Cu hanya tertawa berge­lak. Siu Kwi tidak bertanya, hanya memandang tajam dan mengamati gerak-gerik orang yang sedang duduk bersila itu. Tiba-tiba saja Siu Kwi berseru, “Awas jarum....!“ ketika Suma Ciang Bun mengge­rakkan tangan kirinya. Jarum-jarum halus sekali me­nyambar ke arah mereka bertiga. Dua orang tosu itu terkejut sekali dan merekapun cepat meloncat ke pinggir sambil mengebutkan lengan baju. Siu Kwi sendiri meloncat tinggi sehingga beberapa jarum yang menyambar kearahnya lewat di bawah kakinya. He­bat bukan main serangan jarum-jarum halus itu, dila­kukan oleh Suma Ciang Bun yang masih duduk bersi­la sambil memejamkan kedua matanya. Pendekar itu menyerang mereka hanya mengandalkan pendengaran­nya saja.

Ketika mereka bertiga sudah berdiri tegak kem­bali dan memandang, ternyata Suma Ciang Bun kini sudah bangkit, menghadapi mereka dengan alis berke­rut. Siu Kwi agak gentar melihat sinar mata yang mencorong itu dan ia dapat menduga bahwa pendekar ini berwatak keras.

Suma Ciang Bun tadi menyerang mereka dengan­ jarum-jarumnya karena pendekar ini merasa jengkel bahwa samadhinya di ganggu oleh dua orang tosu yang sudah pernah dikalahkannya itu. Akan tetapi dia men­dengar seruan seorang wanita dan melihat betapa wa­nita itu dengan gerakan yang luar biasa ringannya telah meloncat ke atas ketika menghindarkan diri diri sambaran jarum-jarumnya. Tahulah dia bahwa dua orang tosu itu telah datang lagi membawa seorang teman yang amat lihai.

“Siapakah engkau yang membantu Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw? Aku tidak pernah bermusuhan denganmu!“ Suma Ciang Bun memandang tajam ke­pada wanita cantik pesolek itu.

Sebelum Ciong Siu Kwi yang merasa bimbang itu menjawab, Thian Kek Seng-jin sudah mendahuluinya. “Ha-ha, engkau tidak mengenal Bi-kwi murid mendi­ang Sam Kwi yang tewas di tangan para pendekar Pulau Es?” Memang Thian Kek Seng-jin ini cerdik sekali. Dia sudah tahu akan keadaan Siu Kwi, maka dia segera menghadapkan wanita yang membantunya itu sebagai musuh besar Suma Ciang Bun. Mendengar bahwa wanita itu adalah murid Sam Kwi yang men­jadi tokoh-tokoh besar dunia sesat, Ciang Bun tidak merasa heran kalau wanita itu kini membantu musuh-musuhnya.

“Bagus!” serunya marah. “Kalian memang harus dibasmi dan sekali ini aku tidak mau kepalang tanggung!” Berkata demikian, Suma Ciang Bun menggerakkan tangan mencabut sepasang pedangnya. Sepasang pedang yang mengeluarkan sinar berkilauan berada di kedua tangannya dan diapun sudah berdiri dengan tegak, sikapnya menantang.

Ok Cin Cu sudah melintangkan tongkat ular hitamnya yang dimainkan sebagai pedang, sedangkan Thian Kek Seng-jin menggerakkan tongkat naga hitam sebagai sebatang tongkat panjang yang ampuh. Meli­hat ini, teringat akan janjinya, Siu Kwi juga melolos pedangnya ikut mengepung pendekar itu.

Ciang Bun sudah pernah bertanding melawan pengeroyokan dua orang tosu itu dan dia maklum bah­wa tingkat kepandaian mereka itu hanya sedikit selisihnya dengan tingkatnya sendiri. Kalau dia mampu mengalahkan mereka kanyalah karena ilmu silatnya yang luar biasa sehingga dua orang kakek itu menjadi bingung dan kacau dibuatnya. Akan tetapi, tenaga mereka tidak lebih kecil dari pada tenaga sin-kangnya walaupun dia sudah menguasai dua macam tenaga sakti yang bertentangan dari Pulau Es, yaitu Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang. Sayang bahwa dia tidak pernah berhasil menguasai kedua sinkang itu sampai ke puncaknya. Biarpun tidak begitu mudah baginya mengalahkan pengeroyokan dua orang tosu itu, namun dia percaya bahwa sekali inipun dia akan mampu mengalahkan, bahkan mungkin merobohkan mereka, kalau saja di situ tidak ada si wanita yang memiliki gerakan demikian ringannya. Untuk menguji sampai di mana kehebatan wanita itu, dia lalu lang­sung menggerakkan tubuhmya menyerang Siu Kwi dengan pedang kanannya yang menusuk ke arah da­da disambung dengan gerakan pedang kiri yang dari atas membacok ke arah kepala. Serangan ini cepat dan hebat karena merupakan bagian dari ilmu silat Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis), jurus yang dinamakan Siang-mo jio-cu (Sepasang Iblis Be­rebut Mustika). Jurus ini dapat dikembangkan de­ngan serangan-serangan kanan kiri yang berlawanan atau berbeda arahnya dan sambung-menyambung men­jadi serangkaian serangan yang amat berbahaya.

Melihat betapa sepasang pedang itu menyerangnya dari depan dan atas, berarti hanya satu jurusan saja, Siu Kwi yang memiliki gerakan cepat itu karena ia telah mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh), cepat membuang diri ke kiri untuk mengelak. Akan tetapi sambil mengelak, ia telah menusukkan pedangnya dari samping ke arah lambung lawan disu­sul tendangan kilat ke arah lutut. Karena maklum bahwa ia berhadapan dengan lawan tangguh, maka Siu Kwi bergerak cepat, begitu diserang, mengelak sambil membalas dengan tidak kalah hebatnya.

“Cringgg....!” Ciang Bun terkejut melihat kehebatan wanita itu. Tepat dugaannya bahwa wanita itu lihai, buktinya, menghadapi serangannya tadi, da­pat langsung saja membalas. Dia menangkis dengan pedang kirinya dan membabat kaki yang menendang dengan pedang kanan. Akan tetapi Siu Kwi sudah menarik kakinya dan meloncat ke belakang untuk mengatur kedudukannya.

Pada saat itu Ok Cin Cu sudah menyerang dari samping, menusukkan tongkat ular hitam ke arah le­her, sedangkan dari belakang, Thian Kek Seng-jin juga menyerang dengan babatan tongkat panjangnya ke arah kaki! Ciang Bnn cepat memutar tubuh, me­nangkis tongkat yang menusuk leher, kemudian dia meloncat ke atas membiarkan tongkat lewat di bawah kakinya, tubuhnya terus meluncur ke depan, masih menyerang Siu Kwi! Kini sepasang pedangnya itu bergerak dari kanan kiri dengan jurus Siang-mo Koan-bun (Sepasang Iblis Menutup Pintu). Gerakannya ini memang merupakan lingkaran sinar pedang yang me­nutup jalan keluar lawan. Lawan yang diserangnya tidak akan mempu mengelak ke kanan atau ke kiri lagi sehingga tidak ada kesempatan untuk balas me­nyerang.

Namun, Siu Kwi mengenal serangan berhahaya. Ia mempergunakan kelincahan tubuhnya, sudah me­loncat ke belakang sehingga kembali serangan Ciang Bun yang amat cepat itu luput dari sasaran! Hal ini membuat Ciang Bun penasaran dan pada saat itu, melihat betapa kedua orang tosu sudah menerjangnya lagi dari kanan kiri, dia memutar sepasang pedangnya menyambut. Berkali-kali terdengar bunyi nyaring dan nampak bunga api berpijar kalau pedang di tangan pendekar itu bertemu dengan tongkat lawan. Siu kwi yang melihat berapa pendekar itu agaknya berbalik hendak mendesak dua orang tosu, sudah cepat mener­jang dengan serangan-serangan pedangnya yang sinar­nya bergulung-gulung. Tentu saja serangan-serangan wanita ini tak dapat dipandang ringan dan memecah perhatian Ciang Bun yang terpaksa harus melayani tiga orang pengeroyoknya yang tangguh.

Kalau ada yang menonton pertandingan ini, tentu orang akan merasa kagum bukan main, walaupun ce­patnya gerakan mereka membuat mata biasa sukar un­tuk dapat mengikuti pertandingan, sukar melihat sia­pa yang terdesak dan siapa yang mendesak. Yang nampak hanya gulungan sinar senjata mereka, dan bayangan tubuh mereka terbungkus gulungan sinar itu, hanya kadang-kadang saja nampak bayangan me­reka dan kaki mereka menyentuh tanah.

Suma Ciang Bun adalah seorang keturunan langsung dari keluarga Pulau Es dan dia sudah menguasai ilmu-ilmu yang luar biasa tingginya. Akan tetapi, per­lu diketahui bahwa yang menjadi penentu terakhir mengenai tinggi rendahnya tingkat seorang ahli silat, adalah si orang itu sendiri, bukan ilmunya. Ilmu si­lat memang ada yang bagus ada yang buruk ada yang lambat ada yang cepat, ada yang praktis tanpa kem­bangan ada yang memakai banyak kembangan. Na­mun, setelah dikuasai seseorang, tentu saja sifat-sifat itu terseret oleh keadaan orang itu sendiri. Dan perlu diketahui bahwa sejak kecilnya, bakat ilmu silatnya tidaklah begitu menonjol dan kalah jauh kalau diban­dingkan dengan keturunan keluarga Pulau Es yang lain. Ilmu-ilmu silat yang dikuasainya memang hebat bukan main, akan tetapi tidak mencapai tingkat yang terlalu tinggi sehingga menghadapi pengeroyokan tiga orang yang lihai ini, Suma Ciang Bun mulai terdesak hebat.

Perhitungan Thian Kek Seng-jin memang tepat. Dia dan Ok Cin Cu tidak mampu menandingi Suma Ciang Bun dan hal ini membuat dia merasa penasaran bukan main. Dia tidak tahu siapa lagi yang dapat di­mintai bantuannya. Ketika dia dan Ok Cin Cu ben­trok dengan Siu Kwi dan melihat kelihaian wanita itu, terutama sekali kecepatan gerakannya, tahulah dia bahwa kalau wanita ini dapat membantunya, maka dia tentu akan mampu mengalahkan pendekar Pulau Es itu.

Betapapun juga, ilmu-ilmu silat yang dimainkan Suma Ciang Bun memang hebat sekali sehingga wa­laupun tiga orang itu mampu mengepung ketat dan mendesak sampai seratus jurus lamanya belum juga mereka bertiga itu mampu mengalahkan Suma Ciang Bun yang masih melawan dengan gigih. Akan tetapi kini pendekar itu lebih banyak bertahan dan melin­dungi diri dari pada menyerang.

Tiba tiba tongkat ular hitam di tangan Ok Cin Cu menusuk ke arah leher Ciang Bun dari kiri, dibarengi dengan pukulan tongkat naga hitam ke arah ping­gangnya dari kanan Ciang Bun tidak sempat menge­lak lagi, terpaksa menggunakan sepasang pedangnya menangkis ke kanan kiri dengan jurus Siang-mo Khai-bun (Sepasang Iblis Membuka Pintu). Jurus ini bu­kan hanya menangkis, melainkan dilanjutkan dengan serangan balasan yang hebat. Akan tetapi pada saat dia menangkis, nampak sinar pedang meluncur ganas dari depan, yaitu pedang yang diserangkan oleh Siu Kwi ke arah dadanya. Serangannya sedemikian ce­patnya sehingga Ciang Bun merasa terkejut. Dengan menggunakan pantulan tenaga ketika menangkis tong­kat naga hitanm, pedang kanannya mental dan meluncur, memapaki sinar pedang Siu Kwi dari depan, se­dangkan pedang kirinya dengan tenaga sin-kang masih menempel tongkat ular hitam.

“Cringgg....!”Siu Kwi mengeluarkan seruan kaget karena pedangnya hampir terlepas dari pe­gangannya ketika bertemu dengan kerasnya dengan pedang lawan. Akan tetapi pada saat itu, tongkat na­ga hitam menyambar dari belakang dan tidak dapat dielakkan atau ditangkis oleh Ciang Bun lagi.

“Bukkk....!” Tubuh Ciang Bun terlempar keras, terbanting dan terguling-guling. Dia menderita luka parah oleh pukulan tongkat yang mengenai pung­gungnya itu, maka ketika dia terguling-guling, dia se­ngaja bergulingan dengan cepat, kemudian meloncat dan melarikan diri. Pendekar ini maklum bahwa dia telah terluka dan kalau tidak melarikan diri, tentu ti­ga orang lawan itu akan membunuhnya.

“Kejar dia....!” Thian Kek Seng-jin berse­ru marah ketika melihat lawan yang sudah terluka itu melarikan diri.

“Kenapa mesti dikejar?” Siu Kwi membantah. “Dia sudah kalah dan lari.”

“Kejar! Kita harus membunuhnya!” Thian Kek Seng-jin berteriak dan diapun mengejar diikuti Ok Cin Cu, Siu Kwi terpaksa ikut mengejar.

“Jangan mencari penyakit!” kembali ia berkata sambil berlari di samping kakek itu. “Jangan mende­sak terus. Bagaimana kalau muncul tokoh-tokoh Pu­lau Es lainnya? Dia hanya tokoh kecil saja! Aku sudah banyak bertemu dengan mereka, yang kepan­daiannya jauh lebih tinggi dari dia!”

Thiar Kek Seng-jin mencari-cari akan tetapi bayangan Suma Ciang Bun tak nampak lagi. Juga dia mulai jerih mendengar kata-kata Siu Kwi. Baru mengalahkan Suma Ciang Bun sekarang saja sudah demikian repotnya, apa lagi kalau muncul tokoh Pulau Es lain­nya yang lebih lihai. Pula, kalau wanita ini tidak mau membantunya, dia dan Ok Cin Cu juga tidak berdaya menghadapi tokoh yang mereka kejar-kejar itu. Maka, biarpun hatinya kurang puas karena dia tidak berhasil membunuh musuhnya, terpaksa dia memghentikan pengejarannya.

Ketika Ok Cin Cu pada malam itu menuntut syaratnya, diam-diam Siu Kwi bergidik memandang ka­kek berusia hampir tujuhpuluh tahun yang bertubuh tinggi besar dengan perut gendut dan rambut riap-riapan, tubuhnya yang kurang terjaga kebersihannya itu mengeluarkan bau busuk. Akan tetapi, dengan terpaksa Siu Kwi menyerahkan dirinya kepada tosu gendut itu ketika sang tosu membawanya ke sebuah pondok kecil di luar dusun. Ia menyerahkan diri sambil mematikan perasaannya dan dengan tingkat kepandaiannya, hal ini tidak sukar ia lakukan. Yang masuk ke dalam ingatannya hanyalah bahwa ia mela­kukan pengorbanan untuk pria yang dicintanya. Apa­pun akan ia lakukan demi keselamatan Yo Jin. Kare­na apa yang ia lakukan itu tanpa disertai perasaan se­dikitpun, maka bagi Ok Cin Cu wanita ini tiada bedanya dengan sesosok mayat saja. Tentu saja hal ini membuat Ok Cin Cu merasa tidak puas dan kecewa, seperti bercinta dengan mayat atau patung dan diam-diam di pun marah sekali.

Pada keesokan harinya, dua orang tosu itu berjan­ji bahwa malam berikutnya mereka akan membebas­kan Yo Jin. “Engkau datanglah ke tempat tinggal Lui-thungcu pada tengah malam dan Yo Jin akan ka­mi bebaskan dengan diam-diam agar dapat kaujemput. Hal ini harus dilakukan dengan hati-hati agar jangan sampai ketahuan oleh keluarga Lui. Biarlah mereka mengira bahwa engkau dan orang-orang lain yang datang membebaskan Yo jin. Kami akan pura-pura melakukan pengejaran dan mencari,” kata Thian Kek Seng-jin dan tentu saja Siu Kwi menyetujui dengan hati penuh harapan.

Malam itu cuaca gelap sekali. Bulan memang belum waktunya keluar dan sedikit bintang yang nam­pak kadang-kadang tertutup awan hitam yang lewat di bawahnya. Sebelum tengah malam, Siu Kwi telah berada di luar pagar tembok yang mengelilingi kompleks bangunan tempat tinggal keluarga Lurah Lui. Dengan hati berdebar penuh kegembiraan dan kete­gangan ia menanti sambil merenungkan semua yang telah terjadi semenjak ia berjumpa dengan Yo Jin. Telah terjadi perubahan besar dalam hidupnya, dimu­lai sejak ia dan sekutunya kalah dan hancur oleh para pendekar. Akan tetapi perubahan besar baru benar terjadi setelah ia berjumpa dengan Yo Jin. Ia telah berkorban untuk Yo jin. Di luar kehendaknya ia te­lah membantu dua orang tosu itu memusuhi pendekar Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es. Bah­kan di luar kehendaknya ia telah menyerahkan tubuh­nya kepada Ok Cin Cu. Kedua hal itu terpaksa ia lakukan karena ia tidak melihat cara lain untuk me­nyelamatkan Yo Jin yang berada dalam cengkeraman dua orang tosu yang tangguh itu. Hatinya gembira. Betapapun juga, pengorbanan itu tidak berapa berat. Apa artinya menyerahkan badan tanpa perasaan dan hati? Dan ia hanya membantu untuk mengalahkan Suma Ciang Bun. Semua hal itu terlupa karena ia membayangkan betapa gembiranya sebentar lagi ia dapat menyelamatkan dan mengajak pergi Yo Jin. Ia akan hidup berbahagia bersama pria itu. Satu-satunya halangan, yaitu ayah Yo Jin, telah tewas pula. Sejak siang tadi ia sudah membayangkan hal ini dan sudah mengatur rencana. Ia hendak mengajak Yo jin pergi dan hidup di sebuah tempat yang baru di mana tak seorangpun akan mengenalnya. Ia akan hidup seba­gai manusia baru di tempat yang baru, bukan sebagai Bi-kwi murid Sam Kwi, melainkan sebagai isteri seo­rang pria sederhana seperti Yo Jin. Betapa akan berbahagianya mereka, merawat dan mendidik anak-anak mereka. Anak-anak! Ah, belum pernah sebelumnya ia membayangkan tentang rumah tangga, suami dan anak-anak.

Suara berdenting ketika tanda waktu dipukul para penjaga, menciutkan hatinya dan membuatnya sadar dari lamunan. Tengah malam telah tiba! Iapun men­dekati pagar tembok dan setelah merasa yakin bahwa keadaan di situ sunyi saja, ia lalu meloncat ke atas pagar tembok, meneliti sebentar keadaan di sebelah dalam yang ternyata juga sunyi seperti keadaan di luar. Maka ia lalu melompat turun dan menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak menuju ke bagian belakang.

“Kwi-moi.... aku di sini....! Mendengar suara Yo Jin itu, bukan main girang rasa hati Siu Kwi.

“Jin-koko....!” Serunya lirih dengan suara gemetar dan iapun berlari ke arah suara tadi. Agak­nya pria yang dikasihinya itu berada di belakang pon­dok yang menjadi kandang kuda, menantinya. Beta­papun gembira dan tegang rasa hatinya, Siu Kwi tidak pernah mengendurkan kewaspadaannya. Ia berurus­an dengan dua orang tosu yang selain tangguh, juga cerdik dan mungkin saja suka bertindak curang, maka ia selalu siap siaga.

Kewaspadaan inilah yang menyelamatkannya. Ke­tika ia sudah melihat bayangan Yo Jin yang berdiri di belakang kandang kuda, dan ia berlari di antara po­hon-pohon di kanan kiri, tiba-tiba saja kakinya terli­bat tali sehingga ia terguling. Ia meloncat dan kaki­nya masih terlibat banyak sekali tali yang agaknya di­tarik orang. Karena memang sebelumnya sudah siap siaga, hanya sebentar saja Siu Kwi terkejut dan secepat kilat ia telah mencabut pedangnya dan dengan bebe­rapa kali bacokan saja, tambang-tambang itu sudah putus semua. Untung ia melakukan hal ini karena kalau tidak, tentu tubuhnya akan terlibat semua dan ia tentu tidak akan mampu melawan lagi!

Tiba-tiba keadaan menjadi terang. Obor-obor di­ nyalakan dan ternyata tempat itu telah dikepung oleh puluhan orang penjaga yang dipimpin oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin sendiri! Dan di kejauh­an, ia melihat betapa Yo Jin dengan kaki tangan ter­ikat, berdiri dan terikat pada sebatang pohon. Tahu­lah ia bahwa memang dua orang tosu itu bersikap cu­rang sekali. Ia sengaja dipancing untuk ditangkap, bukan untuk disuruh menjemput Yo Jin seperti yang dijanjikan. Tentu saja ia menjadi marah sekali dan sepasang matanya mencorong seperti mengeluarkan api.

“Tosu-tosu jahanam yang berwatak hina dan ren­dah!” bentaknya dan iapun menerjang dengan pe­dangnya ke arah dua orang tosu itu. Akan tetapi, banyak sekali tombak panjang menyambutnya dan sebentar saja ia sudah dikepung dan dikeroyok oleh puluhan orang penjaga yang memegang tombak pan­jang. Dan kini dua orang tosu itupun menerjang ma­ju sehingga tentu saja Siu Kwi menjadi repot sekali melayani mereka. Namun, ia mengamuk seperti see­kor harimau betina terluka, pedangnya berkelebatan dan sudah ada beberapa orang penjaga yang roboh mandi darah. Pedang di tangan Siu Kwi sudah berlepotan darah. Akan tetapi, ia sendiri menerima tusukan tombak dan hantaman tongkat berkali-kali. Pundaknya dan paha kirinya terluka, kulitnya robek dan mengucurkan darah. Pipinya bengkak dan punggungnya juga dua kali menerima hantaman tong­kat panjang naga hitam di tangan Thian Kek Seng-jin.

“Kwi-moi...., larilah...., selamatkan dirimu....!”

Teriakan melengking ini menyadarkan Siu Kwi. Itulah suara Yo Jin dan iapun sadar bahwa mengamuk terus berarti mencari mati. Dan kalau ia mati di situ, tentu tidak ada harapan lagi bagi Yo jin. Selain ia seorang, siapa lagi yang akan membela Yo Jin? Hatinya berdarah kalau ia membayangkan Yo Jin yang belum juga dapat diselamatkannya. Akan tetapi, ia akan terus berusaha, dan untuk itu, ia harus mampu keluar dari kepungan ini lebih dahulu. Maka, tiba-tiba ia mener­jang ke belakang dan membalikkan tubuhnya. Karena yang berada di belakangnya hanya para penjaga, me­reka itu menjadi panik ketika tiba-tiba dua orang di antara mereka roboh mandi darah. Terbukalah pe­ngepungan mereka dan Siu Kwi lalu menerjang ke arah itu. Para pengepung mundur dan keadaan men­jadi kacau balau. Dua orang tosu tidak dapat mende­sak Siu Kwi karena terhalang oleh para penjaga yang lari ke kanan kiri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Siu Kwi untuk melompat ke luar pagar tembok dan menghilang di dalam kegelapan malam.

***

Siu Kwi menangis sesenggukan. Tangisnya lebih sedih dari pada tangisnya yang pertama kali sebelum ia berjumpa Jengan Yo jin. Selamanya ia tidak per­nah menangis dan pertama kali menangis adalah ke­tika ia merasa kesepian, setelah persekutuannya hancur. Akan tetapi tangisnya sekarang ini sungguh ke­luar dari dasar hatinya. Ia menangis sampai terisak-isak dan tersedu-sedan, kadang-kadang menyebut na­ma Yo Jin. Ia merasa berduka, gelisah, dan menyesal sekali. Bagaimanapun juga, kalau diusut dari semula, ialah yang menjadi gara-gara sampai Yo Jin terpaksa menjadi orang tahanan, bahkan ayahnya tewas dibu­nuh orang. Kalau Yo Jin tidak berjumpa dengannya, tentu dia tidak akan mengalami semua malapetaka ini. Dan ia sendiri sekarang tidak berdaya sama sekali untuk menyelamatkan Yo Jin. Semua impiannya kemarin kini buyar dan hancur pula, seperti hancur­nya semua cita-citanya. Karena kebingungan, tidak tahu apa yang harus dilakukannya, sedangkan ia sen­diri sudah menderita luka-luka yang cukup parah, Siu Kwi hanya dapat menangis! Menangis seorang diri di dalam hutan yang sunyi itu.

Pundak dan pahanya masih terluka menganga dan mengeluarkan darah, juga pipinya benjol, bekas pu­kulan tongkat di punggungnya juga mendatangkan rasa ngilu dan nyeri bukan main. Akan tetapi ia tidak memperdulikan semua itu, tidak perduli akan keadaan dirinya. Yang terpikir olehnya hanyalah Yo Jin!

Dalam keadaan menangis ini, muncullah Siu Kwi sebagai seorang wanita sepenuhnya. Seorang wanita yang normal, mahluk yang lemah dan terbuai perasaan, dan mencari pelarian dari segala derita ke dalam tangis. Dulu sekali, tangis merupakan hal yang me­malukan baginya, merupakan pantangan karena per­buatan ini dianggapnya memamerkan kelemahan dan cengeng. Akan tetapi sekarang, setelah merasa tidak berdaya dan bingung memikirkan keadaan pria yang dicintanya, yang tidak mampu ditolongnya, iapun tak dapat berbuat lain kecuali menangis! Dan tangisnya ini adalah pencurahan dari semua penderitaan batin yang sejak dahulu selalu ditekan dan ditahannya. Pen­deritaan batin ketika ia masih kecil kehilangan ayah ibu, ketika ia terpaksa melayani gairah nafsu tiga orang gurunya, Sam Kwi, yang diterimanya dengan pasrah namun sebenarnya di dasar hatinya timbul pemberontakan yang ditekannya. Semua himpitan batin itu dahulu ia imbangi dengan perbuatan-perbuat­an sesat dan kejam, sebagai pelariannya. Akan tetapi sekarang, setelah ia melihat betapa kesesatannya tidak mendatangkan kebaikan bagi dirinya, setelah ia ingin merobah jalan hidupnya, satu-satunya pelarian hanya­lah tangis kesedihan.

“Suci....!” tiba-tiba terdengar suara wa­nita menegurnya.

Siu Kwi mengangkat mukanya yang tadi ditutupi dengan kedua tangannya. Sebuah muka yang mem­bengkak, ujung bibir yang masih berdarah, muka yang basah air mata yang bercucuran dari sepasang mata yang kemerahan. Ketika ia melihat bahwa yang da­tang menegurnya adalah Bi Lan, Siu Kwi merasa jan­tungnya seperti ditusuk-tusuk dan iapun menangis semakin menjadi-jadi sampai mengguguk.

Yang datang itu memang Bi Lan bersama Sim Houw. Seperti telah diceritakan di bagian depan, se­telah berhasil menghancurkan komplotan kaki tangan pembesar Hou Seng, dibantu oleh para pendekar keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir, para pendekar bubaran dan Bi Lan pergi bersama Sim Houw. Kedua orang ini merasa saling tertarik dan terikat satu sama lain, merasa betapa mereka tak mungkin dapat saling berpisah lagi. Memang, selama melakukan perjalanan menuju ke utara, keduanya belum pernah saling meng­aku cinta! Sim Houw yang sudah tahu bahwa dia kini mati-matian jatuh cinta kepada Bi Lan, merasa sungkan untnk mengakui cintanya. Dia jauh lebih tua dari pada Bi Lan. Usianya sudah hampir tigapu­luh lima tahun, sedangkan Bi Lan belum ada duapuluh tahun! Gadis itu pantas menjadi keponakannya! Biarpun dia sungguh mencintanya, akan tetapi kalau dia mengaku akan hal itu, bukankah dia akan diter­tawakan, bahkan disangka bahwa semua kebaikannya terhadap gadis ini berpamrih? Tidak, dia tidak be­rani mengaku cinta, walaupun hatinya sudah yakin akan hal itu. Di lain pihak, Bi Lan sendiri yang ma­sih hijau dalam soal asmara, hanya melihat Sim Houw sebagai seorang pria yang amat baik kepadanya. Dan iapun merasa amat suka kepada Sim Houw, kagum dan juga bangga dapat mempunyai seorang sahabat seperti pendekar ini. Dan yang lebih dari segalanya, ia merasa aman tenteram penuh kedamaian kalau ber­ada di samping Sim Houw.

Dalam perjalanan mereka ke utara, mereka pada pagi hari ini memasuki hutan dan mereka merasa ter­heran-heran ketika mendengar isak tangis sampai ke telinga mereka, terbawa angin bersilir. Karena merasa heran dan curiga, menduga bahwa mungkin saja ter­jadi kejahatan. mereka lalu mempergunakan ilmu me­ringankan tubuh, berindap menghampiri tempat dari mana suara itu datang. Dan dapat dibayangkan betapa heran dan terkejut hati Bi Lan ketika melihat bahwa yang sedang menangis terisak-isak itu adalah Bi-kwi! Karena itu, segera ia memanggil dan kini, setelah su­cinya itu memandang kepadanya, ia melihat keadaan sucinya yang luka-luka dan mukanya membengkak, dan kini sucinya menangis semakin menjadi-jadi.

“Suci.... kau.... kau menangis....?” Bi Lan menghampiri dan menjadi semakin terheran-heran. Belum pernah ia melihat sucinya ini menangis, apa lagi menangis sampai sedemikian sedihnya. “Apa­kah yang telah terjadi, suci?” Bagaimana juga, di dalam hatinya, Bi Lan merasa kasihan kepada suci­nya, orang yang sejak ia kecil melatihnya dan mene­maninya, walaupan sikap Ciong Siu Kwi terhadapnya tak dapat dibilang manis. Juga ia teringat bahwa tan­pa pertolongan sucinya, tentu dirinya telah ternoda oleh Sam Kwi.

Mendengar pertanyaan ini, Siu Kwi menjadi semakin berduka. Akan tetapi, ia segera teringat, bahwa kalau sumoinya ini mau membantu, tentu ia akan dapat menyelamatkan Yo Jin! Timbul lagi harapannya, akan tetapi karena khawatir kalau-kalau Bi Lan menolak permintaan tolongnya, iapun menjadi sema­kin berduka.

“Sumoi.... jangan dekati aku kalau kau tidak mau ketularan segala kesialan yang menimpa diriku.... ahhh, rasanya aku ingin mati saja, sumoi....“ katanya sambil mengusap air mata dari kedua pipinya dan iapun memandang ke arah Sim Houw yang ber­diri tak jauh dari situ. Apa lagi kalau orang she Sim itu mau membantunya, sudah dapat dipastikan bah­wa Yo Jin dapat diselamatkan!

“Suci, sungguh aku merasa heran sekali melihat engkau dapat berduka cita seperti ini. Apakah yang sesungguhnya telah terjadi? Aku melihat engkau menderita luka-luka. Apakah engkau berkelahi?”

Siu Kwi menarik napas panjang untuk menghenti­kan tangisnya. “Aku tidak tahu apakah kemunculan­mu ini akan merupakan pertolongan bagiku atau tidak, sumoi. Akan tetapi, biarlah kuceritakan semua kepa­damu....” Ia kembali menarik napas panjang. Bi Lan kini duduk di atas rumput, di dekatnya sedang­kan Sim Houw duduk di atas batu. Agaknya pendekar itupun tertarik untuk mendengarkan ceritanya yang membuat ia sampai menangis sedemikian sedihnya.

“Sumoi, setelah kau membiarkan aku pergi, baru aku merasa betapa sunyi dan merana hidupku, baru aku sadar betapa semua kesesatan yang telah meme­nuhi hidupku yang lalu tidak pernah mendatangkan kebahagiaan kepadaku. Engkau benar, sumoi, engkau tidak mau mengikuti jejak tiga orang suhu kita yang sesat. Aku ingin merobah hidupku, dan dalam kesa­daranku itu, bertemulah aku dengan seorang pemuda petani yang bodoh dan sederhana dan lemah.”

Ia lalu menceritakan pertemuannya dengan Yo Jin, betapa kemudian muncul tiga orang pemuda be­randalan yang hendak menganggunya, dan betapa Yo Jin, pemuda dusun yang lemah dan bodoh itu, membelanya mati-matian.

“Bayangkan, sumoi! Dia yang lemah dan bodoh, rela dikeroyok dan dipukuli sampai babak-belur, hanya untuk membela aku yang tidak dikenalnya. Beta­pa gagahnya dia! Dan aku.... akupun jatuh cinta kepadanya, sumoi....“

Kembali Siu Kwi menangis dan Bi Lan memandang sucinya dengan mata terbelalak. Aneh sekali mendengar cerita dan pengakuan sucinya ini. Biasanya, sucinya mempermainkan pria sesuka hatinya. Pria-pria itu dianggap boneka saja olehnya, atau bina­tangpeliharaan yang dianggap sebagai penghibur. Akan tetapi kini, terang-terangan sucinya mengaku jatuh cinta kepada seorang pemuda dusun yang seder­hana, bodoh dan lemah!

“Dan semua pengorbanannya untuk diriku itu membawa akibat yang amat mencelakakan baginya. Ayahnya sampai terbunuh orang, dan dia sendiri se­karang menjadi tawanan....”

Siu Kwi menceritakan semua hal yang telah terja­di dengan nada suara sedih sekali.

“Aku telah berusaha untuk menyelamatkannya, untuk membebaskannya. Akan tetapi, dua orang tosu ketua cabang Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw itu terlalu tangguh bagiku. Bahkan mereka telah meni­puku. Mereka berjanji membebaskan Yo Jin kalau aku mau bekerja sama. Thian Kek Seng-jin minta aku membantunya melawan dan mengalahkan pende­kar Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es. Hal ini telah kulakukan dan pendekar itu dapat dika­lahkan sampai melarikan diri. Kemudian akupun memenuhi permintaan Ok Cin Cu untuk melayaninya dan tidur bersamanya selama semalam. Semua ini ku­lakukan dengan pemaksaan diri, di luar kemampuan­ku demi untuk menolong Yo Jin. Akan tetapi, mere­ka berdua menipuku, tidak memenuhi janji, bahkan aku dikeroyok banyak orang malam tadi sampai nya­ris tewas dan menderita luka-luka inilah, aku hampir putus asa, sumoi. Tidak mengapalah aku mati asal Yo Jin selamat....”

Bi Lan saling pandang dengan Sim Houw. Ham­pir ia tidak dapat percaya akan cerita sucinya itu. Ia sudah terlalu mengenal sucinya sehingga cerita itu seperti tak masuk akal!

“Suci, sekarang yang terpenting adalah mengobati luka-lukamu. Luka di pundak dan pahamu itu cukup lebar, dan kulihat engkau seperti menderita luka dalam pula. Biarlah kami membantu mengobatimu, suci.“

“Tidak! Tidak perlu aku diobati kecuali kalau.... ahh, mana mungkin kalian suka membantu­ku?” Dan tiba-tiba Siu Kwi menjatuhkan dirinya berlutut di depan sumoinya!

“Sumoi, aku mohon padamu, kaubantulah aku menyelamatkan Yo Jin....“

Tentu saja Bi Lan menjadi terkejut setengah mati dan cepat-cepat ia memegang kedua pundak sucinya, membangunkannya kembali.

“Hal itu nanti kita bicarakan, suci. Sekarang biarlah kami mengobatimu dulu....“

“Tidak, sumoi. Kalau engkau tidak mau berjanji untuk membantuku menghadapi dua tosu jahanam itu dan menyelamatkan Yo Jin, akupun tidak perlu diobati dan biarlah aku mati saja.”

Bi Lan kembali menoleh dan memandang kepada Sim Houw. Ia masih meragukan kebenaran ucapan sucinya ini, akan tetapi Sim Houw mengangguk. Pendekar itu dapat melihat bahwa tak mungkin Siu Kwi berbohong. Apa lagi mendengar bahwa kedua lawan Siu Kwi adalah tosu-tosu dari Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw, tentu saja hatinya condong untuk membantu bekas suci Bi Lan ini. Tentang benar tidaknya cerita Ciong Siu Kwi, hal itu dapat diselidiki nanti.

“Baiklah, suci. Aku berjanji untuk membantu­mu, akan tetapi      dengan syarat bahwa apa yang kauceritakan semua tadi adalah benar.”

Siu Kwi menarik napas panjang dan mengang­guk. “Aku mengerti dan tidak menyalahkan kalau engkau masih meragukan kejujuranku, sumoi, Akan tetapi engkaupun tentu belum yakin benar akan ke­putusanku untuk merobah cara hidupku. Aku telah bertemu dengan pria yang kucinta sepenuh jiwaku, dan aku melakukan apa saja demi untuk dia. Kalau ceritaku tidak benar, boleh engkau mengundurkan diri.”

“Sekarang, yang terpenting mengobati luka-luka­mu, suci.”

“Siu Kwi menurut dan tiba-tiba merintih. Baru sekarang ia merasa betapa seluruh tubuhnya nyeri, luka-luka itu, perih dan panas, di dalam dadanya juga terasa nyeri dan tenaganya hampir habis! Kini, se­telah ia merasa mendapatkan bala bantuan, baru ia merasakan semua kenyerian ini.

Bi Lan dan Sim Houw lalu merawat Siu Kwi. Dengan obat luka Siu Kwi sendiri yang amat man­jur, luka di paha dan pundaknya dicuci oleh Bi Lan dan diobati lalu dibalut, sedangkan untuk menyem­buhkan luka di dalam dada akibat guncangan pu­kulan tongkat pada punggungnya, ia dibantu oleh Sim Houw yang menempelkan telapak tangan di punggungnya. membantu wanita itu menghimpun tenaga dalam dan memulihkan kesehatannya. Men­jelang senja, sembuhlah Siu Kwi. Tubuhnya yang terlatih memang kuat, ditambah lagi semangatnya yang besar dan menyala-nyala akibat timbulnya harapan dalam hatinya untuk menyelamatkan Yo Jin.

Dan pada malam hari itu juga Siu Kwi mengajak Bi Lan dan Sim Houw untuk membantunya membe­baskan Yo Jin. Bi Lan memang sudah berunding mengenai hal ini, maka Bi Lan lalu berkata kepada bekas sucinya itu. Suci, bukan hanya karena ku­rang penuh kepercayaan kami kepadamu, akan tetapi bagaimanapun juga, kami tidak mau bertindak secara sembrono dan melibatkan diri dalam permusuhan, pada hal kami tidak mempunyai urusan apa-apa. Oleh karena itu, kami mau kau ajak pergi ke dusun itu, Hanya saja tidak bertindak sebagai perampas tawanan, melainkan secara damai.”

“Maksudmu bagaimana? Apapun tindakan yang kalian ambil untuk membantuku, terserah. Bagiku yang terpenting adalah keselamatan Yo Jin.”

Diam-diam Bi Lan merasa terharu. Bukan main hebatnya cinta kasih sucinya ini terhadap pria yang bernama Yo Jin itu. Dan ia mulai percaya bahwa semua cerita sucinya itu tidak bohong.

“Kami akan ikut bersamamu menemui lurah Lui dan dua orang tosu itu. Kita minta dengan baik-baik saja agar Yo Jin itu dibebaskan. Kemudian kita lihat bagaimana perkembangannya. Kalau perlu, ten­tu saja kami akan membantumu membebaskan dia dengan jalan kekerasan, tentu saja setelah kami per­timbangkan urusannya.”

Siu Kwi mengangguk-angguk. “Aku tidak menyalahkan kalian kalau meragukan kebenaran omong­anku. Marilah kita berangkat dan kalian lihat sen­diri.”

Mereka lalu berangkat menuju ke dusun timur itu, ke tempat lurah Lui di mana Yo Jin ditahan, di bawah pengawasan dua orang tosu yang tangguh. Tidak seperti malam kemarin, malam itu terdapat penjagaan yang ketat sehingga begitu mereka tiba di dusun itu saja, para penjaga sudah melihat dan sege­ra mengenal Siu Kwi. Karena merasa jerih mengha­dapi wanita itu, para penjaga itu cepat berlari ke ru­mah lurah Lui dan melaporkan munculnya “siluman” itu. Juga para penduduk dusun itu, yang sudah men­dengar akan adanya siluman yang mengamuk di ru­mah lurah mereka, kini menjadi ketakutan dan cepat-cepat mereka bersembunyi dan menutupkan semua jendela dan pintu rumah mereka ketika mendengar teriakan para penjaga yang berlarian bahwa siluman itu muncul kembali.

Demikianlah, ketika Siu Kwi, Bi Lan dan Sim Houw tiba di depan pekarangan rumah lurah Lui, mereka sudah disambut oleh puluhan orang penjaga yang dipimpin oleh dua orang tosu itu. Banyak obor dinyalakan sehingga keadaan menjadi terang sekali.

Ketika Thian Kek Seng-jin dan Ok Cin Cu meli­hat bahwa Siu Kwi datang bersama seorang gadis muda yang cantik sekali dan seorang laki-laki yang sikapnya sederhana, mereka berdua memandang ren­dah. Siu Kwi sudah terluka, pikir mereka dan dua orang temannya itu tak mungkin memiliki kelihaian melebihi Siu Kwi. Pula, di situ terdapat puluhan orang penjaga yang membantu.

“Heh-heh, Bi-kwi, siluman jahat. Engkau berani muncul kembali, apakah engkau ingin menyerahkan nyawamu?” Thian Kek Seng-jin berkata sambil melintangkan tongkat naga hitamnya.

“Ha-ha, barangkali engkau rindu pada pinto, nona manis?” kata si gendut Ok Cin Cu.

Siu Kwi menahan gejolak kemarahan yang meme­nuhi hatinya. Ia harus dapat meyakinkan sumoinya dan Sim Houw akan kebenaran ceritanya. “Thian Kek Seng-jin dan Ok Cin Cu, aku datang ke sini un­tuk bicara dengan kalian secara baik-baik. Mengapa kalian berkeras hendak menahan Yo Jin? Dia tidak mempunyai kesalahan apapun. Dia membelaku ketika Lui-kongcu hendak kurang ajar....“

“Dia ditangkap karena berani kurang ajar memu­kul Lui-kongcu!” kata Ok Cin Cu.

“Akan tetapi Lui-kongcu yang kurang ajar dan lebih dulu menyerangnya. Urusan itu amat kecil, akan tetapi kalian sudah memukul ayahnya sampai tewas. Dan kalian masih belum puas. Kalian membujuk aku untuk membantu Thian Kek Seng-jin mengalahkan Suma Ciang Bun pendekar keluarga Pulau Es, kemu­dian Ok Cin Cu bahkan memaksa aku melayaninyaselama satu malam, dan berjanji akan membebaskan Yo Jin. Aku telah memenuhi permintaan kalian, melakukan hal itu semua. Akan tetapi kalian melang­gar janji, bukan membebaskan Yo Jin, bahkan menje­bak dan hendak menangkap aku. Ji-wi totiang, sebagai pendeta, tosu dan tokoh-tokoh kang-ouw, apakah kalian tidak malu atas perbuatan kalian itu? Maka malam ini aku datang untuk minta dengan baik-baik agar Yo Jin dibebaskan, dan akupun tidak akan memperpanjang urusan ini.”

Dua orann tosu itu tertawa bergelak dan para penjaga juga ikut pula tertawa. Riuh rendah suara ketawa mereka dan barulah kebisingan itu berhenti setelah Thian Kek Seng-jin bicara. “Bi-kwi siluman jahat! Engkau adalah pecundang kami, masih berani datang untuk mengajukan tuntutan? Apakah karena engkau membawa dua orang temanmu ini? Kami tidak takut dan kalian bertiga tentu takkan dapat lo­los dari pengepungan kami!”

Lega rasa hati Siu Kwi karena ia sudah membe­berkan semua persoalan dalam tuntutannya tadi dan iapun menoleh kepada Bi Lan dan Sim Houw, “Su­moi dan Sim-taihiap, kurasa sudah cukup aku bicara.”

Sim Houw melangkah maju menghadapi dua orang tosu itu. “Ji-wi totiang.” Katanya halus. “benarkah apa yang dikatakan oleh nona Ciong tadi, bah­wa orang she Yo itu kalian tahan tanpa bersalah, dan kalian telah mengingkari janji terhadap nona Ciong?”

“Siapakah engkau yang berani mencampuri urus­an kami!” bentak Ok Cin Cu marah.

“Kalau benar, engkau mau apa?” Thian Kek Seng-jin juga membentak.

“Sim-toako, jelas bahwa suci yang benar. Dua orang tosu bau ini memang jahat sekali!” Bi Lan berseru marah.

“Kepung, tangkap atau bunuh mereka bertiga ini!” bentak Thian Kek Seng-jin memberi aba-aba kepada para penjaga yang memang sudah mengepung tempat itu.

“Kalau benar ji-wi adalah Thian Kek Seng-jin ke­tua cabang Pek-lian-kauw dan Ok Cin Cu ketua ca­bang Pat-kwa-kauw, maka perbuatan ji-wi ini sung­guh patut disesalkan dan amat tercela!” kata pula Sim Houw yang nampak tenang saja walaupun para penjaga sudah bergerak mengepung dengan sikap mengancam.

“Bocah sombong! Kepung dan tangkap, biarkan nona manis yang baru datang ini pinto sendiri yang menangkapnya!” bentak Ok Cin Cu.

“Nanti dulu!” Thian Kek Seng-jin memberi ko­mando kepada anak buahnya. “Pinto merasa penasar­an melihat kesombongan bocah ini. Orang muda, sia­pakah engkau? Pinto tidak ingin membunuh orang yang tanpa nama.”

Sebelum Sim Houw menjawab, Siu Kwi sudah mendahului. “Dia adalah pendekar Sim Houw, Pen­dekar Suling Naga! Dan ini adalah sumoiku Can Bi Lan!”

Mendengar disebutnya Pendekar Suling Naga, dua orang tosu itu saling pandang. Mereka pernah mendengar akan munculnya seorang pendekar baru yang lihai. Akan tetapi mereka tidak merasa takut dan sambil berteriak nyaring, Thian Kek Seng-jin su­dah menggerakkan tongkat naga hitamnya menyerang ke arah Sim Houw, sedangkan Ok Cin Cu yang memandang rendah Bi Lan yang diperkenalkan sebagai sumoi dari Siu Kwi, sudah menubruk dengan tongkat ular naga menotok jalan darah di pundak Bi Lan, se­dang tangan kirinya mencengkeram ke arah dada. Serangan ini amat kurang ajar sifatnya sehingga de­ngan marah Bi Lan lalu mengelak sambil mencabut pedangnya.

Melihat sinar mengerikan dari pedang yang ber­ada di tangan Bi Lan, Ok Cin Cu terkejut dan bergi­dik. Akan tetapi dia tidak menjadi takut dan cepat menggerakkan tongkat ular hitamnya untuk menye­rang. Bi Lan menangkis dan balas menyerang sehing­ga terjadilah perkelahian yang seru di antara mereka. Ok Cin Cu tidak berani memandang rendah lagi. Gadis yang menjadi sumoi dari Ciong Siu Kwi ini memiliki pedang pusaka amat menggiriskan, juga ge­rakan-gerakannya tidak kalah cepat dibandingkan su­cinya.

Sementara itu, serangan tongkat naga hitam dari Thian Kek Seng-jin juga amat dahsyat, membuat Sim Houw maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh. Terpaksa diapun mencabut pedangnya dan ketika pedang itu tercabut, terdengar suara meleng­king nyaring yang mengejutkan pula hati Thian Kek Seng-jin. Di antara kedua orang inipun segera terjadi perkelahian yang seru.

Melihat betapa dua orang tosu itu sudah dilawan oleh sumoinya dan Sim Houw, Siu Kwi lalu menga­muk, menerjang puluhan orang penjaga yang menge­pung. Amukannya memang menggiriskan dan seben­tar saja sudah ada delapan orang pengeroyok yang ro­boh oleh pedangnya. Yang lain menjadi gentar dan Siu Kwi terus menerjang maju dan mendesak para pengeroyok untuk mundur. Akhirnya ia berhasil me­masuki pekarangan, terus ia meloncat ke dalam dan lari ke bagian belakang bangunan rumah keluarga Lui. Di bagian belakang, ia disambut oleh enam orang penjaga. Dengan mudah, ia merobohkan lima orang dan menangkap seorang yang hendak melarikan diri.

“Cepat bawa aku ke kamar tahanan Yo Jin!” bentaknya sambil menempelkan ujung pedang di dada orang itu. Pedang itu menembus baju dan menusuk kulit sehingga kulitnya terluka. Tentu saja penjaga itu terkejut dan ketakutan, mengangguk-angguk dan dengan ditodong pedang dia membawa Siu Kwi ke belakang. Akhirnya Siu Kwi menemukan Yo Jin yang duduk bersandar dinding di dalam sebuah ka­mar tahanan. Siu Kwi menampar penjaga itu dengan tangan kirinya. Tanpa mengeluh lagi penjaga itu ro­boh dan Siu Kwi mempergunakan pedangnya untuk menjebol daun pintu kamar tahanan.

“Kwi-moi      akhirnya engkau datang....!” Yo Jin berseru girang.

“Jin-koko....!” Ingin Siu Kwi merangkul orang itu, akan tetapi perasaan ini ditahannya dan ia­pun melepaskan belenggu kaki dan tangan pemuda itu. Baru beberapa hari saja ditahan, tubuh pemuda ini menjadi kurus sekali dan mukanya pucat.

“Jin-koko, engkau lebih baik pulang dulu ke du­sun, biar aku akan menyusul ke sana setelah selesai urusan ini!” katanya cepat. Ia khawatir kalau-kalau pemuda itu akan ditawan musuh lagi ketika ia sedang mengamuk bersama sumoinya dan Sim Houw.

“Tapi kau.... kau....”

“Jangan khawatir, aku mampu menjaga diri. Pulanglah, koko, aku akan menyusul nanti.”

Yo Jin mendengar suara ribut-ribut orang berke­lahi di luar, maka diapun mengangguk dan tidak membantah lagi ketika tangannya ditarik okh Siu Kwi, diajak menuju ke kebun. Dua orang penjaga berusaha menghadang, namun dengan tendangan ka­kinya, Siu Kwi merobohkan mereka.

“Cepat, keluarlah dari pintu ini!” kata Siu Kwi dan sekali dorong, pintu kecil di kebun itupun jebol. Melihat kehebatan wanita ini, Yo Jin beberapa kali terbelalak. Dia maklum bahwa wanita yang dicinta­nya ini adalah seorang wanita sakti, maka tanpa bica­ra apa-apa lagi diapun lari keluar dan cepat pulang ke rumahnya di dusun selatan.

Setelah melihat kekasihnya itu menghilang di da­lam kegelapan malam, Siu Kwi lalu melompat kem­bali ke dalam kebun dan berlari ke dalam rumah. Para pelayan ketakutan, dan dengan mudah saja Siu Kwi menemukan kepala dusun Lui lengkap dengan isteri-isterinya dan anak-anaknya di dalam ruangan belakang. Mereka terjaga oleh belasan orang penjaga, namun setelah ia menyerbu dan merobohkan empat orang, yang lain lalu melarikan diri meninggalkan ke­luarga itu yang berkelompok sambil menggigil keta­kutan. Lurah Lui dan keluarganya, sudah mendengar bahwa Siu Kwi yang dituduh siluman itu sebenarnya adalah seorang wanita yang berkepandaian tinggi, dan hanya dua orang tosu tua itu saja yang mampu me­nundukkannya. Akan tetapi malam ini, wanita itu datang bersama dua orang teman yang juga amat lihai dan kini “siluman” itu telah datang menemukan me­reka!

Siu Kwi masuk dengan pedang di tangan. Melihat betapa pedang itu berlepotan darah, dan wajah yang cantik itu nampak beringas, sepasang matanya seperti mencorong, lurah Lui dan keluarganya menjadi pucat.

Siu Kwi menyapu mereka dengan pandang mata­nya, lalu menudingkan telunjuk kirinya ke arah Lui kongcu yang mencoba untuk menyembunyikan kepa­lanya di belakang punggung ibunya.

“Lui-kongcu, ke sini kau!” bentaknya.

“Tidak.... tidak....!” Pemuda itu menggigil ketakutan.

“Ke sini atau akan kuseret dan kubunuh kau!”

Pemuda itu hampir terkencing di celananya saking takutnya, akan tetapi mendengar bentakan itu dia lalu merangkak maju dan berlutut di depan Siu Kwi.

“Engkau juga ke sini, lurah Lui!” bentak Siu Kwi.

Lurah Lui bangkit berdiri dan maju. Dengan congkak akan tetapi pucat dia tetap berdiri, tidak ber­lutut seperti puteranya. Bagaimanapun juga, dia ada­lah kepala dusun itu dan sudah biasa orang-orang ber­lutut di depannya, bukan dia yang harus berlutut.

Siu Kwi tidak perduli akan sikap itu. “Kalian berdua yang membikin gara-gara sehingga Yo Jin di­tahan dan ayahnya tewas. Kalian berdua yang membuat aku menderita pula. Pertama-tama adalah gara-gara Lui-kongcu ini yang menjadi biang keladinya. Sudah sepatutnya kalau kupenggal kepalamu sekarang, juga!” Siu Kwi mengelebatkan pedangnya.

“Ampun.... ampun.... tidak....jangan bunuh aku.... aku tidak berani lagi!” Se­kali ini Lui-kongcu benar-benar terkencing di celana­nya. Melihat ini, Siu Kwi memandang muak. Alang­kah jauh bedanya pemuda ini dengan Yo Jin, pemuda pilihannya. Pemuda ini seperti seekor anjing penakut yang takut digebuk, sebaliknya Yo Jin seperti seekor harimau yang pantang menyerah.

“Engkau telah membuat Yo Jin tersiksa, engkau laki-laki mata keranjang penggoda wanita dengan mengandalkan kedudukan ayahmu!” Tiba-tiba nam­pak sinar berkelebat. Lui-kongcu menjerit dan darah muncrat. Ketika pemuda itu melihat bahwa lengan kirinya buntung sebatas siku dan darah muncrat-muncrat, dia menjerit-jerit dan lari kepada ibunya, lalu menangis menggerung-gerung dan jatuh pingsan.

Melihat ini, tiba-tiba kedua kaki lurah Lui menjadi lemas dan diapun, roboh berlutut karena kedua lututnya seperti kehilangan tenaga. “Ampun, lihiap.... ampunkan kami....” ratapnya. Keluarga­nya semua berlutut minta-minta ampun. Melihat ke­luarga lurah itu, hati Siu Kwi menjadi agak lemah, hal yang baru sekarang ia alami.

“Baik, aku tidak akan membunuhmu. Akan teta­pi engkau telah mempergunakan kedudukanmu untuk bertindak sewenang-wenang, memperalat pendeta-pendeta palsu dan jahat untuk menghina orang, maka engkau harus diberi pelajaran!” kembali pedangnya berkelebat dan lurah Lui menjerit kesakitan karena kaki kanannya terbabat buntung sampai lutut! Kem­bali darah muncrat-muncrat dan ketika semua orang menjerit ketakutan, wanita itu berkelebat dan lenyap dari situ.

Di luar, perkelahian masih berlangsung dengan seru. Akan tetapi, Ok Cin Cu sudah bermandi peluh­nya sendiri. Gerakan lawan yang hanya seorang gadis muda itu memang luar biasa sekali dan terutama se­kali pedang di tangan wanita itu membuat dia ka­dang-kadang menggigil. Bi Lan memang sudah mema­inkan ilmu pedang Ban-tok-kiam-sut dan karena ilmu itu dimainkan dengan pedang Ban-tok-kiam, maka bukan main hebatnya. Bi Lan menyerang dengan sungguh-sungguh. Ia merasa sakit hati dan benci se­kali mengingat betapa tosu ini telah menipu sucinya, membujuk sucinya melayaninya dan menyerahkan tu­buhnya untuk menebus keselamatan Yo Jin. Sakit hatinya mengingat akan hal ini dan kebenciannya terhadap tosu tinggi besar perut gendut inipun memuncak. Maka ia menyerang untuk membunuh dan ge­rakan-gerakannya membuat tosu itu kalang kabut.

Di lain pihak, Sim Houw juga mendesak lawan­nya dengan hebat. Kalau pemuda ini menghendaki, sudah sejak tadi dia mampu merobohkan dan membu­nuh lawan. Akan tetapi, Sim Houw tidak ingin mem­bunuh. Dia tahu bahwa ketua cabang Pek-lian-kauw ini berwatak buruk dan jahat, suka melakukan hal-hal terkutuk di balik topeng perjuangan melawan pe­merintah penjajah. Akan tetapi, dia tidak ingin mem­bunuh, hanya ingin memberi peringatan saja. Ketika dia melihat betapa serangan-serangan Bi Lan merupa­kan serangan-serangan maut yang amat berbahaya ba­gi ketua cabang Pat-kwa-kauw, dia terkejut.

“Lan-moi, jangan membunuh orang....!” teriaknya memperingatkan. Pada saat itu terdengar suara keras dan tongkat ular hitam di tangan Ok Cin Cu patah menjadi dua, sedangkan sinar pedang Ban-tok-kiam masih terus menyambar ke arah leher kakek gendut itu!

Untung bahwa Bi Lan masih mendengar teriakan Sim Houw dan ia memang patuh sekali terhadap pe­muda ini. Ia tahu bahwa sekali saja tergores Ban-tok-kiam, akan sukarlah menyelamatkan nyawa kakek gendut itu, maka ia menyelewengkan pedangnya ke samping, dan berbareng jari tangan kirinya menusuk ke depan.

“Crottt....!” Mata kanan Ok Cin Cu ter­tembus jari tangan Bi Lan. Kakek itu mengeluarkan pekik mengerikan dan tubuhnya terjengkang dan ter­banting keras.

Saat itu, pedang suling naga mengeluarkan leng­king tinggi dan terdengar suara keras ketika tongkat naga hitam juga patah menjadi tiga potong. Pedang itu masih terus menyambar dan pergelangan tangan kiri Thian Kek Seng-jin terbabat putus. Kakek inipun menjerit dan melompat jauh ke belakang.

Mereka berdua cepat menotok dan mengurut ja­lan darah masing-masing untuk menghentikan keluar­nya darah dari luka, dan tanpa bicara apa-apa lagi ke­duanya meloncat dan melarikan diri dari tempat itu. Melihat betapa dua orang tosu itu melarikan diri, pa­ra penjaga juga menjadi ketakutan dan menjauhkan diri.

Siu Kwi tidak perduli akan sikap itu. “Kalian berdua yang membikin gara-gara sehingga Yo Jin di­tahan dan ayahnya tewas. Kalian berdua yang membuat aku menderita pula. Pertama-tama adalah gara-gara Lui-kongcu ini yang menjadi biang keladinya. Sudah sepatutnya kalau kupenggal kepalamu sekarang, juga!” Siu Kwi mengelebatkan pedangnya.

“Ampun.... ampun.... tidak....jangan bunuh aku.... aku tidak berani lagi!” Se­kali ini Lui-kongcu benar-benar terkencing di celana­nya. Melihat ini, Siu Kwi memandang muak. Alang­kah jauh bedanya pemuda ini dengan Yo Jin, pemuda pilihannya. Pemuda ini seperti seekor anjing penakut yang takut digebuk, sebaliknya Yo Jin seperti seekor harimau yang pantang menyerah.

“Engkau telah membuat Yo Jin tersiksa, engkau laki-laki mata keranjang penggoda wanita dengan mengandalkan kedudukan ayahmu!” Tiba-tiba nam­pak sinar berkelebat. Lui-kongcu menjerit dan darah muncrat. Ketika pemuda itu melihat bahwa lengan kirinya buntung sebatas siku dan darah muncrat-muncrat, dia menjerit-jerit dan lari kepada ibunya, lalu menangis menggerung-gerung dan jatuh pingsan.

Melihat ini, tiba-tiba kedua kaki lurah Lui menjadi lemas dan diapun, roboh berlutut karena kedua lututnya seperti kehilangan tenaga. “Ampun, lihiap.... ampunkan kami....” ratapnya. Keluarga­nya semua berlutut minta-minta ampun. Melihat ke­luarga lurah itu, hati Siu Kwi menjadi agak lemah, hal yang baru sekarang ia alami.

“Baik, aku tidak akan membunuhmu. Akan teta­pi engkau telah mempergunakan kedudukanmu untuk bertindak sewenang-wenang, memperalat pendeta-pendeta palsu dan jahat untuk menghina orang, maka engkau harus diberi pelajaran!” kembali pedangnya berkelebat dan lurah Lui menjerit kesakitan karena kaki kanannya terbabat buntung sampai lutut! Kem­bali darah muncrat-muncrat dan ketika semua orang menjerit ketakutan, wanita itu berkelebat dan lenyap dari situ.

Di luar, perkelahian masih berlangsung dengan seru. Akan tetapi, Ok Cin Cu sudah bermandi peluh­nya sendiri. Gerakan lawan yang hanya seorang gadis muda itu memang luar biasa sekali dan terutama se­kali pedang di tangan wanita itu membuat dia ka­dang-kadang menggigil. Bi Lan memang sudah mema­inkan ilmu pedang Ban-tok-kiam-sut dan karena ilmu itu dimainkan dengan pedang Ban-tok-kiam, maka bukan main hebatnya. Bi Lan menyerang dengan sungguh-sungguh. Ia merasa sakit hati dan benci se­kali mengingat betapa tosu ini telah menipu sucinya, membujuk sucinya melayaninya dan menyerahkan tu­buhnya untuk menebus keselamatan Yo Jin. Sakit hatinya mengingat akan hal ini dan kebenciannya terhadap tosu tinggi besar perut gendut inipun memuncak. Maka ia menyerang untuk membunuh dan gerakan-gerakannya membuat tosu itu kalang kabut.

Di lain pihak, Sim Houw juga mendesak lawan­nya dengan hebat. Kalau pemuda ini menghendaki, sudah sejak tadi dia mampu merobohkan dan membu­nuh lawan. Akan tetapi, Sim Houw tidak ingin mem­bunuh. Dia tahu bahwa ketua cabang Pek-lian-kauw ini berwatak buruk dan jahat, suka melakukan hal-hal terkutuk di balik topeng perjuangan melawan pe­merintah penjajah. Akan tetapi, dia tidak ingin mem­bunuh, hanya ingin memberi peringatan saja. Ketika dia melihat betapa serangan-serangan Bi Lan merupa­kan serangan-serangan maut yang amat berbahaya ba­gi ketua cabang Pat-kwa-kauw, dia terkejut.

“Lan-moi, jangan membunuh orang....!” teriaknya memperingatkan. Pada saat itu terdengar suara keras dan tongkat ular hitam di tangan Ok Cin Cu patah menjadi dua, sedangkan sinar pedang Ban-tok-kiam masih terus menyambar ke arah leher kakek gendut itu!

Untung bahwa Bi Lan masih mendengar teriakan Sim Houw dan ia memang patuh sekali terhadap pe­muda ini. Ia tahu bahwa sekali saja tergores Ban-tok-kiam, akan sukarlah menyelamatkan nyawa kakek gendut itu, maka ia menyelewengkan pedangnya ke samping, dan berbareng jari tangan kirinya menusuk ke depan.

“Crottt....!” Mata kanan Ok Cin Cu ter­tembus jari tangan Bi Lan. Kakek itu mengeluarkan pekik mengerikan dan tubuhnya terjengkang dan ter­banting keras.

Saat itu, pedang suling naga mengeluarkan leng­king tinggi dan terdengar suara keras ketika tongkat naga hitam juga patah menjadi tiga potong. Pedang itu masih terus menyambar dan pergelangan tangan kiri Thian Kek Seng-jin terbabat putus. Kakek inipun menjerit dan melompat jauh ke belakang.

Mereka berdua cepat menotok dan mengurut ja­lan darah masing-masing untuk menghentikan keluar­nya darah dari luka, dan tanpa bicara apa-apa lagi ke­duanya meloncat dan melarikan diri dari tempat itu. Melihat betapa dua orang tosu itu melarikan diri, pa­ra penjaga juga menjadi ketakutan dan menjauhkan diri.

Pada saat itu Siu Kwi muncul. “Di mana mere­ka?” tanyanya ketika ia tidak melihat adanya dua orang tosu itu.

“Kami sudah memberi hajaran dan mereka melarikan diri,” kata Bi Lan, lega bahwa Sim Houw mem­beri peringatan pada saat yang tepat sehingga ia tidak perlu membunuh tosu yang menjadi lawannya tadi.

Lega rasa hati Siu Kwi. Dua orang tosu itu memang jahat, akan tetapi iapun tidak mempunyai nafsu untuk membunuh mereka. “Sudahlah, terima kasih atas bantuan kalian. Tanpa bantuan kalian, tak mungkin aku dapat membebaskan Yo Jin.”

“Di mana dia sekarang....?” tanya Bi Lan yang ingin sekali melihat bagaimana macamnya pemuda yang mampu merobohkan hati sucinya yang tadinya dianggap tidak mempunyai hati itu.

“Aku tadi telah membebaskannya dan menyuruhnya pulang ke dusunnya lebih dahulu, baru aku akan menyusulnya.

“Aih, suci, kenapa begitu saja membiarkan dia pergi sendiri? Bagaimana kalau sampai dia tertang­kap musuh lagi?” kata Bi Lan. “Mari kita cepat pergi menyusulnya.” Bi Lan hanya mempergunakan dugaan ini agar ia dapat ikut pergi menyusul karena ia sungguh ingin sekali bertemu dengan pemuda itu.

“Baik, mari kita pergi,” kata Siu Kwi dan mereka bertiga lalu berlari cepat menuju ke dusun selatan Sim Houw diam-diam tersenyum, dapat mengetahui bahwa Bi Lan ingin melihat orang yang mampu me­nundukkan hati seorang wanita seperti Ciong Siu Kwi yang tadinya terkenal sebagai Bi-kwi yang amat kejam dan jahat. Diapun tidak mengeluarkan pendapatnya karena diapun harus membuktikan bahwa semua peristiwa yang diceritakan Siu Kwi itu benar dan hal ini baru terbukti kalau dia sudah bertemu dengan orang yang bernama Yo Jin itu. Kalau semua ini benar, ti­dak percuma dia membantu Siu Kwi dan menanam permusuhan baru dengan pihak Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw. Bagi seorang pendekar, yang terpen­ting adalah bahwa setiap tindakannya berdasarkan membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahat­an dan kelaliman. Tidak perduli untuk perbuatannya itu dia akan dibenci atau dimusuhi orang, karena yang jelas, mereka yang memusuhinya tentulah bukan orang baik-baik.

Dengan cepat tiga orang itu telah tiba di dusun selatan dan langsung mereka pergi ke rumah keluarga Yo. Akan tetapi, rumah itu kosong dan Yo Jin tidak berada di situ. Dengan hati khawatir Siu Kwi lalu bertanya kepada tetangga dan mendengar bahwa tadi pemuda itu telah pulang, akan tetapi begitu mende­ngar dari para tetangga bahwa ayannya telah mening­gal dunia, pemuda itu berlari keluar lagi sambil me­nangis.

“Ah, kasihan Jin-koko....” kata Siu Kwi dengan hati terharu. Aku tahu, ia pasti pergi mengunjungi kuburan ayahnya....” Dan merekapun lalu keluar dari dusun itu, menuju ke sebuah tanah kuburan yang amat sunyi karena letaknya di luar kota, di kaki sebuah bukit.

Benar saja, mereka menemukan Yo Jin sedang berlutut dan menangis di depan sebuah kuburan yang masih baru.

“Jin-ko....!” Siu Kwi berseru memanggil. Pemuda itu bangkit, membalikkan tubuh dan dua orang itu saling pandang di dalam cuaca yang remang-remang karena malam itu hanya diterangi oleh bin­tang-bintang bertaburan di langit hitam.

“Kwi-moi....!” Suara pemuda itu terdengar parau karena lama dia tadi menangis.

“Jin-koko....!” Siu Kwi melangkah maju dan entah siapa yang bergerak lebih dulu, keduanya saling rangkul dan keduanya terisak menangis!

Bi Lan berdiri bengong. Benarkah wanita yang menangis di dadalaki -laki itu sucinya? Benarkah ia Bi-kwi yang biasanya demikian kejam dan keras ha­ti? Terdengar Sim Houw batuk-batuk untuk me­nyadarkan dua orang yang sedang dilanda keharuan itu bahwa di situ hadir lain orang!

Suara batuk itu menyadarkan mereka dan kedua­nya melepaskan rangkulan. “Kwi-moi, ayah.... ayahku....”

“Tenanglah, Jin-ko. Ayahmu telah meninggal dunia dengan tenang dan dia menghembuskan napas terakhir dalam rangkulanku.”

“Ahh, Kwi-moi, apakah yang telah terjadi? Ceritakanlah....”

“Mari kita duduk dengan tenang dan aku akan menceritakan semuanya, Jin-ko.”

“Kita duduk di dekat makam....”

“Apakah tidak sebaiknya kita pulang saja, Jin-ko dan bicara di rumah?”

“Tidak, malam ini aku tidak akan meninggalkan makam ayah.”

“Biar aku membuat api unggun,” tiba-tiba Bi Lan berkata dan dibantu oleh Sim Houw, ia mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun di dekat makam.

Yo Jin agaknya baru sadar bahwa wanita yang dicintanya itu datang bersama dua orang lain. “Kwi-moi, siapakah mereka ini?”

“Mari kita duduk dekat api unggun dan kuperkenalkan kau kepada mereka, Jin-ko. Tanpa adanya bantuan mereka, sampai sekarangpun kita belum da­pat berkumpul kembali.”

Mereka berempat lalu duduk di dekat makam, dan mereka mengelilingi api unggun yang dibuat oleh Bi Lan dan Sim Houw. Yo Jin duduk di dekat Siu Kwi, berhadapan dengan Bi Lan yang duduk di dekat Sim Houw. Mereka sejenak saling berpandangan dan diam-diam Bi Lan harus mengakui bahwa laki-laki pilihan sucinya itu biarpun nampak berpakaian seder­hana, memiliki pandang mata yang jujur dan polos, wajah yang bersih dan cukup ganteng walaupun ke­sederhanaan dan keluguan membayangkan kebodohan. Dan biarpun pemuda ini seorang lemah, dalam arti tidak mengenal ilmu silat, namun bentuk tubuhnya jantan dan kokoh kuat karena terbiasa bekerja berat di ladang. Betapapun juga, Bi Lan masih belum dapat mengerti dan masih terheran-heran memikirkan bagaimana sucinya dapat jatuh cinta kepada seorang pemuda tani sederhana seperti ini. Pada hal kalau ia menghendakinya, sucinya dapat memiliki pemuda–pemuda terbaik dari kota, putera bangsawan atau hartawan atau bahkan putera ahli-ahli silat kenamaan sekalipun. Sucinya cantik jelita, memiliki ilmu kepandaian tinggi, cerdik dan pendeknya, memiliki segala-galanya untuk dapat menarik hati pria manapun.

“Jin-ko, mereka inilah yang telah membantuku untuk membebaskanmu. Gadis ini bernama Can Bi Lan dan ia adalah sumoiku sendiri walaupun tingkat ilmu kepandaiannya jauh melebihiku. Dan pendekar ini adalah Pendekar Pedang Suling Naga bernama Sim Houw, seorang tokoh persilatan yang bernama besar dan terkenal sekali.”

Yo Jin dengan secara sederhana, hanya memberi hormat sambil duduk ke arah mereka, berkata lantang, “Saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan ji­-wi yang mulia, dan semoga Thian yang akan membalas segala budi kebaikan ji-wi.”

Diam-diam Sim Houw kagum juga. Seorang pe­muda dusun, petani yang bodoh dan mungkin buta huruf, namun mengerti akan tata susila dan kesopanan, mengenal budi walaupun pernyataan terima kasihnya itu sederhana saja.

“Saudara Yo Jin, harap jangan sungkan. Tidak ada istilah melepas budi di antara kita,” kata Sim Houw. “Engkau sendiri, walaupun tidak mempunyai keahlian silat telah berani membela nona Ciong, bah­kan untuk semua itu selain engkau menderita dan menjadi tawanan, juga ayahmu berkorban nyawa. Di­bandingkan dengan apa yang telah kaulakukan itu, perbuatan kami tidak ada artinya.”

Mendengar ucapan Sim Houw, diam-diam hati Siu Kwi merasa kagum sekali. Baru sekarang ia melihat dan mendengar sendiri akan sikap seorang pendekar yang rendah hati. Dahulu, tiga orang gurunya, Sam Kwi, selalu menekankan bahwa para pendekar adalah manusia-manusia sombong yang selalu memusuhi golongan mereka. Juga dia merasa senang bukan main mendengar betapa Yo Jin dipuji-puji. Tanpa disadari duduknya semakin mendekat pemuda dusun itu dan pandang matanya penuh kebanggaan dan cinta kasih ketika ia menatap wajah di sampingnya itu yang diterangi cahaya api unggun.

“Jin-koko adalah seorang laki-laki yang paling gagah perkasa dan paling hebat yang pernah kukenal. Dia sudah mengorbankan dirinya, bahkan kehilangan ayahnya, untuk membelaku. Berkali-kali dia membelaku mati-matian. Sungguh aku telah berhutang budi padanya, berhutang nyawa. Mulai detik ini, aku tidak akan mau berpisah darinya, sampai mati.... aku akan mendampinginya sebagai isterinya.... karena aku.... aku cinta padanya. Bagi Sim Houw dan Bi Lan yang sudah mengenal Siu Kwi ucapan yang terang-terangan ini tidak mengherankan akan tetapi wajah Yo Jin menjadi merah padam dan dia merasa malu bukan main. Akan tetapi kejujuran­nya melenyapkan perasaan malu itu, dan diapun hen­dak menumpahkan isi hatinya secara blak-blakan, selagi di situ ada orang-orang lain yang amat berharga untuk menjadi saksi.

“Kwi-moi, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku semenjak pertemuan kita yang pertama kali itu, aku takkan merasa lega sebelum hal itu kukemukak­an di sini. Biarlah Can-lihiap dan Sim-taihiap ini menjadi saksi.”

Siu Kwi memandang kepada wajah pemuda itu dengan sinar mata berseri. Sikap yang jujur dan terus te­rang dari pemuda ini merupakan satu di antara watak-wa­tak yang amat dikaguminya. “Bicaralah, Jin-ko.”

Yo Jin menarik napas panjang dan agaknya berat baginya untuk mengeluarkan isi hatinya. “Kwi-moi, terima kasih saya amat mendalam bahwa seorang se­perti saya ini mendapat kehormatan untuk menerima

cinta kasih seorang wanita seperti engkau. Hal ini kuterima dengan hati gembira dan ringan seandainya engkau seorang gadis biasa, karena sesungguh­pun sudah jatuh cinta kepadamu. Akan tetapi....” Siu Kwi mengerutkan alisnya dan menatap wajah ­yang menunduk itu dengan hati khawatir. “Akan tetapi.... apa Jin-ko?”

“Kwi-moi, engkau sudah melihat keadaan saya. Seorang pemuda dusun, pemuda petani yang tidak terpelajar, buta huruf, miskin, bahkan kini setelah ayah tiada, saya hidup sebatangkara, tiada sanak kadang, tiada kemampuan. Akan tetapi engkau....“

“Aku.... kenapa, Jin-koko?” Siu Kwi mendes­ak sambil tersenyum sehingga nampak deretan gigin­ya yang rapi berkilau tertimpa sinar api unggun. Yo Jin memandang wajah Siu Kwi dan pandang mata mereka saling bertemu, dan masing-masing dapat merasakan kasih sayang terpancar dari pandang mata itu, akan tetapi Yo Jin lalu mengalihkan pandang matanya, kini memandang Sim Houw dan kepada Bi Lan seolah-olah minta pertimbangan dari kedua orang saksi itu.

“Kwi-moi.... ah, sesungguhnya menyebutmu moi-moi saja sudah tidak pantas bagiku. Sepatutnya engkau kusebut lihiap. Engkau adalah seorang wanita kota, terpelajar, kaya, pandai dan bahkan memiliki kepandaian silat yang luar biasa. Engkau seorang wanita sakti, seorang pendekar wanita yang....”

“Cukup, Jin-ko, cukup....!” Siu Kwi memotong sambil menyentuh lengan pemuda itu. “Aku ­sudah mengenalmu lahir batin, akan tetapi engkau sungguh belum tahu banyak tentang diriku! Engkaulah yang terlalu berharga untukku, Jin-ko. Engkau seorang pemuda yang bersih, jujur, setia, kuat lahir batin, gagah perkasa, sedangkan aku.... aku hanya....”

“Wanita perkasa, pendekar yang sakti....”

“Tidak, tidak....! Engkau hanya tahu satu tidak mengenal dua tiga dan selanjutnya. Biarlah dari mengaku kesemuanya, Jin-ko. Keadaanku yang lalu juga akan selalu menjadi ganjalan di hatiku kalau ­belum kuceritakan kepadamu....”

“Suci! Perlukah itu....?” Bi Lan menegur, khawatir melihat sucinya akan menceritakan keadaan masa lalunya.

Siu Kwi tersenyum dan mengangguk kepada sumoinya. “Mutlak perlu, sumoi. Aku tidak tega membiarkan Jin-koko menggambarkan aku sebagai seorang dewi dari langit, pada hal dalam kehidupanku yang lalu aku adalah seorang iblis. Di dalam cinta harus ada kejujuran, kita harus dapat melihat orang yang kita cintai seperti apa adanya, melihat segala cacat dan keburukannya, bukan sekedar melihat kebagusannya saja.”

Sim Houw yang sejak tadi mendengarkan semua itu, menggeleng-geleng kepala dan memandang kagum. “Kalian adalah orang-orang luar biasa, hebat.... hebat....”

Yo Jin memandang bingung. ”Kwi-moi, aku tidak ingin mendengar tentang keburukanmu....“

Dengarlah baik-baik, Jin-ko, agar engkau tidak merasa rendah diri terhadap aku. Engkau hanya mengenal namaku, yaitu Ciong Siu Kwi, akan tetapi kau tidak men hal-hal lain mengenai diriku. Seperti juga engkau, aku tidak mempunyai keluarga. Sejak kecil aku ikut bersama tiga orang guruku yang terkenal dengan julukan Sam Kwi (Tiga Iblis), tokoh-tokoh golongan sesat, penahat-penjahat yang kejam dan ganas. Dan jangan mengira bahwa aku seorang pendekar wanita, sama sekali tidak! Aku bahkan dimusuhi para pendekar karena aku memang jahat dan kejam, aku seorang di antara tokoh-tokoh sesat yang dijuluki Bi-kwi (Iblis Cantik).”

“Aku tidak percaya....!” Yo Jin berseru, kaget bukan main mendengar pengakuan yang diang­gap mengerikan itu.

“Kenyataannya begitu, Jin-ko. Aku kejam dan jahat, entah telah berapa banyaknya orang, baik yang bersalah maupun yang tidak, tewas di tanganku. Aku telah membunuh banyak orang, aku pendukung keja­hatan dan penentang kebaikan. Bukan itu saja, aku juga bukan seorang wanita baik-baik, bukan seorang wanita bersih. Sejak remaja aku sudah menjadi keka­sih tiga orang guruku dan sejak dewasa, entah sudah berapa banyak pria yang kujadikan kekasihku, baik dengan suka rela maupun dengan paksa! Aku mem­permainkan pria-pria itu seperti barang mainan, kalau sudah bosan kucampakkan, atau kubunuh.”

“Tidak.... tidaaaakk....! “ Yo Jin berteriak dengan mata terbelalak karena merasa ngeri, dan juga tidak percaya. “Engkau seorang wanita ga­gah perkasa, halus budi dan sopan!”

“Itu menurut penglihatanmu, dan memang sejak berjumpa denganmu, aku mengambil keputusan untuk meninggalkan dunia sesat, untuk merobah kehidupan menjadi seorang baik-baik. Akan tetapi, engkau harus mengenal masa laluku, Jin-ko, agar kalau engkau masih mau memasuki hidup baru bersamaku, engkau masuk dengan mata terbuka, bukan dengan mata terpejam, dengan suka rela, bukan paksaan. Nah, sekarang ku­lanjutkan, Jin-ko. Baru-baru ini, baru kemarin dulu malam, aku terpaksa menyerahkan tubuhku ini kepa­da Ok Cin Cu, tosu ketua cabang Pat-kwa-kauw yang menangkapmu, aku tidur dengan dia dan melayaninya selama satu malam....“

“Ahhhh, tidaaaakk.... ah, Kwi-moi, kenapa engkau menyiksa hatiku seperti ini....?” Yo Jin menutupi mukanya dengan kedua tangan seperti hendak mengusir gambaran yang diceritakan Siu Kwi kepadanya itu.

“Yo-toako, suci hanya menceritakan hal-hal yang memang benar terjadi. Akan tetapi ketahuilah bahwa suci terpaksa melakukan hal itu demi untuk membe­baskanmu. Ia tidak berdaya menghadapi dua orang tosu itu, maka ia dapat ditipu oleh mereka yang menjanjikan untuk membebaskanmu.”

Yo Jin menurunkan kedua tangannya. Wajahnya agak pucat dan kedua matanya merah ketika dia menatap wajah wanita yang dicintanya. “Kwi-moi, apa­kah masih ada lagi ceritamu tentang dirimu? Kalau masih ada, tuangkanlah semua, jangan disimpan-sim­pan agar kelak engkau tidak akan merasa penasaran dan menceritakannya kembali kepadaku.”

Siu Kwi terbelalak. “Jin-koko, masih-belum cukupkah itu? Masih belum cukupkah kotoran yang menodaiku sehingga engkau dapat melihat bahwa aku­lah yang sesungguhnya tidak berharga bagimu?”

Yo Jin tersenyum dan menggeleng kepala. “Kwi-moi, kejujuranmu ini bahkan menambah cintaku ke­padamu. Aku mencinta engkau sekarang ini, seperti keadaanmu sekarang ini. Aku tidak perduli akan kea­daanmu yang lampau, apa lagi engkau sudah mengam­bil keputusan dan untuk merobah jalan hidupmu. Engkau telah melakukan penyelewengan, biarlah aku akan membantumu sekuat tenaga untuk kembali ke jalan benar, Kwi Moi.”

“Jin-koko....!” Siu Kwi menubruk dan hendak mencium kaki Yo Jin sambil menangis saking terharu hatinya. Akan tetapi Yo Jin menangkapnya dan menariknya sehingga kini wanita itu menangis dengan kepala di atas pangkuannya, menangis seseng­gukan seperti anak kecil dan rambutnya dibelai sayang oleh Yo Jin.

Melihat peristiwa ini, Bi Lan tak dapat menahan keharuan hatinya dan iapun memandangi dengan ke­dua mata lebar akan tetapi air matanya berlinang-li­nang, kemudian perlahan-lahan menetes turun melalui sepasang pipinya. Hatinya dipenuhi rasa haru, kasih­an, akan tetapi juga ikut gembira bahwa sucinya telah menemukan seorang pria yang sungguh-sungguh mencintanya lahir batin. Ia tidak tahu betapa dari sam­ping, Sim Houw memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kasih sayang.

Setelah tangisnya mereda, Siu Kwi mengangkat kepalanya dari pangkuan Yo Jin dan bangkit duduk. Tangisnya terhenti dan dengan muka ­yang basah air mata, rambut yang kusut, ia memandang kepada Yo Jin dengan malu-malu, kemudian ­tersenyum dan berkata lirih, “Aihh, aku seperti anak kecil saja....“

“Aku cinta dan kasihan kepadamu, Kwi-moi, kata Yo Jin yang kini memandang kepada wanita itu dengan sinar mata lain, mengandung rasa iba. Betapa sengsara kehidupan wanita ini di masa yang lalu dan dia berjanji kepada diri sendiri untuk mencoba membahagiakan Siu Kwi dalam kehidupan mendatang.

“Sudahlah, kita hentikan percakapan tentang ma­sa lalu dan kita bicara saja tentang hal-hal yang ber­ada di depan kita, meninggalkan segala yang sudah terlewat di belakang kita.” kata Bi Lan dan Sim Houw mengangguk-angguk setuju.

“Kalian memang bijaksana sekali,” kata Siu Kwi, “dan aku merasa girang bahwa kalian telah menjadi saksi pengakuanku kepada Jin-ko. Baiklah, sekarang kita bicara tentang masa depan. Sumoi, engkau dan Sim-taihiap hendak pergi ke manakah dan bagaimana bisa kebetulan bertemu dengan aku sehingga kalian dapat menolong aku dan Jin-koko?” Sikap Siu Kwi sudah biasa lagi dan biarpun mukanya masih merah dan basah, rambutnya masih kusut, namun ia sudah dapat menguasai hatinya, bahkan kini setelah ia mem­buat pengakuan di depan Yo jin yang diterima de­ngan baiknya oleh pria itu, ada sinar kehahagiaan yang cerah pada wajahnya, terutama pada sinar mata­nya. Tadinya, ada perasaan gelisah kalau ia mengingat akan masa lalunya dan membayangkan betapa Yo Jin akan berbalik membencinya kalau mendengar akan masa lalunya. Kalau hal seperti itu terjadi, kiranya akan sukar baginya untuk dapat merobah hidupnya!

Kebaikan tidak dapat dinamakan baik lagi kalau dilakukan dengan kesadaran bahwa hal itu baik. Keinginan hati untuk berbuat baik membuat perbuatan itu sendiri menjadi tidak baik, palsu dan munafik. Kebaikan tidak dapat diperbuat dengan sengaja. Ke­baikan tidak mungkin dapat dipelajari atau dilatih. Yang dapat dilatih itu hanyalah kepura-puraan saja. Kebaikan adalah wajar seperti sinar matahari, seperti harumnya bunga. Kebaikan adalah suatu sifat yang terpencar dari suatu kepribadian yang bersih. Kebaikan adalah suatu tindakan yang timbul dari batin yang penuh kasih.

Keinginan untuk menjadi sesuatu, biarpun sesuatu itu kelihatan agung seperti menjadi orang baik, mengotorkan kebaikan itu sendiri. Keinginan menjadi sesuatu selalu mendatangkan kepalsuan, karena pa­mrih atau keinginan yang menyembunyikan keuntungan bagi diri sendiri itu selalu mempunyai tujuan. Ke­inginan akan memperoleh buahnya atau hasilnya ini menjadi terpenting, sedangkan perbuatan baik itu sendiri hanya dijadikan alat untuk mencapai hasil yang menguntungkan atau menyenangkan itu!

Hal ini akan nampak jelas kalau kita mau mengamati diri sendiri setiap saat, pada saat keinginan tim­bul, keinginan yang dianggap suci dan luhur sekalipun. Kita buka mata batin, kita amati dan akan nampaklah bahwa ada setan bersembunyi di sudut belakang ke­inginan luhur itu, yang menanti datangnya hasil baik untuk diterkamnya.

Yang penting bukan ingin menjadi orang baik, melainkan sadar akan keburukan-keburukan dalam perbuatan kita. Kesadaran akan kekotoran ini timbul dalam pengamatan kita secara serius terhadap diri sendiri lahir batin. Kesadaran akan perbuatan-perbuatan buruk kita akan menghentikan perbuatan buruk itu, bukan dengan maksud agar menjadi baik! Kare­na kalau menghentikan perbuatan buruk itu menyembunyikan pamrih agar menjadi baik, maka yang men­jadi baik juga masih keburukan itu sendiri yang ber­ganti baju atau bersalin warna belaka.

Cinta kasih dan kebaikan selalu ada, karena cinta kasih dan kebaikan adalah suatu kewajaran yang ti­dak dibuat-buat, bukan hasil latihan, tanpa teori-teori muluk. Akan tetapi, cinta kasih dan kebaikan tidak nampak sinarnya karena batin kita penuh dengan de­bu kotoran yang diciptakan pikiran yang membentuk si-aku yang selalu dipenuhi keinginan-keinginan. Sing­kirkan semua debu kotoran itu, dan cinta kasih dan­ kebaikan akan memancarkan sinarnya dengan terang dan wajar.

Sejak kecil kita diajar untuk melakukan hal-hal baik sehingga dengan otomatis kita selalu berusaha untuk berbuat baik karena ada pahala di ujung perbu­atan baik. Pahala itu dijanjikan kepada kita oleh kebudayaan kita, melalui tradisi dan agama. Pahala itu ­dapat dinamakan kehidupan tenteram, kebahagiaan, sorga, nirwana dan sebagainya lagi, juga nama baik atau keuntungan materi yang lebih jelas nampak. Ma­ka berlumba-lumbalah kita untuk melakukan perbuat­an baik, yang pada hakekatnya hanya berlumba untuk mendapatkan pahala itulah!

Jadi, apa artinya melakukan perbuatan baik, atau menjadi orang baik, kalau dibaliknya tersembunyi pa­mrih mengejar pahala? Apa artinya kita menolong orang dan memberi sesuatu, kalau dalam perbuatan itu kita mengharapkan balas jasa dari orang yang kita tolong, atau kita mengharapkan pujian, nama baik dan sebagainya? Kalau begini, jauh lebih benar kalau kita tidak melakukan perbuatan baik dari pada melakukan perbuatan baik yang semu, palsu dan berpamrih! Lebih baik kalau kita mengamati diri sendiri dan melihat adanya kepalsuan-kepalsuan dalam keba­ikan kita ini. Karena hanya dengan pengamatan yang mendalam dan menyeluruh maka terjadi perobahan, terjadi penghentian segala yang palsu itu. Dan kalau sudah tidak ada keinginan untuk memperoleh pahala, kalau sudah tidak ada keinginan menjadi orang baik, maka semua perbuatan kita adalah wajar! Bukan baik buruk lagi, melainkan wajar. Dan tentu saja kewajar­an ini merupakan pencerminan dari pada kepribadian kita. Kalau pribadi sudah bersih dari pada segala ma­cam debu kekotoran berbentuk keinginan-keinginan demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri, maka yang tinggal hanya kewajaran di mana sinar cinta ka­sih dan kebaikan akan menerangi semua perbuatan itu.

Karena itu, bukankah jauh lebih baik kalau pelajaran berupa keinginan menjadi orang baik ini dirobah dalam kehidupan anak-anak kita, dirobah menja­di pengamatan terhadap kepalsuan-kepalsuan diri sen­diri setiap saat? Agar kebaikan dan cinta kasih me­nyinarkan cahayanya secara wajar dengan pembersih­an diri dari dalam?

Ketika Siu Kwi mengajukan pertanyaan itu kepa­da Bi Lan, gadis ini lalu menjawab dengan wajah gembira. “Memang hanya karena kebetulan saja ka­mi bertemu denganmu, suci. Aku sedang melakukan perjalanan ke utara, ke gurun pasir untuk mencari suhu dan subo.”

“Perdekar Naga Sakti Gurun Pasir ?” tanya! Siu Kwi dan suaranya mengandung kekaguman. Per­nah ia sebagai Bi-kwi, bertemu dengan mereka dan merasakan sendiri kesaktian mereka yang menggiriskan.

“Benar, suci. Aku hendak mengembalikan pedang. Ban-tok-kiam milik subo ini. Dan Sim-toako ini ber­baik hati untuk mengantarku ke sana. Di dalam perjalanan, ketika kami tiba di hutan itu, kami mende­ngar tangismu dan sungguh kebetulan sekali kita dapat saling bertemu di sana.”

Siu Kwi menarik napas panjang. “Memang, di du­nia ini terjadi banyak sekali peristiwa secara kebetulan saja. Baru sekarang aku dapat menyadarinya betapa besar kekuasaan Thian yang seolah-olah sudah mengatur segala yang nampak dan tidak nampak da­lam alam semesta ini. Pertemuan dengan jin-ko juga hal yang kebetulan saja.”

Sim Houw mengangguk-angguk. “Memang tepat sekali apa yang dikatakan oleh Ciong-lihiap. Nampak­nya saja kebetulan karena tadinya kita tidak tahu sa­ma sekali, akan tetapi sesungguhnya sudah ada garis­nya sendiri-sendiri. Baik buruknya garis itu sepenuh­nya berada dalam tangan kita masing-masing, karena hal-hal yang nampaknya tidak ada huhungan sama se­kali itu sesungguhnya masih merupakan suatu rangkaian yang tergantung dari keadaan kehidupan kita sendiri, yang ditentukan oleh kita sendiri dengan se­gala ulah kita.”

Siu Kwi menghela napas panjang. “Ah, betapa menariknya mempelajari soal kehidupan. Dulu, aku sama sekali tidak perduli akan sebab akibat, tidak perduli akan isi kehidupanku....“

“Sudahlah, suci, kita tadi berjanji akan meninggalkan masa lalu. Sekarang, apa yang akan kalian la­kukan dan ke mana kalian hendak pergi?”

Siu Kwi memandang kepada Yo Jin yang juga se­dang menatap wajahnya di bawah sinar api unggun. Wajah Siu Kwi nampak luar biasa cantik dan manis­nya dalam pandangan mata Yo Jin. Dua pasang mata itu bertemu dan biarpun mulut mereka diam saja, na­mun mereka seperti saling mengenal isi hati masing-masing dan sudah mengadakan persetujuan dengan pandang mata mereka.

“Aahh, kami.... akan memulai suatu kehi­dupan baru, sumoi. Aku akan meninggalkan seluruh kehidupan lama yang pernah kulalui dengan segala kekerasannya, melupakan segala-galanya dan belajar menjadi seorang isteri yang baik dan setia, dan kalau Thian menaruh kasihan kepada seorang seperti aku, aku ingin menjadi seorang ibu yang bijaksana bagi anak-anak kami. Kami akan pergi dan tinggal di sebuah dusun yang jauh dan baru, dan aku.... ah, maaf jin-ko, aku lupa belum minta persetujuanmu dalam hal ini....“

Yo jin tersenyum dan memandang dengan sinar mata mengandung penuh kasih sayang dan pengerti­an. “Aku setuju saja dengan rencanamu, Kwi-moi. Memang sebaiknya kita pergi jauh dari sini untuk me­lupakan hal-hal lalu dan agar jangan terjadi lagi hal-hal yang buruk.”

Malam itu dilewatkan oleh empat orang muda ini dengan bercakap-cakap dan baik Bi Lan maupun Sim Houw diam-diam merasa heran, kagum dan juga gi­rang sekali melihat betapa sikap Siu Kwi yang dulu terkenal dengan julukan Bi-kwi (Setan Cantik) ber­ubah sama sekali! Baik sinar matanya yang menjadi lembut penuh kasih sayang, terutama kalau ditujukan kepada Yo Jin, suaranya yang menjadi halus merdu bebas dari kebencian, gerak-geriknya, pendeknya orang akan pangling dan tidak mengenalnya lagi seba­gai Siu Kwi beberapa bulan yang lalu!

Sudah lajim di antara kita manusia, perbuatan sesat mendatangkan akibat yang buruk bagi kita sendiri ,dan kalau sudah demikian, timbul penyesalan dan janji bertaubat di mulut atau di hati. Akan tetapi, bertaubat seperti ini seringkali tidak ada hasilnya sa­ma sekali dan tak lama kemudian kita akan terjerumus lagi ke dalam kesesatan yang sama! Kesesatan dilakukan orang karena orang ingin meneguk kese­nangan dari perbuatan itu dan bertaubat karena penyesalan setelah timbul akibat buruk bagi diri sendiri bukanlah bertaubat yang sesungguhnya lagi. Taubat macam ini tidak akan bertahan lama, dan setelah pe­nyesalan sebagai akibat buruk itu menipis. rasa ber­taubatpun ikut pula menipis dan tak lama kemudian, daya tarik untuk meneguk kesenangan kembali mendorong kita untuk melakukan perbuatan yang sama. Seperti orang minum arak. Kalau kemudian mabok dan sakit-sakit seluruh badan, mulut dan hati menyatakan bertaubat tidak akan minum arak lagi. Akan tetapi, setelah rasa sakit-sakit itu hilang, kita akan lupa karena membayangkan enak dan nikmatnya mi­num arak, dan kitapun minum lagi. Demikian seterus­nya seperti lingkaran setan yang tidak pernah putus.

Yang penting bukanlah bertaubat karena menye­sal menerima akibat buruk, melainkan pengamatan terhadap diri sendiri setiap saat. Pengamatan ini akan mendatangkan kesadaran dan kebijaksanaan, dan pengamatan ini akan merobah diri seketika, saat demi saat, sehingga tidak terjadi pengulangan-pengulangan. Kebaikan bukanlah suatu yang menjadi kebiasaan, melainkan harus dihayati detik demi detik dengan pengamatan terhadap diri sendiri. Yang penting itu membersihkan diri dari kotoran, bukan keinginan untuk bersih. Keinginan untuk bersih saja tidak mem­buat kotoran menjadi lenyap. Dan kalau kotoran su­dah lenyap, untuk apa ingin menjadi bersih? Sesal dan taubatpun tidak ada kalau segala perbuatan kita didasari cinta kasih, bukan lagi menjadi pelaksanaan dari pada keinginan untuk mengejar dan memperoleh kesenangan, karena perbuatan didasari cinta kasih ini tanpa pamrih sehingga apapun yang menjadi akibat dari perbuatan ini tidak akan menimbulkan penyesal­an apapun.

Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali, Bi Lan dan Sim Houw berpamit untuk melanjutkan perjalanan mereka. Siu Kwi menggandeng tangan Bi Lan dan diajaknya sumoinya itu agak menjauh dari Sim Houw dan Yo Jin karena ia ingin bicara empat mata dengan sumoinya itu. Setelah berada cukup jauh sehingga percakapan mereka tidak akan terdengar orang lain, Siu Kwi lalu merangkul adik seperguruannya.

“Sumoi, aku mengucapkan selamat kepadamu!”

“Eh, untuk apa, suci?”

“Engkau telah memperoleh seorang pacar yang pilihan! Aku ikut merasa girang, adikku. Sim-taihiap adalah seorang pria pilihan yang amat mengagumkan hatiku. Engkau tentu beruntung sekali!”

Wajah Bi Lan berubah merah. Heran ia mengapa sucinya dapat menduga dengan tepat bahwa ia me­mang diam-diam jatuh cinta sampai ke ujung rambutnya kepada Sim Houw! Akan tetapi, mengingat si­kap Sim Houw yang tidak pernah menyatakan cinta­nya. ia menjadi sedih dan menarik napas panjang.

“Aihh, aku tidak seberuntung engkau, suci.”

“Eh? Salahkah rabaanku bahwa engkau mencinta Sim-taihiap?”

Siu Kwi tertawa dan merangkul sumoinya. “Anak bodoh! Tanpa pengakuan mulutpun, apakah engkau tidak dapat mengerti dan melihatnya? Aku sudah melihat dengan jelas sekali betapa Sim-taihiap amat mencintamu!”

“Ehhh....?” Bi Lan terbelalak memandang wajah sucinya penuh selidik.

“Percayalah, sumoi. Dia amat mencintamu, dan mungkin dia terlalu rendah hati untuk membuat pengakuan. Akan tetapi aku yakin bahwa dia cinta padamu, jelas nampak dalam pandang matanya kepadamu, suaranya, dan sikapnya. Hanya wanita yang buta sa­ja yang tidak akan dapat melihat cintanya kepadamu, sumoi!”

Wajah Bi Lan menjadi semakin merah akan teta­pi kini wajah itu berseri dan mulutnya tersenyum ma­nis sekali. Ia percaya akan keterangan sucinya, kare­na ia tahu benar bahwa encinya adalah orang yang sudah memiliki pengalaman luas dalam menilai pria.

“Terima kasih suci!” Bi Lan merangkul dan Bi Lan mengangguk dan mencium pipi sucinya. Kini wajahnya yang manis nampak berseri penuh kebahagiaan. “Keteranganmu itu sunggh amat berharga, mendatangkan cahaya yang menerangi seluruh hati dan perasaanku. Terima kasih!”

Ketika mereka berangkulan ini, terasa oleh masing-masing betapa keduanya saling mengasihi dan menyayang seperti kakak beradik sendiri saja. Dan Siu Kwi tidak dapat menahan air mata yang membasahi kedua matanya ketika melihat Bi Lan pergi bersama Sim Houw. Akan tetapi, ketika ia merasa ada tangan menyentuh pundaknya dengan lembut, iapun membalik dan merangkul Yo Jin, menyembunyikan mukanya di dada pria yang dicintanya itu. Cinta as­mara memang hebat, kuasanya terhadap perasaan manusia amat besarnya sehingga cinta asmara mampu mendatangkan sorga ataupun neraka di dalam kehidupan seseorang.

***

Mereka menemukan sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi di lereng bukit itu. Sudah hampir dua pekan mereka berpisah dari Siu Kwi dani Yo Jin dan kini mereka sudah tiba di deretan bukit-bukit yang tak terhitung banyaknya dan yang nam­paknya tak pernah habis itu, gunung-gunung besar kecil yang bertaburan di sepanjang perbatasan sebe­lah utara. Tembok Besar nampak bagaikan seekor ­naga yang berlika-liku dan naik turun bukit-bukit dan gunung-gunung, amat indah dan megahnya. Mereka belum melewati Tembok Besar yang sudah nampak jauh di utara dari tempat mereka berhenti untuk melewatkan malam.

Setelah makan malam dan membersihkan diri di sumber air di belakang kuil tua, makan yang cukup lezat walaupun yang mereka makan hanyalah bekal roti dan daging kering bersama air jernih karena pe­rut lapar dan tubuh lelah, Bi Lan dan Sim Houw duduk di ruangan belakang kuil tua itu. Ruangan itu merupakan bagian yang masih paling baik di antara bagian lain yang sudah rusak dan banyak yang sudah runtuh. Mereka sore tadi sudah membersihkan tem­pat itu sehingga enak untuk dipakai beristirahat. Sim Houw sudah mengumpulkan kayu bakar yang diam­bilnya dari dalam hutan, ditumpuk di situ untuk di­pakai malam nanti, pengusir nyamuk dan hawa dingin.

Setelah menumpuk beberapa potong kayu bakar, Bi Lan lalu membuat api dan sebentar saja ruangan itu yang tadinya sudah mulai gelap menjadi terang kemerahan dan hawanya yang tadinya dingin menjadi hangat. Hal ini mendatangkan perasaan gembira di hati Bi Lan. Ia memandang wajah Sim Houw yang juga duduk di dekat api unggun, di depannya. Me­mandang sampai lama jarang berkedip, mulutnya ter­senyum seperti orang mengejek. Tadinya Sim Houw tidak menyangka sesuatu karena selama melakukan perjalanan bersama dara ini, hubungan mereka akrab dan setiap hari entah berapa puluh kali dia melihat dara yang memang lincah jenaka ini tersenyum. Dan memang wajah itu paling manis kalau tersenyum, muncul lesung pipit di kanan kiri mulutnya. Akan tetapi ketika melihat bahwa dara itu menatap sejak tadi hampir tak pernah berkedip, diapun merasa canggung dan kikuk sekali, menjadi salah tingkah. Ingin mengalihkan pandang mata, merasa sayang karena pada sa­at itu wajah Bi Lan nampak cantik jelita dan manis seperti wajah seorang bidadari dalam dongeng, akan tetapi kalau dipandang terus dia merasa malu dan khawatir kalau dianggap kurang sopan. Dicobanya mengalihkan perhatian dengan menambah kayu bakar pada api unggun, akan tetapi karena matanya tidak mau diajak pindah, dia tidak melihat bahwa tangan­nya terjilat api.

“Uhhh....!” Dia menarik tangannya. Un­tung dia bertindak cepat dan dua jari tangannya ha­nya terjilat dan terasa panas saja, belum sampai me­lepuh.

“Eh, kau kenapa, Sim-koko? Tanganmu terba­kar?' tanya Bi Lan kaget dan cepat ia menangkap lengan kiri pemuda itu untuk diperiksa.

Ah, hanya terjilat sedikit, tidak terluka....”

Bi Lan merasa lega melihat bahwa tangan itu tidak melepuh, hanya hangus sedikit.

“Sakitkah, koko?”

Melihat kesungguhan sikap Bi Lan yang amat memperhatikan dan mengkhawatirkan tangannya itu, diam-diam Sim Houw merasa gembira sekali. Akan tetapi dia menggeleng kepalanya dan dengan lembut menarik kembali tangannya karena merasa malu di­perlakukan seperti anak kecil oleh Bi Lan. “Tidak, Lan-moi, hanya panas sedikit saja. Salahku sendiri kurang hati-hati.”

Hening sampai agak lama. Sim Houw kini me­nunduk dan dia masih merasa bahwa gadis itu terus­ memandangnya, seolah-olah terasa olehnya sinar mata yang hangat itu menatapnya.

“Sim-koko, ada satu hal yang sudah lama menjadi pertanyaan bagiku dan ingin sekali aku mendengar jawabannya secara terus terang darimu.”

Sim Houw mengangkat mukanya memandang de­ngan penuh keheranan, dan sinar matanya menyeli­diki wajah dara itu seperti hendak menjenguk isi ha­tinya. “Pertanyaan apakah itu, Lan-moi?”

“Sim-ko, perjalanan menuju ke Istana Gurun Pa­sir merupakan perjalanan yang amat jauh, sukar dan berbahaya, bukankah begitu?”

Sim Houw mengangguk-angguk. “Benar sekali, Lan-moi, dan juga amat jauhnya.”

“Nah, inilah yang membuat aku terheran-heran dan tiada habis kupikirkan. Kenapa engkau bersusah payah mengantar aku ke sana, Sim-ko? Perja­lanan ini mengandung resiko, berbahaya dan sukar, kenapa engkau yang bukan apa-apa denganku, berani mengambil resiko dan mengantarkan aku? Kenapa, Sim-ko?”

Mendengar pertanyaan ini dan melihat betapa si­nar mata dara itu memandang kepadanya dengan amat tajam penuh selidik, wajah Sim Houw berubah merah. Untung sinar api unggun itu juga berwarna merah sehingga menyembunyikan kemerahan mukanya, dan diapun menundukkan muka memandangi api unggun, seolah-olah hendak mencari jawabannya dari nyala api itu.

“Bagaimana, Sim-ko? Jawablah dengan terus terang.” kata Bi Lan dan gadis ini yang sudah tahu dari Siu Kwi bahwa pemuda ini sebenarnya cinta ke­padanya, memandang dengan hati tegang akan tetapi juga dengan senyum simpul melihat sikap Sim Houw yang seperti orang kebingungan dan canggung.

Akhirnya Sim Houw menarik napas panjang. “Ke­napa hal itu saja kautanyakan, Lan-moi? Bukankah sudah jelas bahwa kita adalah sahabat baik? Kita sudah banyak mengalami hal-hal yang berbahaya ber­sama, bahkan sudah bersama-sama terancam bahava maut. Karena engkau seorang gadis, tentu saja aku tidak ingin membiarkan engkau seorang diri saja mencari Istana Gurun Pasir yang demikian jauhnya, mela­kukan perjalanan yang demikian berbahayanya seorang diri saja. Karena itulah aku mengantarmu, Lan-moi.”

“Akan tetapi,.... perjalanan ini selain sukar juga mempertaruhkan nyawa! Engkau tentu mem­punyai banyak sahabat, apakah terhadap semua saha­batmu engkau akan melakukan hal yang sama? Aku­pun mempunyai banyak sahabat, akan tetapi kiranya selain engkau tidak akan ada yang mau melakukan perjalanan berbahaya ini untuk mengantar aku. Alas­an bersahabat itu kurang meyakinkan hatiku, Sim-ko!”

“Akan tetapi kita bukan sahabat biasa, Lan-moi, melainkan sahabat yang sangat baik! Melebihi sau­dara sendiri. Pendeknya, aku tidak ingin melihat eng­kau terancam bahaya dan aku.... aku siap mengorbankan nyawa untuk melindungimu....”

Bukan main girang dan terharu rasa hati Bi Lan. Jelas sudah jawaban itu membuktikan kebenaran keterangan Siu Kwi. Perdekar ini cinta padanya. Akan tetapi ia belum puas. Kenapa tidak secara langsung saja Sim Houw menyatakan cinta padanya? Bagaima­napun juga, tidak baik kalau ia terlalu mendesak, dan iapun tersenyum manis, dengan penuh keyakinan bah­wa senyumnya menciptakan lesung pipit yang tidak pernah gagal mendatangkan sinar kagum dalam sepa­sang mata pendekar itu. Ia tidak menyadari bahwa malam ini, ditimpa sinar api unggun, senyumnya amat istimewa, membuat Sim Houw terpesona dan pende­kar ini terpaksa menundukkan pandang matanya un­tuk menenangkan hatinya yang terguncang oleh ke­kaguman.

“Kalau begitu, terima kasih atas kebaikan hatimu. Sim-ko.”

Hening lagi sejenak. Sim Houw termenung me­mandang nyala api unggun. Bi Lan yang termenung, kadang-kadang mengangkat muka memandang wajah orang muda itu. Bukan seorang pemuda remaja lagi. Akan tetapi juga bukan seorang kakek tua, melainkan wajah seorang laki-laki. Seorang jantan yang sudah matang, denqan wajah memperlihatkan garis-garis pengalaman dan kepahitan hidup.

“Sim-ko....”

“Hemmm....?” Sim Houw sadar dari lamunan dan menatap wajah Bi Lan. Sesaat pandang mata mereka bertemu, bertaut dan kini Bi Lan yang menundukkan pandang matanya, merenung ke arah nyala api.

“Sim-ko,” katanya lirih, tetap merenung ke arah api unggun seolah-olah ia bicara kepada api. “Engkau pernah mencinta seorang wanita namun gagal karena ia mencinta pria lain. Sakitkah hatimu, Sim-ko?”

Sim Houw menatap wajah itu penuh selidik namun tetap saja dia tidak tahu ke mana arah angin pertanyaan dara itu. Dia mengerutkan alisnya dan menja­wab dengan tegas.

“Sakit hati? Ah, tidak sama sekali, Lan-moi. Kenapa aku harus sakit hati? Ia mencinta pria lain yang lebih baik dari pada aku dan ia hidup berbaha­gia. Tidak ada alasan bagiku untuk sakit hati.”

“Maksudku bukan sakit hati dan menaruh den­dam, Sim-ko. Akan tetapi, apakah engkau tidak patah hati, tidak putus asa dan menderita sakit dalam di­rimu?”

Sim Houw tersenyum dan memandang gadis itu yang kini juga menatapnya. Heran dia mendengar pertanyaan itu dan diapun menggeleng kepala dengan pasti. “Tidak, Lan-moi. Patah hati dan putus asa hanya dilakukan oleh orang yang lemah. Apapun yang terjadi di dalam hidup, suka maupun duka hanyalah bagaimana kita menilainya saja. Duka hanyalah gam­baran iba hati yang berlebihan. Segala macam peris­tiwa hidup harus kita hadapi dengan tabah dan ikhlas, tanpa keluhan.”

“Tapi.... tapi.... apakah kegagalan cinta itu tidak membuat engkau jera, Sim-ko?”

“Jera bagaimana maksudmu?”

“Jera dan tidak berani untuk jatuh cinta kembali.”

“Cinta tidak pernah gagal, Lan-moi. Perjodohan bisa saja putus dan gagal. Akan tetapi cinta? Kurasa cinta itu abadi, Lan-moi.”

Bi Lan memandang bingung, tidak mengerti. “Akan tetapi.... apakah semenjak engkau gagal.... eh, maksudku semenjak hubungan cintamu dengan Kam Bi Eng yang kini menjadi isteri Suma Ceng Liong itu engkau pernah jatuh cinta lagi dengan seorang gadis lain?”

Sim Houw tersenyum, sampai lama tidak dapat menjawab. Memang harus diakuinya bahwa sejak berpisah dari Kam Bi Eng yang memilih Suma Ceng Liong sebagai jodohnya, dia tidak pernah lagi jatuh cinta, sampai sekarang, karena dia tahu benar bahwa dia jatuh cinta kepada Bi Lan! Akan tetapi untuk mengakui cintanya, dia merasa sungkan dan segan, khawatir kalau-kalau hal itu akan menyinggung pera­saan Bi Lan dan juga dia merasa ngeri kalau-kalau hal itu akan memisahkan dia dengan gadis ini.

“Aku sudah tua sekarang, Lan-moi      siapa­kah yang mau menaruh hati kepadaku?” jawabnya menyimpang.

Tiba-tiba Bi Lan tertawa, menutupi mulutnya.

“Hi-hi-hik,” Ia seperti mengajak bicara kepada nyala api unggun karena ia memandang kepada api itu “coba dengarkan keluhan kakek tua renta ini, menye­sali kehidupannya yang tua renta dan sepi. Kasihan sekali dia....!”

“Lan-moi, sudahlah jangan goda aku. Kita bicara urusan lain saja....“

“Aku justeru ingin bicara tentang cintamu, Sim-ko.”

Sim Houw menarik napas panjang dan dia sungguh tidak mengerti akan sikap dan watak gadis ini yang kini begitu tiba-tiba bicara tentang hal yang bu­kan-bukan! “Sesukamulah, Lan-moi.”

“Kau marah....?”

Sim Houw tersenyum dan memandang dengan wajah berseri. Bagaimana mungkin dia dapat marah kepada dara ini, dara yang dicintanya? Pertanyaan yang aneh-aneh itu merupakan satu di antara keisti­mewaan Bi Lan, yang demikian lincah dan penuh gairah hidup. “Tidak, Lan-moi. Aku tidak pernah dan tidak akan pernah marah kepadamu.”

“Kenapa?” Tiba-tiba dara itu mendesak.

“Karena.... karena engkau tidak pernah ber­salah, engkau wajar dan lincah gembira....“ Kem­bali Bi Lan mengerutkan alisnya. Sukar benar pria ini mengakui cintanya, pikirnya penasaran.

“Jadi selama ini, sejak engkau berpisah dan gagal dalam hubunganmu yang pertama dengan wanita yang kaucinta, engkau tidak pernah jatuh cinta lagi, Sim-ko?”

Sim Houw tidak menjawab, hanya menggeleng kepala, dan tiba-tiba dia memegang tangan Bi Lan, menariknya dengan sentakan keras sehingga dara itu terlempar ke arahnya dan melalui atas api unggun. Tentu saja Bi Lan terkejut bukan main, akan tetapi Sim Houw segera memberi isyarat dengan tangannya. Kiranya seekor ular sebesar kelingking, akan tetapi panjangnya lebih dari dua kaki, telah berada di atas lantai di mana Bi Lan duduk. Ular itu adalah seekor ular berbisa yang amat berbahaya. Dengan sekali menggerakkan tangannya, jari tangan Sim Houw me­ngetuk ke arah kepala ular yang diangkat tegak. Ular tu terlempar ke dalam api unggun dan berkelojotan.

“Mari....!” kata Sim Houw sambil menyam­bar tangan Bi Lan dan juga buntalan mereka dan mengajak gadis itu meloncat ke luar kuil dengan ge­rakan cepat. Kembali Bi Lan terkejut, akan tetapi hi­langlah rasa kagetnya ketika mereka tiba di luar dan ia melihat bahwa di luar kuil telah berdiri belasan oranq! Tahulah kini Bi Lan bahwa munculnya ular berbisa tadipun tidak wajar, melainkan dimunculkan dengan sengaja oleh seorang di antara belasan orang ini untuk menyerangnya. Dan melihat bahwa di an­tara mereka terdapat orang-orang berpakaian seperti pendeta, iapun dapat menduga bahwa tentu mereka ini orang-orang Pek-lian-kauw atau Pat-kwa-kauw.

Dugaannya memang tidak keliru. Di bawah pe­nerangan empat buah obor besar yang dipegang oleh empat orang di antara mereka, ia dapat melihat gam­bar teratai putih dan segi delapan di dada baju para pendeta itu. Jelaslah bahwa kedatangan mereka ini tentu ada hubungannya dengan dua orang pendeta, yaitu Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin yang telah ia kalahkan bersama Sim Houw.

“Kalian ini tentulah siluman-siluman dari Pat-kwa kauw dan Pek-lian-kauw!” Bi Lan membentak ma­rah. “Siapakah di antara kalian yang tadi melepas ular berbisa?”

Seorang di antara tigabelas orang itu adalaah seo yang kakek bongkok yang mukanya buruk sekali, seperti monyet karena kecilnya muka itu, hidungnya pesek dan matanya juga amat kecil. Tubuhnya yang kecil pendek dan bongkok itu dibungkus jubah dan melihat gambar bunga teratai di dadanya, jelas dapat diketahui bahwa dia adalah seorang pendeta Pek-lian-kauw. Mendengar pertanyaan Bi Lan, kakek bongkok ini terkekeh dan suara ketawanya juga lucu dan tida lumrah seperti tubuhnya karena yang terdengar hanya suara “kek-kek-kek-kek!” seperti leher dicekik dan tubuhnya terguncang-guncang semua.

“Heh-heh-heh!” Suara tercekik-cekik itu disusul kekeh mengejek dan diapun menggurat-gurat tanah di depan kakinya dengan ujung tongkatnya. Tongkat itu berwarna hijau dan bentuknya seperti ular, dan memang tongkat itu sebetulnya adalah seekor ular besar yang panjangnya tidak kurang dari lima kaki, warnanya hijau dan anehnya, kadang-kadang ular itu da­pat menjadi kaku seperti ketika ekornya digutat-gu­ratkan pada tanah tadi. “Akulah yang mengirim ular tadi untuk berkenalan denganmu, nona.”

“Kakek iblis jahanam!” bentak Bi Lan dan iapun sudah menerjang ke depan, mengirim pukulan dengan tamparan tangan kanannya ke arah kepala kakek bong­kokitu. Ia marah sekali karena dengan mengirim ular berbisa tadi, berarti kakek ini ingin membunuh­nya secara keji sekali. Maka, kini iapun langsung sa­ja menyerang dengan tamparan yang dilakukan de­ngan pengerahan tenaga sepenuhnya dan karena ia teringat bahwa kakek ini adalah seorang ahli ular berbisa, maka iapun menggunakan ilmu yang sama kejamnya, yaitu Ilmu Pukulan Ban-tok Ciang-hoat (Ilmu Silat Selaksa Racun)! Pukulan dengan ilmu ini memang amat dahsyat. Ilmu ini dipelajari oleh Bi Lan dari nenek Wan Ceng, isteri dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, maka selain amat kuat, juga me­ngandung hawa beracun yang berbahaya sekali.

Kakek bongkok itu berjuluk Coa-ong Seng-jin, berusia enampuluh lima tahun dan dia masih terhi­tung sute dari Thian Kek Seng-jin. Biarpun dalam hal ilmu silat dan ilmu sihir, tingkatnya tidak melebihi tingkat Thian Kek Seng-jin, namun kakek ini me­miliki suatu kelebihan. Sesuai dengan julukannya, yaitu Coa-ong (Raja Ular), dia adalah seorang pa­wang ular yang pandai. Maka, ketika belasan orang ini, atas pemberitahuan Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin yang terluka parah oleh Sim Houw dan Bi Lan, mengejar dan mendapatkan dua orang itu, Coa-ong Seng-jin segera mengirim seekor ular berbisa yang nyaris menggigit Bi Lan. Pada hal, andaikata Sim Houw tidak menariknya sehingga gadis itu terhindar dari gigitan ular, bagi Bi Lan tidaklah terlalu berba­haya jika ia sampai digigit ular berbisa. Ia telah me­warisi ilmu Ban-tok Ciang-hoat, dan ia telah meneri­ma pelajaran tentang racun-racun dari nenek Wan Ceng sehingga gigitan beracun tentu tidak akan mencelakainya.

Melihat betapa gadis itu dapat lolos dari “kiriman” ular, Coa-ong Seng-jin maklum bahwa gadis itu dan temannya yang berjuluk Pendekar Suling Naga merupakan dua orang lawan yang tangguh. Apalagi melihat keadaan Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin yang terluka parah. Maka, kini melihat gadis itu me­nyerangnya dengan tamparan yang cepat dan kuat, Coa-ong Seng-jin juga mengerahkan tenaganya, tangan kirinya menyambut tamparan itu sedangkan tangan kanannya yang memegang tongkat ular hidup itu menggerakkan ularnya yang menyambar ke depan, ke arah leher Bi Lan!

“Dukkk!” Dua tangan itu bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Coa-ong Seng-jin tergetar hebat. Dia terkejut sekali, akan tetapi melanjutkan serangan­nya dengan ular di tangan kanan. Melihat ular yang menyambar ke arah lehernya, Bi Lan sama sekali ti­dak merasa gentar. Ia menggerakkan tangan kirinya untuk menangkap leher atau kepala ular, untuk di­cengkeram hancur. Untungnya kalau memiliki tong­kat hidup, ular itu agaknya memiliki indriya yang ta­jam dan dapat mengelak dengan menarik lehernya ke belakang, melengkung dan mulutnya mendesis-desis mengeluarkan uap beracun. Biarpun ia tidak takut terhadap uap beracun itu, Bi Lan maklum bahwa se­tidaknya, kalau kulit terkena semburan uap itu, tentu akan gatal-gatal, maka iapun meloncat ke belakang. Coa-ong Seng-jin tidak berani memandang rendah setelah tadi pertemuan tangan dengan gadis muda itu membuat tubuhnya tergetar dan terhuyung. Tahulah dia bahwa gadis itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat!

Sementara itu, Sim Houw tidak menghendaki Bi Lan untuk tergesa-gesa menyerang musuh yang ba­nyak jumlahnya dan dia dapat melihat bahwa lima orang berpakaian pendeta yang berdiri di depannya itu bukanlah orang-orang lemah. Dengan sikap te­nang dia lalu melangkah maju.

“Cu-wi totiang (para bapak pendeta), ada keperluan apakah cuwi malam-malam datang mengganggu kami yang sedang beristirahat melewatkan malam di kuil tua ini?”

“Siancai!” Seorang tosu yang kelihatan­nya sudah amat tua renta karena rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua, usianya tentu lebih dari tujuhpuluh tahun, memegang sebatangtongkat yang panjang, sama dengan tinggi tubuhnya, menge­lus jenggotnya yang putih panjang ketika dia menge­luarkan seruan itu dan dialah yang melangkah maju menghadapi Sim Houw. Sejenak mereka berdiri sa­ling pandang dan Sim Houw juga mengamati kakek atu penuh perhatian. Seorang kakek yang tua dan nampaknya lemah, namun melihat sikapnya yang ber­wibawa, pandang matanya yang mencorong, diapun dapat menduga bahwa tentu kakek yang pada dadanya ada gambar Pat-kwa ini adalah seorang dari Pat-kwa-kauw yang bertingkat tinggi. Dugaannya juga tepat karena kakek ini merupakan orang ke dua di perkum­pulan Pat-kwa-kauw, menjadi wakil ketua. Nama julukannya adalah Thian Kong Cin-jin dan sebagai orang ke dua Pat-kwa-kauw, tentu dia memiliki ilmu kepan­daian yang tinggi.

“Orang muda, apakah engkau yang berjuluk Pen­dekar Suling Naga, yang dengan semena-mena telah melukai seorang tokoh kami dari Pat-kwa-kauw, dan juga seorang tokoh sahabat kami dari Pek-lian-kauw?” Agaknya kakek ini memandang rendah kepada Bi Lan, maka dia sama sekali tidak memperdulikan ga­dis itu, walaupun tadi dia melihat sendiri betapa ga­dis itu mampu menandingi serangan balasan dari Coa­ong Seng-jin.

“Sim-ko, jelas bahwa mereka ini adalah siluman­siluman yang hendak membalaskan kekalahan Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin, dua orang tosu si­luman itu!” Bi Lan berseru.

“Benar, totiang,” jawab Sim Houw. “Saya ber­nama Sim Houw dan nona ini adalah Can Bi Lan.”

Kakek yang sikapnya halus berwibawa itu mengangguk-angguk. “Benarkah kalian telah melindungi seorang siluman betina dan melukai dua orang rekan kami?”

Sim Houw mengetutkan alisnya. “Kami berdua membela yang lemah dan benar. Saudara Yo Jin de­ngan sewenang-wenang ditangkap, ayahnya dibunuh, karena itu kami membantu tunangannya untuk mem­bebaskannya. Kedua orang totiang Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin bahkan hendak menangkap kami, maka terjadilah perkelahian dan akibatnya mereka berdua terluka. Harap cu-wi totiang memaafkan ka­rena kami sesungguhnya sama sekali tidak mencari permusuhan dengan pihak manapun juga.”

“Hemm, enak saja, heh-heh!” kata Coa-ong Seng-jin. “Sudah melukai orang sampai menderita lu­ka parah, minta maaf. Kalian tentu orang-orang yang belum lama ini membasmi para pembantu Hou-taijin. Hayo katakan, siapa di antara kalian yang membunuh Kim Hwa Nio-nio!”

Ditanya demikian oleh si kakek bongkok, Sim Houw mengerutkan alisnya. Dia tidak merasa heran kalau para tosu Pek-lian-kauw mengenal Kim Hwa Nio-nio, mungkin kenalan baik karena mereka sea­liran.

“Kim Hwa Nio-nio dan kawan-kawannya mem­bantu pembesar durna, maka aku membantu para pendekar untuk membersihkan kota raja dari penga­ruh mereka. Dalam pertempuran itu, Kim Hwa Nio-nio memang terbunuh olehku,” jawabnya tenang.

Mendengar ini, lima orang tosu itu, dua dari Pat kwa-kauw dan tiga dari Pek-lian-kauw, menjadi ma­rah. Bahkan Thian Kong Cin-jin yang memimpin rombongan itu nampak marah dan kelembutannya tertutup oleh kemarahan yang membuat mukanya me­rah dan matanya terbelalak. Patut diketahui bahwa Kim Hwa Nio-nio di waktu mudanya amat populer di antara para tosu Pek-lian-kauw dan menjadi sahabat baik mereka.

“Hemm, kiranya yang bernama Suling Naga adalah seorang muda yang sombong dan mudah menjatuhkan tangan maut kepada golongan kami. Sim Houw, Pendekar Suling Naga, sekarang kami datang untuk minta nyawamu guna menebus semua rekan ka­mi yang telah terbunuh atau terluka olehmu!”

“Tidak kelirulah jalan pikiran totiang?” Sim ­Houw berkata dengan sikap masih tenang sekali­. “Semua yang kulakukan itu bukan berdasarkan per­musuhan atau kebencian pribadi, melainkan karena aku membela yang benar dan secara tidak kebetulan sekali yang totiang bela itu berdiri di pihak yang se­sat. Kalau sekarang totiang hendak membela yang salah, bukankah berarti bahwa totiang juga akan mengambil jalan sesat, tidak sesuai dengan kedudukan totiang sebagai seorang pendeta?”

“Siancai....! Engkau sungguh terlalu som­bong, orang muda. Pinto memiliki pandangan dan kebenaran pinto sendiri. Nah, rasakan pembalasan kami!” Berkata demikian, kakek itu menggerakkan tongkatnya yang panjang dan angin besar menyambar ke arah Sim Houw. Pemuda itu terkejut dan cepat melompat ke belakang. Tongkat tidak mengenai diri­nya, akan tetapi anginnya membuat pakaian dan ram­butnya berkibar-kibar. Dia maklum akan kelihaian lawan, maka tanpa ragu-ragu lagi diapun cepat meng­hunus pedang Liong-siauw-kiam yang diputarnya menjadi segulungan sinar yang mengeluarkan bunyi mengaung-ngaung.

Melihat ini, Bi Lan tidak tinggal diam. Dicabutnya pedang Ban-tok-kiam dan iapun menerjang maju, yang diterjangnya adalah kakek bongkok yang merasa ngeri sekali melihat pedang di tangan gadis itu. “Pedang iblis.... pedang iblis....!” katanya berkali-kali sambil berloncatan ke sana-sini dan memainkan ular hijau di tangannya untuk mencari peluang mem­ulai serangan. Tiga orang tosu lain sudah mempergu­nakan senjata mereka masing-masing, yaitu tongkat dan tasbeh untuk mengepung Bi Lan dan Sim Houw. Seorang membantu Coa-ong Seng-jin dan dua orang membantu Thian Kong Cin-jin.

Tingkat kepandaian lima orang itu rata-rata seperti tingkat kepandaian Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin, hanya tingkat Thian Kong Cin-jin yang pa­ling tinggi. Kakek tua renta ini memang lihai bukan main dan dia merupakan seorang ahli tenaga sin-kang yang kuat. Kekuatannya itu ditambah dengan kekuat­an ilmu hitam sehingga kadang-kadang tongkatnya se­perti hidup dan dapat bergerak sendiri! Menghadapi kakek ini saja Sim Houw harus berhati-hati sekali, apa lagi kakek itu dibantu oleh dua orang tosu lain yang juga lihai, maka Sim Houw harus mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Untung bahwa di tangannya terdapat suling Liong-siauw-kiam. Kehebatan permainan pedang suling yang mengeluarkan suara seperti orang memainkan lagu dengan suling, membuat tiga orang lawannya gentar dan sukar menembus pertahanan Sim Houw.

Di lain pihak, Bi Lan juga mengamuk dengan pedangnya. Sebetulnya, tingkat kepandaian dua orang pengeroyoknya itu masing-masing sudah lebih tinggi sedikit dari pada tingkatnya, akan tetapi berkat keampuhan Ban-tok-kiam, dua orang lawannya juga gentar dan berhati-hati sekali menghadapi sambaran sinar pedang yang luar biasa ampuh dan menggiriskan itu.

Thian Kong Cin-jin diam-diam merasa kagum akan tetapi juga penasaran sekali. Di situ masih ter­dapat beberapa orang murid kepala yang merupakan murid-murid terpandai, akan tetapi makin banyak yang mengeroyok akan membuat gerakannya dan ka­wan-kawannya menjadi kacau dan tidak teratur. Dia pun teringat akan rencana siasatnya sebelum mereka menyerbu. Melihat kegagahan dua orang muda itu diapun lalu mengeluarkan suara melengking, yaitu aba-aba rahasia yang hanya dimengerti oleh kawan-kawannya, sesuai dengan siasat yang telah mereka rencanakan. Mendengar aba-aba ini, lima orang tosu itu segera berlompatan mundur dan pada saat itu, tiga buah obor besar tadi tiba-tiba saja dipadamkan! Ke­adaan menjadi gelap gulita dan diam-diam lima orang tosu yang sudah merencanakan siasat ini, telah membentuk kepungan segi lima! Mereka dapat bergerak di dalam gelap karena memang sudah mereka rencana­kan lebih dulu.

Sim Houw dan Bi Lan terkejut bukan main keti­ka dari keadaan yang terang kini berubah menjadi ge­lap dan di dalam kegelapan itu, tiba-tiba saja ada sam­baran-sambaran senjata dari lima penjuru! Mereka terpaksa memutar pedang dan menangkis hanya meng­andalkan pendengaran mereka saja. Akan tetapi ka­rena sambaran senjata-senjata itu datang derigan gencar, dari arah-arah yang tidak terduga sama sekali, maka paha kiri Bi Lan terkena pukulan tongkat, se­dangkan punggung Sim Houw juga terkena pukulan tongkat yapg cukup keras. Mereka tidak terluka pa­rah namun pukulan-pukulan itu cukup mendatangkan rasa ryeri. Sim Houw maklum bahwa kalau dilanjut­kan, dia dan Bi Lan mungkin terluka berat karena dia tahu bahwa lima orang pengeroyok itu sudah menga­tur siasat untuk bergerak di dalam gelap, gerakan yang sudah diatur semacam barisan. Belum lagi kalau delapan orang yang lain ikut maju mengeroyok!

Diapun mendapatkan akal, dan dengan mengan­dalkan pendengarannya, dia cepat mendekati dan mengadu punggung dengan Bi Lan, sambil keduanya memutar pedang di depan mereka. Dengan rabaan dan sentuhan lengan kiri, Sim Houw memberi isyarat dan memegang tangan kiri dara itu sambil berteriak, “Lan-moi, kita bobol kepungan di kiri!“

Sambil berkata demikian, dia menarik gadis itu ke kanan dan bersama gadis itu memutar pedang di arah kanan. Ketika dia berteriak, lima orang itu ten­tu saja memusatkan pertahanan di kiri untuk mence­gah mereka melarikan diri. Siapa kira, dua orang yang mereka kepung itu malah menyerbu ke kanan, di mana Coa-ong Seng-jin berada. Kakek bongkok ini berusaha nmenvutar tongkat ular hijaunya, akan tetapi ular itu terpotong menjadi lima potong disambar Ban-tok-kiam dan Liong-siauw-kiam dan ia sendiri cepat melompat mundur kalau tidak ingin terbabat oleh si­nar pedang yang berkilauan itu. Sim Houw terus me­narik tangan Bi Lan dan keduanya melarikan diri se­cepanya setelah berhasil terlepas dari kepungan.

“Kejar mereka!” Thian Kong Cin-jin membentak marah.

“Nyalakan obor!”

“Mereka lari ke arah hutan!”

Obor-obor lalu dinyalakan dan tigabelas orang itu melakukan pengejaran. Namun bayangan dua orang buruan itu telah lenyap. Thian Kong Cin-jin tidak ke­hilangan akal. Dia lalu memecah-mecah rombongan­nya menjadi tiga. Dia sendiri pergi bersama dua orang, Coa-ong Seng-jin bersama empat orang, dan lima orang sisanya menjadi satu bagian. Tiga rombongan ini lalu melakukan pengejaran dan pencarian dengan berpencar, memasuki hutan sambil membawa obor.

Melakukan pengejaran sambil membawa obor me­rupakan suatu kebodohan. Sim Houw dan Bi Lan yang melarikan diri ke dalam hutan, tentu saja dapat melihat obor mereka dan dua orang ini dapat menga­rahkan pelarian mereka menjauhi obor. Bi Lan agak terpincang dan Sim Houw juga merasa nyeri pada punggungnya. Setelah mereka keluar dari dalam hu­tan, mereka melalui sebuah bukit dan menjelang pagi, keduanya mengaso. Para pengejar tidak nampak lagi. Mereka berhenti di bukit yang berbatu-batu, bersembunyi di antara batu-batu besar untuk beristirahat dan mengumpulkan tenaga sambil mengobati bagian yang memar karena pukulan tongkat.

“Sim-ko, kita belum kalah mengapa engkau me­maksa aku melarikan diri? Kalau dilanjutkan, bukan tidak mungkin kita akan dapat merobohkan dan mem­bunuh seorang dua orang di antara lima ekor mo­nyet itu,” Bi Lan yang merasa penasaran mengeluh karena merasa tidak puas. Pahanya terasa nyeri dau ia belum membalas kepada musuh-musuhnya!

“Justeru itulah yang tidak kukehendaki, Lan-moi. Kalau keadaan terang, aku masih mampu menahan dan memperingatkanmu agar tidak sembarangan membunuh orang. Akan tetapi setelah gelap, berba­haya sekali bagi kita, juga berbahaya bagi mere­ka karena kalau engkau mengamuk, aku tidak dapat menanggung keselamatan nyawa mereka pula.

“Akan tetapi, Sim-ko. Mereka itu berusaha mati­matian untuk membunuh kita! Kenapa engkau masih tidak setuju kalau kita membunuh mereka? Bukan­kah mereka itu orang-orang yang jahat?”

“Belum tentu, Lan-moi. Mereka memusuhi Ciong­lihiap, sucimu itu dan tentu saja mereka masih mengi­ra bahwa sucimu itu seorang yang jahat dan sesat. Kiranya hanya kita berdua sajalah yang yakin benar bahwa sucimu kini telah berubah sama sekali. Akan tetapi, orang lain belum tentu dapat percaya. Dari pada kesalahan tangan membunuh orang yang tidak berdosa sehingga tertanam benih permusuhan yang ti­ada kunjung habis, lebih baik kalau kita meloloskan diri.”

“Akan tetapi kita melarikan diri! Tentu mereka mentertawakan kita dan menganggap kita pengecut!” Bi Lan membantah dengan penasaran.

“Mereka tidak akan dapat mentertawakan kita, Lan-moi. Mereka sendiri yang telah memperlihatkan sikap pengecut, dengan pengeroyokan dan pemadam­an obor.”

Bi Lan lalu teringat akan percakapan mereka tentang cinta sebelum orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw itu datang menyerbu. Hatinya masih dipenuhi rasa penasaran. Pria ini boleh jadi mencintanya, seperti yang dikatakan oleh sucinya. Dan me­mang, melihat setiap gerak-gerik Sim Houw, caranya melindunginya, pandang matanya, kata-katanya, iapun percaya bahwa Sim Houw mencintanya. Akan tetapi mengapa dia tidak pernah mengakuinya? Sudah di­pancing-pancing dalam percakapan itu, tetap saja Sim Houw pandai mengelak dan mengalihkannya. Tiba-tiba ia memperoleh akal.

“Aduhhhh....!” Ia berteriak dan menggigit bibir, merintih dan kedua tangannya memegang paha kirinya, memijit-mijitnya perlahan, mukanya berkeri­put menahan nyeri.

Sim Houw terkejut bukan main dan cepat dia menghampiri. “Kenapa, Lan-moi? Ada apakah de­ngan kakimu....?” tanyanya penuh was-was.

“Aduhh.... Sim-ko, pahaku ini....ah, tadi tidak begitu nyeri, akan tetapi sekarang....“

“Sekarang bagaimana, Lan-moi....?” Sim Houw bertanya tanpa disadarinya, saking khawatir, dia meraba paha kiri yang dipijit-pijit Bi Lan itu.

“Nyeri sekali.... auuhhh, tak tertahankan nyerinya....“

“Lan-moi, biar aku memeriksanya, jangan-jangan ada tulang yang patah atau urat yang terkilir....“

“Ya.... cepatlah.... aduhhh, pukulan mo­nyet tua bongkok itu keras sekali....”

Sim Houw terpaksa merobek celana di bagian pa­ha kiri dan nampaklah kulit paha yang putih mulus. Dia menggunakan kedua tangannya meraba dan memi­jit-mijit, memeriksa apakah ada tulang yang patah. Akan tetapi, selain tanda agak biru bekas gebukan, paha itu tidak ada apa-apa, tidak ada tulang yang pa­tah atau urat yang terkilir. Hatinya merasa lega sekali.

“Tidak ada tulang patah dan tidak ada urat terkilir, Lan-moi,” katanya.

“Akan tetapi, nyerinya sampai menusuk ke jantung....!” Bi Lan mengaduh.

“Hanya luka memar saja, Lan-moi, akan tetapi mungkin saking kerasnya pukulan, maka menimbul­kan rasa nyeri. Biar kuurut sebentar biar jalan darah­nya pulih dan luka di bawah kulitnya cepat sem­buh.” Mulailah Sim Houw memijit-mijit paha itu. Tadi hatinya gelisah karena mengkhawatirkan gadis itu. Sekarang, setelah dia yakin bahwa paha itu tidak apa-apa, hanya luka memar saja yang biarpun nyeri akan tetapi tidak terlalu berbahaya, barulah dia me­lihat betapa indahnya paha yang nampak ka­rena kain celananya dirobek itu. Dia adalah seorang pria yang normal dan sehat. Usianyapun sudah cukup dewasa, bahkan sudah terlalu dewasa. Maka wajar­lah kalau gairahnya bangkit ketika dia melihat mulus­nya paha Bi Lan, apa lagi kedua tangannya meraba dan memijit bagian tubuh yang nampak indah itu, merasakan kelembutannya, kekenyalannya dan kehangatannya. Mukanya berubah merah, napasnya agak terengah dan sepuluh jari tangannya yang meraba dan memijit itu mulai gemetar.

Bi Lan yang sejak tadi mencurahkan perhatiannya untuk memperhatikan keadaan pria itu, tentu saja dapat mengetahui perubahan ini. Dan diam-diam ha­tinya merasa gembira sekali dan senyumnya memba­yang di bibir. Tentu saja paha kirinya terasa nyeri, akan tetapi tidaklah separah yang diperlihatkannya. Melihat keadaan Sim Houw, jantungnya berdebar dan kini pijitan jari-jari tangan Sim Houw itu terasa lain, membuatnya berdebar dan terangsang.

“Ahh, enak sekali, Sim-ko, nyerinya hilang. Teri­ma kasih....”

“Tak perlu berterima kasih, Lan-moi. Syukurlah kalau pijitanku menolong,” kata Sim Houw yang berusaha keras untuk menekan gejolak perasaannya.

“Sim-ko, aku melanjutkan percakapan kita malam tadi. Apakah sampai sekarang engkau masih belum jatuh cinta kepada seorang wanita? Apakah engkau masih belum berani mengaku cinta kepada wanita lain setelah pengalamanmu yang pahit itu?”

Ditanya begini, kedua tangan Sim Houw semakin gemetar dan dia menghentikan pijitannya. Sudah ber­ada di ujung bibirnya untuk mengaku cinta kepada Bi Lan, namun ditahannya.

“Aku.... aku....” aku saking bingungnya, tak tahu harus berkata apa, dia kembali menggunakan sepuluh jari tangannya memijati paha yang nyeri itu.

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring “Tak tahu malu....!”

Baik Sim Houw maupun Bi Lan terkejut bukan main. Sim Houw menarik kedua tangannya. Bi Lan cepat menutupkan bagian celana yang terbuka di paha dan keduanya meloncat bangun dan membalikkan tu­buh. Kiranya di situ telah berdiri dua orang laki-laki dan melihat bahwa seorang di antara mereka adalah Gu Hong Beng yang berdiri terbelalak dengan mata berapi dan bertolak pinggang, Bi LAN teringat akan penglihatan tadi dan mukanya menjadi merah sekali. Terbayang kembali peristiwa beberapa waktu yang lalu. Pernah ia terluka dan Cu Kun Tek mengobati pinggangnya, hampir sama seperti yang dilakukan Sim Houw tadi, hanya bedanya kalau Kun Tek meraba pinggannnya, Sim Houw meraba pahanya. Ketika itu, Hong Beng muncul dan pemuda yang cemburu ini langsung saja menyerang Kun Tek karena menyangka mereka berbuat cabul! Dan kini, tiba-tiba Hong Beng muncul dan mendengar seruannya tadi yang mengatakan mereka tidak tahu malu iapun tahu bahwa kembali Hong Beng cemburu dan salah sangka! Maka, iapun menjadi marah. Dengan muka merah dan mata berapi-api, iapun melangkah maju.

“Gu Hong Beng, engkaulah laki-laki yang tak ta­hu malu!” ia membentak dengan marah sekali. “Selalu mencampuri urusan orang dan menjatuhkan fit­nah, menuduh orang yang bukan-bukan karena cem­buru. Sungguh tak tahu malu, cinta tak dibalas ber­ubah cemburu gila!“

Wajah Hong Beng menjadi merah, bukan hanya karena marah akan tetapi juga karena malu. Ucapan itu memang tepat sekali, seperti ujung pedang yang menusuk dan menembus jantungnya. Karena tepat itulah maka mendatangan rasa nyeri yang lebih hebat lagi. Memang dia cemburu, dia iri terhadap Sim Houw. Kenapa Bi Lan demikian akrab dengan Sim Houw. Mungkinkah dara itu, yang menolak cintanya, kini jatuh cinta kepada Sim Houw? Aneh, pikirnya. Dalam segala hal, kecuali barangkali dalam hal ilmu silat, dia tidak kalah oleh Sim Houw. Dia lebih mu­da, sebaya dengan Bi Lan, juga cukup tampan! Sim Houw terlalu tua untuk Bi Lan. Hal ini membuat dia menjadi semakin penasaran.

Akan tetapi sebelum dia sempat menjawab lagi. Sim Houw yang sudah mengenal Hong Beng sebagai seorang di antara para pendekar muda yang gagah perkasa, bahkan dia mendengar bahwa pemuda ini adalah murid dari keluarga Pulau Es, cepat melangkah maju dan memberi hormat kepada Hong Beng dan pria yang usianya kurang dari empatpuluh tahun dan nampak pendiam dan serius itu.

“Saudara Gu Hong Beng, harap jangan salah sangka terhadap nona Can Bi Lan. Kami semalam berkelahi melawan musuh-musuh yang lihai dan nona Can terkena pukulan pada paha kirinya. Kami beristirahat di sini dan aku hanya berusaha menghilangkan rasa yeri yang dideritanya karena luka memar di pah­anya.”

“Aku tidak mempersoalkan itu!” Gu Hong Beng juga membentak dengan suara tetap ketus. “Akan teta­pi kalian sungguh tidak tahu malu telah mengambil jalan sesat dan membantu, juga melindungi iblis beti­na Bi-kwi murid Sam Kwi! Sekarang kami datang untuk minta agar kalian memberi tahu kepada kami di mana tempat persembunyian Bi-kwi agar kami da­pat membasminya!”

Bi Lan marah sekali mendengar ini. “Hong Beng, tutup mulutmu yang kotor! Kami berdua memang membela dan melindungi suci Ciong Siu Kwi dari gangguan orang-orang jahat. Dan suci sekarang telah menjadi seorang wanita yang baik-baik, jangan kau memakinya sebagai iblis betina.”

“Hemmm, bohong besar Bi Lan, aku tidak me­nyangka bahwa engkau sekarang telah berbalik pikir dan mencontoh kehidupan sucimu yang bejat ahlak­nya itu. Siapa sudi percaya kebohonganmu bahwa orang macam Bi-kwi dapat berubah menjadi wanita baik-baik? Dan buktinyapun tidak begitu. Baru-baru ini ia bahkan membantu orang-orang jahat untuk me­musuhi suhuku ini.” Berkata demikian, Hong Beng menunjuk kepada laki-laki berusia tigapuluh delapan tahun itu yang sejak tadi memandang tajam tanpa me­ngeluarkan sebuah katapun.

“Ahhh....!” Sim Houw dan Bi Lan berseru kaget. Kiranya pria yang datang bersama Gu Hong Beng ini adalah guru pemuda itu, berarti bahwa pria ini adalah pendekar Suma Ciang Bun, keturunan ke­luarga Pulau Es! Sim Houw memandang penuh per­hatian dan merasa terkejut sekali. Para pembaca tentu akan terheran pula bagaimana Suma Ciang Bun da­pat muncul bersama Gu Hong Beng di tempat itu.

Seperti telah kita ketahui, Suma Ciang Bun yang sedang bersamadhi diganggu oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin yang minta bantuan Ciong Siu Kwi. Wanita ini terpaksa memenuhi permintaan me­reka untuk menyelamatkan Yo Jin yang mereka jadi­kan tawanan dan semacam sandera untuk memeras Siu Kwi. Dan dalam perkelahian dikeroyok tiga ini, terpaksa Suma Ciang Bun melarikan diri dengan mem­bawa luka.

Belum jauh dia melarikan diri, dia terpaksa beristirahat dan berusaha mengobati lukanya. Dalam keadaan demikianlah dia bertemu dengan Hong Beng, muridnya yang memang sedang mencarinya. Melihat gurunya terluka, Hong Beng lalu membantu suhunya untuk mengobati luka itu dan bertanya bagaimana su­hunya sampai menderita luka.

Ditanya oleh muridnya, Suma Ciang Bun menarik napas panjang. “Dua orang dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw menyerangku, dan memang dua per­kumpulan itu selalu memusuhi keluarga Pulau Es. Aku herhasil mengalahkan dan mengusir mereka ber­dua. Akan tetapi, beberapa hari kemudian mereka datang lagi, kini dibantu oleh seorang wanita cantik yang masih muda dan lihai sekali. Dan sekali ini, pe­ngeroyokan mereka bertiga membuat aku terluka dan terpaksa melarikan diri.”

Hong Beng marah sekali. “Hemm, siapakah wa­nita itu, suhu? Seperti bagaimana rupanya?”

Ketika Suma Ciang Bun menggambarkan keadaan Siu Kwi, Hong Beng menepuk pahanya.

“Ah, tidak salah lagi! Tentu iblis wanita itu yang membantu para tosu Pek-lian-kauw!” “Kaukenal wanita itu?”

“Ia tentu Bi-kwi, murid Sam Kwi. Ia memang jahat bukan main, suhu, keji dan pantas untuk dibas­mi dari permukaan bumi!” Hong Beng lalu menceri­takan semua pengalamannya sejak dia meninggalkan suhunya. Girang hati Suma Ciang Bun mendengar bahwa muridnya telah melakukan banyak hal gagah, bahkan muridnya telah bertemu dan bekerja sama dengan para pendekar keturunan keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir.

Dengan perawatan Hong Beng, Suma Ciang Bun cepat sembuh kembali dari luka-lukanya. Pada suatu hari, Gu Hong Beng meninggalkan gurunya di dalam guha di bukit yang berbatu-batu itu untuk mencari­kan makanan bagi suhunya. Ketika dia sedang berjalan seorang diri di tempat sunyi itu, menuju ke sebuah dusun, tiba-tiba di sebuah tikungan dia melihat dua orang kakek yang berpakaian seperti tosu, sedang du­duk mengaso di tepi jalan. Agaknya dua orang kakek itu kelelahan, atau sedang sakit. Hong Beng yang menaruh curiga karena teringat akan cerita gurunya yang diganggu oleh tosu tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, cepat menghampiri dua orang kakek itu. Mereka memakai pakaian pendeta, akan tetapi bagian luarnya memakai jubah yang tebal karena hawa me­mang dingin dan agaknya mereka menderita luka ketika melihat mereka seperti bukan orang jahat, Hong Beng menjura dengan penuh hormat. “Kenapa­kah ji-wi totiang berada di sini dan kelihatannya se­perti sedang menderita? Siapakah ji-wi totiang?”

Melihat seorang pemuda yang gagah dan bersikap sopan, dua orang tosu itu sejenak memandang penuh perhatian. Seorang di antara mereka yang tinggi besar dan berperut gendut, segera berkata, “Siancai, siancai.... terima kasih atas perhatianmu, orang mu­da yang baik. Penglihatanmu tajam sekali, karena ka­mi memang sedang sakit, menderita luka-luka dalam yang cukup berat.”

Hong Beng terkejut. “Ahh? Apakah ji-wi totiang baru saja berkelahi dengan orang lain?”

Kakek yang kurus kering mengangguk-angguk. “Memang penglihatanmu tajam sekali, dan tentu eng­kau seorang yang gagah perkasa, orang muda. Sebelum kita bicara lebih jauh, bolehkah pinto mengetahai siapa namamu dan dari perguruan manakah?”

Melihat sikap dua orang tosu itu seperti bukan orang jahat, dan memang kebanyakan pendeta dan pertapa tentulah orang-orang yang baik, maka diapun mengaku terus terang. “Saya bernama Gu Hong Beng, guru saya adalah pendekar Suma Ciang Bun....”

“Aihhh!” Si kakek gendut berseru. “Pendekar Suma dari Pulau Es?”

Hong Beng tersenyum, agak bangga. “Memang suhu adalah keturunan keluarga Pulau Es dan siapa­kah ji-wi totiang?”

Sebelum kakek gendut menjawab, kakek kurus sudah mendahului. “Kami adalah dua orang pertapa yang sudah lama mengasingkan diri dan kadang-kadang saja melakukan perjalanan ke gunung-gunung dan dusun-dusun. Pinto Pek-san Lo jin dan ini adalah sute Hek-san Lo-jin. Dalam perjalanan kami, di balik bukit ini, di sebuah dusun kami mendengar bahwa ada seorang siluman betina yang membikin kacau dusun dengan menculik dan membunuhi pemuda-pemuda tampan. Sebagai seorang yang selalu menentang kejahatan, kami berdua lalu melakukan penelitian dan mendapat kenyataan bahwa siluman betina itu adalah Bi-kwi, murid dari mendiang Sam Kwi....”

“Ah, aku tahu siluman itu!” Hong Beng berseru “Apakah ji-wi kalah olehnya sehingga terluka?”

“Sayang sekali, sebenarnya kami berdua dapat menundukkan siluman itu. Akan tetapi muncul dua orang yang membantunya sehingga kami terluka. Pembantunya itu bukan lain adalah seorang pemuda bernama Sim Houw, dan pacarnya bernama Can Bi Lan sumoi dari siluman betina itu....”

“Ahhhh....! Pacarnya....?” Hong Beng menegaskan dengan hati panas. Panas karena Bi Lan dan Sim Houw membantu Bi-kwi, juga panas karena mendengar bahwa Bi Lan menjadi pacar Sim Houw.

“Ya, pacarnya. Mereka demikian akrab, dan mereka lihai sekali. Kami kalah dan terluka. Ah, kalau taihiap adalah murid dari keluarga Pulau Es, kami harap taihiap suka menghadapi mereka, untuk menyelamatkan para pemuda di dusun-dusun wilayah ini.”

“Jangan khawatir, ji-wi totiang, saya dan suhu pasti akan dapat membasmi siluman itu dan kaki tangannya!”

Setelah kembali ke tempat di mana gurunya beristirahat, Hong Beng lalu bercerita tentang dua orang pertapa itu. Mendengar ini, Suma Ciang Bun menjadi marah. “Hemmm, mula-mula ia membantu para to­koh Pek-lian-kauw dan kini menculik pemuda-pemuda dusun. Hong Beng, mari kita pergi mencari mereka!”

“Akan tetapi suhu baru saja sembuh....”

“Aku sudah sembuh sama sekali. Mereka itu lihai, kalau engkau yang maju sendiri, aku khawatir engkau akan celaka. Kalau kita maju berdua, tentu mereka akan dapat kita basmi.”

Demikianlah, guru dan murid itu meninggalkan guha dan mulai dengan usaha mereka untuk mencari Siu Kwi, Bi Lan dan Sim Houw. Dan pagi hari itu, kebetulan sekali mereka melihat Bi Lan dan Sim Houw dan melihat betapa Sim Houw memijit-mijit paha kiri Bi Lan, tentu saja cemburu, iri hati dan ke­marahan membuat Hong Beng tak dapat menahan diri dan segera maju menegur dengan sikap marah.

Mendengar tuduhan Hong Beng terhadap Siu Kwi, Bi Lan segera menpambil sikap membela sucinya. “Ia juga menceritakan hal itu kepadaku!” bantah­nya. “Memang benar ia telah membantu tosu Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw untuk memusuhi Suma-locianpwe, akan tetapi ia melakukannya dengan ter­paksa karena pemuda tunangannya ditawan oleh para tosu itu.”

Mendengar mereka berbantahan, Suma Ciang Bun segera melangkah maju. “Sudahlah, tidak perlu berbantahan. Yang penting, harap kalian suka memberi tahu di mana adanya siluman betina itu karena kami ingin membunuhnya.”

Bi Lan marah sekali, juga Sim Houw mengerut­kan alisnya. Sikap pendekar keturunan keluarga Pu­lau Es ini sungguh tidak menyenangkan, dan terlalu terburu nafsu hendak membunuh orang. Tidak dapat diajak berunding dengan baik-baik, dan sikap itu agaknya didorong oleh ketinggian hati yang tidak memandang kepada orang lain.

“Suci Ciong Siu Kwi tidak bersalah dan kami ti­dak tahu ia berada di mana. Andaikata kami tahu se­kalipun, tidak akan kami beritahukan kepada orang-orang yang berniat untuk mengganggunya!” kata Bi Lan dengan suara ketus.

Hong Beng meloncat ke depan. “Bi Lan!” kata­nya, suaranya keren. Antara kita sudah terjalin per­sahabatan sejak lama sekali, dan kita sama mengenal masing-masing sebagai pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan, menentang kelaliman dan ke­jahatan. Apakah engkau lupa akan hal itu? Ketika kita semua menyerbu para pembantu pembesar lalim Hou Seng. engkau melepaskan Bi-kwi dan kukira hal itu hanya karena engkau mengingat hubungan pergu­ruan dan menaruh hati kasihan kepadanya. Akan te­tapi siapa tahu, kini agaknya engkau malah tersesat dan hendak mengikuti jejaknya! Engkau melindungi seorang iblis betina, biarpun iblis itu pernah menjadi sucimu. Ingatlah, Bi Lan dan sadarlah sebelum ter­lambat.” Dia lalu memandang kepada Sim Houw. “Sim-taihiap selama ini kuanggap sebagai Pendekar Suling Naga yang terkenal. Kenapa setelah dekat de­ngan Bi Lan, tidak mau membimbing gadis ini ke arah jalan yang benar?”

“Hong Beng, tutup mulutmu! Engkau tidak ber­lak mengurus kehidupanku! Aku yakin akan kebenaran suciku yang ingin menjadi orang baik, dan kalau engkau tidak setuju, terserah. Tidak perlu mem­beri kuliah kosong kepadaku!” Bi Lan kini juga sudah marah sekali.

“Bi Lan, engkau tahu bahwa aku sayang kepada­mu. Akan tetapi kalau engkau berpihak kepada iblis betina Bi-kwi, terpaksa aku menganggapmu sebagai orang yang akan menyeleweng dan patut dihajar.”

“Keparat, majulah! Siapa takut kepadamu?” Bi Lan juga membentak marah. Hong Beng maju dan mengirim tamparan yang dielakkan oleh Bi Lan dan gadis inipun membalas dengan tendangan kilat yang dapat pula dielakkan oleh Hong Beng. Mereka segera terlibat dalam suatu perkelahian sengit, karena kedua­ya sudah menjadi panas hati dan marah sekali.

Cemburu memang merupakan suatu penyakit yang amat berbahaya. Anggapan bahwa cinta harus dihiasi cemburu adalah anggapan yang menyesatkan.

Cemburu timbul dari pementingan diri pribadi, cemburu adalah iri hati karena keinginannya untuk menguasai sesuatu atau seseorang secara mutlak, terganggu. Cemburu mendatangkan kemarahan dan bahkan kebencian, menimbulkan permusuhan. Cinta kasih adalah sesuatu yang suci murni, dan hanya dengan peniadaan kepentingan diri pribadi maka cinta kasih dapat bersinar. Cemburu adalah kembangnya nafsu, bukan kembangnya cinta.

Hong Beng tadi menganggap bahwa dia mencinta Bi Lan. Akan tetapi karena Bi Lan menolak cinta­nya, datanglah cemburu dan dia merasa iri hati ter­hadap setiap orang pria yang akrab dengan gadis yang pernah membuatnya tergila-gila itu. Dan dari kenya­taan ini saja mudah dinilai bahwa cintanya terhadap Bi Lan adalah cinta nafsu, cinta karena tertarik oleh kecantikan dan pribadi gadis itu. Cintanya mudah berubah menjadi cemburu dan kebencian sehingga kini tanpa ragu-ragu lagi dia mengerahkan tenaga dan kepandaian untuk berkelahi dengan gadis yang kata­nya pernah dia cinta itu! Berkelahi mati-matian berarti berusaha untuk mencelakai, melukai atau bah­kan membunuh! Mungkinkah cinta kasih yang suci berubah menjadi nafsu ingin membunuh? Kalau cin­ta nafsu memang mungkin, karena antara cinta berahi dan nafsu membunuh terdapat pertalian yang kuat, yaitu keduanya timbul dari pementingan diri sendiri, merupakan nafsu yang selalu menguasai batin ma­nusia.

Melihat betapa gadis itu dapat bergerak dengan lincah, Hong Beng lalu mengeluarkan tenaga sakti yang dilatihnya dengan tekun, yaitu tenaga Hwi-yang Sin-kang dari keluarga Pulau Es.

“Dukk!” Bi Lan menahan seruannya ketika ta­ngannya bertemu dengan tangan Hong Beng karena dari tangan pemuda itu keluar hawa panas yang luar biasa sekali, seperti hendak membakar tangannya? Marahlah gadis ini. Ia maklum betapa lihainya mu­rid keluarga Pulau Es ini, maka iapun cepat meraba gagang pedangnya.

“Singgg....!” Nampak sinar berkilauan ke­tika Ban-tok-kiam dicabut. Melihat ini, Suma Ciang Bun terkejut bukan main. Dia jarang melihat pedang Ban-tok-kiam milik nenek Wan Ceng sehingga dia tidak mengenal pedang itu. Akan tetapi dia tahu be­nar bahwa pedang di tangan gadis itu tentulah seba­tang pedang pusaka yang amat ampuh, maka dia me­ngeluarkan seruan kaget. Juga Hong Beng terkejut. Tentu saja dia mengenal pedang ini dan maklum be­tapa ampuhnya Ban-tok-kiam, maka diapun melompat ke belakang.

“Bi Lan, engkau mempergunakan pusaka itu apa­kah benar-benar hendak membunuh aku?”

Bi Lan tersenyum mengejek. “Hong Beng, kalau engkau menyerangku dengan pukulan-pukulan ampuh itu, apakah bukan untuk membunuhku melainkan untuk bersamaku menari-nari?”

Mendengar ejekan ini, Hong Beng maju lagi. “Baiklah, kalau engkau hendak membunuhku, aku­pun tidak takut mati!” Dan diapun menyerang lagi, akan tetapi terpaksa meloncat ke samping ketika di sambut tusukan pedang yang mengeluarkan sinar yang menggiriskan.

“Gadis kejam menggunakan senjata yang keji!“ Tiba-tiba Suma Ciang Bun meloncat ke depan. “Biar­kan aku menghadapinya, Hong Beng!”

Akan tetapi, Sim Houw sudah menghadang ke depan pendekar itu. “Locianpwe, maafkan saya. Bi­arkan mereka menyelesaikan urusan mereka dan harap locianpwe tidak mencampuri.”

Suma Ciang Bun kini menatap wajah Sim Houw. Sudah pernah aku mendengar berita tentang munculnya pendekar muda, yang berjuluk Pendekar Suling Naga. “Kalau engkau membela siluman betina, biarlah aku mencoba kelihaianmu.” Berkata demikian. Suma Ciang Bun sudah maju menampar dan tamparannya mendatangkan angin yang amat kuat. Sim Houw ce­pat mengelak dan diapun maklum bahwa pendekar itu memiliki tenaga sakti dari keluarga Pulau Es yang amat berbahaya, maka diapun lalu mengeluarkan Liong-siauw-kiam, yaitu suling pedangnya yang am­puh. Melihat senjata itu, Suma Ciang Bun memandang kagum.

“Itukah Liong-siauw-kiam yang terkenal itu? Bagus, hendak kucoba keampuhannya!” Dan diapun mencabut keluar sepasang pedangnya. Siang-kiam (se­pasang pedang) itu indah sekali, ketika dicabut me­ngeluarkan sinar putih dan gagangnya dihias ronce-ronce biru dan ketika digerakkan, maka sepasang pe­dang itu saling berpapasan dan mengeluarkon suara berdencing dan muncratlah bunga api. Dia telah me­mainkan Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang amat hebat dari Pulau Es.

Sim Houw tentu saja maklum akan kelihaian la­wan dan diapun memutar senjatanya yang istimewa. Akan tetapi, pendekar ini tidak berniat untuk mence­lakai lawan. Dia tahu benar bahwa Suma Ciang Bun adalah keturunan keluarga Pulau Es, seorang pendekar tulen dan kalau sekarang berkelahi dengannya, ti­dak lain hanya karena salah paham gara-gara Siu Kwi. Tentu saja pendekar ini bersama muridnya emngenal Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi karena sejak dahulu me­mang Siu Kwi dimusuhi para pendekar bahkan sudah beberapa kali bentrok dengan Hong Beng. Tentu saja Hong Beng dan guru nya sama sekali tidak tahu, bah­kan tidak akan mau percaya bahwa Ciong Siu Kwi kini sudah bukan Bi-kwi lagi, bukan Setan Cantik, bukan manusia iblis yang jahat, melainkan seorang wanita yang jatuh cinta dan yang sedang berusaha untuk merobah jalan hidupnya, ingin menjadi seorang isteri yang baik dan setia, ingin menjadi seorang ibu yang baik dan bijaksana! Sim Houw tidak mungkin dapat memusuhi seorang pendekar seperti Suma Ciang Bun dan Hong Beng. Kalau dia sekarang terpaksa maju, hanyalah karena dia tidak ingin pendekar itu melawan Bi Lan.

Suma Ciang Bun adalah seorang pendekar yang berpengalaman dan berilmu tinggi. Tentu saja ge­rakan-gerakan Sim Houw yang tidak sungguh-sungguh itu segera dapat diketahuinya dan diapun mulai me­ragu apakah Pendekar Suling Naga ini pantas menjadi musuhnya! Jangan-jangan pendekar ini dan gadis itu membela siluman betina itu karena memang ada dasar­nya yang kuat! Diapun meragu dan tidak sungguh-sungguh pula mendesak dengan siang-kiamnya, karena tentu saja dia segan untuk mendesak lawan yang tidak bersungguh-sungguh menyerangnya.

Berbeda dengan perkelahian yang terjadi antara Bi Lan dan Hong Beng. Dua orang muda itu agaknya sudah dikuasai oleh kemarahan dan keduanya berkelahi dengan mati-matian! Akan tetapi, Hong Beng terdesak hebat karena pemuda ini jerih menghadapi Ban-tok-kiam. Dia banyak mengelak dan hanya kadang-kadang saja membalas dengan pukulan jarak ja­uh, mengandalkan sin-kang yang hebat dari keluarga Pulau Es yang sudah dikuasainya. Dan agaknya Bi Lan juga merasa betapa ia telah mendapatkan kemenangan karena pedangnya, maka pedangnya itu hanya dipergunakan untuk mengancam saja, dengan kelebat­an sinarnya yang bergulung-gulung, sedangkan dara ini lebih condong menyerang dengan tamparan tangan kiri atau tendangan kakinya. Agaknya ia ingin menang dengan serangan kaki atau tangannya, bukan dengan pedangnya.

Tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dari jauh, suara desis yang makin lama semakin keras dan terciumlah bau amis binatang buas! Semua orang yang sedang berkelahi itu cepat meloncat untuk meng­hentikan perkelahian sementara, dan nampaklah oleh mereka seorang laki-laki kecil kurus bongkok sedang mengeluarkan suara mendesis tinggi sambil kedua tangannya diacung-acungkan ke atas dan di depannyw merayap ratusan ekor ular besar kecil seperti sekumpulan bebek yang sedang digembalakan oleh orang kurus bongkok itu. Ratusan ekor ular itu me­ngeluarkan suara mendesis-desis dan binatang-bina­tang inilah yang mengeluarkan bau amis. Suara men­desis semakin keras karena ular-ular itu kini merayap dengan cepat ke arah mereka yang tadi berkelahi, agaknya diberi semangat oleh kakek bongkok yang menjadi gembalanya. Di belakang kakek bongkok itu nampak lima orang lain lagi yang kesemuanya bersen­jata tongkat.

Melihat kakek bongkok itu, tahulah Sim Houw dan Bi Lan bahwa dia adalah Coa-ong Seng-jin, tokoh Pek-lian-kauw yang semalam mengeroyok mereka. Terkejutlah Sim Houw.

“Lan-moi, mari kita pergi!” katanya dan diapun menangkap tangan Bi Lan dan meloncat jauh lalu mengajak gadis itu berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu.

“Hendak lari ke mana kau?” bentak Hong Beng yang hendak mengejar, akan tetapi suhunya berseru. “Hong Beng, jangan kejar!”

Hong Beng tidak melanjutkan pengejarannya dan menghampiri suhunya yang masih memandang ke arah kakek bongkok yang menggiring ratusan ular itu. Ki­ni ular-ular itu seperti binatang-binatang sirkus terla­tih saja, mengepung tempat itu seperti barisan mengepung musuh. Melihat betapa penggembala ular itu memakai tanda anggauta Pek-lian-kauw di dadanya, diam-diam Suma Ciang Bun menjadi marah. Jelaslah bahwa dua orang muda tadi benar-benar telah ber­sekongkol dengan siluman betina yang menjadi saha­bat orang-orang Pek-lian-kauw, pikirnya. Dia pernah dikeroyok tosu-tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw bersama siluman betina bernama Bi-kwi itu, dan dua orang muda tadi menbela Bi-kwi. Kini terbukti bahwa kakek Pek-lian-kauw dan ular-ularnya ini datang untuk membantu Sim Houw dan Bi Lan, dan mengepung dia dan muridnya.

Tiba-tiba Suma Ciang Bun mengeluarkan bunyi melengking tinggi sekali, suara yang keluar dari mulutnya seperti bukan suara orang, seperti suara suling melengking. Hong Beng yang pernah mendengar dari suhunya bahwa suhunya juga memiliki ilmu pawang ular, yaitu ilmu untuk menguasai ular-ular yang per­nah dipelajari dari ibu suhunya, memandang dengan hati tegang dan penuh perhatian. Dia sendiri tidak pernah mempelajari ilmu itu dan dia tidak gentar menghadapi pengepungan ular-ular itu walaupun merasa jijik. Dia melihat betapa kini semua ular yang berada di situ mengangkat kepala seperti mendengarkan suara melengking itu dan menghadap ke arah Su­ma Ciang Bun. Pendekar itu menggerak-gerakkan ke­dua tangannya yang diangkat ke atas dan lengannya, membentuk ular yang mematuk-matuk, hampir sama dengan gerakan Coa-ong Seng-jin yang menggembala ular-ular itu. Dan kini ular-ular itu berhenti mendesis-desis dan nampak gelisah, bahkan sudah ada yang merayap pergi ketakutan!

Coa-ong Seng-jin terkejut bukan main melihat betapa ular-ularnya dapat dikuasai orang lain. Diapan cepat mengeluarkan suara mendesis tinggi dan meng­gerak-gerakkan kedua lengannya yang juga memben­tuk tubuh ular yang mengangkat kepalanya, dengan tangan menjadi kepala ular. Dia mengerahkan selu­ruh kepandaian pawangnya untuk menguasai kembali ular-ularnya. Namun, Suma Ciang Bun juga terus mengeluarkan suara melengking dan menggerak-ge­rakkan kedua lengannya. Ular-ular itu menjadi panik dan bingung sekali, tidak tahu harus mentaati perin­tah yang mana di antara keduanya itu karena kedua­nya memiliki daya tekan yang sama kuatnya. Karena panik, ular-ular itu lari simpang-siur, saling bertabrak­an dan kemudian menjadi ganas dan saling gigit!

“Hooo-hoooo, anak-anak bodoh.... dengar­kan aku, majulah.... maju dan serang musuhku....!” Coa-ong Seng-jin berteriak-teriak marah.

Akan tetapi karena dia berteriak-teriak, dengan sen­dirinya desisnya terhenti dan pengaruhnya atas ular ular itupun membuyar sehingga pengaruh lengkingan Suma Ciang Bun menjadi kuat sekali, membuat ular-ular itu mentaati dan segera mereka merayap dan lari cerai-berai meninggalkan tempat itu seperti sekelompok anjing yang disiram air atau diancam gebukan!

Coa-ong Seng-jin menjadi marah bukan main. De­ngan sepasang mata berubah merah, dia lalu meloncat ke depan, menangkap seekor ular yang besar dan pan­jang, dan ular itu segera menjadi jinak di tangannya. Dengan senjata baru berupa ular yang ternyata ada­lah seekor ular senduk yang amat berbisa itu, dia melangkah maju menghampiri Suma Ciang Bun.

“Setan, siapakah engkau?” bentaknya. Coa-ong Seng-jin tentu saja tidak tahu akan tipu muslihat dan akal busuk yang dipergunakan oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin untuk mengadu domba antara pendekar keluarga Pulau Es ini bersama muridnya de­ngan Sim Houw dan Bi Lan. Dia bersama teman-te­mannya sedang mencari-cari kedua orang muda itu setelah rombongannya yang terdiri dari tigabelas orang dipecah menjadi tiga rombongan kecil oleh Thian Kong Cin-jin. Ketika tadi dia melihat dua orang muda itu sedang berkelahi melawan dua orang lain dia cepat memanggil ular-ular ita untuk mengepung agar, dia dapat segera turun tangan merobohkan Sim Houw dan Bi Lan. Akan tetapi, ternyata dua orang muda itu sudah lebih dahulu melarikan diri dan kini ular-ularnya malah dibikin kacau oleh laki-laki tam­pan yang pakaiannya indah ini!

Suma Ciang Bun sudah mengenal Coa-ong Seng-jin sebagai seorang tokoh Pek-lian-kauw dari lukisan teratai putih di jubah kakek itu, maka diapun terus terang menjawab dengan tenang. “Tosu Pek-lian-kauw, aku bernama Suma Ciang Bun dan ini muridku Gu Hong Beng.”

“Suma....? Keluarga Pulau Es....?” Coa-ong Seng-jin membentak dan empat orang teman­nya juga terkejut mendengar nama keluarga itu.

Suma Ciang Bun mengangguk sambil menahan senyumnya. “Celaka, kiranya keparat dari keluarga Pulau Es! Bunuh dia dan muridnya!” Dan diapun sudah menggerakkan tangannya dan ular cobra itu sudah dilemparkannya ke arah Suma Ciang Bun. Pendekar ini dengan tenang saja mengulur tangan menangkap ular itu yang segera menjadi jinak pula, kemudian dia melemparkan ular itu kembali ke arah lawan! Coa-ong Seng-jin menerima ularnya kembali, akan tetapi ular itu segera dibantingnya karena di­anggap tidak ada gunanya dipakai menyerang seorang yang memiliki ilmu pawang ular seperti lawannya. Dengan menggereng keras dia lalu mengeluarkan se­batang rantai dari pinggangnya, dan meluncurlah rantai itu menghantam ke arah Suma Ciang Bun. Ki­ranya kakek bongkok ini memang ahli mempergunakan senjata rantai dan tidak aneh kalau dia suka mempergunakan ular sebagai senjata, pengganti rantainya.

Suma Ciang Bun menyambut dengan sepasang pedangnya yang tadi sudah disimpannya. Dua gulung­an sinar putih berkelebat dan bergulung-gulung ketika dia menghadapi serangan rantai lawannya. Empat orang teman Coa-ong Seng-jin yang terdiri dari tiga orang anggauta Pek-lian-kauw dan seorang anggauta Pat-kwa-kauw maju pula mengeroyok. Hong Beng tidak tinggal diam, cepat dia maju menghadapi dan membantu gurunya.

Kembali di tempat itu terjadi perkelahian yang lebih sengit dari pada tadi. Akan tetapi sekali ini, guru dan murid itulah yang menjadi pemenang de­ngan mendesak lima orang lawannya. Empat orang pembantu Coa-ong Seng-jin itu adalah murid-murid kepala, maka rata-rata mereka sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Namun, menghadapi Hong Beng dan gurunya, mereka repot sekali. Belum sam­pai tigapuluh jurus, dua orang murid kepala roboh, seorang terkena tamparan Hong Beng dan yang kedua terserempet pedang di tangan Suma Ciang Bun. Melihat ini, tiga orang tosu lainnya cepat menyam­bar tubuh kawan yang roboh dan melarikan diri.

Kembali Suma Ciang Bun melarang muridnya untuk melakukan pengejaran. “Tidak perlu mengejar musuh yang melarikan diri,” katanya. “Kecali kalau musuh lari membawa pergi sesuatu.”

Hong Beng menarik napas panjang. Kemarahannya yang timbul karena cemburu tadi masih belum lenyap dan dia merasa hatinya mengkal dan tidak enak sekali. “Sayang sekali tosu-tosu bedebah itu datang mengganggu, suhu, sehingga Sim Houw dan Bi Lan dapat melarikan diri.”

Suma Ciang Bun tersenyum dan memandang wa­jah muridnya dengan tajam, kemudian tiba-tiba dia bertanya, “Hong Beng, apakah engkau mencinta ga­dis itu?”

“Gadis.... gadis mana.... apa maksud suhu?” Hong Beng terkejut mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu dan biarpun dia maklum siapa yang dimaksudkan suhunya, saking kagetnya dia menjadi gugup.

“Engkau mencinta atau pernah mencinta Can Bi Lan, bukan?”

Hong Beng menundukkan mukanya yang berubah merah dan dia mencoba tersenyum, senyum pahit, lalu dia mengangguk. “Teecu tidak dapat berbo­hong kepada suhu. Memang sesungguhnyalah, teecu mencinta.... atau lebih tepat lagi pernah mencinta Bi Lan.”

“Dan menurut ucapan gadis tadi, hubungan kali­an putus karena gadis itu menolak cintamu karena ia sudah mencinta Sim Houw?”

“Ia memang menolak cinta teecu, suhu, akan te­tapi ketika itu ia belum mencinta siapapun juga. Baru sekarang teecu melihat ia akrab dengan Sim Houw, keakraban yang tidak sopan dan tidak tahu malu!”

Hatinya menjadi semakin panas ketika ia teringat dan membayangkan adegan mesra antara Bi Lan dan Sim Houw tadi.

“Engkau tidak sungguh-sungguh mencintanya, Hong Beng, karena itu lupakan saja gadis itu. Bodoh sekali kalau menyiksa diri dan membenamkan diri dalam kebencian dan kedukaan karena cintanya dito­lak.”

Wajah Hong Beng menjadi merah. “Teecu juga sudah melupakannya, suhu. Hanya teecu merasa tak senang dan panas sekali melihat betapa Bi Lan yang dahulunya seorang pendekar wanita yang lihai dan menentang kejahatan, kini setelah bergaul dengan Sim Houw lalu berbalik menjadi sesat dan membela wa­nita iblis seperti Bi-kwi yang bersekutu dengan orang-orang Pek-lian-kauw.

Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya. “Aku masih merasa heran dengan sikap mereka, Hong Beng. Pendekar Suling Naga itu lihai sekali, akan tetapi dia tidak berkelahi sungguh-sungguh tadi ketika mela­wanku.”

“Ah, akan tetapi Bi Lan menyerang teecu dengan mati-matian, sehingga nyaris teecu tewas oleh Ban-tok-kiam di tangannya!” kata Hong Beng penasaran.

“Ban-tok-kiam....?” tanya Suma Ciang Bun karena dia merasa pernah mendengar nama pe­dang itu.

“Benar, suhu. Pedang yang mengerikan itu ada­lah Ban-tok-kiam, pedang milik isteri dari locianpwe Kao Kok Cu, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir.”

“Apa....?” Suma Ciang Bun terkejut sekali, memandang kepada muridnya dengan mata terbelalak.

“Kaumaksudkan pedang milik.... bibi Wan Ceng....? Apa hubungannya gadis itu dengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?”

“Mereka adalah guru-guru Bi Lan, suhu.”

“Eh? Bukankah kaubilang bahwa Can Bi Lan itu sumoi dari Bi-kwi, dengan demikian murid dari Sam Kwi?”

“Benar, suhu, akan tetapi Bi Lan pernah bertemu dengan Kao-locianpwe dan isterinya, dan menerima gemblengan mereka, bahkan diberi pinjam pedang Ban-tok-kiam. Bi Lan sendiri menceritakan semua ini kepada teecu.”

Ciang Bun menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. “Sungguh aneh sekali. Bagaima­na mungkin paman Kao Kok Cu dan bibi Wan Ceng mau mengambil murid seorang gadis yang telah men­adi murid Sam Kwi?”

“Dan sekarang agaknya watak Sam Kwi dan Bi-wi telah menular kepada Bi Lan sehingga ia menjadi eorang wanita sesat.”

“Jangan menuduh sembarangan lebih dulu, Hong Beng. Bagaimanapun juga, aku masih merasa sangsi. Kalau mereka bersekutu dengan pihak Pek-lian-kauw, tentu mereka tadi tidak melarikan diri dan bersama dengan tosu-tosu Pek-lian-kauw itu mengeroyok kita. Kalau demikian halnya, mungkin kita berdua takkan kuat bertahan.”

Suma Ciang Bun lalu mengajak muridnya me­ninggalkan tempat itu. Dia bermaksud mengunjungi encinya, yaitu Suma Hui yang telah menjadi isteri Kao Cin Liong, selain untuk menjenguk kakaknya itu,juga untuk bicara dengan kakak iparnya, Kao Cin Liong, tentang keanehan orang tua pendekar itu yang mengambil gadis yang telah menjadi murid Sam Kwi sebagai murid pula, bahkan meminjamkan pedang pusaka sehingga Bi Lan mempergunakan pedang pu­saka itu untuk bertindak sesat.

“Sim koko, kenapa sih engkau selalu mengajak aku melarikan diri? Lama kelamaan aku bisa merasa sebagai seorang pengecut besar. Sudah beberapa kali, di tengah pertandingan engkau memak­sa aku untuk melarikan diri. Untuk yang sudah-su­dah engkau selalu mempunyai alasan. dan sekarang apa lagi alasanmu, Sim-ko? Aku tidak kalah meng­hadapi Hong Beng yang sombong itu, dan engkaupun belum tentu kalah oleh gurunya. Kemunculan para tosu Pek-lian-kauw itupun tidak membuat aku men­jadi jerih. Kenapa kita harus melarikan diri seperti dikejar setan?” tanya Bi Lan dengan suara mengan­dung penasaran dan matanya yang jeli itu menatap wajah Sim Houw dengan tajam penuh selidik.

“Lan-moi, sebetulnya sejak semula aku ingin mencegah engkau berkelahi dengan Hong Beng dan gurunya, akan tetapi engkau dan Hong Beng demiki­an bernapsu untuk berkelahi. Ketika para tosu Pek-lian-kauw muncul, kesempatan baik muncul dan aku mengajak engkau pergi. Aku pikir bahwa tidak se­mestinya kita melayani Hong Beng dan gurunya hanya salah paham dengan kita.”

“Salah paham apa? Hong Beng menghinaku!” bentak Bi Lan marah.

Sim Houw tersenyum. “Dia marah-marah karena salah paham, Lan-moi. Pertama, bantuan kita terha­dap Ciong-lihiap menimbulkan salah paham sehingga dia menyangka kita membela pihak yang jahat. Ke­mudian yang ke dua, dia melihat keadaan kita dan kembali dia salah kira, menyangka yang bu­kan-bukan. Dia bukan sengaja menghina, melainkan bertindak sembrono karena salah sangka dan karena cemburu....“

“Kenapa mesti cemburu? Aku bukan pacarnya, bukan kekasihnya, bukan apa-apanya! Sudah dua kali dia mengulang perbuatannya yang didorong oleh cemburu buta itu. Pertama kali ketika aku terluka dan Cu Kun Tek mengobati punggungku, Hong Beng juga menjadi cemburu dan menyerang Kun Tek ka­lang-kabut seperti orang gila. Kemudian tadi.... hemmm, dia kira aku ini siapa? Aku bukan apa-apa­nya, dia tidak berhak untuk cemburu!”

Sim Houw menarik napas panjang. Diam-diam dia merasa kasihan kepada Hong Beng. Tahulah dia bahwa Hong Beng pernah tergila-gila kepada Bi Lan dan agaknya karena cintanya ditolak, Hong Beng menjadi sakit hati dan cemburu. Memang hal itu buruk sekali, akan tetapi dia tidak terlalu menyalahkan Hong Beng yang masih muda itu.

“Karena engkau menolak cintanya maka dia sakit hati dan cemburu, Lan-moi.”

“Apa dia akan memaksa bahwa aku harus mem­balas cintanya? Phuhh, memang wataknya buruk sekali. Orang lain yang kutolak cintanya tidak ma­rah-marah dan cemburu macam dia!”

Sim Houw tertarik sekali. “Siapakah dia itu, Lan-moi?”

Bi Lan sedang panas hatinya terhadap Hong Beng dan sedang merasa penasaran karena diajak pergi melarikan diri oleh Sim Houw, maka tanpa berpikir panjang lagi ia menjawab, “Kun Tek juga menyata­kan cintanya kepadaku dan kutolak!” Tiba-tiba dara itu berhenti bicara karena ia teringat bah­wa Kun Tek masih terhitung paman Sim Houw, wa­laupun usia Sim Houw belasan tahun lebih tua dari pemuda Lembah Naga Siluman itu.

Akan tetapi Sim Houw tersenyum, tidak nampak kaget karena memang diapun sudah pernah mendu­ganya. “Lan-moi, dua orang pemuda gagah perkasa dan pilihan telah menyatakan cinta kepada dirimu. Akan tetapi kenapa engkau menolak keduanya?”

Bi Lan mengerutkan alisnya. “Habis, kalau aku tidak mempunyai perasaan cinta terhadap mereka, apakah aku harus menerima seorang di antara me­reka?”

Sim Houw menggeleng kepalanya. “Tentu saja tidak, Lan-moi. Tetapi.... apakah selama ini eng­kau tidak pernah jatuh cinta kepada seseorang?”

Bi Lan melupakan kemarahannya dan ia terse­nyum. “Agaknya nasibku sama dengan engkau, Sim­-ko. Seperti juga engkau yang selama ini tidak pernah jatuh cinta lagi kepada seorang gadis, akupun tidak pernah jatuh cinta kepada seorang pria. Agaknya ada persamaan antara kita. Kalau engkau sekali waktu jatuh cinta kepada seorang wanita, mungkin sekali akupun akan jatuh cinta kepada seorang pria, siapa tahu?” Dan gadis itupun lari mendaki bukit di de­pan dengan cepat. Sim Houw tertegun sejenak, lalu menggeleng kepala dan mengejar. Dia sungguh tidak mengerti akan sikap Bi Lan. Gadis itu amat menarik hatinya, amat dicintanya sejak pertama kali bertemu. Bi Lan dianggapnya memiliki watak yang amat aneh, dan mungkin keanehan watak gadis inilah yang me­rupakan satu di antara daya tarik gadis itu baginya. Kadang-kadang demikian mudah membaca isi hati Bi Lan, seperti membaca sebuah kitab terbuka saja. Akan tetapi ada kalanya, sikap Bi Lan merupakan teka-teki yang amat sulit baginya, sukar dimengerti. Kadang-kadang timbul harapannya karena dia meli­hat tanda-tanda bahwa Bi Lan sayang dan cinta ke­padanya, akan tetapi dia masih meragukan hal ini. Mungkin seorang gadis remaja seperti Bi Lan dapat jatuh cinta kepadanya? Bi Lan telah menolak cinta kasih pemuda-pemuda hebat yang sebaya dengan gadis itu. Kalau pendekar-pendekar muda seperti Gu Hong Beng dan Cu Kun Tek saja ditolak cintanya, apa lagi seorang laki-laki yang sudah tua seperti dia! Usianya sudah tigapuluh empat atau tigapuluh lima tahun, sedangkan usia Bi Lan baru delapan belas tahun. Dia dua kali lebih tua dari gadis itu, pantas menjadi pa­mannya! Mungkinkah gadis muda seperti Bi Lan yang menolak dua orang pendekar perkasa dan muda seperti Hong Beng dan Cu Kun Tek, dapat men­cinta seorang tua seperti dia? Sukar untuk dapat di­percaya dan hal inilah yang membuat hati Sim Houw senantiasa meragu dan dia takut untuk menyatakan cinta kasihnya. Takut kalau-kalau pernyataan cinta­nya hanya akan memisahkan dia dari Bi Lan. Biarlah tidak menyatakan cinta, disimpannya sebagai rahasia­nya sendiri saja asalkan dia dapat berdekatan terus dengan Bi Lan. Dia telah tergila-gila kepada Bi Lan, mencinta Bi Lan dengan seluruh batin dan badannya, sampai ke rambut-rambutnya, dan baru sekaranglah dia mencinta wanita lain setelah dulu cintanya dito­lak oleh Kam Bi Eng.

Dilihatnya bayangan Bi Lan sudah sampai di puncak bukit itu, maka diapun segera mengerahkan tena­ganya untuk mempercepat larinya mengejar gadis itu. Mereka sudah tiba di perbatasan utara dan Sim Houw sudah mendengar bahwa daerah tembok besar ini selain sunyi dan liar, juga amat berbahaya karena siapa yang dihadang oleh orang-orang jahat di daerah ini, jangan harap akan bisa mendapatkan pertolongan dari orang lain karena tempat itu sunyi.

***

Bekas Panglima Kao Cin Liong yang kini menjadi seorang saudagar rempa-rempa di kota Pao-teng, di­ kenal oleh hampir semua orang di kota itu. Bukan hanya dikenal sebagai seorang pedagang yang berhasil, melainkan juga sebagai seorang dermawan yang se­lalu membuka kedua tangan untuk menolong orang lain yang kesusahan, juga terkenal sebagai seorang bekas panglima dan seorang pendekar yang berilmu tinggi. Apa lagi di kalangan dunia persilatan. Semua orang kang-ouw tahu belaka siapa adanya Kao Cin Liong, karena dia adalah putera dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Juga isterinya amat terkenal, karena Suma Hui adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.

Seperti telah kita ketahui, Kao Cin Liong yang kini berusia limapuluh tahun dan Suma Hui yang berusia empatpuluh tahun itu, hanya mempunyai seo­rang anak saja, yaitu anak perempuan berusia tigabe­las tahun yang diberi nama Kao Hong Li. Mudah saja diduga bahwa Hong Li tentu saja memiliki ke­pandaian silat yang luar biasa. Ayah dan ibunya ada­lah pendekar-pendekar kenamaan yang sakti, maka tentu saja sejak anak ini masih kecil, ia telah digem­bleng oleh kedua orang tuanya sehingga ketika usia­nya tigabelas tahun, ia telah menjadi seorang anak perempuan yang lincah dan lihai bukan main. Sukar mencari seorang dewasa, biar pria sekalipun, yang akan mampu mengalahkan gadis cilik ini. Bahkan mereka yang ilmu silatnya tanggung-tanggung saja, jangan harap akan mampu menandingi Hong Li. Di dalam usianya yang baru tigabelas tahun, Hong Li sudah nampak cantik. Mudah dilihat bahwa iaakan menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan menarik dalam waktu beberapa tahun lagi. Tubuhnya tinggi langsing dan padat, penuh dengan tenaga terlatih. Ma­tanya yang membuka wajahnya nampak cerah. Mata itu paling indah. Lebar dan jeli, bagaikan telaga yang bening. Sikapnya lincah, jenaka, akan tetapi galak. Hal terakhir ini mungkin timbul karena sebagai anak tunggal, tentu saja ada sedikit kemanjaan dalam hati­nya. Apa lagi kesadaran bahwa ayah ibunya adalah pendekar-pendekar sakti yang dikagumi dan dihor­mati orang sedikit banyak mendarangkanketinggian hati. Ayah ibunya tidak menghendaki hal ini dan tentu saja mereka tidak suka kalau anak tunggal mereka tinggi hati atau manja, akan tetapi karena mere­ka menganggap Hong Li masih terlalu kecil dan kurang pengalaman, maka sedikit ketinggian hati dan kemanjaan itu mereka anggap sebagai hal lumrah yang kelak tentu akan hilang sendiri kalau jiwa pendekar sudah menjadi dasar batin Hong Li.

Peradaban dan kebudayaan kita telah membentuk diri kita seperti keadaannya sekarang, yaitu gila hor­mat dan haus akan pujian! Semenjak kecil kita dije­jali kebiasaan untuk mengagungkan nilai-nilai, menge­jar nilai-nilai. Anak-anak kecil dipuji kalau melaku­kan hal-hal yang dianggap baik dan menyenangkan, dicela kalau sebaliknya. Di sekolahpun para murid diajar untuk memperebutkan nilai-nilai. Kemajuan mereka diukur dengan nilai-nilai. Karena itu, kita berangkat besar dengan pengertian bahwa kita amat memerlukan nilai-nilai baik dalam kehidupan ini, dan betapa senangnya menerima pujian-pujian, betapa tidak menyenangkan menerima celaan-celaan. Kita menjadi orang-orang yang munafik dan palsu, menge­jar pujian-pujian dengan segala cara. Kita selalu ingin memamerkan segi-segi yang dipandang baik oleh orang lain dalam diri kita, hanya untuk mengejar pujian. Kita berangkat dewasa menjadi manusia yang gila pu­jian dan gila hormat.

Tidak mengherankan kalau Hong Li tidak terke­cuali. Ia berangkat besar seperti anak-anak lain yang selalu haus akan pujian dan selalu ingin memamerkan kepandaiannya, ingin menonjolkan keistimewaan yang ada pada dirinya dan yang tidak terdapat pada diri orang lain.

Seperti orang-orang tua yang hidup di alam kita ini, Kao Cin Liong dan Suma Hui juga tidak terkecuali, selalu mengajarkan kepada anak tunggal me­reka tentang kebaikan agar anak mereka selalu berbu­at kebaikan dan menjadi “orang baik”, selalu men­jauhkan perbuatan-perbuatan yang dianggap jahat dan tidak baik. Seperti juga orang-orang tua lain dalam kehidupan kita ini, mereka ingin membentuk anak mereka, seperti membentuk sebuah boneka dari tanah liat, agar menjadi sebaik-baiknya, tentu saja menurut pandangan mereka yang juga menjadi pandangan masyarakat, menjadi pandangan umum sesuai dengan kebudayaan dan peradaban kita.

Akan tetapi, dapatkah kebaikan diajarkan, dipelajari dan dilatih? Segala yang dapat dipelajari dan dilatih adalah sesuatu yang mati, dan sesuatu yang diusahakan untuk dimiliki tentu mempunyai dasar sebagai pamrih. Kalau kita berbuat kebaikan dengan pamrih, setelah mempelajari dan melatihnya, apakah itu dapat dinamakan kebaikan lagi, ataukah bukan sekedar cara dan usaha untuk mendapatkan pamrih itu, yang dapat saja berupa pujian, kepuasan hati, pa­hala batiniah dan sebagainya? Kebaikan yang SE­NGAJA DILAKUKAN dengan kesadaran bahwa kita melakukan perbuatan baik, jelas bukan kebaikan lagi namanya, melainkan suatu usaha. Dan seperti usaha-usaha lainnya, kalau sampai usaha itu gagal mendatangkan hasil, tentu akan mengecewakan. Misalnya, orang yang menolong orang lain kemudian orang yang ditolongnya itu tidak membalas kebaikan­nya bahkan merugikan, tentu akan merasa sakit hati dan kecewa. Orang yang melakukan kebaikan, ke­mudian tidak menerima pujian bahkan dicela, tentu akan marah dan kecewa! Jelaslah bahwa kebaikan-kebaikan seperti itu, yang dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa yang dilakukan itu adalah kebaikan, bukan kebaikan lagi namanya, melainkan hanya seke­dar cara untuk menyenangkan hati sendiri memetik buahnya kelak!

Betapa jauh bedanya dengan perbuatan yang dilakukan berdasarkan cinta kasih. Perbuatan ini digerakkan oleh perasaan sayang, perasaan iba, tanpa pa­mrih apapun juga untuk diri sendiri, merupakan perbuaran spontan yang wajar. Bukan lagi dinamakan kebaikan karena si pelaku tidak mengingat lagi apa­kah perbuatannya itu baik ataukah tidak baik. Yang ada hanyalah kewajaran, tanpa pamrih, dan dalam perbuatan seperti ini maka sinar cinta kasih akan me­neranginya.

Betapa lucu namun amat menyedihkan melihat betapa kita berlumba-lumba untuk menjadi orang baik dengan menyebar segala perbuatan palsu, seolah-olah kebaikan dapat dicapai melalui kepalsuan dan kemu­nafikan. Lihat betapa bangsa-bangsa berlumba di dunia ini untuk membicarakan dan mencapai perda­maian dengan senjata di tangan! Kalau ada sinar cinta kasih menerangi batin, maka tanpa diusahakan sekalipun, kedamaian tentu sudah ada, karena takkan mungkin terjadi perang! Kalau ada cinta kasih di dalam batin, maka kita tidak perlu melakukan perbu­atan yang kita anggap baik lagi, karena setiap perbuatan kita yang berdasarkan cinta kasih adalah suci!

Pada suatu sore, terdengar sorak dan tepuk tangan sekumpulan anak-anak di kebun rumah besar keluarga Kao Cin Liong. Mereka adalah belasan orang anak-anak laki-laki dan perempuan yang berkumpul di kebun itu, mengagumi Hong Li yang sedang bermain silat pedang. Memang indah sekali permainan itu. Hong Li baru saja menerima oleh-oleh sebatang pe­dang yang indah dari ayah ibunya yang baru saja kembali dari kota raja. Sebatang pedang yang mewah, bukan pedang pusaka, namun terbuat dari baja yang baik, bentuknya kecil dan cocok untuk dimainkan seorang anak perempuan, gagangnya terukir indah dan pedang itu sendiri putih bersih berkilau seperti perak. Sarung pedangnya juga penuh dengan ukiran bunga dan kupu-kupu beraneka warna, amat halus dan indah ukirannya. Dan kini, Hong Li bermain pedang itu di dalam kebun, disaksikan dan dikagumi oleh belasan orang anak-anak. Mereka itu adalah te­man-teman bermain Hong Li, anak-anak tetangga. Memang, dalam hal ini Kao Cin Liong dan isterinya bersikap bebas, tidak seperti orang-orang tua lain yang memperhitungkan derajat dan kedudukan dalam memilih teman-teman untuk anak-anak mereka. Biar­pun Cin Liong dan Suma Hui adalah suami isteri pendekar yang lihai sekali, bahkan Kao Cin Liong seorang bekas panglima yang terpandang, dan kini mereka hidup berkecukupan, namun mereka membiarkan anak perempuan mereka bergaul bebas dengan anak-anak tetangga. Dalam hal membiarkan anaknya ber­gaul bebas, Kao Cin Liong dan Suma Hui memang menyimpann dari kebiasaan umum. Biasanya, orang-orang tua akan melarang anak perempuan mereka ber­gaul bebas, apalagi setelah berusia tigabelas tahun, usia remaja menjelang dewasa. Agaknya, watak me­reka sebagai pendekar-pendekar yang biasa hidup berkelana dan bebas yang membuat mereka tidak berkeberatan melihat anak perempuan mereka bergaul dengan anak siapa saja, laki-laki maupun perempuan.

Bagaimanapun juga, anak-anak itu bersikap sopan terhadap Hong Li dan menyebutnya siocia (nona), tentu hal ini mereka lakukan karena melihat betapa semua orang menghormati Hong Li sebagai keluarga jagoan dan keluarga kaya pula.

“Bagus....! Bagus sekali....!”

“Kao-siocia seperti bidadari sedang menari!

“Lihat, pedang itu seperti naga putih melayang-layang....!”

Pujian-pujian ini keluar dari mulut anak-anak yang

sedang menonton Kao Hong Li memamerkan pedang barunya dan juga ilmu silatnya yang memang hebat. Sekecil itu, ia sudah pandai sekali bersilat pedang, bukan hanya indah dipandang, namun di dalamnya mengandung kekuatan-kekuatan yang akan mengejutkan seorang ahli sekalipun. Tidaklah mengherankan kalau diingat bahwa Hong Li sudah berlatih Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang dipelajarinya dari ibunya, ilmu pedang yang merupakan satu di antara ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es. Apa lagi ia sudah menguasai dasar-dasar gerakan ilmu pilihan dari Istana Gunung Pasir, yaitu ilmu silat Sin-liong Ciang-hoat (Naga Sakti). Biarpun gerakan pedangnya belum matang benar, dan tenaga sin-kang yang mendorongnya belum dapat dibilang terlalu kuat, namun gerakan-gerakan itu selain indah, juga baik sekali, karena dilatih sejak ia masih kecil.

Setelah Hong Li berhenti bermain silat pedang dan sinar yang bergulung-gulung dari pedangnya lenyap, anak-anak itu betepuk tangan memuji.

“Ilmu pedang yang jelek sekali!”

Suara ini melengking tinggi mengatasi kegaduhan anak-anak itu sehingga terdengar oleh mereka semua. Tentu saja semua anak itu terkejut dan menengok, sedangkan Hong Li juga menengok ke kanan dengan alis berkerut, hatinya mendongkol mendengar ada orang mengatakan ilmu pedangnya jelek, pada hal semua anak di situ bersorak memuji. Ketika anak-anak itu menoleh dan memandang kepada seorang kakek yang tiba-tiba saja berada di situ tanpa mereka ketahui kedatangannya, mereka merasa heran dan tidak tahu siapa adanya kakek berkepala gundul yang memakai jubah lebar berwarna merah darah ini. Akan tetapi Hong Li sudah banyak mendengar dari kedua orang tuanya tentang tokoh-tokoh aneh di dunia kang-ouw, tentang pendeta-pendeta dan pertapa-pertapa yang memiliki ilmu kepandaian yang hebat, dan betapa di antara para kakek atau nenek yang berpakaian seperti pendeta itu terdapat pula tokoh-tokohnya yang sesat. Maka, melihat munculnya kakek gundul ber­jubah merah ini, Hong Li memandang dengan hati agak khawatir, tidak tahu apakah kakek ini seorang baik ataukah jahat, kawan ataukah lawan dari ayah ibunya. Akan tetapi, mendengar betapa begitu munc­ul kakek itu sudah mencela ilmu pedangnya, agaknya tidak mungkin kalau kakek ini merupakan kawan ayah ibunya.

“Kakek tua, siapakah engkau yang berani mencela ilmu pedangku?” tanyanya dengan alis berkerut dan pedang barunya masih berada di tangan kanan. Ia mengelebatkan pedangnya dan terdengar suara berdesing diikuti sinar pedang berkilat.

Kakek itu tertawa, suara ketawanya juga me­lengking tinggi dan halus. “Ha-ha-ha, bukan hanya ilmu pedangmu, juga pedangmu itu jelek sekali, Ha-ha!”

Tentu saja Hong Li menjadi semakin marah. Pedangnya itu adalah pedang baru oleh-oleh ayah bundanya dan pedang itu sejak kemarin menjadi pusat kekaguman teman-temannya, akan tetapi sekarang dikatakan jelek sekali oleh kakek ini! Ia memandang dengan sinar mata mencorong penuh penasaran dan kemarahan, dan diam-diam ia memperhatikan kakek itu. Seorang kakek yang usianya enampuluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dengan muka halus dan gerak-gerik lembut, sepasang matanya bening dan seperti mata wanita dengan bulu mata yang panjang melen­gkung. Tak dapat disangkal, wajah kakek berkepala gundul ini meninggalkan bekas wajah seorang laki-laki yang tampan sekali.

“Kakek pendeta, engkau ini hwesio dari manakah? Kalau ada keperluan dengan orang tuaku, da­tang saja lagi besok pagi karena mereka sedang per­gi.."

“Omitohud.... aku tahu bahwa mereka sedang pergi membeli rempa-rempa di seberang su­ngai. Aku datang bukan untuk mereka, melainkan untuk nonton permainan pedangmu yang jelek.”

Hong Li menjadi marah sekali. Alisnya yang hitam panjang berkerut, sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar berkilat dan mukanya menja­di kemerahan. “Engkau ini kakek pendeta yang som­bong dan jahat. Apa salahku maka engkau datang datang hendak menghina aku?”

“Ha-ha, aku tidak menghina, melainkan hendak nonton ilmu pedang yang jelek.”

“Kalau begitu, apakah engkau berani menghadapi pedangku dan ilmu pedangku yang jelek ini?”

“Omitohud, tentu saja aku berani. Ilmu pedang­mu dan pedangmu itu tidak ada artinya, hanya patut untuk pamer dan berlagak saja.”

Bukan main marahnya Hong Li mendengar ucap­an pendeta berjubah merah itu. Sejak kecil ia hanya melihat orang-orang bersikap hormat dan kagum ter­hadap keluarganya, apa lagi terhadap ilmu silat ke­luarganya. Dan sekarang, kakek kurus ini menghina ilmu silatnya dan berani menantangnya.

“Kakek sombong, kalau begitu hadapilah pedang­ku ini!” bentaknya dan sekali melompat ia telah menghampiri kakek pendeta itu dengan pedang ditodongkan.

“Ha-ha, bocah lucu, engkau menodongku dengan setangkai bunga mawar?” tiba-tiba kakek itu berkata sambil tertawa dan tangannya membuat gerakan ke arah pedang dan.... Hong Li, dan belasan orang anak itu, terbelalak ketika melihat betapa yang ber­ada di tangan Hong Li memang benar setangkai bunga mawar, bukan pedang yang tadi dimainkan dengan indahnya!

Akan tetapi, Hong Li adalah keturunan keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Ibunya adalah cucu Pendekar Super Sakti, maka tentu saja ia segera dapat mengerti bahwa kakek pendeta jubah merah ini telah main-main dan mempergunakan ilmu sihir. Hanya sebentar saja ia terkejut dan terbelalak, lalu ia mengerahkan sin-kangnya, memaksa diri untuk ber­tahan dan tidak hanyut oleh kekuatan sihir.

“Yang kutodongkan adalah pedang baruku! Sia­pa bilang bunga mawar?” bentaknya dan iapun menggerak-gerakkan pedangnya. Karena tentu saja tenaga batinnya belum kuat benar, matanya melihat betapa yang berada di tangan kanannya itu berubah-ubah, kadang-kadang nampak sebagai pedang, lalu berubah menjadi setangkai bunga lagi. Namun, ia menjadi nekat, bunga atau pedang, tetap saja ia per­gunakan untuk menyerang kakek kurus itu!

Dalam penglihatan belasan orang anak itu, nam­pak lucu sekali melihat Hong Li menyerang kakek itu kalang kabut dengan menggunakan setangkai bu­nga mawar! Akan tetapi, kakek itu sendiri kagum bukan main. Anak ini tidak mengecewakan menjadi cucu buyut Pendekar Super Sakti dan ilmu pedangnya memang hebat bukan main. Hatinya semakin tertarik dan suka kepada Hong Li. Menghadapi serangan-serangan gadis cilik itu, ia mempergunakan kecepatan gerakannya, tubuhnya melayang-layang dengan ringah dan lembutnya, seperti berubah menjadi sehelai bulu yang bergerak ke sana-sini, selalu luput dari terkaman ujung pedang yang dimainkan Hong Li.

“Anak baik, engkau berjodoh dengan Ang I Lama, marilah ikut dengan pinceng!” tiba-tiba belasan orang anak itu mendengar suara ini yang diikuti oleh bunyi ledakan keras. Semua anak ketakutan karena tempat itu berubah menjadi lautan asap. Mereka tak dapat melihat, bahkan mereka terpaksa mundur karena asap itu tebal sekali dan menakutkan. Ketika asap itu per­lahan-lahan melayang pergi, anak-anak itu menjadi bingung karena mereka tidak melihat Hong Li dan kakek pendeta jubah merah tadi. Mereka berdua telah lenyap tanpa meninggalkan bekas, seolah-olah ikut terbang pergi bersama asap tebal. Tentu saja anak-anak ini menjadi ketakutan dan bingung. Mereka berlari-larian pulang sambil menangis melapor kepada orang tua masing-masing tentang peristiwa lenyapnya Kao Hong Li bersama kakek pendeta gundul berjubah merah. Para pelayan keluarga Kao yang mendengar laporan inipun menjadi bingung dan ketakutan. Kea­daan menjadi gempar dan semua orang mencari-cari ke mana perginya Hong Li, namun tidak dapat mene­mukan jejak anak itu yang lenyap seperti berubah menjadi asap.

Keadaan menjadi semakin geger ketika Kao Cin Liong dan Suma Hui pulang dari perjalanan mereka ke seberang sungai untuk membeli rempa-rempa. Dua pekan sekali suami isteri itu memang pergi sendiri membeli barang dagangan. Ketika mereka mendengar akan peristiwa aneh yang mengakibatkan lenyapnya anak tunggal mereka, tentu saja sepasang pendekar ini menjadi terkejut dan marah. Mereka menggunakan kepandaian mereka untuk melakukan pengejaran dan pencarian. Akan tetapi, sampai semalam suntuk me­reka mencari tanpa hasil dan akhirnya, menjelang pagi pada keesokan harinya, dengan lemas mereka pulang ke rumah. Suma Hui menahan tangisnya, akan tetapi kedua matanya merah dan wajahnya membayangkan kedukaan dan kegelisahan yang mendalam. Akan te­tapi Kao Cin Liong nampak tenang saja, walaupun tentu saja dia juga merasa bingung dan gelisah.

“Tenangkan hatimu,” katanya kepada isterinya karena dia tidak tega melihat wajah isterinya demikian penuh duka dan kegelisahan. “Setidaknya kita boleh merasa yakin bahwa anak kita masih dalam keadaan selamat. Kalau penjahat atau siapa saja yang menculiknya itu berniat buruk, tentu hal itu sudah dilaku­kannya, tidak perlu bersusah-susah melarikannya.”

Suma Hui dapat mengerti pendapat ini. Memang, kalau penjahat itu hendak membunuh Hong Li, tidak perlu dibawa pergi. Akan tetapi, siapa yang menculik Hong Li? Dan kenapa? Mereka berdua lalu mendatangi anak-anak yang menyaksikan peristiwa itu dan kagetlah hati mereka ketika mendengar bah­wa sebelum Hong Li dan kakek jubah merah itu le­nyap berubah menjadi asap, terdengar kakek itu ber­kata, “Anak baik, engkau berjodoh dengan Ang I Lama, marilah ikut dengan pinceng!”

Keterangan ini tentu saja amat penting bagi mereka. Jelaslah bahwa pendeta berkepala gundul yang berjubah merah itu adalah Ang I Lama dan dialah yang telah melarikan Hong Li. Kata “berjodoh” yang dipergunakan pendeta itu dapat berarti berjodoh untuk menjadi muridnya, akan tetapi juga untuk maksud yang cabul dan jahat. Mereka berdua tahu betapa banyaknya orang-orang jahat dan keji yang menyembunyikan kejahatannya di balik kedudukan atau pakaian. Betapa banyaknya pencuri-pencuri dan perampok-perampok besar bersembunyi di balik pa­kaian seorang pembesar, penjahat-penjahat kejiberse mbunyi di balik pakaian pendeta-pendeta.

“Ang I Lama....? Suma Hui mengulang nama itu sambil mengepal tinju. “Siapakah dia dan mengapa dia melakukan hal ini kepada keluarga ki­ta?” Ia memandang suaminya dengan harapan sua­minya akan mengenal nama itu. Akan tetapi sejak tadi Kao Cin Liong juga mengerutkan alisnya dan memeras ingatannya, akan tetapi dia merasa tidak pernah mengenal nama itu. Maka, menjawab perta­nyaan isterinya, diapun menggeleng kepalanya.

“Aku tidak pernah mengenal nama itu, akan tetapi untung bahwa dia meninggalkan sebuah nama. Karena dia seorang pendeta Lama, maka di mana lagi dia berada kalau bukan di Tibet?”

Tiba-tiba Suma Hui menepuk meja di depannya. “Brakkk....! Ah, tentu saja!”

“Apa.... maksudmu?” suaminya bertanya sambil memandang penuh perhatian.

Isteri itu memandang suaminya. “Tentu ada hubungannya dengan Sai-cu Lama! Kita ikut membasmi komplotan Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama dan sekarang muncul seorang pendeta Lama lainnya yang menculik anak kita. Apakah kaupikir tidak ada hubungannya antara kedua orang pendeta Lama itu?”

Suaminya mengangguk-angguk. “Sangat boleh jadi, akan tetapi kita tidak mengenal. Ang I Lama itu dan tidak tahu di mana dia berada. Kurasa satu-satunya jalan untuk mencarinya adalah ke Tibet. Di sana tentu kita akan memperoleh keterangan jelas di mana adanya Ang I Lama.”

“Memang agaknya hanya itu jalannya dan mari­lah kita pergi sekarang saja. Aku tidak tahan berdi­am di rumah lebih lama lagi memikirkan nasib anak kita....” Dan kini Suma Hui tak dapat menahan membanjirnya airmata. Melihat ini, suaminya lalu mendekatinya dan merangkulnya. Memecah bendung­an air mata itu dan Suma Hui menangis tersedu-seda di dada suaminya yang membiarkannya mengangis untuk melampiaskan segala perasaan marah, khawa­tir dan duka yang sejak malam tadi ditahan-tahannya.

Setelah kedukaan Suma Hui mereda, suami isteri ini lalu cepat-cepat berkemas untuk menyediakan bekal perjalanan mencari anak mereka ke Tibet! Perjalanan yang amat jauh dan makan banyak waktu.

Selagi mereka sibuk, datanglah tamu yang tidak mereka duga-duga. Dua orang tamu datang dan me­reka ini bukan lain adalah Suma Ciang Bun dan Gu Hong Beng! melihat adiknya, datang lagi perasaan duka di hati Suma Hui dan iapun menubruk adiknya sambil menangis.

Tentu saja Suma Ciang Bun terkejut sekali meli­hat ulah encinya. Encinya, setahunya, adalah seorang wanita yang keras hati dan tabah bukan main, lebih tabah dari pada dia sendiri. Kalau sekarang encinya sampai bersedih dan menangis seperti itu, apa lagi melihat betapa sepasang mata encinya sudah beng­kak-bengkak bekas banyak tangis, dia khawatir tentu telah terjadi hal yang luar biasa dan hebat sekali.

“Enci Hui, engkau kenapakah? Apa yang telah terjadi sehingga engkau menjadi begini berduka?” Karena encinya menangis semakin sedih, Suma Ciang Bun mengangkat muka memandang cihunya (kakak iparnya) dengan alis berkerut.

Kao Cin Liong merangkul isterinya dan dengan lembut menarik tubuh isterinya dari Suma Ciang Bun, lalu mengajak duduk. “Tenanglah dan kebetulan sekali Ciang Bun datang. Mungkin dia dapat mem­bantu.” Mendengar ini, Suma Hui menghentikan tangisnya dan memandang kepada adiknya.

“Hong Li telah diculik orang....!”

Tentu saja Ciang Bun terkejut sekali. “Ah! Sia­pa penculiknya dan kapan terjadinya? Bagaimana dia berani melakukan hal itu?”

Kao Cin Liong yang lebih tenang segera memberi keterangan kepada adik iparnya. “Kemarin sore, ketika kami berdua pergi membeli rempah-rempah di seberang sungai dan Hong Li berada seorang diri di rumah, datang penculik itu. Dia seorang pendeta Lama yang berjuluk Ang I Lama, dan dia menculik Hong Li denganmempergunakan ilmu sihir seperti yang kami dengar dari anak-anak yang menemani Hong Li pada waktu itu.” Lalu dengan singkat na­mun jelas, Kao Cin Liong menceritakan tentang per­istiwa penculikan itu seperti yang didengarrya jari anak-anak.

“Ang I Lama....?” Suma Ciang Bun meng­ulang nama itu sambil mengerutkan alis.

“Bun-te, apakah engkau mengenal nama jahanam itu?” tanya Suma Hui penuh harapan.

Suma Ciang Bun yang sudah banyak melakukan perantauan itu termenung. “Seperti pernah kude­ngar nama itu,akan tetapi entah di mana dan kapan. Nama itu jarang muncul di dunia kang-ouw....”

Pada saat itu Kao Cin Liong melihat betapa Gu Hong Beng, murid adik iparnya itu, memandang dengan sinar mata bercahaya. “Hong Beng, apakah engkau mengenalnya?” Dia bertanya. Suami isteri ini pernah mengenal Hong Beng, bahkan bersama pemuda ini dan para pendekar lainnya, pernah mem­bantu untuk menghancurkan persekutuan yang meu­dukung Thai-kam Hou Seng.

“Ang I Lama.... apakah tidak ada hubungannya dengan Sai-cu Lama....?” Hong Beng berkata.

“Akupun berpendapat demikian,” Suma Hui ber­kata, “akan tetapi, di manakah adanya Ang I Lama dan mengapa dia melakukan hal ini kepada kami?”

“Ahhh....! Sekarang aku ingat, enci Hui!” kata Suma Ciang Bun. “Aku pernah mendengar na­ma Ang I Lama dan tentu saja ada hubungan antara dia dan Sai-cu Lama, karena Ang I Lama adalah se­arang di antara para pimpinan pendeta Lama di Ti­bet. Akan tetapi.... menurut yang pernah kude­ngar, Ang I Lama termasuk pendeta Lama yang ber­sih dan tidak sudi melakukan kejahatan, apa lagi menculik keponakanku Hong Li.”

“Siapa tahu hati orang? Mungkin saja dia mendendam atas kematian Sai-cu Lama, karena bukankah mereka sama-sama dari Tibet dan sama-sama pendeta Lama? Mungkin atas dasar dendam itulah, dan mengingat bahwa kami berdua juga membantu usaha menghancurkan persekutuan Sai-cu Lama, maka kini Ang I Lama datang membalas dendam dengan cara yang curang, yaitu menculik dan melarikan anak ka­mi,” kata Suma Hui.

“Benar, akan tetapi kita harus bertindak hati-hati, enci. Hal ini harus diselidiki lebih dulu secara cer­mat agar jangan sampai enci menuduh orang yang tidak berdosa.”

“Tentu saja. Sekarangpun kami sedang berkemas untuk segera berangkat ke Tibet, melakukan penye­lidikan tentang Ang I Lama itu!”

“Perjalanan yang amat jauh dan sukar,” kata Suma Ciang Bun.

“Jangankan baru ke Tibet, biar Ang I Lama melarikan diri ke neraka sekalipun, pasti akan kami kejar sampai dapat!” kata Suma Hui dengan gemas.

“Kalau begitu, biarlah kita membagi tugas,” kata Suma Ciang Bun. “Enci dan cihu mencari ke Tibet, dan aku akan mencari di sekitar sini. Siapa tahu yang namanya Ang I Lama itu masih bersembunyi di dekat dan di sekitar daerah ini. Sedangkan Hong Beng biar­lah ke Istana Gurun Pasir untuk melapor.”

“Eh? Ada urusan apa ke sana?” Kao Cin Lion bertanya sambil memandang heran mendengar bahwa adik iparnya itu hendak menyuruh muridnya mengun­jungi tempat kediaman orang tuanya yang jarang di­kunjungi orang. Dia sendiri merasa tidak suka kalau ketenangan dan ketenteraman kehidupan ayah ibunya terganggu.

Suma Cang Bun menarik napas panjang. “Sebe­narnya kedatanganku ini untuk melapor kepada cihu tentang perbuatan sumoimu.”

“Sumoiku? Sumoi yang mana?” Cin Liong ber­tanya heran.

“Bukankah cihu mempunyai seorang sumoi? Murid Sam Kwi yang diambil murid oleh ayah ibu­mu.”

“Ah, maksudmu gadis yang bernama Can Bi Lan itu? Mengapa ia? Bukankah ia pantas sekali men­jadi murid ayah ibuku karena sepak terjangnya meng­hadapi persekutuan Sai-cu Lama membuat kagum?”

“Ia telah melakukan penyelewengan sekarang! Bayangkan saja, ia membela dan membantu Bi-kwi yang melakukan kecabulan dan membunuhi banyak pemuda. Padahal, Bi-kwi bekerja sama dengan tosu-tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw untuk menge­royokku sehingga nyaris aku tewas di tangan mereka. Bi Lan itu telah mempergunakan pedang pusaka ibu­mu, Ban-tok-kiam untuk bersekongkol dengan tosu-tosu jahat itu, melakukan kejahatan, dan membela Bi-kwi. Dan dalam hal ini, ia dibantu pula oleh Pen­dekar Suling Naga yang lihai.”

Mendengar ini, Kao Cin Liong mengerutkan alis­nya. “Hemm, berbahaya sekali kalau begitu. Iamembawa po-kiam (pedang pusaka) dari ibuku, kalau dipergunakan secara keliru, akan merusak nama baik keluarga kami.” Suma Hui diam saja tidak berani memberi komentar karena menyangkut nama baik keluarga suaminya.

“Sayang kita harus pergi ke Tibet untuk mencari anak kita, kalau tidak tentu kita dapat mencarinya dan meminta kembali pedang pusaka itu,” kata Suma Hui dengan hati-hati karena ia khawatir kalau sua­minya akan membatalkan niatnya mencari Hong Li untuk mencari Bi Lan berhubung dengan terancam­nya nama baik keluarganya.

“Biarlah seya yang akan pergi menghadap Kao­locianpwe di Istana Gurun Pasir, untuk melaporkan tentang penyelewengan Can Bi Lan dan sekalian mengabarkan tentang diculiknya adik Kao Hong Li oleh Ang I Lama,” kata Hong Beng dengan cepat.

“Ah, kalau begitu baik sekali!” Suma Hui ber­seru girang, memandang kepada suaminya. Cin Liong juga mengangguk dan memandang kepada Hong Beng dengan sinar mata berterima kasih. Tak di­sangkanya bahwa kehidupannya yang selama ini te­nang dan tenteram, dalam satu hari saja berubah menjadi keruh, penuh dengan persoalan yang men­datangkan duka dan kekhawatiran.

Biarpun baru pagi hari itu bertemu, mereka terpaksa harus berpisah lagi pada siang harinya karena mereka harus mulai dengan tugas masing-masing. Kao Cin Liong dan Suma Hui berangkat menuju ke Tibet untuk mencari Ang I Lama dan puteri mereka, sedangkan Suma Ciang Bun pergi mencari jejak pen­deta Lama yang melarikan keponakannya. Hong Beng sendiri juga berangkat menuju ke utara, untuk berkunjung ke Istana Gurun Pasir menghadap Pen­dekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya. Kedu­kaan dan kekhawatiran terbayang di wajah mereka, terutama sekali di wajah Kao Cin Liong dan Suma Hui.

Di dalam hati yang selalu mengejar kesenangan, pasti akan sering kali dikunjungi oleh kesusahan. Tidak mungkin merangkul suka tanpa menyentuh duka, karena suka dan duka adalah sama. Sama-sama menjadi ciptaan pikiran sendiri. Yang mengandung suka atau duka bukanlah si peristiwa, melainkan pi­kiran kita sendiri dalam menanggapi peristiwa yang terjadi. Kalau kita menghadapi segala macam peris­tiwa seperti apa adanya tanpa menghendaki lain, tanpa menjangkau kesenangan atau mengelak kesu­sahan, maka yang ada hanyalah kewajaran yang tidak mendatangkan duka apapun. Seperti orang mengha­dapi panas terik matahari, tanpa mengeluh kita lalu mempergunakan akal budi untuk berteduh, dan se­perti orang menghadapi malam gelap dan dingin, kita pun tidak mengeluh melainkan mempergunakan ke­bijaksana untuk membuat penerangan di dalam gelap dan mempergunakan sarana untuk berlindung dari kedinginan. Tanpa susah atau senang dan kalau sudah begitu, di dalam kegelapan maupun kepanasan malam dan siang kita dapat melihat keindahan di luar penilaian.

***

Kao Hong Li membuka kedua matanya dan ia merasa seperti dalam mimpi. Ia terbangun dan tidak menggerakkan badan terlebih dahulu. Setelah mem­buka kedua matanya, anak yang cerdik ini memutar otaknya,mengingat-ingat. Ia lalu teringat akan per­istiwa aneh yang dialaminya. Mula-mula yang ter­ingat olehnya adalah ketika ia bermain silat pedang di antara kawan-kawannya, di dalam kebun, disam­but pujian para kawannya. Lalu munculnya kakek gundul berjubah merah yang lalu melawannya. Tiba-tiba terdengar ledakan itu, dan nampak asap tebal, dan tubuhnya melayang-layang di antara asap yang membuat ia merasa seperti terbang di angkasa, di an­tara awan-awan. Lalu iapun lemas tak ingat apa-apa lagi. Ia diculik!

Ingatan inimengejutkannya. Ia telah dilarikan oleh kakek aneh itu! Kini Hong Li, masih belum menggerakkan tubuhnya, mulai memperhatikan kea­daan sekelilingnya. Ia rebah terlentang di atas sebu­ah dipan kayu yang keras dan kasar dan dipan itu terletak di sudut ruangan ini. Sebuak kamar dari empat dinding yang berlumut dan kotor, dengan da­un pintu rusak terbuka di sebelah kanan. Tidak kecil juga tidak berdaun di sebelah kanan. Tidak nampak ada orang di situ, hanya ia sendiri saja di atas dipan. Ia telah dilarikan oleh kakek itu ke sini, pi­kirnya. Entah di mana ini. Kakek yang aneh dan sakti itu tidak ada. Inilah kesempatan baik baginya untuk melarikan diri.

Hong Li mulai menggerakkan kaki tangannya. Lega rasa hatinya karena kaki tangannya dapat dige­rakkan dengan mudah dan ketika ia bangkit duduk, kepalanyapun tidak terasa pening. Ia dalam sehat. Dicarinya pedangnya. Tidak nampak di situ. Ia lalu dengan hati-hati turun dari pembaringan itu, perla­han-lahan agar jangan mengeluarkan suara, lalu ber­indap-indap melangkah menuju ke pintu yang daun­nya terbuka lebar karena memang sudah bobrok itu. Agaknya di luar, senja telah mendatang, namun ma­tahari masih meninggalkan sisa cahayanya sehelum dia menghilang sama sekali. Dengan hati-hati Hong Li mengintai ke luar. Tidak ada orang. Dan di luar sana nampak pohon-pohon lebat. Sebuah hutan! Ia berada di dalam sebuah rumah tua, agaknya bekas kuil, di dalam sebuah hutanlebat. Ia harus cepat melarikan diri!

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara orang, suara yang halus dan sudah pernah didengar, suara Ang I Lama yang menculiknya! “Aha, anak baik, engkau sudah bangun?”

Hong Li cepat membalikkan tubuhnya dan ter­nyata kakek itu berada di dalam kamar itu! Pada hal tadi tidak nampak seorangpun di situ. Ah, tentu kakek ini telah mempergunakan ilmu sihirnya pula, pikirnya. Hong Li menjadi marah dan ia meraba-raba pinggangnya, lupa bahwa tadi sia-sia saja ia mencari pedangnya, pedang barunya yang indah.

“Aha, mencari pedangmu? Inilah pedangmu, terimalah!” Dia mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubah merahnya dan menyerahkan kepada Hong Li. Gadis cilik itu cepat menyambar pedangnya, pe­dang barunya, lalu mengambil sikap untuk menye­rang.

“Anak baik, untuk apa engkau mencari pedang­mu?”

“Untuk membunuhmu, kakek jahat!” bentak Hong Li dan iapun menggerakkan pedangnya, me­nyerang dengan marah dan dengan pengerahan selu­ruh tenaganya.

“Ha-ha, pedang itu tidak ada gunanya, sudah kukatakan ini kepadamu. Lihat, kauboleh tusuk pe­rutku ini, aku takkan menangkis atau mengelak.”

Hong Li menerjang maju, menggerakkan pedang­nya untuk menusuk ke arah perut. Ia melihat kakek itu berdiri tegak saja, membiarkan perutnya ditusuk! Ketika ujung pedangnya hampir menyentuh jubah merah, Hong Li menahan tenaganya dan bahkan menghentikan tusukannya. Tidak bisa ia menusuk begitu saja perut orang yang tidak melawan! Tidak mungkin ia melakukan pembunuhan dengan hati di­ngin seperti itu.

“Oho, kenapa tidak kau lanjutkan tusukanmu?” kakek itu tertawa.

“Lawanlah, jangan diam saja!” bentak Hong Li.

Kakek itu terbelalak, memandang heran, lalu tertawa. “Ha-ha, keturunan keluarga Pulau Es dan Gu­run Pasir memang aneh luar biasa. Nah, aku mela­wan sekarang, hendak kutangkap kepalamu dan akan kubuktikan betapa pedangmu itu tidak ada guna­nya!“

Kakek itu kini menggerakkan kedua tangannya, hendak mencengkeram kepala Hong Li dari kanan kiri. Melihat ini, gadis cilik itu menyuruk ke depan, mendahului dengan tusukan pedangnya ke arah perut. Kini ia tidak ragu-ragu lagi menusuk karena bukan­kah musuh menyerangnya dengan hebat pula. Kalau ia tidak mendahului, tentu kepalanya akan remuk oleh kedua tangan yang kuat itu.

“Wuuutt.... krekkk....!”

Kao Hong Li terkejut bukan main. Pedangnya telah menusuk perut, akan tetapi rasanya seperti me­nusuk segumpal baja saja dan pedangnya kini patah-patah menjadi tiga potong! Ia membuang gagangnya dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak, dan melihat betapa kakek itu tersenyum-senyum dan memandang sambil mengejek, ia marah sekali dan dengan nekat kini ia menyerang dengan kedua tangan­nya yang terkepal.

“Heh-heh-heh, engkau setan cilik yang nakal!” Dan kini Hong Li mengalami hal yang membuatnya sema­kin terkejut dan heran. Tubuhnya terhalang sesuatu yang tidak nampak, seolah-olah ada tenaga yang me­nahannya dari depan sehingga gerakannya terhalang dan ia tidak dapat mendekati kakek itu! Betapa kuatnya ia menerjang, selalu ia bertemu dengan te­naga itu dan tubuhnya bahkan terdorong ke belakang. Setelah beberapa kali mencoba dan tidak berhasil, akhirnya Hong Li berdiri diam dan hanya menatap kakek itu dengan sinar mata tajam dan penuh kema­rahan. Ia tahu bahwa kakek itu sakti sekali dan ia tidak berdaya, namun Hong Li tidak merasa takut sedikitpun juga.

“Kakek jahat, engkau pengecut besar!” tiba-tiba ia membentak.

Kakek itu yang sedang tersenyum, tiba-tiba menghentikan senyumnya dan memandang kepadanya de­ngan alis berkerut dan ada kemarahan membayang pada mata yang tajam mencorong itu. “Hemm. setan cilik, kenapa engkau berani memaki aku pengecut besar?”

“Kalau engkau bukan pengecut, tentu engkau tidak akan memusuhi aku, seorang anak kecil! Ka­lau engkau memang gagah dan memiliki kepandaian, tentu engkau akan menantang ayahku atau ibuku, bukan menculik dan melarikan diriku. Beranimu hanya mengganggu anak kecil, akan tetapi terhadap ayah dan ibuku, engkau melarikan diri sampai terkencing-kencing. Huh, pengecut besar tak tahu malu!”

Akan tetapi kini kakek itu tertawa bergelak. “Ha­ha-ha, dan engkau setan cilik amat gagah berani, sungguh mengagumkan sekali. Engkau memang ber­jodoh dengan pinceng, anak baik. Namamu Kao Hong Li, bukan? Heh-heh, dan aku bernama Ang I Lama. Engkau lihat sendiri, kepandaianku setinggi langit dan engkau beruntung sekali dapat ikut bersa­maku!"

“Huh, kepandaianmu tidak ada artinya kalau engkau berani melawan ayah dan ibuku!” Hong Li berseru mengejek, pada hal di dalam hatinya ia meragu apakah ayah dan ibunya akan mampu menandingi kakek yang selain lihai ilmu silatnya, juga lihai ilmu sihirnya ini. Menurut penuturan ibunya, kakek bu­yutnya yang bernama Suma Han berjuluk Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, selain sakti juga memiliki ilmu sihir yang amat hebat. Juga nenek Teng Siang In, isteri dari paman kakeknya yang ber­nama Suma Kian Bu dijuluki Pendekar Siluman Kecil, memiliki juga kekuatan sihir. Sayang ibunya sendiri tidak pernah mempelajari ilmu sihir dan hanya ahli dalam hal ilmu pawang ular yang pernah ia pela­jari sedikit itu.

Karena kakek itu hanya tertawa saja dan tidak menjawab, Hong Li lalu bertanya, suaranya masih terdengar ketus akan tetapi sedikitpun ia tidak memperlihatkan perasaan takut, “Kakek jahat, eng­kau bernama Ang I Lama, seorang pendeta yang mestinya melakukan kebaikan di dunia ini. Akan te­tapi kenapa engkau menculik aku tanpa sebab?”

“Ha-ha, sebabnya karena aku suka kepadamu, Kao Hong Li. Engkau akan menjadi muridku dan menemani hidupku yang sunyi.”

“Hemm, kakek jahat, ke mana engkau hendak membawaku?” Hong Li mulai merasa ngeri, mem­bayangkan bahwa ia selanjutnya harus hidup bersama kakek mengerikan ini.

“Ke mana lagi kalau tidak ke Tibet?”

“Tidak, aku tidak mau!” kata Hong Li. “Biar engkau akan membunuhku sekalipun, aku tidak sudi menjadi muridmu, tidak sudi ikut bersamamu!” Setelah berkata demikian, Hong Li lalu meloncat ke­luar dari ruangan itu melalui pintu yang terbuka. Ia bermaksud melarikan diri dengan nekat.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara kakek itu berkata di depannya, “Hong Li, aku di sini!” Dan tahu-tahu kakek itu telah menghadang di depannya. Hong Li menengok dan dengan mata terbelalak me­lihat bahwa kakek tadi masih berada di dalam ruang­an itu. Bagaimana mungkin kakek itu berubah men­jadi dua orang? Ia lalu memutar tubuh ke kiri un­tuk melarikan diri melalui lorong di depan kamar, akan tetapi kembali terdengar suara kakek itu.

“Hong Li, aku berada di sini!” Dan di depan­nya kembali sudah menghadang kakek itu. Ketika ia menengok, ternyata kakek yang berada di dalam ka­mar maupun yang pertama kali menghadangnya masih berada di tempat masing-masing. Dengan demi­kian, kini ada dua orang kakek yang sama! Ia memutar tubuh lagi dan kembali melihat munculnya seorang kakek lain yang sama sehingga sebentar saja ia sudah dikepung oleh banyak orang kakek yang sama!

Hong Li dapat menduga bahwa ini tentu permainan sihir, maka dengan nekat ia menerjang ke depan. “Ha-ha-ha, anak keras kepala berhati baja. Engkau memang nakal!” Dan tiba-tiba Hong Li merasa banyak tangan menangkapnya sehingga ia tidak mam­pu bergerak lagi. Kemudian, kakek itu mengikat kaki tangannya dengan ikat pinggang, lalu memondong tubuhnya dan melemparkannya pula ke atas dipan yang tadi dan sama sekali tidak mampu berge­rak karena ikatan kaki tangannya itu kuat sekali. Dan kini ia melihat bahwa kakek yang tadinya banyak itu kembali menjadi seorang saja.

Kakek itu berdiri di dekat dipan, menyeringai. “Heh-heh, bagaimana, anak nakal. Apakah engkau sekarang sudah menyerah dan mau ikut bersamaku dengan suka rela?”

“Tidak sudi!” Hong Li membentak, masih ga­lak walaupun kaki tangannya tidak mampu bergerak lagi.

“Engkau memilih mati?”

“Ya! Aku tidak takut mati!” kata Hong Li dengan gagah. Kakek itu memandang kepada Hong Li dengan sinar mata-penuh kagum.

“Bagaimana kalau sebelum mati kusiksa dulu? Engkau berani menghadapi siksaan?”

“Tak perlu cerewet lagi! Mau bunuh, mau siksa, terserah, akan tetapi aku tidak sudi menyerah!”

“Huh, bocah tak tahu disayang! Biar kuberi engkau waktu semalam lagi untuk berpikir panjang. Besok aku datang lagi dan kalau engkau tetap menolak, aku akan menyiksamu sampai engkau merasa menyesal telah dilahirkan di dunia ini!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat kakek itupun lenyap dari situ.

Hong Li rebah seorang diri dan setelah kakek itu pergi, barulah ia merasa ngeri membayangkan betapa ia akan disiksa sampai mati pada besok hari kalau ia tidak mau menyerah. Tidak, ia harus dapat melarikan diri, pikirnya. Ia tidak sudi menyerah, juga tidak ingin mati konyol. Mulailah ia berusaha menggerak­kan kaki tangannya untuk melepaskan ikatan, namun sia-sia saja. Ikatan itu terlalu kuat sehingga kedua kaki tangannya sama sekali tidak mampu berkutik. Ia teringat kepada ayah ibunya dan tak terasa lagi, dua titik air mata membasahi pelupuk matanya. Se­karang, setelah ditinggalkan kakek itu, ia mulai me­rasa ketakutan. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya kalau ia membayangkan siksaan yang tak ­dapat ia perkirakan. Kakek itu terlalu kejam, terlalu jahat. Entah siksaan apa yang akan diterimanya. Ka­lau ia dibunuh seketika, hal itu tidak ditakutinya, akan tetapi kalau ia disiksa perlahan-lahan, sungguh hal ini amat menakutkan. Akan tetapi menyerah men­jadi murid kakek itu? Tidak, ia tidak sudi! Kakek itu terlalu jahat. Dan kalau ia menolak, ia akan di siksa sampai mati. Tidak, ia belum ingin mati, tidak mau mengalami derita siksaan.

Sampai lewat tengah malam, Hong Li diombang­ambingkan oleh perasaan takut dan benci kepada. kakek itu. Menyerah salah, menolak juga salah. Ia bingung sekali dan kalau saja sejak kecil ia tidak di­gembleng sehingga memiliki semangat dan kegagahan, tentu anak yang baru berusia tigabelas tahun ini su­dah menangis atau menjerit-jerit. Akan tetapi tidak, Hong Li hanya diam saja, hanya ada beberapa butir ­air mata membasahi pipinya dan ia menggigit bibir­nya untuk mencegah tangis dan jeritannya.

Tiba-tiba ada gerakan di pintu. Jantung di dalam dada Hong Li berdebar penuh ketegangan. Apakah kakek jahat itu sudah akan memulai dengan siksa­annya pada hal malam belum lewat? Hong Li mera­sa betapa seluruh bulu di tubuhnya meremang saking ngerinya, Akan tetapi, yang muncul bukanlah kakek Ang I Lama yang dibencinya, melainkan seorang wanita cantik! Usia wanita itu sebaya dengan ibunya akan tetapi pakaiannya mewah sekali. Tubuhnya tinggi ramping dan rambutnya digelung ke atas de­ngan dihias permata dan emas yang indah. Pakaian­nya dari sutera tipis berwarna merah muda dan biru. Biarpun usianya tentu ada empatpuluh tahun, namun wanita itu masih nampak muda, dengan sepasang mata yang lebar dan tajam. Begitu memasuki kamar dan melihat Hong Li memandangnya, wanita itu menaruh telunjuk di depan mulutnya sebagai tanda agar Hong Li tidak mengeluarkan suara berisik. Hong Li diam saja, memandang dengan heran, akan tetapi juga dengan penuh harapan. Mudah diduga dari si­kapnya bahwa kedatangan wanita asing ini tentu bermaksud baik terhadap dirinya.

Ketika wanita itu menghampiri pembaringan. Hong Li mencium bau yang harum seperti bunga ma­war dan begitu wanita itu tersenyum kepadanya, ia merasa suka sekali. Seorang wanita cantik dan ramah, dan tentu datang untuk menolongnya, pikirnya.

“Bibi, engkau siapakah?”

“Sstttt....!” Wanita itu mendesis lirih. “Aku datang untuk menolongmu, akan tetapi aku harus dapat mengalahkan dulu Ang I Lama....”

Hong Li memandang terbelalak, kagum. “Dapat­kah engkau mengalahkan dia, bibi?” tanyanya, pe­nuh keraguan mengingat akan kesaktian pendeta La­ma yang menculiknya itu. “Tidakkah labih baik bibi membebaskan aku, lalu kita melarikan diri selagi dia tidak berada di sini?”

Wanita itu menggeleng kepalanya. “Engkau tidak tahu siapa Ang I Lama. Dia akan mengejar dan akhir­nya aku harus berhadapan dengan dia pula. Tidak, aku harus lebih dulu mengalahkan dia, baru aku akan dapat membebaskanmu. Engkau bernama Kao Hong Li, ayahmu Kao Cin Liong putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan ibumu cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, bukan?”

Hong Li mengangguk, tidak merasa heran kalau wanita ini mengenal ayah ibunya, karena ia tahu bah­wa nama ayah dan ibunya terkenal sekali di dunia kang-ouw.

“Aku suka dan kagum kepadamu. Engkau tabah dan berani, engkau keturunan para pendekar dan keluarga yang amat terkenal. Dan aku akan mengha­dapi Ang I Lama dengan taruhan nyawa untuk me­nolongmu. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kalau aku minta engkau ingat akan pertolonganku dan membalas budi, bukan?”

Kembali Hong Li mengangguk. Kalau wanita ini menandingi Ang I Lama dengan mempertaruhkan nyawa untuk menolongnya, tentu saja ia berhutang budi dan nyawa kepadanya. “Aku akan berterima kasih sekali, bibi.”

Wanita itu tersenyum. Manis sekali kalau tersenyum. “Apa gunanya terima kasih untukku? Dengar, Hong Li. Aku akan menandingi Ang I Lama dan kalau berhasil mengalahkannya, aku akan membebaskanmu. Akan tetapi, untuk itu aku minta engkau berjanji bahwa engkau akan mengangkat aku sebagai ibu dan guru.”

“Eh, mengapa sebagai ibu?” Hong Li terheran.

“Aku.... aku merindukan seorang anak dan engkau pantas menjadi anak angkatku, Hong Li. Nah, maukah engkau?”

“Menjadi anak angkat dan murid?”

“Bukan itu saja. Engkau harus berjanji mengangkat aku sebagai ibu dan guru, kemudian juga bahwa selama lima tahun engkau akan hidup bersamaku, mempelajari ilmu dan menemani aku sebagai ibu angkatmu.”

Hong Li merasa bimbang. Permintaan yang aneh-aneh. Akan tetapi wanita ini hendak mempertaruh­kan nyawa menolongnya dan kalau benar dapat mengalahkan Ang I Lama, memang wanita ini patut menjadi gurunya. Juga apa salahnya mengangkat seorang wanita baik yang menyelamatkannya sebagai ibu?

“Hanya itu?” ia bertanya lagi.

“Hanya itu, juga engkau harus berjanji bahwa selamanya, melindungi aku dari gangguan dan se­rangan siapapun juga.”

Tentu saja permintaan terakhir ini tidak berat, bahkan tanpa diminta sekalipun, siapa yang tidak akan melindungi dan membela ibu angkatnya dari serangan orang lain? Kembali ia mengangguk.

“Baiklah, aku berjanji....”

“Hong Li, urusan ini bukan main-main, melainkan persoalan hidup atau mati bagiku, juga menyang­kut kebahagiaan hidupku selanjutnya, karena itu, tidak cukup engkau berjanji. Bersumpahlah!”

Kembali Hong Li terkejut. Selamanya belum pernah ia bersumpah dan permintaan wanita ini agar ia bersumpah mengejutkannya dan membuatnya bim­bang. Akan tetapi hanya untuk sebentar saja. Janji dan sumpahnya untuk sesuatu yang baik, apa salah­nya kalau ia akan diselamatkan dan ditolong oleh wanita ini.

“Baikiah, subo (ibu guru). Saya bersumpah ka­lau subo dapat membebaskan aku dari tangan Ang I Lama, aku akan mengangkatmu sebagai ibu dan juga sebagai guru, dan aku akan membela dan melindungi­mu dari gangguan siapapun juga!”

Wanita itu nampak girang bukan main, mem­bungkuk dan mencium pipi Hong Li dengan bibirnya. “Anakku sayang, muridku yang hebat! Kau tunggu saja, agar jangan mendatangkan curiga, sementara engkau rebah dalam keadaan terikat dulu. Aku akan menghadang Ang I Lama di luar dan aku akan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaianku untuk mengalahkannya.” Setelah berkata demikian, wanita itu meloncat dan lenyap dari dalam kamar itu.

Hong Li termenung. Hatinya diliputi kebim­bangan. Memang, dari gerakannya ketika meloncat atau menghilang tadi, ia dapat mengetahui bahwa wa­nita yang belum diketahui namanya itu memiliki ke­pandaian tinggi. Akan tetapi, mampukah wanita itu mengalahkan Ang I Lama yang demikian saktinya? Apa lagi kalau diingat bahwa Ang I Lama memiliki ilmu sihir, ia bergidik. Andaikata wanita cantik itu memiliki ilmu silat tinggi seperti ibunya dan mampu menandingi Ang I Lama dalam perkelahian, akan tetapi bagaimana kalau kakek Tibet itu memperguna­kan ilmu sihir? Kalau wanita itu sampai kalah dan tertawan, terluka atau bahkan terbunuh, ia akan me­rasa semakin menyesal karena berarti bahwa kemati­an wanita itu adalah karena membelanya!

Waktu terasa merayap lambat sekali bagi Hong Li yang tenggelam dalam ketegangan sejak muncul­nya wanita cantik itu. Ia bahkan terkejut ketika muncul Ang I Lama dari pintu. Kakek itu menje­nguknya lalu tertawa melihat betapa ia masih rebah terlentang dengan kaki tangan terikat.

“Ha-ha-ha, sudah cukupkah engkau merenungkan nasibmu? Nanti kalau, matahari mulai memasukkan sinarnya melalui jendela itu, aku akan datang dan minta keputusanmu, apakah engkau mau menyerah ataukah memilih mati tersiksa. Ha-ha-ha!” Ang I Lama lalu keluar lagi sambil tertawa.

Tiba-tiba perhatian Hong Li tertarik oleh suara yang terdengar dari luar kamar itu. Terdengar suara gedebugan dan gerakan orang berloncatan, disusul bentakan Ang I Lama, “Sin-kiam Mo-li, berani engkau menyerangku?”

Lalu terdengar jawaban yang mendebarkan hati Hong Li karena ia mengenal suara wanita cantik tadi “Ang I Lama, tinggalkan tempat ini dan biarkan aku yang mengurus Kao Hong Li karena ia berjodoh untuk menjadi anak angkatku!”

“Ha-ha-ha, Sin-kiam Mo-li, apakah engkau hendak mengantar kematianmu maka berani mencampuri urusanku? Nah, terimalah kematianmu!” Kembali terdengar suara gedebugan dan Hong Li dengan mata terbelalak dan hati berdebar penuh ketegangan dan kekhawatiran mendengar gerakan orang yang sangat ringan dan cepat. Juga terdengar suara berdesing-desing. Ia menduga bahwa yang bersenjata pedang itu tentulah Sin-kiam Mo-li karena bukankah julukannya itu sudah menunjukkan bahwa wanita itu merupakan seorang ahli pedang. Sin-kiam Mo-li (Iblis Betina Berpedang Sakti), julukan yang mengerikan. Kenapa wanita secantik dan sebaik itu dijuluki Iblis Betina, pikir Hong Li dengan penasaran. Diam-diam ia berdoa agar wanita itu memperoleh kemenangan dalam perkelahian yang terjadi di luar kamar itu.

Tak lama kemudian, di antara suara gerakan orang bersilat itu, terdengar seruan Ang I Lama, “Kiam-sutmu hebat juga. Akan tetapi lihat, apakah ini?” Dan terdengarlah suara ledakan-ledakan yang mengejutkan hati Hong Li karena anak itu maklum bahwa tentu pendeta Lama itu telah mempergunakan ilmu sihirnya. Ia memandang khawatir sekali ke arah pintu dan melihat asap putih mengepul di luar pintu itu. Celaka, pikirnya, mampuskah Sin-kiam Mo-li menghadapi ilmu sihir yang aneh itu?

Akan tetapi, terdengar suara ketawa lembut wa­nita itu. “Hemm, Ang I Lama, permainan sihirmu ini merupakan permainan kanak-kanak bagiku.” Kembali terdengar suara gedebugan, disusul suara Ang I Lama berteriak seperti orang kesakitan.

“Ahhhh. engkau benar lihai....!” Dan suara perkelahian itupun terhenti, tanda bahwa di luar kamar tidak ada lagi orang berkelahi.

Hong Li sampai merasa pedas pada matanya ka­rena sejak tadi ia memandang ke arah pintu dengan mata terbelalak, tak pernah berkedip, dengan hatitegang. Ia tidak tahu bagaimana kesudahan perkela­hian itu, akan tetapi mendengar suara-suara mereka tadi, ia merasa yakin bahwa penolongnya tidak ka­lah walaupun pendeta Tibet itu mempergunakan ilmu sihir. Dugaannya terbukti kebenarannya ketika ia mendengar langkah kaki halus dan muncullah Sin-kiam Mo-li di ambang pintu. Sinar lampu yang tidak begitu cerah menimpa wajah yang nampak cantik itu dan wanita itu tersenyum.

“Subo, kau menang....! Hong Li berseru dan wanita itu semakin girang. Sejak bersumpah, anak ini telah menyebutnya subo! Ia lalu melangkah menghampiri dipan. “Subo, bagaimana engkau bisa melawan ilmu sihirnya?

Wanita itu memperlebar senyumnya. “Sihir me­rupakan permainan kanak-kanak bagiku, Hong Li. Lihat ini!” ia menggerakkan kedua tangannya ke arah tangan dan kaki Hong Li dan.... ikatan pada pergelangan tangan dan kaki anak itupun putus-putus dan Hong Li bebas seketika!

Dengan girang dan kagum sekali Hong Li bangkit dari pembaringan, kemudian, sebagai seorang anak angkat dan murid yang tahu diri, ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki wanita itu. “Subo, terima kasih atas pertolonganmu!”

Sin-kiam Mo-li merangkul Hong Li dan mengangkatnya bangun. Hong Li memandang wanita itu de­ngan wajah berseri. “Ah, subo tentu lihai sekali mempergunakan pedang-pedang itu.” ia menudingkan ke arah sepasang pedang yang berada di punggung Sin-kiam Mo-li. Sebatang pedang pendek dan seba­tang pedang panjang. “Mengingat akan julukan subo, Sin-kiam Mo-li, tentu subo merupakan ahli pedang yang hebat!”

Wanita itu mengangguk-angguk. “Hong Li, eng­kau takkan kecewa menjadi anak angkat dan murid­ku.”

Tiba-tiba teringatlah Hong Li bahwa ia sudah bersumpah mengangkat guru dan ibu kepada wanita ini, dan selama lima tahun ia akan ikut dengan wanita ini, bahkan berjanji akan membela dan melindungi­nya kelak selama hidupnya. Teringatlah ia akan orang tuanya sendiri dan tiba-tiba saja ia menjadi bingung.

Sin-kiam Mo-li memiliki pandang mata yang ta­jam. Ia melihat kebimbangan menyelimuti wajah anak itu, maka iapun bertanya sambil mengerutkan alisnya, “Ada apakah, Hong Li?”

Hong Li adalah seorang anak yang berwatakjujur. Ia memandang wajah gurunya dan berkata, “Su­bo, tiba-tiba saja aku teringat kepada ayah ibuku. Memang benar bahwa aku telah berjanji dan bersum­pah kepadamu, dan aku juga akan memenuhi janjiku, selain mengangkatmu sebagai ibu dan guru, juga ikut bersamamu selama lima tahun dan kelak aku akan membela dan melindungimu. Akan tetapi, subo ha­rus tahu bahwa orang tuaku tentu kehilangan aku dan kini mencari-cariku. Bagaimana kalau subo mem­bawa aku lebih dulu pulang untuk berpamit kepada orang tuaku? Aku pasti akan memenuhi janjiku, aku hanya tidak ingin membuat mereka berkhawatir dan berduka.”

Akan tetapi Sin-kiam Mo-li menggeleng kepala­nya. “Hong Li, permintaanmu ini tentu saja tidak mungkin dapat kupenuhi. Bayangkan saja. Kalau kita bertemu dengan ayah ibumu, apakah engkau kira mereka akan mengijinkan aku pergi membawamu? Dan aku tidak ingin bentrok dengan mereka karena memperebutkan engkau, Hong Li.

Hong Li dapat mengerti akan alasan subonya. “Akan tetapi, bagaimana kalau pada suatu hari ayah ibuku dapat menemukan kita, subo?”

“Mungkin saja, karena mereka orang-orang yang lihai. Dan kalau terjadi hal itu, tentu mereka akan memaksa untuk membawamu pergi, dan aku akan mempertahankan. Kalau sudah begitu, aku hanya mengharapkan kebijaksanaanmu dan kejujuranmu juga kesetiaanmu akan janji dan sumpahmu.”

“Jangan khawatir, subo“ kata anak perempuan itu dengan sikap gagah. “Aku sudah berjanji dan bagiku, janji adalah kehormatan. Seorang gagah lebih mengutamakan kehormatan daripada nyawa. Dan aku yakin bahwa ayah dan ibu juga tidak ingin melihat anak mereka menjadi seorang pengkhianat yang melanggar sumpahnya sendiri!”

“Bagus, anakku yang baik, muridku yang hebat kelak engkau akan amat berguna bagiku. Aku girang sekali telah menolongmu, Hong Li. Mari ikutlah aku, kita pulang.”

“Pulang?”

“Ya, pulang.” Sin-kiam Mo-li tersenyum. “Kau kira aku tidak mempunyai tempat tinggal? Marilah, dan engkau akan merasa senang sekali tinggal di rumahku, eh, sekarang menjadi rumah kita.”

Akan tetapi, ternyata bahwa mereka harus melakukan perjalanan sampai puluhan hari untuk dapat tiba di tempat tinggal Sin-kiam Mo-li, karena tempat itu berada di tepi Sungai Cin-sa di kaki Pegunungan Heng-tuan, di tapal batas sebelah barat dari Propinsi Secuan!

***

Dengan melakukan perjalanan yang cepat dan jarang berhenti, Kao Cin Liong dan Suma Hui akhir­nya tiba juga di Lhasa, di kota terbesar daerah Tibet itu, tempat yang menjadi pusat dari pemerintahan para Dalai Lama, dan juga menjadi pusat para pende­ta Lama. Tempat ini dianggap keramat oleh para pendeta Lama dan oleh seluruh rakyat di Tibet.

Kao Cin Liong adalah seorang yang sudah banyak pengalaman. Ketika dia menjadi seorang panglima kerajaan, dia pernah memimpin pasukan sampai di Tibet, dan sebagai seorang panglima, dia amat dikenal di jaman itu. Maka, kini dia memasuki daerah Tibet tanpa merasa asing. Isterinya, Suma Hui yang belum pernah melihat kota Lhasa, memandang penuh kagum dan diam-diam merasa khawatir. Tembok kota Lha­sa demikian kokoh kuat, dan istana yang menjadi pu­sat para pendeta Lama itu demikian megah, besar dan indah. Kalau puterinya berada di dalam istana itu, bagaimana ia akan mampu mengeluarkannya? Akan tetapi. ketenangan suaminya menimbulkan kembali kepercayaan diri dan keyakinannya bahwa mereka berdua pasti akan dapat menemukan dan membawa pulang puteri mereka tercinta, anak tung­gal mereka.

Para pendeta Lama yang menjadi pimpinan di si­tu, banyak di antaranya yang mengenal bekas Panglima Kao Cin Liong dan merekapun menyambut kun­jungan suami isteri itu dengan hormat dan ramah. ­Suami isteri pendekar itu tidak mau menceritakan kehilangan anak mereka, dan mereka hanya mengata­kan bahwa mereka mempunyai urusan pribadi yang penting dengan seorang pendeta Lama berjuluk Ang I Lama.

“Mohon petunjuk para suhu apakah di sini terdapat seorang suhu yang berjuluk Ang I Lama, karena kami berdua sengaja datang dari jauh untuk mencari­nya, untuk suatu urusan pribadi yang penting antara suhu Ang I Lama dan kami,” demikian antara lain Kao Cin Liong menyatakan keperluan kunjungan mereka di tempat suci itu.

“Omitohud.... aneh sekali kalau ada tamu mencari Ang I Lama untuk urusan pribadi, karena setahu kami, sudah hampir dua tahun Ang I Lama mengasingkan diri dan tidak pernah berurusan de­ugan dunia luar. Akan tetapi kalau taihiap ingin mengetahui tempat tinggalnya, Ang I Lama kini berada di dalam guha di puncak Bukit Biruang Putih, tidak jauh dari sini.”

Suma Hui tidak dapat menahan keinginan tahu­nya. Setelah suaminya mengucapkan terima kasih atas keterangan itu, iapun bertanya, “Cu-wi losuhu, kalau tidak salah, suhu Sai-cu Lama juga berasal dari

sini, bukan?”

Mendengar pertanyaan ini, para pendeta Lama saling pandang dan muka mereka menjadi kemerahan. ”Omitohud....!” Seorang di antara mereka menjura ke arah Suma Hui. “Semoga Sang Buddha mengampuni kami. Memang benar, lihiap, Sai-cu Lama berasal dari sini. Akan tetapi dia murtad dan untung ada Tiong Khi Hwesio yang menolong kami dan menundukkannya. Sahabat kami Tiong Khi Hwesio sudah mengunjungi kami beberapa hari yang lalu dan sudah menceritakan bahwa dia berhasil melenyapkan Sai-cu Lama berkat bantuan para pendekar dan di antara mereka yang membantu untuk membas­mi komplotannya termasuk ji-wi. Karena itu, dalam kesempatan ini, pinceng mewakili saudara kami sekalian menghaturkan terima kasih kepada ji-wi.”

Kao Cin Liong dan isterinya cepat membalas penghormatan itu, dan bekas panglima itu merasa tidak enak melihat sikap para pendeta Lama yang menjadi kikuk ketika disebut nama Sai-cu Lama yang dianggap mengotorkan nama para pendeta Lama di Tibet.

“Harap cuwi losuhu memaafkan kami. Isteriku menyebut nama Sai-cu Lama karena kami menduga bahwa ada hubungan antara Sai-cu Lama dan Ang I Lama.” Dengan ucapan ini, Cin Liong sengaja memancing keterangan tentang kedua orang pendeta Lama itu.

“Omitohud.... dugaan ji-wi memang tepat sekali, Ang I Lama adalah sute dari mendiang Sai-cu Lama, akan tetapi biarpun mereka itu saudara seperguruan, sungguh perbedaan antara mereka seperti bumi dengan langit. Sai-cu Lama menyeleweng dari pada kebenaran dan tersesat mengingkari ajaran-ajaran agama, sebaliknya Ang I Lama adalah seorang yang benar-benar taat kepada agama, bahkan selalu prihatin dan bertapa untuk mencari penerangan dan kedamaian.”

Akan tetapi, keterangan bahwa ada hubungan saudara seperguruan antara kedua pendeta Lama itu, menambah keyakinan hati suami isteri itu bahwa mereka telah menemukan jejak yang benar. Tentu Ang I Lama menculik puteri mereka karena hendak mem­balas dendam atas kematian suhengnya, Sai-cu Lama pikir mereka. Mereka tahu bahwa dendam dapat saja membutakan mata batin manusia, dan bukan tidak mungkin kalau Ang I Lama yang katanya tekun bertapa itu tidak dapat menahan dendam sakit hati­nya.

Setelah memperoleh keterangan dan petunjuk tentang tempat tinggal atau tempat bertapa Ang I Lama, suami isteri pendekar itu lalu menghaturkan terima kasih dan meninggalkan istana para pendeta Lama di kota Lhasa itu, dan dengan cepat mereka mendaki bukit yang bernama Bukit Biruang Putih karena dari jauh memang bentuknya seperti seekor biruang. Di musim dingin, puncak itu diliputi salju sehingga nampak seperti seekor biruang putih, dan di musim panas, masih nampak putih karena puncaknya adalah batu kapur yang gundul.

Hari telah siang ketika suami isteri itu akhirnya tiba di depan guha besar, sebuah guha di puncak bu­kit kapur dan guha itu sudah memakai pintu kayu buatan manusia. Sunyi sekali di situ dan pemandang­an alam dari depan guha memang amat indahnya. Dari situ nampak kota Lhasa, bahkan istana para pendeta Lama juga nampak dari situ, kelihatan seperti mainan saja, namun amat indahnya. Suma Hui ber­keringat karena ketegangan hatinya. Ia membayangkan akan dapat menemukan puterinya di dalam gua itu, maka hatinya tegang bukan main. Masih selamat­kah puterinya? Dan akan mampukah ia dan suaminya merampas kembali puteri mereka kembali?

Menurutkan dorongan hatinya, ingin Suma Hui menerjang dan menghancurkan pintu guha itu, namun suaminya yang maklum akan keadaan hati isterinya, menggeleng kepalanya memberi isyarat, lalu dia sen­diri mendekati pintu kayu yang tertutup dan berkata dengan suara menghormat tidak keras akan tetapi karena dia mengerahkan khi-kangnya, maka suara itu dapat menembus daun pintu ke dalam guha.

“Locianpwe Ang I Lama, maafkan kalau kami datangmengganggu . Kami suami isteri Kao Cin Liong dan Suma Hui dari jauh di timur datang ber­kunjung untuk bertemu dan bicara dengan locian­pwe!”

Keheningan menjawab suara Kao Cin Liong. Suami isteri itu menanti sampai beberapa lama, namun tidak ada jawaban. Mereka saling pandang dan ke­marahan nampak di wajah Suma Hui. Wanita ini melangkah mendekati pintu dan tanpa dapat dicegah suaminya lagi, ia menggedor pintu itu.

“Dor-dor-dorrr....!” Daun pintu itu tergun­cang, lalu ia berteriak, suaranya nyaring sekali. “Ang I Lama, engkau telah menculik puteri kami! Keluarlah dan kembalikan puteri kami kepada kami atau aku akan menghancurkan daun pintu guha ini!”

Kini segera terdengar suara dari balik pintu itu, Omitohud.... apakah dosa pinceng maka hari ini kejatuhan fitnah yang keji ini....?”

Daun pintu terbuka dari dalam dan muncullah seorang kakek yang berpakaian serba kuning dengan jubah lebar berwarna merah. Kakek ini usianya seki­tar enampuluh tahun, bertubuh tinggi kurus, dengan sepasang mata yang tajam namun lembut sinarnya, dan wajahnya yang nampak sabar dan tenang. Dengan langkah lambat dia keluar pintu guha dan menghadapi suami isteri itu dengan sinar mata mengan­dung keheranan. Sejenak matanya memandang kepada suami isteri itu penuh selidik, kemudian dia berkata lagi.

“Omitohud, tadi pinceng mendengar bahwa ji-wi adalah Panglima Kao Cin Liong dan isterinya Suma Hui. Benarkah itu?”

“Saya bukan panglima lagi, locianpwe. Benar saya adalah Kao Cin Liong dan ini isteriku Suma Hui. Kami datang dari Pao-teng, sengaja untuk mencari dan menemui locianpwe.

“Omitohud.... sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagi pinceng. Sayang pinceng tidak dapat menyambut dengan kehormatan, akan tetapi, ada urusan penting apakah maka ji-wi jauh-jauh datang mencari pinceng?”

Suma Hui sudah tidak sabar lagi. Tadi ketika kakek itu muncul, ia mengharapkan kakek itu akan disertai Hong Li. Akan tetapi anak itu tidak nampak, maka ia merasa khawatir sekali.

“Bukankah engkau yang berjuluk Ang I Lama?” tiba-tiba ia bertanya dengan sikap ketus.

Sikapnya ini membuat kakek itu memandang heran, akan tetapi dengan lembut dia mengangguk. “Benar sekali.”

“Kalau begitu, jangan berpura-pura lagi dan cepat bawa keluar anak kami Kao Hong Li dan serahkan kembali kepada kami!”

Kini kakek itu memandang kepada mereka berdua dengan sinar mata penuh keheranan, dan melihat betapa mereka berdua juga memandang kepadanya penuh selidik.

“Omitohud, jadi yang pinceng dengar tadi bukan hanya mimpi? Semula pinceng mendengar bahwa ji-wi datang untuk bicara dan karena sudah bertahun-tahun pinceng bertapa, pinceng terpaksa tidak mela­yani. Lalu terdengar fitnah keji itu yang memaksa pinceng keluar. Apakah artinya ini? Pinceng sama sekali tidak pernah menculik puteri ji-wi atau puteri siapapun juga. Bahkan selama dua tahun ini baru se­karanglah pinceng keluar dari dalam guha ini.”

Suami isteri itu saling pandang dengan alis berkerut. Sungguh tidak mereka sangka mereka akan mendengar jawaban seperti ini. Sama sekali tidak menyenangkan! Kalau benar bukan pendeta Lama ini yang menculik Hong Li, berarti mereka telah melakukan perjalanan jauh dengan sia-sia. Bukan itu saja, juga harapan mereka untuk dapat menemukan kembali anak mereka di situ menjadi buyar, dan di samping itu mereka akan meraba-raba di dalam kegelapan karena tidak tahu siapa penculik itu dan di mana adanya puteri mereka.

“Ang I Lama, tak perlu engkau membohongi kami! Mana mungkin ada orang tinggal di dalam guha selama bertahun-tahun, tanpa makan dan minum. Kalauengkau tidak pernah keluar, berarti engkau tidak pernah makan minum dan hal itu saja membuk­tikan kebohonganmu!” teriak Suma Hui tak sabar, ngeri membayangkan bahwa benar-benar pendeta ini bukan penculik Hong Li.

“Omitohud, selama hidup pinceng tidak pernah berbohong. Lihat, lihiap, setiap dua tiga hari sekali ada murid Lama yang datang mengantar makanan dan minuman, ditaruhnya di luar daun pintu. Itu kiriman pagi tadi belum kuambil. Biasanya, pinceng hanya mengeluarkan tangan untuk mengambil makanan atau minuman sekedar untuk menghidupkan badan ini.” Pendeta Lama itu menuding ke dekat pintu, dan benar saja. Di situ nampak sebuah baki terisi beberapa potong roti, madu dan air dalam botol.

Kao Cin Liong menjura. “Maaf, locianpwe, ha­rap diketahui bahwa kami berdua berada dalam kea­daan penuh kekhawatiran dan kedukaan. Anak tunggal kami diculik orang yang menurut anak-anak yang menyaksikannya, penculik itu adalah seorang pendeta berjubah merah yang mengaku bernama Ang I Lama, dan menurut keterangan mereka, bentuk muka dan tubuhnya cocok dengan keadaan locianpwe. Penculik itu berilmu tinggi dan mempergunakan ilmu sihir ketika melarikan anak kami. Mendengar nama itu kami jauh-jauh dari Pao-teng, melakukan perjalanan berbulan-bulan, menyusul ke sini. Setelah bertemu dengan locianpwe dengan penuh harapan akan bertemu dengan anak kami, tentu saja jawaban locianpwe itu mengecewakan sekali dan kami tidak dapat percaya begitu saja.”

Kakek pendeta itu mengangguk-angguk. “Pinceng dapat mengerti dan dapat merasakan kecemasan ji-wi. Dari rumah yang amat jauh ji-wi membawa harapan untuk dapat menemukan kembali puteri ji-wi di sini, tentu saja ji-wi tidak mau menerima begitu saja kenyataan yang akan meghancurkan harapan ji-wi. Nah, pinceng persilahkan ji-wi untuk menggeledah ke dalam guha ini dan mencari puteri atau jejak puteri ji-wi.

“Biar aku yang memeriksa ke dalam dan kau menjaga di sini!” kata Suma Hui mendahului suaminya. Cin Liong tahu bahwa isterinya masih belum percaya kepada Ang I Lama dan takut kalau-kalau pendeta itu melarikan diri, maka diapun mengangguk.

Dengan hati penuh ketegangan, juga harapan, Suma Hui lalu memasuki guha itu. Sebuah guha yang cukup lebar dan di dalamnya bersih sekali, mendapat­kan cukup hawa, bukan hanya dari pintu yang kini terbuka, juga dari lubang-lubang di bagian atas yang memasukkan hawa dan cahaya matahari. Lantainya dari batu yang halus dan bersih, dan di dalamnya hanya terdapat sebuah dipan kayu bertilam kasur tipis, kitab-kitab agama, tasbeh dan alat-alat sembahyang. Suma Hui meneliti guha itu penuh perhatian, bahkan memeriksa keadaan lantai dengan teliti sekali, mencari jejak puterinya, juga mencari kalau-kalau di situ terdapat alat-alat rahasia dan tempat tersembunyi. Namun, ia tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, juga tidak menemukan jejak atau tanda-tanda bahwa puterinya pernah berada di tempat itu. Saking kecewa dan bingungnya, kedua mata Suma Hui basah air mata ketika ia keluar dari dalam guha itu. Bagaikan seekor harimau betina kehilangan anaknya, ia meng­hadapi Ang I Lama dengan sikap marah dan ia membentak.

“Ang I Lama, aku tidak menemukan anakku di dalam guha. Tentu engkau telah menyembunyikan di tempat lain. Hayo kau mengaku dan kembalikan anakku, kalau tidak aku akan memaksamu agar meng­aku!“

“Omitohud.... pinceng tidak pernah mencu­lik puteri ji-wi dan pinceng tidak berbohong. Lihiap sudah menggeledah guha pinceng. Lalu apa lagi yang harus pinceng lakukan untuk meyakinkan hati ji-wi bahwa pinceng tidak pernah menculik puteri ji-wi?”

“Semua saksi mengatakan bahwa engkaulah penculiknya!” Suma Hui membentak marah. Ia mengharapkan sekali bahwa kakek inilah penculiknya, ka­rena kalau bukan kakek ini, lalu siapa dan ke mana ia harus mencari anaknya? Perjalanan dari rumahnya ke Tibet merupakan perjalanan yang amat jauh dan sukar, dan ia tidak mau melihat perjalanannya ini sia-sia belaka.

“Omitohud...., sungguh luar biasa sekali. Semua saksi mengatakan bahwa pinceng yang melakukan penculikan itu. Akan tetapi pinceng tidak melaku­kannya. Mengapa pinceng harus melakukan perbuatan jahat itu? Pinceng tidak pernah bermusuhan dengan siapapun, apa lagi dengan ji-wi,” kata kakek itu sambil menarik napas panjang.

“Maafkan kami, locianpwe,” kata Cin Liong de­ngan sikap yang masih hormat. “Bukankah locianpwe masih saudara seperguruan dari mendiang Sai-cu La­ma?”

“Mendiang....?” Wajah pendeta itu nampak terheran.

“Dia telah tewas ketika berkomplot dengan pengkhianat dan mengacau di kota raja, dan kami membantu para pendekar yang menghancurkan komplotannya. Nah, hal ini agaknya merupakan alasan yang cukup kuat andaikata locianpwe melakukan balas­dendam dengan menculik anak kami.”

“Omitohud....! Tentang kematian suheng Sai-cu Lama pun baru sekarang pinceng dengar, bagaimana pinceng dapat mendendam? Sungguh me­nyedihkan bahwa dia meninggal dunia dalam keada­an penuh dosa. Biarpun pinceng benar sutenya, namun di antara kami tidak pernah ada hubungan, lahir ataupun batin. Andaikata pinceng sudah tahu akan kematiannya sekalipun, pinceng tidak akan mendendam kepada siapapun juga. Hanya Thian yang me­nentukan kematian seseorang. Ji-wi atau siapapun juga tidak mungkin dapat membunuh seseorang tanpa kehendak Thian, Hanya Thian yang membunuh atau menghidupkan seseorang.”

“Tak perlu banyak alasan kosong! Siapa tidak tahu bahwa diantara para Lama jubah marah terdapat banyak yang menyeleweng? Jubah pendetamu, kepala gundulmu, dan pertapaanmu hanya untuk ke­dok saja, menutupi semua keburukan yang dapat kau lakukan. Ang I Lama, para saksi itu adalah sekumpulan anak yang masih bersih dan jujur. Mereka tidak mungkin membohong. Mereka melihat sendiri betapa penculik itu adalah seorang pendeta yang berjubah merah, dan pendeta itu mengaku bernama Ang I Lama! Engkau hendak menyangkal, terpaksa aku menggunakan kekerasan!” Berkata demikian, Suma Hui yang sudah menjadi marah sekali karena cemas tidak berhasil menemukan jejak puterinya, segera menggerakkan tubuhnya, menyerang dengan hebatnya.

Serangan wanita ini amat hebat dan dahsyat karena ia sedang marah dan ia merasa yakin bahwa kakek yang diserangnya inilah penculik puterinya, maka be­gitu menyerang ia sudah menggunakan sebuah jurus dari Cui beng Pat-ciang (Delapan Pukulan Pengejar Roh). Melihat datangnya serangan dahsyat ini, terde­ngar Ang I Lama mengeluh dan kakek inipun cepat meloncat ke belakang. Tubuh kakek ini demikian ringannya seolah-olah dia dapat terbang saja dan ketika pukulan itu datang dengan hawa pukulan yang amat kuat, tubuhnya terdorong ke belakang seperti sehelai kapas yang dipukul saja!

Melihat pukulan pertamanya tidak mengenai sa­saran, Suma Hui sudah menerjang lagi, melanjutkan­nya dengan serangan-serangan yang dahsyat, kini mempergunakan tenaga Hui-yang Sin-kang yang me­ngeluarkan hawa panas. Kakek itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mengatur langkah-langkah ajaib untuk menghindarkan semua pukulan dan ketika se­rangkaian pukulan itu lewat tanpa mengenai tubuhnya, diapun berseru dengan nada sedih.

“Omitohud.... apakah ilmu-ilmu dari kelu­arga Pulau Es hanya untuk membunuh orang yang tidak bersalah?”

Mendengar keluhan ini, Suma Hui merasa disindir, akan tetapi ia menjadi semakin marah dan penasaran.

“Singgg....! Nampak sinar berkelebat, sinar yang menyilaukan mata dari sepasang pedang yang sudah dicabut oleh wanita perkasa itu. “Ang I Lama, untuk menemukan kembali puteriku, aku berani menghadapi siapa saja dan membunuh siapa sa­ja!” bentaknya dan iapun kini menyerang dengan sepasang pedangnya!

Ang I Lama meloncat ke belakang dengan gerakan seperti seekor kera dan diapun mengeluh, “Omitohud.... lihiap terlalu mendesak! Kegelisahan dan kedukaan telah membuat lihiap menjadi mata gelap.”

Suma Hui tidak perduli dan mendesak terus dengan pedang-pedangnya. Kakek itu bersilat dengan gerakan-gerakan lucu, seperti seekor kera, akan tetapi dia berhasil berloncatan menyelinap di antara gulungan kedua sinar pedang. Memang Ang I Lama adalah seorang ahli silat Sin-kauw-kun (Silat Kera Sakti) yang amat lihai. Diapun memiliki sepa­sang pedang dan menjadi ahli bermain siang-kiam, akan tetapi menghadapi amukan Suma Hui, jelas bahwa dia selalu mengalah, dan tidak mau memper­gunakan sepasang pedangnya walaupun serangan-serangan wanita sakti itu amat berbahaya bagi keselamatan dirinya.

Menghadapi desakan sepasang pedang yang demi­kian lihainya seperti sepasang pedang di tangan Suma Hui yang memainkan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis), satu di antara il­mu-ilmu keluarga Pulau Es yang amat hebat, mana mungkin hanya mengelak saja? Untuk menyelamat­kan dirinya, terpaksa Ang I Lama harus membalas serangan lawan untuk membendung gelombang serangan Suma Hui. Akan tetapi dia membalas bukan dengan maksud mencelakai lawan, melainkan sekedar menahan desakan lawan, dengan cengkeraman-cengke­raman keras untuk merampas pedang dan totokan-totokan untuk melumpuhkan tubuh lawan.

Ketika sepasang pedang Suma Hui mendesak he­bat, tiba-tiba dengan gerakan aneh, tubuh kakek pen­deta itu menyelinap dan berada di belakang tubuh wanita itu, tangan kanannya menyambar ke arah teng­kuk untuk melakukan totokan. Akan tetapi, Suma Hui membalik dan pedangnya menyambar, membabat ke arah lengan yang diulur ke arah tengkuknya tadi. Sinar pedang berkelebat dan Ang I Lama tidak sem­pat lagi untuk mengelak dan walaupun dia sudah me­narik kembali lengannya, tetap saja pedang itu me­nyambar ke arah lengannya dan.... “crokkk....!” setengah dari lengan itu terbabat buntung!

“Hui-moi, jangan....!” Kao Cin Liong berseru kaget dan meloncat ke depan, memegang lengan iste­rinya dan menariknya lembut agar isterinya menahan dirinya.

“Omitohud, sungguh berbahaya....!” kata kakek itu dan diapun memandang lengan kanannya yang ternyata masih utuh, akan tetapi lengan bajunya yang buntung setengahnya. Kiranya kakek ini, da­lam saat terakhir ketika pedang membabat, masih sempat menarik lengannya di dalam lengan baju se­hingga yang terbabat buntung hanya lengan bajunya saja!

Melihat kenyataan itu, diam-diam Cin Liong terkejut dan girang. Girang karena ternyata isterinya tidak jadi membikin cacat pendeta yang belum tentu berdosa ini, dan terkejut karena maklum bahwa ka­kek ini sungguh sakti, sudah dapat membuat lengan­nya mulur dan mengkeret. Ilmu seperti itu dapat membuat lengan mulur sampai dua kali panjang le­ngan itu, dan dapat membuat lengan itu memendek sampai setengahnya, seperti yang dilakukan kakek ta­di untuk menyelamatkan lengannya dari babatan pe­dang.

Sudahlah, Hui-moi. Agaknya memang locianpwe ini tidak bersalah karena sejak tadi dia mengalah terus menghadapi serangan-seranganmu. Kalau bukan dia yang melakukan, berarti ada orang lain yang mem­pergunakan namanya. Aku yakin bahwa locianpwe Ang I Lama tidak akan tinggal diam saja namanya dipergunakan orang lain untuk melakukan kejahatan terhadap kita sehingga mendatangkan fitnah pada­nya.

Suma Hui juga mengerti bahwa agaknya memang bukan kakek ini yang menculik puterinya. Kalau me­mang kakek ini memiliki dendam terhadap ia dan su­aminya, tentu kakek ini akan melakukan perlawanan, mengingat bahwa tingkat kepandaian kakek ini mung­kin lebih tinggi dari tingkatnya. Akan tetapi kakek ini selalu mengalah, tidak balas menyerang dan selalu bersikap lembut. Hal ini membuat hatinya menjadi semakin gelisah dan berduka. Tak terasa lagi, dua matanya menjadi basah dan air mata jatuh menuruni kedua pipinya yang agak pucat. Wanita ini menderita kesengsaraan batin semenjak puterinya, yang meru­pakan anak tunggal itu, lenyap diculik orang.

“Habis, ke mana kita harus mencari anak kita....?” Suaranya terdengar demikian memelas, menggetar dan lirih, kedua matanya yang merah dan basah itu ditujukan kepada suaminya dengan pandang mata yang penuh duka sehingga suaminya merasa ter­haru dan kasihan sekali. Dia sendiri tidak tahu harus mencari ke mana, maka pertanyaan penuh kegelisah­an itupun tidak dapat dijawabnya.

“Omitohud.... kenapa ada orang tega me­misahkan ibu dari anaknya? Sungguh merupakan per­buatan yang amat kejam. Pinceng dapat mengerti akan kedukaan dan kebingungan hati ji-wi. Karena pinceng juga ingin sekali membantu, maka dapakah ji-wi memberitahukan, siapa kiranya musuh-musuh ji-wi yang paling besar?”

Kao Cin Liong menggeleng kepala. “Kami me­rasa tidak mempunyai musuh-musuh, locianpwe, akan tetapi tentu saja ada orang-orang yang membenci ka­mi di luar pengetahuan kami. Semenjak saya meng­undurkan diri dari jabatan saya sebagai panglima, kami hidup sebagai pedagang dan tidak mencampuri urusan kang-ouw. Kecuali ketika kami membantu para pendekar untuk menghancurkan komplotan Sai-cu Lama yang mengacau di kota raja.”

“Nah, itulah, komplotan itulah. Siapakah di an­tara mereka selain mendiang suheng Sai-cu Lama? Siapakah yang menjadi kelompak pimpinan mereka?” Pendeta itu bertanya dan memandang dengan alis berkerut, penuh perhatian.

“Ada banyak di antara mereka, akan tetapi yang menjadi pimpinan terpenting hanya beberapa orang,” jawab Kao Cin Liong sambil mengingat-ingat. “Me­reka adalah Raja Iblis Hitam, Iblis Akhirat, Iblis Mayat Hidup....”

“Sam Kwi (Tiga Iblis)?” tanya Ang I Lama.

“Benar, locianpwe. Sam Kwi bersama murid me­reka yang berjuluk Bi-kwi. Kemudian ada lagi Kim Hwa Nio-nio dan muridnya yang bernama Bhok Gun. Itulah mereka yang menjadi komplotan dan pembantu Sai-cu Lama.”

Ang I Lama mengangguk-angguk, sepasang alis­nya berkerut dan tangan kirinya meraba-raba dagu­nya. “Apakah mereka semua tewas dalam pertempur­an itu?”

“Semua tewas, kecuali Bi kwi, murid Sam Kwi.”

“Hemmm, apakah tidak mungkin ia yang melaku­kan penculikan itu?”

Cin Liong menggeleng kepala. “Kiranya tidak mungkin. Kalau ia mendendam, tentu tidak dituju­kan kepada kami, karena kami hanya membantu saja para pendekar yang menghancurkan komplotan itu. Pula, tidak mungkin ia dapat menyamar sebagai locianpwe, karena ketika melakukan penculikan, menurut saksi, yaitu anak-anak yang menyaksikan, penculik itu menggunakan ilmu sihir dan lenyap diantara gumpalan asap tebal.”

“Sihir? Hemmm.... Kakek itu lalu duduk bersila dan seperti orang bersamadhi, akan tetapi kulit di antara kedua alisnya berkerut, tanda bahwa dia tenggelam di dalam pemikiran yang mendalam.

Karena merasa tidak perlu lebih lama berada di tempat itu, Cin Liong lalu menggandeng tangan isterinya yang nampak sedih itu, meninggalkan tempat itu, menuruni bukit perlahan-lahan. Dia harus pulang dulu, baru dari rumah nanti mencari jejak puteri mereka. Juga, dia mengharapkan hasil penyelidikan Suma Ciang Bun, selain itu juga ingin mendengar bagaimana dengan pendapat orang tuanya di Istana Gurun Pasir yang dilapori oleh Gu Hong Beng, murid Suma Ciang Bun.

***

Rumah itu tidak besar, merupakan rumah dengan dua buah kamar besar dan tiga kamar dibagian belakang yang menjadi tempat tinggal para pelayan, dua buah ruangan dan sebuah gudang. Kecil akan tetapi nampak indah sekali karena bangunannya dibuat secara artistik, gentengnya merah dan tembok rumah itu sendiri di cat hijau, hampir tersembunyi di antara daun-dan pohon yang besar. Pohon-pohon yang tumbuh disekeliling rumah itupun bukan pohon liar, melainkan diatur tumbuhnya,dan terdiri dari pohon-pohon yang asing dan jarang terdapat di daerah pegunungan Heng-tuan-san itu.

Rumah itu berdiri di lereng paling bawah, masih merupakan kaki pegunungan kaki pegunungan Heng-tuan–san. Tanah disekeliling rumah itu subur sekali karena sungai Cin-sa mengalir di bagian belakang rumah itu, hanya beberapa ratus meter saja jauhnya. Karena daerah itu merupakan daerah tapal batas Propinsi Secuan, dan jauh dari jalan raya, maka keadaannya amat sunyi. Sunyi dan indah. Dusun terdekat berada sejauh belasan li dari situ.

Itulah tempat tinggal anita cantik yang berjuluk Sin-kiam Mo-li. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Sin-kiam Mo-li, wanita cantik yang bersikaphalus menarik itu, kini telah menjadi guru Kao Hong Li. Seperti kita ketahui, Sin-kiam Mo-li telh berhasil merampas Kao Hong Li dari tangan penculiknya yang mengaku bernama Ang I Lama, kemudian Hong Li berjanji untuk berguru dan mengaku ibu kepada Sin-kiam Mo-li, ikut bersama wanita itu selama lima tahun. Bahkan Hong Li telah disuruh bersumpah!

Ketika ia pertama kali tiba di tempat tinggal gurunya yang juga menjadi ibu angkatnya, Hong Li merasa gembira sekali, melihat betapa tempat itu amatlah indahnya. Rumah itu kecil mungil dan dari jauh, ketika mereka tiba di bawah kaki gunung, rumah itu nampak jelas, seperti rumah boneka yang berwarna-warni, dikelilingi pohon-pohon besar yang indah pula, juga diantara pohon-pohon itu terdapat banyak sekali tanaman bunga yang beraneka ragam dan warna. Akan tetapi, ketika mereka mulai mendaki bukit, rumah indah itu lenyap tertutup pohon-pohon yang amat banyak dan mereka mendaki melalui lorong-lorong yang amat sulit dikenal kembali karena bentuknya yang aneh-aneh dan banyak pula yang sama. Lorong-lorong di antara pohon-pohon besar itu juga sering­kali membelok, bahkan tikungannya ada pula yang seperti berbalik ke arah yang berlawanan. Di sana-sini lorong itu putus dan di depannya hanya nampak jurang lebar menganga, ada pula yang tiba-tiba saja di depan jalan terdapat kolam pasir yang bentuknya aneh, sama sekali tidak ditumbuhi tanaman. Ada pula lapangan rumpur yang hijau dan nampak segar, akan tetapi gurunya memperingatkan agar ia jangan menginjak lapangan rumput itu. Tadinya Hong Li mengira bahwa gurunya melarangnya agar jangan merusak rumput hijau segar itu, akan tetapi kemudian gurunya memberi tahu bahwa menginjak tempat itu sama saja dengan bunuh diri! Banyak tempat, tempat yang tidak boleh diinjak, bahkan ada pula tanaman-tanaman yang memiliki bunga-bunga indah akan tetapi gurunya me­larang ia menyentuh bunga dan daun tanaman itu. Tangannya akan melepuh keracunan, kata gurunya.

Sungguh tempat yang indah akan tetapi aneh dan menyeramkan. Akan tetapi setelah mereka tiba di rumah mungil itu, hati Hong Li tertarik dan ia senang sekali menerima sambutan tiga orang pelayan yang usianya rata-rata tigapuluh tahun, pelayan-pelayan wanita yang rata-rata berwajah cantik dan berpakaian bersih rapi.

“Ini adalah anak angkat, juga muridku,” kata Sin-kiam Mo-li kepada mereka, memperkenalkan Hong Li.

“Aih, siocia, engkau manis sekali!” kata yang berbaju merah.

“Siocia, yang baik, kami akan melayanimu dengan penuh kasih sayang!” kata yang berbaju hitam,

“Siocia, siapakah namamu?” tanya yang berbaju putih.

Hong Li memandang mereka seorang demi seo­rang dengan penuh perhatian. Mereka itu berwajah cantik, tidak seperti pelayan dari dusun, dan pakaian mereka yang rapi itu seperti pakaian seragam. Celana mereka baru, akan tetapi baju mereka, yang mempunyai potongan yang sama, berbeda warnanya. Rata-rata mereka bersikap ramah, akan tetapi yang meng­herankan, sikap mereka lincah dan sepasang mata me­reka tajam, gerak-gerik mereka menunjukkan bahwa mereka bukanlah wanita-wanita bodoh yang lemah. Sebelum ia menjawab, gurunya sudah bicara lagi.

“Hong Li, mereka inilah pelayan-pelayan yang juga menjadi teman kita dan penghuni tempat ini. Nama mereka mudah dilihat dari pakaian mereka. Ini Ang Nio (Nona Merah), dan ini Pek Nio (Nona Pu­tih) dan Hek Nio (Nona Hitam). Kalian ketahuilah bahwa siocia (nona) ini adalah Kao Hong Li. Ia belum tahu akan keadaan tempat tinggal kita, maka hari ini kalian ajaklah ia berjalan-jalan dan kalau aku be­lum memerintahkan, jangan membuka rahasia tentang tempat ini. Belum waktunya dan bisa berbahaya. Nah. aku mau beristirahat. Layanilah Hong Li seba­iknya.” Setelah berkata demikian, Sim-kiam Mo-li meninggalkan muridnya yang segera diajak oleh tiga orang pelayan itu untuk melihat lihat keadaan di da­lam rumah itu. Ketika Hong Li diajak masuk ke da­lam, ia menjadi kagum dan juga bingung. Kagum karena rumah itu mewah dan memiliki perabot rumah yang serba indah dan mahal, penuh dengan lukisan-­lukisan mahal, pot-pot bunga kuno yang antik, juga lantainya ditutup permadani tebal. Akan tetapi yang membuat ia merasa bingung adalah ketika ia harus berputar-putar untuk memeriksa kamar itu yang wa­laupun tidak berapa besar namun berlika-liku dan memiliki lorong-lorong di antara pot-pot bunga dan perabot rumah. Gurunya mendiami kamar pertama dan ia memperoleh kamar ke dua yang selama ini di­biarkan kosong, sedangkan tiga orang pelayan itu tinggal di kamar belakang. Anehnya, ia harus ditun­tun oleh Ang Nio ketika melihat-lihat di dalam rumah itu.

“Jangan pandang ringan keadaan dalam rumah ini, nona. Tanpa petunjuk kami, nona takkan dapat me­masuki kamar sendiri,” kata Ang Nio melihat beta­pa Hong Li mengerutkan alisnya karena harus ditun­tun.

“Ah, masa? Kenapa tidak bisa?”

“Keadaan di dalam rumah ini telah diatur oleh toanio (nyonya besar) menurutkan garis-garis pat-kwa (segi delapan), penuh dengan alat-alat rahasia sehing­ga kalau ada orang luar berani masuk, selain dia ter­ancam oleh jebakan-jebakan, juga sukar baginya untuk mencari jalan keluar.”

Hong Li tidak percaya. Tiga orang pelayan itu lalu membiarkan ia mencari jalan sendiri dan benar saja! Jalan yang diambilnya itu buntu, kalau tidak terhalang meja kursi, pot bunga, tentu menjadi tertutup oleh sebuah pintu yang ketika dibukanya membawanya ke bagian lain yang sama sekali tidak disangkanya. Ia mencoba untuk mencapai pintu kamar yang diberikan kepadanya, namun selalu gagal! Dan ketika ia melihat sebuah kursi besar meng­halang antara ia dan pintu itu, ia menggeser kursi itu dengan hati girang. Kalau kursi itu disingkirkan, tentu ia dapat langsung saja menghampiri pintu itu dan berarti menang! Akan tetapi, begitu kursi dige­ser, terdengar suara dan tahu-tahu dirinya telah ber­ada dalam sebuah kurungan besi! Tiga orang pela­yan itu menghampiri sambil tertawa-tawa.

“Sudahlah, nona,” kata Pek Nio sambil mengge­rakkan alat rahasia dan kurungan itupun terlipat dan lenyap, sedangkan kursi kembali ke tempatnya semula. “Masih untung engkau terjebak dalam kurungan, ka­rena di sini terdapat jebakan yang lebih berbahaya lagi. Mari, kita tunjukkan semua rahasia dalam rumah ini agar engkau dapat bergerak dengan bebas.”

Mau tidak mau Hong Li kini percaya bahwa rumah yang nampak mungil tidak berapa besar ini pe­nuh dengan alat rahasia daa diatur sedemikian rupa sehingga orang luar jangan harap akan dapat masuk, atau kalau sudah masuk jangan harap akan dapat ke­luar kembali. Tiga orang pelayan itu menerangkan sejelasnya dan Hong Li memang memiliki otak yang cerdas sekali. Dalam waktu sehari saja ia sudah me­ngenal semua rahasia di dalam rumah itu dan ia me­rasa kagum sekali, semakin kagum terhadap gurunya atau ibu angkatnya. Dari pengaturan rumah ini saja sudah dapat diketahui bahwa Sin-kiam Mo-li memang amat lihai.

Akan tetapi, ternyata bahwa jalan menuju ke ru­mah gurunya itupun tidak dapat didatangi orang se­cara mudah! Jalan itu mengandung rahasia yang lebih rumit dari pada rahasia di dalam rumah dan bi­arpun dari kaki gunung sudah dapat dilihat rumah mungil di lereng itu, jangan harap bagi orang luar untuk dapat menemukannya! Dia akan tersesat dan hanya berputar-putar di antara pohon-pohon, atau kalau dia salah langkah, dia akan tewas dalam keada­an mengerikan. Dan diam-diam Hong Li amat cemas, untuk dapat mengenal jalan naik turun dari rumah itu ke kaki gunung, ia harus mempelajarinya sampai lebih dari sepekan barulah ia dapat turun dan naik sendiri tanpa ditemani pelayan. Dan ternyata bahwa jalan dari kaki gunung menuju ke rumah itu melalui lorong di antara pohon-pohon yang diatur menurut garis-garis pat-kwa yang amat rumit.

Semenjak tiba di tempat itu bersama gurunya, Hong Li mulai dilatih ilmu silat oleh Sin-kiam Mo-li. Tidak begitu sukar bagi Sin-kiam Mo-li untuk meng­ajarkan ilmu-ilmunya yang tinggi karena gadis cilik itu memang sudah memiliki dasar yang baik sekali. Sebagai cucu keluarga pendekar besar, sejak kecil ia memang sudah mempelajari dasar-dapat ilmu silat tinggi, bahkan ilmu silatnya sudah demikian lihainya sehingga orang dewasa yang ilmu silatnya tanggung-tanggung saja jangan harap akan mampu menandingi­nya.

Hong Li merasa suka tinggal di tempat yang in­dah itu, apa lagi sikap gurunya dan tiga orang pelayan itupun amat ramah kepadanya. Hannya ada satu hal yang membuat ia merasa tidak suka, yaitu tempat itu jauh dari tetangga. Dusun terdekat letaknya belasan li dari situ. Kadang-kadang ia merasa kesepian dan merindukan kehadiran anak-anak lain yang dapat di­jadikan teman.     Pada suatu pagi, Sin-kiam Mo-li memanggilnya. Hong Li cepat datang menghadap.

“Hong Li, mari kau ikut aku melihat tontonan yang mengasyikkan.

“Tontonan apakah, subo?” Hong Li bertanya dengan girang mendengar bahwa ia diajak nonton sesuatu yang mengasyikkan. Disangkanya bahwa gu­runya tentu akan mengajaknya ke sebuah dusun atau kota untuk nonton pertunjukan dan hal ini merupa­kan suatu perubahan yang segar dan penghibur kese­piannya. Akan tetapi gurunya mengajaknya menuju ke kebun belakang di mana terdapat sebuah menara dari bambu di mana subonya suka berdiam diri untuk berlatih siu-lian. Menara itu tidak mempunyai anak tangga, dan biasanya Sin-kiam Mo-li hanya memper­gunakan ilmunya, meloncat seperti burung terbang melayang menuju ke atas menara di mana terdapat sebuah panggung tertutup dari papan.

“Subo, bagaimana aku dapat naik ke sana?” Hong Li bertanya ragu ketika subonya menunjuk ke menara itu dan mengatakan bahwa mereka akan “nonton” dari sana. Biarpun Hong Li sudah berla­tih gin-kang sejak kecil dan tubuhnya memiliki keri­nganan dan kegesitan yang mengagumkan, namun kalau disuruh meloncat setinggi itu, ia masih belum mampu.

“Kelak engkau harus bisa melompat ke atas. Sekarang marilah kubantu engkau!” Wanita cantik itu lalu menyambar lengan kiri Hong Li dan mereka lalu meloncat ke atas. Baru mencapai setengahnya lebih, tubuh Hong Li tentu akan meluncur turun kembali kalau saja gurunya tidak menariknya ke atas dan Hong Li merasa seperti terbang dan tahu-tahu mereka sudah tiba di depan pondok atau panggung tertutup di atas menara itu.

Dari tempat setinggi itu, Hong Li dapat melihat ke kaki gunung dan nampaklah lorong kecil berlika­-liku yang menuju ke sebuah dusun di kaki gunung. Pernah ia datang ke dusun itu ketika ia berlatih me­lewati lorong yang penuh rahasia itu.

“Hong Li, lihat ke sana itu. Kita akan melihat tontonan yang menggembirakan!” kata wanita can­tik itu dengan suara gembira dan wajahnya berseri, sepasang matanya berkilauan tajam. Hong Li yang sudah ingin bertanya tontonan apa yang dimaksud­kan subonya, kini memandang ke arah yang ditunjuk subonya dan iapun dapat melihat mereka itu. Ada lima orang nampak kecil-kecil dari atas itu, dan mere­ka sedang merayap perlahan-lahan menuju ke rumah mereka. Kini lima orang itu telah tiba di luar daerah mereka, mulai berhadapan dengan pohon-pohon yang sudah diatur menjadi deretan pertama dari benteng pohon-pohon yang penuh rahasia. Nampak dari atas betapa lima orang itu seperti sedang berunding, ke­mudian berpencar mengambil jalan sendiri-sendiri. Agaknya mereka tahu bahwa jalan menuju ke rumah itu tidak mudah, maka mereka berpencar mencari jalan sendiri-sendiri. Melihat gerakan mereka yang lincah dan ringan, mudah diduga bahwa lima orang itu bukan orang-orang sembarangan.

“Subo, siapakah mereka?” tanya Hong Li tanpa mengalihkan pandangannya dari lima orang itu. Dari tempat ia berdiri, mudah dilihat gerakan lima orang itu. Biarpun mereka berpencar, karena dari tempat tinggi itu mereka nampak kecil, maka pandang mata­nya dapat mengikuti gerakan mereka dengan jelas.

“Mereka adalah lima ekor tikus yang agaknya su­dah bosan hidup dan mencari mati di sini,” jawab subonya dengan suara mengandung kegembiraan. Hong Li terkejut dan kini ia menoleh dan memandang kepada subonya. Wanita cantik itu nampaknya gem­bira sekali, sepasang matanya berseri mengikuti ge­rakan lima orang di bawah sana.

“Apa yang subo maksudkan?” tanyanya dengan heran.

Mereka itu mencari mati karena melakukan pelanggaran daerah kita,” jawab pula gurunya dengan sikap masih gembira dan acuh terhadap pertanyaan­pertanyaan muridnya.

“Tapi.... tapi mengapa, subo? Mengapa Subo membiarkan saja mereka melanggar wilayah kita dan memasuki daerah berbahaya itu?”

Kini Sin-kiam Mo-li menoleh kepada muridnya. “Hemn aku tidak menyuruh mereka melakukan pe­langgaran, bukan? Kalau sampai mereka mampus, itu adalah salah mereka sendiri!”

Sejenak Hong Li tidak mampu membantah. Memang tak dapat disalahkan kalau gurunya membiar­kan saja lima orang itu memasuki daerah berbahaya dan menghadapi kematian mereka, akan tetapi, meng­apa gurunya demikian kejam membiarkan lima orang menghadapi kematian tanpa mencegahnya?

“Subo, kalau begitu biarlah aku yang akan mem­beri tahu mereka agar mereka mundur dan tidak me­lanjutkan perjalanan mereka memasuki daerah ini. Mungkin mereka tidak tahu bahwa daerah ini berbahaya,” katanya pula.

Tiba-tiba gurunya tertawa. “Hemm, Hong Li engkau tidak tahu. Apa kaukira mereka itu tidak tahu? Mereka sengaja memasuki daerah kita karena mereka hendak mencari aku.”

“Eh? Jadi subo mengenal mereka? Mau apa mereka mencari subo?”

“Mereka hendak membunuhku.”

Sepasang mata Hong Li terbelalak kiranya ada permusuhan di antara lima orang itu dan subonya. Pantas subonya membiarkan saja mereka menghadapi bahaya. Akan tetapi ia masih merasa penasaran sekali.

“Subo, kenapa mereka hendak membunuh subo? Dan siapakah sesungguhnya mereka itu?”

“Beberapa pekan yang lalu, seorang teman mere­ka memasuki daerah ini, mungkin dengan niat jahat, dan tewas di pasir maut. Kematiannya itu adalah kesalahannya sendiri, akan tetapi teman-temannya agaknya kini datang hendak menuntut balas atas kematian kawan mereka. Mereka adalah orang-orang dari perkumpulan Cin-sa-pang (Perkumpulan Sungai Cin Sa), orang-orang sombong tak tahu diri sehingga berani menantangku.” Di dalam suara wanita cantik ini terkandung kemarahan. “Biar mereka tahu rasa se­karang agar tidak memandang rendah kepadaku.”

Hong Li memandang lagi dan melihat betapa de­ngan cekatan lima orang itu kini berloncatan dan ma­suk semakin dalam di antara pohon-pohon. “Gerak­an mereka lincah dan cekatan. Bagaimana kalau mereka sampai di rumah subo?”

“Tidak begitu mudah. Tiga orang pelayanku su­dah siap menyambut mereka. Lihat!”

Hong Li memandang dan benar saja, ia melihat tiga bayangan orang berlari turun setelah keluar dari dalam rumah mungil. Jaraknya terlalu jauh untuk dapat melihat wajah mereka, akan tetapi melihat ba­ju mereka itu, yang seorang merah, seorang putih dan seorang hitam, iapun tahu bahwa mereka itu adalah Ang Nio, Pek Nio dan Hek Nio. Baru sekarang ia melihat betapa tiga orang pelayan itu berloncatan dengan amat cepatnya. Memang ia sudah menduga bahwa mereka sebagai pelayan-pelayan subonya agak­nya pandai pula ilmu silat, akan tetapi tidak disangkanya mereka akan dapat bergerak secepat itu.

Dan kini terjadilah tontonan yang memang menegangkan dan mendebarkan hati Hong Li. Dari tempat yang tinggi itu, ia dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di sana. Mula-mula Ang Nio yang lebih dulu bertemu dengan seorang di antara lima orang penyerbu itu. Tepat di tengah-tengah setelah orang itu mampu naik sampai ke bagian tengah daerah yang penuh pohon-pohon itu, agaknya bingung dan berputar-putar di sekitar tempat itu. Hong Li tidak tahu apa yang mereka bicarakan, akan tetapi keiihatan betapa laki-laki itu yang lebih dulu menyerang Ang Nio dengan gerakan yang cepat. Dan ia melihat betapa Ang Nio mengelak dan balas menyerang, tak kalah cepatnya gerakan pelayan itu. Ia melihat betapa dua orang itu berkelahi dengan gerakan-gerakan cepat dan kini laki-laki itu mengeluarkan senjata sebatang go­lok besar. Ang Nio juga mengeluarkan sebatang pe­dang tipis dan perkelahian menjadi semakin seru dan menegangkan hati Hong Li. Biarpun ia tidak tahu secara jelas urusannya, akan tetapi mendengar penu­turan subonya tadi, tentu saja ia berpihak kepada Ang Nio. Dianggapnya bahwa pria yang menyerbu itu memang tak tahu diri, berani melanggar daerah orang lain, bahkan iapun tadi melihat betapa pria itu yang lebih dulu menyerang Ang Nio.

Perkelahian itu tidak berlangsung lama ketika dari tempat Hong Li menonton, terdengar laki-laki itu berteriak dan tubuhnya roboh. Perkelahian itu paling lama hanya berlangsung tigapuluh jurus dan pedang di tangan Ang Nio telah menembus dada la­wannya yang roboh dan tewas. Sementara itu, di bagian lain juga terjadi perkelahian antara Pek Nio melawan seorang penyerbu. Juga di sebelah kiri, nampak Hek Nio melayani seorang penyerbu lain.

Hong Li memandang dengan hati berdebar. Agak­nya, baik Pek Nio maupun Hek Nio, dapat mengata­si perkelahian itu dan dengan pedang di tangan, mereka mendesak lawan masing-masing yang bersen­jata golok. Seperti juga tadi, kurang lebih tigapuluh jurus kemudian, lawan mereka itu roboh oleh pedang mereka. Dari tempat yang cukup jauh itu Hong Li tidak melihat darah mengalir, akan tetapi ia melihat betapa tiga orang telah roboh dan tewas. Kini tinggal dua orang lagi yang secara kebetulan dapat saling bertemu di bawah sebatang pohon besar. Mereka bi­cara dan menuding ke sana-sini, ke kanan kiri, agak­nya saling menceritakan bahwa mereka berdua men­jadi bingung dan tidak tahu jalan mana yang akan dapat membawa mereka ke rumah kecil mungil yang tadi nampak dari kaki gunung.

Tiba-tiba mereka terkejut dan membalikkan tu­buh. Tiga orang wanita pelayan itu, masing-masing menyeret tubuh seorang lawan yang sudah mati, muncul dari balik pohon dan berada di depan mereka! Tentu saja dua orang laki-laki itu menjadi terkejut setengah mati melihat betapa tiga orang kawan me­reka tahu-tahu telah menjadi mayat diseret oleh tiga orang wanita cantik itu. Agaknya merekapun tahu bahwa mereka berada dalam keadaan berbahaya seka­li. Tiga orang kawan mereka sudah tewas oleh tiga orang wanita ini, dan tentu mereka seperti menye­rahkan nyawa saja kalau melawan. Tanpa dikoman­do lagi, dua orang itu membalikkan tubuh melarikan diri turun gunung.

“Hik-hik!” Hong Li mendengar suara subonya terkekeh. “Mereka kira akan dapat lolos begitu saja? Bodoh!”

Hong Li memandang kepada dua orang itu yang melarikan diri cerai berai karena lorong itu sempit dan banyak sekali cabang-cabangnya. Ia yang sudah mempelajari rahasia lorong itu segera tahu bahwa mereka berdua mngambil jalan yang keliru! Mereka bukan menuju turun gunung, melainkan akan terpu­tar-putar saja melalui tempat-tempat yang amat berba­haya. Tentu mereka berdua itu akhirnya akan terpe­rangkap di tempat berbahaya, tak mungkin lolos se­perti kata-kata subonya tadi, pikirnya. Dugaannya memang tepat karena tak lama kemudian terdengar seorang di antara mereka mengeluarkan teriakan me­ngerikan, walaupun hanya terdengar lapat-lapat dari tempat Hong Li berdiri itu. Ia cepat memandang dan Hong Li mengerutkan alis, jantungnya berdebar tegang penuh kengerian. Kiranya seorang di antara dua laki-laki yang melarikan diri tadi, kini salah langkah menginjak padang rumput dan segera tubuh­nya tersedot karena di bawah rumput yang hijau su­bur dan indah itu terdapat lumpur yang dapat menye­dot mahluk yang bergerak, dan yang terjatuh ke tem­pat itu. Dan walaupun dari tempat ia menonton ti­dak nampak, Hong Li tahu bahwa tentu nampak di permukaan padang rumput itu ekor-ekor ular yang seperti belut, yang tentu kini sudah mengeroyok orang yang terjatuh ke situ. Teriakan-teriakan itu masih susul-menyusul, kemudian sunyi dan padang rumput itu sudah nampak hijau dan indah kembali. Orang itu sudah tenggelam dan kalau digali, agaknya hanya akan ditemukan tulang rangkanya saja! Hong Li bergidik. Ia sudah melihat kedahsyatan tempat itu ketika ia mempelajari tempat itu dan rahasianya, diberi petunjuk oleh tiga orang pelayan, dan Ang Nio melempar seekor kelenci ke tempat itu. Ia melihat betapa kelenci itu yang bergerak mencoba untuk lari, disedot semakin dalam dan iapun melihat pula ekor-ekor ular tersembul ketika mereka memperebutkan kelenci yang disedot ke bawah dan lenyap!

Kini Hong Li yang wajahnya menjadi agak pucat karena merasa ngeri, mengikuti larinya orang ke dua dengan pandang matanya. Jantungnya berdebar pe­nuh ketegangan. Ia merasa kasihan kepada orang itu dan diam diam ia mengharapkan agar orang terakhir itu akan berhasil menyelamatkan diri turun gunung. Kalau saja saat itu ia berada di bawah dan dekat de­ngan orang itu, tentu, tanpa ragu-ragu lagi ia aksn meneriakkan petunjuk agar orang itu dapat menemu­kan jalan yang benar dan dapat meninggalkan tempat itu dengan selamat.

Dengan jantung berdebar penuh kekhawatiran dan ketegangan, Hong Li memandang ke arah orang terakhir yang tersaruk-saruk mencari jalan keluar itu. Terdengar pula suara gurunya menahan ketawa. Mau tak mau Hong Li merasa tak senang dan meli­rik. Dilihatnya betapa wajah cantik gurunya itu tam­pak berseri, matanya penuh kegembiraan mengikuti gerakan orang terakhir itu dan tiba-tiba Hong Li me­rasa ngeri. Sikap gurunya ini tiada bedanya sikap seekor kucing yang menanti dan melihat seekor tikus yang sudah tersudut! Iapun kembali menujukan pandang matanya ke bawah.

Orang yang berlari-larian itu kini tubuhnya sudah penuh keringat karena beberapa kali dia menghapus keringat dari muka dan lehernya, memandang ke kanan kiri mencari jalan keluar, lalu lari lagi setelah memilih satu di antara lorong yang bercabang-cabang itu.

“Jangan ke sana....!” Tiba-tiba Hong Li berseru, akan tetapi seruannya tentu saja tidak terdengar orang itu. Dan orang itupun sudah sampai di tempat yang amat berbahaya itu. Tak lama kemudian, orang itu sudah mengeluarkan suara jeritan me­nyayat hati dan tubuhnya sudah tenggelam sampai ke pinggang di pasir maut! Pasir maut itu adalah sebuah kolam pasir, akan tetapi pasir itu dapat ber­putar dan menyedot seperti lumpur tadi. Pasirnya li­cin dan mudah bergerak, sedangkan kolam itu dalam sekali. Sedikit saja orang yang terjatuh ke situ berge­rak, maka tubuhnya akan tenggelam semakin dalam!

Hong Li merayap turun melalui tihang-tihang yang menyangga menara itu, tihang-tihang bambu yang besar.

“Hong Li, hendak ke mana engkau?” Gurunya menegur heran.

“Subo, aku harus menolong orang itu!” kata Hong Li dan ia merasa heran bahwa gurunya diam saja, tidak menghalangi dan juga tidak menegurnya lagi. Ia terus merayap turun dan setelah tiba sete­ngah lebih tinggi menara itu, iapun berani meloncat turun, kemudian ia lari menuju ke tempat oarang itu tenggelam di pasir maut.

“Diam, jangan bergerak sedikitpun!” Hong Li berseru setelah tiba di tepi kolam. “Aku akan menolongmu, jangan bergerak sedikitpun. Makin engkau bergerak, tubuhmu akan semakin tenggelam!”

Laki-laki itu berusia empatpuluh tahun lebih. Setelah dekat, kini Hong Li melihat betapa wajah itu kasar dan buruk, sepasang matanya liar akan tetapi pada saat itu, dia berada dalam keadaan putus asa dan ketakutan. Melihat munculnya seorang gadis cilik yang usianya baru belasan tahun di tepi kolam dan mendengar bahwa gadis itu akan menolongnya, laki-laki itu memandang dengan penuh harapan.

“Tolonglah aku.... ah, selamatkanlah aku....” Suaranya lirih dan gemetar penuh rasa takut. Ngeri dia membayangkan kematian di depan matanya, kematian yang mengerikan. Ketika tadi dia menginj­ak pasir, kakinya terjeblos sebatas lutut. Dia beru­saha untuk mengangkat kakinya, akan tetapi semakin dia berusaha, semakin dalam tubuhnya tenggelam sampai kini dia tenggelam sebatas dada, hanya kedua lengannya saja yang mampu bergerak. Begitu mende­ngar peringatan Hong Li, diapun tidak berani ber­gerak dan benar saja. Setelah dia tidak bergerak sama sekali, tubuhnya berhenti tenggelam semakin dalam. Akan tetapi, napasnya sesak dan tubuhnya dari dada ke bawah yang tertanam di pasir itu terasa panas bu­kan main.

“Tenanglah dan jangan bergerak,” kata pula Hong Li. Ia lalu melepaskan ikat pinggangnya yang panjang, hanya meninggalkan sedikit saja secukupnya untuk mengikat celananya dan mempergunakan ikat pinggang itu untuk menyelamatkan orang itu. Ujung ikat pinggang itu diganduli sebuah batu dan dilem­parnya ke arah orang yang tenggelam.

“Tangkap ujung ikat pinggang ini dan jangan bergerak, biar aku yang akan menarikmu keluar! Ingat, jangan bergerak agar tubuhmu tidak tenggelam sema­kin dalam!”

Orang itu menangkap ujung ikat pinggang, akan tetapi karena dia terlalu bergairah untuk segera dapat keluar, dia menarik ikat pinggang itu dan tubuhnya bergerak maka tubuh itu segera tersedot semakin da­lam sampai ke leher!

“Tolol, jangan bergerak kataku!” Hong Li mem­bentak marah dan mulailah ia mengerahkan tenaga­nya untuk menarik orang itu keluar dari pasir. Laki-laki itu kini sudah terlampau takut sehingga tidak berani berkutik, bahkan bersuarapun dia tidak berani lagi. Pasir sudah sampai ke dagunya dan turun bebe­rapa sentimeter lagi, tentu mulut dan hidungnya ter­tutup dan berarti kematian baginya. Akan tetapi di­am-diam hatinya girang dan juga kagum bukan main melihat betapa anak perempuan yang baru belasan tahun usianya itu memiliki kekuatan yang demikian hebat sehingga dia merasa betapa tubuhnya sedikit demi sedikit mulai tertarik keluar! Dia tadi melibat­-libatkan ujung tali itu pada pinggang dan lengannya sehingga biarpun kini kedua lengannya sebagian sudah tenggelam pula, ketika tali itu ditarik, tubuhnya terbetot keluar. Sedikit demi sedikit sampai akhir­nya tubuhnya keluar sebatas pinggang!

“Tariklah lagi, nona yang baik, tarik terus....!” Laki-laki itu terengah-engah, penuh ketegangan dan harapan. Dan Hong Li menarik terus, keringat mem­basahi dahi dan lehernya.

“Prattt....!” Tiba-tiba ikat pinggang itu putus tengahnya dan tubuh orang yang sudah naik sampai ke pinggul itu tenggelam kembali sampai ke pinggang di mana dia mengeluh panjang pendek dan tidak berani bergerak sama sekali!

“Jangan bergerak, aku akan mencari alat lain untuk menarikmu keluar,” kata Hong Li. Gadis ini lalu menggunakan tenaganya untuk merobohkan se­batang pohon kecil yang panjangnya ada tiga meter. Ia mengguncang-guncang pohon kecil itu sampai akarnya jebol dan akhirnya berhasil menumbangkan­nya. Setelah membuangi cabang, ranting dan daun­nya, ia menggunakan batang pohon yang besarnya hanya sebetis kakinya itu untuk menolong orang itu. Batang pohon itu cukup panjang dan ujungnya dapat dipegang oleh orang itu dengan kedua tangan. Lalu Hong Li mulai menarik lagi, perlahan-lahan dan akhirnya ia berhasil menarik tubuh orang itu sampai keluar dari kolam pasir. Orang itu menjatuhkan diri di atas tanah, terengah-engah dan mukanya yang tadi pucat sekali, sekarang berubah agak merah. Dia me­ngeluarkan suara seperti setengah menangis dan setengah tertawa. Kemudian dia bangkit duduk meman­dang Hong Li dan matanya terbelalak.

“Nona, sungguh engkau hebat sekali!”

Hong Li cemberut. Baru teringat ia bahwa ia te­lah menolong musuh gurunya, merasa seperti seorana pengkhianat. “Kenapa engkau melanggar wilayah ka­mi? Engkau memang bersalah dan sepatutnya dihu­kum. Akan tetapi aku kasihan padamu, tidak tega melihat orang terjatuh ke kolam pasir maut. Nah, sekarang pergilah, akan kutunjukkan jalan keluar un­tukmu.”

Tiba-tiba orang itu menggerakkan tubuhnya dan tahu-tahu Hong Li sudah ditangkapnya. Gadis cilik terkejut, meronta dan hendak melawan, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas karena laki-laki itu sudah menotoknya, menotok jalan darah­nya yang membuat ia tidak mampu berkutik lagi. Hong Li terkejut dan marah bukan main.

“Apa yang kaulakukan ini?” bentaknya.

Laki-laki itu menyeringai dan secara kurang ajar mengelus dagu Hong Li. “Engkau cantik dan manis sekali! Sekarang engkau menjadi tawananku dan eng­kau harus menunjukkan jalan keluar yang akan menyelamatkan diriku. Kalau tidak, aku akan mencekik­mu sampai mampus!”

Hong Li terbelalak. Kalau saja ia tadi bercuriga, kiranya tidak akan demikian mudahnya ia tertawan dan tertotok. Ia sama sekali tidak mengira bahwa orang yang baru saja diselamatkannya dari ancaman maut mengerikan berbalik malah bertindak curang dan jahat kepadanya. Akan tetapi ia tidak mempunyai waktu lagi untuk berheran dan penasaran karena kini laki-laki itu telah mengikat kedua tangannya ke belakang tubuhnya, menotok jalan darah yang membuat ia tidak mampu mengeluarkan suara, akan tetapi kini tubuhnya dapat bergerak lagi.

“Hayo cepat tunjukkan jalan itu kepadaku, kalau engkau menipuku, tentu engkau akan kusiksa sampai mampus!” kata laki-laki itu sambil mencengkeram pundak Hong Li.

Gadis cilik ini merasa penasaran dan marah sekali sampai kedua matanya mengeluarkan air mata. Bukan air mata karena takut, melainkan karena marah dan penasaran sekali.

“Sudah, jangan menangis dan cepat tunjukkan jalannya!” laki-laki itu mengira bahwa anak perempuan itu menangis karena takut. Dia mendorong tu­buh Hong Li dan anak perempuan ini terpaksa melangkah maju. Ia tahu bahwa dalam keadaan kedua tangannya terbelenggu, melawanpun tidak akan ada gunanya. Dan iapun tidak dapat mengeluarkan suara. Sesungguhnya hal ini tidak perlu dilakukan orang itu. Walaupun tidak ditotok, iapun tidak mau mengeluarkan suara. Untuk apa? Minta tolong kepada suhunya dan tiga orang pelayan? Ia telah mengkhianati mereka, dan ia yakin bahwa gurunya yang berada di menara itu tentu melihat semua peristiwa yang dia­laminya ini. Perlu apa minta tolong? Memalukan saja. Biarlah, ia sudah bersalah, dan biarlah kini ia menerima hukumannya. Ia melangkah terus, pun­daknya masih dicengkeram laki-laki yang mengikutinya dari belakang.

Hong Li tidak membawa laki-laki itu melalui jalan yang akan menyelamatkannya. Sama sekali tidak. Di dalam dadanya kini membawa api kemarahan yang membuat ia ingin membalas perbuatan laki-laki ini yang dianggapnya terlalu jahat. Mudah saja baginya untuk menjerumuskan laki-laki ini ke dalam perang­kap-perangkap maut, akan tetapi iapun tentu akan ikut terjebak dan mati bersama laki-laki ini. Dan ia tidak takut mati, hanya ia tidak sudi kalau harus mati bersama laki-laki ini. Tidak mau melakukan perja­lanan ke alam baka berbareng dengan dia, bahkan dari tempat yang sama. Tidak, dia harus dapat mencari perangkap yang lebih baik.

Akhirnya tibalah Hong Li di jalan buntu! Di de­pan nampak jurang yang amat curam, yang tidak mungkin dilalui. Di situ terdapat dua jalan bercabang ke kiri dan ke kanan. Kedua lorong ke kanan dan ke kiri ini tertutup daun-daun kering, nampaknya aman dan mudah dilewati. Namun, Hong Li yang sudah hafal akan rahasia lorong-lorong itu, maklum bahwa melangkah ke kiri berarti akan membawa mereka terjatuh ke dalam sumur yang di dasarnya tidak ku­rang dari limabelas meter dalamnya, terdapat batu­-batu meruncing yang akan menyambut tubuh mereka! Di balik daun-daun kering yang ke kiri itu terdapat lubang sumur itu. Kalau melangkah ke kanan, mere­ka akan terjatuh ke dalam kolam lumpur yang juga berbahaya sekali karena tubuh akan terus tenggelam semakin dalam dan akhirnya akan tewas pula. Akan tetapi, tidaklah secepat kalau terjatuh ke dalam sumur itu matinya. Hanya adanya ular-ular lumpur yang sebetulnya semacam belut yang suka makan da­ging manusia, yang membuat ia bergidik ngeri mem­bayangkan betapa tubuhnya bagian bawah akan digerogoti binatang-binatang itu sebelum ia mati. Ia tahu bahwa jalan satu-satunya adalah melompati sumur di sebelah kiri. Sumur itu tidak lebar, paling lebar satu setengah meter saja. Sekali melompat juga akan me­lampauinya dan selamat.

Tidak, ia tidak boleh membawa laki-laki itu melompat, karena begitu melompat, laki-laki itu tentu akan mudah turun dan keluar dari daerah berbahaya. Melihat anak perempuan itu berdiri termangu-mangu dan ragu-ragu, laki-laki itu mengguncang pundaknya dan membentaknya dengan nyaring, “Hayo cepat tunjukkan jalan!” Diapun bingung melihat betapa jalan itu yang bagian depan buntu, menuju ke jurang yang amat curam, sedangkan jalan kanan dan kiri sama saja tertutup daun-daun kering. Dia tahu beta­pa berbahayanya lorong-lorong di situ dan dia tidak tahu mana jalan yang benar, yang kanan ataudah kiri.

Tanpa ragu-ragu Hong Li menudingkan telunjuknya ke kanan! Laki-laki itu nampak lega dan diapun memperkuat cengkeramannya di pundak Hong Li mendorong tubuh anak itu membelok ke kanan dan menghardik, “Hayo jalan!”

Hong Li sudah hafal benar akan rahasia tempat itu. Paling banyak lima langkah mereka akan terje­blos. Ia memperhitungkan langkahnya dan setelah empat langkah, tiba-tiba saja ia membalikkan tubuh­nya, meloncat ke belakang dan menendang dengan cepat sekali. Laki-laki itu terkejut, melangkah ke samping akan tetapi ketika cengkeraman tangannya terlepas, dia masih sempat menangkap lagi pundak itu, maka begitu tubuhnya terjeblos, dia membawa Hong Li ikut pula terpelanting dan terjeblos ke da­lam kolam lumpur!

“Auhhhhh, toloonggg....!” Laki-laki yang merasa ngeri dan ketakutan itu, perasaan takut yang sudah sejak tadi menghantuinya, tidak dapat menahan lagi mulutnya dan berteriak minta tolong. Dalam kekagetannya tadi, dia melepaskan cengkeramannya dan tubuh Hong Li terpelanting dan terjeblos sejauh dua depa di sebelah depannya. Kalau laki-laki itu yang tadi meronta tenggelam sampai dada, Hong Li tenggelam sampai ke pinggang dan mereka kini saling berpandangan.

Dan laki-laki yang terbelalak dengan muka pucat dan berkaok-kaok minta tolong itu melihat betapa tubuh anak perempuan itu nampak tenang-tenang saja, bahkan tersenyum mengejek memandangnya!

Biarpun Hong Li tidak mampu mengeluarkan suara, namun pandang matanya mengejek sepenuhnya dan rasa puas membayang di sepasang matanya. Ga­dis cilik ini kehilangan rasa takutnya, lupa akan adanya ular-ular di dalam lumpur, karena girangnya da­pat membuat laki-laki yang jahat itu kini tidak ber­daya.

Hong Li teringat ketika tiba-tiba ia melihat benda yang mengkilap bermunculan di permukaan lumpur yang tertutup daun-daun kering itu. Ular atau belut lumpur! Matanya terbelalak dan hampir saja ia menjerit saking ngeri dan jijiknya, apalagi ketika ada seekor ular atau belut itu yang muncul tak jauh dari hidungnya, seolah-olah binatang itu ingin berkenalan dulu dengan wajah-wajah para calon korbannya. Akan tetapi ia menahan perasaan ngeri ini dan menggigit bibir. Tidak demikian dengan laki-laki itu. Dia mengeluarkan pekik yang mengerikan karena memang pada saat itu, ada bagian bawah tubuhnya yang mulai dijilati atau digigit.

Berbareng dengan dengan jeritan laki-laki itu, nampak bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu tubuh Hong Li telah terlibat kain hitam dan tubuh itu lalu terbe­tot naik oleh kain yang melilitnya, kemudian tubuh Hong Li ditarik keluar dari lumpur oleh tangan Sin­-kiam Mo-li yang sudah berdiri di tepi kolam lumpur itu, menggunakan sabuk hitam menolong muridnya.

Begitu tiba di tepi kolam, Hong Li menubruk kaki gurunya. “Subo, maafkan aku.... tidak.... hukumlah aku, subo....” katanya setengah menangis saking kesal dan marahnya terhadap laki-laki jahat itu.

Sin-kiam Mo-li tersenyum. “Engkau sudah cukup terhukum, Hong Li.”

Pada saat itu, kembali terdengar teriakan-teriak­an mengerikan. Hong Li menengok dan melihat be­tapa laki-laki itu dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali, menjerit-jerit dan meronta-ronta, akan tetapi karena dia keras meronta, maka tubuhnya cepat sekali tersedot semakin dalam dan lumpur sudah mencapai lehernya! Hong Li tidak dapat melihat le­bih lanjut dan diapun menyembunyikan mukanya di balik kedua tangannya. Akan tetapi telinganya masih mendengar jeritan-jeritan itu, kemudian pekik itupun terhenti tiba-tiba seolah-olah orang itu tiba-tiba dicekik. Ia tahu apa yang terjadi. Tentu mulut yang berteriak itu kini telah terbenam kedalam lumpur. Ia tidak berani menengok. Baru setelah tidak ada lagi suara terdengar dari belakangnya, ia berani menengok­ dan kolam lumpur itu telah tenang, tidak ada suara apa-apa lagi, tidak ada gerakan apa-apa lagi dan lumpur telah tertutup kembali oleh daun-daun kering,

Hong Li bergidik dan ia tetap berlutut. Tubuhnya agak menggigil, bukan hanya karena kedinginan. Sebuah tangan lembut menyentuh kepalanya dan terdengar suara Sin-kiam Mo-li.

“Hong Li, sejak tadi aku melihat keadaanmu, dan kalau aku menghendaki, sejak tadi tentu aku dapat membebaskanmu dari cengkeraman jahanam itu. Akan tetapi aku sengaja membiarkan saja, hanya memba­yangi agar engkau memperoleh pengalaman. Ketika engkau menipunya masuk lumpur, aku tahu bahwa engkau tentu sudah merasa menyesal dan mendapat kenyataan betapa jahatnya orang ini. Nah, pelajaran ini agar kauingat selalu, muridku. Jangan percaya kepada orang lain begitu saja, dan bersikaplah hati-hati selalu terhadap orang lain, apa lagi yang belum kauketahui benar bagaimana wataknya.”

“Akan tetapi, subo. Aku sungguh tak dapat membayangkan bagaimana ada orang sejahat itu. Ditolong malah membalas dengan kekejaman dan kejahatan!”

Sin-kiam Mo-li tertawa, kemudian berkata dengan suara tegas, “Semua orang di dunia ini juga begitu, Hong Li. Setiap orang bertindak demi kebaikan dan keuntungan diri sendiri, karena itu, siapa kalah cerdik, siapa kalah kuat, dia menjadi korban. Engkau harus kuat dan cerdik, dan kalau perlu mendahului lawan sebelum engkau yang menjadi korban. Yang ada bukan baik dan jahat, melainkan cerdik dan bo­doh, muridku.”

Diam-diam Hong Li merasa tidak setuju dan he­ran sekali mendengar nasihat gurunya ini, akan tetapi ia tidak mau membantah. Alangkah bedanya nasihat gurunya ini dari nasihat ayah ibunya! Ayah ibunya selalu mengajakkan agar ia mempergunakan kepan­daiannya untuk menolong sesama manusia yang men­derita, untuk membela kebenaran dan keadilan, me­nentang kejahatan. Akan tetapi, gurunya ini agaknya hanya mengajarkan agar ia selalu bersikap cerdik dan tidak mempercaya semua orang, bahkan turun tangan lebih dahulu sebelum menjadi korban kejahatan orang lain.

Gurunya lalu mengajaknya pulang untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Ketika ia memperoleh kesempatan bicara dengan tiga orang pelayan itu, ia memperoleh keterangan bahwa tiga orang penyer­bu yang lain, yang telah tewas di tangan mereka, mayatnya tidak mereka kubur melainkan mereka lem­parkan begitu saja ke dalam kolam lumpur!

Hong Li hanya menyimpan rasa ngeri dan tidak setujunya, dan mulai saat itu ia lebih banyak menutup mulut, walaupun diam-diam ia merasa heran akan keadaan guru dan tiga orang pelayan itu. Namun ia memang pandai mempergunakan kesempatan dan sejak ia mengetahui bahwa tiga orang pelayan wanita itu lihai, ia mulai mengajak mereka untuk menemani­nya berlatih silat. Dan ternyata memang mereka itu lihai sekali dan merupakan teman berlatih yang baik, walaupun dari mereka ia tidak dapat memperoleh il­mu baru. Setidaknya, setiap orang dari mereka itu dapat melayaninya dalam latihan silat.

Mulai hari itu, gurunya seringkali mengajak Hong Li naik ke menara dan menganjurkan muridnya untuk berlatih siu-lian di dalam panggung tertutup di puncak menara. Dan anak itu memang suka naik ke me­nara karena dari situ ia dapat melihat pemandangan yang luas, dan dapat melihat apa yang terjadi di sekeliling tempat tinggal gurunya. Kadang-kadang biarpun baru beberapa hari tinggal di situ, kalau se­dang berdiri melamun di puncak menara dan meman­dang gunung-gunung yang jauh, timbul perasaan rindu kepada ayah ibunya.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali ketika matahari sudah naik dan menebarkan cahayanya yang keemas­an dan masih lembut ke permukaan bumi, Hong Li sudah berlatih silat seorang diri di bawah menara. Kemudian ia naik ke atas menara. Ia masih belum mampu dengan sekali meloncat naik ke atas, melain­kan hanya meloncat sampai setengah tihang, menyam­bar tihang dan memanjat naik. Kini ia berdiri di puncak, di depan pondok, memandang ke arah timur di mana matahari membuat angkasa di timur cemerlang dan indah bukan main. Beberapa kelompok awan membentuk raksasa-raksasa aneh, akan tetapi warna­nya yang biru keabuan itu mulai memudar tertimpa cahaya matahari.

Tiba-tiba perhatian Hong Li tertarik oleh sesosok tubuh yang mendaki kaki gunung dan menuju ke arah rumah gurunya. Orang itu berjalan perlahan dan kini sudah tiba di luar daerah berbahaya yang mengelilingi rumah gurunya. Tadinya disangka oleh Hong Li bahwa orang itu hanya kebetulan lewat saja dan tidak akan memasuki daerah berbahaya, akan tetapi ketika orang itu mulai memasuki lorong yang menuju ke daerah yang penuh bahaya, iapun terkejut dan merasa khawatir sekali. Siapakah orang itu, pikirnya. La­wan ataukah kawan? Dan ia merasa ngeri memba­yangkan betapa akan jatuh korban lagi di tempat berbahaya itu. Bagaimanapun juga, hatinya tidak setuju dengan adanya daerah rahasia yang penuh dengan bahaya maut itu. Betapapun jahatnya lima orang yang menyerbu tempo hari, cara mereka menemui kemati­an sungguh amat mengerikan dan terlalu kejam.

Akan tetapi, perasaan khawatirnya segera beru­bah menjadi perasaan heran dan kagum. Orang yang baru datang itu, biarpun hanya dengan langkah-lang­kah yang perlahan, namun ternyata orang itu selalu mengambil jalan yang benar! Dari tempat tinggi itu Hong Li dapat melihat dengan mudah. Dari situ ia dapat melihat keadaan lorong-lorong rahasia itu seperti melihat peta dan iapun sudah hafal mana yang benar dan mana yang menyesatkan dan berbahaya. Dan orang itu selalu membelok melalui lorong yang benar, seolah-olah telah mengenal dengan baik jalan-jalan yang penuh dengan rahasia itu. Langkah-lang­kahnya teratur dan kakinya seperti telah mengenal tempat berbahaya, selalu berjalan melalui tempat aman dan menghindarkan jebakan-jebakan rahasia yang banyak terdapat di situ. Kalau begitu, tentu seorang sahabat baik gurunya yang sudah sering da­tang ke sini, pikir Hong Li. Hatinya tertarik sekali dan cepat ia turun dari menara untuk melihat dari dekat siapa adanya orang yang baru datang itu.

Ia berlari menuju ke rumah dan heranlah ia me­lihat bahwa orang yang tadi dilihatnya dari menara itu ternyata kini sudah tiba di depan rumah. Dari atas nampaknya dia berjalan perlahan, akan tetapi ternyata sudah tiba di depan rumah dengan selamat, berarti bahwa orang itu benar-benar telah mampu melalui lorong-lorong rahasia yang amat berbahaya itu. Dan kini orang itu telah berhadapan dengan gurunya. Juga tiga orang pelayan wanita berada di situ, akan tetapi mereka berdiri agak jauh sambil memandang dengan sikap khawatir. Hong Li lari mendekati tiga orang pelayan itu dan kini ia dapat melihat wajah pendatang itu dengan jelas. Begitu melihatnya, Hong Li terbelalak dan merasa terkejut bukan main ketika ia mengenal bahwa pendatang itu bukan lain adalah Ang I Lama, orang yang dahulu menculiknya dari kebun rumah orang tuanya! Tidak salahlagi. Ia mengenal wajah itu, mengenal tubuh tinggi kurus yang memakai jubah pendeta berwarna merah itu Melihat munculnya kakek ini, kemarahan muncul dalam hati Hong Li.

Agaknya kakek itu tahu pula akan kehadiran Hong Li dan dia memandang dengan penuh perhatian.

“Omitohud, agaknya inilah anak itu. Eh, anak baik, ke sinilah dan mari engkau ikut pinceng pulang ke rumah orang tuamu. Ke sinilah....!” Kakek itu melambaikan tangan ke arah Hong Li.

Anak perempuan ini terkejut bukan main karena biarpun hatinya tidak menghendaki, namun kedua kakinya di luar kehendaknya sudah melangkah meng­hampiri kakek itu! Melihat ini, gurunya membentak.

“Hong Li, kembali ke tempatmu!” Dan dalam bentakan ini terkandung kekuatan yang agaknya membuyarkan pengaruh panggilan kakek itu. Hong Li seperti baru dapat menguasai kedua kakinya sendiri dan ia berhenti melangkah, terkejut melihat keadaan dirinya dan iapun berlari kembali mendekati tiga orang pelayan yang segera merangkulnya.

“Siocia, engkau di sini saja dan jangan bergerak,” bisik Ang Nio. Hong Li mengangguk dan melepaskan diri dari rangkulan mereka. Ingin ia melihat bagai­mana gurunya menghadapi kakek anehitu. Ia tidak merasa khawatir karena bukankah gurunya pernah menang dari kakek itu ketika merampas dirinya dari tangan kakek itu yang, dikalahkannya di dalam kuil tua dahulu?

Sementara itu, Ang I Lama sudah menghadapi Sin-kiam Mo-li dan terdengar suaranya yang lemah lembut, “Sekali lagi, Sin-kiam Mo-li, pinceng minta dengan hormat dan sangat agar engkau suka menye­rahkan anak itu kepada pinceng.”

“Ang I Lama, tidak malukah engkau mengeluar­kan kata-kata seperti itu? Lupakah engkau akan nasib Sai-cu Lama yang menjadi suhengmu? Hemm, tak kusangka bahwa engkau yang dianggap sebagai seorang pertapa yang memiliki kesaktian, ternyata sama sekali tidak mengenal budi antara saudara, dan tidak setia, bahkan ingin mengkhianati golongan sen­diri. Pergilah dan jangan mencampuri urusan pribadiku!” Sikap Sin-kiam Mo-li ketus dan tegas.

“Omitohud.... untuk kembali ke jalan benar masih belum terlambat. Kenapa engkau tidak mau melihat kenyataan? Sadarlah dan serahkan anak itu kepada pinceng.”

“Kakek tua bangka! Ia telah menjadi murid dan anak angkatku! Dengar baik-baik, ia telah menjadi anakku! Lihatlah, aku adalah seekor harimau betina, mana sudi melepaskan anaknya?”

Tiba-tiba Hong Li terkejut bukan main melihat bahwa gurunya telah berubah menjadi seekor harimau yang besar. Harimau itu mengeluarkan auman yang menggetarkan tanah di mana ia berdiri. Hong Li melirik ke arah tiga orang pelayan wanita itu. Mereka juga berdiri dengan mata terbelalak memandang, akan tetapi mereka bersikap tenang saja, agaknya tidak merasa heran melihat betapa majikan mereka telah berubah menjadi seekor harimau besar dan buas!

Kao Hong Li bukanlah anak sembarangan. Ia keturunan dua orang keluarga besar yang amat ter­kenal di dunia persilatan, yaitu ayahnya adalah ketu­runan keluarga Istana Gurun Pasir sedangkan ibunya keturunan keluarga Pulau Es, gudangnya orang-orang sakti. Tentu saja ia, biarpun usianya baru tigabelas tahun, tahu benar bahwa gurunya berubah menjadi harimau hanya merupakan hasil ilmu sihir belaka, bu­kan sungguh-sungguh menjadi harimau! Betapapun juga, ia masih belum kuat untuk menembus pengaruh sihir ini, maka dalam penglihatannya, gurunya berubah menjadi harimau, sesuai dengan ucapannya tadi! Dan kini “harimau betina” yang hendak memperta­hankan anaknya itu dengan buasnya, sambil menge­luarkan suara mengaum dahsyat, menyerbu, mener­jang dan menubruk ke arah Ang I Lama!

“Omitohud, engkau semakin jauh tersesat!” Ang I Lama menggerakkan tubuhnya, jubah merah­nya berkibar ketika dia meloncat ke belakang dan menghindarkan diri dari tubrukan harimau. Ketika harimau itu membalik dan hendak menubruk lagi, Ang I Lama yang telah menyambar segenggam tanah, menyambitkan tanah itu ke arah harimau.

“Siancai, kembalilah kepada keaselianmu, Sin-kiam Mo-li!”

Harimau itu hendak mengelak, namun terlambat dan ketika ada tanah menyentuh tubuhnya, terdengar suara ledakan keras dan harimau itu mengaum, akan tetapi segera lenyap dan berubah kembali menjadi Sin-kiam Mo-li yang nampak terhuyung. Wanita ini marah sekali. Ia mengangkat kedua tangan ke atas dan dari tubuhnya keluarlah asap hitam bergu­lung-gulung yang segera menutupi tubuhnya dan membuat keadaan di situ menjadi gelap.

Diam-diam Hong Li merasa ngeri menyaksikan ini. Sungguh hebat ilmu sihir gurunya, akan tetapi kakek itupun memiliki ilmu kepandaian tinggi yang ternyata sanggup menaklukkan harimau jadi-jadian tadi. Akan tetapi kembali Ang I Lama tidak nampak gugup, “Omitohud....!” serunya berkali-kali dan diapun merangkap kedua tangan di depan dada, kemudian mulutnya meniup dan buyarlah asap hitam itu, makin lama semakin menipis dan akhirnya nam­paklah kembali Sin-kiam Mo-li yang menjadi semakin penasaran. Wanita cantik ahli sihir ini maklum bah­wa agaknya ia tidak akan mampu mengalahkan kakek itu kalau mempergunakan sihir, maka ia segera me­nerjang maju, sekali ini menyerang dengan pukulan tangan terbuka. Bukan main hebatnya pukulan yang dilontarkan oleh dua tangan wanita itu. Angin menyambar dahsyat dan terdengar bunyi bercuitan ke­tika kedua tangan itu menyambar.

Kembali kakek itu mengelak ke samping dan ke­dua lengannya digerakkan untuk menangkis dari sam­ping.

“Dukkk!” Kedua pasang lengan itu bertemu di udara dan seperti ada halilintar saja yang menyambar terasa oleh Hong Li akibat dari adu kekuatan dahsyat itu. Angin pukulan membuat ia mundur dua langkah sambil terbelalak memandang. Ia melihat gurunya terhuyung, sedangkan kakek itu tetap berdiri tegak sambil tersenyum. Senyum lembut itu sejak tadi tak pernah meninggalkan wajah Ang I Lama. Sin-kiam Mo-li menjadi semakin marah dan ia me­nyerang lagi dengan pukulan bertubi-tubi. Pendeta Lama itu dengan tenang menyambut dan terjadilah perkelahian yang hebat. Gerakan Sin-kiam Mo-Ii amat cepat, berloncatan menyambar-nyambar bagaikan see­kor burung yang menyerang seekor ular, akan tetapi pendeta itu bagaikan seekor ular melingkar, dengan gerakan tenang namun mantap menyambut setiap serangan dari manapun juga datangnya, menangkis sambil balas menyerang. Walaupun dia hanya mem­balas dengan tamparan-tamparan atau cengkeraman, namun serangannya mengandung kekuatan yang mem­buat lawannya harus cepat menghindarkan diri. Bi­arpun gerakan gurunya itu amat cepatnya, namun Hong Li yang sudah menguasai dasar ilmu silat tinggi, dapat mengikuti gerakannya sehingga ia dapat melihat betapa tangguhnya kakek yang bernama Ang I Lama itu. Kalau ia tidak salah menduga, gurunya kalah dalam hal tenaga oleh kakek itu. Hal ini ter­bukti betapa gurunya selalu menghindarkan bentrok­an lengan kalau serangannya ditangkis lawan, dan setiap kali terpaksa kedua lengan bertemu, tentu tu­buh gurunya terdorong ke belakang atau terhuyung.

Dugaan anak perempuan itu memang tepat. Sin-kiam Mo-li merasa betapa dahsyatnya tenaga lawan dan ia maklum bahwa kalau ia harus selalu menghin­darkan bentrokan, maka akhirnya ia akan terdesak. Cepat kedua tangannya bergerak ke balik bajunya dan di lain saat, tangan kiri wanita itu telah meme­gang sebuah kebutan bergagang emas dengan bulu merah, sedangkan tangan kanannya memegang seba­tang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Kiranya Sin-kiam Mo-li memiliki sepasang senjata yang amat hebat, yaitu kebutan dan pedang. Nama juluk­annya, Sin-kiam (Pedang Sakti) saja sudah menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli pedang yang pandai, sedangkan kebutan di tangan kirinya itupun sama se­kali tak boleh dipandang ringan, karena ujung setiap lembar bulu kebutan itu telah dicelup racun sehingga orang yang terkena sabetan ujung kebutan itu tentu akan keracunan!

“Sing-sing....wuuuuttt....!” Nampak gulungan sinar putih dan merah dari pedang dan ke­butan ketika wanita itu menyerang dengan cepatnya ke arah lawan.

“Siancai....!” Ang I Lama berseru dan ce­pat dia membuat langkah-langkah yang aneh untuk menghindarkan diri. Beberapa kali dia berhasil meng­elak, kemudian tiba-tiba tangannya memegang seun­tai tasbeh dan dengan benda ini yang diputar-putar, dia berhasil menangkis kebutan dan pedang.

“Trik! Trik! Tranggg....!” Nampak api berpijar ketika pedang bertemu dengan biji-biji tas­beh itu. Dan kembali pertemuan tenaga melalui sen­jata itu membuat Sin-kiam Mo-li terdorong ke bela­kang.

Perkelahian berlangsung semakin seru. Kadang-kadang tubuh kedua orang itu lenyap terbungkus gulungan sinar senjata mereka yang menjadi satu. Agaknya tingkat kepandaian mereka memang seim­bang, hanya kakek pendeta itu memiliki tenaga yang lebih kuat walaupun mungkin dia kalah dalam hal kecepatan gerakan. Juga di antara mereka terdapat perbedaan besar dalam hal serangan. Kalau Sin-kiam Mo-li menyerang dengan hebat, setiap serangannya merupakan serangan maut yang mengarah nyawa, se­baliknya pendeta itu selalu berhati-hati dalam serang­annya dan jelas bahwa dia banyak mengalah dan tidak bermaksud memburuh lawan.

Betapapun juga, karena kalah tenaga, nampaknya Sin-kiam Mo-li terdesak dan terhimpit, dan kadang-kadang terhuyung ke belakang. Hal ini membuat Hong Li memandang khawatir.

“Majulah, bantulah subo,” desaknya berulang-ulang kepada tiga orang pelayan itu.

Tiga orang pelayan itu semua memegang sebatang pedang, akan tetapi mereka tidak berani maju, mera­sa betapa ilmu kepandaian mereka masih terlampau rendah untuk membantu majikan mereka mengeroyok pendeta Lama yang demikian saktinya. Melihat ini, Hong Li menjadi tidak sabar lagi. Dirampasnya pedang dari tangan Ang Nio dan iapun berkata,”Kalau begitu, biarlah aku yang membantu subo!” Ia pun meloncat ke depan.

Tiga orang pelayan itu terkejut. “Siocia.... mereka berseru, akan tetapi karena anak perempuan itu sudah menerjang maju dan masuk ke dalam arena perkelahian merekapun tak dapat mencegah lagi.

“Lama jahat!” Hong Li membentak dan pedangnya menusuk ke arah lambung pendeta itu.

Ang I Lama terkejut melihat anak perempuan itu menyerangnya dengan pedang. Dia tidak mengelak, membiarkan pedang itu mengenai lambungnya dan berkata, “Omitohud, anak baik, pinceng datang untuk membebaskanmu!

“Takk!” Pedang itu membalik dan Hong Li me­rasa tangannya nyeri karena pedangnya seperti men­usuk baja saja.

Sebelum ia mampu mengelak, tiba-tiba tangan kiri pendeta Lama itu telah menangkap pundaknya. “Mari ikut bersama pinceng, anak baik!” kata pula Ang I Lama. Akan tetapi Hong Li menjadi marah dan meronta.

“Lepaskan aku, pendeta jahat!” dan kembali pedangnya menusuk, kini mengarah dada kakek itu.

“Trakkk!” Pedangnya patah menjadi dua po­tong! Dan sekali Ang I Lama menggerakkan tangan kirinya, tubuh Hong Li telah terlempar ke atas dan berada dalam podongan kakek itu.

“Lepaskan anakku!” Sin-kiam Mo-li membentak dan pedangnya membacok ke arah kepala Ang I Lama.

“Tranggg....!” Tasbeh itu menyambar dan menangkis pedang, membuat pedang terpental.

Tiba-tiba Sin-kiam Mo-li membentak dan kebuta­nnya kini menyambar ke arah.... kepala Hong Li yang dipondong pendeta itu. Tentu saja Ang I Lama terkejut bukan main, sama sekali tidak me­nyangka bahwa wanita itu akan menyerang anak yang dipondongnya. Dengan agak tergesa-gesa diapun menggerakkan tasbehnya melindungi Hong Li dan menangkis kebutan.

“Prattt!” Bulu-bulu kebutan itu kini melibat tasbeh dan terjadi tarik menarik. Pada saat itu, Hong Li yang tidak tahu bahwa baru saja nyawanya terancam maut ketika wanita itu menyerangnya de­ngan kebutan, kini ingin membantu gurunya. Melihat betapa mereka saling tarik senjata masing-masing, Hong Li menggunakan tangannya, mencengkeram ke arah mata Ang I Lama!

“Siancai....!” Ang I Lama terkejut bukan main. Anggauta tubuhnya tidak akan takut mengha­dapi serangan seorang anak kecil seperti Hong Li, akan tetapi kalau yang diserang itu matanya, tentu saja mata itu tidak dapat dibuat kebal! Untuk mempergunakan sihir mempengaruhi anak itu, sudah tidak keburu lagi. Terpaksa dia menarik kepalanya ke be­lakang untuk mengelak dan pada saat itu, pedang di tangan kanan Sin-kiam Mo-li sudah menyambar dan menusuk lambung pendeta Lama itu. Demikian ce­pat gerakan ini, dilakukan pada saat yang tepat, mem­pergunakan kesempatan selagi pendeta itu repot mengelak dari cengkeraman tangan Hong Li sehingga tak mungkin dapat dihindarkan lagi.

“Cappp....!” Biarpun pendeta itu mempergunakan sin-kang, namun sudah tidak keburu dan pe­dang itu menancap sampai dalam dan ketika dicabut, darahpun muncrat dan pada saat itu, Sin-kiam Mo-li telah berhasil merampas kembali Hong Li dari pondongan Ang I Lama.

“Omitohud....!” Ang I Lama menggunakan tangan kiri mendekap luka di lambungnya, lalu membalikkan diri dan lari meninggalkan tempat itu, membawa luka yang dalam di lambungnya!

Sin-kiam Mo-li tidak berani mengejar. Ia tahu bahwa pendeta itu lihai bukan main dan kalau ia tidak memperoleh kesempatan baik tadi, belum tentu ia akan keluar sebagai pemenang. Ia tadi telah bertindak cerdik bukan main dengan menyerang kepala Hong Li. Memang, ia, membahayakan keselamatan nyawa anak itu tadi. Akan tetapi akal itu bagus se­kali. Serangan yang mematikan itu tentu saja mem­buat Ang I Lama yang ingin menyelamatkan Hong Li, menjadi kaget dan melindungi dan terbukalah kesempatan baginya untuk menyerang. Apa lagi di bantu oleh Hong Li. Ia puas dengan dirinya sendiri dan juga girang bahwa ternyata anak angkat dan muridnya itu setiakepadanya. Ia tidak berani mengejar karena ia tidak yakin apakah Lama itu menderita luka yang cukup parah.

Dirangkulnya Hong Li dan diciuminya pipi anak itu. “Hong Li, bagus sekali, engkau telah membantuku mengalahkan Lama yang jahat itu!”

“Akan tetapi, subo. Hampir saja aku celaka olehnya. Dia sungguh lihai dan jahat sekali!” kata Hong Li.

“Memang dia lihai dan jahat, maka engkau harus berlatih dengan baik agar kelak dapat mengalahkan orang-orang seperti dia ini.”

“Di bawah bimbingan subo, tentu aku akan dapat menguasai ilmu-ilmu yang hebat, dan sekarang di dalam perlindungan subo aku merasa aman. Subo, jangan lupa mengajarkan ilmu sihir kepadaku.”

Sin-kiam Mo-Ii tertawa dan menggandeng anak itu, diajak masuk ke dalam rumah untuk beristirahat. Hong Li merasa girang dan puas pula, sama sekali ia tidak tahu bahwa baru saja ia kehilangan seorang pe­nolong yang akan mampu membawanya kembali kepada orang tuanya dan bahkan membebaskannya dari cengkeraman seorang wanita iblis yang sesung­guhnya merupakan musuh besar keluarganya!

Sin-kiam Mo-li tidaklah sebaik hati seperti yang dibayangkan oleh Hong Li. Anak perempuan ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak ia diculik dari ke­bun rumah orang tuanya, terdapat rahasia besar di balik semua peristiwa itu. Yang melakukan penculikan terhadap dirinya sama sekali bukanlah Ang I Lama yang pada waktu itu masih tekun bertapa di dalam guha pertapaannya. Lalu siapakah yang me­lakukan penculikan itu? Bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li sendiri! Wanita cantik yang tinggi semampai inilah yang menyamar sebagai Ang I Lama dan melakukan penculikan dengan mempergunakan nama Ang I Lama! Hal ini dapat dilakukannya dengan amat mudah karena selain pandai ilmu silat, iapun pandai ilmu sihir dan pandai melakukan penyamaran.

Akan tetapi, mengapa Sin-kiam Mo-li melakukan hal itu dan siapakah ia sebenarnya? Sin-kiam Mo-li adalah anak angkat dari Kim Hwa Nio-nio! Ketika Kim Hwa Nio-nio bersekongkol dengan Sai-cu Lama, Sin-Kiam Mo-li sedang melakukan perantauan ke daerah pantai selatan dan ia tidak tahu akan perseku­tuan itu, juga tidak mencampurinya. Ketika ia pu­lang ke utara, baru ia mendengar bahwa ibu angkat­nya, juga gurunya itu, ternyata telah tewas bersama Sam Kwi dan Sai-cu Lama dalam sebuah komplotan yang dihancurkan oleh para pendekar, terutama ke­turunan keluarga Pulau Es dan keluarga Istana Gu­run Pasir.

Tentu saja ia terkejut dan berduka, juga sakit hati. Akan tetapi iapun maklum siapa itu keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Ia merasa tidak mampu menandingi mereka itu dengan berterang, maka ia lalu melakukan balas dendam dengan cara lain. Setelah melakukan penyelidikan, iapun menja­tuhkan pilihannya kepada Kao Hong Li, satu-satunya anak yang menjadi keturunan dari kedua pihak, ketu­runan keluarga Pulau Es, juga keturunan keluarga Gurun Pasir. Dan terjadilah penculikan itu. Ia se­ngaja mempergunakan nama Ang I Lama yang mahir dalam ilmu sihir dan mudah dipalsu, dengan maksud untuk mengadu domba. Ia harus membangkitkan Ang I Lama sebagai sute dari Sai-cu Lama agar suka menentang dua keluarga pendekar yang menjadi mu­suh mereka berdua itu. Akan tetapi ia cukup menge­nal watak Ang I Lama yang saleh dan tidak mau menggunakan kekerasan, melainkan hanya bertapa dengan tekun dan tidak pernah mencampuri urusan dunia ramai. Maka ia mempergunakan siasatnya, menyamar sebagai Ang I Lama untuk mengadu dom­ba. Tadinya, niatnya hanya selain mengadu domba, juga menimbulkan duka kepada keluarga itu yang kehilangan puterinya. Mungkin puteri mereka itu akan ia bunuh untuk membalas dendam. Akan tetapi setelah ia melihat Hong Li yang demikian manis dan tabah, hatinya tertarik dan timbul pikirannya untuk memanfaatkan rasa sukanya itu demi dua keuntungan. Pertama, ia akan merasa puas memiliki murid dan anak angkat yang amat baik dan berbakat, memenuhi kerinduannya akan seorang keturunan, dan ke dua, ia akan mendidik anak itu agar kelak mengikuti jejak­nya yang berlawanan dengan jalan hidup musuh-musuhnya, yaitu kedua keluarga pendekar itu!

Hong Li tidak tahu akan semua itu. Ia hanya mengenal gurunya sebagai seorang wanita berilmu tinggi dan pandai sihir yang telah menyelamatkannya dari tangan Ang I Lama! Walaupun pada hari-hari terakhir ini ia mendapat kenyataan bahwa gurunya dapat berwatak keras dan kejam terhadap musuh-musuhnya, seperti yang diperlihatkannya ketika meng­hadapi lima orang penyerbu dari Cin-sa-pang itu, namun ia menganggap gurunya seorang gagah yang baik hati, terutama terhadap dirinya. Dan iapun de­ngan penuh ketekunan mempelajari ilmu-ilmu dari Sin-kiam Mo-li, seorang wanita cantik yang dalam hal tingkat kepandaian, tidak berada di bawah tingkat mendiang gurunya, yaitu Kim Hwa Nio-nio.

***

Dua orang pendeta Lama yang sedang bertapa itu terkejut sekali ketika melihat seorang pendeta Lama lain roboh terpelanting di depan guha mereka, kemu­dian terdengar suara orang itu mengerang kesakitan.

Dua orang pendeta Lama itu cepat keluar dari guha tempat pertapaan mereka dan alangkah kaget hati mereka ketika mereka mengenal bahwa yang ro­boh itu adalah Ang I Lama, seorang tokoh Lama yang amat mereka kenal dan masih terhitung paman seper­guruan mereka.

“Susiok....” Keduanya berlutut dan dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri rasa hati mereka melihat bahwa paman guru mereka itu terluka pada lambungnya, luka yang kini membengkak besar sekali, tanda bahwa selain luka itu parah, juga bahwa luka itu tidak terawat selama beberapa hari sehingga mem­bengkak. Melihat keadaan luka itu dan wajah paman guru mereka yang membiru, dua orang pendeta ini dengan sedih mengetahui bahwa keadaan paman guru mereka sudah payah dan sukar untuk dapat disela­matkan nyawanya.

“Susiok, apa yang telah terjadi? Mengapa susiok terluka seperti ini?” tanya pendeta pertama.

“Susiok, siapa yang melakukan ini?” tanya pen­deta ke dua.

Akan tetapi keadaan Ang I Lama sudah demikian payah. Napasnya tinggal satu-satu dan sukar sekali baginya untuk mengeluarkan suara walaupun mulut­nya bergerak-gerak. Akan tetapi, di dalam batin Ang I Lama, sedikitpun tidak ada rasa dendam terhadap Sin-kiam Mo-li, maka tidak ada sedikitpun niat di ha­tinya untuk memberi tahu kepada orang lain siapa yang telah melukainya. Yang menjadi keinginan hati­nya adalah untuk memberi tahu kepada Kao Cin Liong dan Suma Hui di mana adanya anak mereka yang diculik orang itu. Akan tetapi sukar sekali mulutnya mengeluarkan kata-kata dan dengan pengerahan tena­ga terakhir diapun memaksa diri untuk menyampai­kan isi hatinya itu kepada dua orang pendeta Lama ini. Akhirnya dapat juga dia mengeluarkan suara lirih sehingga dua orang pendeta Lama itu harus mendekatkan telinga mereka agar dapat menangkap lebih jelas.

“.... Kao Cin Liong dan isterinya.... mereka.... cepat.... ouhhh....”      kakek itu terkulai dan napasnyapun terhenti. Dia mengerah­kan tenaga terlalu banyak namun tidak kuat melan­jutkan kata-katanya.

Dua orang pendeta Lama itu saling pandang de­ngan mata terbelalak. Merekapun tentu saja menge­nal siapa yang bernama Kao Cin Liong itu, seorang yang dikenal baik oleh para pendeta Lama karena pernah memimpin pasukan pemerintah untuk menumpas pemberontakan di barat. Panglima Kao amat ter­kenal dan tentu saja mereka kini terkejut dan heran mendengar disebutnya nama panglima itu dan isterinya sebagai pembunuh Ang I Lama!

Dua orang pendeta itu merasa betapa penting dan gawatnya urusan, maka setelah menyempurnakan jenazah Ang I Lama dengan membakarnya, lalu mem­bawa abu jenazah itu, pergi meninggalkan tempat pertapaan mereka dan cepat mereka menuju ke Tibet. Dan di depan para pimpinan Lama, mereka lalu menceritakan pengalaman mereka ketika menemukan Ang I Lama dalam keadaan sekarat sampai meninggal dunia karena luka parah di lambungnya.

Ketika para pimpinan Lama mendengar bahwa pesan terakhir dari Ang I Lama adalah nama Kao Cin Liong dan isterinya, para pimpinan Lama itu saling pandang. Mereka ingat bahwa belum lama ini, suami isteri itu memang datang kepada mereka dan mena­nyakan di mana adanya Ang I Lama! Dan mereka melihat sikap isteri pendekar bekas panglima itu jauh dari pada lembut, bahkan agaknya nyonya itu marah sekali terhadap Ang I Lama. Dan kini muncul dua orang pendeta Lama yang menceritakan bahwa Ang I Lama tewas dengan luka di lambungnya. Pada hal, Ang I Lama adalah seorang pendeta Lama yang me­miliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Tidak semba­rang orang akan dapat melukainya, dan pula, pendeta itu adalah seorang yang halus budi dan tidak pernah bermusuhan dengan siapapun juga. Siapa lagi kalau bukan suami isteri pendekar itu yang telah membunuhnya? Mungkin karena Ang I Lama masih sute dari Sai-cu Lama seperti yang ditanyakan oleh isteri pendekar itu.

“Hemm, kita tidak boleh tinggal diam saja. Tanpa sebab mereka telah membunuh seorang yang hidup bersih dan suci seperti Ang I Lama. Kalau hal ini kita diamkan saja, bukankah semua orang lalu meman­dang rendah kepada kita, para Lama? Kita dapat membiarkan seorang Lama seperti Sai-cu Lama dibas­mi dan dibunuh sekalipun tanpa sedikit juga campur tangan. Akan tetapi kalau sampai seorang seperti saudara Ang I Lama dibunuh tanpa dosa, sungguh merupakan hal yang penuh dengan penasaran. Kita harus bertindak terhadap mereka!”

“Akan tetapi mereka adalah pendekar-pendekar yang terkenal sakti dan budiman! Apa lagi kita semua mengenal siapa adanya Kao Cin Liong, bekas pangli­ma yang gagah perkasa!” kata Lama ke dua.

“Kita tidak perlu takut demi membela kebenar­an!” kata Lama ke tiga.

Ketua para Lama menarik napas panjang mende­ngar pendapat para pembantunya. “Omitohud, semo­ga Sang Buddha menerima saudara Ang I Lama sesuai engan amal kebaikannya sewaktu dia hidup. Kita memang tidak boleh tinggal diam, juga kita tidak perlu merasa takut untuk menghadapi ketidakadilan, akan tetapi bagaimanapun juga, kita harus bertindak dengan hati-hati dan tidak menurutkan nafsu amarah. Kita harus ingat bahwa kita berhadapan dengan ketu­runan orang-orang besar. Kao-taihiap adalahketurunan dari keluarga Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, sedangkan isterinya adalah keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es. Kita sama sekali tidak menghendaki kalau kita sampai menanam permusuhan dengan ke­dua keluarga itu. Maka, jalan satu-satunya hanyalah mencari seorang perantara untuk menuntut keadilan kepada keluarga mereka, terutama sekali keluarga Gu­run Pasir mengingat bahwa Kao-taihiap adalah putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir.”

Mendengar ucapan ketua mereka ini, para pendeta Lama merasa setuju. Bagaimanapun juga, mereka per­caya bahwa keluarga para pendekar itu adalah orang-orang yang selalu menunjukkan kebenaran dan keadil­an. Kalau sampai peristiwa pembunuhan terhadap diri Ang I Lama yang tidak berdosa ini sampai dilaporkan kepada Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, tentu orang sakti itu akan bertindak adil walau terhadap puteranya sendiri sekalipun.

Mereka lalu mengadakan perundingan dan meng­ingat bahwa mungkin sekali urusan yang timbul an­tara Ang I Lama dan Kao Cin Liong berdua itu ada hubungannya dengan mendiang Sai-cu Lama, maka semua pendeta Lama setuju untuk kedua kalinya minta bantuan sahahat mereka, yaitu Tiong Khi Hwesio. Bukankah Tiong Khi Hwesio yang bersama para pendekar membasmi komplotan Sai-cu Lama? Karena agaknya urusan kematian Ang I Lama ini merupakan lanjutan dari pembasmian komplotan Sai-cu Lama, maka orang perantara yang mereka anggap paling tepat adalah Tiong Khi Hwesio. Apa lagi ke­tua Lama mengetahui bahwa antara Tiong Khi Hwe­sio dan keluarga Gurun Pasir masih terdapat ikatan yang amat erat.

“Kalau tidak keliru, ikatan keluarga antara Tiong Khi Hwesio dan isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir,” demikian katanya. Kenyataan ini memperte­bal kepercayaan para pendeta Lama bahwa Tiong Khi Hwesio memang merupakan orang yang paling tepat untuk menjadi perantara menuntut keadilan ke Gu­run Pasir.

Tiong Khi Hwesio lalu dihubungi. Pendeta ini semenjak kembali dari menunaikan tugasnya yang berhasil baik, telah kembali ke tempat pertapaannya, di dalam sebuah pondok sederhana di puncak sebuah bukit di Pegunungan Himalaya. Dia merasa heran akan tetapi juga tidak menolak ketika seorang pende­ta Lama menyadarkannya dari pertapaan dan menyam­paikan undangan para pimpinan Lama agar dia suka datang ke Lhasa karena ada urusan yang amat pen­ting.

Setelah hwesio tua ini tiba di depan para pendeta Lama, dia disambut dengan amat ramah. Melihat wa­jah yang penuh kedamaian dari pendeta ini, para pim­pinan Lama merasa tidak enak hati sendiri. Akan tetapi urusan yang mereka hadapi teramat penting maka mereka mengesampingkan semua perasaan tidak enak dan pimpinan para Lama segera menceritakan kepada Tiong Khi Hwesio tentang peristiwa yang terjadi. Tentang kematian Ang I Lama terbunuh orang, tentang suami isteri Kao Cin Liong yang sebe­lumnya datang minta keterangan dari para Lama tentang Ang I Lama, kemudian para pimpinan Lama menyatakan pendapat mereka yang juga merupakan tuduhan mereka bahwa suami isteri pendekar itulah yang membunuh Ang I Lama.

“Saudara Tiong Khi Hwesio tentu sudah menge­nal siapa adanya Ang I Lama, yang sudah sejak puluh­an tahun hidup bertapa dan tidak pernah mencampuri urusan dunia sehingga tidak mungkin menanam per­musuhan dengan siapapun juga. Akan tetapi, beberapa hari sebelum dia terbunuh, pendekar Kao Cin Liong dan isterinya datang ke sini minta keterangan tentang Ang I Lama, dan melihat sikap mereka, ter­utama sekali isteri Kao-taihiap, jelas bahwa mereka sedang marah atau tidak suka kepada Ang I Lama yang mereka ketahui adalah sute dari Sai-cu Lama. Tak lama setelah mereka berdua pergi mencari Ang I Lama, dia ternyata dibunuh orang dan sebelum menghembuskan napas terakhir, Ang I Lama hanya dapat menyebutkan nama Kao Cin Liong dan isterinya. Semua ini kami anggap sudah cukup kuat untuk menjadi bukti kebenaran pendapat kami bahwa mereka ber­dua yang membunuh Ang I Lama. Terutama harus diingat bahwa Ang I Lama memiliki kepandaian yang tinggi, dan hanya orang-orang seperti suami isteri itu sajalah yang kiranya akan mampu membunuhnya,”

Tiong Khi Hwesio mengerutkan alisnya. Tak disangkanya bahwa dia akan menghadapi urusan seperti itu. Memang semua alasan para pimpinan Lama ini masuk di akal, dan bagaimanapun juga, Kao Cin Liong masih terhitung keponakannya. Ibu kandung pende­kar itu, Wan Ceng, adalah adik tirinya seayah berla­inan ibu.

Dengan sikap tenang Tiong Khi Hwesio menanti sampai keterangan para Lama itu selesai, barulah dia bicara, sikapnya masih tenang, suaranya halus. “Lalu apa maksud para saudara Lama sekarang mengundang pinceng datang ke sini. Apa yang dapat pinceng laku­kan dalam urusan ini?”

“Kami sedang merasa bingung. Urusan pembu­nuhan ini tidak mungkin didiamkan saja. Akan tetapi kamipun tidak ingin menanam permusuhan dengan keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir, maka kamipun teringat kepada saudara Tiong Khi Hwesio yang menjadi saudara kami yang amat baik. Terutama sekali mengingat akan adanya tali kekeluargaan sau­dara dengan mereka, maka kami mengharapkan ban­tuan saudara untuk menjadi perantara di antara kami dan mereka untuk menuntut keadilan.”

Tiong Khi Hwesio mengangguk-angguk dan mena­rik napas panjang. Dalam usianya yang sudah tua ini, yang ingin dihabiskannya dalam kedamaian dan ke­tenteraman, ternyata masih ada saja urusan yang me­ngejarnya. Namun, semua itu dianggapnya sudah sewajarnya, maka diapun tidak mengeluh dan tidak pula merasa penasaran atau kecewa.

“Omitohud...., kehendak Thian jadilah! Pinceng akan menemui keluarga itu dan membicara­kan urusan ini.”

Para pimpinan Lama merasa lega. Kalau tidak ada Tiong Khi Hwesio yang menjadi perantara, me­reka khawatir kalau-kalau akan terjadi permusuhan yang makin hebat. Para pimpinan maklum bahwa banyak di antara pendeta Lama yang masih belum dapat menguasai dorongan perasaan dan kematian Ang I Lama itu dapat menimbulkan kemarahan dan den­dam yang besar.

Beberapa hari kemudian, Tiong Khi Hwesio meninggalkan Pegunungan Himalaya, menuju ke timur dan dia berjalan seorang diri seperti orang melamun. Dia melihat kenyataan yang amat aneh dalam kehidupan ini. Seorang seperti Ang I Lama, bagaimana sampai tertimpa malapetaka seperti itu, dibunuh orang? Pada hal, dia tahu benar bahwa Ang I Lama adalah seorang pendeta yang sejak puluhan ta­hun sudah mundur dari semua urusan dan keramaian dunia, tidak pernah bermusuhan dengan siapapun ju­ga, bahkan tidak pernah meninggalkan tempat-tempat yang sunyi dan sepi.

Hidup dan mati adalah urusan Tuhan. Manusia tidak menguasai kedua hal itu. Manusia hanya wajib mengisi kehidupan dan tergantung dari dirinya sendi­rilah akan bagaimana jadinya dengan hidupnya. Dia sendirilah yang akan mewarnai kehidupannya. Na­mun segalanya bukan dia yang menentukan. Betapa­pun pandainya seseorang, betapapun kuatnya, dia ti­dak mungkin dapat mempertahankan hidupnya kalau Tuhan sudah menghendaki kematiannya. Namun, hal ini bukan berarti bahwa kita lalu begitu saja “menye­rahkan nasib” kepada Tuhan. Ini sama saja dengan mempersatukan Tuhan demi kepentingan diri sendiri, bahkan condong untuk memperbudak kekuasaan ter­tinggi di alam mayapada ini. Tidak ada kekuasaane apapun di dunia ini yang akan mau menolong kita kalau kita sendiri tidak mau menolong diri sendiri, karena sesungguhnya di dalam diri kita terdapat pula kekuasaan itu, melalui panca indriya kita, melalui pikiran kita, melalui seluruh urat syaraf di tubuh ki­ta. Semua kekuasaan itu sudah ada pada kita, maka kalau tidak kita pergunakan, tentu saja tidak adalagi kekuasaan yang akan menolong diri kita.

“Percaya kepada Tuhan” atau yang lazimnya di­sebut iman bukan hanya permainan lidah belaka, se­perti yang kita lihat dalam kehidupan kita ini. Iman tanpa perbuatan hanya merupakan kemunafikan terselubung saja. Sebaliknya, perbuatan tanpa iman, dalam arti kata kesadaran sepenuhnya, keyakinan sedalamnya akan kekuasaan tertinggi yang menentutan segala-galanya, maka perbuatan itu akan dapat memyeleweng tanpa kemudi, hanya didorong oleh naluri dan kepentingan diri sendiri, sama saja dengan perbuatan binatang-binatang yang tidak memiliki akal budi dan pikiran. Kalau kita ingin berhasii, kita harus bertin­dak. Kalau ingin selamat, harus menjaga diri. Dan apa bila semua itu sudah kita lakukan, namun ternya­ta akhirnya gagal, maka kita harus mencari sebab ke­gagalan itu dalam diri sendiri! Karena semua hal baik maupun kegagalan bersumber dari diri sendiri, bukan karena kesalahan orang lain, dan adalah licik untuk berkeluh kesah dan melontarkan semuaratapan kepada Tuhan, seolah-olah Tuhan yang bertanggung jawab atas kegagalan kita! Kalau ada kegagalan, tentu ada kesalahan dalam tindakan kita, walaupun mungkin saja mata kita tidak melihat adanya kesalahan itu. Kita selalu condong untuk membenar­kan diri sendiri, kita merasa amat sukar untuk mengoreksi diri, untuk meneliti tindakan sendiri, untuk menemukan kesalahan dalam diri sendiri.

Cara yang ditempuh Tuhan kadang-kadang bah­kan seringkali sukar untuk dimengerti oleh akal ma­nusia yang amat terbatas ini. Kita biasanya hanya menerima segala akibat penempuhan cara yang penuh rahasia itu, kalau menyenangkan kita bersyukur, kalau menyusahkan kita mengeluh, karena semua penda­pat kita didasari untung-rugi bagi diri sendiri. Padahal, belum tentu kalau sesuatu yang kita anggap bu­ruk menimpa diri kita itu memang benar buruk. Belum tentu! Banyak sudah buktinya bahwa peristiwa buruk yang menimpa kita itu merupakan peng­hindaran yang luar biasa pada diri kita dari ancaman bahaya yang lebih hebat lagi! Seperti sebuah operasi pada tubuh kita, nampaknya menyusahkan, padahal operasi itu penting sekali untuk melenyapkan penya­kit yang jauh lebih ganas yang ada pada diri kita.

Karena itu, orang bijaksana selalu akan menerima segala macam peristiwa yang menimpa dirinya tanpa menilainya sebagai baik maupun buruk, selalu mene­rima apa adanya tanpa membanding-bandingkan, de­ngan penuh kesadaran bahwa segala yang terjadi sudah dikehendaki oleh Tuhan, maka sudah wajarlah! Orang bijaksana akan selalu mengerti dan yakin bah­wa “semua kehendak Tuhan jadilah!” sementara dia selalu waspada akan segala perbuatannya, lahir batin, termasuk jalan pikirannya, ucapannya, gerak-geriknya. Tidak menginginkan atau menyesali yang sudah lalu, tidak mengharapkan atau menjauhi hal yang belum datang. Bahkan sama sekali tidak memusingkan masa lalu dan masa depan, melainkan sepenuhnya hidup saat ini, sekarang ini, detik demi detik.

Semua hal inilah yang menjadi isi batin Tiong Khi Hwesio ketika dia berjalan seorang diri dengan tenangnya. Kewaspadaannya membuat dia dapat meli­hat segala hal yang terjadi dalam dirinya, di luar diri­nya dan apa yang terjadi dalam kehidupan manusa pada umumnya di dunia ini. Dia melihat kepalsuan-kepalsuan menyelimuti hampir seluruh kehidupan manusia, kebaikan-kebaikan palsu karena kebaikan-kebaikan itu dilakukan orang sebagai cara untuk memperoleh sesuatu sebagai imbalan, kehormatan dipuja-puja, agama dipakai sebagai alat untuk mencapai kemenang­an, dipakai untuk menutupi kebencian yang membakar batin terhadap golongan lain, dipakai untuk menangkat diri dan golongan sendiri ke tempat yang lebih tinggi dan bersih, dipakai untuk mencemooh mereka yang dianggap kotor dan lebih rendah. Kesucian dipergunakan sebagai kebersihan pakaian yang membungkus diri, yang dianggap akan dapat menyucikan danmembersihkan tubuh yang sebenarnya kotor. Per­adaban menjadi hal yang paling tidak beradab, namun menang karena disahkan oleh umum. Kesopanan hanya sebatas kulit, kesopanan terletak pada pangkat, pakaian, senyum dan ucapan belaka. Tidak pernah lagi ada kesatuan antara pikiran, ucapan dan perbuatan. Apa yang dipikirkan lain dari apa yang di ucap­kan, dan apa yang diucapkan tidak cocok dengan apa yang diperbuat. Kemunafikan dan kepalsuan di ma­na-mana. Tidak ada lagi cinta kasih yang tulus ikhlas, tanpa memihak, tanpa memilih, yang ada hanyalah cinta nafsu, cinta yang didorong demi kepentingan, demi kesenangan diri pribadi.

Dia bahkan melihat betapa orang-orang melarikan diri ke guha-guha, ke gunung-gunung atau mengubur diri di dalam kelenteng atau kuil-kuil, menyiksa diri, akan tetapi sebagian besar di antara mereka itu mela­kukan semua itu hanya sebagai cara untuk mendapat­kan sesuatu yang mereka harap-harapkan, tentu saja sesuatu yang akan menyenangkan hati mereka, akan memberi kepuasan terhadap keinginan mereka. Atau ada pula yang melakukan hal itu karena ingin mela­rikan diri dari kehidupan yang membuat mereka mu­ak, berduka, kecewa dan sakit hati. Dan tentu saja pelarian inipun merupakan cara untuk mencari sesua­tu yang lebih menyenangkan! Semua perbuatan manusia sudah menjadi palsu karena selalu menyembunyikan pamrih untuk kepentingan dan kesenangan diri pribadi.

“Ya Tuhan, apa akan jadinya dengan kita manusia ini?” Akhirnya Tiong Khi Hwesio berbisik da­lam hatinya. “Mungkinkah kita menanggalkan semua kepalsuan dan kemunafikan itu, melenyapkan semua pamrih mencari kesenangan dan kepuasan diri pribadi itu, menanggalkan semuanya sehingga kita dapat menghadap Tuhan dalam keadaan telanjang, dalam keadaan kosong sama sekali? Mungkinkah kita men­jadi kosong dan diam sehingga menjadi jernih, se­hingga sinar-Mu dapat menembus dan memasuki ba­tin. Sehingga kita mengenal cinta kasih yang suci murni?”

Angin bersilir menimbulkan suara bisik-bisik pada daun-daun di pohon. Tiong Khi Hwesio menghenti­kan langkah, menengadah dan memandang daun-daun pohon yang bergoyang-goyang. Seperti menari-nari sambil saling bergeseran menimbulkan suara bisik-bisik seperti berdendang dan diapun tersenyum.

***

Sim Houw dan Bi Lan telah tiba di daerah Tembok Besar. Bi Lan telah bersikap biasa kembali, merupakan seorang gadis yang bagi Sim Houw sukar untuk dijajaki isi hatinya. Kadang-kadang Sim Houw seperti melihat dengan jelas bahwa gadis itu membalas perasaan hatinya, membalas cintanya. Ada keme­sraan hangat dalam senyum dan pandang matanya, namun Sim Houw membantah sendiri kenyataan ini. Tak mungkin, katanya. Bagaimana mungkin seorang gadis remaja seperti Bi Lan, yang usianya tidak akan lebih dari delapanbelas atau sembilanbelas tahun, jatuh cinta kepada dia yang sudah menjelang tua? Usianya sudah hampir tigapuluh lima tahun! Bi Lan tentu memandang dia sebagai seorang sahabat baik, bahkan mungkin sebagai seorang kakak yang melindunginya! Kalau dia mempunyai pikiran yang bukan-bukan, bagaimana nanti pendapat Bi Lan? Bukankah dia scakan-akan menjadi pagar makan tanaman, seorang pelindung yang hendak mengganggu gadis yang dilindunginya? Tidak, dia tidak akan melakukan hal itu, sampai matipun tidak! Kecuali kalau memang Bi Lan cinta padanya, akan tetapi, tak mungkin hal itu terjadi.

Kedukaan kadang-kadang melanda hati Sim Houw, akan tetapi hanya sebentar karena melihat ke­lincahan dan kegembirian Bi Lan yang jenaka, lenyap­lah kedukaannya. Bagaimanapun juga, melakukan perjalanan bersama gadis itu, pahit maupun manis mengalami bersama Bi Lan, merupakan kebahagiaan yang menghapus segala duka dan keprihatinan hati­nya. Dia tidak akan memikirkan hal lain, takkan memikirkan hal yang belum terjadi, apa akan jadinya kelak. Yang penting, sekarang Bi Lan berada di sam­pingnya selalu dan itu sudah cukup baginya!

Musim salju lewat baru saja dan mereka mema­suki bulan musim semi. Biarpun pemandangan amat indah dan bunga-bunga sudah mulai ada yang berkem­bang, namun musim salju masih meninggalkan hawa dingin menyusup tulang. Seringkali, walaupun sudah mengenakan pakaian tebal dan sudah mengerahkan sin-kang untuk melawan hawa dingin, tetap saja Bi Lan merengek kedinginan sehingga terpaksa Sim Houw yang merasa kasihan menghentikan perjalanan untuk membuat api unggun, biarpun pada tengah ha­ri. Karena itu perjalanan menjadi amat lambat dan baru setelah mereka tiba di daerah Tembok Besar, hawa tidak begitu dingin seperti ketika mereka melalui puncak-puncak pegunungan yang tinggi. Berkali-kali Bi Lan berhenti untuk menikmati pemandangan yang amat ajaib. Tembok Besar itu nampak seperti seekor naga, memanjang dari barat ke timur seperti tiada habisnya. Nampak indah dan kokoh kuat.

Setelah hari menjadi malam baru mereka menca­pai Tembok Besar dan hawa kembali menjadi amat dinginnya di malam hari itu. Mereka berlindung di bawah tembok dan Sim Houw segera membuat api unggun, memanggang bekal makanan yang terdiri dari roti kering dan daging kering. Setelah makan dan minum secara sederhana, mereka lalu duduk beristirahat di dekat api unggun.

“Begini sunyi....“ kata Bi Lan dan tubuhnya agak menggigil, bukan karena kedinginan lagi karena api unggun itu bernyala dengan indahnya, melainkan merasa ngeri juga. Ia berada di dalam alam yang be­gitu luasnya hanya bersama Sim Houw, seolah-olah mereka berdua sajalah manusia-manusia yang hidup di dunia ini. Sunyi dan kadang-kadang terdengar suara-suara binatang yang aneh-aneh, yang belum pernah didengar sebelumnya. Ketika terdengar bunyi lolong yang mengerikan dan panjang berkali-kali, seperti saling sahut dari sebelah kanan dan kiri, Bi Lan ber­bisik.

“Toako.... suara apakah itu?”

Sim Houw menatap wajah yang cantik kemerahan di bawah sinar api unggun itu sambil tersenyum.

“Itulah suara serigala-serigala yang berkeliaran di daerah ini, Lan-moi.”

“Serigala? Aku pernah mendengar namanya akan tetapi belum pernah melihatnya.”

“Seperti seekor anjing biasa, tidak berapa besar, namun dia adalah anjing liar yang buas. Lebih kuat dan tangkas dari pada anjing biasa karena sejak lahir berada di dalam alam bebas yang mempunyai hukum rimba, sudah biasa dengan perkelahian mati-matian, baik untuk membela diri maupun untuk mencari makan.”

Bi Lan menarik napas lega. “Suaranya demikian mengerikan, ternyata hanya seperti seekor anjing bia­sa, sama sekali tidak berbahaya.”

Kembali Sim Houw tersenyum dan suaranya ter­dengar lembut, bukan untuk menakut-nakuti ketika dia memperingatkan, “Moi-moi, biarpun serigala hanya merupakan seekor anjing biasa, namun dia jauh lebih berbahaya dari pada anjing. Selain kuat dan tangkas, yang paling berbahaya adalah karena dia licik dan cerdik, juga biasanya hanya menyerbu dengan gerombolan yang cukup banyak. Karena itu, binatang lain yang lebih besar dan kuat, takut menghadapi se­rigala. Bahkan harimaupun akan lari menjauhkan diri, takut dikeroyok.”

Bi Lan terbelalak dan kembali ia menoleh ke ka­nan kiri dengan sikap ketakutan. Hal ini menggelikan hati Sim Houw dan diapun berkata, “Lan-moi, kalau serigala-serigala itu mengenalmu, tentu mereka yang akan menggigil ketakutan.”

“Aku ngeri membayangkan kelicikan mereka. Mereka itu seperti segerembolan orang jahat yang curang dan licik, yang beraninya hanya melakukan pengeroyokan.”

“Memang, dan di dunia kang-ouw, orang-orang macam itu memang ada yang disebut sebagai gerombolan serigala.”

Tiba-tiba suara lolong serigala itu berubah menjadi suara menyalak-nyalak dan menggonggong yang riuh, seolah-olah ada banyak anjing yang marah-marah dan menggonggong secara berbareng, tidak seperti tadi, melolong saling saut. Mendengar ini, Sim Houw mengerutkan alisnya. Sebagai keturunan ahli-ahli pemburu binatang buas diapun dapat menduga apa artinya suara riuh rendah itu.

“Celaka, mereka telah menyerbu sesuatu. Mari kita lihat!” kata Sim Houw.

“Ih, untuk apa melihat? Paling-paling mereka itu mengeroyok seekor binatang buas yang lebih besar.”

“Siapa tahu? Aku khawatir kalau-kalau mereka itu mengeroyok manusia yang perlu kita tolong. Lihat, bulan sudah muncul dan cuaca tidak begitu gelap. Kita dapat mencari ke arah suara hiruk-pikuk itu.”

“Mana ada manusia di tempat seperti ini, toako?”

“Engkau tidak tahu. Biarpun jarang, kadang-ka­dang ada saja rombongan saudagar yang berlalu-lalang di sini, yaitu mereka yang membawa barang dagangan keluar dan masuk Tembok Besar. Marilah.”

Mereka lalu menggendong buntalan pakaian me­reka dan memadamkan api unggun. Dengan Sim Houw berada di depan dan Bi Lan di belakangnya, mereka lalu berloncatan dengan hati-hati, menuju ke arah suara hiruk-pikuk yang terdengar di sebelah ti­mur. Mereka menyusuri sepanjang Tembok Besar karena suara ribut-ribut itu terdengar di sebelah dalam tembok, bukan di luar.

Akhirnya, setelah mendengar betapa suara gonggongan serigala itu kini bercampur dengan suara menguik dan ketakutan sehingga Sim Houw menduga tentu binatang-binatang itu mengeroyok seekor bina­tang lain yang kuat, mereka tiba di tempat terbuka, di kaki tembok. Masih nampak ada api unggun kecil menyala di dekat kaki tembok, dan tak jauh dari situ, di atas rumput yang kuning dan baru bersemi setelah layu selama berbulan-bulan karena musim salju, nam­pak seorang laki-laki sedang dikepung dan dikeroyok oleh gerombolan anjing serigala yang jumlahnya tidak kurang dari duapuluh ekor! Melihat betapa di seki­tar tempat itu terdapat bangkai-bangkai serigala ber­serakan, dapat diketahui bahwa pengeroyok itu tadi­nya jauh lebih banyak lagi!

Bi Lan hendak meloncat untuk membantu, akan tetapi Sim Houw memegang lengannya.

“Sssttt.... lihat betapa gagahnya dia. Dia tidak membutuhkan bantuan....”

Bi Lan memandang dan iapun menjadi kagum. Laki-laki itu bertubuh tinggi tegap, berdiri kokoh, kuat di atas tanah, lengan kanan ditekuk dengan tangan di bawah pinggang, jari-jari tangan terbuka dan terlentang, lengan kiri diangkat dengan tangan di de­pan dada, juga terbuka, kedua kaki terpentang lebar ke kanan kiri, sedikitpun tidak bergerak walaupun serigala-serigala itu mengepungnya sambil menyalak-nyalak dan meringis memperlihatkan taring-taring yang runcing dan memandang dengan mata yang me­rah beringas dan buas.

Tiba-tiba dua ekor serigala menubruk dari bela­kang sambil mengeluarkan suara gerengan dahsyat. “Licik....!” Bi Lan memaki lirih.

“Bukk! Desss!” Laki-laki itu memutar tubuh seolah-olah di belakang kepalanya ada matanya yang melihat gerakan dua ekor binatang itu, kakinya menendang dan tangannya menyambar. Robohlah dua ekor binatang itu, berkelojotan dan berkuik-kuik seperti anjing-anjing kena gebuk.

“Bagus....!” Bi Lan memuji.

“Kau melihat gerakan itu? Dia murid Siauw-lim-pai atau setidaknya menguasai ilmu silat Siauw-lim-pai,” kata Sim Houw, juga kagum.

Laki-laki yang tak dapat dilihat jelas mukanya karena cuaca tidak cukup terang itu memang gagah sekali. Sedikitpun dia tidak nampak gugup, tenang-tenang saja dia menanti serigala-serigala yang mengepungnya menyerang dari berbagai arah. Namun, setiap kali ada serigala yang menerjangnya, tentu disambut pukulan tangan miring atau tendangan dan sekali pukul atau satu kali tendang saja sudah cukup­ untuk membuat seekor serigala roboh dan tidak mam­pu bangun kembali.

Serigala-serigala itu agaknya tidak menjadi jera, mereka ini menerjang dari empat penjuru. Laki-laki itu nampak menggerakkan tubuh ke sana-sini sambil menendang dan menampar dan kini ada delapan ekor serigala yang terpelanting ke sana-sini. Barulah sisa gerombolan itu menjadi jerih, mereka mengeluarkan suara seperti menangis dan mundur-mundur, lalu me­larikan diri sambil melolong-lolong, seolah-olah mera­sa kecewa dan menangisi kesialan mereka malam itu.

Laki-laki itu tidak mengejar, sejenak berdiri tegak memandang ke sekeliling. Tidak kurang dari limabe­las ekor anjing serigala yang berserakan menjadi bang­kai di sekitar tempat itu, ada pula yang masih berke­lojotan lemah. Laki-laki itu lalu melompat dan memanjat naik ke atas tembok sambil menatap bulan yang sudah naik agak tinggi di timur.

Sim Houw dan Bi Lan hanya memandang dengan kagum. Betapa gagahnya laki-laki itu, seperti sebuah patung seorang pendekar yang gagah perkasa berdiri di tempat sunyi itu, diterangi sinar bulan. Tiba-tiba laki-laki itu bicara dengan suara nyaring, kata-katanya jelas dan satu-satu, teratur seperti sajak.

“Melihat kejam dan buasnya serigala

mengganggu dan membunuh orang tak berdosa

kenapa tidak turun tangan dan membasminya?

Penjajah lebih kejam dari pada serigala

mencekik dan menindas rakyat jelata

mengapa orang-orang gagah

tidak bangkit dan mengusirnya?”

Mendengar ucapan itu, Sim Houw dan Bi Lan merasa disindir. Jangan-jangan laki-laki itu memang sengaja menyindir mereka! Memang selama ini Sim Houw mendengar akan adanya orang-orang ga­gah, terutama dari Siauw-lim-pai, yang mengadakan gerakan, bangkit menentang pemerintah penjajah yang mereka namakan “berjuang untuk kemerdekaan rakyat”. Tentu saja pihak pemerintah menganggapnya sebagai pemberontakan-pemberontakan kecil dan semua gerakan itu ditindas oleh pasukan besar sehingga sampai demikian jauh, belum ada gerakan yang berhasil. Mereka berdua, Sim Houw dan Bi Lan, tidak pernah mencampuri urusan itu. Dan kalau baru-baru ini mereka membantu para pendekar untuk membasmi komplotan Sai-cu Lama yang menjadi kaki tangan pembesar lalim Hou Seng, maka hal itu me­reka lakukan tanpa ada hubungannya sama sekali dengan pemerintahan, melainkan semata-mata karena mereka memusuhi komplotan jahat itu.

Selagi Bi Lan hendak keluar dari tempat persembunyiannya, tiba-tiba Sim Houw memegang lengannya dan memberi tanda agar gadis itu tidak bergerak, kemudian dia menuding ke depan. Bi Lan mengikuti arah yang ditunjuk dan kini iapun dapat melihat bergeraknya beberapa bayangan orang ke arah tem­bok. Kemudian, nampak lima sosok tubuh yang bergerak dengan gesitnya, berloncatan ke atas tembok besar itu dan di tangan mereka nampak pula senjata tajam berkilauan tertimpa sinar bukan. Akan tetapi bukan itu saja, masih nampak bayangan banyak orang di bawah tembok. Sim Houw dan Bi Lan mengintai dan memandang dengan hati tertarik.

“Lie Tek San, engkau telah di kepung! Menyerah­lah sebelum kami mempergunakan kekerasan!” Se­orang di antara lima penyerbu itu membentak. Di bawah sinar bulan, nampak bahwa lima orang tua berpakaian sebagai perwira-perwira kerajaan, dan tahulah Sim Houw dan Bi Lan bahwa laki-laki itu telah dikepung oleh pasukan pemerintah, entah berapa jumlah mereka. Dan Sim Houw terkejut juga men­dengar disebutnya nama Lie Tek San itu. Dia pernah mendengar bahwa Lie Tek San adalah seorang pen­dekar gagah perkasa yang melakukan gerakan menen­tang pemerintahan, menentang penjajah Bangsa Mancu. Dia hanya mendengar bahwa Lie Tek San seorang pendekar dari daerah Hok-kian, seorang tokoh Siauw-lim-pai dan seorang di antara mereka yang dapat lolos ketika pemerintah menyerbu dan membakar kuil Siauw-lim-si. Biarpun dia tidak pernah mencampuri urusan perjuangan menentang pemerintah, namun, diam-diam hatinya sudah merasa kagum terhadap pendekar itu, maka kini dia memandang dengan hati tegang.

Laki-laki tinggi tegap yang disebut Lie Tek San itu kini menghadapi lima orang tadi, sikapnya tenang dan tetap gagah. Sejenak dia memandang mereka, kemudian dia tertawa. ”Ha-ha-ha-ha, kalian minta aku menyerah? Dengarlah, Lie Tek San telah bersumpah untuk menentang-kaum penjajah, melepaskan bangsaku dari cengkeraman kuku penjajah Mancu dan kalian minta aku menyerah? Ha-ha-ha!”

Pemimpin rombongan itu membentak, ”Lie Tek San, berbulan-bulan kami mencarimu. Engkau pemberontak hina, kami harus menangkapmu, hidup atau mati, dan menyeretmu untuk dihadapkan pada peng­adilan yang akan menghukum seorang pemberontak hina!

Sambil bertolak pinggang, Lie Tek San menjawab, suaranya lantang dan ini saja membuktikan bahwa dia memiliki tenaga khi-kang yang kuat. “Mendengar sua­ramu, engkau tentu seorang Han. Akan tetapi engkau merendahkan diri menghamba pada penjajah Mancu! Apakah sudah tidak ada lagi darah Han mengalir di dalam tubuhmu? Apakah engkau tidak melihat beta­pa bangsa kita diinjak-injak selama berpuluh-puluh tahun oleh orang-orang Mancu? Ingat baik-baik. Bangsa kita adalah bangsa yang besar, dengan jumlah yang amat banyak. Menurut sejarah, karena Bangsa Han dipimpin oleh orang-orang yang hanya mengejar kesenangan, dan karena perpecahan antara bangsa sendiri, maka bangsa kita yang besar sampai dapat ditundukkan dan dikuasai, dijajah oleh Bangsa Mancu, suku bangsa yang jumlahnya kecil itu, suku bang­sa yang biadab dan terbelakang. Ratusan juta Bangsa Han yang mendiami tanah air yang amat luas dapat diperhamba oleh sekelompok orang Mancu sampai seratus tahun lebih! Mengapa bisa demikian? Tak lain karena adanya anjing-anjing penjilat macam eng­kau inilah yang sudah membantu penjajah Mancu untuk menginjak-injak bangsa sendiri. Tidak malukah engkau kepada nenek moyangmu dan anak cucumu kelak yang akan mengutuk dan memaki-maki namamu?” Suara Lie Tek San penuh semangat dan kemarahan. Sim Houw dan Bi Lan yang mencuri de­ngar, merasa betapa bulu tengkuknya meremang, me­rasa seolah-olah ucapan itu ditujukan kepada mereka,

“Lie Tek San pemberontak hina! Engkau melaw­an pemerintah yang sah!” Si kumis tebal yang menjadi pemimpin pasukan itu, membentak marah.

“Pemerintah penjajah Mancu kau bilang sah? Siapa yang mengesahkan? Anjing-anjing penjilat macam kau? Tak tahu malu!”

“Tangkap pemberontak ini!” Si kumis tebal berteriak dan mereka berlima sudah mengurung orang tinggi besar yang gagah itu dengan golok besar ditangan. Mereka mengurung dengan membentuk ngo­eng-tin (barisan lima unsur), dengan rapi dan dengan gerakan ringan mereka mengepung dan siap menye­rang, menutup semua jalan keluar. Melihat gerakan dan barisan ini, Lie Tek San berseru nyaring, suara­ya penuh teguran dan ejekan.

“Kiranya kalian ini yang terkenal dengan julukan Huang-ho Ngo-liong (Lima Naga Sungai Huang-ho), bukan? Kalian adalah tokoh-tokoh Bu-tong-pai, orang-orang Han aseli yang telah merendahkan diri menjadi anjing-anjing penjilat para penjajah Mancu, menjijikkan sekali! Kalian hanya mengotorkan nama Bu-tong-pai yang besar!”

Lima orang itu memang benar Huang-ho Ngo-liong yang namanya terkenal sekali di sepanjang lembah Huang-ho dan mereka adalah murid-murid Bu-tong-pai yang berilmu tinggi. Mendengar makian itu, mereka menjadi semakin marah.

“Lie Tek San manusia sombong, pemberontak hina! Bu tong-pai tidak ada hubungan apapun dengan kedudukan kami sebagai perwira, dan Bu-tong-pai juga bukan pemberontak macam Siauw-lim-pai!” Si kumis tebal itu menggerakkan goloknya menyerang, diikuti oleh empat orang pembantunya yan semua masih terhitung sute (adik seperguruan) sendiri.

Laki-laki tinggi besar yang baru saja membasmi serigala-serigala yang menyerbunya dengan kedua tangan kosong, kini menghadapi lima orang itu dengan tangan kosong pula. Dengan geseran-geseran kaki yang kokoh kuat dan cepat, tokoh Siauw-lim-pai ini mengelak dan membalas serangan dengan pukulan dan tendangan kaki. Akan tetapi, lima orang itu dapat bergerak saling bantu dengan rapi sekali merupakan barisan lima orang yang saling melindungi dan saling memperkuat serangan. Karena maklum bahwa lima orang pengeroyoknya ini sama sekali tidak boleh disamakan dengan segerombolan serigala yang menyerang dengan buas tanpa perhitungan hanya mengandalkan kecepatan dan kekuatan, melainkan merupakan pengeroyok-pengeroyok yang lihai dan berbahaya, Lie Tek San lalu mainkan Ilmu Silat Kong-jiu-jip-pek-to (Dengan Tangan Kosong Memasuki Barisan Seratus Golok). Tubuhnya bergerak dengan amat gesitnya, menyelinap di antara sambar sinar golok dan berusaha untuk masuk ke dalam ba­risan dan mematahkan lingkaran yang saling melin­dungi itu.

Namun, lima orang murid Bu-tong-pai itu ternyata lihai bukan main dan betapapun kuatnya Lie Tek berusaha mengacaukan rangkaian lima batang golok itu, usahanya selalu gagal dan barisan lima golok itu menjadi semakin kuat dan berbahaya saja. Berapa kali hampir saja tubuh pendekar Siauw­-lim-pai itu tercium golok kalau saja dia tidak cepat melempar diri dan beberapa kali dia harus berguling­an. Akhirnya Lie Tek San meloncat sambil mengge­kkan tangan dan nampak sinar berkilauan ketika ia sudah mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang panjang.

Terdengar suara berdencingan nyaring ketika pedang itu bergerak menangkisi golok-golok yang datang bagaikan hujan. Nampak bunga api berpijar menyilaukan mata dan kini perkelahian menjadi semakin seru terjadi di atas tembok yang lebar itu.

Si kumis tebal mengeluarkan aba-aba dan kini pasukan yang tadinya hanya mengepung dan menon­ton, mulai memperketat kepungan, bahkan banyak yang sudah naik ke atas tembok dan menggunakan bermacam senjata mereka, ada tombak, golok atau pedang, untuk mengeroyok Lie Tek San.

Pendekar Siauw-lim-pai itu mengamuk dengan pedangnya. Namun, jumlah pengeroyok terlalu ba­nyak. Pasukan itu terdiri lebih dari limapuluh orang, merupakan pasukan istimewa yang bertugas mengadakan pembersihan di perbatasan. Akan tetapi yang membuat Lie Tek San terdesak adalah Ngo-heng-tin yang dilakukan oleh Huang-ho Ngo-liong itu. Barisan lima orang ini ganas sekali, setelah kini dibantu oleh pasukan, gerakan mereka menjadi semakin tangkas dan kuat sehingga dua kali Lie Tek San tercium ujung golok pada pundak dan pahanya sehingga dua bagian tubuh itu terobek kulit dagingnya dan berdarah. Akan tetapi, biarpun dia telah terluka, Lie Tek San masih mengamuk terus dan sedikitnya sudah ada sepuluh orang anggauta pasukan yang roboh oleh pedangnya.

Sementara itu, Sim Houw dan Bi Lan sejak ia nonton perkelahian itu dengan hati tegang. Sejak tadi, mereka berdua mengadakan perundingan sambil mata mereka tak pernah meninggalkan perkelahi­an itu.

“Tidak semestinya kita mencampuri urusan perjuangan atau pemberontakan,” kata Sim Houw yang maklum betapa hati Bi Lan condong untuk membantu Lie Tek San. “Sangat tidak enak kalau sampai dicap pemberontak dan menjadi orang buruan pemerintah. Kehidupan kita tidak akan leluasa lagi.”

“Tapi.... betapa mungkin kita memeluk tangan saja melihat orang sedemikian gagahnya terbunuh? Lihat, dia mulai terdesak, terlalu banyak lawan dan terlalu banyak darah keluar dari luka pahanya itu.” Bi Lan berkata.

Sim Houw tak dapat menjawab. Bagaimanapun juga, semua ucapan Lie Tek San yang penuh semangat tadi telah membakar hatinya dan menyentuh perasaan halusnya. Dia dapat melihat kebenaran dalam ucapan itu. Memang, Bangsa Han kini dijajah dan dipermainkan oleh orang-orang Mancu yang se­sungguhnya adalah bangsa biadab yang datang jauh dari utara, dari luar Tembok Besar. Andaikata semua orang Han seperti Lie Tek San ini sikapnya dan bang­kit, akan bisa apakah orang-orang Mancu itu? Per­bandingan rakyat mereka mungkin satu lawan seratus. Sayangnya, banyak di antara orang Han yang mabok kesenangan dan kemuliaan, tidak segan-segan untuk membantu orang-orang Mancu, memperkuat pemerin­tah penjajah.

“Sim-ko, lihat.... dia terluka lagi. Apakah kita harus membiarkan seorang gagah terbunuh begi­tu saja oleh gerombolan anjing itu?”

Sim Houw melihat betapa tubuh Lie Tek San terhuyung karena sebatang tombak di tangan seorang perajurit telah mengenai punggungnya. Dia masih mampu melindungi punggung itu dengan sin-kang, namun mata tombak itu sudah terlanjur melukainya dan masuk setengah jari dalamnya. Dia membalik dan dengan tendangan kilat dia merobohkan perajurit itu, mencabut tombaknya dan melontarkan tombak itu ke depan, menyerang si kumis tebal.

“Tranggg....!” Si kumis tebal menangkis dan tombak itu melesat ke samping, mengenai dada seorang perajurit sehingga perajurit itupun roboh berkelojotan!

“Mari kita bantu dia!” Akhirnya Sim Houw mengambil keputusan sedangkan Bi Lan yang sejak tadi sudah merasa gatal tangan akan tetapi belum mau mencampuri perkelahian sebelum Sim Houw menyetujuinya, begitu mendengar ucapan ini langsung saja meloncat ke depan dan melayang naik ke atas Tembok Besar. Karena ia maklum betapa lihainya Huang-ho Ngo-liong (Lima Naga Sungai Huang-ho) yang mengeroyok Lie Tek San, sambil meloncat Bi Lan sudah mencabut pedang Ban-tok-kiam dan iapun mengamuk. Begitu pedangnya berke­lebat, empat lima batang senjata para pengeroyok patah-patah dan kakinya yang terayun ke kanan kiri merobohkan empat lima orang pengeroyok. Kemudian Bi Lan menyerbu lima orang pemimpin pasukan yang mulai mendesak Lie Tek San dengan hebatnya.

“Lan-moi, jangan bunuh orang!” Sim Houw masih mengingatkan Bi Lan dan gadis inipun ingat bahwa ia memegang Ban-tok-kiam dan tidak boleh sembarangan membunuh orang. Dan iapun naik ke situ bukan untuk membunuh orang. Ia tidak pernah bermusuhan dengan anak buah pasukan itu ataupun lima orang perwira yang mengeroyok Lie Tek San. Ia naik hanya untuk menyelamatkan pendekar Siauw-lim-pai yang gagah perkasa itu.

“Larikan dia, toako, biar aku yang menahan mereka!” teriaknya dan pedangnya diputar menyerang lima orang itu.

Huang-ho Ngo-liong terkejut sekali melihat munculnya seorang gadis yang memutar sebatang pedang yang mengandung hawa yang mengerikan, apa lagi melihat betapa dengan mudahnya gadis itu meroboh­kan beberapa orang perajurit. Juga kemunculan gadis ini disusul munculnya seorang laki-laki yang dengan tangan kosong merampasi senjata para perajurit, dan merobohkan banyak perajurit hanya dengan dorong­an tangan yang nampaknya tidak menyentuh lawan! Mereka lalu bersatu menyambut gadis berpedang yang menyerang mereka.

Terdengar bunyi nyaring dan lima orang itu terkejut bukan main. Dua batang golok di antara mereka patah menjadi dua, sedangkan tiga yang lain merasa betapa telapak tangan mereka panas seperti dibakar oleh gagang golok mereka sendiri! Ketika mereka meloncat ke belakang, Sim Houw lalu meloncat ke depan, menyambar tangan Lie Tek San yang masih terhuyung dan agaknya nanar karena luka-lukanya.

“Lie-enghiong, mari kita pergi saja!” Sim Houw menariknya dan membantunya meloncat turun dari tembok. Lie Tek San maklum bahwa dalam keadaan luka-luka itu, melanjutkan perkelahian berarti bunuh diri. Kini muncul dua orang yang menolongnya, maka diapun tidak banyak cakap, lalu membiarkan dirinya ditarik dan diajak lari oleh laki-laki tampan yang tangannya lembut namun mengandung tenaga besar itu.Sementara itu, Bi Lan memutar pedangnya melin­dungi dari belakang. Huang-ho Ngo-liong berteriak memberi aba-aba dan mereka sendiripun lalu melaku­kan pengejaran, namun sinar pedang Ban-tok-kiam membuat mereka bergidik dan gentar. Sementara itu, Lie Tek San yang melihat betapa gadis itu memutar pedang yang mengandung sinar menyilaukan dan ha­wa yang mengerikan, terkejut dan kagum bukan main.

Akhirnya lima orang Huang-ho Ngo-liong tidak melanjutkan pengejarannya karena selain mereka sendiri jerih menghadapi pedang di tangan Bi Lan, juga anak buah mereka sudah merasa gentar dan ha­nya melakukan pengejaran dari jauh dengan ragu-ragu saja. Sementara itu, malam telah tiba dan cuaca menjadi gelap.

“Sebaiknya kita berhenti dulu untuk mengobati luka-lukamu, Lie-enghiong,” kata Sim Houw ketika mereka melihat bahwa pasukan itu tidak mengejar lagi dan mereka sudah tiba agak jauh dari tempat itu di kaki sebuah bukit.

Mereka berhenti dan Sim Houw cepat mengelu­arkan obat luka dan mengobati luka-luka di pung­gung, pundak dan paha orang gagah itu. Biarpun luka-luka itu terasa nyeri dan perih, namun Lie Tek San sama sekali tidak mengeluh ketika Sim Houw merawatnya. Di bawah sinar api unggun yang dibuat Bi Lan, mereka bercakap-cakap sambil mengobati luka-luka itu.

“Siapakah ji-wi dan bagaimana dapat mengenal­ku?” tanya Lie Tek San, memandang gadis dan orang muda itu bergantian dengan sinar mata kagum.

“Maafkan kami, terus terang saja kami sudah sejak engkau dikeroyok gerombolan serigala itu telah mengintaimu, Lie-enghiong. Kami sedang melakukan perjalanan dan kemalaman di sini, lalu kami mende­ngar suara serigala menyalak-nyalak. Kami datang dan melihat engkau dikeroyok. Kami tidak memban­tu karena engkau dapat membasmi serigala-serigala itu. Kemudian, kami melihat munculnya lima orang itu yang menyebut namamu. Namamu sebagai seorang pejuang tokoh Siauw-lim-pai telah sering kami de­ngar.”

“Akan tetapi, ji-wi (kalian berdua) memiliki ilmu silat yang amat tinggi, jauh lebih tinggi dari pada kepandaianku, dan pedang pusaka nona ini.... hemm, sungguh luar biasa. Siapakah ji-wi?”

“Nama saya Sim Houw....”

“Ahhh....! Apakah pendekar yang baru muncul dengan julukan Suling Naga? Aih benar. aku dapat melihat suling di ikat pinggangmu. Sung­guh mengagumkan sekali, Sim-taihiap yang masih muda sudah membuat nama besar di dunia kang-ouw!”

Sim Houw tersenyum. “Lie-enghiong terlalu memuji. Usiamu mungkin hanya beberapa tahun saja lebih tua dari pada usiaku, dan engkau sudah mem­buat nama besar dalam perjuangan.”

“Dan siapakah nona yang gagah perkasa ini?” tanya Lie Tek San, girang bahwa dia dapat berke­nalan dengan seorang pendekar yang mulai terkenal dengan julukan Suling Naga.

“Lie-enghiong, nama saya Can Bi Lan dan saya tidaklah begitu terkenal seperti Sim-toako,” kata Bi Lan tersenyum.

“Akan tetapi.... ilmu kepandaian nona he­bat, dan terutama pedang itu. Apakah nama pedang pusakamu itu, nona Can?”

Karena yang dihadapinya adalah seorang pendekar dan pejuang ternama, Bi Lan tidak ragu-ragu untuk memberi keterangan yang sebenarnya. “pedang ini adalah Ban-tok-kiam....”

“Wahhh....! Pernah aku mendengar dari para suhu di kuil Siauw-lim-si bahwa Ban-tok-kiam adalah sebuah di antara pusaka dari Istana Gurun Pasir! Benarkah pusaka ini milik locianpwe Pende­kar Naga Sakti Gurun Pasir seperti yang pernah kudengar seperti dongeng dari para suhu di kuil?” tanya Lie Tek San girang.

Bi Lan mengangguk. “Pusaka ini milik isteri pendekar itu yang kebetulan sekali adalah suboku dan beliau meminjamkan pusaka ini kepadaku. Seka­rang kami sedang menuju ke sana untuk mengemba­likan pusaka ini.”

Mendengar ini, kembali jagoan Siauw-lim-pai terkejut dan girang sekali. Dia memandang wajah

gadis itu penuh kagum, kemudian menatap wajah Sim Houw dan menggeleng-geleng kepalanya. “Ya Tuhan, sungguh tidak kusangka bahwa malam ini aku dapat bertemu dengan orang-orang muda yang sakti! Sungguh aku merasa amat gembira dan ter­hormat sekali!”

“Ah, aku hanya menjadi murid suhu dan subo dari Istana Gurun Pasir selama satu tahun saja,” kata Bi Lan merendah.

“Dan kami yang merasa amat kagum, girang dan terhormat telah dapat berkenalan dengan seorang pejuang perkasa. Nama Lie Tek San sudah mengge­tarkan kolong langit dan kami merasa kagum bukan main,” kata Sim Houw dengan suara sungguh-sung­guh.

Tiba-tiba Lie Tek San memandang tajam dan bertanya, “Benarkah Sim-taihiap kagum terhadap para pejuang?”

“Mengapa tidak? Bagi kami para pejuang adalah pendekar-pendekar yang mempergunakan ilmunya untuk kebaikan.”

Orang gagah itu mengerutkan alisnya. “Hanya sebegitu pengertian pejuang bagi Sim-taihiap?”

Tiba-tiba Sim Houw menarik tangan Lie Tek San, dan bersama Bi Lan dia sudah mengajak orang gagah itu melompat menjauhi api unggun, bahkan Bi Lan menggunakan kakinya menendang tumpukan kayu terbakar itu sehingga cerei-berai dan padam. Pada saat mereka berlompatan itu, terdengar suara berde­sing dan banyak sekali anak panah meluncur dan menyerang ke tempat di mana mereka tadi duduk. Dan serangan anak panah ini disusul teriakan-teriak­an banyak orang dan ternyata tempat itu telah dike­pung oleh pasukan pemerintah.

“Tangkap pemberontak-pemberontak hina!” ter­dengar bentakan nyaring dan suara ini penuh wibawa.

Ketika tiga orang itu memandang, ternyata ada belasan orang perwira, dipimpin oleh seorang pangli­ma brewokan tinggi besar yang tadi mengeluarkan suara bentakan itu, sedangkan di luar kepungan me­reka terdapat pula puluhan orang pasukan yang bersenjata lengkap!

Obor-obor segera bernyala dipegang oleh banyak perajurit sehingga tempat yang terkepung itu kini menjadi terang dan nampak jelas wajah-wajah tiga orang yang dikepung itu, Dan kini Sim Houw dan Bi Lan juga dapat melihat wajah para perwira dan pa­nglima itu, dan mereka mengenal pula bahwa yang memimpin pasukan ini adalah Coa-ciangkun, perwira tinggi yang pernah mereka jumpai ketika mereka bersama para pendekar lainnya membasmi komplot­an Sai-cu Lama dan Bhok Gun! Coa-ciangkun inilah yang dulu memimpin pasukan pemerintah yang akan membantu Bhok Gun dan kawan-kawannya, akan tetapi oleh pendekar Kao Cin Liong, bekas seorang panglima pemerintah, Coa-ciangkun dibuat tidak ber­daya sehingga dia tidak berani campur tangan dalam bentrokan antara dua kelompok kang-ouw itu. Dan kini, Coa ciangkun yang memimpin pasukan menge­jar-ngejar Lie Tek San dan telah mengurung mereka bertiga!

Sementara itu, agaknya Coa-ciangkun juga menge­nal Sim Houw dan Bi Lan, karena dia berkata dengan lantang, “Ahhh, kiranya pemberontak Lie Tek San bersekutu dengan Pendekar Suling Naga dan gadis ini.... hemmm, bukankah engkau gadis yang di­katakan sumoi dari nona Ciong Siu Kwi, murid dari Sam Kwi, yang telah berkhianat itu? Bagus! Kira­nya kini para pendekar dan juga murid datuk sesat telah menjadi kaki tangan pemberontak. Tangkap mereka, hidup atau mati!” bentak Coa-ciangkun dan pengepungan itu diperketat. Sim Houw dan Bi Lan terkejut dan hendak membantah bahwa mereka bukanlah pemberontak. Namun mereka tahu bahwa akan sia-sia saja mereka membantah, dan pula, perlu apa membantah terhadap perwira ini? Kini nampak oleh mereka betapa para perwira dan perajurit Bangsa Han yang membantu kerajaan Mancu memang meru­pakan lawan yang cukup tangguh, juga perajurit yang mengepung tempat itu amat banyak.

Hebat sekali sepak terjang Lie Tek San. Biarpun dia sudah terluka di tiga tempat dan baru saja diobati, kini dia mengamuk seperti harimau terluka. Berkali-kali mulutnya mengeluarkan teriakan-teriakan dah­syat, disambung kata-kata makian. Basmi semua anjing penjilat Mancu!”

Terseret oleh sepak terjang Lie Tek San yang penuh semangat, Sim Houw dan Bi Lan juga meng­amuk. Akan tetapi dua orang ini masih selalu berja­ga-jaga agar jangan sampai mereka membunuh lawan. Biarpun lawan amat banyak, namun berkat ilmu ke­pandaian mereka yang tinggi, terutama sekali Sim Houw, mereka mampu merobohkan lawan tanpa membunuh mereka, hanya melukai saja. Dan para perajurit gentar sekali menghadapi sinar pedang Ban-tok-kiam dan sinar senjata pedang berbentuk suling Liong-siauw-kiam. Kalau sinar pedang Ban-tok-kiam amat mengerikan karena mengandung hawa yang kadang-kadang panas dan kadang-kadang dingin, maka sinar pedang Suling Naga itupun membuat mereka gentar karena setiap kali bertemu dengan senjata lawan, seperti halnya Ban-tok kiam, tentu senjata lawan patah atau terlempar!

Melihat kehebatan tiga orang itu yang membuat kepungan anak buahnya kocar-kacir, bahkan para perajurit menjadi gentar dan tidak ada yang berani mendekat, Coa-ciangkun terkejut bukan main. Kalau saja dia tahu bahwa Lie Tek San kini dibantu dua orang pendekar sakti itu, tentu tadi dia mengerahkan sedikitnya duaratus orang perajurit! Kini, untuk minta bala bantuan sudah tidak keburu lagi, maka diapun tidak mendesak anak buahnya ketika belasan orang pembantunya sudah roboh terluka dan tiga orang yang dikepung itu kini melarikan diri ke dalam kegelapan malam. Dia hanya mencatat dalam lapor­annya bahwa Sim Houw dan Can Bi Lan, dua nama yang sudah dikenalnya ketika terjadi bentrokan antara para pendekar dengan para pembantu Hou Seng dulu, kini telah menjadi pemberontak, bersekutu dengan Lie Tek San!

Sementara itu, Lie Tek San yang mengenal jalan mengajak dua orang pendekar yang telah menyelamat­kannya itu untuk melarikan diri ke sebuah perkam­pungan besar yang berada di balik bukit. Hari telah pagi ketika mereka tiba di perkampungan itu dan dari cara penduduk perkampungan itu berpakaian, tahulah Sim Houw bahwa itu adalah perkampungan suku Bangsa Hui! Sebagian besar kaum pria suku Bangsa Hui ini mengenakan sorban putih pada kepa­lanya dan semua orang Hui, hanya sebagian kecil saja yang tidak beragama Islam. Mereka adalah sekelompok suku bangsa yang bahasanya hanya sedikit berbeda dengan Bangsa Han, bahkan segalanya tidak berbeda dengan Bangsa Han, kecuali agama mereka. Suku Bangsa Hui tersebar di daerah utara yang amat luas, sampai ke sudut-sudut barat utara Propinsi Sin-kiang dan sudut timur utara Propinsi Mongol dan Mancuria, Suku Bangsa Hui terkenal sebagai peternak-peternak, pejagal-pejagal dan terkenal pula pandai membuat masakan yang lezat. Akan tetapi di samping itu, juga mereka terkenal sebagai pejuang-pejuang yang gagah dan gigih. Di mana-mana nampak mereka itu bangkit menentang penjajah Mancu dan banyak pula yang membantu perjuangan Bangsa Han secara terbuka dalam usaha mengusir penjajah Mancu.

Kedatangan Lie Tek San yang menjadi sahabat para penduduk perkampungan Hui itu disambut me­riah dan setelah diperkenalkan, juga Sim Houw dan Bi Lan disambut dengan penuh kehormatan. Mereka bertiga dianggap sebagai tamu-tamu agung dan me­nerima hidangan yang serbaneka dan lezat dan ter­utama sekali daging domba. Diam-diam Sim Houw dan Bi Lan kagum sekali melihat mereka. Mereka adalah suku bangsa yang ramah, yang taat beragama, namun berjiwa patriotik dan gagah, walaupun dalam hanyak hal, terutama sekali kebudayaan dan pendidikan, mereka agak terbelakang dan kehidupan mereka sebagian besar sebagai kelompuk nomad yang suka berpindah-pindah mencari daerah yang subur.

Mereka bertiga disambut oleh para pimpinan suku bangsa Hui dan Lie Tek San bercakap-cakap dengan mereka, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Sim Houw dan Bi Lan. Yang dibicarakan adalah me­ngenai perjuangan dan dalam percakapan ini sepasang pendekar itu mendengar banyak sekali hal yang sebelumnya tak pernah mereka ketahui. Tentang kegagah an para pejuang, tentang perjuangan mereka yang mulia. Kalau tadinya Sim Houw dan Bi Lan menganggap para pejuang tiada bedanya dengan para pen­dekar, kini setelah mendengar keterangan Lie Tek San, mereka dapat melihat betapa terdapat perbedaan besar sekali.

“Perjuangan para pendekar dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, dalam membela kaum lemah tertindas dan menentang kejahatan, hanya memiliki daerah yang amat sempit. Para pendekar hanya meng­urus masalah perorangan yang tidak begitu besar artinya bagi bangsa dan tak mungkin para pendekar menyelesaikan masalah perorangan yang teramat ba­nyak. Permusuhan dan dendam pribadi terjadi di mana-mana dan biarpun para pendekar turun tangan mempertahankan kebenaran dan keadilan namun ke­jahatan takkan pernah berakhir. Keadaan kacau-balau dan munculnya kejahatan itu terjadi karena kaadaan, maka yang perlu dirubah adalah keadaan itu sendiri. Perjuangan para pendekar hanya seperti usaha me­ngurangi atau melenyapkan rasa nyeri, akan tetapi sebaliknya usaha kami para pejuang adalah melenyap­kan penyakitnya!” demikian antara lain Lie Tek San berkata penuh semangat, dan para pemimpin suku Bangsa Hui mengangguk-angguk mengerti dan mereka memandang kepada Lie Tek San penuh kagum.

Akan tetapi Sim Houw dan terutama sekali Bi Lan, merasa biagung. “Lie-enghiong, apakah bedanya antara keduanya itu?” tanya Bi Lan penasaran ka­rena mendengar betapa tindakan para pendekar tidak dihargai seperti tindakan para pejuang.

Lie Tek San tersenyum. “Besar sekali bedanya. Keadaan masyarakat bagaikan orang sakit yang tentu saja menderita nyeri karena penyakitnya. Kalau hanya rasa nyeri itu saja yang dilenyapkan, tanpa meng­obati penyakitnya, maka rasa nyeri itu hanya akan lenyap untuk sementara saja dan akan muncul kem­bali. Sebaliknya, kalau penyakitnya yang diobati, begitu penyakitnya sembuh, otomatis rasa nyeri itu­pun akan lenyap. Bukankah demikian?”

“Apa hubungannya urusan penyakit dengan urus­an sepak terjang para pendekar?” Bi Lan mendesak karena masih belum mengerti.

“Can-lihiap (pendekar wanita Can), biarpun engkau memiliki ilmu kepandaian tinggi, agaknya belum begitu luas pengetahuanmu sehingga belum dapat menangkap apa yang kumaksudkan. Para pendekar bertindak menolong sesama manusia, berarti hanya mengurus masalah perorangan yang kecil saja dan selama hidupnya takkan pernah dia mampu menyela­matkan seluruh manusia dari pada tekanan kejahatan. Akan tetapi para pejuang bertindak menolong negara, menolong bangsa dan rakyat pada umumnya. Rakyat kita terjajah, tertindas dan hidup dalam kemelaratan dan kesengsaraan karena diperas dan ditindas oleh penjajah, dan dari keadaan inilah timbul banyak per­buatan yang menyeleweng dari pada kebenaran. Kami kaum pejuang bergerak untuk menyembuhkan penya­kit ini, penyakit tertindas penjajah. Sekali penjajah lenyap dan rakyat kita hidup merdeka, keadaan menjadi adil dan makmur, maka kejahatanpun akan berkurang atau lenyap dengan sendirinya. Kalau para pendekar hanya menolong perorangan, maka para pejuang menolong seluruh rakyat dan bangsa, bahkan menolong pula anak cucu bangsa kita. Mengertikah engkau sekarang, lihiap?”

Bi Lan menjadi bengong. Baru sekarang ini ia mendengar tentang persoalan yang demikian besarnya, menyangkut seluruh rakyat, menyangkut bangsa. Ia hanya mengangguk, pada hal masih banyak hal yang meragukan hatinya karena belum dapat dimengertinya benar.

“Karena itu, banyak sekali para pendekar yang dianggap sebagai pendekar besar dan budiman, na­mun sebenarnya mereka itu kosong, bahkan banyak pula yang menyeleweng tanpa mereka sadari karena mereka sama sekali tidak memperhatikan tentang kesengsaraan rakyat seluruhnya, hanya memperhati­kan kesengsaraan perorangan bahkan yang tidak ada artinya.”

Sim Houw mengerutkan alisnya, merasa tidak setuju mendengar orang gagah ini mencela para pen­dekar besar yang budiman. “Maaf, Lie-enghiong, setahuku, para locianpwe yang gagah perkasa selalu hidup melalui jalan kebenaran. Siapa yang tidak mendengar akan sepak terjang yang gagah dari kelu­arga Pulau Es misalnya, atau keluarga Istana Gurun Pasir, juga keluarga besar Siauw-lim-pai dan lain-lainnya?”

“Keluarga Pulau Es?” Lie Tek San menarik napas panjang dan mengerutkan alisnya. “Siapa yang tidak tahu bahwa mereka adalah keluarga para pen­dekar yang gagah perkasa dan sakti? Akan tetapi, semua orangpun tahu bahwa mereka itu condong untuk memihak penjajah Mancu! Bahkan di dalam darah mereka terdapat darah keluarga kerajaan Man­cu! Mana bisa mereka dibandingkan dengan para pejuang yang siap setiap saat mengorbankan nyawa untuk negara dan bangsa? Tidak, bagaimanapun ju­ga, aku tidak dapat mengagumi keluarga Pulau Es! Siapa tidak tahu betapa isteri pertama dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es adalah seorang puteri Mancu, bahkan seorang panglima terkenal yaitu Puteri Nirahai, dan puteri merekapun menjadi panglima terkenal yaitu Puteri Milana? Dan isterinya yang ke dua, yaitu Nenek Lulu juga seorang berdarah Mancu! Keturunan mereka memiliki darah Mancu dan beta­papun gagahnya mereka itu, tentu mereka setia kepa­da Mancu dan membela penjajah yang menindas rakyat kita. Bangsa Han dari suku-suku bangsa lain­nya!” Lie Tek San bicara penuh semangat. Sim Houw dan Bi Lan mendengarkan dengan mata terbe­lalak. Baru sekarang mereka mendengar ada orang gagah yang terang-terangan berani mencela keluarga Pulau Es!

“Bagaimana dengan keluarga Istana Gusan Pa­sir?” Bi Lan bertanya, suaranya menantang, ingin melihat apakah pejuang itu berani mencela keluarga kedua gurunya.

“Hemmm, tidak banyak bedanya. Bukankah pu­tera tunggal mereka, pendekar Kao Cin Liong, pernah menjadi seorang panglima kerajaan Mancu?”

“Akan tetapi sekarang dia sudah mengundurkan diri!” Bi Lan membantah.

Lie Tek San mengangguk-angguk dan tersenyum. “Maaf, lihiap, bukan maksudku untuk secara mem­babi-buta mencela para pendekar. Mereka adalah orang-orang sakti yang mengagumkan. Akan tetapi sayang bahwa mereka itu hanya tertarik oleh urusan pribadi. Kalau saja orang-orang sakti seperti mereka itu memikirkan nasib rakyat dan bersama-sama maju menentang penjajah, tentu pemerintah penjajah akan segera dapat dihancurkan dan rakyat kita terbebas dari pada cengkeramannya! Memang benar bahwa akhirnya pendekar Kao Cin Liong mengundurkan diri, akan tetapi kapankah keluarga itu menentang penjajah? Tidak pernah! Bahkan mereka itu, para pendekar yang gagah perkasa itu, baru-baru ini melakukan suatu kesalahan besar sekali ketika mereka membasmi kaki tangan pembesar Hou Seng!”

“Ahhh....!?!” Sim Houw dan Bi Lan terke­jut dan berbareng mereka mengeluarkan seruan kaget sambil menatap wajah pejuang itu. Adapun para pimpinan suku Bangsa Hui sejak tadi hanya mende­ngarkan saja, kadang-kadang mengangguk-angguk membenarkan ucapan Lie Tek San. “Kebetulan sekali kami berdua juga membantu para pendekar membas­mi kaki tangan Hou Seng yang amat jahat itu! Kena­pa perbuatan itu dianggap suatu kesalahan besar?”

Kembali pejuang itu menarik napas panjang. Mencela para pendekar bukan merupakan tugas yang menyenangkan, akan tetapi harus dia lakukan untuk membangkitkan semangat mereka yang dianggapnya melempem. “Dipandang secara umum, memang per­buatan menentang dan membasmi kaki tangan Hou Seng itu benar dan gagah, akan tetapi kalau dikait­kan dengan kepentingan perjuangan rakyat yang hen­dak membebaskan diri dari cengkeraman penjajah, maka perbuatan para pendekar itu sungguh merupa­kan suatu kesalahan besar yang amat merugikan perju­angan.”

“Eh, bagaimana mungkin bisa demikian?” Bi Lan penasaran.

“Lihiap, kami sudah menyelidiki keadaan Hou Seng. Dia seorang pembesar yang korup dan beram­bisi, dia memelihara jagoan-jagoan yang terdiri dari datuk-datuk sesat yang lihai. Dia meryuruh jagoan-jagoannya untuk menculik dan membunuh para pembesar yang menentangnya. Semua perbuatannya itu sungguh amat menguntungkan perjuangan rakyat. Bukankah dengan demikian, kedudukan kerajaan Mancu menjadi semakin lemah? Hou Seng merupakan penyakit yang menggerogoti dari dalam, melemahkan pemerintah penjajah. Biarpun aku pribadi amat membencinya, namun perbuatannya itu justeru menguntungkan kita, merusak pihak lawan. Seyogia­nya dia itu dibiarkan saja, biar dia merusak keduduk­an kerajaan penjajah, biar terjadi saling hantam di kalangan mereka sendiri. Akan tetapi, para pendekar muncul, membasmi kaki tangan Hou Seng, dan kea­daan di istana kerajaan menjadi aman dan bersih kembali, yang berarti memperkuat kerajaan dan kami para pejuang yang rugi. Di dalam diri Hou Seng kami seolah menemukan pembantu yang amat berharga. Mengertikah sekarang ji-wi yang gagah?”

Sim Houw dan Bi Lan saling pandang dan mem­ang mereka mulai mengerti. Kiranya perjuangan membutuhkan pemikiran yang mendalam. Perjuangan harus mengesampingkan perasaan dan urusan pribadi dan semua harus ditujukan demi kepentingan perju­angan rakyat itu sendiri. Betapa besar dan mulianya! Memang jauh lebih besar dari pada sikap dan tindakan para pendekar yang hanya memikirkan nasib orang yang dihadapinya dan ditolongnya. Betapa kecil bantuan kepada perorangan ini kalau dibandingkan degan perjuangan yang mengingat akan nasib rakyat jelata!

Akan tetapi, Sim Houw adalah seorang pendekar yang luas pengetahuannya dan dalam pemikirannya sudah banyak pula dia membaca dan merenungkan permasalahan dunia dan kehidupan manusia pada umumya, maka menghadapi perbandingan antara pejuang dan pendekar, dia melihat perbedaan lain yang membuat para pendekar nampak lebih unggul baginya. Diapun melihat betapa Bi Lan amat tertarik dan dia tidak akan merasa heran kalau gadis yang masih muda itu lebih mudah terseret dan terjun dalam perjuangan dan untuk menyadarkan gadis itu, dia harus mengemukakan pendapatnya sekarang juga.

“Akan tetapi maafkan saya, Lie-enghiong. Saya juga melihat kesalahan besar sekali dilakukan orang dalam perjuangan, yang membuat tindakan pejuang-pejuang menjadi tidak murni lagi.”

Lie Tek San memandang tajam, akan tetapi mu­lutnya tersenyum tanda kelapangan hatinya. “Tidak ada gading yang tidak retak, tidak ada manusia tanpa cacat, Sim-taihiap. Akan tetapi apakah kesalahan itu?”

“Kalau sebagian besar perbuatan para pendekar menentang kejahatan dan menolong orang-orang lemah tertindas timbul ari dorongan hati pada saat dia melihat ketidakadilan itu, pada saat itu perdekar bertindak memberantas kejahatan tanpa pamrih, sebaliknya tindakan para pejuang merupakan tindakan yang telah direncanakan dan diatur untuk jangka waktu yang lama dan panjang. Dan biasanya, di dalam tindakan berencana ini, terdapat pamrih untuk diri sendiri walaupun nampaknya mereka berjuang untuk membela rakyat. Bukankah perjuangan itu bermaksud mengalahkan pemerintah penjajah yang lama dan bukankah perjuangan itu bercita-cita untuk menang dan kalau sudah menang, para pejuang tentu saja memperoleh kekuasaan dan kedudukan? Nah biasanya, walaupun ketika pejuang-pejuang itu masih melakukan perjuangan cita-cita mereka murni dan ditujukan untuk membebaskan rakyat jelata dari penindasan, akan tetapi kalau sudah memperoleh kemenangan dan para pejuang itu memperoleh kedudukan dan kekuasaan, mereka menjadi lupa diri. Mereka akan mabok kemenangan, mabok kekuasaan dan ha­nya menjejali diri sendiri dengan kesenangan yang mereka anggap sebagai hasil dan upah dari perjuang­an mereka.”

Para pimpinan suku Bangsa Hui atu saling pan­dang, dan Lie Tek San mengangguk-angguk dan menarik napas panjang, wajahnya nampak berduka dan khawatir. “Ah, engkau telah membuka dan me­nelanjangi kekotoran manusia dalam perjuangan. Sim taihiap! Akan tetapi tak dapat disangkal akan kebenaran ucapanmu itu. Memang terdapat perbeda­an antara kemenangan pendekar dan kemenangan pejuang. Kemenangan pendekar terhadap musuhnya tidak mendatangkan suatu keuntungan maka tidak akan menyelewengkan hati pendekar itu, dan sebalik­nya kemenangan pejuang memang dapat mendatang­kan pahala besar yang mudah menyelewengkan hati manusia yang lemah. Akan tetapi, kiranya tidak semua manusia seperti itu. Dan kita akan menjadi manusia yang berbahagia kalau teringat akan kele­mahan itu sehingga penyakit itu tidak akan meng­hinggapi batin kita. Mudah-mudahan saja kita tidak akan seperti mereka yang kelak dimabok oleh keme­nangan dan kekuasaan.”

Setelah bercakap-cakap dan berjanji kepada Lie Tek San bahwa mereka akan berpikir tentang perju­angan setelah menyelesaikan urusan pribadi mereka, Sim Houw dan Bi Lan meninggalkan perkampungan suku Bangsa Hui dan mendapat petunjuk dari mereka tentang letak Istana Gurun Pasir yang mereka cari.

***

Istana Gurun Pasir terletak di tengah-tengah gurun pasir, di suatu daerah yang aneh karena di tengah-tengah gurun pasir yang luas itu terdapat se­bidang tanah yang subur! Istana tua itu terpencil jauh dari pedusunan dan biarpun mereka lihai, Sim Houw dan Bi Lan tentu akan mengalami kesukaran menemukan tempat ini sungguhpun Bi Lan pernah mendapat keterangan yang cukup jelas dari subonya, kalau saja mereka tidak memperoleh petunjuk dari suku Bangsa Hui.

Suami isteri sakti yang tinggal di istana tua dan kuno itu kini sudah menjadi seorang kakek dan nenek yang usianya sudah lanjut. Kakek Kao Kok Cu yang namanya pernah menggemparkan dunia persilatan sebagai Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, kini telah menjadi seorang kakek yang usianya hampir delapan­puluh tahun. Walaupun dia masih nampak gagah dan sehat, namun dia sudah jarang sekali keluar dari istana tua itu, kecuali untuk keluar ke kebun merawat tanaman sayuran sambil menikmati hawa segar dan sinar matahari yang menyehatkan. Isterinya yang du­lu merupakan seorang pendekar wanita yang lihai, kinipun sudah menjadi seorang nenek berusia kurang lebih tujuhpuluh lima tahun.

Meteka berdua hidup di tempat terpencil dan sunyi itu. Masa gemilang kehidupan mereka telah lalu. Dulu mereka adalah sepasang suami isteri yang gagah perkasa dan disegani kawan ditakuti lawan, akan tetapi kini mereka hanya sepasang kakek dan nenek yang sudah menjauhkan diri dari keramaian dunia, makin hari semakin lemah dan tua dimakan usia dari dalam. Yang menemani mereka hanyalah sepasang suami isteri berusia empatpuluh tahun lebih, dari suku bangsa Mongol peranakan Han, yang menjadi pelayan dan membantu pekerjaan di kebun dan di rumah. Tanah di daerah itu memang subur, bahkan terdapat sumber airnya sehingga kehidupan empat orang ini cukup makan dari tumbuh-tumbuhan yang mereka tanam sendiri. Untuk keperluan barang lain, mereka dapat memperolehnya dari pedagang-peda­gang keliling di balik bukit, atau bertukar barang de­ngan penghuni dusun di balik bukit.

Agaknya suami isteri tua renta itu memang hanya menanti saat panggilan Tuhan saja dan mereka memi­lih tempat sunyi ini dari pada kota yang ramai. Ber­kali-kali putera tunggal mereka, Kao Cin Liong minta agar ayah dan ibu ini suka ikut tinggal bersama kelu­arganya di kota, namun kakek dan nenek itu tidak mau, sudah terlanjur betah tinggal di tempat yang sunyi itu. Biarpun keduanya sudah tua, untuk men­jaga kesehatan, mereka tidak perrah lupa untuk mela­tih otot-otot tubuh mereka di samping duduk bersa­madhi untuk mempersiapkan diri menghadapi kehi­dupan lain di alam baka.

Ketika mereka tiba di puncak bukit dan melihat istana tua itu di kejauhan, di tengah-tengah gurun pasir, mereka memandang kagum bukan main. Seperti dalam dongeng saja. Sebuah istana yang dari jauh nampak indah sekali, berdiri megah di tengah-tengah padang pasir yang luas dan mati. Dan di sekitar istana itu nampak nyata tumbuh-tumbuhan yang segar dan kehijauan. Benar-benar mentakjubkan.

“Mari kita cepat ke sana!” Bi Lan berteriak girang, membayangkan bahwa ia akan segera bertemu dengan kakek dan nenek yang telah menjadi guru-gu­runya dan yang telah menyelamatkannya dari maut ketika ia keracunan oleh ilmu-ilmu yang sengaja dia­jarkan secara keliru dan menyeleweng oleh Bi-kwi, sucinya.

Sim Houw tersenyum, maklum akan ketegangan dan kegembiraan hati gadis itu. Dia sendiri merasa tegang, akan tetapi bukan gembira melainkan khawa­tir. Istana kuno itu demikian megah dan nama besar suami isteri sakti itu membuat dia merasa seolah-olah kedatangannya akan merupakan gangguan terhadap kehidupan mereka yang tenteram seperti kehidupan sepasang dewa. Dia khawatir kalau-kalau Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya akan merasa terganggu oleh kunjungannya dan dia merasa terasing. Namun dia menghibur diri sendiri. Bagaimanapun juga, kunjungannya ini hanya untuk mengantar Bi Lan, dan bukankah Bi Lan merupakan murid dari mereka?

Saking gembiranya dan besar keinginannya untuk segera dapat bertemu dengan suhu dan subonya. Bi Lan mengerahkan tenaganya dan berlari cepat menuju ke istana itu, menuruni bukit. Kedua kakinya berge­rak cepat ketika berlari di atas pasir dan Sim Houw mengikutinya sambil tersenyum, terbawa oleh kegem­biraan Bi Lan. Sebentar saja Bi Lan sudah tiba di depan istana, di dalam pekarangan depan yang penuh dengan tanaman bunga beraneka ragam dan warna. Seorang laki-laki berbangsa Mongol dengan wajah di­ngin sedang mencangkul, membuangi rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar bunga-bunga itu.

Laki-laki itu adalah pelayan di istana itu dan dia sama sekali tidak menengok ketika Sim Houw dan Bi Lan memasuki pekarangan. Wajahnya tetap dingin seperti arca, sehingga Bi Lan yang tadinya ingin me­negurnya dan bertanya, tidak jadi membuka mulut, hanya memandang dengan penuh harapan ke arah pintu depan istana itu yang nampak terbuka sebagian.

Sinar matanya berseri gembira ketika yang diharapkannya muncul. Seorang kakek dan seorang ne­nek, keduanya sudah sangat tua akan tetapi wajah mereka masih nampak segar dan tubuh mereka masih lurus, muncul dari dalam pintu, melangkah ke luar dan berdiri di serambi.

“Suhu! Subo....!” Bi Lan berseru dan cepat ia lari naik ke atas serambi dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek dan nenek itu. Sim Houw melihat betapa kakek dan nenek itu berdiri tegak dengan sikap agung dan berwibawa, maka dia pun cepat mengikuti Bi Lan dan menjatuhkan diri berlutut pula di depan mereka.

“Suhu dan subo, teecu datang berkunjung,” kata Bi Lan dengan suara mengandung kegembiraan dan keharuan. “Suhu dan subo selama ini dalam sehat saja, bukan?”

Kakek dan nenek itu diam saja dan sampai bebe­rapa lamanya mereka hanya mengamati Bi Lan dan Sim Houw dengan penuh perhatian. Akhirnya terde­ngar nenek Wan Ceng berkata, suaranya lembut akan tetapi dingin dan tidak terkandung kegembiraan se­perti yang diharapkan Bi Lan.

“Bi Lan, keluarkan Ban-tok-kiam dan berikan kepadaku.”

Diam-diam Bi Lan terkejut bukan main. Dahulu, biasanya sikap subonya terhadap dirinya amat ramah dan manis, bahkan terkandung rasa sayang di dalam kata-katanya kalau bicara kepadanya. Ia masih ingat benar. Akan tetapi kenapa kini di dalam suara subo­nya terkandung nada yang dingin dan seperti orang marah. Akan tetapi ia tidak membantah.

“Baik, subo.” Dikeluarkannya Ban-tok-kiam dari dalam buntalan pakaiannya dan dengan kedua tangan, diserahkannya pedang pusaka itu kepada subonya. Ketika melakukan ini, ia menengadah dan memandang wajah subonya penuh perhatian. Kembali ia terkejut. Wajah subonya itu kelihatan tidak senang! Juga wajah Suhunya yang biasanya penuh kesabaran dan kecerahan agak muram.

Tanpa memandang lagi kepada muridnya, nenek Wan Ceng mencabut Ban-tok-kiam dari sarungnya, lalu mendekatkan pedang itu kepada hidungnya. Ia mengerutkan alisnya dan berkata dengan galak. “Hemm, Ban-tok-kiam ternoda darah yang masih baru! Can Bi Lan, darah siapa yang menodai Ban-tok-kiam dan kenapa engkau mempergunakannya un­tuk membunuh orang?”

Gadis itu terkejut dan cepat memberi hormat. “Harap subo sudi mengampuni teecu. Sesungguh­nya, belum lama ini teecu mempergunakan Ban-tok-kiam dalam perkelahian. Teecu terpaksa mempergu­nakannya karena lawan berjumlah banyak dan cukup kuat.”

“Hemm, masih ingatkah engkau apa pesanku ketika meminjamkan Ban-tok-kiam kepadamu?” kembali suara nenek itu terdengar melengking tinggi tanda kemarahan hatinya.

“Teecu masih ingat, subo,” kata Bi Lan, jantung­nya berdebar tegang dan merasa tidak enak, tidak mengira bahwa kunjungannya diterima dengan kema­rahan oleh suhu dan subonya, tidak seperti yang dibayangkannya semula, yaitu melihat suhu dan subo­nya menerimanya dengan gembira. “Subo memesan agar pedang pusaka itu teecu pergunakan untuk men­jaga diri dan hanya mempergunakan kalau keadaan terdesak dan teecu berada dalam bahaya.”

“Hemm, bagus kalau kau masih ingat. Apakah ketika engkau mempergunakan Ban-tok-kiam baru-baru ini, engkau juga dalam ancaman bahaya?”

Ditanya demikian, Bi Lan menjadi bingung. Seje­nak ia melirik ke arah Sim Houw yang juga menun­dukkan muka dengan hati merasa tidak enak. “Maaf, subo. Teecu tidak terancam bahaya, akan tetapi ada orang lain yang terancam bahaya dan teecu harus me­nolongnya. Dia dikepung banyak anak buah pasukan yang dipimpin oleh perwira-perwira yang lihai. Akan tetapi teecu berani bersumpah bahwa Ban-tok-kiam tidak teecu pergunakan untuk membunuh, hauya melukai ringan saja....”

“Cukup. Nenek Wan Ceng membentak. “Biar hanya luka sedikit, kalau terkena Ban-tok-kiam, kau­kira akan dapat hidup mereka itu tanpa kauberi obat?”

Dengan penuh semangat karena mengharapkan agar sekali ini ia dibenarkan kedua gurunya, Bi Lan berkata, “Dia adalah seorang pendekar perkasa, seo­rang pejuang yang gagah berani bernama Lie Tek San. Teecu melihat dia dikeroyok di dekat Tembok Besar, maka teecu turun tangan membantunya.”

“Lie Tek San pemberontak dari Siauw-lim-pai itu?” tanya Kao Kok Cu.

“Benar, suhu!” kata Bi Lan gembira karena gu­runya ternyata mengenal nama besar pejuang itu.

“Hemm, kiranya bocah ini malah sudah membantu pemberontak!” Tiba-tiba nenek Wan Ceng berseru marah, mengejutkan Bi Lan dan Sim Houw. “Dan orang muda ini tentulah yang bernama Sim Houw dan berjuluk Pendekar Suling Naga. Benarkah?”

Sim Houw terkejut dan cepat memberi hormat, lalu memandang wajah nenek itu.

“Benar sekali, locianpwe, saya bernama Sim Houw....”

“Dan berjuluk Pendekar Suling Naga?” nenek itu menyambung.

“Hal itu adalah karena saya suka mempergunakan senjata Pedang Suling Naga, maka orang-orang menyebut saya demikian.” Sim Houw mengaku.

“Bi Lan, semenjak kita saling berpisah, kami banyak mendengar hal-hal buruk tentang dirimu! Dan sekarang aku melihat kenyataan sendiri bahwa bukan saja engkau telah meninggalkan kesusilaan, akan tetapi juga engkau telah menggunakan Ban-tok-kiam unn­tuk membunuh banyak orang, dan engkau bahkan telah menjadi seorang pemberontak.”

“Subo....!” Bi Lan berseru kaget.

“Diam!” bentak nenek Wan Ceng, kini tidak lagi menyembunyikan kemarahannya. “Kami dahulu telah keliru sangka terhadap dirimu, sehingga kami bersusah payah menyembuhkan dan mendidikmu. Kiranya engkau tetap menjadi murid yang baik dari Sam Kwi, tindakanmu memang seperti golongan hi­tam. Engkau membantu sucimu yang jahat itu, bahkan membantunya berhadapan dengan keluarga Pulau Es yang gagah perkasa! Sungguh kami merasa ikut malu bukan main. Nah, katakan, tidak benarkah engkau dan Pendekar Suling Naga ini membantu su­cimu yang berjuluk Bi-kwi itu melakukan kejahatan dan melawan keluarga Pulau Es? Jawab!”

“Teecu memang membantu suci Bi-kwi, subo, akan tetapi.... teecu membantunya hanya karena suci kini sudah sadar dan menjadi orang baik. Teecu bukan membantu ia melakukan kejahatan, melainkan melindunginya dari ancaman. Teecu sama sekali tidak menggunakan Ban-tok-kiam untuk kejahatan itu....”

“Hemmm, karena keteledoranmu menjaga Ban-tok-kiam, pedang pusaka ini terjatuh ke tangan Sai-cu Lama sehingga Teng Siang In menjadi korban Ban-tok-kiam! Bi Lan, sungguh aku kecewa dan menye­sal sekali telah mengambilmu sebagai murid. Maka, sekarang engkau sudah datang dan membawa Ban-tok-kiam yang sudah ternoda, aku akan mencabut kepan­daian yang pernah kuberikan kepadamu. Bersiaplah engkau!”

Nenek itu lalu menggerakkan tangannya untuk menotok ke arah pundak Bi Lan. Totokan itu meng­arah jalan darah pusat dekat leher dan kalau terkena tentu gadis itu akan menjadi lumpuh dan kehilangan semua tenaga dalamnya, bahkan mungkin membaha­yakan keselamatan nyawanya.

“Dukkk....!” Totokan nenek itu, yang tidak berani dielakkan atau ditangkis oleh Bi Lan, kini ter­tangkis oleh tangan Sim Houw. Dia tadi terkejut sekali dan melupakan segalanya, menangkis totokan maut itu untuk melindungi Bi Lan.

Nenek Wan Ceng melangkah mundur, matanya mencorong ditujukan kepada Sim Houw yang masih berlutut. Tangkisan tadi menyadarkan nenek Wan Ceng betapa kuat tenaga sin-kang yang dipergunakan pemuda itu untuk menangkisnya tadi. Ia menjadi marah, merasa ditantang.

“Sim Houw, Pendekar Suling Naga, berani engkau mencampuri urusan antara aku dan muridku sendiri. Apakah engkau menantangku?”

“Maaf, locianpwe, saya masih belum begitu gila untuk berani menantang locianpwe. Akan tetapi, ka­lau locianpwe berkeras untuk menghukumnya, biar­lah saya saja yang mewakilinya. Hukumlah saya, locianpwe, karena selama ini ia hanya mengikuti jejak saya. Sayalah yang bertanggung jawab, sayalah yang bersalah dan locianpwe boleh menghukum atau mem­bunuh saya, akan tetapi mohon bebaskan Lan-moi.”

Sikap dan suara Sim Houw demikian tegas dan mantap sehingga nenek itu terbelalak tidak percaya. “Engkau menyerahkan diri untuk menggantikan Bi Lan, dan engkau tidak akan melawan?” tanyanya heran.

“Saya bersumpah tidak akan melawan. Hukumlah saya sebagai pengganti adik Bi Lan.”

“Hemm, kalau begitu agaknya memang benar engkau yang menjadi biang keladinya sehingga murid kami menjadi jahat dan menyeleweng. Nah, terima­lah hukumannya!”

Akan tetapi sebelum nenek Wan Ceng melancar­kan pukulan yang lebih hebat dari pada tadi, tangannya telah disentuh suaminya. “Perlahan dulu, aku ingin bicara dengannya,” kata kakek Kao Kok Cu yang lengan kirinya buntung itu. Wan Ceng meman­dang heran. Biasanya, suaminya sudah tidak mau perduli lagi dengan semua urusan dan kalau sekarang dia mencampuri, itu berarti bahwa suaminya sebenar­nya merasa sayang kepada Bi Lan, murid mereka yang hanya setahun berguru kepada mereka itu. Maka ia pun melangkah mundur, membiarkan suaminya yang agaknya akan menghadapi sendiri dua orang muda itu.

Kao Kok Cu melangkah perlahan ke depan. “Orang muda, bangkitlah, aku ingin bicara denga­nmu,” katanya lirih, namun suaranya penuh wibawa yang memaksa Sim Houw untuk bangkit dan dengan sopan dia mengangkat muka memandang wajah kakek itu. Dia merasa kagum dan tunduk melihat seorang kakek yang biarpun lengan kirinya buntung dan pa­kaiannya sederhana, namun penuh dengan wibawa yang amat kuat ini. Wajah kakek itu nampak bersih dan terang, sepasang matanya seperti mata naga saja, lembut namun mencorong penuh kekuatan.

“Pendekar Suling Naga Sim Houw, apamukah Can Bi Lan ini?”

Ditanya demikian, Sim Houw menjawab dengan sopan, “Bukan apa-apa, locianpwe, hanya teman ­seperjalanan. Saya mengantarnya untuk mencari Istana Gurun Pasir karena ia hendak mengembalikan Ban-tok-kiam.”

“Kalau bukan apa-apa, mengapa engkau hendak berkorban diri, rela dihukum bahkan dibunuh untuk menyelamatkannya?”

Wajah Sim Houw menjadi merah dan beberapa kali dia melirik ke arah Bi Lan yang masih menun­dukkan mukanya. Menghadapi seorang tokoh seperti Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir ini, tentu saja dia harus berterus terang. Berbohongpun tidak akan ada gunanya, dan dia berpendapat bahwa sekaranglah saatnya dia berterus terang kepada Bi Lan pula, sebelum terlambat, yaitu sebelum seorang di antara mereka atau keduanya tewas di tangan suami isteri yang sakti ini.

“Locianpwe, terus terang saja, saya rela berkorban nyawa untuk melindunginya karena saya amat mencintanya.”

Mendengar ucapan itu, kakek dan nenek itu saling pandang, dan ketika mereka memandang kepada Bi Lan, mereka melihat betapa gadis itu makin menun­duk, akan tetapi tetap saja ada dua butir air mata mengalir turun di sepanjang pipi Bi Lan. Gadis itu merasa terharu bukan main mendengarkan pengakuan Sim Houw. Dia memang sudah dibisiki sucinya, Bi-kwi, bahwa Sim Houw mencintanya, akan tetapi betapapun ia memancing pengakuan Sim Houw, selalu gagal dan orang muda itu tak pernah menyatakan cintanya melalui mulut. Baru sekarang Sim Houw membuat pengakuan, di depan suhu dan subonya, de­ngan suara lantang. Hal ini mendatangkan kegem­biraan, kelegaan akan tetapi juga keharuan hatinya sehingga walaupun ia sudah menundukkan mukanya, ia tidak dapat menahan beberapa butir air mata mengalir turun.

Kakek itu lalu mundur selangkah dan dengan sepasang mata yang mencorong, dia memperhatikan Sim Houw. Pandang matanya yang tajam dapat me­lihat bahwa orang muda ini benar-benar “berisi”, mudah saja nampak oleh pandang matanya yang tajam dalam sikap dan pandang mata pemuda itu.

“Demi cinta engkau berani melindungi Bi Lan. Aku sudah pernah mendengar akan nama besarmu. Karena itu, ingin aku melihat apakah benar engkau mencintanya, dan sampai di mana pembelaanmu terhadap Bi Lan. Engkau majulah dan lawan aku, baru aku akan mempertimbangkan nanti apakah engkau cukup berharga untuk melindungi Bi Lan. Nah, ber­siaplah untuk melayani aku bertanding, orang muda!”

Sim Houw mengerti. Sikap Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir ini tidaklah mengherankan karena ba­nyak tokoh persilatan yang sakti memiliki kelemahan terhadap ilmu silat. Agaknya kakek inipun ingin menguji kepandaiannya, dan kalau memang merasa bahwa dia memiliki kepandaian cukup, kakek itu tentu akan merasa sayang untuk membunuh atau mencabut kepandaiannya dan mungkin sekali mereka akan dapat mengampuni Bi Lan. Jadi nasib Bi Lan diten­tukan oleh perlawanannya terhadap kakek sakti itu.

“Baiklah, locianpwe, saya mentaati perintah!” berkata demikian, Sim Houw juga melangkah mun­dur sampai ke pekarangan yang luas di bawah seram­bi itu, dan dia sudah mencabut senjatanya, yaitu Liong-siauw-kiam atau Pedang Suling Naga, dipegang dengan tangan kanannya dan dia berdiri dengan sikap hormat menanti lawannya yang melangkah lambat menuruni anak tangga itu ke serambi.

Kini kedua orang itu sudah saling berhadapan, keduanya tidak memasang kuda-kuda, seperti halnya dua orang yang hendak bertanding ilmu silat. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa keduanya bukanlah ahli silat sembarangan dan tidak lagi memerlukan kuda-kuda yang khusus. Setiap posisi merupakan kuda-kuda yang baik bagi mereka, karena dari segala posisi mereka dapat saja melakukan gerakan silat, baik membela diri maupun menyerang.

Sejak tadi, Bi Lan sudah mengangkat muka dan memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak. Ia tahu benar betapa lihainya kakek berlengan bun­tung sebelah itu. Bagaimanapun juga, Sim Houw pasti bukan lawannya dan timbul perasaan ngeri dan takut dalam hatinya. Maka, melihat betapa keduanya sudah berdiri dan siap untuk saling serang, tiba-tiba ia mengeluarkan suara tertahan dan iapun meloncat turun dari keadaan berlutut tadi tahu-tahu ia sudah berdiri di antara Sim Houw dan Kao Kok Cu, lalu ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhunya sambil menangis!

“Suhu....ah, suhu.... jangan suhu me­nyerang Sim-toako. Lebih baik suhu bunuh saja teecu­. Dia tentu akan tewas di tangan suhu dan teecu.... teecu tidak mungkin dapat hidup tanpa dia suhu. Teecu.... mencintanya.... ah, teecu mencinta­nya....” Bi Lan menangis tersedu-sedu di depan kaki kakek itu. Sim Houw berdiri dengan muka pucat dan kedua kakinya menggigil. Benarkah apa yang didengarnya itu? Benarkah itu Bi Lan yang mengaku cinta padanya di depan kakek itu? Tanpa malu-malu menyatakan cinta kepadanya, bahkan menangis karena khawatir dia akan terbunuh dalam pertandingan ini? Ingin dia merangkul Bi Lan, ingin dia menghiburnya, akan tetapi tentu saja dia tidak berani melakukan hal itu di depan kakek dan nenek yang nampaknya masih marah itu.

“Siapa akan membunuh orang? Anak bodoh, minggirlah dan biarkan aku menguji kepandaian Pendekar Suling Naga. Setelah itu, kalian berdua boleh pergi,” kata Kao Kok Cu. Mendengar ini, bukan main girangnya hati Bi Lan dan iapun cepat mundur dan berdiri di pinggiran untuk menonton. Ia percaya bahwa suhunya akan memegang teguh janjinya, tidak akan membunuh Sim Houw?

Tanpa disengaja, ia berdiri di dekat Wan Ceng yang juga sudah turun dari serambi, dan melihat subo­nya, Bi Lan berbisik, “Subo, teecu bersumpah bahwa kami berdua tidak pernah menyeleweng, tidak pernah melakukan kejahatan.”

Nenek Wan Ceng melirik kepadanya dan menjawab lirih, suaranya masih dingin.

“Hemm, akan tetapi apa yang kami dengar ten­tang dirimu tidak seperti yang kaukatakan ini, Bi Lan.”

“Subo, untuk setiap persoalan, teecu dapat menjawab dan memberi penjelasan. Setidaknya teecu berhak untuk membela diri, Subo, dari segala berita yang dijatuhkan kepada teecu.”

“Sudahlah, nanti saja kita bicara lagi,” kata nenek itu yang memperhatikan dua orang yang sudah mulai bergerak saling mendekati. Bi Lan memandang ke arah Sim Houw dari Kao Kok Cu yang sudah sa­ling mendekati, Sim Hoaw memegang sulingnya, kakek itu seperti biasa, tidak memegang senjata apa­pun kecuali kedua ujung lengannya. Melihat betapa gagahnya Sim Houw, dan betapa gurunya itu sudah nampak tua dan lemah, agak berkurang kekhawatiran di hati Bi Lan. Ia tidak khawatir kalau Sim Houw akan melukai gurunya. Ia mengenal benar siapa Sim Houw, tahu benar akan kebaikan hati Sim Houw dan kegagahannya. Jelas bahwa pendekar itu tidak akan mau melukai kakek yang tua renta itu.

“Engkau mulailah, orang muda!” kata Kao Kok Cu.

Tadinya Sim Houw merasa sungkan untuk men­dahului, akan tetapi mendengar ucapan kakek itu yang dianggapnya sebagai perintah, diapun lalu meng­gerakkan sulingnya dan berkata, “Baik, locianpwe, saya mulai menyerang!” Berkata demikian, suling itu berkelebat dan menotok ke arah pundak kiri yang tak berlengan itu!

Kakek itu tersenyum dan cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan pundaknya. Orang muda ini cerdik sekali, pikirnya, agaknya dapat menduga bahwa justeru lengan baju kiri tanpa isi itulah yang berbahaya, maka dalam serangan pertama itu dia menyerang pundak kiri yang berarti melemahkan bagian yang berbahaya dan kuat! Sambil meloncat ke belakang, kaki kakek itu melayang dengan ten­dangan yang amat cepat dan tidak terduga datangnya dari samping menyerong ke arah lambung Sim Houw. Namun pemuda ini sudah dapat mengelak dengan baik, bahkan sulingnya sudah berkelebat lagi menotok ke arah lutut dari kaki yang menendang. Kao Kak Cu sudah menarik kembali kakinya dan kini tangan kanannya menampar dengan amat dahsyatnya dari atas, mengarah ubun-ubun kepala Sim Houw dan hampir berbareng, ujung lengan baju kiri me­nyambar dari bawah, menotok ke arah ulu hati pe­muda itu dengan kecepatan luar biasa.

Sim Houw terkejut, akan tetapi dia tidak menjadi gugup. Sudah diduganya bahwa kakek itu meru­pakan lawan yang amat lihai, maka sejak tadipun dia sudah tidak berani memandang ringan, selalu waspada dan siap siaga setiap urat syarafnya menghadapi se­rangan yang aneh dan hebat.

“Takkkk....!” Sulingnya menangkis tangan yang menampar dari atas, sedangkan totakan ujung lengan baju kiri itupun disampoknya dengan tangan kirinya sambil memutar tubuh. Kini sulingnya ber­ubah menjadi sinar bergulung-gulung, mengeluarkan bunyi menderu lalu melengking seperti ditiup, men­datangkan angin keras dan hawa yang panas. Sim Houw mulai mengeluarkan kepandaiannya, memain­kan sulingnya dengan ilmu gabungan dari Koai-liong-kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman dan Ilmu Pedang Suling Emas). Kedua ilmu ini telah digabung dan menjadi ilmu yang dinamakan Liong-siauw-kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga) dan cocok sekali dimainkan dengan pedang suling naga itu sebagai pengganti sepasang senjata yang sudah dikembalikannya kepada keluarga Cu di Lembah Naga Siluman, yaitu sebatang suling emas dan sebatang pedang pusaka Koai-liong-kiam.

“Bagus....!” Nenek Wan Ceng sampai memuji dan memandang kagum sekali ketika ia melihat sinar bergulung-gulung seperti seekor naga menga­muk di sekeliling tubuh suaminya. Belum pernah ia melihat ilmu pedang sehebat itu, apa lagi ditambah dengan suara melengking seolah-olah ada orang yang sedang meniup suling dengan amat pandai dan mer­dunya.

Juga kakek Kao Kok Cu merasa kagum bukan main. Orang ini masih muda, akan tetapi telah me­nguasai ilmu yang demikian tingginya! Demikian he­batnya ilmu pedang yang dimainkan dengan suling­ itu. Suaranya merupakan serangan tenaga khi-kang melalui suara, menggetarkan jantung dan membuyar­kan pencurahan perhatian lawan, anginnya juga me­ngandung hawa panas yang dahsyat dan dapat mem­bingungkan lawan, sedangkan suling aneh itu dapat dipergunakan untuk menotok, akan tetapi juga membacok dan menusuk seperti pedang. Di tangan pe­muda itu, suling itu bergerak dengan gulungan sinar seperti seekor naga bermain-main di angkasa. Kakek­ itu segera terdesak oleh sinar bergulung-gulung itu dan hanya karena dia telah memiliki ilmu yang ma­tang dan mendarah daging maka dia dapat mengenal atau menangkis dengan tepat pada saat terancam ba­haya. Beberapa kali usahanya untuk melilit pedang atau suling itu dengan ujung lengan baju kiri tak pernah berhasil karena begitu terlilit begitu pula terlepas seolah-olah benda berupa suling atau pedang itu licin seperti tubuh ular. Karena terdesak, kakek itu lalu merobah gerakannya dan kini dia mainkan ilmu silatnya yang paling ampuh, yaitu Sin-liong Ciang–hoat (Ilmu Tangan Naga Sakti).

Barulah keadaan mereka seimbang. Sim Houw terkejut bukan main ketika melihat ka­kek buntung itu memainkan ilmu silat yang luar biasa kuatnya. Dia merasa seperti menghadapi tembok benteng baja yang amat kuat, sukar ditembus oleh sinar senjatanya, bahkan setiap kali sulingnya bertemu dengan lengan atau lengan baju kiri, tangannya terasa panas dan lengannya tergetar. Bergidik dia membayangkan ada kekuatan sin-kang sehebat itu. Setelah lewat limapuluh jurus, tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara melengking dan tiba-tiba tubuhnya seperti rebah memanjang, seperti seekor naga saja, dan begitu bergerak, tangan kanannya me­ngeluarkan angin pukulan yang luar biasa dahsyatnya. Sim Houw berusaha mempertahankan dengan tang­kisan putaran sulingnya, namun tenaga itu mendorong terlampau dahsyat. Itulah ilmu sakti Sin-liong-hok-te yang hanya dapat dilakukan dengan sempurna oleh seorang yang berlengan sebelah! Sim Houw yang mempertahankan diri, tetap saja terdorong ke bela­kang dan terhuyung-huyung! Kalau kakek itu berniat jahat dan mendesak, agaknya sukar baginya untuk menyelamatkan diri. Dengan demikian, jelaslah bah­wa dengan ilmu terakhir itu, kakek Kao Kok Cu masih menang satu dua tingkat dibandingkan Sim Houw yang kalah tenaga dalam dan kalah pengalam­an.

“Orang muda, engkau hebat dan tidak mengece­wakan berjuluk Pendekar Suling Naga!” kata kakek Kao Kok Cu sambil melangkah mundur tiga langkah, berarti dia mengakhiri pertandingan itu.

Bukan main girang dan lega rasa hati Sim Houw. Diapun cepat menyimpan suling, menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Terima kasih banyak saya haturkan atas kemurahan hati locianpwe yang telah memberi petunjuk kepada saya.”

Kakek itu menarik napas panjang dan menoleh kepada isterinya yang juga memandang kepadanya dan mengangguk. Tanpa kata, suami isteri yang sudah saling mengenal lahir batin ini bermufakat bahwa seorang pemuda yang berilmu demikian tinggi dengan sikap demikian rendah hati seperti Sim Houw, agak­nya sukar dipercaya kalau sampai melakukan penye­lewengan dan kejahatan!

Bi Lan juga sudah mendekati Sim Houw dan ber­lutut di sebelah pemuda itu, hatinya lega dan girang bukan main. “Suhu, terima kasih bahwa suhu tidak melukai Sim-toako.”

Kakek itu kini tersenyum dan kembali menarik napas. “Siancai.....! Semoga Tuhan akan mem­berkahi kalian dalam cinta kasih kailan. Mari kita masuk ke dalam dan bicara di dalam. Agaknya ba­nyak hal-hal yang perlu dibicarakan dan dibikin te­rang.”

“Benar,” kata Wan Ceng. “Akupun mulai ragu-ragu apakah benar Bi Lan telah melakukan penyele­wengan yang mengecewakan hatiku.”

Sim Houw merasa girang sekali, menghaturkan terima kasih dan bangkit berdiri bersama-sama Bi Lan. Ketika bangkit, tanpa disengaja, tangan kiri Bi Lan menyentuh tangan kanan Sim Houw dan otoma­tis kedua tangan itu saling genggam dan mereka ber­dua mengikuti kakek dan nenek itu masuk ke dalam istana dengan saling berpegang dan bergandeng ta­ngan. Beberapa kali mereka menoleh saling pandang yang memancing senyum penuh bahagia di kedua mulut mereka.

Mereka dibawa masuk oleh kedua orang tua itu ke dalam ruangan yang luas dan indah walaupun pera­bot di dalam ruangan itu sederhana. Di sudut terda­pat rak senjata dan sebuah almari penuh dengan bu­ku-buku dan di tengah-tengah ruangan terdapat meja kursi terukir dari kayu hitam yang kuno. Mereka ber­empat duduk di sekeliling meja itulah dan Bi Lan merasa betapa tubuhnya ditelan oleh kursi yang besar dan cekung itu. Ia merasa dirinya kecil lahir batin di tempat yang megah namun kuno ini, apa lagi di depan suhu dan subonya yang baru saja tadi marah kepadanya, bahkan kini agaknya hendak minta kete­rangan secara serius darinya.

Tak lama setelah mereka duduk, muncul seorang wanita Mongol yang memasuki ruangan itu menghi­dangkan minuman teh. Setelah wanita yang mukanya dingin seperti arca, persis sikap pria Mongol yang tadi bekerja di pekarangan, nenek Wan Ceng yang merasa penasaran itu mulai dengan pertanyaannya.

“Bi Lan, terus terang saja, kami berdua yang tinggal di tempat sunyi ini baru saja menerima kunjungan dari selatan dan kami mendengar banyak hal yang membuat kami ikut merasa prihatin, terutama ketika kami mendengar tentang sepak terjangmu yang membuat kepalaku pening dan hatiku kecewa, juga me­nyesal sekali.”

Bi Lan terseryum memandang wajah subonya. Betapa ia merindukan wajah ini, akan tetapi sekarang ia harus bersikap sungguh-sungguh. “Subo, kenapa subo belum apa-apa sudah mempercayai berita ten­tang diri teecu? Seperti teecu katakan tadi, setiap persoalan tentu teecu dapat menjawab dan memberi penjelasan sampai subo dan suhu mengerti benar bahwa semua akibat itu ada sebabnya dan sebabnya bukanlah karena penyelewengan atau kejahatan teecu. Teecu amat menghormat dan menyayang suhu dan subo, mana mungkin berani melakukan perbuatan jahat? Dan andaikata teecu menyeleweng dan ber­buat jahat, mana teecu berani datang menghadap ke sini?”

Kakek Kao Kok Cu tersenqum dan mengangguk-angguk. “Memang benar juga pendapat Bi Lan ini....“

“Sekarang, jawablah pertanyaanku dengan kete­rangan yang jujur dan sejelasnya, baru aku akan menilai apakah engkau bersalah atau tidak,” kata nenek Wan Ceng. “Aku mendengar bahwa Ban-tok-kiam dipergunakan orang untuk membunuh Teng Siang In, isteri mendiang paman Suma Kian Bu. Ba­gaimana bisa demikian kalau Ban-tok-kiam kuserahkan kepadamu?”

Bi Lan mengangguk. “Teecu tidak berdaya ketika Sai-cu Lama merampas Ban-tok-kiam dari tangan teecu, subo. Sai-cu Lama, amat lihai dan kepandaian­nya terlampau tinggi bagi teecu sehingga pedang pu­saka itu dapat dirampasnya dan kemudian dia pergu­nakan untuk membunuh locianpwe itu. Akan tetapi ketika para pendekar menghadapi komplotan Sai-cu Lama, teecu dan Sim-toako membantu dan kami berhasil merampas kembali Ban-tok-kiam. Teecu mengaku salah bahwa Ban-tok-kiam sampai dirampas orang, akan tetapi hal itu terjadi bukan karena kele­ngahan, melainkan karena kebodohan dan kelemahan teecu yang tidak mampu menandingi Sai-cu Lama.”

Diam-diam Bi Lan merasa heran mendengar subo­nya menyebut paman kepada tokoh keluarga Pulau Es itu. Ia tidak tahu bahwa nenek Wan Ceng adalah cucu tiri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, sehing­ga biarpun usianya lebih tua dari pada mendiang Su­ma Kian Bu, ia harus menyebut pendekar itu paman.

“Sekarang jelaskan bagaimana engkau membela dan melindungi sucimu yang bernama Bi-kwi, yang amat jahat itu. Bukankah ia dahulu bahkan telah menyelewengkan pelajaran silat padamu sehingga engkau hampir menjadi gila dan terancam maut? Aku mendengar bahwa Bi-kwi itu amat jahat, lebih jahat dari pada Sam Kwi, akan tetapi mengapa engkau malah membelanya, bahkan engkau telah membantu­nya ketika iblis betina itu berkelahi melawan Suma Ciang Bun dan muridnya, berarti engkau membantu seorang jahat melawan keluarga para pendekar Pulau Es. Nah, apa alasanmu?”

“Subo, biarpun teecu pernah menjadi murid Sam Kwi dari sejak kecil dididik oleh datuk-datuk sesat, namun semenjak menjadi murid suhu dan subo, teecu sudah dapat membedakan antara baik dan buruk. Apa lagi setelah teecu bertemu dengan Sim-toako yang selalu membimbing teecu, teecu tidak pernah mem­bantu kejahatan. Biarpun suci sendiri, karena ia ja­hat, pernah menjadi lawan dan musuh teecu. Kalau teecu membela dan melindungi, adalah karena suci Bi-kwi telah insyaf dan mengubah kehidupannya menjadi orang baik-baik. Ia diserang oleh Hong Beng dan gurunya karena salah paham saja. Mungkin me­reka itu mengira bahwa suci masih tetap jahat, akan tetapi teecu sendiri menyaksikan bahwa suci sudah bertaubat. Kalau orang sudah menyesali kesalahan­nya dan ingin bertaubat, apakah kita harus merdesak­nya sampai ia tidak dapat memperbaiki kesalahannya lagi, subo?” Bi Lan lalu menceritakan tentang keadaan Bi-kwi, betapa Bi-kwi telah bertemu dengan seorang pemuda tani yang dicintanya dan cinta itulah yang telah mengubah watak dan sifat kehidupan Bi-kwi. Demi menyelamatkan kekasihnya itulah dia di­peras dan dipaksa oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin, tokoh tokoh Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai sehingga Bi-kwi membantu mereka menghadapi Suma Ciang Bun. Semua ini ia ceritakan dengan sejelasnya, seperti yang pernah ia dengar dari Bi-kwi sendiri.

“Demikianlah, subo. Ketika teecu melindunginya, ia berada dalam keadaan yang sama sekali tidak ber­salah dan tidak melakukan kejahatan, dan teecu hanya membela kebenaran, dari manapun datangnya tanpa pilih bulu. Kalau hal itu subo anggap bersalah dan hendak menghukum teecu, maka teecu hanya dapat menyerahkan diri.” Bi Lan menutup keterangannya

Nenek Wan Ceng saling pandang dengan suaminya. Diam-diam mereka terharu juga mendengar penuturan Bi Lan tentang Bi-kwi. Suami isteri ini tahu apa artinya cinta dan mereka percaya bahwa cinta kasih akan mampu merobah watak seorang manusia, dari keadaan yang jahat menjadi baik, cinta kasih mampu menghidupkan kembali kepekaan hati yang tadinya beku dan mati. Mereka mendengar semua tentang Bi Lan dan Ban-tok-kiam dari kunjung­an dua orang secara berturut-turut. Pertama kali datang Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, mengunjungi mereka dan dari suami isteri inilah mereka mendengar tentang kematian Teng Siang In. yang menjadi korban pedang pusaka Ban-tok-kiam, dan betapa puteri tunggal suami isteri keluarga Pulau Es diculik pula oleh orang yang menggunakan Ban-tok-kiam membunuh Teng Siang In. Kemudian, datang pula. Gu Hong Beng mengunjungi mereka dan pemuda murid Suma Ciang Bun ini mengabarkan tentang diculiknya cucu mereka, Kao Hong Li, oleh seorang yang bernama Ang I Lama juga dari Hong Beng mereka mendengar tentang penyelewengan mu­rid mereka, yaitu Can Bi Lan. Hong Beng yang pe­nuh cemburu dan iri hati itu menceritakan kepada suami isteri tua itu betapa Bi Lan melakukan penye­lewengan bukan saja main gila dengan Pendekar Su­ling Naga, bahkan Bi Lan dan Sim Houw telah mem­bantu iblis betina Bi-kwi, dan menentang keluarga Pulau Es!

Kini, setelah mendengar penuturan Bi Lan, suami isteri ini dapat menarik kesimpulan bahwa memang terjadi salah paham antara Bi Lan berdua Sim Houw dengan Suma Ciang Bun dan muridnya, Gu Hong Beng.

Setelah saling pandang dan memberi persetujuan dengan isyarat mata, Wan Ceng lalu mewakili suami­nya berkata kepada Bi Lan. “Sekarang kami ,mengerti setelah mendengar keteranganmu, Bi Lan. Akan te­tapi, kalian sudah terlanjur mendatangkann kesan buruk kepada keluarga Pulau Es. Karena itu engkau harus menebusnya dengan perbuatan yang akan dapat membersihkan namamu, Bi Lan. Ketahuilah bahwa cucu kami, puteri tunggal anak kami Kao Cin Liong, yang bernama Kao Hong Li, telah diculik orang yang mengaku bernama Ang I Lama. Kauwakililah kami, karena kami sudah terlalu tua untuk melakukan per­jalanan jauh. Wakili kami dan cari Hong Li sampai dapat! Kalau engkau berhasil mengembalikan Hong Li kepada orang tuanya, maka baru aku mau mengaku engkau sebagai muridku lagi.”

Bi Lan terkejut. Tugas yang amat berat karena ia tidak tahu ke mana anak itu dibawa pergi penculik­nya, dan iapun tidak mengenal siapa Ang I Lama. Akan tetapi, Sim Houw yang berada di dekatnya me­nyentuh lengannya dan berbisik, “Terimalah saja tugas itu, Lan-moi, kita cari bersama.”

Mendengar bisikan ini, Bi Lan merasa besar hati­nya dan dengan penuh semangat iapun berkata, “Ba­iklah, subo dan suhu, teecu akan mencari, sampai dapat menemukan kembali adik Kao Hong Li. Teecu baru akan datang menghadap suhu dan subo kalau teecu sudah berhasil dengan tugas itu dan teecu mahon doa restu dari suhu berdua subo.

“Baiklah, Bi Lan. Kami membekali doa restu dan mudah-mudahan engkau akan berhasil. Sekarang berangkatlah kalian,” kata nenek Wan Ceng.

Akan tetapi Bi Lan tidak bangkit, bahkan memberi hormat sambil berlutut, diikuti pula oleh Sim Houw yang menjatuhkan diri berlutut di depan kakek dan nenek itu. Dua orang kakek dan nenek itu bang­kit berdiri, mengira bahwa dua orang muda itu ber­lutut untuk memberi hormat dan berpamit, akan te­tapi ternyata tidak demikian karena Bi Lan berkata dengan suara penuh permohonan.

“Ada satu permohonan dari teecu kepada suhu dan subo, harap saja suhu dan subo dapat mengabul­kan permohonan teecu ini.”

Wan Ceng tersenyum. “Katakanlah.”

“Seperti suhu dan subo mengetahui, teecu hidup sebatangkara, tidak ada orang tua, tanpa keluarga. Ketiga suhu Sam Kwi telah tewas dan bagi teecu, suhu dan subo merupakan pengganti orang tua. De­mikian pula dengan Sim-toako yang sudah yatim piatu dan tidak ada keluarga. Oleh karena itu, kami berdua mohon agar suhu dan subo yang sudi menjadi wali kami dan mengesahkan dan merestui perjodohan antara kami.”

Diam-diam Sim Houw merasa girang dan bangga sekali. Gadis ini selain mencintanya juga bersung­guh-sungguh dan demikian tabah membicarakan per­soalan jodoh itu tanpa lebih dulu bertanya kepadanya. Akan tetapi, apa yang diucapkan gadis itu memang amat disetujuinya, bahkan dia akan merasa berbaha­gia, kalau kelak kakek dan nenek sakti itu mau mengesyahkan perjodohan antara mereka!

Kakek Kao Kok Cu dan Wan Ceng saling pandang dan kakek itu mengangguk sambil tersenyum. Dia dapat melihat cinta kasih berpancar dari wajah dan sinar mata kedua orang muda itu, maka tidak ada lagi halangan bagi mereka untuk berjodoh, apa lagi karena tidak ada keluarga mereka yang dapat dimintai persetujuan. Akan tetapi Wan Ceng yang cerdik segera menjawab.

“Tentu saja kami berdua suka sekali menjadi wali dan mengesahkan perjodohan kalian yang saling mencinta. Akan tetapi, ingat, kalian mempunyai tu­gas penting, oleh karena itu, laksanakan dulu tugas itu, baru kalian datang ke sini dan kami akan menga­bulkan permintaan kalian.”

Bukan main girangnya hati Bi Lan. Berkali-kali ia memberi hormat dan menghaturkan terima kasih. Juga Sim Houw menghaturkan terima kasih kepada kedua orang tua itu. Akan tetapi ketika mereka hendak berpamit, tiba-tiba terdengar suara nyaring di luar istana itu.

“Kao Kok Cu dan Wan Ceng....! Apakah kalian masih hidup?”

Tentu saja empat orang itu merasa terkejut sekali mendengar suara yang mengandung tenaga khi-kang yang amat kuat itu, sehingga suara itu memasuki is­tana dan sampai ke ruangan itu membawa gema yang kuat. Wan Ceng mengerutkan alisnya. Sukar men­duga siapa adanya orang yang berani menyebut nama­nya dan nama suaminya begitu saja itu! Hatinya merasa tidak senang, maka ia mendahului suaminya dan berkata kepada Bi Lan dan Sim Houw,. “Kalian keluarlah dan lihat siapa orang kasar yang datang itu!”

Nenek ini dahulu ketika muda memang berwatak keras. Mendengar ada orang berteriak-teriak di luar memanggil namanya dan nama suaminya ia merasa tidak senang dan merasa tidak perlu keluar sendiri menyambut, maka ia wakilkan kepada Bi Lan dan Sim Houw. Ia tahu bahwa muridnya itu, terutama sekali Sim Houw, telah memiliki kepandaian yang amat lihai sehingga patut mewakilinya menghadapi orang yang bagaimanapun juga.­

Bi Lan dan Sim Houw cepat berlari keluar dan ketika mereka tiba di luar istana, keduanya tersenyum lebar dengan hati lega ketika melihat bahwa yang datang adalah seorang hwesio tua renta yang mereka kenal baik. Orang itu bukan lain adalah Tiong Khi Hwesio! Seperti kita ketahui, Tiong Khi Hwesio memimpin para pendekar muda menghadapi komplot­an Sai-cu Lama, maka tentu saja Bi Lan dan Sim Houw mengenal baik pendeta ini.

Sebaliknya, Tiong Khi Hwesio juga mengenal dua orang muda itu. Dia tersenyum ramah dan menu­dingkan telunjuknya kearah mereka, “Eh-eh, kira­nya kalian berdua juga berada di sini?”

Sim Houw cepat menghampiri hwesio itu dan memberi hormat, sementara itu Bi Lan sambil tertawa cepat masuk kembali ke dalam istana menemui suhu dan subonya. Dari luar ruangan ia sudah berteriak, “Suhu....! Subo....! Yang datang adalah locianpwe Tiong Khi Hwesio!”

Akan tetapi kakek dan nenek itu tidak mengenal nama Tiong Khi Hwesio dan mereka saling pandang dengan heran. Hanya saja, mendengar bahwa yang datang adalah seorang hwesio, mereka lalu melangkah keluar bersama Bi Lan untuk melihat siapa hwesio yang menyebut nama mereka begitu saja.

Ketika Kao Kok Cu dan Wan Ceng tiba di luar istana, mereka berdua memandang kepada hwesio tua yang berkepala gundul dan berjubah kuning itu. Mereka termangu, tidak mengenal hwesio tua itu. Hwesio yang bermulut sinis, senyum yang mengarah ejekan, sepasang mata yang tajam, mencorong dan tubuh yang masih nampak tegap dan membayangkan kekuatan.

Di lain pihak, Tiong Khi Hwesio memandang ke­pada kakek dan nenek itu, kemudian melangkah lebar menghampiri, wajahnya berseri dan terutama sekali matanya ditujukan kepada nenek Wan Ceng, kemu­dian dia merangkap kedua tangan ke depan dada seperti orang berdoa.

“Omitohud....! Terima kasih kepada Sang Buddha bahwa hari ini pinceng masih berkesempatan untuk bertemu dengan Wan Ceng! Ahhh, Wan Ceng, engkau kini telah menjadi seorang nenek yang tua, namun masih nampak kelincahanmu dan kegagahan­mu! Suara itu menggetar penuh perasaan. Betapa tidak akan terharu rasa hati kakek hwesio ini berte­mu dengan wanita yang di waktu mudanya dulu pernah menggetarkan kalbunya, seorang wanita yang se­benarnya adalah saudaranya sendiri, seayah berlainan ibu!

Wan Ceng terkejut sekali dan melangkah maju mendekat, memandang tajam penuh perhatian dan penuh selidik. “Siapakah engkau....? Aku.... aku tidak mengenal hwesio seperti engkau ini....” tanyanya ragu.

“Hemmm, Si Jari Maut telah menjadi seorang hwesio, sungguh mengagumkan sekali!” Tiba-tiba terdengar suara Kao Kok Cu berkata dan Wan Ceng memandang kepada hwesio itu dengan mata terbe­lalak.

“Kau.... kau.... Wan Tek Hoat....?” Akhirnya ia berseru, suaranya gemetar dan tiba-tiba saja kedua matanya menjadi basah.

Hwesio tua itu mengejap-ngejapkan matanya yang juga menjadi basah dan dia mengangguk-angguk. “Bertahun-tahun aku sudah menjadi hwesio dan na­ma pinceng adalah Tiong Khi Hwesio.”

“Aihh.... Tek Hoat.... Tek Hoat.... siapa dapat mengira bahwa engkau telah menjadi se­orang pendeta? Mengapa pula demikian? Dan di mana adanya adik Syanti Dewi?”

Tiba-tiba sepasang mata hwesio itu yang tadinya berseri, kini menjadi muram dan sejenak dia menundukkan kepalanya dan mengerahkan tenaga untuk menahan rasa nyeri yang tiba-tiba menusuk jantung­nya. Hanya sebentar saja dia terpukul, kemudian dia sudah dapat mengangkat mukanya lagi memandang kepada nenek Wan Ceng.

“Sudah beberapa tahun lamanya ia meninggalkan aku, meninggalkan dunia, dan sejak itu pula pinceng menjadi hwesio....”

Kalimat ini cukup bagi Wan Ceng. Ia dapat membayangkan apa yang terjadi dan hal ini memancing datangnya air mata yang lebih banyak lagi. Ia dapat mengerti bahwa tentu Wan Tek Hoat yang amat mencinta isterinya, yaitu Syanti Dewi, menjadi patah semangat dan masuk menjadi hwesio untuk menghibur dirinya.

“Tek Hoat, kasihan kau....! Syanti Dewi, kenapa engkau begitu kejam meninggalkan dia?”

Suasana menjadi hening dan mengharukan, akan tetapi hanya sebentar karena suara ketawa kakek Kao Kok Cu memecahkan keheningan dan membuyarkan keharuan. “Ha-ha-ha, kalian seperti dua orang anak kecil saja yang cengeng! Tiong Khi Hwesio, marilah masuk, kita bicara di dalam. Kunjunganmu sekali ini pastilah membawa berita yang amat penting. Sim Houw dan Bi Lan, kalianpun masuk kembali, kita se­mua bicara di dalam.”

Ucapan dan sikap Kao Kok Cu ini menolong Tiong Khi Hwesio dan Wan Ceng yang tadi dilanda keharuan. Hwesio itu tertawa dan Wan Ceng juga cepat menghapus air matanya dan sikap mereka telah menjadi biasa kembali ketika mereka melangkah ke dalam istana tua itu

Setelah mereka semua duduk mengelilingi meja besar di ruangan di mana tadi Sim Houw dan Bi Lan bercakap-cakap dengan suami-isteri tua itu, Kao Kok Cu segera bertanya, “Tiong Khi Hwesio, banyak yang dapat kita bicarakan dalam pertemuan ini karena sudah puluhan tahun kita saling berpisah. Akan tetapi kami kira yang terpenting untuk didahulukan adalah urusan yang jauh-jauh kaubawa ke sini. Ada kepen­tingan apakah yang mendorongmu datang dari tem­pat yang demikian jauhnya? Engkau datang dari Bhutan, bukan?”

Tiong Khi Hwesio menggeleng kepala. “Tidak di Bhutan lagi. Sudah bertahun-tahun pinceng bertapa di Pegunungan Himalaya, dekat Tibet. Dan memang ada hal yang amat penting yang pinceng bawa dari Tibet. Pinceng mengunjungi kalian sebagai utusan dari para pendeta Lama di Tibet.” Hwesio itu ber­henti dan memandang kepada kakek dan nenek itu dengan penuh perhatian. Ada bermacam perasaan terkandung dalam pandang mata itu, keraguan, juga kekhawatiran dan perasaan iba.

“Para pendeta Lama di Tibet?” Kao Kok Cu bertanya heran. Kurasa tidak pernah ada hubungan antara kami dengan mereka!”

“Heran!” kata pula nenek Wan Ceng “Aku bahkan tidak pernah bertemu dengan pendeta-pendeta Lama di Tibet. Kepentingan apakah yang membuat mereka menyuruh seorang seperti engkau untuk datang ke tempat sejauh ini, Tek Hoat?” Nenek Wan Ceng merasa kikuk dan enggan untuk menyebut saudaranya ini dengan sebutannya yang baru, yaitu Tiong Khi Hwesio!

Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang. “Se­buah tugas yang sungguh tidak enak bagi pinceng, akan tetapi karena pinceng juga ingin sekali berjumpa dengan kalian, maka tugas ini pinceng lakukan. Ma­salahnya bukan lain adalah mengenai putera kalian, yaitu Kao Cin Liong....”

“Ada apa dengan dia?” Nenek Wan Ceng bertanya dengan suara penuh kegelisahan.

“Dia bersama isterinya telah membunuh seorang pendeta Lama yang sama sekali tidak berdosa, hanya karena mereka menyangka bahwa Lama itu tentu se­orang jahat karena menjadi sute dari mendiang Sai-cu Lama.”

“Ahh! Apakah pendeta itu bernama Ang I Lama?” Wan Ceng bertanya cepat.

“Eh, kiranya engkau sudah tahu?” Kini Tiong Khi Hwesio yang memandang heran.

“Tentu saja aku tahu!” Wan Ceng berkata dan suaranya terdengar marah. “Dan jangan katakan bah­wa orang yang bernama Ang I Lama itu demikian suci dan tidak berdosa seperti yang kaukira, Tek Hoat. Aku tahu mengapa anakku dan mantuku mem­bunuhnya. Dia telah menculik Kao Hong Li, cucuku! Tentu anak dan mantuku melakukan pengejaran ke sana dan dalam perkelahian memperebutkan Hong Li, mereka telah membunuhnya!”

“Omitohud....!” Tiong Khi Hwesio berseru dengan kaget sekali. “Akan tetapi, pinceng sudah lama mengenal Ang I Lama, juga para pendeta Lama menanggung bahwa dia adalah seorang pertapa yang sudah bertahun tidak keluar dari guhanya, dan tidak mungkin sama sekali kalau dia melakukan penculikan terhadap cucu kalian!”

“Jangan katakan tidak mungkin, Tiong Khi Hwe­sio,” kata Kao Kok Cu dengan sikap dan suara tenang. “Ingat bahwa Ang I Lama adalah sute dari Sai-cu Lama yang baru saja dibasmi komplotannya, bahkan engkau yang memimpin para pendekar muda membasminya. Bukan tidak mungkin dia menden­dam dan melakukan penculikan itu, karena anakku juga merupakan seorang di antara mereka yang ikut menentang Sai-cu Lama.”

“Wan Tek Hoat!” kata nenek Wan Ceng. “Eng­kau sudah lama mengenal Ang I Lama, akan tetapi aku telah mengenal Kao Cin Liong sejak dia kulahir­kan! Dia dan isterinya tidak mungkin membunuh seorang pendeta Lama yang sama sekali tidak ber­dosa! Apakah engkau lebih percaya kepada pendeta Lama itu dari pada kepada keluarga kami?”

Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. “Omitohud.... betapa sukarnya urusan ini. Pinceng sendiri tidak tahu harus berpendapat bagaimana. Memang serba salah....”

“Wan Tek Hoat, apakah setelah engkau menjadi hwesio dan menjadi tua bangka, engkau kehilangan semua kecerdikanmu yang dulu kaubanggakan?” Nenek Wan Ceng kini berkata sambil tersenyum mengejek. “Urusan begitu mudah kenapa engkau buat menjadi sukar? Apakah ada yang menyaksikan ­perkelahian antara anak dan mantuku dengan Ang I Lama yang membuat pendeta Lama itu tewas?”

“Tidak ada. Dua orang pendeta Lama menemukan Ang I Lama dalam keadaan hampir mati dan Ang I Lama hanya meninggalkan pesan dengan menyebut dua nama, yaitu Kao Cin Liong dan isterinya.”

“Hemm, dan hal ini kaujadikan pegangan bahwa anak dan mantuku yang membunuh Ang I Lama tan­pa dosa?”

“Sebelum terjadi pembunuhan itu, beberapa wak­tu sebelumnya, anak dan mantumu itu telah menda­tangi para pendeta Lama untuk menanyakan di mana adanya Ang I Lama. Anak dan mantumu mencari Ang I Lama dan tak lama kemudian, Ang I Lama tewas dengan meninggalkan pesan nama anak dan mantumu. Bukankah hal itu sudah jelas?”

“Kurang meyakinkan. Aku percaya bahwa anak mantuku membunuh Ang I Lama, akan tetapi jelas bukan membunuh orang tak berdosa, melainkan mem­bunuh penculik cucuku. Apakah hal itu salah? Tentu saja anak dan mantuku membela anak mereka! Dan satu hal lagi menunjukkan kebodohanmu, Wan Tek Hoat. Yang menjadi orang tertuduh adalah anakku dan mantuku, akan tetapi kenapa engkau keluyuran ke sini? Bukankah lebih mudah kalau engkau datangi saja Cin Liong dan menanyakan hal itu? Bukankah engkau sudah mengenalnya dan su­dah tahu pula di mana tempat tinggalnya?”

Menghadapi serangan kata-kata yang marah itu, Tiong Khi Hwesio tersenyum dan dia memandang kepada nenek itu dengan penuh kagum. Sudah tua renta, namun nenek ini mengingatkan dia akan seo­rang gadis yang lincah, jenaka dan galak, yaitu ketika Wan Ceng masih seorang gadis. Agaknya selama puluhan tahun ini, Wan Ceng masih mempertahankan wataknya yang keras!

“Jangan salah mengerti, Wan Ceng. Para pendeta Lama mengenal baik Kao Cin Liong ketika dia masih menjadi panglima, dan merekapun tahu bahwa dia adalah putera tunggal Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Karena itu, mereka merasa sungkan kepada kalian, dan akupun berpikir bahwa lebih baik kalau urusan ini kusampaikan saja kepada kalian dari pada aku harus menegur sendiri Kao Cin Liong. Lihat, aku jauh-jauh ke sini karena merasa sungkan, juga kangen kepada kalian.”

“Memang urusan ini agak ruwet,” kata Kao Kok Cu. “Kami dapat menghargai sikapmu dan sikap para pendeta Lama yang masih menghargai kami orang-orang tua. Akan tetapi, kami merasa yakin bahwa andaikata Cin Liong benar membunuh Ang I Lama, tentu hal itu dilakukan karena ada hal yang amat memaksa, dan tentu dengan alasan kuat sekali. Anak­ku bukanlah pembunuh kejam yang membunuh pen­deta yang tanpa dosa. Hal ini hendaknya engkau yakin, Tiong Khi Hwesio. Sekarang, biarlah kubebankan tugas menerangkan perkara ini kepada Bi Lan dan Sim Houw pula. Kalian dengarlah baik-baik.” Kakek itu memandang kepada dua orang muda itu yang mendengarkan dengan penuh perhatian dan si­kap menghormat.

“Kami siap melakukan perintah suhu,” kata Bi Lan.

“Kalian berdua sudah mendengar sendiri apa yang dibawa oleh Tiong Khi Hwesio. Tadinya kami men­dengar bahwa cucu kami diculik Ang I Lama, dan kini dari Tiong Khi Hwesio kami mendengar bahwa Ang I Lama dibunuh oleh Kao Cin Liong dan iste­rinya tanpa dosa. Maka, kalau kalian meninggalkan tempat ini untuk mencari dan menemukan kembali Kao Hong Li, kalian kunjungilah rumah Kao Cin Liong di Pao-teng, dan selidiki persoalan ini baik-baik. Temui mereka dan tanyakan apa yang telah terjadi. Sukurlah kalau Hong Li sudah dapat ditemu­kan oleh orang tuanya, sehingga kalian tidak banyak repot. Kalau belum, cari Hong Li sampai dapat dan juga kami ingin mendengar laporanmu kelak tentang sebab Ang I Lama dibunuh mereka, kalau benar hal itu terjadi. Nah, sekarang berangkatlah kalian!”

Bi Lan dan Sim Houw lalu minta diri dari tiga orang tua sakti itu, dan meninggalkan Istana Gurun Pasir dengan cepat. Mereka melakukan perjalanan tanpa bicara, keduanya nampak berlari cepat sambil termenung sehingga menjelang malam, pada senja hari, mereka telah berhasil melewati gurun pasir per­tama dan tiba di lereng sebuah bukit yang sudah ba­nyak ditumbuhi pohon di samping banyak pula batu-batu besar dan guha-guha lebar. Mereka berhenti di sebuah guha yang besar dan melepaskan buntalan masing-masing, lalu duduk melepaskan lelah.

Sunyi sekali di situ. Lebih sunyi lagi terasa oleh Bi Lan karena sejak meninggalkan Istana Gurun Pa­sir, temannya seperjalanan itu tidak pernah bicara, hanya nampak berlari cepat di sampingnya seperti orangmelamun. Ia melirik ke arah Sim Houw, meli­hat betapa laki-laki itupun duduk termenung, menun­dukkan muka dan sukar melihat bagaimana bentuk wajahnya karena cuaca sudah mulai remang-remang. Beberapa kali, seperti juga tadi ketika mereka berdua lari, Bi Lan menggerakkan bibir untuk bicara, namun lehernya seperti tercekik rasanya dan tak sepatahpun kata keluar darimulutnya. Ia menelan ludah bebe­rapa kali dan memperkuat hatinya, lalu memaksa diri berkata.

“Sim-toako....!” Betapa sukarnya kata itu keluar dari mulutnya sehingga terdengar seperti bi­sikan saja. Namun jelas nampak olehnya betapa Sim Houw terkejut mendengar suaranya, seolah-olah ia tadi telah menjerit keras, bukan hanya berbisik.

“Lan-moi, ada apakah....?” Dia bertanya, menoleh, bahkan lalu mendekat dengan menggeser duduknya.

Tiba-tiba saja Bi Lan yang sejak tadi merasa tegang dan penuh harapan, merasa seolah-olah meledak dan ledakan itupun menjadi tangis! Segala macam perasaan girang, terharu, bercampur dengan kekhawatiran, harapan dan kekecewaan sejak pemuda itu mengaku cinta kepadanya sampai tadi pemuda itu melakukan perjalanan tanpa bicara sepatahpun kata, tercurah keluar bersama air matanya dan iapun me­nangis terisak-isak, menyembunyikan mukanya di dalam kedua lengan yang memeluk lutut kaki yang diangkatnya. Tubuhnya terguncang-guncang karena isaknya.

Tentu saja Sim Houw menjadi terkejut bukan main dan tangannya kini sudah menyentuh pundak Bi Lan dan suaranya terdengar penuh perasaan kha­watir ketika dia berkata, “Moi-moi, engkau kena­pakah? Kenapa engkau menangis, Lan-moi? Apa­kah yang telah terjadi? Sakitkah enggkau?”

Bi Lan tidak dapat menjawab karena tangisnya membuat ia tersedu-sedu dan sukar untuk dapat mengeluarkan kata-kata. Sim Houw agaknya tahu akan hal ini maka dia tidak mendesak, membiarkan gadis itu menangis sampai segaia yang mengganjal hatinya mencair. Akhirnya tangis itupun mereda dan Bi Lan mulai mengangkat mukanya, menyusuti air matanya dan kadang-kadang ia memandang kepada pemuda itu dengan sepasang mata basah dan merah.

“Bi Lan moi-moi, engkau kenapakah? Sakitkah engkau?” kembali Sim Houw bertanya setelah gadis itu tidak tenggelam ke dalam isak tangisnya lagi.

Bi Lan mengangguk. “Toako, aku memang sakit....“ jawabnya dan legalah hatinya bahwa kini, setelah menangis, kata-katanya menjadi lancar.

Sim Houw mengerutkan alisnya dan mencoba untuk memandang dengan penuh perhatian di dalam cuaca remang-remang itu. “Sakit? Sakit apakah, Lan-moi?”

“Sakit.... hati! Hatiku yang sakit.”

“Ehhh?” Sim Houw terbelalak heran. “Sakit hati? Bagaimana rasanya?” Dengan sungguh-sung­guh dia memperhatikan, mengira bahwa gadis itu menderita semacam penyakit yang tidak dikenalnya.

“Rasanya?” Bi Lan menelan kembali senyum­nya karena merasa geli. “Rasanya.... aku ingin marah-marah, ingin mengamuk dan menangis saja.”

“Ahhh....?” Sim Houw masih belum mengerti dan menjadi bingung. “Dan kau sudah menangis tadi....“

“Ya, akan tetapi belum marah-marah, masih be­lum mengamuk.”

Kini Sim Houw baru agak mengerti. Kiranya ada sesuatu yang membuat gadis ini merasa mendongkol dan marah, pikirnya. Dan mengertilah dia apa arti­nya sakit hati tadi, bukan penyakit badan, melainkan penyakit perasaan.

“Akan tetapi, ada.... apakah, moi-moi?”

“Siapa yang tidak sakit hatinya, toako? Sejak meninggalkan istana, engkau diam saja seperti patung, atau seolah-olah menganggap aku bukan manu­sia lagi melainkan patung hidup yang tak dapat bicara. Kenapa engkau bersikap demikian, mendiamkan aku sampai hampir sehari lamanya? Engkau sungguh kejam!”

Baru Sim Houw mengerti dengan jelas sekarang dan diam-diam hatinya lega, akan tetapi mukanya juga menjadi merah karena dia merasa semakin salah tingkah. Lalu dengan suara lirih dan gemetar dia berkata, “Lan-moi, kau maafkanlah aku, Lan-moi. Sama sekali aku bukan menganggap engkau patung, akan tetapi aku.... ah, terus terang saja, aku.... tidak berani bicara, Lan-moi. Semua yang terjadi di istana itu.... semua bagiku bagaikan sebuah mimpi yang amat indah dan aku takut, kalau-kalau mimpi itu akan buyar dan aku akan sadar kembali dan mimpi itu akan lenyap kalau aku bicara. Aku .... sungguh aku tadi ingin sekali bicara, akan tetapi se­tiap kali menggerakkan bibir, aku merasa takut dan seperti tercekik leherku. Kaumaafkanlah aku, moi-moi.”

Bi Lan memandang kepada Sim Houw dan pemu­da itupun memandangnya. Mereka saling pandang di antara keremangan senja sehingga hanya dapat melihat bentuk muka masing-masing. Bi Lan merasa heran sekali. Mengapa keadaan pemuda itu sama benar dengan keadaan dirinya ketika mereka melakukan perjalanan tadi? Iapun ingin sekali bicara, na­mun amat sukar mengeluarkan kata-kata!

“Bagaimana sekarang, toako? Apakah masih takut untuk bicara?” tanyanya, setengah menggoda.

“Tidak, moi-moi. Kalau kuingat, memang aku bodoh sekali. Kenyataan yang demikian indahnya membuat aku mabok dan seolah-olah aku tidak percaya akan kenyataan itu. Setelah kini kita bicara, aku tidak takut lagi. Maafkan aku.”

Kembali hening, keduanya seolah tidak tahu ha­rus berbuat apa, harus bicara apa. Terutama sekali Sim Houw. Jantungnya berdebar penuh ketegangan yang luar biasa, yang tidak dikenal sebelumnya, akan tetapi dia tidak mengerti mengapa demikian. Agaknya Bi Lan yang lebih tabah dalam menghadapi keadaan yang menegangkan dan membuat mereka merasa canggung itu.

“Toako....”

“Ya, Lan-moi?”

“Toako, aku ingin sekali mengetahui apakah semua pernyataanmu di depan suhu dan subo itu be­nar-benar keluar dari lubuk hatimu? Apakah engkau bicara sejujurnya ketika itu?”

Pernyataan yang bagaimana, moi-moi?” Sim Houw bertanya, hanya untuk mencari ancang-ancang atau batu loncatan. menghadapi pertanyaan itu, kare­na sesungguhnya dia dapat mengerti apa yang dimak­sudkan gadis itu.

Bi Lan mengerutkan alisnya. Kenapa sekarang orang yang selama ini dianggap sebagai sepandai-pandainya orang, lihai bijaksana dan cerdik pandai, men­dadak saja berubah menjadi orang yang tolol?

“Pernyataanmu bahwa engkau cinta padaku. Be­narkah itu, toako, atau hanya kaujadikan alasan saja untuk menjawab desakan suhu dan subo?”

“Lan-moi, tentu saja benar! Sama benarnya de­ngan pengakuanmu bahwa engkau cinta padaku. Bagaimana mungkin engkau masih meragukan cintaku kepadamu, moi-moi?”

“Tentu saja aku ragu-ragu. Kenapa selama ini, selama kita berkenalan bahkan melakukan perjalanan bersama, mengalami hal-hal yang menegangkan ber­sama, engkau tidak pernah menyatakan cintamu, baik dalam perbuatan atau dengan ucapan? Kenapa, toako? Apakah cintamu itu baru timbul ketika kita berada di Istana Gurun Pasir?”

“Tidak, moi-moi! Aku cinta padamu sejak kita pertama kali bertemu!”

“Kalau begitu, kenapa selama ini engkau diam sa­ja, toako? Kenapa engkau agaknya hanya menyim­pan saja perasaan cintamu di dalam hati, bahkan se­perti hendak merahasiakannya terhadap diriku? Kenapa?”

Sim Houw sudah siap sekarang dengan jawaban­nya. Dia mengangkat muka, memandang bentuk wa­jah yang nampak dalam keremangan cuaca itu. “Ka­rena aku selama ini menjadi pengecut terhadap cinta­ku sendiri, moi-moi. Aku tidak berani mengaku, bahkan aku selalu menyangkal akan adanya kemungkinan bahwa engkau mencintaku. Aku takut! Karena takut gagal maka aku lebih suka merahasiakan perasaan cintaku....“

“Kau takut kalau-kalau cintamu tidak kubalas?”

“Tidak, moi-moi. Bahkan aku selalu merasa bah­wa tak mungkin engkau cinta padaku. Aku takut kalau-kalau aku akan kehilangan engkau, takut kalau aku mengaku cinta, engkau lalu menjauhkan diri dariku.”

“Sim-toako, engkau kuanggap secerdik-cerdiknya orang, akan tetapi dalam hal ini engkau sungguh bo­doh. Apakah engkau tidak dapat melihat perasaan hatiku terhadap dirimu dalam setiap pandang mataku, kata-kataku dan perbuatanku?”

“Memang ada sekali waktu nampak olehku bah­wa engkau seperti mencintaku, namun semua itu kusangkal, kuanggap hanya khayalku belaka, karena tidak patut bagi seorang gadis sepertimu ini mencinta seorang laki-laki seperti aku.”

“Ihhh....! Kenapa, toako? Kenapa tidak patut?”

“Moi-moi, engkau adalah seorang gadis yang ma­sih muda belia, usiamu baru sembilanbelas tahun, sedangkan aku  aku sudah hampir setengah baya....”

“Aduh kasihan, ratap seorang kakek-kakek....!” Bi Lan menggoda. “Sim-toako, mengapa engkau begitu merendahkan diri? Berapa sih usiamu maka engkau mengatakan bahwa engkau sudah separuh baya?”

“Usiaku sudah tigapuluh empat tahun!”

“Hemm, bagiku engkau belum tua, tentu saja le­bih tua dariku. Dan di dalam cinta, apakah ada batas usia?”

“Selain usiaku jauh lebih tua darimu, hampir dua kali lipat, juga aku seorang laki-laki sebatangkara, tidak memiliki apa-apa. Kuanggap diriku sama sekali tidak berharga untuk menjadi      jodohmu, moi­moi. Karena perasaan itulah maka aku selalu diam dan merahasiakan cintaku. Akan tetapi di istana gu­run pasir, dihadapan dua orang locianpwe yang sakti dan bijaksana itu, bukan hanya sekedar menolongmu, aku merasa bahwa aku harus berterus terang sebagai seorang laki-laki yang berani mengaku dan bertang­gung jawab atas segala perbuatan dan ucapannya.”

“Aih, kasihan sekali engkau, toako. Aku.... dapatkubayangkan betapa engkau menderita.... dan aku sendiri, aku sudah tahu sejak lama bahwa engkau cinta padaku, koko....“

“Ah? Engkau sudah tahu?”

Bi Lan mengangguk. “Aku diberitahu oleh suci Ciong Siu Kwi. Ia mengatakan bahwa engkau cinta padaku, hal itu baginya mudah terlihat. Aku menjadi girang sekali, aku menjadi bahagia sekali, koko, apa lagi kalau melihat tingkahmu yang salah langkah.... aku tahu bahwa sejak lama engkau cinta padaku.”

“Anak nakal....!” Sim Houw yang merasa gembira bukan main lalu tiba-tiba merangkul leher Bi Lan dan seperti sudah selayaknya, tahu-tahu Bi Lan sudah rebah di pangkuannya dan mereka saling peluk. Sejenak mereka diam, Bi Lan menyandarkan kepalanya di dada pria yang dicintanya itu. Ia merasa aman tenteram, merasa berbahagia dan puas, dan keduanya seperti terbuai dan terpesona oleh kenyataan yang indah itu, bahwa keduanya saling mencinta, bahwa tubuh mereka saling merindukan seperti juga hati mereka.

Sambil membelai rambut kepala gadis itu yang terlepas dari sanggulnya dan terurai di atas dadanya, Sim Houw berkata, “Moi-moi, engkau sudah tahu bahwa aku cinta padamu, akan tetapi aku.... ah, aku selalu ragu-ragu, hampir tidak percaya bahwa seorang gadis seperti engkau dapat jatuh cinta padaku. Sekarangpun aku masih merasa terheran-heran bagai­mana engkau dapat cinta padaku, moi-moi.”

Bi Lan membuka matanya memandang, sinar matanya berseri dan mulutnya yang berbibir merah basah itu tersenyum. “Sejak dulu aku cinta padamu, koko. Aku sudah tidak mempunyai sanak keluarga lagi, bahkan guru-guruku jauh dariku. Sam Kwi jauh dari hatiku karena mereka jahat, sedangkan suhu dan subo di Istana Gurun Pasir juga jauh. Aku su­dah tidak mempunyai orang tua, tidak mempunyai kakak atau adik, tidak berkeluarga. Karena itu, da­lam dirimu aku menemukan semuanya itu. Bagiku engkau adalah pengganti orang tua, pengganti guru, juga pengganti kakak, keluarga, dan juga kekasin hatiku.”

“Tapi.... tapi kenapa justeru aku yang kau. pilih?”

Senyum di bibir Bi Lan melebar. Perasaan halus seorang wanita membuat ia merasa bahwa tentu kekasihnya ini meragukan karena tahu bahwa ada bebera­pa orang pemuda pilihan yang juga cinta kepadanya. Mengapa ia memilih Sim Houw dan bukan seorang di antara mereka?

“Karena engkau tidak hanya memkirkan diri sen­diri, koko. Engkau selalu memikirkan kepentingan­ku dan meniadakan kebutuhanmu sendiri. Engkau tidak pencemburu (seperti Hong Beng, pikirnya) dan engkau tidak mengkhayal dan memikirkan wanita lain (seperti Kun Tek, pikirnya) walaupun engkau pernah kecewa dan patah hati karena wanita. Cintamu kepa­daku murni dan engkau hanya ingin melihat aku ber­bahagia. Karena semua itulah, juga karena aku ter­tarik kepada pribadimu, kepada wajahmu, kepada perangaimu, kepada.... segala-galamu, maka aku cinta padamu.”

Dihujani pujian-pujian itu, Sim Houw terharu sekali dan tanpa disadarinya lagi dia menunduk, mendekatkan mukanya dan entah siapa yang mulai lebih dahulu, akan tetapi tahu-tahu mereka saling dekap dengan erat dan bibir mereka saling kecup dengan mesra sampai lama, sampai mereka akhirnya menyu­dahi ciuman itu dengan napas terengah-engah. Bu­kan terengah karena kehabisan napas, melainkan terengah karena mereka merasa tubuh mereka panas diingin dan darah dalam tubuh mereka berdesir dan bergolak. Suara seperti rintihan keluar dari leher Sim Houw dan dia menyembunyikan. mukanya pada leher yang berkulit putih mulus dan hangat itu, di antara rambut yang membelai mukanya seperti benang-be­nang sutera hitam. Sementara itu, dengan tubuh menggigil, Bi Lan memejamkan matanya, menggelin­jang dan jantungnya berdebar, tubuhnya tiba-tiba saja terasa lemas dan dari kerongkongannya juga ke­luar suara seperti merintih halus.

Sampai agak lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, sampai tiba-tiba telinga keduanya menangkap suara yang keluar dari dalam perut Bi Lan.

Suara berkeruyuknya perut yang menuntut isi! Mendengar ini, keduanya sadar dari keadaan yang asyik masyuk itu, akan tetapi biarpun hatinya merasa agak geli, Sim Houw cukup bijaksana untuk diam saja dan pura-pura tidak mendengar. Bahkan dia lalu mempergunakan kekuatan sin-kangnya menekan pada perutnya sendiri sehingga terdengarlah suara berkeruyuk yang sama dengan tadi, hanya yang ini lebih nyaring!

Bi Lan yang tadi merasa canggung dan malu, ke­tika mendengar keruyuk ke dua dari perut Sim Houw, lalu tertawa. “Hi-hik, ada lumba nyanyi dalam perut kita, koko....!”

Sim Houw juga tertawa dan buyarlah suasana asyik masyuk tadi dan mereka berdua tersadar. Walaupun mereka kini merenggangkan diri dan suasana masih mesra, sentuhan tangan mereka masih mengandung getaran asmara, namun mereka tidak lagi diku­asai berahi seperti tadi.

Mereka bangkit berdiri. Sim Houw memegang kedua lengan gadis itu. Mereka berdiri saling berhadapan, dekat sekali dan Sim Houw mencium dahi Bi Lan, lalu berkata, suaranya halus dan menggetarkan kasih sayang amat besar. “Lan-moi, mulai sekarang kita harus berhati-hati. Kita harus dapat berjaga diri, jangan sampai terjadi kebakaran....“

“Eh? Maksudmu?”

“Tadi ketika kita saling berciuman, aku hampir kebakaran....“

Bi Lan tersenyum dan menahan suara ketawanya. Wajahnya menjadi merah sekali. Untung cuaca sudah mulai gelap sehingga ia tak perlu menyembunyikan kemerahan wajahnya.

“Aku tahu, karena itu, sebelum kita menikah de­ngan sah, sebaiknya kalau kita berhati-hati, jangan terlalu dekat agar tidak terjadi kebakaran dan pelanggaran.”

“Baiklah, koko.... Bi Lan mengangguk dan semakin kagum terhadap kekasihnya itu. Demikian kuatnya! Kuat lahir batin.

“Semua itu kita lakukan demi kebahagiaan kita sendiri di kemudian hari, bukan, Lan-moi?”

“Engkau benar.”

Mereka lalu membuat api unggun, dan Sim Houw berhasil menangkap dua ekor ayam hutan. Daging dua ekor ayam hutan inilah yang mengisi perut mere­ka sebelum mereka akhirnya beristirahat di dalam guha itu, tubuh mereka dihangatkan oleh api unggun. Dunia nampak amat indah bagi mereka, bahkan kea­daan dalam guha yang demikian sederhana, di bawah sinar api unggun, tidur di atas tanah berbatu yang kasar, bau tanah mentah, semua itu nampak amat in­dahnya.

Keindahan terletak di dalam batin. Batin yang berbahagia membuat segala sesuatu nampak indah menyenangkan, segala penglihatan nampak indah, segala pendengaran menjadi merdu, segala makanan menjadi lezat. Batin yang berbahagia mendatangkan sorga, sebaliknya batin yang keruh mendatangkan neraka. Apapun nampak tidak menyenangkan bagi batin yang keruh.

Batin menjadi keruh karena pikiran selalu sibuk berceloteh. Sayang bahwa kita selalu menjejali pikir­an dengan segala macam persoalan sehingga pikiran tiada hentinya bekerja keras dan sibuk, oleh karena itu, batin tak pernah menjadi bening.

Sim Houw dan Bi Lan yang baru saja mendapat sinar cinta, untuk sejenak pikiran mereka tidak sibuk dan batin mereka tidak menjadi keruh. Akan tetapi hanya sebentar saja karena setelah mereka selesai makan dan kini duduk bersila menghadapi api unggun, pikiran mereka mulai bekerja lagi mengingat-ingat akan hal yang telah lalu.

“Sungguh kita beruntung sekali bahwa keadaan berakhir dengan baik di Istana Gurun Pasir,” kata Sim Houw. “Kalau aku teringat betapa tadinya subo­mu sudah marah sekali kepadamu, dan betapa suhu dan subomu agaknya sudah tidak percaya kepadamu, sungguh aku masih merasa ngeri. Kalau mereka menghendaki, tidak akan sukar bagi mereka untuk menghukum kita, bahkan membunuh kita sekalipun.”

“Akan tetapi aku tetap percaya akan kebijaksana­an mereka, koko. Yang menggemaskan adalah orang yang memburukkan namaku di depan suhu dan subo, dan agaknya aku tahu siapa orangnya!”

Sim Houw memandang wajah kekasihnya. Dia­pun dapat menduga siapa orangnya, akan tetapi dia tidak mau mendahului Bi Lan. “Siapakah dia, Lan­-moi?”

“Siapa lagi kalau bukan Gu Hong Beng?”

Sim Houw pura-pura kaget. “Kenapa engkau menyangka dia?”

“Di antara tuduhan-tuduhan yang dilontarkan subo kepadaku, terdapat tuduhan bahwa kita telah melakukan perbuatan yang melanggar susila. Siapa lagi orangnya yang akan menyangka kita berbuat de­mikian kecuali Gu Hong Beng yang dipenuhi perasa­an cemburu dan iri itu? Dia bersama gurunya yang mendesak dan menyerang kita, dan dialah yang me­nuduh kita secara membuta membela suci Ciong Siu KWi. Maka aku yakin tentulah dia yang telah mem­burukkan namaku di depan suhu dan subo.”

Sim Houw menarik napas panjang, maklum mengapa kini pemuda yang gagah perkasa itu, murid dari seorang tokoh keluarga Pulau Es, yang tadinya merupakan seorang sahabat yang setia dan baik dari Bi Lan, kini berubah memburukkan nama Bi Lan. Dia tahu bahwa pemuda itu jatuh cinta kepada Bi Lan, namun ditolak oleh kekasihnya ini, dan agaknya Hong Beng merasa iri hati dan cemburu. Diam-diam dia merasa kasihan karena dia maklum bahwa orang pertama yang tersiksa oleh cemburu bukan lain ada­lah diri orang yang cemburu itu sendiri.

“Sudahlah, biarkan saja kalau memang benar dia yang memburukkan namamu. Mungkin memang dia menyangka kita membela sucimu secara membuta, mungkin dia mengira bahwa kita telah menyeleweng dari pada kebenaran. Yang penting, kita yakin benar bahwa kita tidak menyeleweng, bahwa kita telah berbuat benar. Kini kita harus mencurahkan segala perhatian kita untuk mencari adik Kao Hong Li. Dan sesuai dengan pesan suhu dan subomu, sebaiknya kita langsung saja menuju ke kota Pao-teng untuk mengunjungi keluarga locianpwe Kao Cin Liong.”

Bi Lan menyatakan persetujuannya dan mereka­pun tidak lagi membicarakan tentang Hong Beng.

***

Dengan hati -berat oleh kegelisahan dan kedukaan, suami isteri pendekar Kao Cin Liong dan Suma Hui terpaksa meninggalkan Tibet dan daerah Himalaya.

Mereka telah gagal menemukan puteri mereka walaupun mereka telah berhasil menjumpai pertapa yang berjuluk Ang I Lama. Mereka masih menggunakan waktu berbulan-bulan untuk melakukan pencarian di daerah itu, namun tak pernah dapat menemukan jejak puteri mereka. Jejak satu-satunya hanyalah bahwa puteri mereka diculik oleh seorang berjuluk Ang I Lama dan ternyata kakek pertapa itu tidak menyembunyikan puteri mereka! Ke mana lagi me­reka harus mencari?

Akhirnya Kao Cin Liong berhasil membujuk iste­rinya yang kini menjadi kurus dan pucat karena selalu merasa gelisah dan berduka memikirkan puteri mere­ka yang hilang, untuk pulang saja ke Pao-teng.

“Jelas bahwa tidak ada jejaknya di barat ini,” katanya kepada isterinya. “Sebaiknya kita pulang saja karena siapa tahu kalau adik Suma Ciang Bun dapat menemukan jejak di sana.”

Merekapun melakukan perjalanan pulang ke Pao-teng dengan hati berat. Mereka merasa lelah lahir batin ketika mereka tiba kembali di rumah mereka, dan kedukaan mereka ditambah lagi oleh kekecewaan karena Suma Ciang Bun yang sudah lama menanti mereka di situ mengabarkan bahwa diapun gagal da­lam penyelidikannya.

“Aku telah melakukan penyelidikan ke delapan penjuru berpusat dari Pao-teng, akan tetapi tidak seorangpun pernah melihat kakek berjubah merah membawa seorang anak perempuan tigabelas tahun.

Agaknya, penculik itu dapat membawa Hong Li keluar dari Pao-teng dan pergi jauh tanpa ada yang melihatnya. Orang itu tentu lihai sekali.” Suma Ciang Bun menerangkan ketika begitu tiba di rumah dan bertemu dengannya, encinya, Suma Hui, mengajukan pertanyaan padanya. “Dan bagaimana dengan hasil penyelidikan kalian?”

Suma Hui lemas tak mampu bercerita, dan Kao Cin Liong yang menceritakan kepada adik isterinya itu tentang kegagalan mereka menemukan Hong Li jauh di daerah Himalaya dan Tibet sana. Suma Ciang Bun ikut merasa kecewa dan berduka, dia mengepal tinju.

“Keparat manakah yang telah berani melakukan penculikan ini? Aku hanya menanti kembalinya Hong Beng dari Gurun Pasir, dan aku akan menga­jaknya untuk mencari lagi, entah ke mana.”

“Muridmu itu belum kembali?” Suma Hui ikut bicara. “Kenapa demikian lamanya? Jangan-jangan dia tidak berhasi menemukan Istana Gurun Pasir.”

“Tidak mungkin. Sebelum berangkat sudah kube­ri gambaran yang jelas tentang letak tempat itu dan jalan mana yang harus diambil untuk dapat menca­painya dengan mudah,” kata Kao Cin Liong.

“Kalau begitu, aku khawatir kalau terjadi sesu­atu dengannya,” kata Suma Ciang Bun. “Sudah terlalu lama aku menanti kalian kembali di sini, dan sekarang, aku akan menyusul Hong Beng dan bersa­ma dia mencari keponakanku itu sampai dapat.”

Suami isteri itu tidak mencegah, bahkan mereka tidak mampu mengeluarkan pendapat. Dalam keada­an gelisah dan duka, mereka seperti kehabisan akal, tidak tahu apa yang harus mereka perbuat. Tidak tahu harus ke mana mencari puteri mereka, kepada siapa harus bertanya atau minta bantuan.Dalam keadaan duka dan putus asa, orang berada dalam keadaan kosong atau bening. Sayang bahwa keheningan itu merupakan keheningan di luar sadar, keheningan sebagai akibat terseret oleh duka, keheningan yang lumpuh. Pada hal, justeru kita amat membutuhkan keheningan, karena dari sumber atau dasar keheningan dan kekosongan inilah kita dapat memandang dengan penuh kewaspadaan! Batin kita tidak pernah mengendap, tidak pernah kosong dan hening, selalu penuh dengan prasangka, pendapat dari keinginan. Karena itu, panca indera kita tidak pernah bekerja dengan sempurna dan hidup, melainkan hanya bergerak karena dorongan batin yang sarat oleh be­ban itulah. Kalau batin sudah berprasangka, mana mungkin pandang mata kita dapat memandang dengan waspada dan awas? Semua panca indera kehilangan kepekaannya karena selalu diselubungi oleh prasang­ka, pendapat, atau keinginan. Kita tidak lagi melihat kenyataan apa yang ada, melainkan selalu ingin meli­hat sesuatu seperti yang kita kehendaki, yang kita inginkan sehingga segala kenyataan, kalau tidak co­cok dengan keinginan kita, nampak buruk, bahkan amat mengganggu mata. Demikian pula dengan pen­dengaran, penciuman, perasaan dan semua alat tubuh yang sudah menjadi budak dari pada nafsu kita. Hi­langlah semua ketajaman dan kepekaan yang pernah kita miliki ketika kita masih kanak-kanak, ketika pikiran kita belum sarat oleh beban, ketika “aku” kita belum membesar dan merajalela menguasai selu­ruh diri lahir batin. Lihatlah mata orang yang baru saja bangun tidur, ketika pikirannya masih mengen­dap, akan nampak sinar mata yang bening dan cemer­lang. Namun, begitu batinnya disibukkan kembali oleh isi pikiran yang bermacam-macam, lenyap pula keheningan mata, kembali menjadi muram dan ham­pa, hanya dipermainkan suka duka, puas kecewa. Ha­nya melihat benda-benda yang disuka atau tidak disu­ka, mendengarkan dengan dasar senang dan benci, mata seolah-olah menjadi buta dan tidak pernah me­lihat segala sesuatu seperti keadaan yang sebenarnya, seperti apa adanya.!

Ada pula orang yang ingin mempertajam kembali panca indera, melahirkan kembali kepekaannya de­ngan jalan membius diri dengan candu dan obat-obat pembius lainnya. Memang, untuk sesaat baban akan menjadi kosong dan bebas, dan panca indera akan bebas pula sehingga kita akan dapat menikmati kea­daan apa adanya, akan nampak betapa indahnya se­tangkai bunga, sehelai daun, sekelompok awan, atau wajah seorang manusia, indah tanpa batasan antara bagus dan jelek, indah yang bukan berarti bagus. Telinga akan menangkap suara-suara yang luar biasa indahnya, bukan bagus melainkan seperti apa adanya dengan segala nada dan iramanya, dengan segala ga­ungnya, gemanya, antara kosong dan isi dari serangkaian suara itu. Akan tetapi, semua itu hanya ditim­bulkan oleh keadaan kosong atau hening yang dipaksakan, yang timbul karena pembiusan! Bagaikan orang minum anggur, baru menjilat percikannya saja. Dan akibatnya, orang akan menjadi kecanduan, orang akan selalu lari kembali kepada obat bius untuk dapat memasuki alam yang indah itu lagi! Dan kalau sudah begitu, maka hal itu menjadi kesenangan dan seperti biasanya, untuk mengejar kesenangan orang rela berkorban apapun juga, dalam hal ini, mengorbankan tubuhnya yang menjadi rusak oleh pengaruh obat bius.

Dapatkah kita memasuki keindahan itu tanpa ban­tuan obat bius? Pertanyaan ini berarti, dapatkah kita membersihkan semua debu yang mengotorkan batin kita? Dapatkah kita membuang semua beban pikiran kita? Dapatkah kita membiarkan pikiran hening dan kosong tanpa mengisinya dengan segala kesibukan yang bukan lain adalah si aku yang ingin segala itu? Dapat atau tidaknya, mari kita MENG­AMATI saja. Mengamati diri sendiri, pikiran sendiri, batin sendiri. Kita amati tanpa menentangnya, tanpa berusaha menenangkan atau mengosongkannya, kare­na kalau ada usaha mengosongkannya, berarti TI­DAK KOSONG. Kalau kita berusaha membuatnya hening, itu berarti bahwa batin kita tidak hening lagi karena terisi kesibukan INGIN HENING. Dapatkah kita mengamati saja, tanpa pro dan kontra, seperti nonton sandiwara yang terjadi di dalam pikiran kita, tanpa komentar? Yang ada hanyalah pengamatan, bukan “aku” yang mengamati, karena kalau aku yang mengamati, tentu karena aku ingin batin ini hening, aku ingin begini dan begitu. Jadi, yang ada hanya pengamatan, yang ada hanya kewaspadaan.

Kao Cin Liong dan isterinya adalah orang-orang gagah perkasa, pendekar-pendekar budiman, namun mereka juga manusia-manusia biasa dengan segala kelemahannya. Mereka tak dapat menghindarkan diri dari pada ikatan, dan ikatan dengan puteri meraka­lah yang membuat mereka kehilangan akal, membuat mereka berduka sekali ketika puteri mereka itu dipi­sahkan dari mereka. Mereka kehilangan akal, tak sedap makan tak nyenyak tidur, selalu gelisah dan akhirnya keduanya bersepakat untuk meninggalkan ru­mah lagi, pergi mengunjungi Suma Ceng Liong di dusun Hong-cun, di luar kota Cin-an. Kepergian mereka mengunjungi Suma Ceng Liong itu, selain untuk menghibur diri, juga untuk mengabarkan ten­tang kehilangan puteri mereka agar Suma Ceng Liong yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu dapat membantu mereka mencari Hong Li, atau setidaknya minta pendapatnya.

Gu Hong Beng melakukan perjalanan seorang diri dengan cepat. Dia telah meninggalkan gurun pasir dan kini tiba di luar sebuah dusun yang letaknya di sebelah utara Tembok Besar. Tidak jauh dari tembok itu karena tadi, ketika dia menuruni sebuah bukit, dia telah melihat tembok itu melingkar-lingkar seperti seekor naga di antara pegunungan di selatan.

Melihat sebuah dusun yang berada di tempat terpencil ini, hati Hong Beng tertarik sekali. Siapa tahu dia bisa mendapatkan arak atau makanan di dalam dusun itu, pikirnya. Setiap hari makan bekal makanannya, yaitu roti kering dan daging kering, amat men­jemukan. Juga dia ingin sekali minum arak setelah berpekan-pekan hanya minum air saja.

Selagi dia hendak memasuki dusun itu melalui pintu gerbangnya yang rusak tiba-tiba dia mende­ngar teriakan suara wanita. Hong Beng melihat seo­rang laki-laki berbangsa Mongol sedang memondong tubuh seorang gadis Mongol dan agaknya gadis inilah yang tadi mengeluarkan teriakan. Hanya teriakan pendek karena kini gadis itu tak dapat berteriak lagi. Sebuah tangan pemondongnya menutup mulutnya dan biarpun gadis itu meronta-ronta, namun sama sekali ia tidak mampu melepaskan diri dari pelukan laki-laki yang bertubuh besar itu, bagaikan seekor kijang dicengkeram seekor harimau yang buas. Orang Mongol itu lari keluar dari dusun, langkahnya lebar dan agaknya dia telah menculik gadis itu tanpa ada yang mengetahuinya.

Biarpun Hong Beng tidak tahu apa yang telah terjadi, namun melihat seorang gadis dilarikan seo­rang pria secara paksa, jiwa pendekarnya bergolak dan diapun cepat meloncat dan menghadang.

“Berhenti!” bentaknya dalam Bahasa Mongol yang sudah dipelajarinya dengan baik.

Orang Mongol itu memandang dengan mata merah dan beringas, apa lagi ketika dia melihat bahwa yang menghadangnya adalah seorang pemuda Bangsa Han, bangsa yang dianggapnya sebagai musuh besar semen­jak bangsanya kehilangan kekuasaannya di selatan, setelah penjajah Mongol berakhir.

“Keparat orang Han, minggir dan jangan mencampuri urusanku!” bentaknya dalam Bahasa Han yang cukup baik! Memang, Bangsa Mongol banyak yang pandai berbanasa Han, hal ini tidak mengheran­kan kalau diingat bahwa mereka menjajah Tiongkok selama duaratus tahun!

“Lepaskan gadis itu! Tidak pantas seorang laki-laki memaksa seorang gadis yang lemah!” kata pula Hong Beng sambil mengamati orang Mon gol itu. Seorang pemuda yang usianya sekitar tigapuluh tahun, memiliki tubuh raksasa yang membayangkan kekuat­an raksasa pula. Otot-otot menonjol keluar dan me­ngembang di bawah kulit yang kemerahan karena ter­bakar matahari. Dadanya bidang dan kedua lengan­nya yang berotot itu nampak mengandung tenaga luar biasa. Hal ini mudah dilihat karena pemuda Mongol itu telah menanggalkan baju atasnya yang kini diikat­kan di pinggangnya. Tubuhnya yang kokoh kuat itu penuh dengan keringat yang membuat kulit tubuhnya mengkilat. Wajahnya membayangkan kekerasan hati dan keberanian, namun matanya yang agak kemerah­an itu memandang beringas dan liar, dan ada sesuatu yang tidak wajar pada pandang matanya itu.

Karena marah menghadapi Hong Beng, pemuda Mongol itu lupa akan gadis yang berada dalam pon­dongannya dan menjadi lengah. Tangannya yang me­nutup mulut gadis itu mengendur dan kesempatan ini dipergunakan oleh gadis itu untuk menggigit ta­ngan itu.

“Ughhhh....!” Orang Mongol itu terkejut dan kesakitan, lalu melemparkan tubuh gadis itu ke atas tanah. Demikian kuat lemparannya sehingga ga­dis itu terbanting dan bergulingan. Hong Beng cepat menangkap dan mengangkatnya bangun. Gadis itu sejenak merasa nanar, akan tetapi ketika melihat bah­wa ia telah ditolong oleh seorang pemuda Han yang tampan, ia merasa lega dan berbisik.

“Dia.... dia itu gila....“ Setelah berkata demikian, gadis ini lalu melarikan diri secepatnya kembali ke dalam dusun. Hong Beng melihat betapa gadis Mongol itu cantik dan manis sekali, akan tetapi diapun terkejut mendengar bisikan itu. Kiranya orang Mongol seperti raksasa ini adalah seorang yang gila, dan hal ini memperbesar bahaya. Melawan seorang gila amat berbahaya, karena tentu saja seorang gila berada di luar kesadarannya, dapat menjadi kuat bukan main, dan juga nekat dan tidak mengenal takut.

Melihat gadis itu melarikan diri, orang Mongol itu berseru keras dan mengejar, akan tetap Hong Beng sudah melompat di depannya dan menghadang.

“Engkau tidak boleh kejar gadis itu!” kata Hong Beng.

Orang itu berhenti, menatap wajah Hong Beng dengan matanya yang merah lalu mengeluarkan suara gerengan dari kerongkongannya seperti suara binatang buas, kemudian diapun menubruk dengan kedua le­ngan dipentang lebar, jari-jari tangan terbuka.

Serangan itu datang dengan mendadak dan cepat sekali, akan tetapi Hong Beng sudah siap sejak tadi. Dengan mudah dia mengelak dan menyelinap dari bawah lengan kanan lawannya. Akan tetapi orang itu membalik dan dengan kecepatan luar biasa, kini ta­ngan kirinya menyambar untuk mencengkeram ke arah kepala Hong Beng!

“Hemm....!” Pemuda ini terkejut juga, tidak mengira bahwa lawan ini demikian cepat ge­rakannya dan agaknya memiliki ilmu berkelahi yang cukup kuat dan mahir. Kembali Hong Beng mengelak dan menyampok lengan yang menyambar itu dari samping.

“Plakk!” Hong Beng mendapat kenyataan betapa kuatnya tenaga yang bersembunyi di dalam lengan yang ditangkisnya itu.

Melihat betapa orang yang diserangnya itu dapat menghindarkan diri dari serangan-serangannya, orang Mongol itu menjadi semakin marah. Matanya melotot dan merah sekali, dan kini sambil mengeluarkan gerengan-gerengan menyeramkan, dia bergerak cepat menyerang Hong Beng membabi buta! Cepat dan kuat sekali serangannya, dan bertubi-tubi karena se­tiap kali dielakkan atau ditangkis, dia sudah mener­jang lagi dengan lebih dahsyat.

Hong Beng tidak berniat memusuhi orang ini. Dia belum tahu apa yang telah terjadi dan siapa orang ini, siapa pula gadis tadi dan mengapa pula orang ini melarikan wanita itu. Siapa tahu kalau-kalau wanita itu masih keluarganya sendiri? Pula, dia tidak ingin bermusuhan dengan orang-orang Mongol karena dia­pun tahu bahwa orang-orang Mongol merasa sakit hati kepada orang Han dan menganggap Bangsa Han sebagai musuh mereka. Dia tidak ingin mencari gara-gara di tempat ini dan kalau dia tadi turun tangan, semata-mata karena dia ingin membebaskan seorang wanita dari tangan seorang pria yang hendak memaksanya.

Akan tetapi karena orang itu menjadi semakin ganas, serangan-serangannya menjadi semakin dah­syat, Hong Beng merasa khawatir juga. Bukan tidak berbahaya kalau sampai terkena cengkeraman karena agaknya orang ini ahli gulat, ilmu berkelahi Bangsa Mongol yang terkenal itu. Dia harus dapat meroboh­kan orang ini tanpa membuat dia menderita luka be­rat, pikirnya. Ketika orang itu kembali menubruk, dia menyelinap ke samping dan kakinya menendang ke arah paha dengan maksud agar orang itu roboh dan dia akan melarikan diri.

“Bukkk!” Hong Beng terkejut sekali karena merasa betapa sepatu kakinya bertemu dengan gum­palan daging paha yang kerasnya seperti besi saja! Kiranya orang ini selain kuat dan cepat, juga tubuh­nya kebal! Dia mencoba lagi dengan memukul dan menampar ke arah pundak, dada dan bahu, namun hasilnya sama. Orang itu tidak roboh, jangankan roboh, tergoyangpun tidak oleh tamparan dan pukulan­nya yang dilakukan cukup keras tadi.

Pada saat itu, banyak orang berlari-lari keluar dari pintu dusun dan ternyata mereka adalah sekelompok orang Mongol. Di depan sendiri berjalan seorang la­ki-laki setengah tua bersama gadis yang ditolong oleh Hong Beng tadi dan kini mereka nonton perke­lahian itu dengan wajah tegang. Karena tidak nampak sikap marah dari mereka, hati Hong Beng menjadi lega. Jelas bahwa mereka itu tidak berpihak kepada si gila dan tidak akan mengeroyoknya karena kalau hal itu terjadi, tentu dia sudah melarikan diri. Akan tetapi, dia menjadi semakin bingung. Bagaimana dia harus mengalahkan orang gila ini tanpa melukainya? Orang itu demikian cepat dan kuat, dan tubuhnya kebal bukan main. Sudah dicobanya untuk menampar bahkan menotok, namun hasilnya sia-sia, agaknya jalan darah orang ini terlindung oleh otot-otot kuat dan daging-daging yang keras.

Karena bingungnya, Hong Beng menjadi sedikit lengah dan tiba-tiba saja orang Mongol itu sudah menubruk dan mencengkeram lehernya! Hong Beng terkejut, membuang diri ke samping akan tetapi biar­pun leher dan pundaknya luput, lengan kanannya te­tap saja kena disambar dan dipegang oleh tangan kiri orang Mongol itu yang menyusul pula dengan tangan kanannya. Dipegang oleh dua tangan yang demikian kuatnya, dengan jari-jari yang panjang dan besar, Hong Beng terkejut. Dia berusaha menarik tangannya, namun lengannya seperti dijepit oleh jepitan baja yang besar dan kuat. Agaknya, biar dia menarik lengannya sampai copot dari pundaknya, cekalan orang Mongol itu takkan terlepas! Dan kini, orang itu mengerahkan tenaga. Hong Beng merasa betapa lengannya itu diremas dengan kekuatan raksasa. Kiut-miut rasanya, nyeri bukan main. Daging lengan itu bisa hancur lebur, tulangnya bisa remuk berkeping kalau dibiarkan! Dia cepat mengerahkan sin-kangnya melindungi lengan itu, kemudian dia mencari akal untuk dapat merobohkan orang itu dan membebaskan dari cengkeraman. Biarpun lengannya su­dah dilindungi sin-kang, kalau dilanjutkan, lengan itu bisa rusak. Akhirnya dia mendapatkan akal.

“Haiiiittt!” Hong Beng mengeluarkan seruan nyaring dan tangan kirinya bergerak menyambar dengar cepat.

“Dukkk!” Dengan tangan miring, Hong Beng memukul ke arah belakang telinga kanan orang Mongol itu. Begitu kena pukulan, tiba-tiba tubuh orang Mongol itu terkulai lemas dan pegangannya pada le­ngan Hong Beng terlepas. Pemuda ini meloncat ke belakang dan tubuh lawannya roboh terkulai dalam keadaan pingsan. Perhitungan Hong Beng memang tepat. Biarpun pukulannya tidak dapat melukai la­wan, namun pukulan sin-kang itu cukup kuat untuk mengguncangkan otak dan membuat lawannya roboh pingsan!

Terdengar seruan-seruan heran dan kagum di antara para penonton yang terdiri dari orang-orang Mongol itu. Agaknya mereka merasa heran bukan main melihat ada orang yang mampu merobohkan raksasa Mongol yang gila itu tanpa melukainya, apa lagi membunuhnya.

Orang Mongol setengah tua yang tadi berjalan di depan bersama gadis itu kini melangkah maju. Bahasa­nya cukup baik ketika dia menegur Hong Beng dalam Bahasa Han, “Orang muda, terima kasih atas perto­langanmu kepada Mayani, anak perempuan kami yang tadi akan dilarikan oleh si gila ini. Dia itu adalah keponakanku sendiri, akan tetapi telah beberapa bulan menderita penyakit gila. Orang muda yang gagah, perkenalkan aku adalah Agakai, ketua dari kelom­pok suku yang kini berada di dusun itu. Siapakah namamu, orang muda yang gagah?”

Hong Beng memandang kepada kakek setengah tua itu penuh perhatian. Seorang laki-laki yan bersikap anggun dan gagah, sepasang matanya bersi­nar penuh kewibawaan. Bukan laki-laki sembarangan, pikirnya. Dan gadis bernama Mayani yang menjadi anak perempuan kepala suku ini, memang manis sekali dan gadis itu kini memandang kepadanya dengan sinar mata tajam dan mulut tersenyum ramah dan manis.

“Nama saya Gu Hong Beng, dan saya adalah seo­rang perantau yang sedang dalam perjalanan. Kebe­tulan melihat nona ini dilarikan orang, maka dengan lancang saya turun tangan membantunya, harap di­maafkan.”

Agakai tertawa. “Ha-ha, engkau sungguh pandai merendahkan diri, orang muda. Mari, kami persilahkan engkau untuk singgah sebentar untuk mempererat perkenalan antara kita.”

Hong Beng mengerutkan alisnya. Dia tadi me­mang ingin sekali mencari arak atau makanan, akan tetapi setelah terjadi keributan itu, dia merasa lebih senang kalau dapat melanjutkan perjalanannya. Agak­nya, kepala suku itu melihat keraguannya, maka dia­pun cepat berkata, “Gu-taihiap, kami mengundang­mu bukan hanya sekedar mempererat persahabatan, melainkan kami ingin mengundang taihiap menghadiri pesta pertemuan antara kami dengan beberapa orang tokoh pejuang.”

“Tokoh pejuang?” Hong Beng tertarik dan me­rasa heran. “Siapakah mereka itu?”

“Mereka adalah pendeta-pendeta dan pertapa-per­tapa yang sakti, dan mereka itu merupakan pejuang-pejuang rakyat yang melihat betapa rakyat menderita di bawah pemerintah Mancu, mereka bergerak dan berusaha menentang pemerintah Mancu. Mereka kini mengadakan pertemuan dengan kelompok kami kare­na mereka menawarkan kerja sama dengan kami. Kami harap engkau suka hadir, taihiap, karena kami percaya bahwa seorang pendekar sakti sepertimu ten­tu dapat membantu kami dalam menentukan sikap terhadap ajakan mereka.”

Hati Hong Beng semakin tertarik. Ingin dia meli­hat siapakah mereka yang disebut pejuang-pejuang itu. Mereka adalah pendeta-pendeta dan pertapa-pertapa! Amat menarik hati memang. Dia sudah mendengar tentang para pejuang yang menentang pe­merintah Mancu dan diam-diam dia menaruh hati kagum terhadap mereka, walaupun dia sendiri tidak berminat untuk mencampuri perjuangan yang belum dimengertinya benar.

Hong Beng menerima undangan kepala suku yang bernama Agakai itu, setelah Mayani, gadis Mongol itu ikut membujuk dengan mengatakan bahwa ia ingin mendapatkan kesempatan membalas pertolongan Hong Beng dengan suguhan arak dan daging. Kelom­pok orang Mongol itu kembali ke dusun dan si Mo­ngol gila tadi kini dibelenggu kaki tangannya dan di­bawa masuk pula ke dalam dusun.

“Kami baru sepekan berada di sini,” kata Agakai ketika mereka memasuki dusun, kepada Hong Beng. “Kami memilih tempat ini, meminjam dari orang-orang Hui, untuk mengadakan pertemuan dengan pa­ra pejuang seperti telah kami rencanakan.”

Dusun itu sederhana saja dan Agakai berada di tempat itu bersama puterinya yang berusia sembilan­belas tahun itu. Dia sendiri seorang duda berusia empatpuluh lima tahun, dan dia membanggakan diri sebagai keturunan Jenghis Khan, itu raja besar dari Kerajaan Mongol ketika menjajah di selatan. Ayah­nya, mendiang Tailu-cin, dahulu selalu menyatakan sebagai keturunan Jenghis Khan. Betul tidaknya, Aga­kai sendiri tidak tahu pasti. Memang banyak dahulu raja besar Jenghis Khan mempunyai anak, banyak di antaranya di luar nikah dan tidak diakuinya, bahkan mungkin tidak diketahuinya, anak-anak yang terlahir dari wanita-wanita yang pernah menjadi tawanan pe­rang dan dijadikan isteri untuk beberapa malam saja!

Hong Beng diterima sebagai tamu kehormatan, disuguhi minum susu dan arak, dan disuguhi pula ma­kanan dari daging, yang biarpun aneh bagi lidahnya karena bumbunya berbeda-dengan masakan yang biasa dimakannya, namun cukup lezat. Mayani sendiri lalu berdandan, bersama beberapa orang gadis lain lalu mengadakan pertunjukan tari darn nyanyi untuk meng­hormat pemuda Han yang tampan dan gagah perkasa, yang telah menyelamatkannya dari tangan orang gila tadi. Ngeri ia membayangkan bagaimana akan men­jadi nasibnya kalau saja ia tidak ditolong oleh Hong Beng tadi karena si gila itu, sebulan yang lalu, pernah pula melarikan seorang gadis dan tiga hari kemudian, dia ditangkap di dalam sebuah guha sedangkan gadis itu yang diperkosanya secara buas, telah menjadi ma­yat! Hanya karena raksasa gila itu masih keponakan kepala suku, maka dia tidak dibunuh melainkan di­rantai dan disekap di belakang. Akan tetapi, pagi tadi dia dapat melepaskan diri dan hampir saja membuat korban baru atas diri Mayani, saudara misannya sen­diri!

Dan malam hari itu, datanglah tamu-tamu lain, yaitu para pejuang yang hendak mengadakan perte­muan rapat dengan Agakai dan anak buahnya. Hong Beng sebagai seorang tamu, tidak keluar menyambut, melainkan tinggal di dalam kamar yang disediakan un­tuknya. Baru setelah pertemuan dan pesta itu diada­kan pada malam hari itu, Hong Beng dipersilahkan keluar dan menghadirinya.

Ternyata yang datang adalah duapuluh lebih orang-orang yang berpakaian sebagai tosu, dipimpin oleh lima orang tosu tua. Mereka disambut oleh Aga­kai dan para pembantunya, dan pada malam hari itu, diadakanlah pesta pertemuan itu di pekarangan rumah besar di dalam dusun, di mana telah disediakan meja kursi dan penerangan lampu yang cukup banyak. Du­sun itu sederhana, tidak ada rumah yang cukup besar di situ untuk menjadi tempat pertemuan, maka pesta pertemuan itu diadakan di tempat terbuka.

Lima orang tosu itu duduk di meja besar, disambut oleh Agakai yang duduk pula di situ bersama lima orang pembantunya, yaitu mereka yang dianggap to­koh di antara kelompok mereka. Mayani duduk di barisan belakang ayahnya, tidak ikut dalam rapat, akan tetapi juga tidak menjadi pelayan, melainkan bagai pendengar saja.

Ketika Hong Beng dipersilahkan duduk, pemuda itu memandang kepada lima orang tosu tadi dengan penuh perhatian. Tiba-tiba dia terkejut karena dia mengenal bahwa dua di antara lima orang tosu itu pernah dilihatnya. Akan tetapi dia lupa lagi di mana dan kapan dia pernah berjumpa dengan dua orang to­su itu, dan dua orang tosu itupun agaknya tidak mem­perlihatkan tanda bahwa mereka mengenalnya. Aga­kai memperkenalkan Hong Beng kepada para tamu­nya.

“Tamu kehormatan kami yang kebetulan berada di sini adalah taihiap Gu Hong Beng yang telah menyelamatkan puteri kami dari ancaman malapetaka. Gu-taihiap, para pendeta inilah pejuang-pejuang yang pernah kami ceritakan kepadamu.”

Hong Beng memberi hormat kepada para pendeta itu yang dibalas oleh mereka, akan tetapi mereka ber­sikap acuh saja kepadanya. Ketika para pendeta itu bangkit membalas penghormatannya, barulah Hong Beng melihat bahwa di jubah para pendeta itu, di bagian dada, terdapat lukisan-lukisannya. Tiga orang pendeta memiliki lukisan bunga teratai di dada jubah mereka, sedangkan yang dua lagi terdapat lukisan segi delapan. Diam-diam dia terkejut. Kiranya para tosu ini adalah pendeta-pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai! Memang dia tahu bahwa kedua perkumpulan ini merupakan pemberontak-pemberontak atau menurut istilah mereka adalah pejuang-pejuang, akan tetapi pejuang macam apa! Mereka tidak segan-segan untuk mengelabuhi rakyat agar mendukung gerakan mereka, akan tetapi walaupun mereka memusuhi pemerintah Mancu, namun mere­kapun terkenal sebagai golongan yang tidak segan melakukan segala macam kecabulan dan kejahatan demi mencapai tujuan mereka! Orang-orang gagah dari dunia persilatan tidak suka kepada mereka dan selalu menjauhi mereka. Bahkan para pendekar yang berjiwa patriot dan berjuang pula menentang penja­jah, segan untuk bekerja sama dengan orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai. Hatinya merasa tidak enak dan penuh curiga, akan tetapi Hong Beng hanya duduk diam saja, memperhatikan percakapan antara mereka yang mulai berlangsung.

“Selamat datang dan selamat malam, para totiang yang terhormat,” kata Agakai. “Seperti telah kita sepakati bersama, kami telah berhasil membujuk dan mengusir penghuni dusun ini, orang-orang Hui, untuk meminjamkan dusun ini kepada kami selama beberapa hari agar kita dapat mengadakan pertemuan di sini. Kami masih belum yakin benar akan cerita tentang perjuangan golongan kalian, maka kami minta agar kalian suka menjelaskan lagi agar kami dapat mempertimbangkan apakah dapat menerima uluran tangan kalian untuk bekerja sama.”

Tosu berjenggot panjang dan memegang tongkat berbentuk naga hitam, segera mengelus jenggotnya dan agaknya dialah yang menjadi juru bicara kawan-kawannya. “Siancai      kami hargai kejujuran­mu, saudara Agakai. Pertama-tama pinto (aku) ingin menceritakan mengapa kami sengaja memilih saudara untuk bekerja sama. Kami tahu bahwa saudara Aga­kai adalah keturunan langsung dari Sang Maharaja Jenghis Khan yang maha besar di jaman lampau, oleh karena itu kami merasa yakin bahwa tentu saudara mempunyai semangat untuk mendirikan kembali Ke­rajaan Goan di mana bangsa saudara merajai seluruh Tiongkok. Nah, kami membutuhkan orang bersemangat seperti saudara untuk menggerakkan seluruh Bangsa Mongol yang jaya untuk menumbangkan keku­asaan Mancu.”

Tentu saja Agakai menjadi bangga dan gembira sekali mendengar ini. Telah tersentuh kelemahannya! Dia memang selalu ingin menonjolkan bahwa dia ada­lah keturunan Jenghis Khan, maka kini ucapan tosu itu seperti mengelus perasaannya dan dia menjadi senang sekali kepada para tosu itu.

“Memang tidak keliru kalau totiang beranggapan demikian,” katanya bangga. “Akulah satu-satunya orang di seluruh Mongol yang berdarah Jenghis Khan dan yang akan mampu menggerakkan seluruh bangsa­ku untuk bangkit lagi.”

“Itulah harapan kami, saudara Agakai. Kami menganggap bahwa gerakan yang datang dari utara lebih banyak harapan untuk berhasil, karena selain dekat dengan kota raja, juga terdapat banyak gunung dari mana kita dapat bergerak secara sembunyi. Tembok Besar tidak merupakan penghalang yang terlalu berat, bahkan para perajurit pamerintah yang mela­kukan tugas berjaga di Tembok Besar, kebanyakan kurang semangat dan kurang kuat, jauh dari hiburan dan sudah merasa bosan tinggal di tempat yang tan­dus. Kami membutuhkan bantuan saudara untuk menghimpun tenaga yang kuat, yang setiap waktu dapat kami pergunakan untuk menyerbu ke selatan. Kami akan bergerak dari dalam Tembok Besar.”

“Nanti dulu, totiang. Selain pemerintah Mancu memiliki pasukan yang amat besar dan kuat, juga Kaisar Kian Liong selalu dibantu oleh para pendekar yang setia dan mereka memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Mungkin saja menandingi pasukan dengan siasat perang, akan tetapi bagaimana akan dapat me­nandingi para pendekar yang memiliki ilmu silat tinggi?”

“Ha-ha-ha, tidak perlu khawatir, saudara Agakai. Kami orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai memiliki banyak sekali tokoh yang berilmu tinggi, dan para pendekar itu tidak ada artinya bagi kami.”

“Tapi, di sana terdapat para pendekar yang lihai, seperti keluarga Pulau Es....“

“Siancai!” Tosu berjenggot panjang itu berseru “Keluarga Pulau Es hanyalah penjilat-penjilat kaisar, takut apa? Kalau ada yang muncul di sini, tentu kepalanya akan pinto hancurkan dengan tongkat ini, seperti kepala arca di sana itu!” Tiba-tiba kakek itu melemparkan tongkatnya dan sungguh aneh. Tongkat yang berbentuk seekor naga hitam itu tiba-tiba saja seperti “hidup”, terbang melayang menyambar ke arah sebuah arca batu yang berdiri sejauh duapuluh meter lebih dari tempat kakek itu duduk. Terdengar suara keras ketika tongkat menghantam kepala arca, dan pecah berantakanlah kepala arca itu, sedangkan tongkatnya kembali terbang ke arah tangan tosu tua itu! Hong Beng terkejut dan maklum bahwa tosu Pek-lian-kauw ini mempergunakan ilmu sihir bercampur ilmu silat yang amat tinggi!

Sementara itu, Agakai dan para pembantunya memandang dengan mata terbelalak dan mulut be­ngong. Kemudian terdengar sorak-sorai para anak buahnya yang berada di sekeliling tempat pesta itu. Merekapun melihatnya dan memberi pujian.

Sementara itu, Hong Beng, tentu saja merasa perutnya panas mendengar betapa keluarga Pulau Es dimaki sebagai penjilat dan dipandang rendah. Dan pada saat itu, diapun tiba-tiba teringat siapa adanya dua orang tosu yang duduk di situ, yang tadi diingat­nya sebagai orang-orang yang pernah dikenalnya. Kini dia teringat bahwa dua orang itu bukan lain adalah dua orang pendeta yang pernah dijumpainya ketika dia mencarikan obat untuk suhunya yang ter­luka. Dua orang pendeta yang ditemukannya dalam keadaan luka dan menceritakan kepadanya bahwa mereka adalah dua orang yang menentang Bi-kwi, karena Bi-kwi menculiki pemuda-pemuda di dusun, akan tetapi mereka berdua kalah karena Bi-kwi diban­tu oleh Bi Lan dan Sim Houw! Karena keterangan mereka itulah maka dia bersama suhunya lalu pergi mencari Bi Lan dan Sim Houw, bahkan lalu menyerang mereka. Kini timbul keraguan dalam hatinya! Benarkah keterangan mereka tempo hari? Mungkin­kah seorang tosu Pek-lian-kauw dan seorang tosu Pat-kwa-pai muncul sebagai pendekar, sedangkan Bi Lan dan Sim Houw sebaliknya menjadi pembela yang jahat? Pikiran ini membuat dia menjadi sema­kin marah. Jangan-jangan dua orang pendeta ini dahulu hanya melakukan fitnah saja sehingga berhasil mengadu domba antara dia dan gurunya melawan Bi Lan dan Sim Houw! Kalau benar, celakalah!

Pada saat itu, terdengar tosu tinggi besar perut gendut, seorang di antara dua pendeta yang pernah dijumpai Hong Beng, yaitu yang bernama Ok Cin Cu, tokoh Pat-kwa-pai, berkata kepada Agakai, “Sau­dara Agakai, sudah menjadi tugas kami masing-ma­sing tosu dari perkumpulan kami untuk menyampai­kan berkah dan pelajaran kepada seorang murid wa­nita baru. Pinto minta agar gadis yang duduk di be­lakangmu itu malam nanti menjadi murid pinto yang baru dan tinggal bersama pinto dalam kamar pinto.”

Agaknya Agakai sudah tahu akan kebiasaan para tosu cabul itu, maka mukanya menjadi merah karena yang dimintanya adalah puterinya! Dia tidak perduli, akan kebiasaan mereka. Dia bahkan menganggapnya wajar kalau tokoh-tokoh besar itu membutuhkun hiburan karena tugas mereka yang berat dalam perju­angan. Akan tetapi kalau puterinya yang diminta, tentu saja dia tidak dapat memaksa puterinya.

Agakai tertawa. “Totiang, agaknya engkau belum tahu bahwa ia ini adalah Mayani, puteriku sendiri. Aku tak pernah memaksa puteriku, akan tetapi kalau ia suka melayanimu dan menjadi muridmu malam ini secara suka rela, akupun tidak akan dapat melarang­nya.” Dengan ucapan ini, Agakai merasa yakin bah­wa puterinya tentu akan menolak. Gadis mana yang suka melayani seorang kakek yang buruk rupa dan berperut gendut seperti tosu itu? Apa lagi puterinya, gadis yang amat pemilih dan selama ini belum pernah mau menerima pinangan pemuda-pemuda yang cukup tampan.

Tosu berjenggot panjang yang memimpin para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai itu tiba-tiba berkata, “Aha, tentu saja nona Mayani suka me­layani dan menjadi murid saudara Ok Cin Cu!”

Begitu ucapan ini dikeluarkan, tiba-tiba Mayani lalu bangkit berdiri, lalu menghampiri Ok Cin Cu dan berkata, “Aku suka sekali melayanimu dan menjadi muridmu, totiang!”

Tentu saja Agakai terkejut setengah mati melihat puterinya demikian patuh dan dengan suka rela menghampiri tosu itu dan menyatakan suka malayani dan menjadi murid! Janjinya telah diucapkan dan disak­sikan orang banyak ternyata Mayani dengan suka sen­diri mau melayani tosu gendut itu.

“Mayani....!” Dia berseru kaget dan heran.

Tiba-tiba Hong Beng yang sudah tidak mampu menahan kesabarannya lagi karena dia maklum apa artinya sikap Mayani yang aneh itu, ialah bahwa ga­dis itu tentu terkena pengaruh sihir kakek berjenggot panjang, lalu bangkit berdiri, menggebrak meja dan dari mulutnya keluar suara melengking tinggi yang membuyarkan pengaruh sihir atas diri Mayani karena teriakan melengking itu mengandung tenaga khi-kang yang amat kuat. Mayani tersentak kaget, lalu menjadi bingung mengapa ia berdiri di depan tosu gendut.

“Eh, apa yang terjadi.... ayah....?” tanyanya dan iapun cepat kembali ke belakang ayah­nya.

“Para tosu jahat dan cabul!” bentak Hong Beng dengan marah sehingga sepasang matanya berkilat. “Kalian telah menyebar racun fitnah, bujukan dengan ilmu hitam yang amat keji! Saudara Agakai, jangan engkau terkena bujukan iblis mereka ini. Mereka adalah tosu-tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai yang amat jahat, berkedok perjuangan. Hampir saja pute­rimu terjebak dalam sihir dan menjadi korban mereka yang amat jahat!”

Para tosu itu bangkit berdiri dengan marah dan sekarang Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin, dua orang tosu yang berada di situ, juga mengenal Hong Beng.

“Siancai....! Dia ini adalah murid keluarga Pulau Es! Dia mata-mata musuh, dia mata-mata pemerintah Mancu!” teriak Ok Cin Cu dengan ma­rah, memutar tongkat hitamnya yang berbentuk ular itu ke atas kepala.

Kalau tadinya Agakai terkejut mendengar kata-kata Hong Beng dan memandang kepada para tosu penuh kecurigaan dan kemarahan, kini dia terkejut dan menghadapi Hong Beng, “Gu-taihiap, benarkah engkau murid keluarga Pulau Es?”

Dengan sikap gagah Hong Beng menjawab, “Be­nar, aku adalah murid keluarga Pulau Es, dan seperti semua orang gagah di seluruh dunia, akupun menen­tang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw yang melakukan kejahatan dengan kedok agama dan perju­angan! Harap saudara Agakai jangan sampai terkena bujukan mereka!”

Akan tetapi, mendengar bahwa pemuda ini murid keluarga Pulau Es, Agakai yang juga telah terkena pengaruh sihir dari para tosu, segera merasa tak se­nang dan curiga. Bagaimanapun juga, dia tahu bahwa keluarga Pulau Es condong membantu pemerintah Mancu karena mereka itu berdarah Mancu pula.

“Tangkap mata-mata ini!” teriaknya kepada orang-orangnya.

Hong Beng terkejut dan tak sempat untuk mem­bela diri dengan kata-kata, maka sekali meloncat dia telah berada di luar tempat pesta itu. Akan tetapi, lima orang tosu itu sudah berloncatan dan menge­pungnya.

“Ha-ha-ha, orang muda mata-mata musuh, hen­dak lari ke mana engkau?” teriak Thian Kek Seng-jin yang sudah menggerakkan tongkatnya yang ber­bentuk naga hitam pula, seperti tongkat tosu berjeng­got panjang yang menjadi pemimpin rombongan itu.

“Wuuuttt....!” Hong Beng mengelak, akan tetapi dia segera dikeroyok dan karena tingkat kepan­daian para tosu itu amat tinggi, yang paling rendah seimbang dengan tingkatnya, tentu saja dia menjadi repot sekali menghadapi pengeroyokan mereka. Apa lagi, di luar kepungan ini masih terdapat para anggau­ta Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, juga orang-orang Mongol.

Ketika tongkat hitam berbentuk ular di tangan Ok Cin Cu menyambar lehernya dan sebatang pedang menusuk lambungnya, dia cepat mengelak dan pada saat itu, tosu berjenggot panjang telah mengebutkan saputangan hitam di depan muka Hong Beng. Karena dia dalam keadaan mengelak dan terkepung, Hong Beng tidak mampu mengelak lagi dan begitu saputa­ngan itu dikebutkan dan mengeluarkan debu, dia­pun mencium bau keras dan roboh pingsan!

Kiranya para tosu itu tidak mau membunuh Hong Beng karena mereka ingin memanfaatkan pemuda ini. Sebagai seorang pemuda murid keluarga Pulau Es, tentu saja dia merupakan orang penting. Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin sudah pernah mempermain­kannya dan mereka tahu bahwa Hong Beng merupa­kan seorang pemuda yang berwatak keras dan mudah ditipu. Tidak ada gunanya membunuh pemuda ini, akan tetapi mungkin dalam keadaan hidup mereka akan dapat memanfaatkan pemuda ini, setidaknya sebagai sandera karena siapa tahu kalau-kalau di be­lakang pemuda ini masih terdapat keluarga Pulau Es yang hendak menyerbu mereka.

Setelah Gu Hong Beng dibikin tak berdaya dengan dibelenggu kaki tangannya, dan para tosu itu menyerahkannya kepada anak buah Agakai untuk dimasuk­kan sebuah kamar dan dijaga ketat, dibantu penjagaannya oleh para tosu anggauta Pek-lian-kauw, para tosu lalu mengajak Agakai melanjutkan percakapan mereka. Mayani tak nampak di situ karena begitu tadi sadar bahwa ia telah bertindak aneh dan bahkan menyerahkan diri untuk melayani tosu gendut, gadis ini menjadi ngeri dan meninggalkan tempat itu. Ia menangis di dalam kamarnya, teringat akan Hong Beng yang pingsan dan ditawan. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya berbalik memusuhi penolongnya itu dan ia merasa penasaran sekali!

Sementara itu, kakek jenggot panjang yang merupakan seorang tokoh Pek-lian-kauw, berkata kepada Agakai, “Saudara Agakai, mengingat bahwa engkau agaknya kurang setuju kalau puterimu menjadi murid seorang di antara kami, biarlah pinto membatalkan saja dan puterimu tidak akan menjadi murid kami. Tentu saja engkau tahu bahwa sebagai pengganti puterimu, engkau sepatutnya menyediakan gadis-gadis lain untuk menjadi murid-murid kami berlima malam ini “

Wajah kepala suku itu menjadi berseri. “Tentu saja! Jangan khawatir, kalau gadis-gadis suku kami tidak berbakat menjadi murid kalian, masih ada ga­dis-gadis Hui yang dapat kami minta untuk menjadi murid kalian.”

“Sekarang dengarkan rencana kami selanjutnya, saudara Agakai. Seperti kami katakan tadi, untuk daerah utara ini kami mempercayakan kepada saudara untuk menghimpun kakuatan dan mempersiapkan di­ri. Sewaktu-waktu kami akan memberi kabar kalau pasukanmu dibutuhkan. Di bagian timur, kami telah menghubungi para bajak laut Bangsa Korea dan Je­pang, dan di barat kami akan mencoba nntvk meng­hubungi Sin-kiam Mo-li.”

“Sin-kiam Mo-li? Siapakah ia?” tanya Agakai yang tentu saja belum mengenal tokoh-tokoh di dunia kang-ouw.

“Ia seorang wanita yang sakti, jauh lebih pandai dari pada kami semua!” kata tosu berjenggot pan­jang. “Ia adalah anak angkat dari mendiang Kim Hwa Nio-nio yang tewas di tangan para pendekar, terutama keluarga Pulau Es. Karena itu, ia tentu mendendam kepada keluarga Pulau Es dan kami ya­kin ia akan suka menggabungkan diri dengan kita. Untuk daerah barat, kami akan menyerahkan kepada Sin-kiam Mo-li, tentu saja kalau ia suka bergabung seperti yang kami rencanakan. Ia tinggal di tepi Su­ngai Cin-sa, di kaki Pegunungan Heng-tuan-san. Ialihai dan cantik jelita walaupun usianya sudah empatpuluh tahun, seperti seorang gadis remaja saja!” Para tosu lalu memuji-muji Sin-kiam Mo-li sebagai ahli slat dan juga ahli sihir yang amat pandai. Tentu saja Agakai menjadi kagum bukan main. Dia telah melihat kelihaian Hong Beng yang dengan mu­dah merobohkan keponakannya yang gila dan yang memiliki tenaga luar biasa kuatnya itu. Kemudian dia melihat betapa Hong Beng yang lihai itupun ro­boh dengan mudah oleh para tosu ini. Maka, mende­ngar betapa wanita yang berjuluk Sin-kiam Mo-li itu memiliki ilmu silat dan ilmu sihir yang amat tinggi, lebih lihai dari pada para tosu itu, tentu saja su­kar bagi dia untuk membayangkan kesaktian seperti itu. Diam-diam dia merasa girang dapat bekerja sama dengan orang-orang yang demikian pandainya. Agaknya dia akan dapat berhasil membangun kem­bali Kerajaan Goan-tiauw yang telah jatuh dari bangsanya yang jaya!

Para tosu itu dan para tokoh Mongol yang menja­di tuan rumah, sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi percakapan mereka didengarkan oleh dua orang yang mengintai tak jauh dari tempat itu. Dua orang yang memiliki gerakan amat ringan dan cepat sehing­ga mereka mampu mendekati tempat pesta pertemuan itu tanpa diketahui orang, bahkan ikut mendengar­kan percakapan antara para tosu dan Agakai dengan menggunakan pendengaran mereka yang amat peka.

Dua orang ini bukan lain adalah Sim Huow dan Can Bi Lan. Seperti kita ketahui, dua orang ini kembali dari gurun pasir dan melakukan perjalanan cepat sehingga mereka dapat menyusul Hong Beng yang melakukan perjalanan terlebih dahulu akan teta­pi karena Hong Beng pernah salah jalan sehingga membuang waktu beberapa hari maka akhirnya dia tersusul. Sim Houw dan Bi Lan sama sekali tidak menyangka di situ akan bertemu dengan Hong Beng. Mereka kebetulan lewat di dusun itu dan tadi mereka mendengar ribut-ribut di dalam dusun. Ketika mereka melihat Hong Beng dirobohkan dan tertawan, mereka tidak segera turun tangan, melainkan melaku­kan pengintaian untuk melihat apa yang terjadi dan mengapa pula Hong Beng dikeroyok para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw di tempat itu. Mere­ka berdua mengintai dan mendengarkan percakapan antara para tosu dan Agakai, kepala suku Mongol itu. Ketika mendengar disebutnya nama Sin-kiam Mo-li anak angkat Kim Hwa Nio-nio yang men­dendam kepada keluarga Pulau Es, diam-diam mere­ka mencatat dalam hati nama wanita itu dan alamat­nya. Kemudian, melihat bahwa yang dibicarakan oleh para tosu dan kepala suku adalah urusan pemberontakan, yang mereka namakan perjuangan, maka Sim Houw memberi isyarat kepada Bi Lan untuk meninggalkan tempat persembunyian mereka di atas pohon besar itu.

Baik buruk arau benar salahnya sesuatu atau sua­tu perbuatan tidak terletak di dalam perbuatan itu sendiri, melainkan terletak di dalam pandangan seseorang terhadap perbuatan itu. Kalau si pemandang merasa bahwa perbuatan itu menguntungkan atau menyenangkan hatinya, tentu saja dia akan mengatakan bahwa perbuatan itu baik dan benar. Sebaliknya ka­lau si pemandang menganggap perbuatan itu merugi­kan dan tidak menyerangkan hatinya, dia akan tanpa ragu mengatakan bahwa perbuatan itu buruk dan sa­lah. Inilah sebabnya mengapa orang-orang yang menentang pemerintah Mancu, dinamakan pemberontak jahat oleh pemerintah Mancu dan orang-orang yang tidak menyetujui perbuatan itu, sebaliknya dise­but pejuang perkasa oleh mereka yang menganggap bahwa kepentingannya diwakili. Karena itu, apa yang dinamakan baik oleh seseorang, belum tentu baik bagi orang lain, juga yang dinamakan buruk atau jahat belum tentu demikian bagi pihak lain. Untuk dapat membebaskan diri dari ikatan ini, seyogianya kalau kita menghadapi segala sesuatu tanpa penilaian, melainkan membuka mata memandang dengan peng­amatan yang penuh kewaspadaan dan penuh perhati­an. Pengamatan yang waspada ini membebaskan kita dari penilaian dan pendapat, tidak terpengaruhi perhitungan untung rugi dalam segala hal yang kita hadapi dan dari pengamatan penuh kewaspadaan ini lahirlah perbuatan-perbuatan yang sehat dan bijak.

“Kita harus bebaskan Hong Beng,” kata Sim Houw setelah mereka keluar dari tempat itu dan ber­ada di belakang sebuah rumah kosong yang sunyi dan gelap.

“Untuk apa bebaskan orang seperti dia?” Bi Lan membantah.

“Ah, jangan berpikir demikian, moi-moi. Ia terjatuh ke tangan para tosu Pek-lian-kauw. Jangan­kan Hong Beng yang sudah kita kenal sebagai seorang pendekar gagah dan murid keluarga Pulau Es, biar orang lain sekalipun kalau terjatuh ke tangan para tosu yang jahat itu, sudah sepatutnya kalau kita to­long dia.” Tanpa memberi kesempatan kepada kekasihnya untuk membantah lagi, Sim Houw sudah menggandeng tangan Bi Lan dan mengajaknya me­nyelinap di antara rumah-rumah dan menuju ke ru­mah di mana tadi mereka melihat Hong Beng dibawa masuk dalam keadaan kaki tangan terbelenggu.

Dengan kepandaian mereka yang tinggi, Sim Houw dan Bi Lan berhasil meloncat naik ke atas wu­wungan rumah itu, membuka genteng dan mengintai ke dalam. Mereka melihat betapa Hong Beng diikat pada sebuah tihang di dalam rumah itu, dan di situ terdapat belasan orang Mongol dan anak buah Pek-lian-kauw, juga berjaga dengan rapat. Dua orang anggauta Pat-kwa-pai juga nampak berjalan hilir-mudik mengelilingi rumah tahanan itu.

Sebelum Sim Houw dan Bi Lan mengambil kepu­tusan untuk berbuat sesuatu, tiba-tiba Sim Houw menyentuh lengan Bi Lan dan keduanya memandang dengan penuh perhatian ke bawah. Seorang gadis berbangsa Mongol memasuki pintu rumah itu dan para penjaga memberi jalan padanya, bahkan orang-orang Mongol itu bersikap hormat. Gadis itu cantik manis dalam pakaiannya yang berwarna merah dan hitam, dan kini ia memasuki kamar di mana Hong Beng diikat pada tihang besar. Lima orang Mongol yang berjaga di situ nampak terkejut melihat masuk­nya gadis ini, akan tetapi ketika gadis itu menyuruh mereka keluar, lima orang itu tidak berani memban­tah, setelah saling pandang mereka lalu keluar dari dalam kamar itu. Gadis itu bukan lain adalah Mayani, puteri Agakai. Setelah sekian lamanya gelisah di da­lam kamarnya, akhirnya gadis itu tidak tahan lagi dan nekat mengunjungi Hong Beng dalam kamar ta­hanannya. Para penjaga tidak ada yang berani mela­rangnya, juga para anggauta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw tidak mencegah setelah mereka men­dengar bahwa gadis itu adalah puteri kepala suku.

Setelah Mayani berada seorang diri dengan Hong Beng, gadis itu mendekati dan air matanya menetes ketika ia melihat betapa pemuda itu terbelenggu kaki tangannya, dan pipi dan lehernya lecet-lecet, juga pakaiannya robek-robek. Hong Beng sudah siuman, akan tetapi dia masih belum mampu mengerahkan tenaganya karena selain obat bius itu masih memu­singkan kepalanya, juga tadi tosu Pek-lian-kauw menotok jalan darahnya sehingga dia tidak mampu mengerahkan sin-kangnya. Andaikata dia sudah mam­pu sekalipun, belum tentu dia akan dapat membikin putus tali belenggu kaki tangannya yang terbuat dari pada kulit binatang yang amat kuat itu. Kini dia me­mandang kepada Mayani.

“Nona, kenapa engkau datang ke sini?” tanya­nya lirih.

“Aih, Gu-taihiap, betapa hancur rasa hatiku melihat engkau dikeroyok dan ditangkap tadi. Akan tetapi, jangan khawatir, taihiap, aku datang untuk menolongmu, lihat aku sudah membawa pisau yang tajam untuk membikin putus tali belenggumu.” Gadis itu mengeluarkan sebuah pisau yang mengkilat saking tajamnya. Hong Beng tidak kelihatan girang karena walaupun belenggu kaki tangannya putus, dia tetap saja tidak berdaya karena belum mampu menge­rahkan sin-kangnya. Dengan tenaga utuh saja dia tidak mampu menandingi para tosu itu, apa lagi sete­lah jalan darahnya tertotok. Apa artinya belenggunya terlepas kalau dia tidak mampu melarikan diri?

“Aku akan membebaskanmu, taihiap, dan aku akan melindungimu. Kalau aku mengancam akan bu­nuh diri, tentu ayah akan membiarkan kita pergi ber­dua tanpa diganggu. Akan tetapi, lebih dulu aku minta engkau berjanji.”

Hong Beng melihat kemungkinan baru untuk keselamatannya. Mungkin saja gadis ini dapat memaksa ayahnya, dan sebagai kepala suku, ayahnya tentu mempunyai kekuasaan untuk membebaskan dia dan Mayani!

“Janji apa, nona?”

“Janji bahwa setelah kubebaskan, engkau akan suka menerima aku menjadi isterimu dan mengajak aku ke manapun engkau pergi!”

Ucapan ini keluar demikian terbuka dan jujur tanpa malu-malu lagi dari mulut Mayani. Sebaliknya, Hong Beng yang mendengar ucapan ini menjadi tersi­pu dan mukanya berubah merah.

“Kenapa begitu, nona?” tanyanya, agak heran dengan permintaan tiba-tiba yang dianggapnya aneh ini.

“Karena aku cinta padamu, taihiap. Nah, kau berjanjilah dan aku akan membebaskanmu, mengajakmu menghadap ayah agar kita berdua diperbolehkan pergi dari sini dengan aman.”

Tentu mudah bagi Hong Beng untuk berjanji dan kemudian meninggalkan gadis ini. Akan tetapi dia adalah seorang gagah. Dia tidak mau menipu Mayani, tidak ingin melanggar janjinya sendiri. Maka dia menggeleng kepalanya. “Aku.... aku tidak bisa berjanji, Mayani,” katanya, diam-diam merasa ka­sihan kepada gadis ini. Jatuh cinta dan tidak terba­las! Dia sudah merasakan betapa sakitnya hal ini kalau menimpa seseorang! Mayani jatuh cinta pada­nya, namun dia tidak dapat membalasnya.

“Kenapa tidak bisa, taihiap?”

“Karena aku tidak ingin kelak melanggar janjiku, tidak ingin berbohong kepadamu hanya agar aku dapat kautolong. Karena aku.... terus terang saja, aku tidak.... cinta padamu, Mayani. Aku suka padamu, aku kasihan padamu, akan tetapi aku tidak cinta padamu.”

“Ahhh!” Mayani nampak kaget. “Akan tetapi, bukankah engkau telah menyelamatkan aku dari bencana, dari cengkeraman orang gila itu?

“Aku menolongmu bukan karena aku cinta pada­mu. Gadis manapun akan kuselamatkan dari cengke­raman orang gila itu, Mayani.”

“Ahhh....!” Kini Mayani mengusap air mata dengan tangannya. Sungguh tak disangkanya jawaban seperti ini yang akan didengarnya. “Kalau begitu.... bagaimana aku dapat menolongmu? Apa yang harus kupakai sebagai alasan menolongmu?”

Hong Beng menarik napas panjang. “Sudahlah, tidak perlu kau menolongku, Mayani. Kembalilah sebelum orang mengetahui niatmu dan engkau akan mendapat susah karena ini. Pergilah.”

Sejenak gadis itu bengong, seperti tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Orang ini berada da­lam bahaya besar, akan tetapi menolak uluran tangan­nya untuk menolong dan menyelamatkannya. Kemu­dian, dengan kedua mata masih basah dan merah terpaksa Mayani keluar pula dari kamar itu. Begitu ia keluar, lima orang Mongol itu cepat menyerbu ke dalam dan mereka nampak lega melihat bahwa tawan­an itu masih terbelenggu pada tihang. Mereka tadi sudah merasa khawatir kalau-kalau Mayani melaku­kan kebodohan dan hendak membebaskan tawanan.

Sementara itu, Sim Houw dan Bi Lan melihat semua peristiwa yang terjadi di dalam kamar itu. Sim Houw lalu memberi isarat kepada Bi Lan. Keduanya lalu melayang ke dalam kamar. Sim Houw lebih dulu, diikuti oleh Bi Lan. Melihat dua orang melayang turun bagaikan dua ekor burung garuda, lima orang Mongol itu terkejut bukan main. Mereka hendak menerjang, akan tetapi beberapa tamparan dan ten­dangan dari dua orang itu merobohkan mereka. Sim Houw cepat membikin putus belenggu pada kaki ta­ngan Hong Beng. Melihat tubuh Hong Beng lemas, Sim Houw maklum. Yang penting melarikan pemuda ini, pikirnya. Totokan orang Pek-lian-kauw mungkin berbeda dan harus dicari dulu bagaimana untuk membebaskannya. Maka setelah dua kali mencoba dan gagal membebaskan totokan, dia lalu menyam­bar tubuh Hong Beng, memanggulnya dan meloncat keluar dari kamar itu, didahului oleh Bi Lan. Sesuai dengan rencana mereka tadi, yang sudah diatur oleh Sim Houw ketika mereka mendekam di atas wuwung­an, Bi Lan membuka jalan keluar. Beberapa orang penjaga yang terkejut melihat keluarnya gadis yang tidak dikenal ini, roboh oleh tamparan Bi Lan.

Keadaan menjadi gempar dan para penjaga berte­riak-teriak ketika dua orang yang melarikan tawanan itu mengamuk dan merobohkan banyak penjaga. Mendengar teriakan-teriakan ini, para pimpinan tosu cepat mendatangi tempat itu bersama Agakai, akan tetapi dua orang penculik tawanan itu telah menghi­lang di dalam gelap, meninggalkan belasan orang pen­jaga yang tadi mereka robohkan.

Tentu saja para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw menjadi marah. Ada orang berani mem­bebaskan tawanan di depan hidung mereka! Hal ini sungguh membuat mereka merasa malu dan penasar­an, maka mereka lalu melakukan pencarian dan pe­ngejaran.

Karena Sim Houw juga menyadari betapa lihainya para tosu yang mampu menawan seorang pemuda se­perti Hong Beng, maka dia mengajak Bi Lan berlari terus sampai jauh meninggalkan dusun itu dan akhirnya, pada pagi hari, mereka berhenti di bawah Tem­bok Besar. Begitu berhenti, Sim Houw lalu mencoba beberapa totokan untuk membebaskan Hong Beng dan akhirnya dia berhasil. Hong Beng terbebas dari totokan dan setelah melemaskan otot-ototnya yang menjadi kaku, dia berdiri berhadapan dengan Sim Houw dan Bi Lan. Dia merasa canggung sekali, tidak tahu harus berkata apa. Dia pernah memusuhi kedua orang ini, bahkan sampai sekarangpun masih ada perasaan tidak suka. Bagaimanapun juga, dia dan guru­nya pernah berkelahi melawan mereka ini yang telah membela Bi-kwi. Kenyataan bahwa dia telah dikela­buhi oleh dua orang tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw itu belum melenyapkan sama sekali keraguannya dan dia masih menganggap bahwa dua orang ini setidaknya pernah menyeleweng dan membela Bi-kwi yang jahat, hanya karena Bi-kwi adalah suci dari Bi Lan.

“Sim Houw,” katanya kaku, “aku tidak pernah minta pertolongan kalian, akan tetapi biarlah aku mengucapkan terima kasih atas pertolongan kalian ini, walaupun jangan mengira bahwa terima kasih ini sudah melenyapkan ketidakcocokan di antara kita.” Sejak tadi Bi Lan memang sudah tidak senang dia­jak oleh Sim Houw menyelamatkan Hong Beng. Kini mendengar ucapan yang dirasakannya amat menyakit­kan hati itu, bangkitlah kemarahannya.

Sambil bertolak pinggang dengan tangan kanan, telunjuk kirinya menuding ke arah hidung Hong Beng dan suaranya terdengar lantang dan galak, “Gu Hong Beng manusia sombong! Siapa sudi menerima terima kasihmu? Ketahuilah, kalau aku akhirnya menyetu­jui Sim-koko untuk menalongmu, adalah karena aku tidak ingin melihat engkau mampus di sana. Aku ingin menghajarmu dengan kedua kaki tanganku sendiri. Engkau lancang dan banyak mulut, suka mengadu dan melancarkan fitnah, memburuk-burukkan nama kami di depan suhu dan subo di Istana Gurun Pasir!”

Hong Beng mengerutkan alisnya. Tak dapat di­sangkal lagi, dia mencinta gadis ini. Akan tetapi Bi Lan tidak membalas cintanya, bahkan agaknya gadis itu bermain cinta dengan Sim Houw dan mengejek­nya, menghinanya. Di samping rasa cintanya, timbul perasaan penasaran dan juga kemarahan.

Mungkinkah orang mencinta dan sekaligus mem­benci orang yang sama? Hal ini tidak mungkin sama sekali. Benci timbul dari perasaan tidak suka, dari perasaan dirugikan dan tidak tercapai apa yang dii­nginkan. Cinta tidak mungkin menimbulkan benci. Yang menimbulkan benci bukan cinta, melainkan naf­su. Nafsu ini ingin memiliki, ingin disenangkan, dan kalau semua keinginan itu gagal, maka muncullah ke­cewa dan benci. Baik nafsu maupun benci adalah penonjolan diri pribadi, adalah pakaian badan, adalah pementingan kesenangan dan kepuasan badan. Cinta kasih tidaklah sedangkal segala macam keinginan ba­dan, cinta kasih bukanlah sekedar kesenangan dan kepuasan jasmani.

“Aku tidak memburukkan atau menyebar fitnah, melainkan menceritakan keadaan yang sebenarnya tanpa dibuat-buat. Bagaimanapun juga, Bi Lan, eng­kau telah melakukan penyelewengan, membela dan melindungi perempuan jahat Bi-kwi, bahkan engkau memusuhi kami orang-orang Pulau Es!”

“Sombong! Orang macam engkau ini mengaku orang Pulau Es? Dan engkau menuduh yang bukan-bukan tanpa menyelidiki kenyataannya. Huh, suci Ciong Siu Kwi jauh lebih baik dari pada engkau. Orang macam engkau ini perlu dihajar!” Berkata demikian, Bi Lan sudah menerjang dan menyerang Hong Beng. Pemuda yang juga sudah marah ini ce­pat mengelak dan balas menyerang. Sim Houw me­mandang bingung. Tadi dia sudah membujuk Bi Lan untuk bersabar, akan tetapi gadis yang sedang marah itu tidak memperdulikannya. Dan melihat sikap Hong Beng, diam-diam Sim Houw juga merasa penasaran. Kenapa pemuda itu juga bersikap demikian kasar? Dia mengerti bahwa di antara mereka itu hanya ter­dapat kesalahpahaman belaka, dan tetutama karena sama-sama tidak mau mengalah!

Selagi Sim Houw merasa bingung apa yang harus dilakukan menghadapi dua orang yang kini sudah berkelahi dengan seru itu, tiba-tiba terdengar suara orang membentak, ”Kalian ini sungguh tidak tahu diri!” Dan lenyapnya suara itu dibarengi munculnya seorang laki-laki setengah tua yang gagah dan begitu tiba, laki-laki itu telah menerjang dan menyerang Sim Houw!

Tentu saja Sim Houw terkejut dan cepat melom­pat ke samping, apa lagi ketika dia mengenal orang ini sebagai Suma Ciang Bun, seorang tokoh keluarga Pulau Es yang pernah pula menyerangnya bersama Hong Beng! Kiranya guru dan murid ini sekarang kembali menyerang dia dan Bi Lan, seolah-olah me­lanjutkan perkelahian antara mereka yang pernah ter­jadi tempo hari!

Bagaimana Suma Ciang Bun dapat muncul secara tiba-tiba di tempat itu? Seperti kita ketahui, Suma Ciang Bun meninggalkan rumah encinya, Suma Hui atau nyonya Kao Cin Liong, untuk menyusul murid­ya yang pergi ke utara, mengunjungi gurun pasir un­uk menghadap orang tua Kao Cih Liong, melaporkan tentang hilangnya Kao Hong Li. Ketika dia tiba di Tembok Besar itu, kebetulan saja dia melihat murid­nya berkelahi melawan Bi Lan dan tentu saja kema­rahannya timbul seketika ketika dia mengenal Bi Lan dan Sim Houw. Biarpun dulu dia pernah meragu­kan apakah kedua orang itu bersalah, kini melihat be­tapa muridnya kembali sudah berkelahi melawan ga­dis itu, tentu saja hatinya condong untuk membela muridnya dan karena khawatir kalau-kalau muridnya celaka di tangan Pendekar Suling Naga yang lihai itu, dia mendahului dan menyerang Sim Houw.

Locianpwe, perlahan dulu....!” Sim Houw kembali mengelak ketika pukulan yang amat dingin menyambar. Dia bergidik. Pukulan ini tentu yang mengandung Soat-im Sin-kang, pikirnya, yang dapat membuat darah lawan menjadi beku kalau terkena pukulan dingin ini. “Mari kita bicara!” ajaknya, dan kembali dia mengelak karena sebuah tendangan kilat menyambar ke arah lututnya.

“Suhu, mereka ini hendak menghajar teecu karena teecu melaporkan tentang mereka ke Istana Gurun Pasir!” teriak Hong Beng yang sudah marah dan yang kini menjadi besar hatinya melihat kemunculan gurunya.

“Hemmm, dua orang muda yang besar kepala!” Suma Ciang Bun mendengus dan kembali dia sudah menyerang. Seperti juga dalam perkelahian yang pertama melawan guru Hong Beng ini, Sim Houw hanya mengelak dan menangkis, belum pernah membalas karena memang dia tidak ingin bermusuhan dengan pendekar ini, tanpa sebab yang jelas.

Hong Beng sudah terdesak oleh Bi Lan, sedangkan Suma Ciang Bun sebagai seorang pendekar maklum pula bahwa kalau Pendekar Suling Naga itu membalas, belum tentu dia akan mampu mengalahkan orang muda yang perkasa ini. Maka, setelah lewat limapuluh jurus, guru dan murid ini mulai merasa sibuk. Hong Beng sibuk oleh desakan-desakan Bi Lan yang marah, sedangkan gurunya sibuk karena sebegitu jauh, belum sebuahpun dari serangannya dapat menyentuh tubuh Sim Houw!

Tiba-tiba terdengar suara ramai dan bermunculan tosu-tosu di tempat itu. Mereka adalah para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw. Tanpa banyak cakap lagi, paratosu itu kini menyerbu dan menyerang Hong Beng dan Suma Ciang Bun yang mereka kenal sebagai seorang pendekar keluarga Pulau Es! Tentu saja Hong Beng dan Suma Ciang Bun terkejut, dan Hong Beng berseru kepada suhunya,

“Suhu, mereka ini pernah menawan teecu!”

Sementara itu, melihat betapa para tosu yang lihai itu, lima orang pimpinan disertai belasan anak buah, telah mengepung dan menyerang Suma Ciang Bun dan Hong Beng, Sim Houw lalu memberi isarat kekasihnya, dan mereka berduapun segera terjun ke dalam pertempuran, menyerang para tosu! Sikap mereka ini tentu saja membuat Suma Ciang Bun terkejut akan tetapi juga girang. Dia tadi sudah beradu lengan dengan tosu jenggot panjang dan dengan kaget mendapat kenyataan betapa kuatnya lawan. Tosu-tosu itu lihai bukan main dan agaknya dia dan muridnya belum tentu akan mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi kini Pendekar Suling Naga dan gadis yang galak itu telah membantu mereka menghadapi para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw!

Bi Lan mengamuk dengan hebatnya berkelahi melawan Hong Beng, ia masih memba­tasi serangannya karena ia hanya ingin menghajar pemuda itu, bukan berniat membunuhnya atau melu­kainya secara berat. Iapun tahu bahwa sikap pemuda itu berbalik tidak suka kepadanya karena cintanya ditolak dan karena cemburu, demikian pendapatnya. Akan tetapi kini, melihat betapa mereka dikepung oleh tosu-tosu yang lihai, Bi Lan lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Biarpun ia tidak memegang Ban-tok-kiam lagi, namun ketika ia mainkan Ban-tok-ciang-hoat yang dipelajarinya dari subonya, diseling dengan Sin-liong-ciang-hoat yang didapat­nya dari suhunya Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, maka hebatnya bukan kepalang. Seorang tosu Pat-kwa-pai yang menjadi lawannya adalah Ok Cin Cu. Tosu ini memegang sebatang tongkat hitam berbentuk ular. Tosu yang mata keranjang dan cabul ini tadi sudah menyerang Bi Lan karena dia tidak dapat me­lewatkan gadis secantik ini dari pandang matanya. Maksudnya tentu saja agar dia puas dapat memperma­inkan gadis ini. Akan tetapi, kalau pada mulanya dia maju dengan tangan kanan saja sambil tertawa-tawa dan tersenyum-senyum, kini dia terkejut dan memain­kan tongkatnya untuk melindungi tubuhnya. Tak di­sangkanya bahwa gadis muda itu lihai bukan main, memiliki serangan pukulan-pukulan yang amat aneh! Tosu ini harus berloncatan ke sana-sini, rambutnya yang putih riap-riapan itu berkibar-kibar, tongkat hitamnya menyambar-nyambar, namun tetap saja dia kewalahan dan terdesak oleh gerakan Bi Lan yang tidak dikenalnya.

Suma Ciang Bun diserang oleh tosu berjenggot panjang yang merupakan pemimpin para tosu dan yang bersenjata tongkat naga hitam. Pendekar ini mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu siang-kiam (sepasang pedang) dan mainkan Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) dan dengan ilmu pedang yang hebat ini barulah dia dapat mengimbangi serangan lawan. Namun harus diakui bahwa untuk mendesak diapun tidak mampu karena kakek berjeng­got panjang itu memang lihai bukan main. Di sam­ping itu, Suma Ciang Bun juga harus melindungi mu­ridnya. Hong Beng juga memainkan pedangnya, melawan Thian Kek Seng-jin tokoh Pek-lian-kauw yang juga bersenjata tongkat naga hitam. Kakek ini bersama Ok Cin Cu pernah menipunya dan mengadu­nya dengan Bi Lan ketika kedua kakek itu terluka dan menyembunyikan keadaan mereka yang sebenarnya. Dalam, perkelahian ini, Hong Beng terdesak oleh tongkat naga hitam. Akan tetapi, karena kadang-kadang suhunya datang membantu, dia dapat pula bertahan dan perkelahian ini menjadi perkelahian ke­royokan antara guru dan murid itu melawan dua orang tosu.

Sim Houw sendiri melayani dua orang tosu Pek-lian-kauw yang tingkat kepandaiannya sama dengan yang lain. Sim Houw sudah mencabut sulingnya. Melihat senjata ini, para tosu itu terkejut.

“Pendekar Suling Naga....!” teriak seorang di antara dua tosu yang mengeroyoknya, sambil me­mutar pedangnya dengan cepat. Temannya yang juga berpedang, menghujankan serangannya kepada Sim Houw. Namun dengan tenang Sim Houw memutar sulingnya. Terdengar suara suling melengking-leng­king dibarengi sinar berkelebatan dan dua orang itu segera terdesak hebat! Bukan main kuatnya gerakan pedang suling itu dan dua orang tosu itu sampai ter­huyung ke belakang dan mereka mengeluarkan seruan kaget. Belum pernah mereka bertemu lawan sehebat ini dan kalau mereka tadinya hanya mendengar saja nama besar Pendekar Suling Naga yang dianggap ber­lebihan, maka baru sekarang mereka menyaksikan bahkan mengalami sendiri kehebatan senjata aneh itu!

Bi Lan juga mengamuk hebat dan lawannya sudah dua kali terkena pukulannya. Karena pukulan itu mempergunakan jurus dari Ilmu Silat Sin-liong Ciang­hoat, maka tenaganya membuat lawan itu terpelan­ting, sedangkan pukulan ke dua yang memakai Ilmu Silat Ban-tok Ciang-hoat membuat lawannya mera­sa pundaknya yang terpukul seperti terbakar, terasa gatal-gatal dan nyeri bukan main. Itulah pukulan beracun yang amat ampuh. Ok Cin Cu menjadi gen­tar dan diapun cepat melompat jauh ke belakang, hampir berbareng dengan dua orang tosu yang me­ngeroyok Sim Houw yang juga sudah berlompatan ke belakang. Keduanya terluka sedikit pada bahu mereka terkena sambaran angin pedang suling itu!

Melihat ini, gentarlah hati lima orang tosu itu dan mereka berteriak mengerahkan anak buah mere­ka, sedangkan dari jauh datang pula rombongan orang Mongol yang akan membantu.

“Moi-moi, mari kita pergi saja!” Sim Houw ber­seru dengan nyaring dan kepada Suma Ciang Bun dia menjura sambil berkata, “Locianpwe, maafkan kami. Semua ini hanya merupakan salah paham belaka!” Dan diapun bersama Bi Lan cepat meloncat jauh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu, melewati Tembok Besar menuju ke selatan.

Melihat ini, Suma Ciang Bun juga mengajak muridnya untuk pergi saja, melewati Tembok Besar pula dan menuju ke selatan, tidak ingin menghadapi pe­ngeroyokan banyak orang itu. Biarpun mereka ber­empat telah bekerja sama menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, namun di dalam hatinya, Hong Beng masih belum merasa puas. Dia belum yakin akan kebersihan Bi Lan dan Sim Houw, sedangkan Suma Ciang Bun diam-diam kagum bu­kan main akan kelihaian Pendekar Suling Naga.

***

“Aih, tenangkanlah hatimu, enci Hui. Kami su­dah pernah merasakan betapa bingung dan susahnya kehilangan seorang anak. Akan tetapi berduka saja tidak ada gunanya, bahkan kedukaan itu akan menge­ruhkan pikiran, melemahkan semangat sehingga kita tidak dapat bertindaak bijaksana dan tepat. Tenang­kan hatimu, dan kita bicarakan urusan ini dengan teliti,” demikian Suma Ceng Liong, pendekar sakti keturunan keluarga Pulau Es itu menghibur Suma Hui yang datang bersama suaminya, Kao Cin Liong, dan sambil menangis menceritakan akan malapetaka yang menimpa keluarganya dengan lenyapnya Kao Hong Li diculik orang.

“Benar sekali apa yang dikatakan suamiku, enci Hui. Kami dahulu juga merasa amat berduka dan gelisah, apa lagi karena hilangnya anak kami Suma Lian dibarengi dengan tewasnya ibu mertuaku dibu­nuh orang. Akan tetapi, orang yang benar selalu di­lindungi Thian, enci. Aku yakin bahwa keponakan­ku Hong Li pasti akan dapat ditemukan kemhali da­lam keadaan selamat dan sehat,” kata pula Kam Bi Eng, isteri Suma Ceng Liong sambil merangkul ka­kak iparnya.

Suma Hui menghapus air matanya dan ia memak­sa diri tersenyum. “Maafkan aku atas kelemahanku. Akan tetapi, kami berdua sudah mencari sampai jauh ke Tibet, akan tetapi tidak berhasil, bahkan tidak dapat menemukan jejak anak kami. Bagaimana hati­ku tidak akan gelisah?

“Ceng Liong,” kata Cin Liong yang memang akrab dengan ipar-iparnya. “Kami sengaja datang ke sini mengunjungimu, bukan hanya sekedar meng­hibur diri, akan tetapi juga kami membutuhkan pen­dapatmu dan bantuanmu agar anak     kami itu dapat segera kami temukan kembali.”

Ceng Liong mengangguk-angguk. Dia dan iste­rinya adalah suami isteri yang memiliki ilmu kepan­daian tinggi. Dia sendiri adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es sedangkan isterinya adalah murid pewaris Ilmu Suling Emas. Kini Suma Lian, puteri mereka, dibawa oleh Bu Beng Lokai, yang masih terhitung pamannya sendiri karena Bu Beng Lokai yang dulu bernama Gak Bun Beng adalah mantu dari ka­keknya, Suma Han. Suma Lian dibawa Bu Beng Lo­kai untuk digembleng. Kini mereka berdua hidup di rumah mereka yang nampak sunyi, makakunjungan Suma Hui dan suaminya itu menggembirakan, dan Ceng Liong menganggap sudah menjadi tugasnya un­tuk bantu memikirkan kehilangan keponakannya, Kao Hong Li itu.

Mereka bercakap-cakap dan suami isteri yang kehilangan puterinya itu lalu menceritakan dengan sejelasnya asal mula terjadinya penculikan terhadap puteri mereka. “Gambaran tentang penculik itu telah kami dapatkan dengan jelas, bahkan teman-teman Hong Li menceritakan dengan jelas si penculik mengak­u bernama Ang I Lama, bertubuh tinggi kurus, pan­dai silat dan pandai sihir. Akan tetapi ketika kami berhadapan dengan Ang I Lama, ternyata bukan dia penculiknya. Jelas bahwa penculik itu mempergunak­an nama Ang I Lama. Akan tetapi siapa dia? Dan ke mana kami harus mencarinya?” Kao Cin Liong menutup penuturannya sambil menarik napas panjang.

Ceng Liong juga menghela napas. “Hemmm, penculik itu selain lihai pandai ilmu silat dan sihir, juga cerdik sekali. Dia menyamar sebagai Ang I Lama untuk mengelabuhimu, dan untuk melenyapkan jejak­nya. Untuk itu, kita harus menggunakan akal, Kao-cihu (kakak ipar Kao).”

“Akal bagaimana, adikku?” tanya Suma Hui dengan penuh harapan dan gairah. Timbul kembali semangatnya mendengar percakapan itu.

“Cihu harus dapat mengumpulkan orang-orang kang-ouw terkemuka dengan alasan tertentu yang masuk akal. Cihu mengirim undangan agar mereka itu dapat datang dan lebih baik lagi kalau mengirim undangan secara terbuka. Siapa saja yang merasa diri­nya orang kang-ouw, orang-orang di dunia persi­latan, dipersilahkan datang. Nah, kalau sudah banyak orang kang-ouw berkumpul, cihu dapat mengumumkan tentang lenyapnya Hong Li diculik orang. Dengan demikian, tentu peristiwa itu akan tersebar luas dan kalau di antara mereka ada yang mengetahui tentang siapa penculik Hong Li dan di mana anak kita itu sekarang, tentu dia akan memberi tahu ke­pada cihu. Kalaupun tidak, tentu mereka akan mem­buka mata lebih lebar dan dengan demikian, harapan untuk menemukan kembali Hong Li lebih besar.”

“Ah, bagus sekali usul itu!” Cin Liong berseru dan wajahnya berseri, matanya berkilat membayangkan kegirangan. “Tidak sampai dua bulan lagi adalah hari kelahiranku yang ke limapuluh! Hal ini tentu merupakan alasan yang baik sekali dan tidak dicari-cari untuk mengumpulkan orang-orang kang-ouw.”

“Tepat sekali, cihu! Kita membuat undangan dan juga undangan terbuka ditujukan kepada seluruh orang kang-ouw. Aku akan membantu penyebaran surat undangan itu ke seluruh dunia kang-ouw, cihu!”

Gembiralah hati Cin Liong dan isterinya. Mereka segera kembali ke Pao-teng dan membuat persiapan. Pesta ulang tahun itu tentu makan banyak biaya, apa lagi kalau yang datang benkunjung nanti banyak sekali orang. Akan tetapi mereka berdua siap untuk meng­habiskan semua harta simpanan mereka untuk keper­luan itu, karena apa artinya semua harta itu kalau anak mereka tidak dapat ditemukan kembali? Setelah kehilangan Hong Li, barulah suami isteri ini merasa betapa pentingnya anak itu bagi mereka, dan betapa hal-hal lainnya tidak ada artinya lagi!

Hidup merupakan gabungan dari segala macam hal yang multi kompleks. Kebutuhan hidup berma­cam-macam yang bergabung menjadi satu. Ada ke­butuhan harta, kebutuhan sandang, pangan, kesehat­an, kerukunan keluarga, dan seterusnya. Tidak mungkin mementingkan yang satu saja dan meremehkan yang lain. Karena kekurangan satu saja di antara­nya, hidup akan menjadi pincang. Apa artinya mempunyai segala itu kalau anaknya hilang seperti halnya suami isteri itu? Sama saja susahnya kalau yang ditiadakan itu satu di antara kebutuhan-kebutuhan itu. Apa artinya semua ada, keluarga lengkap, kalau badan selalu menderita penyakit? Apa pula artinya kalau sehat, berharta, cukup segala kebutuhan, akan tetapi tidak rukun dengan keluarganya? Masih ba­nyak contoh-contoh lain lagi, namun kesemuanya itu merupakan akibat kepincangan yang serupa.

Karena suami isteri di Pao-teng itu kehilangan anak mereka, tentu saja yang terasa hanyalah hal itu saja. Mereka mau mengorbankan yang lain asal anak mereka dapat ditemukan kembali.

Dengan cepat, undanganpun disebar dan dalam hal ini, Suma Ceng Liong membantu dengan sekuat tenaga. Tentu saja tidak mungkin mengundang semua orang, akan tetapi yang penting, demikian keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir itu berpendapat, dari de­lapan penjuru harus ada tokoh-tokoh yang mewakili daerah masing-masing. Juga disebar undangan terbu­ka, tidak untuk nama tertentu, melainkan ditujukan kepada semua orang kang-ouw yang suka datang, di­persilahkan untuk datang pula meramaikan pesta hari ulang tahun bekas panglima yang amat terkenal itu, bukan saja terkenal sebagai bekas panglima besar, juga terkenal sebagai seorang pendekar sakti bersama isterinya yang juga pendekar keturunan keluarga Pu­lau Es.

Beberapa hari sebelum pesta ulang tahun itu tiba, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng telah berada di rumah Cin Liong di Pao-teng. Juga ayah dan ibu Kam Bi Eng yang merupakan suami isteri terkenal se­kali dan pernah menggemparkan dunia persilatan de­ngan ilmu-ilmu dari Suling Emas dan merupakan tokoh ke tiga sesudah keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir yang terkenal, hadir pula atas undangan puteri mereka, Kam Bi Eng. Mereka itu bukan lain adalah pendekar sakti Kam Hong yang kini sudah berusia enampuluh tiga tahun, sedangkan isterinya, Bu Ci Sian telah berusia empatpuluh delapan tahun. Mereka berdua ini tinggal tak begitu jauh dari kota Pao-teng, di puncak Bukit Nelayan, yaitu sebuah puncak di antara puncak-puncak Pegunungan Tai-hang-san. Mereka berdua ikut merasa prihatin keti­ka mendengar cerita tentang hilangnya Kao Hong Li yang diculik orang yang masih belum diketahui jelas siapa adanya.

Selain keluarga Suma Ceng Liong dan keluarga Kam Hong ini, juga telah hadir di rumah itu Suma Ciang Bun dan muridnya, Gu Hong Beng. Pemuda ini sudah banyak mendengar tentang suami isteri pendekar dari istana Khong-sim Kai-pang, yaitu Kam Hong, akan tetapi baru sekarang sempat berte­mu. Hatinya merasa kagum dan dengan girang dia memperkenalkan diri. Karena para keluarga berkum­pul, suasana sudah meriah sekali dan banyak hal mereka percakapkan, dan tentu saja terutama sekali tentang hilangnya Kao Hong Li yang diculik orang. Karena Hong Beng merupakan murid dari Suma Ciang Bun, maka diapun diterima oleh keluarga Kao sebagai anggauta keluarga sendiri.

Selagi tokoh-tokoh keturunan keluarga Pulau Es, keluarga Gurun Pasir dan keluarga Suling Emas ini saling berbincang-bincang sebagai sekelompok kelu­arga, tiba-tiba pembantu memberitahukan bahwa di luar datang dua orang tamu laki-laki dan perempuan yang masih muda. Kao Cin Liong dan isterinya tidak menanyakan siapa dua orang tamu itu, akan tetapi karena mereka berada dalam suasana berpesta, sehing­ga mereka mengharapkan munculnya banyak tamu, segera mereka menyuruh pembantu mereka untuk mempersilahkan dua orang tamu itu masuk saja ke ruangan besar di mana mereka tadi bercakap-cakap.

Ketika dua orang itu masuk, semua orang meman­dang, ingin tahu siapakah tamu yang datang agak terlalu pagi itu. Biasanya, yang datang lebih pagi dari hari pesta yang ditentukan, hanyalah anggauta kelu­arga sendiri yang datang dengan maksud membantu tuan rumah mempersiapkan pesta ulang tahun itu.

Ketika melihat munculnya Sim Houw dan Bi Lan, sebagian besar dari mereka yang hadir di situ mengerutkan alisnya. Terutama sekali Hong Beng dan guru­nya, Suma Ciang Bun. Mereka berdua sudah bangkit berdiri dan mengepal tinju, akan tetapi ketika teringat bahwa di situ terdapat orang-orang tingkatan lebih tua seperti Kam Hong dan isterinya, guru dan murid ini menahan diri dan duduk kembali. Juga Kao Cin Liong dan Suma Hui memandang marah. Mereka sudah mendengar dari Hong Beng dan gurunya tetapa Bi Lan yang diambil murid suami isteri dari Istana Gurun Pasir, telah menyeleweng, membela iblis beti­na Bi-kwi dan bahkan menentang Suma Ciang Bun dan muridnya. Perasaan tidak senang membayang di wajah tuan rumah dan nyonya rumah. Baru satu kali Kao Cin Liong dan isterinya bertemu dengan Sim Houw dan Bi Lan, yaitu ketika mereka semua di ba­wah pimpinan Tiong Khi Hwesio menentang dan membasmi Sai-cu Lama dan kawan-kawannya. Demi­kian pula Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng yang juga membantu dalam pertempuran hebat itu.

Sim Houw juga merasa girang sekali dapat berte­mu dengan sekalian orang gagah itu, dan kini dia dapat memandang Kam Bi Eng yang telah menjadi nyonya Suma Ceng Liong dengan wajah cerah dan ternyata setelah ada pertalian cinta antara dia dan Bi Lan, kini tidak terjadi sesuatu di dalam hatinya ketika dia bertemu dengan Kam Bi Eng, wanita yang pernah dikasihinya itu. Akan tetapi, yang membuat Sim Houw menjadi semakin girang dan terharu adalah ketika dia melihat Kam Hong dan Bu Ci Sian di tempat itu. Sebelum memberi hormat kepada yang lain, Sim Houw mengajak Bi Lan untuk menjatuhkan diri berlutut di depan suami isteri ini.

“Suhu dan subo.... telah bertahun-tahun teecu tidak pernah menghadap ji-wi, harap ji-wi sudi memaafkan teecu. Teecu harap selama ini suhu dan subo selalu dalam keadaan sehat dan dilimpahi berkah oleh Thian.”

Melihat muridnya, diam-diam Kam Hong dan Bu Ci Sian merasa kasihan akan tetapi juga girang. Mereka masih merasa kasihan mengingat betapa mu­rid yang baik ini, yang tadinya mereka jodohkan de­ngan puteri mereka, Kam Bi Eng, kemudian ternyata ditolak oleh Bi Eng yang jatuh cinta kepada Suma Ceng Liong. Akan tetapi dengan jiwa besar murid mereka itu dengan suka rela mengundurkan diri dan memberi kebebasan kepada Kam Bi Eng untuk berjo­doh dengan pria yang dipilihnya, sedangkan dia sen­diri lalu merantau dan baru sekarang guru itu berte­mu dengan murid yang pernah menjadi calon mantu itu. Yang membuat suami isteri pendekar ini priha­tin adalah karena mereka mendengar bahwa sampai sekarang murid mereka itu belum juga menikah. Hal ini bagi mereka menjadi tanda bahwa hati murid me­reka itu telah terluka karena kegagalan cinta dan pernikahannya dengan Kam Bi Eng, dan mereka ber­dua ikut merasa berdosa atas penderitaan pemuda itu.

“Sim Houw, selama ini engkau ke mana sajakah maka tidak pernah datang menjenguk kami? Dan kami mendengar bahwa engkau mendapatkan julukan Pendekar Suling Naga! Sungguh kami ikut merasa bangga dan.... eh, siapakah nona ini?” Kam Hong memandang kepada Bi Lan yang berlutut di dekat Sim Houw.

“Locianpwe, nama saya Can Bi Lan....“ jawab Bi Lan dengan sikap hormat. Ia sudah sering kali mendengar penuturan Sim Houw tentang suami isteri yang sakti ini, yang agaknya hanya boleh dise­jajarkan dengan suhu dan subonya di Istana Gurun Pasir, atau dengan para pendekar Pulau Es!

“Suhu dan subo, adik Can Bi Lan adalah.... tunangan teecu dan ia adalah murid dari Kao-locianpwe di Istana Gurun Pasir dan isterinya....”

“Juga murid mendiang Sam Kwi!” Tiba-tiba terdengar suara Hong Beng memotong kata-kata yang diucapkan oleh Sim Houw itu.

Semua orang terkejut dan diam-diam Suma Ciang Bun menyesalkan ucapan muridnya yang lancang itu, namun dia maklum bahwa perasaan dongkol di da­lam hati muridnya yang membuat muridnya bersikap lancang seperti itu. Keadaan menjadi kaku dan te­gang, akan tetapi Kam Hong yang menoleh kepada Hong Beng, kini tersenyum.

“Aihh, seorang yang sakti dan bijaksana seperti Kao-locianpwe, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, tidak mungkin salah memilih murid. Dan ia menjadi tunanganmu, Sim Houw. Selamat! Sungguh kami ikut merasa gembira sekali.”

“Tunanganmu ini cantik dan gagah, Sim Houw. Selamat!” kata pula Bu Ci Sian, lega hatinya karena dengan adanya pertunangan ini, berarti iapun terle­pas dari beban batin yang merasa bersalah terhadap Sim Houw yang patah hati.

“Terima kasih, suhu dan subo,” kata Sim Houw, Barulah dia dan Bi Lan menghadap takoh-tokoh lain dan memberi hormat.

Ketika memberi hormat kepada Kao Cin Liong, tanpa ragu-ragu lagi Bi Lan menyebutnya “suheng” (kakak seperguruan). Mendengar sebutan ini, wajah Cin Liong menjadi merah dan hatinya tidak senang sekali. “Can Bi Lan,” katanya halus namun mengan­dung kemarahan, “engkau telah menyebut suheng kepadaku, maka aku berhak untuk menegurmu. Aku banyak mendengar hal-hal yang tidak baik tentang di­rimu, dan kalau memang benar, maka berarti aku sebagai suhengmu akan terkena lumpur dan noda pula. Benarkah engkau bersekongkol dengan wanita jahat Bi-kwi dan para pemberontak Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, bahkan engkau dibantu oleh Pendekar Suling Naga telah memusuhi keluarga Pu­lau Es?”

Bi Lan mengerling ke arah Hong Beng dan ingin rasanya ia pada saat itu juga menyerang pemudaitu. Ia dapat menduga bahwa tentu pemuda itulah yang menyebar fitnah, yang memburukkan namanya di de­pan semua orang. Akan tetapi, sentuhan tangan Sim Houw pada lengannya membuat ia menyadari bahwa di hadapan para locianpwe, tidak sepantasnya kalau ia memperlihatkan sikap kasar. Maka iapun memberi hormat kepada Kao Cin Liong.

“Kao-suheng, tidak kusangkal bahwa aku dan Sim-koko pernah membantu dan membela suci Ciong Siu Kwi, akan tetapi untuk urusan itu terdapat alas­an-alasannya yang kuat. Sama sekali kami tidak membantu kejahatannya. Ia telah mengubah hidup­nya, bertaubat dan ia hanya diperalat oleh para tosu jahat yang telah menyandera calon suaminya. Akan tetapi semua hal itu akan kuceritakan lain kali saja, sekarang yang penting, aku hendak menyampaikan kepada suheng sekeluarga bahwa aku dan Sim-koko datang ke sini sebagai utusan suhu dan subo di Ista­na Gurun Pasir.”

Mendengar ini, Kao Cin Liong tertegun. Kalau gadis ini sudah diterima orang tuanya, bahkan dijadi­kan utusan, itu tentu hanya berarti bahwa gadis ini tidak jahat. Sambil mengerutkan alisnya, dia berta­nya, “Apakah kalian berdua mengunjungi orang tuaku?”

“Benar, suheng. Kami baru saja datang dari sana dan kami mendapat tugas dari suhu dan subo untuk memberitahu kepada suheng berdua bahwa kalian te­lah kejatuhan fitnah yang amat keji, dituduh menjadi pembunuh-pembunuh dari Ang I Lama.”

Bukan main kagetnya hati Kao Cin Liong mendengar ini. “Apa! Apa maksudmu? Ceritakan yang jelas!”

“Suheng, ketika kami berada di istana, muncul seorang hwesio yang telah kita kenal baik karena dia adalah Tiong Khi Hwesio. Locianpwe inilah yang mengabarkan kepada suhu dan subo bahwa Ang I Lama tewas dibunuh orang, dan para pembunuhnya adalah suheng berdua....“

“Gila! Kami tidak melakukan hal itu!” Kao Cin Liong berseru keras.

“Itu fitnah keji!” Suma Hui juga berseru marah.

“Locianpwe Tiong Khi Hwesio menjadi utusan para pendeta Lama di Tibet untuk menyampaikan protes kepada suhu dan subo karena mereka semua merasa yakin bahwa suheng berdua pembunuhnya. Menurut cerita locianpwe itu, sebelum tewas, dalam keadaan terluka parah, di depan para pendeta Lama, Ang I Lama sempat menyebut nama suheng berdua.”

“Ahhh....!” Wajah Kao Cin Liong berubah. Urusan ini bukan urusan kecil dan dia mengerutkan alisnya. “Anak kami hilang belum juga ditemukan jejaknya, dan sekarang muncul lagi fitnah keji yang menuduh kami membunuh Ang I Lama!”

“Ahh. aku mengerti sekarang!” Tiba-tiba Suma Ceng Liong yang terkenal cerdik itu berseru. “Pasti ada hubungan antara kedua peristiwa itu, cihu (kakak ipar)! Si penculik Hong Li mengaku bernama Ang I Lama dan kemudian setelah kalian datang ke barat, ternyata bukan Ang I Lama yang menculiknya. Ke­mudian, Ang I Lama dibunuh orang dan pendeta itu meninggalkan pesan yang menuduh kalian menjadi pembunuhnya. Bukankah jelas bahwa ada pihak keti­ga yang sengaja hendak mengadu domba antara kali­an dengan para pendeta Lama? Mula-mula Ang I Lama difitnah menculik Hong Li, kemudian karena tidak melihat kalian bermusuhan dengan Ang I Lama, maka fitnahnya dibalik. Pendeta itu dibunuh dan nama kalian yang kini difitnahh.”

“Benar! Tentu ada orang yang mengatur semua ini. Akan tetapi siapa?” Kao Cin Liong berseru, penuh rasa penasaran.

“Hemm, setelah mendengar semua laporan ten­tang hilangnya Kao Hong Li, ada kemungkinan lain,” tiba-tiba kakek Kam Hong berkata dengan suaranya yang halus namun penuh wibawa sehingga semua orang menengok dan memandang kepada orang tua ini. “Mungkin Ang I Lama yang merasa tidak berdo­sa, setelah dituduh menculik Kao Hong Li, lalu turun tangan sendiri mencari penculiknya, bertemu akan te­tapi dia kalah dan tewas.”

“Akan tetapi mengapa dia meninggalkan pesan, yaitu menyebut nama cihu Kao Cin Liong berdua, ayah.” Kam Bi Eng membantah pendapat ayahnya.

“Hal itu memang aneh, akan tetapi bisa juga dia bermaksud meninggalkan pesan untuk Kao Cin Liong berdua, tentang anak mereka itu, akan tetapi tidak sempat karena keburu tewas,” sambung Kam Hong.

Kao Cin Liong mengangguk-angguk. “Kemung­kinan itu besar sekali, Kam-locianpwe. Akan tetapi tetap saja tidak dapat menemukan jejak pembunuh Ang I Lama dan penculik anak kami.”

“Suheng, aku dan Sim-koko telah ditunjuk oleh suhu dan subo untuk menemukan kembali Hong Li, dan juga membikin terang perkara fitnah atas diri suheng mengenai kematian Ang I Lama.”

Mendengar ini, Kao Cin Liong dan Suma Hui menatap wajah gadis itu dan wajah Sim Houw ber­gantian. “Kalian....?” Cin Liong berkata, se­perti pada diri sendiri, penuh kesangsian apakah dua orang muda ini akan berhasil, sedangkan dia bersama isterinya telah gagal, bahkan Suma Ciang Bun dan muridnya juga gagal, dan tokoh-tokoh lainnya tidak tahu ke mana harus mencari Hong Li. Pesta ulang tahun itupun menjadi cara untuk mencari keterangan, sesuai dengan yang diusulkan Suma Ceng Liong.

“Suheng, kami berdua telah berjanji akan mencari Hong Li sampai dapat, kami tidak akan kembali sebelum berhasil, bahkan juga kami tidak akan meni­kah sebelum berhasil,” kata pula Bi Lan dan suara­nya terdengar begitu tegas dan penuh keyakinan bahwa mereka berdua akan berhasil. Mendengar te­kad ini, diam-diam Kam Hong dan isterinya, Bu Ci Sian, menjadi terharu. Juga Kao Cin Liong dan Suma Hui merasa bersukur dan berterima kasih mendengar dua orang itu rela mengorbankan diri sampai sedemi­kian besarnya untuk mencari puteri mereka yang hi­lang. Kini pandang mereka terhadap Sim Houw dan Bi Lan berubah, menjadi ramah dan lenyaplah pra­sangka buruk dari hati mereka. Mereka yakin bahwa kalau orang tua mereka di Istana Gurun Pasir mem­percayai dua orang muda ini, tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk meragukan Sim Houw dan Bi Lan. Sebagai tuan rumah, Kao Cin Liong dan isteri­nya lalu membujuk agar Sim Houw dan Bi Lan suka tinggal di rumah itu sebelum pesta dimulai tiga hari lagi. Walaupun merasa agak sungkan dan tidak enak karena mereka berdua bukan keluarga, walaupun Sim Houw melihat suhu dan subonya juga tinggal di situ, namun untuk menolak mereka merasa tidak berani. Maka merekapun menerima dan mendaparkan dua buah kamar di sebelah belakang.

Hong Beng merasa tidak puas sama sekali dengan kemunculan Sim Houw dan Bi Lan di ruangan tadi. Dia menjadi gelisah di dalam kamarnya, tidak dapat mengaso pada malam hari itu. Hatinya masih panas dan penuh kemarahan kepada Sim Houw dan Bi Lan. Jelaslah bahwa Bi Lan telah melakukan penyeleweng­an, berpihak kepada wanita jalang dan jahat seperti Bi-kwi, dengan alasan apapun juga, dan sudah dua kali malah Bi Lan dan Sim Houw berkelahi melawan dia dan gurunya. Mereka berdua itu jelas bukan golongan sahabat, melainkan musuh. Akan tetapi mereka kini disambut sebagai tamu-tamu terhormat, bahkan diberi kamar. Yang lebih menyakitkan hati­nya adalah pengakuan Bi Lan bahwa gadis itu telah bertunangan dengan Sim Houw! Nah, jelaslah bah­wa apa yang dilihatnya tempo hari bukan hanya kha­yal belaka, pikirnya. Di antara mereka tentu terjalin tali perjinaan yang memalukan sekali! Dan mereka itu mengaku bertunangan begitu saja. Kapan resminya dan siapa pula yang menjodohkan antara mereka? Hong Beng sudah tidak lagi mengharapkan balasan cinta dari Bi Lan, akan tetapi, melihat kenyataan be­tapa gadis yang menolak cintanya itu telah mendapat­kan seorang kekasih, sedangkan dia masih menderita kesepian dan belum ada pengganti Bi Lan, membuat dia tanpa disadarinya merasa iri hati! Terlalu enak rasanya bagi gadis yang telah mengecewakan hatinya itu, yang selain menolak cintanya juga telah melaku­kan penyelewengan, jelas memihak Bi-kwi dan mewa­risi watak jahat dari Sam Kwi, kini diterima secara terhormat seperti itu!

Selagi dia gelisah, masuklah Suma Ciang Bun ke dalam kamarnya. Hong Beng cepat bangkit duduk dan memberi hormat kepada suhunya.

“Engkau belum tidur?” tanya Suma Ciang Bun sambil duduk di atas kursi, sedangkan muridnya su­dah turun dari atas pembaringan dan duduk pula di depan gurunya.

“Belum, suhu. Hati teecu gelisah.”

“Engkau gelisah memikirkan diri Can Bi Lan itu, bukan?”

Hong Beng terkejut, akan tetapi suhunya yang sudah seperti ayahnya sendiri ini boleh saja mengeta­hui semua isi hatinya. “Benar, suhu. Teecu merasa penasaran sekali. Gadis yang melakukan penyele­wengan itu, bersama Sim Houw yang sombong dan memusuhi kita, kenapa sekarang diterima dengan se­gala kehormatan di tempat terhormat ini? Apakah hal ini tidak akan membuat para tokoh sesat menter­tawakan kita?”

Suma Ciang Bun tersenyum. “Memang, keadaan mereka cukup aneh dan meragukan, apa lagi meng­ingat bahwa gadis itu murid Sam Kwi dan memihak Bi-kwi. Akan tetapi engkau sudah mendengarkan semua cerita mereka. Mereka mendapatkan keperca­yaan dan tugas dari locianpwe Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, bahkan menjadi utusan locianpwe itu. Tentu saja Kao-cihu menerima mereka dengan baik. Hong Beng, engkau agaknya terlalu dibakar hati yang panas. Maklumlah, karena engkau pernah mencinta gadis itu dan ditolak, kemudian kini gadis itu muncul dan mengumumkan pertunangannya dengan Sim Houw! Aku tidak terlalu menyalahkan kalau engkau berpanas hati. Akan tetapi engkau harus bersikap gagah dan bijaksana. Lihat contohnya sikap Pende­kar Suling Naga itu dan sikap nyonya Suma-Ceng Liong.”

Hong Beng memandang wajah gurunya dengan heran. “Apa maksud suhu? Ada apa dengan Sim Houw dan isteri susiok (paman guru) Suma Ceng Liong?”

“Persis seperti keadaanmu dengan nona Can Bi Lan itulah! Dahulu, isteri adikku Suma Ceng Liong bernama Kam Bi Eng dan ia oleh orang tuanya telah dijodohkan dengan Sim Houw! Mereka telah ditu­nangkan secara resmi atas pilihan dan kehendak orang tua. Akan tetapi, Kam Bi Eng kemudian menolak Sim Houw dan memilih Suma Ceng Liong! Dan li­hat sikap mereka sekarang. Tidak ada apa-apa, bukan? Seharusnya demikian pula sikapmu terhadap Sim Houw dan Can Bi Lan. Jodoh hanya dapat ber­langsung melalui jembatan cintasih, dan cinta kasih haruslah datang dari kedua pihak. Tak mungkin bertepuk tangan sebelah, muridku, dan engkau sepa­tutnya bergembira bahwa orang yang kaucinta itu kini berjodoh dengan seorang yang berkepandaian tinggi.”

Hong Beng termangu mendengarkan keterangan suhunya ini. Tak disangkanya bahwa Sim Houw pernah menderita kasih tak sampai seperti dia! Bah­kan lebih hebat lagi karena Sim Houw telah ditu­nangkan dengan bibi gurunya itu, pertunangan yang diikat oleh guru Sim Houw sendiri. Namun kemudian dibatalkan karena bibi gurunya itu mencinta paman gurunya, Suma Ceng Liong!

“Akan tetapi, biarpun pandai, apa gunanya ber­ilmu tinggi kalau melakukan penyelewengan, suhu?”

“Jangan tergesa menduga demikian, Hong Beng. Lihat saja, kalau memang Sim Houw menyeleweng ke jalan sesat, apakah gurunya, pendekar sakti Kam Hang locianpwe akan tinggal diam saja? Pula, kalau benar Bi Lan dan Sim Houw berkelakuan buruk, kukira seorang sakti seperti Kao-locianpwe di Istana Gurun Pasir takkan menaruh kepercayaan kepada mereka.”

“Akan tetapi jelas bahwa mereka memihak dan membela siluman betina Bi-kwi sehingga menentang kita, suhu!” bantah Hong Beng penasaran.

“Menurut mereka, siluman betina itu kini telah bertaubat dan mereka membelanya karena ia sekarang telah kembali ke jalan benar.”

“Ah, siapa dapat percaya keterangan itu suhu? Harap suhu bayangkan, seorang wanita yang sudah demikian bejat ahlaknya, sudah demikian jahatnya seperti Bi-kwi, yang sepak terjangnya mengerikan dan jauh lebih jahat dari pada Sam Kwi sendiri, mana mungkin iblis betina macam ia itu dapat kembali ke jalan benar? Alasan yang dicari-cari saja! Keterang­an itu harus dibuktikan dulu sebelum kita menerima­nya dan menelannya mentah-mentah begitu saja. Tee­cu tetap masih belum mau percaya!”

“Engkau percaya atau tidak itu hakmu, akan teta­pi aku memperingatkan agar engkau tidak membuat gara-gara dengan panasnya hatimu itu di sini, Hong Beng! Tadi, ketika engkau memotong keterangan Bi Lan dan mengumumkan bahwa Bi Lan murid Sam Kwi, aku sudah merasa sangat malu. Engkau tidak boleh mencari keributan dengan mereka lagi, baik di sini ataupun di lain tempat!”

“Suhu....!” Hong Beng terkejut dan men­jatuhkan diri berlutut, menundukkan mukanya. Tak disangkanya bahwa kini gurunya marah kepadanya dan agaknya gurunya bahkan memihak Bi Lan!

Melihat keadaan muridnya, Suma Ciang Bun me­narik napas panjang. Dia merasa kasihan kepada muridnya ini. Semenjak kecil, muridnya ini telah bernasib malang. Ayah ibunya dibunuh orang dan hidup sebatangkara. Dia amat sayang kepada mu­ridnya, seorang murid yang baik, patuh, rajin dan berbakat, bahkan muridnya telah membuktikan diri­nya sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa. Kini, dia tahu bahwa muridnya ini rusak batinnya karena cintanya yang gagal! Muridnya menjadi pen­dendam, iri hati, dan iba dirinya membengkak.

“Hong Beng, apakah engkau tidak dapat melupa­kan kegagalanmu dalam cinta? Masih banyak wanita di dunia ini yang bahkan lebih baik dari pada Bi Lan, yang kelak dapat menjadi jodohmu....”

“Suhu....!” Dan pendekar itu kaget melihat betapa muridnya menitikkan air mata! Hong Beng, muridnya yang gagah perkasa itu, yang tidak gentar menghadapi ancaman maut, kini menangis!

“Hong Beng, ada apakah? Engkau.... me­nangis?”

Pertanyaan ini memperbanyak keluarnya air mata dari kedua mata Hong Beng. Pemuda ini cepat me­nekan perasaannya, menghapus semua air mata dari mata dan pipinya, menggunakan punggung tangan. Setelah semua air mata terhapus, diapun memberi hormat sambil berlutut.

“Ampunkan kelemahan hati teecu, suhu. Akan tetapi perkataan suhu tadi mengingatkan teecu bahwa teecu selamanya takkan mungkin dapat menikah.... agaknya.... teecu.... akan terpaksa meng­ikuti jejak suhu, tidak akan menikah selamanya.”

Wajah Suma Ciang Bun berubah dan alisnya berkerut, pandang matanya penuh selidik ditujukan ke­pada wajah muridnya. Selama menjadi muridnya, Hong Beng tidak pernah mendapat kesempatan umuk mengerti akan keadaan dirinya yang tidak normal. Dia telah berjaga diri, dan muridnya itu tidak pernah tahu bahwa dia tidak menikah bukan karena tidak ada wanita yang mau menjadi isterinya, melainkan dia sendiri yang tidak mau menikah karena dia tidak suka berdekatan dengan wanita! Ucapan Hong Beng itu tentu saja mengejutkan hatinya. Apakah Hong Beng kini tahu akan ketidakwajaran dirinya?

“Apa maksudmu, Hong Beng? Kenapa engkau terpaksa tidak akan menikah selamanya?” pancing­nya dengan hati tegang.

“Karena cinta pertama teecu (murid) telah gagal, dan untuk menikah dengan wanita lain, tidak mung­kin! Teecu telah terikat janji dengan seseorang bah­wa teecu harus menikah dengan seorang gadis. Pada hal, perjodohan ini tidak akan mungkin terjadi, dan untuk melanggar janji kepada orang yang teecu hor­mati dan yang sudah tidak ada di dunia ini, teecu juga tidak berani.”

Lega rasa hati Suma Ciang Bun, perasaan lega yang timbul karena dengan jawaban itu terbukti bah­wa Hong Beng tidak tahu akan keadaan dirinya yang tidak wajar. Akan tetapi dia juga merasa heran sekali.

“Sungguh aneh! Kepada siapakah engkau ber­janji, dan siapa pula gadis yang harus kau jadikan ca­lon isteri itu dan kenapa pula hal itu tak mungkin terjadi?”

Hong Beng menundukkan mukanya, bingung ka­rena dia tidak berani melanjutkan bicaranya. Guru­nya menjadi semakin heran melihat muridnya yang hanya menundukkan muka dan tidak menjawab itu.

“Hong Beng, jawablah pertanyaanku tadi!” dia mendesak, penasaran.

“Teecu.... teecu tidak berani, suhu.”

“Hong Beng, bukankah aku telah menjadi guru­mu dan pengganti orang tuamu? Siapa lagi yang akan mengurus dan membela dirimu kalau bukan aku? Akulah yang akan melamarkan gadis yang kaupilih, dan akulah yang akan menikahkan engkau. Katakan, kepada siapa engkau berjanji dan siapa pula gadis itu!”

Hong Beng tadi tidak sengaja hendak membong­kar rahasia hatinya itu. Dia tadi bicara karena dilanda duka, dan kini sudah terlanjur. Dia harus membuka rahasia itu kepada suhunya. Pula, kalau diingat benar, siapa lagi kalau bukan suhunya yang akan dapat membereskan persoalan itu?

“Harap suhu maafkan teecu. Sesungguhnya, teecu telah berjanji kepada.... mendiang locianpwe Teng Siang In.”

“Bibi Teng Siang In? Ibu kandung Ceng Liong?” Suma Ciang Bun berseru kaget. “Dan siapa gadis yang akan kaujadikan jodohmu itu?”

“Teecu sudah berjanji kepada mendiang locianpwe itu untuk kelak.... menjadi suami      nona Suma Lian....”

“Ehhh....?” Suma Ciang pun menjadi se­makin heran dan memandang wajah muridnya dengan mata terbelalak. Dia tidak akan ragu akan kebenaran pengakuan muridnya karena selama menjadi murid­nya, dia sudah mengenal benar watak Hong Beng yang tidak akan suka berbohong. Karena kepercayaan dan keyakinan inilah maka dia membela Hong Beng ketika bentrok dengan Bi Lan dan Sim Houw. Dia tidak dapat membayangkan muridnya itu berbohong dan membuat keterangan palsu. “Bagaimana pula ini? Coba ceritakan, bagaimana asal mulanya maka engkau berjanji kepada mendiang bibi Teng Siang In untuk kelak berjodoh dengan Suma Lian.”

Dengan panjang lebar dan jelas Hong Beng lalu bercerita kepada suhunya tentang pengalamannya ke­tika dia berkunjung ke dusun Hong-cun. untuk perta­ma kalinya, di mana dia melihat Suma Lian diculik oleh Sai-cu Lama yang berkelahi melawan nenek Teng Siang In. Betapa dia membantunya sampai Sai-cu Lama melarikan diri. Akan tetapi Suma Lian dibawa oleh Lama yang jahat itu, sedangkan nenek Teng Siang In menderita luka parah. Betapa kemudian Su­ma Ceng Liong dan Kam Bi Eng melakukan pengejar­an terhadap penculik anak perempuan itu dan dia merawat nenek Teng Siang In yang terluka parah di pahanya oleh pedang Ban-tok-kiam, pedang yang di­rampas dari tangan Bi Lan oleh Sai-cu Lama.

“Ketika itulah, suhu, locianpwe Teng Siang In yang siuman dan menghadapi kematian, minta kepada teecu untuk mencari nona Suma Lian dan minta teecu berjanji agar kelak teecu suka berjodoh dengan nona Suma Lian. Melihat keadaan locianpwe itu, yang dalam sekarat menghadapi maut, bagaimana teecu tega untuk menolak permintaannya yang terakhir itu? Sayang bahwa ketika itu, susiok Suma Ceng Liong dan isterinya tidak ada. Kalau mereka ada, tentu de­ngan mudah teecu menyerahkan persoalannya kepada mereka. Melihat betapa locianpwe itu menghadapi saat terehir, terpaksa teecu penuhi permintaannya dan teecu mengucap janji itu. Baru kemudian tee­cu menyesal. Orang seperti teecu ini, mana mung­kin menjadi jodoh nona Suma Lian? Teecu tidak berani...., memikirkanpun tidak berani, dan tee­cu juga tidak berani melanggar janji teecu sendiri, apa lagi janji terhadap seorang locianpwe yang sudah me­ninggal dunia....”

Suma Ciang Bun termenung, lalu mengangguk-angguk. “Muridku, aku sendiri tidak tahu bagaimana sikap adikku Ceng Liong dan isterinya mengenai per­soalan ini. Akan tetapi, menghadapi setiap masalah, kita harus bersikap jujur dan berani, dalam arti kata, berani menghadapi segala akibatnya. Diterima atau ditolaknya oleh mereka kalau urusan ini kita ajukan, hanya merupakan akibat saja dan andaikata ditolak, berarti bukan engkau yang melanggar janjimu terha­dap bibi Teng Siang In, melainkan pesan itu tidak terlaksana karena pihak orang tua Suma Lian tidak setuju. Nah, terangkan hatimu. Setelah pesta ulang tahun cihu selesai, aku akan bicara dengan Ceng Liong dan isterinya tentang pesan terakhir bibi Teng Siang In itu.”

“Akan tetapi, suhu, teecu takut....”

“Takut apa? Hong Beng, jangan engkau terlalu merendahkan diri. Engkau muridku, tahu? Engkau cukup gagah dan tampan, cukup berharga untuk menjadi jodoh gadis manapun juga, termasuk Suma Lian! Nah, sekarang mengasolah dan sedapat mung­kin hapuskan rasa tidak sukamu kepada Bi Lan dan Sim Houw. Akupun ingin beristirahat. Ceritamu sungguh membuat hatiku menjadi tegang dan kaget tadi.”

Setelah percakapan dengan gurunya ini, hati Hong Beng menjadi tenang kembali dan dia dapat tidur nyenyak. Juga perasaan tidak suka dalam hatinya terhadap Bi Lan dan Sim Houw seolah olah menjadi padam atau setidaknya berkurang banyak.

***

Semenjak membuka rahasia itu kepada gurunya, Hong Beng merasa lebih tenang dan selama beberapa hari ini, dia bahkan selalu menghindarkan pertemuan dengan Sim Houw dan Bi Lan, walaupun mereka tinggal serumah. Mereka hanya saling bertemu waktu tuan rumah dan para tamunya makan siang atau malam saja, dan dalam kesempatan itupun Hong Beng tidak pernah bicara dengan Sim Houw atau Bi Lan.

Seperti telah diduga semula, banyak tamu datang membanjiri tempat pesta ketika hari yang ditentukan tiba. Nama besar Kao Cin Liong cukup terkenal, baik sebagai bekas panglima maupun sebagai pendekar, dan semua orang tahu bahwa selain pendekar ini putera tunggal Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, juga iste­rinya adalah keluarga Pulau Es. Maka, banyaklah tokoh-tokoh kang-ouw datang membanjiri tempat pesta. Orang tua Kao Cin Liong sendiri tidak nam­pak. Memang Cin Liong tidak mengabari, tidak ingin membuat orang tuanya yang sudah tua sekali itu melakukan perjalanan yang demikian jauhnya. Pula, ulang tahunnya itu sendiri tidak penting, yang pen­ting adalah maksud yang tersembunyi di balik pesta ulang tahun itu. Maka, Kao Cin Liong tidak meng­harapkan kunjungan ayah ibunya.

Di antara para tamu, terdapat pula tokoh-tokoh yang membawa bingkisan sebagai hadiah ulang tahun. Bungkusan-bungkusan besar kecil diterima oleh pi­hak tuan rumah dan diatur rapi di atas meja di te­ngah ruangan yang luas itu, di mana para tamu telah berkumpul. Setelah matahari naik tinggi, tidak kurang dari limaratus orang tamu hadir di tempat itu. Mere­ka datang dari tempat-tempat yang jauh, mewakili daerah-daerah terpencil. Biarpun tokoh-tokoh se­sat, asal tidak mempunyai permusuhan dengan keluar­ga Kao Cin Liong, memerlukan datang untuk meng­hormati tuan rumah, juga untuk mempergunakan ke­sempatan yang amat baik ini untuk bertemu dengan tokoh-tokoh dunia persilatan yang lain.

Bahkan banyak pula pembesar-pembesar yang memiliki kedudukan penting, baik dari daerah mana­pun dari kota raja, memerlukan hadir dalam pesta ini. Tentu saja mereka bukan hanya mengingat bahwa Kao Cin Liong adalah bekas panglima yang sudah ba­nyak jasanya terhadap kerajaan, melainkan juga diam-diam mengintai apa yang akan dilakukan bekas pa­nglima ini dengan mengadakan pesta besar mengun­dang banyak tokoh kang-ouw.

Yang menarik perhatian banyak tamu, juga menggembirakan hati keluarga Pulau Es adalah hadirnya sepasang pendekar yang terkenal dengan julukan Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda dari Beng-san), yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong sepa­sang saudara kembar, putera-putera dari pendekar sakti Gak Bun Beng yang kini berjuluk Bu-beng Lo­kai. Seperti kita ketahui, Gak Bun Beng adalah man­tu pertama dari Pendekar Super Sakti, suami dari mendiang Puteri Milana. Seperti telah diceritakan di bagian depan, sepasang pendekar kembar yang usianya sudah hampir limapuluh tahun ini sekaligus menjadi suami dari murid mereka sendiri yang berna­ma Souw Hui Lan, yang kini hadir pula. Souw Hui Lan merupakan seorang wanita muda berusia hampir tigapuluh tahun, yang cantik manis dan gagah, juga mencinta kedua orang suaminya yang baginya meru­pakan satu tokoh saja, walaupun memiliki dua tubuh. Setelah menjadi isteri dari saudara kembar ini selama tiga tahun, kini Souw Hui Lan telah mempunyai seo­rang anak laki-laki berusia dua tahun. Anak ini me­reka ajak pula dan pertemuan antara keluarga Pulau Es itu mendatangkan kegembiraan besar. Sayang bahwa kakek Gak Bun Beng atau Bu-beng Lo-kai tidak hadir, pada hal Suma Ceng Liong dan isterinya sudah merasa rindu kepada puteri mereka, Suma Lian, yang dibawa pergi oleh paman mereka itu untuk digembleng dengan ilmu-ilmu yang tinggi. Sudah setahun mereka ditinggalkan puteri mereka yang ikut bersama kakeknya itu ke puncak Telaga Warna di Pegunungan Beng-san.

Pihak tuan rumah sibuk menyambut tamu-tamu yang berdatangan dan setelah tidak ada lagi yang da­tang, tempat itu sudah hampir penuh. Para pembantu sibuk mengeluarkan hidangan dan suasana di situ amat meriah. Keluarga tuan rumah berkelampok di bagian tengah ruangan itu, menghadap ke luar, se­dangkan para tamu memilih teman sendiri-sendiri, berkelompok dengan kelompok masing-masing. Se­perti biasa, para tamu yang datang tadi tentu mencari-cari teman yang cocok lalu dihampirinya, ada pula tamu yang terdahulu memanggil tamu yang baru tiba untuk bergabung satu meja dengan mereka. Ka­wan-kawan lama yang sudah lama tak pernah saling berjumpa, kini bertemu dalam pesta itu, maka sua­sana menjadi semakin riuh dan gembira.

Ketika para tamu sudah disuguhi arak beberapa cawan, Kao Cin Liong lalu bangkit berdiri di atas panggung yang sudah disediakan, sehingga semua tamu dapat melihatnya dari tempat duduk masing-masing.

“Cu-wi (saudara sekalian), kami sekeluarga menghaturkan terima kasih atas kedatangan cu-wi, juga atas semua hadiah yang diberikan kepada saya. Se­moga Thian membalas semua kebaikan cu-wi itu. Setelah cu-wi hadir di sini, kami ingin mohon ban­tuan cu-wi, membantu kami yang sedang prihatin menghadapi peristiwa yang membuat kami bingung. Hendaknya cuwi ketahui bahwa puteri kami yang bernama Kao Hong Li, anak tunggal kami, telah be­berapa bulan yang lalu lenyap diculik orang....”

Suasana menjadi gaduh ketika para tamu mendengar pengumuman ini. Kao Cin Liong membiarkan keadaan gaduh itu berlangsung sebentar, lalu dia mengangkat kedua tangan memberi hormat dan minta agar suasana menjadi tenang kembali. Setelah para tamu diam, dia melanjutkan.

“Anak kami itu baru berusia duabelas tahun le­bih, dan kami tidak tahu siapa penculiknya. Dan selagi kami kebingungan dan belum berhasil menemu­kan anak kami, kembali terjadi hal yang semakin membingungkan. Locianpwe Ang I Lama di Tibet telah dibunuh orang, dan kami suami isteri yang tidak berdosa dituduh sebagai pembunuhnya.”

Kembali suasana menjadi gaduh dan setelah se­mua orang diam, Kao Cin Liong melanjutkan kata-katanya, “Karena kami kebingungan, tidak menemu­kan jejak puteri kami, maka kami mohon dengan hormat kepada cuwi, apa bila ada yang mengetahui atau mendengar di mana adanya puteri kami, sukalah memberi kabar kepada kami. Atas kebaikan itu, se­belumnya kami menghaturkan banyak terima kasih kepada cuwi.”

Setelah Cin Liong menyelesaikan pengumuman­nya, para tamu menjadi semakin gaduh, bercakap-cakap di antara kelompok sendiri, ada pula yang hanya diam termangu-mangu dan menduga-duga siapa adanya orang yang demikian nekat dan beraninya mengganggu keluarga Kao ini dengan menculik puterinya. Kao Cin Liong adalah seorang bekas panglima yang terkenal dan gagah perkasa, juga dia adalah putera tunggal Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Isterinya juga bukan orang sembarangan, melainkan cucu dari Pendekar Super Sakti dari Pu­lau Es. Dan kini ada orang berani menculik puteri mereka, bahkan menjatuhkan fitnah kepada keluarga ini yang dituduh membunuh Ang I Lama. Apakah peristiwa ini menjadi tanda bahwa nama besar Pu­lau Es dan Gurun Pasir akan berakhir atau menjadi suram?

Pesta dilanjutkan dengan cukup meriah dan kini percakapan para tamu adalah tentang peng­umuman tuan rumah. Mereka saling bertanya, akan tetapi agaknya tidak ada seorangpun di antara me­reka yang tahu di mana adanya anak perempuan yang diculik itu.

Selagi pihak tuan rnmah dan keluarganya mela­yani para tamu makan minum, tiba-tiba penjaga pintu memberi tahu kepada Kao Cin Liong bahwa telah datang lagi tamu baru, sepasang suami isteri she Yo. Karena tidak mengenal siapa suami isteri she Yo ini, Kao Cin Liong dan isterinya bangkit menyambut, sedangkan keluarganya ikut pula me­mandang dengan penuh perhatian untuk melihat siapa adanya tamu yang datang agak terlambat itu. Ketika Bi Lan yang juga ikut menengok melihat bahwa yang muncul sebagai tamu terlambat itu adalah Bi-kwi dan Yo jin, jantungnya berdebar tegang penuh kegirangan, akan tetapi juga penuh kekhawatiran. Tak disangkanya bahwa sucinya itu berani datang pula ke pesta ulang tahun ini! Akan tetapi hal ini bahkan membuktikan bahwa sucinya memang benar telah mengubah cara hidupnya dan tentu sucinya datang karena menaruh perasaan hor­mat terhadap keluarga Kao yang gagah perkasa.

Keluarga para pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir yang berada di situ, banyak yang mengenal Bi-kwi dan mereka semua memandang dengan alis ber­kerut. Terutama sekali Gu Hong Beng dan Suma Ciang Bun yang pernah bertempur melawan wanita yang mereka anggap sebagai wanita iblis yang amat jahat itu. Juga Kao Cin Liong sendiri dan isterinya, Suma Hui, ketika terjadi pertempuran antara para pendekar melawan Sai-cu Lama dan gerombolannya, telah mengenal Bi-kwi sebagai murid Sam Kwi. Demikian pula Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Mereka tidak mengira bahwa wanita ini berani muncul sebagai tamu, dan mereka teringat akan pembela­an Bi Lan terhadap sucinya yang pernah menjadi seorang wanita iblis itu.

Bagaimanapun juga, mereka berdua itu datang sebagai tamu, apa lagi melihat sikap Yo Jin yang demikian sopan dan jujur, juga sikap Bi-kwi yang melihatkan sikap hormat terhadap pihak tuan rumah, Kao Cin Liong dan isterinya terpaksa me­nyambut. Mereka datang sebagai tamu, dan me­mang undangan itu ditujukan kepada semua tokoh persilatan tanpa memilih bulu, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam.

Setelah memberi hormat dan menghaturkan se­lamat kepada tuan rumah, yang disambut oleh Kao Cin Liong dan isterinya dengan hormat pula, Bi-kwi dan Yo Jin yang menjadi suaminya, menyerahkan sebuah bingkisan yang berupa sebuah bungkusan kecil dari sutera merah. Bungkusan itu diterima oleh Suma Hui dan diletakkan di atas tumpukan barang-barang hadiah lain dalam bungkusan-bungkusan besar kecil. Kemudian mereka berdua dipersilahkan duduk, akan tetapi karena tempat duduk di bagian depan telah penuh tamu, Bi-kwi dan Yo Jin mencari tempat duduk kosong agak di sudut belakang. Ketika Bi-kwi melihat Bi Lan bersama Sim Houw, ia hanya mengangguk dan tersenyum, sedangkan Bi Lan dan Sim Houw juga tersenyum kepada mereka. Semua ini dilihat oleh Hong Beng dengan hati yang tidak puas. Jelaslah bahwa ada hubungan baik an­tara kedua orang itu, pikirnya dan biarpun kini Bi-kwi datang untuk menghormati Kao Cin Liong dan datang sebagai tamu, namun ketika memandang wanita itu, sinar mata Hong Beng penuh rasa tidak senang. Juga Suma Ciang Bun yang pernah berke­lahi melawan Bi-kwi, memandang dengan alis ber­kerut. Namun Bi-kwi yang tahu akan sikap mereka itu, pura-pura tidak tahu saja.

Sebelum berangkat mengunjungi pesta perayaan itu, Bi-kwi memang sudah menduga bahwa di tempat pesta itu tentu akan menghadapi banyak orang yang mengambil sikap memusuhinya. Namun ia tidak peduli akan hal itu. Suaminya, Yo Jin yang sudah membuka kehidupan baru di dusun ter­pencil, tadinya merasa tidak setuju ketika Bi-kwi yang mendengar tentang undangan yang disebar Kao Cin Liong itu menyatakan hendak datang bertamu.

“Isteriku yang baik, apakah perlunya mengun­jungi tempat ramai itu? Aku khawatir hanya akan mengundang datangnya urusan dan keributan be­laka,” demikian antara lain suami yang jujur ini berkata.

“Tidak, suamiku, aku tahu benar bahwa urusan dan keributan hanya timbul karena diri sendiri. Dan aku telah berjanji kepada diri sendiri tidak akan mencari keributan, seperti telah kuputuskan untuk merobah cara hidupku. Bukankah selama berbulan-bulan ini kita hidup aman dan tenteram di sini tak pernah terjadi sesuatu seolah-olah aku hanya­lah isterimu yang sederhana, seorang wanita tani yang tidak mengerti ilmu silat?”

“Kuharap engkau akan begini seterusnya, isteriku sayang. Akan tetapi kenapa engkau mengajak aku untuk pergi ke Pao-teng untuk menghadiri pesta ulang tahun seorang pendekar? Biarpun engkau tidak mencari keributan, bagaimana kalau orang lain yang mencari keributan terhadap dirimu? Engkau tahu aku tidak mempunyai kepandaian un­tuk melindungi dirimu.”

Bi-kwi tersenyum, merangkul suaminya dan merebahkan kepalanya di dada suaminya yang bi­dang. Biarpun Yo Jin tidak pandai ilmu silat, na­mun suaminya mempunyai jiwa pendekar yang ga­gah perkasa dan ia selalu merasa aman tenteram hi­dup di samping suaminya.

“Jangan khawatir, suamiku. Bentrokan hanya mungkin terjadi kalau kedua pihak menghendakinya. Api tidak akan membakar sesuatu yang basah ku­yup. Biarpun ada orang mencari gara-gara, kalau tidak kita layani, bagaikan api dia akan kehabisan bahan bakar dan akan padam sendiri. Aku ingin bertamu ke sana bukan untuk mencari perkara, me­lainkan untuk menghormati pendekar Kao Cin Liong yang merayakan hari ulang tahun. Dia mengundang para ahli silat pada umumnya tanpa pandang bulu, tanpa melihat golongan, dan aku ingin datang meng­ingat bahwa dia adalah putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, masih terhitung suheng dari adik Bi Lan. Bi Lan pasti datang dan hadir pula. Karena akupun sudah rindu kepadanya, dan ingin melihat perkembangan dunia sekarang. Sekali lagi jangan khawatir, bentrokan hanya dapat terjadi kalau ke­dua pihak maju, seperti sepasang tangan yang berte­puk. Tak mungkin sebelah tangan saja bertepuk menimbulkan panas dan bunyi kalau tidak menemu­kan lawan.”

Demikianlah, akhirnya Yo Jin mengalah dan menemani isterinya melakukan perjalanan ke Pao-teng. Mereka datang agak terlambat, setelah pesta dimulai sehingga kemunculan mereka menarik perhatian banyak orang. Akan tetapi ketika suami iste­ri ini memilih tempat duduk di sudut belakang dan tenggelam di antara para tamu yang memenuhi tempat itu, suasana menjadi meriah kembali.

Banyak di antara para tamu mendekati dan me­rubung meja, agaknya ingin tahu sekali macamnya barang-barang sumbangan yang bertumpuk itu. Melihat ini, Suma Hui yang menjadi gembira kare­na belum pernah semenjak menikah ia mengadakan pesta dan ternyata pesta ulang tahun suaminya yang hanya diadakan untuk mengumpulkan orang dunia persilatan dan mengumumkan kehilangan anaknya itu dikunjungi demikian banyak orang dan menerima banyak sumbangan, segera mengusulkan kepada suaminya untuk membukai bungkusan-bangkusan itu di depan para tamu. Suaminya setuju dan ketika mereka berdua, dibantu oleh para anggauta keluarga, mulai membukai bungkusan dan mengumumkan na­ma penyumbangnya sambil mengangkat tinggi setiap buah benda sumbangan, para tamu menjadi gembi­ra sekali. Tiada hentinya para tamu menyatakan kekaguman mereka setiap kali melihat barang sum­bangan yang amat berharga dan beraneka warna itu

Memang bermacam-macam benda sumbangan para tamu, dan rata-rata merupakan benda berharga. Ada senjata yang baik, guci-guci berukir, cawan perak, perhiasan-perhiasan dan ba­nyak lagi macamnya. Ketika tiba giliran bungkusan sutera merah kecil pemberian Bi-kwi dan Yo Jin tadi dibuka, pembukanya kebetulan adalah Suma Hui sendiri. Dan di antara para anggauta keluarga, yang paling memperhatikan ketika bungkusan ini dibuka adalah Gu Hong Beng dan gurunya, Suma

Ciang Bun. Mereka berdua yang masih merasa pe­nasaran kepada Bi-kwi, ingin sekali melihat barang macam apa yang dibawa oleh tamu yang mereka anggap sebagai siluman betina yang amat jahat itu. Bungkusan itu kecil saja, entah apa isinya dan ketika jari-jari tangan Suma Hui membukanya, guru dan murid ini mendekat dan melihat dengan hati tegang.

Suma Hui sendiri tadi tidak memperhatikan dari siapa pemberian sumbangan dalam bungkusan merah yang kecil ini, maka ketika ia membukanya, ia tersenyum dan tidak merasakan ketegangan seperti yang dirasakan adiknya dan murid adiknya itu. Ketika bungkusan itu dibuka dan Suma Hui mengamatinya, tiba-tiba wajahnya berubah pucat dan wanita per­kasa ini menahan jeritnya, akan tetapi tetap saja masih terdengar seruannya. “Aihhh....!”

Kao Cin Liong terkejut, cepat mendekati isteri­nya dan dengan kedua tangan gemetar Suma Hui memperlihatkan benda yang terbungkus sutera me­rah itu. Sebuah perhiasan rambut dari emas yang diikat dengan segumpal rambut hitam. Benda itu sendiri merupakan perhiasan rambut yang biasa saja bagi orang lain, akan tetapi suami isteri itu terbela­lak memandang karena mereka mengenal perhiasan rambut yang biasanya menghias rambut Kao Hong Li, puteri mereka yang lenyap diculik orang. Dan rambut itu.... rambut siapa lagi kalau bukan rambut Hong Li?

“Enci Hui, ada apakah?” Suma Ciang Bun yang melihat perubahan muka encinya dan kakak iparnya segera bertanya.

“Ini.... ini.... perhiasan rambut milik Hong Li....” Suma Hui berkata dengan masih gemetar dan gugup.

“Hemmm, siapakah tadi pengirim sumbangan ini?” Kao Cin Liong juga berkata dengan suara ge­ram dan memandang ke sekeliling. Mendengar keterangan nyonya rumah bahwa isi bungkusan itu ada­lah perhiasan rambut yang biasa dipakai anak perem­puan yang hilang diculik orang, tentu saja para tamu yang merubung meja sumbangan itu menjadi gem­par. Mereka yang duduk di belakang segera mende­ngar dari mereka yang duduk di depan dan sebentar saja seluruh tamu mengetahui bahwa telah terjadi hal aneh, yaitu bahwa seorang di antara para tamu me­nyumbang perhiasan milik anak tuan rumah yang tadi dikabarkan hilang diculik orang. Tentu saja suasana menjadi gempar seketika.

“Iblis betina itulah yang tadi menyumbangkan bungkusan merah!” Tiba-tiba Gu Hong Beng ber­seru dan diapun sudah melompat dan lari mengham­piri Bi-kwi dan Yo jin yang masih ikut bingung dan bertanya-tanya mendengar peristiwa yang meribut­kan itu.

Begitu berhadapan dengan Bi-kwi, Gu Hong Beng menudingkan telunjuknya ke arah muka Bi-kwi dan berkata dengan suara lantang, “Iblis betina, sungguh engkau jahat dan keterlaluan sekali, berani menghina kami! Engkaulah yang menculik adik Kao Hong Li, kemudian engkau berani mati datang untuk membawa perhiasan dan rambut adik Hong Li sebagai barang sumbangan!”

“Apa.... apa maksudmu? Harap jangan menuduh sembarangan. Bukan kami yang memberi barang seperti itu. Kami menyumbangkan sebuah benda lain!” kata Bi-kwi dengan sikap masih sa­bar walaupun pemuda itu memandang dengan mata melotot dan sikap bengis, siap hendak menerjangnya.

“Iblis betina, siapa tidak mengenalmu? Bi-kwi terkenal sebagai seorang wanita iblis yangjahat dan keji. Kiranya engkau yang menculik adik Hong Li dan kini datang sengaja hendak membikin kacau!”

Berkata demikian, pemuda ini menyerang. Serangannya amat hebat sehingga Bi-kwi yang tidak ingin membalas, dan tidak ingin melayani, ketika menge­lak ke kiri masih saja tersentuh pundaknya oleh se­rangan itu dan wanita inipun terhuyung menabrak meja sehingga semua mangkok dan panci di atas meja itu terlempar dan jatuh berantakan. Tentu saja para tamu cepat berloncatan menjauhi perkelahian itu. Melihat isterinya diserang, Yo Jin segera melangkah maju. Dengan sikap sabar dia menghadapi Hong Beng.

“Saudara yang gagah, harap bersabar dulu. Sesungguhnya, apa yang dikatakan isteriku tadi benar belaka. Kami datang dengan iktikad baik, demi penghormatan kami terhadap tuan rumah yang masih terhitung suheng dari adik Can Bi Lan, dan kami berdua tadi memang memberi bingkisan sutera me­rah, isinya sebuah bros dari emas permata. Aku sendiri yang memilihkan di antara perhiasan milik isteriku, maka harap saudara bersabar dan jangan salah sangka....”

Mendengar bahwa laki-laki ini suami Bi-kwi, tentu saja Hong Beng tidak mau menerima keterang­annya. Seorang suami tentu saja membela isterinya, pikirnya dan diapun mendorong tubuh laki-laki itu ke samping sambil berkata, “Minggirlah kau!”

Dorongan Hong Beng adalah dorongan seorang ahli silat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tenaga sin-kang yang hebat, maka tentu saja Yo Jin yang tidak pandai ilmu silat itu, sekali tersentuh dorongan itu, tubuhnya terlempar menabrak bebera­pa buah kursi kosong dan jatuh terbanting dengan kerasnya!

“Hong Beng, engkau sungguh keterlaluan! Apakah kaukira di dunia ini hanya engkau seorang saja yang gagah dan benar, sedangkan orang lain semua jahat dan bersalah?” Tiba-tiba Bi Lan sudah ber­ada di situ dan membentak dengan marahnya ketika ia melihat Hong Beng tadi memukul Bi-kwi yang sama sekali tidak melawan, bahkan pemuda itu men­dorong roboh Yo Jin dengan keras.

Tadinya Hong Beng terkejut sendiri melihat betapa dorongannya membuat laki-laki yang mengaku suami Bi-kwi itu terlempar dan terjatuh, bahkan khawatir kalau-kalau orang itu terluka parah. Dia tidak tahu bahwa laki-laki yang menjadi suami seo­rang iblis betina seperti Bi-kwi ternyata tidak pan­dai ilmu silat sama sekali sehingga roboh oleh do­rongan begitu saja. Akan tetapi ketika melihat munculnya Bi Lan yang kembali membela Bi-kwi, ke­marahannya berkobar lagi.

“Can Bi Lan, engkau kembali berani hendak melindungi orang yang demikian jahatnya? Benar-benar engkau telah tersesat! Ia adalah iblis betina yang telah menculik adik Hong Li, dan kini ia da­tang untuk membikin kacau, dan engkau masih mem­belanya? Kalau begitu, engkau benar-benar telah berubah jahat!”

“Manusia sombong, engkau sudah buta oleh kesombonganmu. Engkaulah yang jahat!” Bi Lan membentak dan mereka berdua, seperti dikomando saja, tidak tahu siapa yang mulai, telah saling me­nyerang dengan marahnya. Karena mereka berdua adalah orang yang berkepandaian tinggi, maka per­kelahian itu hebat dan para tamu menjauhkan diri, diam-diam merasa girang karena mereka mempero­leh kesempatan untuk menonton perkelahian yang bermutu. Para tamu itu adalah orang-orang dari dunia persilatan, baik dari golongan hitam maupun putih, maka tidaklah mengherankan kalau mereka suka sekali nonton adu ilmu silat, terutama kalau adu ilmu itu dilakukan oleh dua orang muda yang demikian lihainya. Suara angin pukulan mengaung-ngaung. dan menyambar-nyambar ganas, membuat para penonton menjadi kagum bukan main.

Melihat kekasihnya sudah berkelahi dengan Hong Beng, Sim Houw cepat meloncat ke depan dengan maksud untuk melerai perkelahian itu. Akan tetapi, Suma Ciang Bun yang sejak tadi sudah mendekati tempat perkelahian, siap untuk membantu muridnya kalau muridnya terdesak, merasa curiga dan mengi­ra bahwa majunya Sim Houw tentu untuk memban­tu Bi Lan. Maka, tanpa banyak cakap lagi diapun menyambut datangnya Sim Houw dengan serangan pukulannya yang ganas dan dahsyat karena dia me­nyerang dengan pengerahan tenaga Hui-yang Sin-kang yang amat panas. Demikian panasnya hawa serangan itu sehingga terasa oleh para tamu yang sudah menjauhkan diri. Para tamu menjadi semakin gembira melihat dua orang itu sudah saling terjang dengan dahsyatnya. Sim Houw seperti biasa, me­ngalah dan hanya menangkis atau mengelak, sedang­kan hatinya merasa bingung dan gelisah sekali. Tak disangkanya bahwa kembali dia dan kekasihnya terlibat perkelahian dengan guru dan murid yang ga­lak dan selalu memusuhi Bi Lan itu.

Melihat betapa gara-gara ia dituduh menculik anak tuan rumah, kini sumoinya yang jelas membela­nya telah berkelahi, juga Sim Houw berkelahi de­ngan Suma Ciang Bun, Bi-kwi menjadi bingung dan juga khawatir sekali. Ia meloncat maju untuk melerai perkelahian antara Bi Lan dan Hong Beng. Melihat, ini, Kao Cin Liong dan Suma Hui cepat lari meng­hampiri tempat perkelahian. Mereka tentu saja ingin menangkap Bi-kwi yang dituduh sebagai pembawa bingkisan yang berisi perhiasan dan rambut kepala anak mereka. Akan tetapi mereka kecelik kalau tadi mengira bahwa Bi-kwi hendak membantu Bi Lan. Ternyata Bi-kwi meloncat maju bukan untuk mem­bela Bi Lan melainkan untukmelerai. Ia memegang lengan Bi Lan dan menariknya ke belakang sambil berkata, “Sumoi, tahan dulu, sebaiknya kita bicara baik-baik!”

Perbuatan Bi-kwi ini dapat mencelakakan sumoinya karena ia menangkap lengan kiri Bi Lan dan menariknya ke belakang dan pada saat itu, Hong Beng yang juga mengira akan dikeroyok dua, sudah menerjang maju dan menyerang Bi Lan yang posisi­nya buruk karena sebelah lengannya diganduli Bi-kwi. Pada saat itu, Kao Cin Liong sudah menangkap pun­dak Hong Beng.

“Hong Beng, tahan dulu!” teriak Kao Cin Liong dan tentu saja Hong Beng tidak berani meronta se­telah dia tahu siapa orangnya yang menahannya. De­ngan muka masih merah karena marah, matanya ber­sinar-sinar memandang ke arah Bi Lan dan Bi-kwi, diapun menghentikan gerakannya dan melangkah mundur.

Sementara itu, Suma Hui juga sudah melerai perkelahian antara Suma Ciang Liong dan Sim Houw. Lebih mudah melerai perkelahian ini karena memang Sim Houw tidak melawan. Suma Hui hanya meng­hadang di depan Suma Ciang Bun dan minta kepada adiknya itu untuk menghentikan serangan. Suma Ciang Bun menahan gerakannya, memandang marah kepada Sim Houw.

“Sudah jelas iblis betina Bi-kwi itulah penculik anakmu, enci Hui. Kalau mereka hendak membela, mari kita turun tangan membasmi mereka yang ja­hat itu!”

“Nanti dulu, Bun-te, kita bicara dulu dengan mereka, minta penjelasan,” kata Suma Hui.

Kini Kao Cin Liong dan Suma Hui menghadapi Bi-kwi yang sudah menolong suaminya. Untung bahwa Yo Jin tidak terluka parah, hanya kulitnya yang lecet-lecet saja. Mereka kini berdiri berdam­pingan, di depan Kao Cin Liong dan Suma Hui yang melihat betapa sikap suami isteri itu sama sekali tidak kelihatan takut atau khawatir seperti orang yang ber­dosa. Mereka nampak tenang saja dan wajah mereka membayangkan rasa penasaran.

Melihat ini, Kao Cin Liong tidak mau sembarang­an menuduh. Dia mendahului isterinya, berkata ke­pada Bi-kwi, “Nona Ciong,” katanya, tidak mau menyebut nama julukan Bi-kwi karena dia sudah mendengar penuturan Bi Lan tentang wanita ini, “kami mengharap sukalah engkau memberi keterang­an apa artinya engkau dan suamimu sebagai tamu kami memberi bingkisan seperti ini! Ini adalah hiasan rambut anak kami yang hilang diculik orang!” Ber­kata demikian, Kao Cin Liong dan isterinya meman­dang tajam kepada wajah wanita itu penuh selidik.

Bi-kwi menghela napas panjang, lalu menjura de­ngan hormat. “Kao-taihiap berdua yang terhormat, kiranya akan sia-sia kalau orang seperti saya yang memberi keterangan karena tentu tidak akan dipercaya dan sayapun tidak menyalahkan mereka yang tidak percaya karena saya pernah menjadi seorang tokoh sesat yang hidup menyeleweng. Akan tetapi suami saya ini, Yo Jin, adalah seorang petani yang jujur dan selamanya hidup bersih. Biarlah dia yang memberi penjelasan.” Berkata demikian Bi-kwi memandang kepada suaminya dengan sinar mata penuh permo­honan, dan Yo Jin pun maju dan memberi hormat kepada Kao Cin Liong dan isterinya.

“Semua yang diceritakan isteri saya tadi benar belaka. Ketika mendengar undangan umum untuk menghadiri hari ulang tahun Kao-taihiap, isteri saya menyatakan keinginan hatinya untuk pergi menghadiri pesta perayaan itu. Saya sudah ragu-ragu dan me­nyatakan keberatan karena saya takut kalau-kalau timbul urusan lagi dengan isteri saya yang banyak dimusuhi orang. Akan tetapi isteri saya memaksa dengan alasan menghormat Kao-taihiap yang dianggap suheng dari adik Bi Lan yang kami sayang dan hor­mati. Terpaksa saya setuju dan saya sendiri lalu me­milih di antara kumpulan perhiasan isteri saya untuk dibawa sebagai barang bingkisan. Saya memilih sebu­ah hiasan bros emas permata berbentuk burung Hong. Inilah keterangan yang sesungguhnya dan saya bera­ni bersumpah akan kebenarannya. Kalau sekarang bungkusan sutera merah itu berisi benda lain, bagai­mana kami mengetahuinya?”

Kao Cin Liong saling pandang dengan isterinya, keduanya mengerutkan alisnya.

Hong Beng yang sejak tadi mendengarkan, tiba-tiba berkata kepada Kao Cin Liong dengan suara lan­tang, “Harap Kao-locianpwe dan bibi guru tidak mudah ditipu oleh Bi-kwi. Ia terlalu jahat dan saya mengenal kejahatan dan kepalsuannya semenjak Sam Kwi masih hidup. Saya merasa yakin bahwa kalau bukan ia yang telah menculik adik Hong Li, setidak­nya ia tentu tahu tentang penculikan itu!”

Mendengar ucapan Hong Beng itu, Bi-kwi maju dan memberi hormat kepada tuan rumah. “Kao-tai­hiap, tidak saya sangkal bahwa saya pernah mengam­bil jalan hidup yang sesat penuh dosa. Akan tetapi biarpun demikian, belum pernah saya menjadi seo­rang pengecut. Andaikata benar saya yang menculik puteri taihiap, dan saya telah berani datang ke sini mengembalikan hiasan rambutnya, lalu apa perlunya saya menyangkal mati-matian? Kalau saya sudah berani melakukan itu, dan berani pula datang ke sinimenyumbangkan hiasan rambut, tentu saya berani pula menghadapi segala resiko dan akibatnya! Dan tentu saja tidak akan begitu bodoh dan gila untuk mengajak suami saya yang sedikitpun tidak tahu ilmu silat. Harap taihiap pertimbangkan, karena saya tahu bahwa menyangkal dan membela diri dengan kata-kata, tentu tidak akan dipercaya.”

Kao Cin Liong kembali saling pandang dengan isterinya, bingung karena mereka sendiripun bimbang. Mereka percaya kepada tuduhan Hong Beng tadi, akan tetapi mereka juga dapat menerima alasan Bi-kwi.

“Kao-suheng, saya berani menanggung kebenar­an ucapan suci Ciong Siu Kwi!” tiba-tiba Bi Lan berkata dengan sikap gagah dan matanya melirik ke arah Hong Beng. “Saya yang mengenal betul keada­an hidup enci Ciong Siu Kwi sebelum ia sadar dan se­karang saya tahu betul bahwa ia telah merobah cara hidupnya. Saya yakin ia tidak bersalah sedikitpun juga dalam urusan kehilangan puteri suheng. Kalau saya menduga bahwa ia penculiknya, saya sendiri yang akan menentangnya, kalau perlu membunuhnya karena bukankah saya sudah berjanji kepada suhu dan subo, bahwa saya takkan menikah dan takkan kem­bali sebelum dapat menemukan puteri suheng? Tidak, suci Siu Kwi tidak bersalah, hal ini saya yakin benar!”

Melihat sikap dan pembelaan Bi Lan yang demi­kian penuh semangat, Bi-kwi merasa terharu sekali. “Sumoi, jangan engkau terlalu membelaku. Sudah kulihat betapa karena engkau menolong aku yang kotor dengan air lumpur, maka engkau sendiri ter­percik lumpur dan direndahkan orang lain.”

“Tidak, suci. Aku tidak membela engkau atau seorang suci, melainkan membela kebenaran. Siapa­pun dia kalau berada di pihak benar, sudah sepatut­nya kubela.”

Mendengar percakapan antara suci dan sumoi itu, Kao Cin Liong dan Suma Hui menjadi semakin ragu-ragu akan kesalahan Bi-kwi.

“Nona Ciong, bagaimanapun juga, bingkisan ini tadi adalah pemberianmu, oleh karena itu, kami yang kehilangan anak perempuan kami, kalau tidak menu­duhmu yang tadi memberi bingkisan ini, lalu harus menuduh siapakah?” kata Suma Hui, sambil me­mandang tajam kepada Bi-kwi.

Wanita ini lalu melangkah maju. “Saya merasa bertanggung jawab, oleh karena itu, saya mohon su­kalah Kao-taihiap menyerahkan barang itu kepada saya untuk saya selidiki sebentar.”

Tanpa ragu-ragu Kao Cin Liong menyerahkan bungkusan perhiasan rambut dan segumpal rambut itu kepada Bi-kwi, berikut bungkusnya, yaitu sutera merah. Bi-kwi menerimanya, lalu memeriksanya de­ngan teliti. Mula-mula ia memeriksa kain sutera pembungkusnya, kemudian isinya. Sinar matanya mencorong dan iapun memandang ke kanan kiri.

“Kao-taihiap, penculik anak taihiap itu berada di sini, di antara kita semua! Dia seorang di antara para tamu!”

Kao Cin Liong dan isterinya, juga para anggauta keluarga dan para tamu yang mendengar ucapan ini, terkejut dan suasanapun menjadi bising. Bi-kwi lalu berkata kepada tuan rumah, “Kalau Kao-taihiap percaya kepada saya dan suka meluluskan perminta­an Saya, marilah kita berunding di dalam saja.”

Kao Cin Liong dan isterinya mengangguk, lalu minta kepada Hong Beng dan gurunya untuk mewa­kili pihak tuan rumah melayani para tamu, sedangkan dia bersama isterinya, juga diikuti oleh para ke­luarga, yaitu Kam Hong dan Bu Ci Sian, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, lalu Sim Houw dan Bi Lan juga diajak masuk bersama Bi-kwi dan Yo Jin.

Setelah tiba di dalam, Bi-kwi lalu cepat membe­ri keterangan. “Kao-locianpwe, jelaslah bahwa bing­kisan kami tadi ada yang mengambil dan menukarnya dengan bingkisan ini. Hal itu tentu terjadi ketika orang-orang datang merubung meja tempat hadiah dan orang itu tentu pandai sekali sehingga tidak ada yang melihat perbuatannya. Karena kami datang terlambat dan bingkisan kami berada di atas, maka hal itu mudah dia lakukan.”

“Bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa bingkisanmu itu ditukar orang? Apa tandanya?” tanya Suma Hui.

“Sutera merah ini berbeda dengan sutera merah yang kami pakai untuk membungkus perhiasan bros itu. Dan pula, sebelum dibungkus sutera merah, ka­mi membungkusnya dengan kertas kuning lebih dulu. Akan tetapi bungkusan ini tidak ada kertas kuning­nya. Jelaslah, ada seorang yang sengaja memalsukan­nya.

“Akan tetapi, apa maksudnya?” tanya Kao Cin Liong.

“Hemm, kalau benar demikian, maksudnya sudah jelas!” kata Suma Ceng Liong. “Pertama, untuk mengacaukan pesta, ke dua untuk mengadu domba. Kita cari dan tangkap dia selagi masih berada di si­ni!” Pendekar ini bangkit.

“Nanti dulu!” tiba-tiba Sim Houw berkata.

“Saya harap cuwi tidak tergesa-gesa dalam hal ini. Sudah jelas bahwa di antara para tamu terdapat seo­rang atau lebih musuh yang bergerak secara rahasia. Di antara sekian banyaknya tamu, bagaimana kita da­pat mengetahui yang mana orangnya? Tidak ada bukti apapun padanya dan dia yang menukar bing­kisan tadi tentu tidak begitu bodoh untuk membiar­kan bingkisan itu masih ada padanya kalau dilaku­kan penggeledahan. Kita akan gagal, bahkan mung­kin sekali menyinggung perasaan para tokoh yang tidak berdosa. Juga berarti kita mengejutkan ular yang berada di dalam rumput dan semak-semak kalau kita menggebrak rumput dan semak-semak itu. Kalau hendak menangkap ular yang bersembu­nyi di dalam rumput, harus dengan hati-hati jangan sampai dia kaget dan siap siaga.”

Suma Ceng Liong mengangguk-angguk. “Pen­dapat ini memang tepat memang, akan tetapi aku tidak melihat lain jalan untuk dapat menangkap penculik Hong Li.”

“Menangkap penculik itu adalah tugas kami ber­dua dan kami sudah menemukan jejak. Memang sebaiknya kalau orang yang membikin kacau pesta ini dibiarkan saja agar dia tidak membuat laporan kepada atasannya. Saya yakin bahwa yang datang menukar bingkisan itu hanyalah kaki tangan penculik itu, bukan si penculik sendiri karena kalau ia yang muncul, mungkin kami berdua dapat mengenalnya,” kata Bi Lan.

Mendengar ini, Kao Cin Liong dan isterinya terkejut, juga girang. “Sumoi, siapakah penculik jahanam itu?” tanya Kao Cin Liong.

“Suheng, kami memperoleh petunjuk ketika melakukan perjalanan dari Gurun Pasir, tentang se­orang wanita berjuluk Sin-kiam Mo-li. Ia adalah anak angkat dari mendiang Kim Hwa Nio-nio, dan menurut pendengaran kami, ia selain amat lihai da­lam ilmu silat, juga pandai ilmu sihir. Kami hendak menyelidik ke sana dan mudah-mudahan kami ber­hasil. Sebaiknya, urusan penukaran bingkisan ini tidak dibikin ribut agar penculik itu tidak menjadi terkejut dan siap siaga sehingga menyusahkan kita serdiri untuk mencarinya.”

“Hemmm, kalau begitu, aku akan ikut memban­tumu, sumoi!” kata Bi-kwi. “Urusan ini sekarang menjadi urusanku pula karena aku telah dilibatkan orang sehingga namaku dicemarkan dan aku yang dituduh menculik. Untuk membersihkan ini, tidak ada jalan lain kecuali aku bertindak menangkap si penculik.” Lalu ia berkata kepada Yo Jin, “Suami­ku, kuharap engkau pulang sendiri terlebih dulu, aku harus membantu sumoi dan Sim-taihiap untuk menangkap penculik.”

Yo Jin mengerutkan alisnya, menarik napas pan­jang dan menggeleng kepala, lalu berkata, “Sebe­narnya hatiku amat berat melepas engkau pergi, is­teriku, akan tetapi aku melihat bahwa memang fit­nah itu membuat engkau terpaksa bertindak. Inilah jadinya kalau mendekati keramaian kota , ada saja urusan menyusahkan diri0!”

Suma Ceng Liong yang mendengarkan sejak ta­di, mengangguk-angguk. “ Mudah-mudahan saja dugaan semua itu benar. Memang jelaslah bahwa penculik itu sengaja hendak menyusahkan keluarga kita. Pertama dengan menculik Hong Li, kemudian berusaha mengadu domba dan mengacau pesta. Karena Hong Li merupakan keturunan dari Pulau Es dan Gurun Pasir, maka si penculik itu tentulah seorang yang memusuhi kedua keluarga itu, atau setidaknya satu di antaranya. Kalau yang disebut Sin­kiam Mo-li itu anak angkat mendiang Kim Hwa Nio-nio, memang kuat alasannya kalau ia memusuhi kita. Akan tetapi, sebaiknya kalau kita semua turun tangan menyerbu ke tempat tinggalnya.”

“Saudara Suma Ceng Liong, saya kira hal itu tidak perlu karena kami baru menduga saja, belum ada bukti-bukti nyata bahwa Sin-kiam Mo-li penculiknya. Biarlah kami menyelidiki lebih dulu, kalau kami cukup kuat, kami akan merampas kem­bali nona Kao Hong Li, kalau kami melihat bahwa pihak musuh terlalu kuat, baru kami akan mohon bantuan cu-wi.”

Kao Cin Liong mengangguk-angguk. Tentu saja sebagai ayah, dia menyetujui setiap usaha untuk menemukan kembali puterinya. “Aku percaya ke­pada kalian berdua,” katanya kepada Sim Houw dan Bi Lan, “dan kalau nona Ciong suka memban­tu, itu lebih baik lagi agar hati kami tidak ragu-ragu lagi terhadap namanya.”

“Agar tidak menimbulkan kecurigaan, sebaiknya kalau saya dan suami saya meninggalkan tempat ini dari belakang saja, agar para tamu mengira bahwa memang sayalah yang bersalah dan pihak tuan ru­mah telah mengambil tindakan. Hal ini penting agar orang yang melakukan penukaran bingkisan ta­di merasa telah berhasil dan melapor ke atasannya,” kata Bi-kwi. “Dan aku menunggumu di luar kota sebelah barat, sumoi,” tambahnya kepada Bi Lan.

Kao Cin Liong dan isterinya setuju. Kam Hong yang sejak tadi hanya menjadi pendengar saja, diam-diam merasa kagum dan bangga akan sepak terjang orang-orang muda itu. Terutama sekali sikap Sim Houw yang demikian tenang, dan demiki­an teguh pendiriannya sehingga tidak ragu-ragu bersama Bi Lan yang menjadi calon isterinya berjan­ji tidak akan menikah sebelum menemukan kembali. Hong Li, dan pembelaan mereka terhadap Bi-kwi walaupun wanita ini pernah menjadi tokoh sesat karena mereka yakin bahwa Bi-kwi kini telah me­robah cara hidupnya dan kembali ke jalan benar.

“Pendapat dan keputusan kalian memang tepat,” kata Kam Hong. “Akan tetapi kalian harus berhati­hati karena ingat, kalau ada musuh yang sengaja me­nyerang keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir dengan perbuatan rahasia dan fitnah, juga adu domba, ber­arti bahwa mereka itu telah siap siaga menyusun ke­kuatan. Karena itu, Sim Houw, dalam melakukan penyelidikan, berhati-hatilah dan kalau sekiranya keadaan pihak musuh terlalu kuat, jangan segan-segan untuk minta bantuan kedua keluarga itu.”

Sim Houw memberi hormat kepada kakek per­kasa itu. “Baiklah, suhu, teecu akan mentaati se­mua pesan suhu.”

Akhirnya Bi-kwi dan suaminya lebih dahulu pergi melalui pintu belakang, tanpa diketahui oleh para tamu. Baru kemudian tuan rumah dan keluar­ganya keluar ke tempat ruangan pesta. Akan tetapi baru saja mereka keluar, terjadi keributan lain. Ter­dengar teriakan-teriakan para pelayan dan ketika keluarga itu lari ke dalam, mereka melihat seorang di antara para pelayan telah mati dengan tubuh kaku dan muka hitam. Keracunan!

“Tahan semua hidangan! Jangan dikeluarkan lagi sebelum kami periksa!” Kemudian Kao Cin Liong yang mengeluarkan perintah ini dibantu oleh para keluarga yang gagah perkasa untuk melakukan penyelidikan. Semua makanan bersih, akan tetapi ternyata guci-guci arak yang masih belum dihidang­kan, telah keracunan! Ada sepuluh guci arak yang keracunan, dan agaknya pelayan itu tadi minum se­cawan arak dari guci yang keracunan. Jelaslah bah­wa ada orang yang sengaja menaruh racun ke dalam guci-guci arak itu.

“Apakah tadi ada di antara tamu yang masuk ke sini?” tanya Kao Cin Liong.

Para pelayan itu saling bertanya dan akhirnya seorang di antara mereka teringat bahwa memang ada seorang tamu yang bercambang bauk lebat ma­suk ke situ, setengah mabok sambil membawa cawan dan sambil tertawa- tawa memuji lezatnya ma­sakan dan harumnya arak, dia minta arak karena guci di depan sudah kosong.

“Dia datang sendiri ke tempat di mana ditaruh guci-guci itu, kemudian dia keluar sambil membawa seguci arak sambil tertawa-tawa dan terhuyung-huyung setengah mabok,” demikian antara lain pe­layan itu menerangkan. Kini ada beberapa orang pelayan lain yang juga teringat akan tamu berjeng­got dan berkumis brewok itu yang memasuki dapur dalam keadaan setengah mabok.

“Cepat ikut aku dan tunjukkan yang mana tamu itu!” kata Kao Cin Liong mengajak empat orang ­pelayan itu keluar. Akan tetapi, mereka tidak me­nemukan orang brewokan itu di antara para tamu.

“Tentu dia sudah pergi,” kata Kam Hong yang ikut pula mengadakan pemeriksaan dengan teliti terhadap semua makanan. “Agaknya setelah melihat bahwa usahanya yang pertama untuk mengadu dom­ba itu tidak memperlihatkan hasil seperti yang di­harapkan, dia lalu menaruh racun ke dalam guci-guci arak itu. Aih, masih untung racun itu hanya mengorbankan nyawa seorang pelayan. Kalau sampai dihidangkan dan banyak tamu kang-ouw tewas oleh arak beracun, tentu namamu akan menjadi rusak dan keadaan benar-benar akan menjadi kacau balau.”

Kao Cin Liong bergidik dan Suma Hui mengepal tinju. “Keparat jahanam!” kata Suma Hui. “Siapa­kah orangnya yang demikian membenci kami sehing­ga melakukan perbuatan kejam dan terkutuk secara bertubi terhadap kami? Kalau saja aku tahu siapa orangnya!”

Kematian pelayan karena keracunan itu diraha­siakan dan tidak diketahui para tamu sehingga pesta itu berakhir dengan tenang. Para tamu mulai ber­pamit meninggalkan tempat itu dan tidak lupa Kao Cin Liong selain menghaturkan terima kasih, juga mengharapkan agar para tamu ikut bantu mende­ngarkan kalau-kalau ada di antara mereka dapat mengetahui di mana adanya Kao Hong Li yang le­nyap itu. Dengan adanya pesta ini, nama Kao Hong Li segera terkenal di seluruh dunia kang-ouw ka­rena menjadi pokok percakapan dan perbincangan.

Sim Houw dan Bi Lan segera berpamit dari ke­luarga itu dan memperoleh doa restu, kecuali, tentu saja, dari Hong Beng dan Suma Ciang Bun yang bagaimanapun juga masih merasa tidak puas. Hong Beng masih merasa tidak puas dan masih tetap saja ada keraguan akan kebersihan Bi-kwi, sedangkan Suma Ciang Bun yang biarpun mulai meragukan kesalahan Bi-kwi, Bi Lan dan Sim Houw karena dia tahu betapa muridnya diracuni iri hati dan cemburu, tetap saja terseret oleh sikap muridnya yang memusuhi Bi-kwi tadi. Memang tadi diapun mem­punyai dugaan bahwa Bi-kwi bersalah, apa lagi ka­rena dia pernah diserang oleh Bi-kwi yang berse­kongkol dengan tosu-tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw sehingga hampir saja dia tewas. Kini, kembali ternyata bahwa agaknya dugaan muridnya itu keliru dan Bi-kwi bahkan telah diterima oleh kedua keluarga para pendekar itu untuk bantu mencari Hong Li sampai dapat. Namun, hati pendekar ini tidak merasa puas.

Setelah Bi Lan dan Sim Houw pergi, Suma Ciang Bun lalu mengajak muridnya untuk bicara dengan Ceng Liong dan isterinya. Tentu saja Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng merasa heran ketika Ciang Bun minta kepada mereka untuk bicara di antara mereka berempat sendiri. Mereka memilih sebuah kamar kosong dan begitu mereka duduk di dalam kamar tertutup itu, Suma Ceng Liong tersenyum memandang kepada kakak misannya.

“Bun-ko, engkau sungguh aneh dan membikin kami merasa heran dan ingin tahu sekali! Ada urus­an apakah maka engkau bersikap begini penuh raha­sia dan mengajak kami bicara tertutup seperti ini?”

Suma Ciang Bun juga tersenyum dan legalah hati Suma Ceng Liong dan isterinya. Sikap Ciang Bun yang santai itu tidak membayangkan adanya urusan yang amat gawat, walaupun kakak itu meng­ajak mereka dalam kamar tertutup.

“Ah, hanya urusan kekeluargaan, Liong-te, akan tetapi kurang enak kalau didengar anggauta keluarga lain karena hal ini hanya menyangkut kelu­argamu dan keluargaku saja,” jawab Ciang Bun.

Kini Kam Bi Eng tak dapat menahan ketawanya. Sungguh aneh kakak misan ipar ini. Jelas bahwa Su­ma Ciang Bun tidak pernah menikah, maka tentu saja tidak mempunyai keluarga selain keluarga sua­minya juga. “Aih, Bun-ko, bukankah keluargamu juga berarti keluarga kami? Mana ada keluarga ka­mi dan keluarga Bun-ko!”

Ciang Bun juga tersenyum. “Yang kumaksud dengan keluargaku adalah aku dan muridku ini, ka­rena dia sudah kuanggap sebagai anakku sendiri, Nah, aku ingin membicarakan tentang muridku ini dan anak kalian.”

Suami isteri itu saling pandang dan keduanya hampir berbareng bertanya, “Suma Lian....?”

Gu Hong Beng hanya menundukkan mukanya saja. Kalau tidak dipaksa oleh gurunya, sampai ba­gaimanapun juga dia tentu tidak akan berani mem­buka mulut! Kini dengan jantung berdebar keras dia menanti suhunya yang mulai membuka rahasia itu.

“Aku ingin membicarakan tentang perjodohan antara Suma Lian dan muridku Gu Hong Beng ini....”

“Bun-ko....!” Ceng Liong berseru kaget dan heran, pandang matanya tajam dan terbelalak.

“Apa maksudmu? Kapankah Bun-ko mengajukan pinangan dan....”

“Anakku Lian-ji masih begitu muda, baru juga duabelas tahun lebih usianya!” Kam Bi Eng juga berseru heran.

Suma Ciang Bun mengangguk-angguk. Memang agak sukar dia mengatur kata-katanya, maklum ka­rena selama hidupnya baru sekali ini dia bicara ten­tang perjodohan, apa lagi dia bertindak sebagai orang tua yang ingin menjodohkan muridnya yang diang­gap sehagai anaknya sendiri.

“Aku tahu.... aku tahu.... akan tetapi ikatan perjodohan antara anak kalian dan muridku telah terjadi semenjak kematian ibumu, yaitu bibi Teng Siang In, Liong-te....”

“Bun-ko, apa maksudmu? Sungguh aku tidak mengerti Ceng Liong bertanya lagi, me­mandangi guru dan murid itu dengan heran.

“Muridku tidak berani memberitahukan kepada kalian, dia yang merasa rendah hati itu hanya berani menceritakan kepadaku. Begini, Liong-te, kalian ten­tu masih ingat ketika terjadi penculikan atas diri puterimu, Suma Lian, oleh Sai-cu Lama yang meroboh­kan bibi Teng Siang In dengan pedang Ban-tok-kiam yang dirampasnya dari gadis she Can itu.”

Ceng Liong dan Bi Eng mengangguk tanpa men­jawab, mendengarkan dengan hati penuh rasa tegang.

“Nah, ketika muridku membawa ibumu pulang dalam keadaan terluka, kalian lalu melakukan pengejaran terhadap Sai-cu Lama yang melarikan puterimu, meninggalkan bibi Teng Siang In berdua dengan Hong Beng. Dalam saat terakhirnya itulah bibi Teng Siang In meninggalkan pesan kepada Hong Beng.”

“Ibuku meninggalkan pesan terakhir kepada­mu? Mengapa engkau tidak menyampaikan pesan itu kepadaku, Hong Beng?” Suma Ceng Liong ber­tanya dan menegur pemuda itu yang tidak mampu menjawab.

“Maafkan muridku, Liong-te. Dia tidak berani melapor dan hanya berani menyampaikan kepadaku, itupun baru-baru saja ini dia katakan. Ibumu ber­pesan agar kelak Hong Beng suka menjadi suami anakmu, dan ia bahkan menyuruh Hong Beng meng­ucapkan janjinya untuk mematuhi pesan terakhir itu! Dan Hong Beng telah mengucapkan janji itu!”

“Aihhh....!” Suami isteri itu berseru kaget dan Suma Ceng Liong mengerutkan alisnya. “Kena­pa ibu meninggalkan pesan seperti itu? Dan kena­pa pula engkau mau berjanji seperti itu, Hong Beng?“

“Saya.... saya tidak berani menolak permin­taan locianpwe yang sudah hampir meninggal dunia itu....“ kata Hong Beng sambil menundukkan mukanya. Mendengar jawaban ini, Ceng Liong dan Bi Eng saling pandang dan merekapun tidak dapat terlalu menyalahkan Hong Beng. Pesan dan permin­taan seorang yang hampir putus nyawanya memang sukar ditolak.

“Dan dia tidak berani melaporkan kepada kali­an karena dia merasa rendah diri. Dia merasa tidak pantas menjadi calon suami puterimu, dan takut ka­lau-kalau kalian menjadi marah kalau dia menyampaikan pesan itu. Akan tetapi di samping itu, dia­pun gelisah sekali karena dia sudah berjanji kepada bibi Teng Siang In, dan dia akan selalu merasa ber­dosa kalau kelak tidak memenuhi janjinya itu. Kare­na itu, dia menjadi gelisah dan menyampaikan pesan itu kepadaku. Nah, adik Suma Ceng Liong, kurasa engkau akan cukup mengerti kalau sekarang aku minta kalian untuk membicarakan urusan perjodoh­an antara puterimu dan muridku.”

Suma Ceng Liong mengangguk-angguk dan Kam Bi Eng mengerutkan alisnya. “Bun-ko, memang tindakanmu ini wajar dan tepat. Dan kamipun bukan bermaksud untuk mengabaikan pesan ibu kandungku sendiri. Akan tetapi, engkau sendiripun tentu telah mengetahui riwayat dari pada perjodoh­an kami berdua. Pilihan orang tua akhirnya tidak cocok dan tidak jadi, dan kami memilih jodoh atas dasar pilihan hati sendiri, bukan pilihan orang tua atau siapapun juga. Oleh karena itu, sudah sejak mempunyai anak, kami suami isteri telah bersepa­kat untuk memberi kebebasan pula kepada anak kami Suma Lian. Ialah yang kelak akan menentukan dengan siapa ia akan menikah. Tak seorangpun bo­leh memaksanya, bahkan andaikata ibuku masih ada­pun, beliau tidak akan kubenarkan kalau memaksa anak kami berjodoh dengan orang yang dipilih ibu­ku.”

Suma Ciang Bun mengangguk-angguk, mengerti. “Jadi kalau begitu, kalian tidak setuju kalau anak kalian Suma Lian berjodoh dengan muridku Gu Hong Beng?”

“Tidak setuju kalau perjodohan itu tidak dikehendaki oleh Suma Lian, tentu saja,” kata Kam Bi Eng yang membenarkan keputusan suaminya itu.

“Bagaimana kalau kelak Suma Lian setuju ber­jodoh dengan Gu Hong Beng?” desak Suma Ciang Bun.

“Kalau memang kehendak anak kami demikian, tentu saja kamipun tidak merasa keberatan, Bun-ko,” kata Suma Ceng Liong dengan suara mantap.

“Bagus, kita telah bicara dengan hati terbuka. Nah, Hong Beng. Sekarang tidak ada yang perlu kaususahkan. Pesan terakhir mendiang bibi Teng Siang In kini telah kita sampaikan kepada orang tua Suma Lian dan merekapun setuju kalau anak itu ke­lak suka menjadi jodohmu. Kini bebaslah penang­gungan hatimu. Kalau kelak Suma Lian suka menja­di isterimu, berarti engkau telah memenuhi pesan terakhir bibi Teng Siang In dan ayah ibu anak itu tidak akan menghalangi dan akan menyetujuinya sehingga semua akan berjalan dengan lancar. Akan tetapi, andaikata Suma Lian tidak setuju dan meno­lak untuk menjadi isterimu, maka tentu saja tali perjodahan itu gagal, akan tetapi kegagalan itu bu­kan karena kesalahanmu sehingga engkau tidak perlu merasa berdosa kepada bibi Teng Siang In.”

Hong Beng cepat menghaturkan terima kasih kepada suhunya, juga kepada Suma Ceng Liong dan isterinya. Hatinya memang terasa lega bukan main. Ketika dia berjanji di depan nenek itu dalam saat terakhir, dia terpaksa sekali dan setelah berjanji, dia merasa terikat. Kini, ikatan itu melonggar dan da­danya terasa lega. Tinggal mudah saja baginya. Dia akan menanti sampai Suma Lian menjadi seorang gadis dewasa, sekitar lima enam tahun kemudian, lalu dia akan menemui gadis itu, menceritakan ten­tang pesan terakhir nenek Teng Siang In dan meli­hat bagaimana sikap dan tanggapan Suma Lian. Ka­lau gadis itu setuju, berarti dia akan menjadi suami gadis itu, mantu dari pendekar Suma Ceng Liong, suatu hal yang merupakan penghormatan besar se­kali baginya. Kalau sebaliknya gadis itu menolak, maka dia akan bebas dari janjinya terhadap pesan nenek itu dan dia akan bebas berjodoh dengan wa­nita manapun juga tanpa merasa berdosa dan me­langgar janji.

Akhirnya keluarga keturunan Pulau Es dan Gu­run Pasir itu saling berpisah dan kembali Kao Cin Liong dan isterinya ditinggal berdua saja, melamun dan terbenam kedukaan kehilangan anak mereka walaupun kini mereka mempunyai harapan karena Pendekar Suling Naga sendiri bersama Bi Lan dan dibantu oleh Bi-kwi pula, yang akan mencari anak mereka sampai dapat. Mereka percaya penuh akan kemampuan Pendekar Suling Naga Sim Houw, apa lagi dibantu oleh dua orang wanita yang memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi itu. Mereka ha­nya dapat menanti, dan berdoa.

“Lihat baik-baik, Hong Li, hari ini akan ada pertunjukan yang amat menarik hati,” kata Sin-kiam Mo-li setelah mengajak muridnya meloncat naik ke atas menara. Kini, setelah memperoleh gemblengan setiap hari dari Sin-kiam Mo-li, gadis cilik itu te­lah mampu melompat naik ke atas menara itu, bah­kan di atas menara itu ia diajar untuk berlatih sama­dhi oleh gurunya.

“Apakah akan terjadi penyerbuan lagi seperti yang dilakukan lima orang tempo hari, subo?” ta­nya Hong Li sambil memandang ke sekeliling. Dari menara itu, nampaklah seluruh daerah kekuasaan gurunya. Rumah tempat tinggal mereka yang dike­lilingi semak-semak belukar dan hutan-hutan kecil buatan yang aneh-aneh, yang penuh dengan jebak­an rahasia dan perangkap-perangkap maut, pasir dan lumpur maut yang mengerikan. Dari atas menara itu Hong Li dapat melihat sampai jauh ke bawah, ke kaki bukit dan sampai ke luar hutan-hutan buatan yang penuh jebakan itu. Akan tetapi ia tidak melihat sesuatu yang luar biasa. Daerah sekitar tempat itu nampak seperti biasa, sunyi saja dan hanya bu­rung-burung yang beterbangan dari pohon ke pohon.

“Aku tidak melihat apa-apa, subo,” katanya.

“Bukan ke situ, lihatlah ke sungai sana.”

Hong Li menengok ke kiri dan terkejutlah ia melihat lima buah perahu menyusuri Sungai Cin-sa. Ia tadi hanya memperhatikan daerah daratan saja, sama sekali tidak memperhatikan sungai itu. Di da­lam lima buah perahu itu terdapat orang-orang yang jumlahnya semua tigapuluh dua orang! Tidak dapat ia melihat dengan jelas keadaan orang-orang itu walaupun ia dapat menghitung mereka dengan mudah. Kini tepat di bagian yang paling dekat de­ngan tempat tinggal subonya, lima buah perahu itu minggir dan semua orang berloncatan ke darat, me­nyeret perahu-perahu itu naik ke atas daratan,

“Hemm, mereka tentu orang-orang Cin-sa-pang yang tolol!” Hong Li mendengar subonya berkata. “Dan sekarang agaknya mereka dibantu dua orang kakek pandai, entah pimpinan mereka sendiri ataukah orang lain.”

Hong Li memandang penuh perhatian dan kini iapun melihat bahwa semua orang telah berkumpul, membuat lingkaran mengelilingi tiga orang yang se­dang bercakap-cakap dengan dua orang kakek. Melihat betapa tiga orang itu berdiri berhadapan dengan dua orang kakek, Hong Li dapat mengerti apa yang dimaksudkan subonya. Agaknya tiga orang itu tentu para pimpinan Cin-sa-pang dan dua orang kakek itulah yang oleh gurunya disebut dua orang kakek pandai. Dilihat dari atas menara, mudah di­duga bahwa para pimpinan itu sedang mengadakan perundingan, mereka itu mungkin sedang mengatur siasat untuk menyerbu ke atas. Hong Li merasa be­tapa jantungnya berdebar saking tegangnya. Teri­ngat ia akan lima orang penyerbu dan diam-diam ia bergidik. Jangan-jangan subonya juga akan mem­bunuh tigapuluh dua orang pendatang itu!

Seolah-olah dapat membaca jalan pikirannya, terdengar Sin-kiam Mo-li berkata, “Orang-orang Cin-sa-pang sungguh tolol dan jahat, berani sekali memusuhi aku yang hidup tenteram di tempat ini.”

“Subo, sebenarnya mengapa mereka itu memu­suhi subo?” Hong Li bertanya, teringat betapa li­ma orang Cin-sa-pang telah dibunuh subonya. “Maksudku, lima orang Cin-sa-pang yang dahulu itu, karena yang sekarang ini tentu ingin membalas atas kematian atau hilangnya lima orang pertama.”

Gurunya mengangguk-angguk. “Engkau benar, tentu saja mereka itu datang menyerbu karena kehi­langan lima orang teman mereka itu dan mereka dapat menduga bahwa lima orang itu tentu tewas di sini. Adapun lima orang dahulu itu, ahh, apa lagi yang mereka kehendaki kecuali niat buruk terhadap kita? Mereka adalah penjahat-penjahat dan agak­nya mereka mendengar bahwa yang tinggal di sini hanyalah wanita-wanita cantik tanpa pria dan ten­tu mereka membayangkan bahwa kita mempunyai banyak harta. Mereka menyerbu untuk merampok dan memperkosa, apa lagi! Engkau tentu masih ingat betapa jahatnya mereka. Seorang di antara mereka kauselamatkan dari ancaman bahaya, dan apa yang telah dia lakukan sebagai balasan? Dia menawanmu!“

Hong Li bergidik. Alangkah jahatnya orang-orang itu, pikirnya. Sama sekali ia tidak tahu bahwa subonya menyembunyikan kenyataan yang berlainan sama sekali dari apa yang dikatakannya tadi. Cin-sa-pang adalah perkumpulan orang-orang yang kasar. Mereka adalah nelayan-nelayan, juga bajak-bajak sungai, dan “pemungut pajak paksaan” dari para nelayan dan petani di sepanjang Sungai Cin-sa. Perkumpulan ini diketuai seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun bernama Louw Pa, seorang be­kas bajak laut tunggal yang dapat mengumpulkan para bajak laut, menundukkan mereka dan mendiri­kan perkumpulan Cin-sa-pang itu. Louw Pa ada­lah seorang ahli silat yang cukup tangguh, terkenal dengan julukan Cin-sa Pa-cu (Macan Tutul Sungai Cin Sa), mungkin karena wajahnya yan bopeng dan totol-totol, tubuhnya tinggi kurus dan dia lihai se­kali memainkan sepasang golok besar.

Louw Pa mempunyai seorang anak laki-laki berusia duapuluh tahun lebih yang berwajah tampan, dan bertubuh gagah, bernama Louw Heng Siok,

Pada suatu hari, ketika Louw Heng Siok sedang naik perahu memancing ikan seorang diri dan pera­hunya tiba di dekat tempat tinggal Sin-kiam Mo-li, wanita ini melihatnya dan tergeraklah hatinya. Bi­arpun ia bukan seorang yang gila laki-laki, namun kehidupan yang kesepian dari wanita ini membuat ia sekali waktu suka mencari hiburan dan setiap kali bertemu dengan pria yang menarik hatinya, tentu ia mempergunakan kecantikan dan kepandai­annya untuk memikat hati pria itu dan memaksanya menjadi kekasihnya untuk beberapa hari, beberapa minggu atau beberapa bulan saja. Setelah ia merasa bosan, ia akan membunuh pria itu agar jangan mengabarkan hal-hal yang memalukan tentang diri­nya. Demikianlah, ketika melihat Louw Heng Siok, Sin-kiam Mo-li merasa tertarik dan tanpa kesu­karan ia berhasil memikat hati pemuda itu karena Louw Heng Siok juga bukan seorang pemuda alim.

Bagaikan seekor laba-laba berhasil menangkap seekor lalat, Sin-kiam Mo-li membawa pemuda itu ke sarangnya dan seperti biasa, setelah ia kekenyang­an mengisap darahnya dan menjadi bosan, pemuda itu dibunuhnya dan dilemparkannya ke dalam lum­pur maut sehingga lenyap tanpa bekas. Hal itu ter­jadi beberapa bulan sebelum ia menculik Hong Li.

Biarpun pembunuhan itu tidak meninggalkan je­jak, namun akhirnya Louw Pa yang kehilangan pute­ranya, merasa curiga. Lima orang anak buahnya melakukan penyelidikan dan merekapun lenyap di tempat yang penuh rahasia itu. Louw Pa sudah melakukan penyelidikan dan mendengar bahwa di bukit yang berada di kaki Pegunungan Heng-tuan-san itu tinggal seorang wanita cantik yang berjuluk Sin-kiam Mo-li, dan dia merasa yakin bahwa wanita inilah yang telah melenyapkan puteranya. Apa lagi ketika lima orang anak buahnya yang melakukan penyelidikan juga lenyap, hatinya penuh dengan kemarahan dan diapun mengumpulkan semua anak buahnya yang berjumlah tigapuluh orang termasuk dia dan dua orang pembantunya. Bahkan dia lalu minta bantuan dua orang temannya yang menjadi bajak di Sungai Lan-cang (Me-kong), yaitu dua kakek yang kini sudah datang bersama dia dan anak buahnya.

“Kalau kau ingin nonton pertunjukan, kau tinggallah saja di sini menjadi penonton,” kata Sin-kiam Mo-li kepada muridnya. “Aku akan mengajak tiga pelayanku untuk menyambut para penyerbu itu!” Berkata demikian, Sin-kiam Mo-li lalu meloncat turun dari atas menara. Gerakannya demikian ri­ngan seperti seekor burung yang terbang saja, di­ikuti pandang mata muridnya penuh kagum. Hong Li merasa amat kagum kepada wanita yang menja­di ibu angkatnya dan juga gurunya itu, menganggap­nya seorang wanita cantik jelita, lemah lembut, dan berhati baik di samping ilmu kepandaiannya yang amat tinggi. Kadang-kadang ia suka membanding­kan gurunya dengan orang tuanya. Ia tidak tahu sia­pa yang lebih lihai antara gurunya dengan mereka.

Kini ia melihat betapa gurunya diikuti oleh Ang Nio, Pek Nio dan Hek Nio keluar dari dalam rumah menuju ke pantai di mana para penyerbu itu tadi ber­kumpul. Dari menara itu ia dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di bawah sana. Orang-orang Cin-sa-pang itu ternyata kini dibagi menjadi dua kelompok dan masing-masing kelompok dipimpin oleh seorang di antara dua kakek itu. Kelompok per­tama yang disertai oleh pimpinan Cin-sa-pang me­nyerbu dari arah sungai itu, yaitu dari timur sedang­kan kelompok ke dua mengambil jalan memutar, dan memasuki daerah berbahaya itu dari arah selatan.

Dengan jantung berdebar Hong Li melihat dari atas menara betapa gurunya dan tiga orang pelayan­nya itu menyelinap dan menuju ke bagian timur, me­nyelinap di antara pohon dan semak-semak belukar. Gurunya memberi petunjuk, jari tangannya menuding ke sana-sini dan tiga orang pembantu itu lalu ber­pencaran, menyelinap di antara pohon-pohon. Pe­dang telanjang mengkilat di tangan tiga orang wanita pembantu yang cantik-cantik akan tetapi juga lihai itu. Diam-diam Hong Li merasa ngeri. Ia tahu bah­wa akan terjadi pembunuhan-pembunuhan lagi dan melihat demikian banyaknya jumlah lawan yang da­tang menyerbu, ia dapat membayangkan betapa tem­pat itu akan menjadi tempat pembantaian dan banyak sekali darah akan mengalir dan mayat bertumpuk-tumpuk walaupun semua mayat dapat dilempar ke dalam kubangan lumpur atau pasir dan akan lenyap tanpa meninggalkan bekas. Ia bergidik.

Tiba-tiba terdengar suara teriakan dan Hong Li melihat seorang di antara anggauta rombongan pe­nyerbu, terperosok ke dalam pasir berputar! Nah, sudah mulai, pikirnya dengan hati penuh kengerian. Dari menara itu ia melihat betapa orang yang terpero­sok itu meronta-ronta dan sebentar saja tubuhnya sudah tersedot pasir sampai ke dada. Akan tetapi, kakek yang memimpin rombongan itu ternyata cerdik juga. Ia telah mengambil segulung tali yang agaknya memang sudah dipersiapkan dan melemparkan ujung tali ke arah orang yang terperosok. Orang itu me­nangkap ujung tali dan diapun ditarik keluar dari ku­bangan pasir maut. Hong Li menarik napas lega. Be­tapapun jahatnya orang-orang itu, hati kecilnya tidak menyetujui niat subonya yang agaknya hendak mem­bunuh mereka semua. Biarpun ia suka sekali mempe­lajari ilmu silat, namun ia tidak suka melihat pembu­nuhan, apa lagi kalau pembunuhan itu dilakukan ha­nya karena urusan sepele saja. Kalau para penyerbu itu memang jahat, ia lebih suka melihat gurunya menghajar mereka saja tanpa membunuh. Pembunuhan mendatangkan suatu rasa ngeri dalam hatinya.

Kini kakek yang memimpin rombongan itu, yang jenggotnya putih panjang, memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk menyerbu terus dan jangan takut menghadapi jebakan-jebakan! Kini melihat betapa seorang temannya yang tadi terjebak dapat ditolong keluar, anak buah Cin-sa-pang itu menjadi berani dan mereka menggunakan golok untuk membabati semak-semak yang menghadang di depan mereka. Berhamburanlah daun-daun dan semak-semak dan Hong Li mengerutkan alisnya. Celaka, pikirnya, orang-orang itu merusak tumbuh-tumbuhan dan tempat tinggal gurunya akan menjadi buruk dan ru­sak keindahannya.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar teriakan-teriak­an dan empat orang di antara rombongan itu roboh, berkelojotan dan tidak mampu bangun kembali. Ka­kek berjenggot panjang dan anak buahnya yang lain terkejut, cepat memeriksa dan mereka terkejut meli­hat bahwa empat orang itu ternyata telah tewas dan di leher mereka nampak luka kecil menghitam dan di dalam luka itu masih nampak ujung sebatang jarum yang telah seluruhnya masuk ke dalam leher! Jelas­lah bahwa empat orang itu tewas karena serangan senjata gelap, jarum-jarum beracun yang amat ber­bahaya.

“Awas senjata rahasia!” teriak kakek itu dan sisa anak buahnya yang tinggal sebelas orang itu bersiap siaga dengan golok di tangan. Akan tetapi yang muncul bukan senjata rahasia, melainkan empat orang wanita yang tadi melepas jarum-jarum beracun itu. Sin-kiam Mo-li dan tiga orang pembantunya sudah berloncatan keluar dari balik semak-semak. Sin-kiam Mo-li marah bukan main melihat rombongan itu membabati tumbuh-tumbuhan di situ.

Kakek berjenggot putih panjang, bajak tunggal yang lihai dari Lan-cang itu segera berseru, “Inilah siluman itu!” Dan diapun sudah menggerakkan pe­dangnya menyerang Sin-kiam Mo-li.

Sedangkan Louw Pa yang berjuluk Cin-sa Pa-cu, sudah memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk menyerbu. Dia sendiri juga menggerakkan sepasang goloknya, membantu si kakek berjenggot panjang untuk mengeroyok Sin-kiam Mo-li. Anak buahnya yang tinggal sepuluh orang lagi itu kini menerjang tiga orang wanita cantik yang berpakaian merah, putih, dan hitam dan segera terjadi perkelahian yang amat seru.

Melihat serangan pedang kakek berjenggot putih, Sin-kiam Mo-li mengeluarkan suara mendengus penuh ejekan dari hidungnya. Biarpun kakek itu ter­masuk seorang bajak tunggal yang lihai, namun me­lihat gerakan pedangnya, Sin-kiam Mo-li maklum bahwa kepandaian kakek itu tidak ada artinya bagi­nya. Dengan amat mudahnya iapun mengelak dari sambaran pedang. Louw Pa, ketua Cin-sa-pang sudah menggerakkan sepasang goloknya. Juga meng­hadapi serangan sepasang golok ini, Sin-kiam Mo-li dengan mudahnya meloncat mundur untuk mengelak. Ketika dua orang lawannya itu menerjang lagi, Sin-kiam Mo-li sudah mencabut pedangnya dan begitu sinar pedang ini berkelebat, terdengar suara nyaring dan sepasang golok di tangan Louw Pa patah-patah!

Louw Pa menjadi pucat sekali dan dia sudah siap untuk meloncat ke belakang, namun terlambat. Ada sinar terang menyambar dan tahu-tahu tubuhnya sudah terjungkal dengan kepala terpisah dari tubuh­nya dan darah muncrat-muncrat dari leher yang terbabat putus oleh pedang di tangan Sin-kiam Mo-li itu! Melihat ini, tentu saja kakek berjenggot pu­tih terkejut bukan main. Tingkat kepandaian Louw Pa hanya sedikit selisihnya dengan kepandaiannya dan dalam segebrakan saja Louw Pa tewas dengan leher putus! Maklumlah dia bahwa wanita itu sungguh lihai bukan main, akan tetapi hal ini sudah terlambat diketahuinya dan tidak ada lain jalan baginya kecuali memutar pedangnya dan menyerang dengan dahsyat.

“Tranggg.... krekkk!” Kembali pedang di tangan bajak laut itu patah dan sebelum dia sempat mengelak, pedang di tangan Sin-kiam Mo-li sudah terbenam ke dalam dadanya! Sin-kiam Mo-li mencabut pedangnya sambil menendang tubuh di depan­nya itu. Tubuh kakek itu terlempar diikuti ceceran darah dari dadanya dan tubuhnya terlempar masuk ke dalam kubangan lumpur. Sebentar saja ular-ular sudah menyeretnya tenggelam ke dalam lumpur itu.

Melihat betapa tiga orang pelayannya dikepung oleh sepuluh orang anak buah Cin-sa-pang, dengan geram Sin-kiam Mo-li menerjang maju, pedangnya berkelebatan dan berturut-turut terdengar orang menjerit dan empat orang di antara para pengeroyok itu roboh mandi darah terkena sambaran pedang Sin-kiam Mo-li. Menggiriskan sekali memang gerakan pedang wanita ini, dahsyat dan panas sehingga tidak mengherankan kalau ia dijuluki Iblis Betina Pedang Sakti.

Pada saat itu, di bagian selatan nampak ada asap tebal bergulung-gulung. Melihat ini, Sin-kiam Mo-li terkejut dan tahulah ia bahwa rombongan ke dua telah beraksi. Melihat bahwa jumlah pengeroyok tinggal enam orang dan tiga orang pelayannya cukup kuat untuk mengatasi enam orang itu, Sin-kiam Mo-li berkata kepada mereka, “Bunuh mereka semua, ja­ngan sampai ada yang lolos!” Setelah berkata demi­kian iapun meloncat dan berlari cepat menuju ke tem­pat kebakaran di selatan.

Dari atas menara, Hong Li nonton semua itu dan mukanya berubah agak pucat, alisnya berkerut dan hatinya diliputi kengerian. Ia tadi melihat betapa gurunya menyebar maut dan masih bergidik ia melihat orang tinggi kurus yang memegang sepasang golok itu dibabat buntung lehernya oleh pedang subonya. Meli­hat pembantaian itu, beberapa kali ia memejamkan matanya dan hatinya terasa kacau dan gelisah. Rasa sayang yang mulai tumbuh di dalam hatinya terhadap subonya kini menjadi dingin. Tak disangkanya, subo­nya yang demikian ramah tamah, lemah lembut dan nampaknya penuh kasih sayang, dapat bertindak se­kejam itu, membunuhi orang seperti membunuh nya­muk saja! Pada hal, sejak kecil ayah dan ibunya se­lalu mengajarnya agar menjadi seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, bukan menjadi pembunuh manusia mengandalkan ilmu silat yang di­pelajarinya. Bahkan ayah bundanya selalu mencela perbuatan orang yang menggunakan ilmu silat sembarangan membunuh orang lain. Antara lain ayahnya pernah berkata bahwa mungkin sekali kita membu­nuh orang lain dalam usaha membela diri dan mem­basmi kejahatan, akan tetapi bukan membunuh dengan tangan dingin terhadap lawan yang tidak mampu melawan. Membunuh untuk menghindarkan diri dari ancaman maut dan membunuh untuk menghindarkan perbuatan jahat dilakukan orang, berbeda dengan membunuh lawan yang tidak berdaya atau tidak mampu melawan. Dan subonya tadi membunuhi la­wan yang jelas bukan menjadi lawannya. Baru sege­brakan saja subonya telah membunuh tujuh orang berikut yang diserang dengan jarum beracun, dan kini tiga orang pelayan itu sedang berusaha keras untuk membunuh enam orang lagi, setelah merekapun sudah membunuh tiga orang lawan dengan jarum mereka.

Akan tetapi perhatian Hong Li tertarik oleh gerakan subonya yang berlari cepat menuju ke selatan. Di sana ia melihat rombongan yang lain dari orang-orang Cin-sa-pang sedang membabati semak-semak, bahkan menumbangkan pohon-pohon dan sebagian malah membakar semak-semak! Ada pula tadi di antara mereka yang terperosok ke dalam kubangan lumpur dan pasir maut, namun teman-temannya, dipimpin oleh kakek berkepala botak, menyelamatkan mereka yang terperosok itu dengan tali. Dan kini, sambil membabat dan membakar sana-sini, rombongan ini terus maju menuju ke rumah yang nampak gen­tengnya dari tempat mereka merusak tumbuh-tum­buhan itu.

Akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan berkele­bat dan tahu-tahu seorang wanita cantik yang me­megang pedang telah berada di depan mereka. Wanita cantik itu mengerutkan alisnya dan memandang dengan sepasang mata berkilat-kilat.

Akan tetapi hal lain yang menarik perhatian Hong Li. Agaknya hanya ia seorang yang dapat melihat munculnya belasan orang dari arah selatan. Belasan orang ini berpakaian putih-putih dan di depan mere­ka berjalan tujuh orang yang berpakaian seperti pen­deta dengan jubah panjang, rambut panjang digelung tinggi di atas kepala dan dari jauh saja Hong Li dapat menduga bahwa tujuh orang itu, yang bentuk tubuh­nya berbeda-beda, tentulah pendeta-pendeta To sedangkan belasan orang berpakaian seragam putih itu berjalan berpasangan seperti sebuah pasukan kecil! Ketika tiba di luar hutan yang menjadi batas daerah tempat tinggal subonya, rombongan orang itu ber­henti, kemudian hanya tujuh orang pendeta itu yang terus memasuki hutan dan diam-diam Hong Li ter­kejut melihat betapa tujuh orang pendeta itu amat lihainya, meloncati begitu saja tempat-tempat jebakan dan kubangan-kubangan maut seolah-olah mereka telah hafal akan keadaan di tempat itu. Dan tak lama kemudian tujuh orang pendeta itu telah mendekati tempat di mana subonya sedang berhadapan dengan rombongan orang Cin-sa-pang.

Dengan kemarahan meluap melihat tempatnya dirusak orang, Sin-kiam Mo-li membentak, “Orang-orang Cin-sa-pang, kalau hari ini aku tidak dapat menumpas kalian semua, jangan sebut aku Sin-kiam Mo-li!“

Melihat munculnya wanita ini, kakek botak yang memimpin pasukan orang Cin-sa-pang itu mem­beri aba-aba dan belasan orang itu lalu mengepung Sin-kiam Mo-li. Sebelum Sin-kiam Mo-li ber­gerak, tiba-tiba terdengar suara orang dan ternyata di situ telah muncul tujuh orang tosu.

“Siancai, Sin-kiam Mo-li yang gagah perkasa tak perlu turun tangan sendiri. Pinto dan teman-teman akan membasmi tikus-tikus kurang ajar ini!” Sebelum Sin-kiam Mo-li sempat menjawab, tujuh orang itu telah menerjang. Mereka semua bertangan kosong menerjang kepungan itu dari luar. Orang-orang Cin-sa-pang terkejut dan menggerakkan golok untuk menyambut, akan tetapi mere­ka itu seperti sekumpulan laron melawan api saja. Dalam beberapa gebrakan saja, enambelas orang termasuk kakek botak telah roboh semua terkena tamparan-tamparan tangan tujuh orang tosu tadi. Demikian mudahnya tujuh orang tosu itu memukul roboh dan menewaskan enambelas orang itu sehing­ga Sin-kiam Mo-li sendiri terkejut dan kini ia memandang kepada tujuh orang tosu itu dengan alis berkerut, penuh curiga, juga khawatir karena ia maklum bahwa kalau ia harus melawan tujuh orang tosu ini, tentu berbahaya karena mereka ini adalah lawan lawan berat, bukan seperti orang-orang Cin-sa-pang yang tak tahu diri itu.

“Hemm, siapakah cu-wi totiang (bapak pende­ta sekalian), dan mengapa mencampuri urusanku tanpa kuminta?” Sikapnya cukup hormat akan te­tapi juga tegas dan mengandung teguran-teguran karena hatinya merasa tidak senang bahwa ada orang-orang yang memperlihatkan kepandaian me­nolongnya, seolah-olah ia tadi terancam bahaya dan tidak akan mampu menolong diri sendiri.

Seorang di antara mereka, kakek tinggi kurus berwibawa yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua, membawa sebatang tongkat yang setinggi tubuhnya, kakek yang usianya sudah tujuhpuluh tahun lebih namun masih nampak segar dan penuh semangat, segera menjura. “Sin-kian Mo-li, ha­rap maafkan pinto sekalian. Sudah lama pinto seka­lian mendengar nama besar toanio (nyonya), akan tetapi belum sempat berkenalan. Kebetulan kami lewat bersama teman-teman dan timbullah keingin­an untuk bertamu dan menyampaikan hormat kami. Melihat toanio dihadapi orang-orang kurang ajar itu, kami sebagai tamu merasa berkewajiban untuk turun tangan, mewakili toanio menghajar mereka.

Harap mau memaafkan kelancangan kami dan menganggap hal itu sebagai uluran tangan persahabatan kami.”

Sin-kiam Mo-li merasa senang melihat sikap yang hormat dari kakek itu, dan kini ia dapat meli­hat tanda gambar pat-kwa di dada kakek itu, dan gambar bunga teratai di dada beberapa orang kakek lain. Tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan tosu-tosu dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, dua perkumpulan yang amat besar pengaruhnya, memiliki banyak orang pandai, pandai silat dan pandai sihir, dan mereka terkenal sebagai pemberontak-pemberontak yang menentang pemerintah. Maka, iapun tidak berani main-main. Lebih baik bersahabat dari pada bermusuhan dengan orang-orang seperti mereka. Pula, mereka sudah memperlihatkan sikap bersahabat, maka iapun membalas penghormatan mereka.

“Terima kasih, cu-wi totiang baik sekali. Tidak tahu ada urusan penting apakah yang membawa cuwi datang mengunjungi tempatku yang sunyi ter­pencil ini.”

“Toanio, bagaimana kalau kita bicara saja di dalam rumah? Kami membawa bahan percakapan yang amat penting.”

Pada saat itu, muncullah Ang Nio, Pek Nio dan Hek Nio. Mereka telah selesai pula membunuh enam orang sisa rombongan musuh yang tadi diting­galkan Sin-kiam Mo-li. Melihat tiga orang pela­yannya, Sin-kiam Mo-li cepat bertanya.

“Bagaimana dengan musuh-musuh itu?”

“Semua sudah tewas dan mayat-mayatnya sudah kami lenyapkan,” kata Ang Nio.

“Bagus, sekarang Pek Nio dan Hek Nio me­nyingkirkan mayat-mayat ini, dan engkau Ang Nio ikut bersamaku menyambut para tamu! Marilah, cuwi totiang, kita bicara di dalam rumah saja,” ka­tanya mempersilahkan tujuh orang tosu itu. Dengan wajah gembira tujuh orang pendeta itu mengikuti Sin-kiam Mo-li dan beberapa orang di antara me­reka tadi memandangi tiga orang pelayan cantik itu dengan mata mengandung gairah.

Sementara itu, Hong Li yang menyaksikan pem­bunuhan yang dilakukan oleh rombongan tosu itu, menjadi semakin ngeri dan heran. Bagaimana ada pendeta-pendeta yang demikian kejamnya, dalam waktu singkat membunuh enambelas orang demiki­an mudahnya dengan pukulan-pukulan tangan dan tendangan kaki mereka. Selain lihai bukan main, juga para pendeta itu ternyata amat ganas dan ke­jam, hal yang sama sekali tidak dimengertinya. Menurut apa yang diceritakan ayah bundanya, para pendeta adalah orang-orang yang taat beragama, yang menjauhkan perbuatan jahat. Akan tetapi mengapa sejak pertemuannya dengan Ang I Lama, juga seorang pendeta, sampai sekarang melihat tu­juh orang tosu itu, para pendeta itu demikian jahat­nya? Dan bagaimana pula subonya yang dianggap sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa, kini mau menerima bantuan para pendeta kejam itu, bahkan kini mengajak tujuh orang pendeta itu me­nuju ke rumah sebagai tamu yang dihormati? De­ngan hati mengandung perasaan tak enak dan pena­saran, Hong Li turun dari menara itu dan masuk pula ke dalam rumah.

Setelah tiba di dalam, ia langsung menuju ke ruangan dalam di mana ia mendengar suara para pendeta itu bercakap-cakap dengan gurunya. Ia masuk dan melihat subonya duduk bersama tujuh orang pendeta itu menghadapi sebuah meja bundar dan Ang Nio sibuk mengeluarkan arak dan hidang­an. Kembali Hong Li terkejut. Para pendeta itu minum arak pula! Dan hidangan-hidangan itupun semuanya berdaging!

Ketika mereka yang sedang bercakap-cakap itu melihat munculnya Hong Li, percakapan mereka terhenti dan Sin-kiam Mo-li berkata kepada mu­ridnya, “Hong Li, engkau. bantulah Pek Nio dan Hek Nio berjaga-jaga di luar, waspadalah kalau-kalau ada lagi musuh datang menyerbu. Jangan ma­suk ke sini sebelum kupanggil karena aku sedang membicarakan urusan penting dengan para pendeta yang terhormat ini.”

Hong Li mengerutkan alisnya, sejenak meman­dang kepada tujuh orang pendeta yang kesemuanya juga menengok kepadanya “Baik, subo,” katanya lalu pergi dari ruangan itu. Akan tetapi ia masih mendengar ucapan-ucapan para tosu itu yang mem­buatnya mendongkol.

“Itu muridmu? Aih, ia cantik dan berbakat sekali!”

“Manis dan mungil!”

Dan terdengar kata-kata pujian lain yang ditu­jukan untuk memuji kecantikan dan kemanisannya. Sungguh menyebalkan, pikirnya. Biarpun pujian bahwa ia cantik manis merupakan pujian biasa, akan tetapi di dalam suara para tosu itu terkandung sesu­atu yang menyebalkan hatinya, juga pandang mata mereka tadi disertai senyum menyeringai! Seketika timbul rasa tidak suka di dalam hatinya terhadap para pendeta ini, mungkin pertama kali timbul melihat mereka membunuhi orang-orang Cin-sa-pang tadi.

Setelah keluar dari ruangan itu, Hong Li keluar dari dalam rumah, akan tetapi ia tidak pergi mencari Pek Nio dan Hek Nio. Hatinya sedang mengkal dan iapun tidak bernapsu untuk membantu dua orang itu. Ia bukan hanya kecewa dan mendongkol terhadap subonya yang membunuhi orang, terhadap tujuh orang pendeta itu, akan tetapi juga mendong­kol terhadap tiga orang pelayan yang dianggapnya juga kejam dan pembunuh-pembunuh berdarah di­ngin! Maka ia lalu pergi ke taman bunga di bela­kang, tempat yang paling disenanginya, tempat di mana ia selalu pergi menghibur diri di waktu ia merasa rindu kepada orang tuanya. Dan sekarang­ ini ia merasa amat rindu karena guncangan batin yang dideritanya menyaksikan pembantaian tadi.

Rombongan para tosu itu memimpin belasan orang anak buah Pek-lian-pai. Tujuh orang tosu itu adalah tokoh-tokoh Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, dipimpin sendiri dalam kunjungan mereka kepada Sin-kiam Mo-li oleh wakil ketua Pat-kwa-pai, yaitu Thian Kong Cin-jin. Di antara mereka terdapat pula sutenya, yaitu Ok Cin Cu tokoh Pat-kwa-pai. Adapun yang empat orang lain adalah tokoh-tokoh Pek-lian-pai yang dipimpin oleh Thian Kek Seng-jin, dan tiga orang adalah sutenya, Coa-ong Seng-jin si ahli ular, dan dua orang sute lain yang bernama Ang Bin Tosu si muka merah dan Im Yang Tosu yang congkak. Tujuh orang pendeta ini merupakan tokoh-tokoh tingkat tinggi dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai dan mereka sengaja diutus oleh kedua pimpinan partai itu untuk meng­hubungi Sin-kiam Mo-li dan membujuk wanita sakti itu untuk bergabung dengan mereka dan mem­perkuatpasukan pemberontak mereka.

Dengan panjang lebar, para tosu itu menceritakan tentang perjuangan mereka, tentang harapan-harap­an dan pamrih yang muluk-muluk dalam gerakan mereka, sambil memamerkan kekuatan pasukan me­reka, membujuk wanita itu untuk bergabung. Mu­la-mula Sin-kiam Mo-li merasa ragu-ragu, akan tetapi ketika diingatkan bahwa wanita ini memiliki musuh-musuh yang berpihak kepada Kerajaan Mancu, yaitu keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir, diingatkan betapa ibu angkatnya, Kim Hwa Nio-nio, juga tewas di tangan keluarga itu dan ka­lau bergabung dengan mereka maka wanita itu lebih kuat dan lebih mudah membalas dendam, akhirnya Sin-kiam Mo-li menerima uluran tangan itu. De­ngan gembira para tosu itu lalu mengatur rencana bersama Sin-kiam Mo-li, mengangkat wanita itu menjadi pemimpin pasukan yang terdiri dari angauta-anggauta kedua partai itu bersama rakyat yang dapat mereka bujuk, memimpin pasukan dan bergerak dari barat. Mereka bercakap-cakap de­ngan asyiknya sambil makan minum. Tak lama ke­mudian, para tosu yang lihai itu sudah terpengaruh arak, wajah mereka sudah menjadi merah, mereka tertawa-tawa dan kata-kata mereka semakin terle­pas bebas. Tak lama kemudian Ang Nio yang tadi hanya seorang diri saja melayani para tamu, kini di­bantu oleh Pek Nio dan Hek Nio yang sudah kem­bali setelah selesai menyingkirkan semua mayat mu­suh yang berserakan. Datangnya dua orang pelayan cantik ini menambah kegembiraan para tosu dan mereka berpesta pora dengan gembira.

***

Ketika para tosu itu membunuhi enambelas orang Cin-sa-pang, ada dua orang bersembunyi dan mengintai dari puncak sebatang pohon besar, agak jauh dari tempat itu. Kedua orang ini adalah Sim Houw dan Bi Lan. Mereka berdua sempat menon­ton pembantaian yang dilakukan tujuh orang tosu itu tanpa mampu turun tangan mencampuri karena ketika mereka naik ke atas pohon besar dan mengintai lalu dapat melihat perkelahian itu, hampir se­mua anggauta Cin-sha-pang sudah terbunuh. Kedua orang pendekar ini bergidik penuh kengerian me­nyaksikan kekejaman itu, akan tetapi mereka juga terkejut melihat kehadiran para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw di tempat itu.

“Wah, kiranya mereka baru datang,” kata Sim Houw kepada kekasihnya. “Kalau mereka sudah menggabungkan diri dengan wanita itu, keadaan di sini tentu amat kuat. Kita tidak boleh sembrono memasuki tempat ini, harus menyelidiki lebih dahu­lu apakah benar nona Hong Li berada di sini seperti yang kita duga.”

Bi Lan mengangguk. “Memang berbahaya sekali tempat ini. Para tosu itu sudah amat lihai dan kalau mereka itu memilih Sin-kiam Mo-li sebagai seku­tu, tentu wanita itupun lihai bukan main. Apa lagi kalau diingat bahwa ia adalah anak angkat mendiang Kim Hwa Nio-nio yang sakti. Kita memang harus berhati-hati. Lihat itu!”

Keduanya memandang dan kini melihat betapa Sin-kiam Mo-li meninggalkan tempat itu bersama tujuh orang tosu, diikuti oleh pelayan berpakaian merah yang cantik itu. Kemudian mereka melihat betapa dua orang gadis lain, yang berpakaian serba putih dan serba hitam, juga cantik-cantik, menyeret mayat-mayat yang berserakan dan melemparkan mayat-mayat itu ke dalam dua kubangan, pasir dan lumpur. Dan mereka melihat dengan hati ngeri betapa mayat-mayat itu disedot masuk dan tengge­lam ke dalam kubangan-kubangan itu, kemudian lenyap tanpa meninggalkan bekas.

“Hemm, kubangan-kubangan itu amat berba­haya,” kata Sim Houw. “Merupakan perangkap yang mengerikan, Sekali kaki terperosok, akan su­karlah untuk keluar lagi. Dan lihat, kedudukan semak-semak belukar dan pohon-pohon itu, de­mikian teratur rapi merupakan barisan yang aneh. Aku yakin bahwa tempat ini memang merupakan tempat berbahaya yang mengandung penuh rahasia dan jebakan. Lihat, bukankah pohon-pohon itu tum­buh secara teratur dan dari sini berbentuk pat-kwa (segi delapan)! Pernah aku mendengar tentang ilmu mengatur barisan yang ditrapkan untuk membuat lorong-lororg rahasia yang menyesatkan dan berbahaya. Agaknya Sin-kiam Mo-li ahli pula dalam ilmu ini. Kita selidiki dulu dari luar, baru besok menyelinap ke dalam dengan hati-hati. Sukur ka­lau tujuh orang tosu itu sudah meninggalkan tempat ini.”

Dua orang pendekar itu lalu turun dan mulai melakukan penyelidikan di sekitar tempat itu. Da­lam penyelidikan inilah mereka melihat belasan anak buah Pek-lian-pai yang bergerombol dan menanti kembalinya para pimpinan mereka yang kini menjadi tamu Sin-kiam Mo-li. Juga mereka melihat lima buah perahu kosong yang tadi dipergunakan orang-orang Cin-sa-pang untuk menyerbu tempat itu.

“Lihat itu,” Sim Houw tiba-tiba menunjuk ke sebuah jalur air yang berkelak-kelok seperti ular. “Itu merupakan jalan air yang mengalir dari bukit menuju ke Sungai Cin-sa ini. Tentu air hujan yang turun ke atas bukit itu mengalir melalui jalan air itu dan kiranya jalan itulah yang paling aman.”

“Akan tetapi, perlukah kita demikian berhati-hati sehingga kita harus masuk melalui jalan yang aman dan tersembunyi seperti pencuri? Koko, mengapa kita tidak masuk saja melalui jalan biasa, menghadapi semua jebakan dan terang-terangan minta bertemu dengan Sin-kiam Mo-li, dan kita minta dikembalikannya Hong Li?”

Sim Houw menggeleng kepala tidak setuju. “Lan-moi, kita berurusan dengan pembebasan seorang tawanan, maka kita harus berlaku hati-hati agar jangan sampai kita gagal menyelamatkan nona Hong Li. Kalau kita masuk berterang, maka terda­pat banyak bahaya. Sin-kiam Mo-li dapat saja le­bih dahulu menyembunyikan anak itu sehingga tidak terdapat bukti bahwa ia yang menculiknya. Bahkan dapat saja ia membunuh anak itu untuk menghi­langkan jejak., Pula, dengan adanya tujuh orang tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw itu, lawan kita akan menjadi semakin berat.”

“Akan tetapi kita dibantu oleh suci! Ah, mana suci Siu Kwi? Kenapa ia belum juga muncul?”

“Aku di sini, sumoi!” Sesosok bayangan ber­kelebat dan Bi-kwi telah berdiri di depan mereka. Wajah wanita ini menjadi agak pucat. “Apakah kalian melihat apa yang kusaksikan tadi?” Ia ber­gidik ngeri. Ia tadi memang sengaja berpencar de­ngan Bi Lan dan Sim Houw. Kalau kedua orang itu melakukan penyelidikan dengan jalan memutar dari barat ke selatan, lalu ke timur, Bi-kwi melakukan penyelidikan dari barat ke utara lalu ke timur dan kini mereka bertemu di sebelah timur tempat itu.

“Pembantaian yang dilakukan oleh tujuh orang tosu itu terhadap belasan orang yang menyerbu?” tanya Bi Lan.

Bi-kwi mengangguk. “Bukan cuma itu, juga di dekat sungai telah dibantai pula belasan orang. Sedikitnya tigapuluh orang yang tewas di tangan Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya. Ihhh, wanita itu sungguh lihai bukan main, juga memiliki kekejaman yang mengerikan!” Diam-diam Bi Lan merasa heran di dalam hatinya. Sucinya memang benar telah berubah kalau dibandingkan dengan da­hulu. Dahulu, sebelum sucinya bertemu dengan Yo Jin, perbuatan yang dilakukan oleh Sin-kiam Mo-li itu belum tentu membuat matanya berkedip, apa pula merasa ngeri! Agaknya kini perasaan hati Bi-kwi juga sudah berubah sama sekali sehingga menyaksikan perbuatan kejam dilakukan orang, wajahnya sampai menjadi pucat dan suaranya agak gemetar.

“Dan tujuh orang pendeta itupun memiliki kepandaian tinggi. Tadi kami sempat menyaksikan ketika mereka membunuh belasan orang itu. Gerak­an mereka jelas membuktikan bahwa mereka adalah ahli-ahli silat tingkat tinggi yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan,” kata Sim Houw.

Bi-kwi mengangguk. “Kita harus mengatur siasat, tidak boleh bertindak sembrono karena tem­pat ini penuh dengan jebakan-jebakan berbahaya. Dulu, tiga orang suhu Sam Kwi pernah bicara ten­tang lorong rahasia yang mempergunakan bentuk pat-kwa. Sayang aku belum pernah mempelajari­nya karena ketika itu kuanggap tidak perlu. Siapa kira sekarang kita dihadapkan dengan tempat yang dilindungi oleh lorong-lorong rahasia pat-kwa yang sulit dan berbahaya.”

“Sebaiknya kalau kita berunding dulu di tem­pat penginapan kita. Besok saja kita turun tangan karena sebentar lagi tentu hari menjadi gelap dan lebih berbahaya lagi masuk ke tempat seperti ini. Mudah-mudahan besok para tosu itu telah pergi sehingga gerakan kita akan berhasil tanpa banyak kesukaran,” kata Sim Houw.

Dua orang wanita itu setuju dan merekapun cepat meninggalkan tempat itu, menuju ke kota Te­ken di sebelah barat, kota yang kecil akan tetapi cukup ramai dan mereka bermalam di satu-satunya rumah penginapan yang ada di kota itu. Setelah tiba di tempat penginapan dan makan sore, malam itu mereka bertiga mengadakan perundingan dan mengatur siasat.

“Tidak ada lain jalan yang lebih baik,” akhir­nya Bi-kwi berkata setelah mendengarkan penda­pat Sim Houw dan Bi Lan, “kecuali menggunakan siasat bersahabat. Kalau kita mempergunakan keke­rasan menyerbu, tentu anak itu akan disingkirkan lebih dulu dan kalau sudah demikian, sukarlah bagi kita untuk mencarinya. Tanpa bukti adanya anak itu, kita tidak mampu berbuat apa-apa terhadap Sin-kiam Mo-li. Maka, mengingat bahwa ia adalah anak angkat dari mendiang Kim Hwa Nio-nio, paling baik kalau aku datang berkunjung sebagai seorang sahabat, sebagai seorang dari satu golong­an.”

“Akan tetapi, suci! Siapa bilang engkau satu golongan dengan orang macam Sin-kiam Mo-li yang kini bergabung dengan para pemberontak Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw? Mereka adalah orang-orang jahat, dari golongan sesat, sedangkan engkau....“

Bi-kwi melambaikan tangan. “Sudahlah, sumoi. Lupakah engkau siapa aku ini dahulu? Memang aku telah mencuci tangan dan hatiku, akan tetapi semua ini hanya dipergunakan sebagai siasat saja. Mengingat bahwa aku adalah murid Sam Kwi, tentu ia mau menerimaku sebagai tamu, apa lagi meng­ingat bahwa aku pernah bekerja sama dengan ibu angkatnya. Tentu ia ingin sekali mendengar dari mulutku sendiri yang dulu bekerja sama dengan Kim Hwa Nio-nio, tentang perkelahian itu dan bagai­mana ibu angkatnya tewas. Nah, sebagai tamu, aku tentu akan dapat bertemu dengan anak itu kalau memang benar anak itu berada di sana. Ia tentu tidak akan merahasiakan adanya anak itu di sana terhadapku yang sama sekali tidak akan dicuri­gainya. Kalau sudah demikian, berarti kita mem­peroleh dua keuntungan. Pertama, akan ada kepas­tian apakah anak itu berada di sana dan ke dua, aku sudah mengenal jalan yang aman memasuki daerah itu.”

Sim Houw mengangguk-angguk dan Bi Lan me­rasa girang sekali. “Ah, bagus sekali, suci. Agak­nya memang itulah jalan terbaik bagi kita. Untung sekali bahwa engkau telah ikut membantu kami, su­ci.”

“Aih, sumoi, jangan memuji dulu. Ini baru rencana, simpanlah pujianmu sampai kita berhasil.”

Mereka bercakap-cakap sampai jauh malam dan diam-diam Sim Houw maupun Bi Lan melihat ke­nyataan betapa wanita yang dulunya menjadi iblis betina itu kini benar-benar telah berubah. Apalagi ketika Bi-kwi bercerita tentang Yo jin, di dalam kata-katanya itu penuh berhamburan nada cin­ta kasih yang mendalam terhadap suaminya itu se­hingga Bi Lan merasa terharu sekali.

Kebaikan tidak mungkin dilatih atau dipelajari. Kebaikan tidak mungkin dilakukan dengan sengaja karena kalau kebaikan dilakukan dengan sengaja, dengan kesadaran bahwa perbuatan itu merupakan kebaikan, maka itu bukan lagi kebaikan namanya, melainkan perbuatan yang sudah teratur dan kare­nanya berpamrih. Dan perbuatan apapun yang me­ngandung pamrih, dapatkah dinamakan kebaikan? Yang dinamakan pamrih adalah harapan untuk mencapai sesuatu demi keuntungan diri pribadi, baik itu keuntungan lahir maupun keuntungan batin.

Segala bentuk perbuatan, yang dinamakan baik maupun buruk, adalah akibat dari pada keadaan pikiran, keadaan batin. Baik buruknya setiap per­buatan ditentukan oleh keadaan batin. Oleh karena itu, bukan perbuatan yang harus dirobah, yang harus dilatih atau dipelajari karena perbuatan hanya me­rupakan akibat dari keadaan batin. Yang perlu di­robah adalah batin sendiri, keadaan batin itu sendiri. Bukan dirobah oleh kita, karena kalau demikian, hal itu merupakan suatu perbuatan berpamrih yang lain. Bukan dirobah, melainkan BEROBAH! Jadi, per­buatan yang dinamakan perbuatan baik tidak terpi­sah dari keadaan batin, demikian perbuatan yang dinamakan buruk atau jahat. Batinlah yang menentukan, keadaan batin yang mendorong setiap perbuatan. Kalau batin tenang dan bersih, dapat­kah kita melakukan perbuatan yang buruk dan ja­hat? Sebaliknya, kalau batin keruh dan kacau, ma­na mungkin kita dapat melakukan perbuatan bersih dan baik?

Dan batin baru dalam keadaan hening, tenang, bersih, berimbang, tegak dan lurus, bersih dan be­ning, kalau tidak dikeruhkan dan disibukkan oleh pikiran! Pikiranlah yang membentuk AKU dan si aku inilah yang merajalela mengaduk batin, dengan segala keinginannya, mengejar dan mengulang kese­nangan, mengelak dan menjauhi yang tidak menye­nangkan. Si aku menyeret batin ke dalam lingkaran setan yang tiada berkeputusan antara baik dan bu­ruk, senang dan susah, puas dan kecewa, suka dan duka, dan setiap saat batin menjadi keruh, menjadi sumber dari segala rasa takut, marah, benci, iri, tamak, prasangka yang menjadi permainan si aku dan akhirnya hanya duka dan sengsara yang menjadi bunga kehidupan kita.

Untuk dapat menyelami semua ini, kita hanya tinggal menjenguk isi batin sendiri, mengamati batin kita sendiri saat demi saat, hidup dalam keadaan sekarang ini, menghapus yang lalu dan menyingkir­kan yang akan datang agar kita dapat sepenuhnya hidup di saat ini. Pengamatan terhadap diri sendiri lahir batin sajalah yang akan membuat kita waspa­da, tidak lagi menjadi boneka permainan nafsu, ti­dak ada lagi si aku merajalela dan yang ada hanyalah kewaspadaan dan kesadaran.

***

Belum lama setelah Sim Houw, Bi Lan dan Siu Kwi (Bi-kwi) pergi meninggalkan daerah tempat tinggal Sin-kiam Mo-li, menjelang sore, nampak­lah seorang pemuda datang ke tempat itu seorang diri saja. Pemuda berusia duapuluh satu tahun ku­rang lebih, bertubuh tegap dengan muka bersih ce­rah, tampan, dengan pakaian sederhana berwarna biru. Pemuda ini adalah Gu Hong Beng! Bagaimana pemuda itu tiba-tiba saja dapat muncul di sini?

Kiranya Hong Beng mendengar ketika Kao Cin Liong bercerita kepada Suma Ciang Bun tentang Sin-kiam Mo-li seperti yang diceritakan oleh Bi Lan betapa Bi Lan dan Sim Houw hendak melaku­kan penyelidikan kepada wanita iblis itu yang mencurigakan dan mengingat bahwa wanita itu adalah anak angkat mendiang Kim Hwa Nio-nio maka patut dicurigai sebagai penculik Hong Li untuk membalas dendam atas kematian ibu angkatnya.

Mendengar cerita tentang Sin-kiam Mo-li ini, yang menurut penuturan dalam percakapan itu ting­gal di kaki Heng-tuan-san di tepi Sungai Cin-sa tapal batas Propinsi Se-cuan, hati Hong Beng ter­tarik sekali. Penculik itu telah diketahui, dan kini Bi Lan, Bi-kwi dan Sim Houw pergi ke sana! Ha­tinya merasa tidak puas dan bahkan tidak enak. Bagaimana keluarga Kao percaya kepada tiga orang itu, terutama kepada Bi-kwi? Tidak sepatutnya dan tidak semestinya kalau tugas menyelamatkan diserahkan kepada tiga orang yang masih amat meragukan itu. Siapa tahu mereka itu bahkan akan bersekutu dengan Sin-kiam Mo-li, maklum sama-sama sesat! Dan timbul pula rasa iri di dalam hati­nya. Sepantasnya dialah yang pergi menyelamatkan Hong Li dan mempertaruhkan nyawa untuk mem­bela keluarga itu! Bukan orang orang macam Sim Houw, Bi Lan dan Bi-kwi!

Pikiran inilah yang mendorong Hong Beng untuk berpamit kepada gurunya setelah me­reka meninggalkan Pao -teng. Kepada suhunya dia hanya mengatakan bahwa dia ingin merantau melu­askan pengetahuannya dan minta waktu selama satu tahun, baru dia akan menyusul suhunya. Suma Ciang Bun menyetujui dan merekapun saling berpisah. Setelah melakukan perjalanan seorang diri, Hong Beng mempergunakan ilmu berlari cepat me­nuju ke barat. Dia ingin mendahului Sim Houw, Bi Lan dan Bi-kwi untuk lebih dulu di tempat tu­juan dan lebih dahulu menyelamatkan Kao Hong Li.

Maka ketika pada siang hari menjelang sore itu dia tiba di tempat tujuan, dia segera akan memulai dengan usahanya mencari Hong Li, tidak tahu bah­wa baru beberapa jam yang lalu, tiga orang yang hendak didahuluinya itu baru saja meninggalkan tempat itu. Juga dia tidak tahu bahwa kini di ru­mah Sin-kiam Mo-li terdapat tujuh orang tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw yang amat lihai. Kalau saja Hong Beng bertindak lebih hati-hati, tentu dia akan memeriksa keadaan sekeliling dan akan melihat belasan anak buah Pek-lian-kauw yang berada di sebelah selatan hutan.

Dengan penuh semangat, penuh keberanian akan tetapi cukup berhati-hati, Hong Beng memasuki hu­tan pertama di kaki Pegunungan Heng-tuan-san itu. Dari jauh tadi dia sudah melihat genteng rumah besar di antara gerombolan pohon di lereng itu dan menduga bahwa itulah rumah Sin-kiam Mo-li yang dicarinya. Diapun melihat hutan yang pohon-po­honnya tumbuh teratur, bukan seperti hutan biasa dan dia dapat menduga bahwa hutan ini adalah hu­tan buatan, maka dia harus bersikap hati-hati se­kali.

Dia memasuki daerah itu dari bagian yang be­lum pernah didatangi orang, dan jebakan-jebakan di sini berbeda sifatnya dengan yang pernah menje­bak orang-orang Cin-sa-pang, walaupun ada pula persamaannya. Ketika Hong Beng memasuki hutan pertama, dia melihat pohon-pohon besar dan tem­pat itu nampak gelap akan tetapi seperti tak pernah ada bahaya apapun. Dengan santai namun cukup waspada Hong Beng melangkah di antara pohon­-pohon besar itu, melalui lorong yang agaknya, mem­bawanya ke tengah hutan, menuju ke rumah yang pernah dilihat gentengnya tadi. Akan tetapi setelah melewati belasan pohon, tiba-tiba lorong itu ter­henti dan tertutup oleh pohon besar yang memenuhi jalan. Hong Beng melihat bahwa di belakang pohon itu penuh semak-semak belukar berarti bahwa lo­rong itu memang berhenti sampai di situ saja! Ten­tu saja dia menjadi penasaran. Melanjutkan perja­lanan melalui lorong itu tak mungkin lagi karena semak-semak belukar di belakang pohon itu penuh dengan duri. Pasti ada jalan lain, pikirnya. Dengan hati-hati Hong Beng lalu meloncat ke atas pohon, dengan maksud untuk mencari jalan dengan meng­intai dari atas pohon.

Akan tetapi, baru saja dia melihat-lihat ke ka­nan kiri, tiba-tiba hampir dia berteriak kesakitan dan tangannya menggaruk ke arah betis kirinya yang tiba-tiba terasa gatal dan panas sekali. Kiranya ada seekor semut, merah yang besar sekali merayap dan menggigit betisnya. Sekali tepuk, semut itupun mati, akan tetapi rasa gatal pada betisnya itu sema­kin menghebat,

“Aduhh....! Aduhh....!” Hong Beng berseru ketika merasa betapa paha dan pun­daknya juga terasa gatal panas digigit semut! Cepat dia meloncat turun dari atas pohon, melepaskan pa­kaiannya bagian luar dan sibuklah dia membunuhi belasan ekor semut merah yang sudah merayap ke dalam pakaiannya. Untung baru tiga tempat saja tergigit, di betis, paha dan pundak. Akan tetapi se­mut itu memiliki racun yang ampuh dan berbeda dengan semut-semut lain. Bekas gigitannya nam­pak membengkak merah dan rasanya gatal dan panas bukan main. Hong Beng cepat mengeluarkan obat anti racun yang selalu dibawanya, buatan suhunya, dan obat berupa minyak itu setelah digosokkan pada bekas gigitan seketika nyerinya hilang. Diapun me­ngenakan lagi pakaiannya setelah mengebut-nge­butkannya sampai bersih. Sambil memandang ke atas pohon, diam-diam dia bergidik. Entah berapa banyaknya semua-semut itu berada di sana, pikir­nya. Dia masih belum menyangka bahwa semut-semut itu merupakan jebakan yang sengaja diatur oleh Sin-kiam Mo-li. Semut-semut itu didatang­kannya dari lain tempat, dibiarkan hidup berkem­bang biak di pohon-pohon besar itu untuk mencegah musuh melakukan pengintaian dari atas pohon. Tentu saja tidak semua pohon menjadi tempat ting­gal semut-semut merah beracun ini, hanya pohon di bagian hutan itu saja, karena pohon-pohonnya memang pohon yang disukai semut-semut itu.

Terpaksa Hong Beng kembali lagi, akan tetapi betapa herannya ketika dia mendapat kenyataan bahwa jalan yang dilaluinya sekarang nampaknya seperti bukan lorong yang dimasukinya tadi! Entah apanya yang berubah, akan tetapi lain sama sekali. Ketika ada jalan simpang empat, dia mengambil ja­lan ke kanan karena jalan ini yang nampaknya paling rapi dan bersih, memasuki taman rumput yang indah dan di sebelah sana nampak lagi hutan kecil dengan sebuah telaga kecil di tengahnya. Hong Beng bersi­kap hati-hati sekali. Dia berjalan di atas lapangan rumput sambil mengerahkan gin-kangnya sehingga ketika tiba-tiba rumput yang diinjaknya ambles ke bawah dan ternyata di bawah rumput itu terdapat lubang jebakan berupa sumur dan rumput itu hanya tumbuh di atas sumur dengan saling berkaitan akar saja! Untung bahwa sejak tadi Hong Beng bersikap waspada. Begitu kakinya merasa menginjak tempat kosong, cepat dia memindahkan tenaga dan berat tubuh ke kaki belakang sehingga dia mampu mena­rik kembali kaki depan. Dengan sebuah ranting yang dipungutnya di tepi jalan, dia mengorek rum­put di depannya dan terbukalah lubang jebakan itu yang lebarnya satu setengah meter persegi! Ketika dia menjenguk ke bawah, dia bergidik ngeri melihat benda bergerak-gerak di dasar sumur. Ular-ular sedang menanti jatuhnya korban di bawah sana!

“Jahanam keji!” Dia menggerutu dan melan­jutkan langkahnya, mengitari sumur itu, akan tetapi kini setiap langkahnya dilakukan dengan lebih hati-hati dan waspada lagi. Dia melewati dua lagi sumur jebakan yang tertutup rumput, dan pada sumur ter­akhir, bahkan ketika dia mengorek rumput membu­ka lubang, terdengar suara berdesing dan dari dalam lubang itu, mungkin alatnya dipasang di bawah rumput menyambar tiga batang anak panah ke atas. Kalau dia kurang hati-hati, tentu luput terjeblos sukar untuk terhindar dari sambaran anak panah beracun!

Kembali dia memasuki hutan dengan pohon yang besar besar dan kini cuaca di dalam hutan agak gelap karena memang matahari sudah condong ke barat dan sinarnya yang tidak begitu kuat agak­nya tidak mampu menerobos daun-daun yang lem­bab. Ketika dia melangkah lagi, dia tidak melihat bahwa di depan kakinya terdapat sehelai tali hitam yang tingginya dua jengkal sehingga kalau ada orang lewat, bagaimanapun juga kakinya tentu akan ter­sangkut tali. Demikian pula dengan Hong Beng. Dia sudah waspada, namun dalam cuaca yang mulai remang-remang di dalam hutan lebat itu, bagaimana dia mampu melihat tali di bawah yang berwarna hitam dengan latar belakang tanah hitam dan rum­put hijau tua? Tahu-tahu, kakinya tersangkut dan dari atas turun menimpa batu yang besar sekali! Kiranya tali itu kalau ditarik, mengakibatkan jatuh­nya sebuah batu yang besarnya seperut kerbau bun­ting dan kalau menimpa kepala, tentu kepala itu akan remuk dan tubuh akan ikut menjadi gepeng!­

Namun Hong Beng tidak menjadi gugup. Dengan cekatan, dia melompat ke depan dan batu itu jatuh dengan mengeluarkan suara keras sekali ke atas tanah, membuat tanah tergetar dan pohon-pohon bergoyang-goyang. Dan agaknya jatuhnya batu ini menimbulkan akibat lain dan mengerjakan alat-alat rahasia yang dipasang di situ karena tiba-tiba saja dari atas pohon-pohon di sekeliling Hong Beng ju­ga berjatuhan batu yang besar-besar! Kini Hong Beng tidak berani meloncat lagi. Meloncat tanpa mengetahui apa yang akan diinjaknya di tempat lain, amat berbahaya, maka diapun memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang, lutut ditekuk dan diapun siap menanti datangnya hujan batu.

“Darrrr!” Sebongkah batu besar yang menimpa kepalanya, dihantamnya dengan tangan terbuka dan batu itupun pecah dan terlempar jauh. Masih ada lagi beberapa buah batu yang menghantamnya, na­mun semua dapat ditangkis oleh Hong Beng sehing­ga terlempar ke kanan kiri sedangkan tubuhnya se­dikitpun tidak terguncang, hanya kedua kakinya yang ambles ke dalam tanah sampai ke pergelangan kaki saking beratnya batu yang menimpa dirinya tadi!

Setelah tidak ada lagi batu besar yang melayang turun, Hong Beng melanjutkan langkahnya dengan gagah, sedikitpun tidak merasa takut atau gentar walaupun dia tetap berhati-hati, sepasang matanya melirik ke kanan kiri, seluruh urat syarafnya siap siaga. Sementara itu, pergerakan jebakan-jebakan rahasia tadi tentu saja sudah diketahui oleh penghu­ni lembah itu dan diam-diam, tiga orang pelayan cantik sudah mengintai dan mengikuti semua gerak-gerik yang dilakukan Hong Beng.

Ketika melihat seorang pemuda yang demikian tampan dan gagah, Ang Nio, Pek Nio dan Hek Nio menjadi bengong terpesona. Apa lagi ketika me­reka menyaksikan betapa dengan tenaganya Hong Beng menghadapi dan mengatasi semua jebakan yang dilaluinya, mereka bertiga memandang semakin ka­gum. Tiga orang gadis cantik ini baru berusia duapu­luh lima tahun kurang lebih, dan mereka hidup di tempat terasing itu, maka tentu saja kadang-kadang mereka merasa kesepian dan butuh akan kehadiran seorang pria di samping mereka. Kadang-kadang Sin-kiam Mo-li membawa pulang seorang pemuda tampan dan kalau sudah bosan, sebelum dibunuh pemuda itu diberikan kepada mereka bertiga. Ka­dang-kadang mereka bertigapun diperkenankan mencari hiburan di dusun-dusun di bawah pegu­nungan. Akan tetapi yang mereka dapatkan hanya­lah pemuda-pemuda dusun yang bodoh dan kasar. Maka, begitu melihat seorang pemuda yang demiki­an ganteng seperti Hong Beng, tentu saja mereka terpesona. Apa lagi melihat kegagahan pemuda itu.

“Eh, kenapa kalian bengong saja? Kalau dibi­arkan, bisa rusak semua alat jebakan rahasia kita dan kita akan mendapat hukuman dan marah be­sar,” kata Ang Nio kepada kedua orang temannya.

“Hayo kita serang dia!” kata Pek Nio.

“Akan tetapi jangan dibunuh, sayang kalau dibunuh....“ kata Hek Nio sambil menarik napas panjang.

“Tolol, apa kaukira kamipun tidak dapat meli­hat kehebatan seorang pria? Akan tetapi jangan harap, Hek Nio. Pria seperti ini tentu takkan dile­watkan saja oleh majikan kita!” kata Pek Nio.

“Sudahlah, kalau kelak kita memperoleh sisanya­ pun masih untung!” kata Ang Nio sambil meloncat keluar. “Hayo serbu!”

Hong Beng menjadi terkejut, akan tetapi tidak gugup ketika tiba-tiba nampak tiga sosok bayang­an berloncatan keluar dari balik batang pohon dan dia telah dihadang oleh tiga orang gadis yang cantik. Pakaian mereka menarik perhatiannya. Seorang berpakaian serba merah, ke dua serba putih dan ke tiga serba hitam. Akan tetapi, mengenakan pakaian warna apapun, mereka itu nampak anggun dan cantik.

Betapapun juga, Hong Beng adalah seorang pe­muda yang sudah terbiasa bersikap sopan, apa lagi terhadap wanita. Dia merasa betapa dia telah me­langgar wilayah orang lain, memasuki tempat orang tanpa ijin, maka dengan agak kikuk diapun menjura dengan hormat karena dia tidak tahu siapa adanya tiga orang gadis ini.

“Maafkan aku,” katanya lembut. “Bukan mak­sudku untuk memasuki tempat orang tanpa ijin, akan tetapi sesungguhnya aku ingin bertemu dengan Sin-kiam Mo-li. Benarkah ia bertempat tinggal di dae­rah ini? Dan siapakah nona bertiga?”

Tiga orang gadis itu saling pandang dan terse­nyum manis. Biasanya, mereka ini bersikap galak, akan tetapi menghadapi seorang pemuda tampan dan gagah, mendadak saja sikap dingin mereka mencair dan berubah hangat dan genit.

“Sobat yang gagah, engkau datang tanpa ijin akan tetapi membawa pertanyaan-pertanyaan! A­pakah ini tidak terbalik? Tidakkah sepatutnya kami yang bertanya kepadamu siapa engkau dan apa maksud kedatanganmu ini?” jawab Ang Nio dengan pertanyaan dan suaranya terdengar merdu dan nadanya naik turun seperti orang bernyanyi, bibirnya tersenyum, wajahnya cerah dan matanya bermain dengan lincahnya.

Melihat sikap orang yang manis budi, Hong Beng kembali menjura kepada gadis yang pakaiannya serba merah itu. “Maaf, aku bernama Gu Hong Beng, akan tetapi aku tidak mempunyai urusan dengan nona bertiga. Aku datang untuk mencari Sin-kiam Mo-li, sekali lagi aku mengharapkan keterangan nona, apakah Sin-kiam Mo-li tinggal di sini?”

“Sicu (orang gagah) Gu Hong Beng, aku berna­ma Ang Nio.”

“Aku Pek Nio,” kata si baju putih.

“Dan aku Hek Nio,” sambung si baju hitam.

Hong Beng merasa dipermainkan. Mana ada orang-orang memiliki nama yang disesuaikan de­ngan warna pakaiannya? Tentu nama samaran. Apa lagi melihat betapa mereka bertiga memperkenalkan nama sambil tertawa-tawa kecil, dia meng­anggap bahwa tiga orang gadis ini tentu sedang mempermainkannya.

“Gu-sicu, ada keperluan apakah engkau mencari beliau?” tanya Ang Nio sambil memainkan ma­tanya yang jeli.

Hong Beng mulai mengerutkan alisnya. “Kurasa tidak ada urusannya dengan kalian bertiga. Katakan saja di mana Sin-kiam Mo-li, aku mempunyai urusan pribadi dengannya.”

Ang Nio tersenyum. “Tidak mungkin, sicu. Setiap orang tamu yang hendak berkunjung, haruslah berurusan dengan kami bertiga terlebih dulu. Kami mewakili toanio, dan kami yang berhak menerima atau menolak tamu. Kalau sicu bersikap manis ke­pada kami, tentu kami akan mengantarmu mengha­dap beliau.”

“Ada kami bertiga kenapa hendak menghadap toanio?” tiba-tiba Pek Nio dengan sikap genit berkata. “Kami akan dapat membuatmu merasa gembira!”

“Benar, sicu Gu Hong Beng yang ganteng, mari bersenang-senang dengan kami bertiga, besok kami akan mengantarmu menghadap toanio,” kata Hek Nio dengan manis pula, dengan pandang mata penuh gairah.

Kerut merut di antara alis mata Hong Beng se­makin mendalam. Barulah dia tahu apa artinya sikap manis dari tiga orang gadis ini. Kiranya mereka ada­lah gadis-gadis tak tahu malu yang hendak merayu­nya! Dan agaknya mereka ini murid-murid atau juga pelayan dari Sin-kiam Mo-li. Bangkitlah ke­marahannya.

“Kalian perempuan-perempuan tak bermalu! Kalian kira aku ini orang macam apa? Kalau kalian tidak mau mengantarkan aku bertemu dengan Sin-kiam Mo-li, biarlah aku mencarinya sendiri!”

Berkata demikian, Hong Beng melanjutkan langkah kakinya. Akan tetapi, tiga orang wanita itu menghadang di tengah lorong dan mereka sudah meme­gang sebatang pedang.

“Agaknya engkau seorang yang tidak tahu dicin­ta orang! Baiklah, hendaknya kauketahui bahwa tanpa perkenan toanio, siapapun juga tidak mung­kin dapat mendatangi rumah kami! Apakah engkau memilih mati di tangan kami dari pada menikmati kesenangan bersama kami?” kata Ang Nio.

“Ang-cici, jangan dibunuh, sayang, dia begitu tampan dan gagah,” kata Pek Nio.

“Kita tawan dia dan seret ke depan toanio!” kata pula Hek Nio.

Tiga orang wanita itu lalu menerjang Hong Beng. Mereka hanya menyimpan pedang di balik lengan kanan, dan mereka menyerang dengan tangan kiri. Ada yang mencengkeram ke arah pundak, ada yang menampar ke arah leher dan memukul ke arah dada. Gerakan mereka cukup cepat dan gerakan tangan itupun mengandung tenaga yang kuat. Na­mun, bagi Hong Beng, serangan mereka itu tiada bedanya dengan serangan tiga orang anak kecil saja. Sekali dia memutar tubuh dan menggerakkan tangan, dia telah dapat mengelak dan menangkis tiga serang­an itu. Bahkan Hek Nio dan Ang Nio yang terkena tangkisan lengan Hong Beng, hampir saja terpelan­ting jatuh saking kuatnya tenaga tangkisan pemuda itu.

Kini yakinlah tiga orang wanita itu bahwa pemu­da ini memang lihai bukan main, maka merekapun cepat memutar pedang dan menggunakan senjata mereka untuk menyerang. Setelah mereka bertiga itu menyerang dengan pedang, Hong Beng melihat betapa ilmu pedang mereka hebat dan berbahaya. Teringatlah dia akan julukan majikan mereka, yaitu Sin-kiam Mo-li (Iblis Betina Pedang Sakti). Ka­lau majikan atau gurunya berjuluk Pedang Sakti, tidaklah mengherankan kalau tiga orang wanita ini memiliki ilmu pedang yang demikian hebat. Tiga batang pedang itu berubah menjadi tiga sinar bergu­lung-gulung yang menyerangnya dengan dahsyat dari tiga jurusan. Hong Beng harus mengerahkan gin-kangnya untuk membuat tubuhnya dapat berge­rak dengan ringan dan cepat, mengelak ke sana-sini menyelinap di antara sambaran sinar-sinar pedang itu.

Memang dalam hal ilmu pedang, tiga orang ga­dis pelayan ini sudah mencapai tingkat yang cukup tinggi. Sin-kiam Mo-li telah melatih jurus-jurus ampuh kepada tiga orang pembantunya ini agar me­reka menjadi pembantu dan penjaga yang lihai. Ja­rang ada orang mampu mengalahkan ilmu pedang mereka, apa lagi kalau mereka itu maju bersama se­perti sekarang ini. Tidaklah terlalu aneh kalau kini Gu Hong Beng, murid dari keluarga Pulau Es, me­rasa repot didesak oleh tiga gulungan sinar pedang yang lihai itu. Hong Beng maklum bahwa kalau dilanjutkan perkelahian ini dengan kedua tangan kosong saja menghadapi tiga batang pedang itu, dia dapat celaka. Maka, ketika kembali tiga pedang itu menyerangnya dari tiga jurusan, depan, kanan dan kiri, tiba-tiba tubuhnya melayang ke belakang, bu­kan hanya untuk mengelak, melainkan dia berjungkir balik sampai jauh lalu menyambar sebatang ranting pohon yang dipatahkannya. Kini, dengan ranting yang sebesar lengan sepanjang pedang biasa, dengan terhias daun-daun, dia menghadapi tiga orang lawan itu dan begitu dia memutar ranting, tiga orang la­wannya terkejut.

Biarpun hanya sebatang ranting, karena berada di tangan seorang ahli, maka ranting itu dapat men­jadi sebuah senjata yang ampuh. Tiga batang pe­dang itu menyambar dan mencoba untuk membabat ranting itu agar patah. Namun, ranting itu dialiri tenaga sin-kang dari Hong Beng yang memperguna­kan tenaga Swat-im Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Salju).

“Tak! Tak! Tringgg....!” Tiga batang pedang itu tertangkis dan akibatnya, tiga orang wa­nita itu mengeluh dan terhuyung ke belakang. Nam­pak wajah mereka berubah pucat dan tangan mereka agak menggigil. Hawa dingin yang masuk tulang te­lah menyusup ke dalam tubuh mereka, terutama ba­gian lengan kanan yang memegang pedang. Tiga orang pelayan itu merasa kaget dan juga penasaran sekali. Memang tadipun mereka sudah tahu bahwa pemuda ini amat lihai, akan tetapi sungguh sukar mereka da­pat percaya bahwa hanya dengan sebatang ranting di tangan, dalam segebrakan saja pemuda itu mampu membuat mereka terhuyung, melalui serangan tenaga sin-kang dingin yang demikian kuatnya!

“Bunuh orang berbahaya ini!” bentak Ang Nio.

“Orang tak mengenal kebaikan orang lain!” bentak Pek Nio.

“Engkau sudah bosan hidup!” Hek Nio juga berteriak.

Tiga orang wanita itu lalu menggerakkan tangan kiri mereka dan sinar-sinar kecil menyambar ke arah Hong Beng. Namun pemuda ini tidak merasa gugup. Dengan amat tenangnya, ranting di tangannya dige­rakkan dan sekaligus jarum-jarum halus yang me­nyambar dari jarak dekat itu dapat dipukul runtuh semua. Akan tetapi, tiga batang pedang yang gerak­annya cepat dan mengandung tenaga sin-kang itu telah menyerangnya dari tiga jurusan karena tiga orang wanita cantik itu telah membentuk barisan segi tiga.

Hong Beng maklum bahwa tiga orang lawannya tidak boleh dipandang ringan, apa lagi dia berada di sarang harimau, di daerah lawan yang amat berbaha­ya karena tempat itu penuh dengan perangkap dan jebakan-jebakan rahasia. Maka, diapun cepat meng­gerakkan rantingnya untuk menangkis sambil meng­elak ke sana-sini, amat hati-hati karena khawatir kalau-kalau kakinya akan terjeblos. Diapun tidak berniat membunuh tiga orang wanita yang tidak dikenalnya itu. Mereka ini, menurut dugaannya, tentu­lah pelayan pribadi atau murid-murid tokoh yang bernama Sin-kiam Mo-li itu. Dan dia belum meli. hat bukti bahwa Sin-kiam Mo-li benar orang yang telah menculik puteri keluarga Kao, maka tidak baik kalau sampai dia membuat-gara-gara membunuh tiga orang wanita ini. Ketika dia memperoleh ke­sempatan, ujung tongkat yang terbuat dari ranting sederhana itu berkelebat dengan kecepatan kilat, tiga kali menyambar dan pedang tiga orang wanita itupun terlepas dari pegangan disusul teriakan me­reka karena lengan kanan mereka tiba-tiba menjadi kaku tak dapat digerakkan untuk beberapa detik lamanya. Ujung ranting itu telah menotok jalan darah di lengan mereka secara luar biasa sekali. Maklum bahwa mereka bukan lawan pemuda yang amat lihai itu, tiga orang pelayan cepat berloncatan menghilang di balik semak-semak tanpa mem­perdulikan pedang mereka. Mereka ingin cepat me­lapor kepada Sin-kiam Mo-li yang masih bercakap-cakap dengan tujuh orang tosu itu.

Hong Beng hendak mengejar tiga orang wanita itu untuk memaksa seorang di antara mereka meng­antarnya bertemu dengan Sin-kiam Mo-li. Tanpa pengantar, dia tentu akan menghadapi jebakan-je­bakan rahasia yang berbahaya. Akan tetapi, begitu dia meloncat ke dekat semak-semak, jalan itu buntu dan tidak nampak bayangan tiga orang wanita itu yang sudah menghilang seperti ditelan bumi saja.

Selagi dia kebingungan, tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu. Cepat dia bersiap siaga dan memandang. Kiranya di depannya telah berdiri seorang gadis remaja berusia tigabelas atau empatbelas tahun, gadis yang wajahnya manis sekali, sepasang matanya lebar dan sinarnya berkilat dan bergerak-gerak lincah, tanda bahwa ia seorang gadis remaja yang lincah cerdik dan bengal.

“Hi-hik, engkau merasa bangga telah menga­lahkan tiga orang tadi, ya? Hemmm, tak perlu menjadi sombong, karena tanpa penunjuk jalan, ja­ngan harap engkau akan dapat memasuki daerah kami ini, hi-hik!”

Setelah berkata demikian, gadis cilik itu lalu meloncat ke kanan di mana terdapat sebuah lorong yang merupakan jalan setapak. Tentu saja Hong Beng tertarik sekali. Dia maklum bahwa ucapan anak itu memang benar, dan kini dia memperoleh seorang penunjuk jalan, yaitu gadis cilik itulah!

“Haiii, berhenti dulu!” teriaknya dan cepat dia mengejar. Girang hatinya melihat gadis cilik itu tidak begitu cepat larinya. Hong Beng bersikap cer­dik. Tak perlu menyusul dan menangkap gadis itu, pikirnya, karena siapa tahu kalau ditangkap dan di­pergunakan kekerasan untuk menjadi penunjuk jalan, gadis cilik itu malah tidak mau. Kini, mengikuti saja di belakang gadis itu tentu dia akan sampai juga ke tempat tinggal Sin-kiam Mo-li. Maka diapun pura-pura mengejar sambil berseru menyuruh berhenti, akan tetapi sengaja bergerak perlahansehingga selalu berada di belakang gadis itu, mengikuti jejak kakinya, seolah-olah dia tidak pernah dapat menangkapnya! Gadis itu berlari terus, berloncatan ke sana-sini dan selalu diikuti jejaknya oleh Hong Beng.

“Haii, tunggu! Aku mau bicara denganmu!” teriak Hong Beng berkali-kali, teriakan yang meru­pakan siasatnya untuk membuat gadis itu berlari te­rus agar dia dapat mengikuti di belakangnya dengan aman. Tentu saja gadis ini sudah hafal akan jalan rahasia di tempat berbahaya ini dan mengikuti jejak gadis itu berarti aman.

Gadis cilik itu bukan lain adalah Kao Hong Li. Tadi ia melihat munculnya pemuda itu dan melihat pula betapa pemuda itu mengalahkan Ang Nio, Pek Nio, dan Hek Nio. Timbul kekhawatirannya karena pemuda itu ternyata lihai sekali. Tentu seorang musuh, mungkin seorang tokoh Cin-sa-pang yang amat lihai, yang berani datang seorang diri, tanpa senjata, hanya bersenjata ranting kayu namun dapat mengalahkan tiga orang pelayan yang lihai itu. Meli­hat ini, Hong Li merasa bahwa ia tak boleh tinggal diam saja. Sebagai murid dari subonya ia harus bertindak mencegah musuh ini. Akan tetapi, iapun maklum bahwa ilmu silatnya belum banyak selisihnya dengan tingkat para pelayan tadi sehingga mengha­dapi musuh ini dengan ilmu silat tidak akan ada artinya. Ia harus mempergunakan siasat dan akal, pikirnya. Maka muncullah gadis cilik itu mengejek dan memancing Hong Beng.

Hong Beng merasa girang dan mengira bahwa tentu kini tempat tinggal Sin-kiam Mo-li sudah dekat. Tiba-tiba gadis yang dikejarnya itu berhenti di depannya karena di depan gadis itu membentang sebuah kubangan lumpur yang amat lebar. Kiranya tidak mungkin untuk melompati kubangan yang de­mikian lebarnya, akan tetapi di sana-sini terdapat batu-batu menonjol. Batu-batu itu cukup untuk dipergunakan sebagai loncatan, pikir Hong Beng, sama sekali tidak khawatir. Dan dugaannya memang tepat. Gadis cilik itu melompat ke atas sebuah di antara batu-batu itu, akan tetapi agaknya batu itu licin sekali sehingga tubuh gadis cilik itu nampak terhuyung dan bergoyang, hampir jatuh.

“Aduh, tolong....!” Gadis itu berseru.

“Jangan takut, aku menolongmu!” kata Hong Beng dan tanpa ragu lagi diapun meloncat ke arah sebuah batu besar yang menonjol pula, tak jauh dari batu yang diinjak gadis itu, yang nampak ketakutan dan berdiri tegak di atasnya.

Akan tetapi pada saat kaki Hong Beng hinggap di atas batu itu, tiba-tiba saja tubuh anak perem­puan itupun melesat dengan cepatnya ke atas batu lain di dekat seberang. Dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Hong Beng ketika batu yang diinjaknya itu terjeblos ke dalam lumpur bersama tubuhnya. Dia hendak meloncat, namun terlambat karena kedua kakinya sudah terbenam ke dalam lumpur yang seolah-olah memiliki kekuatan menye­dot. Dia mengerahkan sin-kang, meronta. Akan tetapi karena tidak ada lagi tempat kokoh untuk berpijak, kekuatannya ini malah memberatkan tu­buhnya dan diapun ambles sampai dada! Maklum­lah Hong Beng bahwa dia telah terjeblos ke dalam lumpur yang berbahaya sekali dan makin kuat dia meronta, makin dalam pula dia terbenam. Maka diapun bersikap tenang, tidak lagi meronta dan tu­buhnya tetap saja terbenam sampai ke dada, tidak turun lagi, akan tetapi juga sama sekali tidak ada jalan untuk menarik tubuhnya ke luar dari lumpur! Dia memandang ke arah gadis cilik itu dan tahulah dia bahwa dia telah terpancing dan terjebak oleh gadis cilik yang amat cerdik itu karena kini dia melihat gadis itu tadi hanya bersandiwara dan ter­nyata dia terjebak! Tiga orang wanita dewasa yang lihai tidak mampu menangkapnya, juga perangkap-perangkap berbahaya dapat dihindarkannya. Siapa kira sekarang dia jatuh oleh seorang anak perempuan yang menggunakan akal bulus! Diam-diam Hong Beng merasa penasaran sekali, juga memaki kebodoh­an dirinya sendiri, juga kagum akan kecerdikan anak itu. Masih begitu muda akan tetapi telah memiliki kecerdikan luar biasa. Agaknya anak itu telah mem­perhitungkan segalanya sehingga dia dengan mudah dapat ditipunya.

Hong Li tertawa-tawa kecil di tepi kubangan lumpur. Melihat lawannya telah terbenam sampai ke dada dan kini diam saja, sama sekali tidak berge­rak, ia menggoda, “Hayo berontaklah! Makin kau meronta, semakin dalam kau tersedot, dan sebentar lagi lumpur akan menutupi mulutmu, hidungmu, matamu!”

Hong Beng merasa panas. “Hemm, bocah setan, jangan mengira aku takut mati! Aku hanya menye­salkan kebodohanku, mudah saja tertipu oleh bocah setan macam engkau!”

“Eh? Kau tidak takut? Tidak merasa ngeri? Kenapa engkau tidak minta ampun padaku dan min­ta pertolonganku agar aku menarikmu keluar?”

Hong Beng maklum bahwa anak setan itu hanya menggodanya, maka tentu saja dia tidak sudi mem­beri kepuasan kepada anak itu dengan memperlihat­kan rasa takutnya.

“Sudah kukatakan, aku tidak takut mati. Akan tetapi, siapakah engkau ini dan masih ada hubungan apa antara engkau dan Sin-kiam Mo-li?”

“Hemm, siapa aku tidak penting. Yang penting siapa engkau dan mau apa engkau memaksakan ke­hendakmu memasuki daerah ini?”

Kembali Hong Beng kagum. Anak ini masih amat muda, akan tetapi sikapnya sudah dewasa dan cukup berwibawa. Seorang anak yang cerdik sekali, dan juga mempunyai sepasang mata yang tajam dan bening, sama sekali tidak nampak bayangan watak jahat dari sepasang mata seperti itu.

“Namaku Gu Hong Beng dan aku datang untuk bertemu dengan Sin-kiam Mo-li. Karena mengha­langi keinginanku bertemu dengan Sin-kiam Mo-li, maka aku berkelahi dengan tiga orang wanita itu.”

“Mau apa engkau minta bertemu dengan Sin­-kiam Mo-li?” tanya pula Hong Li dan dia makin kagum karena kini tubuh pemuda itu sudah terbenam semakin dalam, sampai ke pundak, akan tetapi orangnya masih tetap nampak tenang saja.

Hong Beng mempertimbangkan pertanyaan ini. Perlukah dia berterus terang kepada anak perempu­an ini? Akan tetapi, nyawanya tergantung di sehe­lai rambut, dan agaknya dia tidak akan terbebas dari cengkeraman maut ini, maka apa salahnya kalau dia berterus terang? Setidaknya, dia tidak akan lenyap begitu saja dan gadis ini menjadi saksi kematian dan kehilangannya. Siapa tahu, dari mulut gadis cilik ini kelak, suhunya dan semua orang akan mengetahui akan nasibnya. Biar mereka semua tahu bahwa dia tewas dalam usahanya menyelamatkan puteri keluar­ga Kao yang diculik orang.

“Siapakah engkau sesungguhnya, sebelum aku menjawab pertanyaanmu ini?” Hong Beng bertanya.

“Aku adalah anak angkat, juga murid Sin-kiam Mo-li yang kaucari itu.”

Mendengar ini, lemaslah rasanya hati Hong Beng. Celaka, pikirnya, pantas anak ini demikian cerdik dan lihainya, dan harapan untuk memperoleh perto­longan semakin tipis dan jauh.

“Baiklah biar ceritaku ini merupakan pesan terakhir bagi siapa saja melalui engkau. Aku datang ke sini mencari Sin-kiam Mo-li untuk bertanya apa­kah ia telah menculik seorang anak perempuan dan kalau benar demikian, aku akan merampas kembali anak perempuan yang terculik itu?”

Mendengar ini, Hong Li nampak terkejut dan matanya terbelalak. Mata yang memang sudah lebar itu nampak semakin lebar, seperti matahari kembar. “Ih, subo tidak pernah menculik orang! Siapakah anak perempuan yang diculiknya itu?”

“Ia puteri dari pendekar Kao Cin Liong, namanya Kao Hong Li. Apakah engkau melihat anak itu di sini?”

Tiba-tiba Hong Li meloncat bangkit dari jong­koknya dan wajahnya berubah, alisnya berkerut. “Siapakah engkau sesungguhnya? Masih ada hu­bungan apa antara engkau dan keluarga Kao itu?” Pertanyaannya penuh nafsu dan mendesak sekali.

Pertanyaan aneh, pikir Hong Beng. Akan tetapi karena dia mengharapkan anak ini kelak mencerita­kan kepada semua orang tentang dirinya, diapun menjawab sejujurnya. “Isteri pendekar Kao yang bernama Suma Hui adalah bibi guruku karena guru­ku, Suma Ciang Bun, adalah adik kandungnya.”

“Ahhh....!” Gadis cilik itu berseru kaget dan tiba-tiba ia bertanya, “Apakah engkau mampu mengeluarkan kedua tanganmu?”

“Apa....? Apa.... maksudmu?”

“Cepat keluarkan kedua tanganmu ke atas lumpur agar dapat aku menarikmu keluar dari situ.”

Tentu saja ucapan ini mengejutkan akan tetapi juga mengherankan dan terutama sekali menyenang­kan hati Hong Beng yang secara tiba-tiba memper­oleh harapan baru. Dia menarik kedua lengannya yang terpendam, akan tetapi walaupun dia berhasil menarik kedua tangannya ke atas, tubuhnya semakin tenggelam dan kini lumpur telah mencapai dagunya, hanya satu senti saja di bawah mulut! Bau lumpur yang busuk menyengat hidungnya. Akan tetapi Hong Beng tetap bersikap tenang saja walaupun sedikit lagi, kalau lumpur sudah menutup hidungnya, ber­arti berakhirlah riwayat hidupnya. Dan pada saat itu, dia merasa ada benda yang licin bergerak mera­ba-raba kakinya. Dia terkejut dan dapat menduga bahwa di dalam lumpur itu terdapat binatang, mung­kin semacam belut, ikan atau ular! Teringat akan ini dia cepat mengerahkan sin-kangnya dan menge­rahkan hawa panas dari Hui-yang Sin-kang untuk melidungi tubuhnya dari gigitan binatang. Dan un­tung dia melakukan ini karena pada saat itu, banyak sekali ular dalam lumpur yang siap menggigitnya akan tetapi binatang-binatang itu mundur teratur ketika merasa betapa dari tubuh yang terbenam lumpur itu keluar hawa yang amat panas!

Sementara itu, Hong Li sudah memutar otak, bagaimana untuk menolong Hong Beng yang seben­tar lagi tentu tewas kalau tidak cepat ditarik keluar. Tidak ada tali di situ. Akan tetapi ia seorang gadis yang amat cerdik. Ditumbangkannya sebatang pohon yang tidak berapa besar namun cukup panjang, dan diseretnya batang pohon berikut cabang dan daun-daunnya itu ke tepi kubangan lumpur. Kemudian, ia memotong sebagian ikat pinggangnya yang terbuat dari sutera yang kuat. Diikatnya ujung batang pohon itu dengan ikat pinggang, kemudian ujung ikat ping­gang ia ikatkan pada sebatang pohon besar yang ko­koh kuat. Setelah itu, ia menyeret batang pohon tadi dan melemparkannya ke tengah kubangan sambil berseru kepada Hong Beng yang kini mulutnya sudah tertutup lumpur!

“Tangkap ini dan tarik keluar dirimu melalui batang pohon!”

Tanpa diberitahupun, Hong Beng sudah maklum apa yang harus dilakukannya. Dia sejak tadi melihat saja dan bukan main kagumnya melihat usaha anak itu. Dia sendiri tentu akan bingung untuk meno­long orang keluar dari lumpur tanpa adanya tali. Akan tetapi anak perempuan itu telah memperoleh akal yang amat baik. Dia segera menangkap cabang pohon itu dan segera dengan hati-hati dan perla­han-lahan agar jangan sampai cabang itu putus atau ikat pinggang di ujung sana itu putus, dia mulai me­narik tubuhnya ke atas. Dan dia berhasil! Perla­han-lahan, mulai nampaklah tubuhnya bagian atas yang berlepotan lumpur. Kini, perlahan-lahan, dia merayap melalui batang pohon itu, menarik tubuh­nya semakin tinggi keluar dari lumpur dan akhirnya, dengan terengah-engah, dia sampai juga ke tepi dan naik ke tepi kubangan lumpur, lalu menjatuhkan diri ke atas tanah saking lelahnya dan tegangnya.

“Ah, engkau berhasil!” Hong Li berseru gem­bira.

Hong Beng mencoba untuk membersihkan lum­pur dari leher dan mukanya bagian bawah. “Ya, berkat pertolonganmu, adik yang baik. Engkau te­lah menyelamatkan nyawaku....”

“Tidak, karena aku yang membuat engkau terpe­rosok tadi. Aku hanya menebus kesalahanku saja!“

Hong Beng tersenyum. Benar juga, dan dia se­makin kagum akan kejujuran anak ini. “Engkau anak angkat dan murid Sin-kiam Mo-li, mengapa me­nolongku? Siapakah engkau adik yang begini cer­dik, lihai dan baik hati?”

“Namaku? Aku.... Kao Hong Li!”

“Ihhh....!” Hong Beng meloncat dan lupa akan kekotoran tubuhnya yang terbungkus lum­pur. Dia terbelalak memandang gadis cilik itu, penuh keheranan, penuh kejutan dan kekaguman. “Engkau.... engkau adik Kao Hong Li? Akan tetapi, bagaimana engkau dapat menjadi anak angkat dan murid Sin-kiam Mo-li?”

Hong Li tersenyum manis. “Panjang ceritanya, suheng. Bukankah engkau menjadi suhengku karena engkau murid paman Suma Ciang Bun?”

“Ya, panjang ceritanya. Akan tetapi engkau te­lah berani masuk ke sini tanpa ijin, karena itu eng­kau harus menyerah sebagai tawanan kami,” tiba-tiba terdengar suara orang dan ketika Hong Beng menoleh, di situ telah berdiri seorang wanita cantik, bertubuh tinggi ramping dan matanya mencorong. Yang mengejutkan hati Hong Beng adalah ketika dia melihat betapa di belakang wanita itu nampak pula tujuh orang tosu, di antaranya adalah tosu-tosu yang sudah dikenalnya, yaitu para tokoh Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang berilmu tinggi.

“Subo, dia ini suhengku sendiri....!” Hong Li mencoba untuk mencegah subonya.

“Hong Li, masuk kau! Belum juga kapok eng­kau menolong orang yang hendak mengacau di si­ni!” bentak Sin-kiam Mo-li dengan marah. Hong Li mengerutkan alisnya, akan tetapi ia tidak berani membantah lagi dan sambil mengepalkan tinju, iapun lari meninggalkan tempat itu, kembali ke dalam bangunan dan mengunci diri di dalam kamarnya sen­diri dengan marah.

Sementara itu, Hong Beng berdiri dengan siap siaga, bingung apa yang harus dilakukan karena setelah mendengar bahwa Hong Li adalah anak angkat dan juga murid Sin-kiam Mo-li, tidak mungkin dia menuduh wanita ini menculiknya. Akan tetapi, kenyataan bahwa Sin-kiam Mo-li datang bersama tujuh orang tokoh Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai itu membuat dia semakin ragu karena dia mengenal tujuh orang ini sebagai orang-orang yang datang dari golongan hitam dan sesat, yang mempergunakan agama dan perjuangan untuk menipu rakyat.

“Ha-ha-ha!” Terdengar Thian Kek Seng-jin, tokoh Pek-lian-kauw yang bermuka merah itu ter­tawa. “Kiranya murid keluarga Pulau Es, Suma Ciang Bun, kini menjadi seekor belut yang suka ber­main di dalam lumpur! “

“Mo-li, dia ini murid keluarga Pulau Es, kebe­tulan dia datang mengantar nyawa, biar pinto mem­bunuhnya untukmu!” kata Thian Kong Cin-jin, wakil ketua Pat- kwa-pai yang sudah menggerak­kan tongkatnya yang panjang.

“Nanti dulu, totiang!” Sin-kiam Mo-li ber­seru dan kakek itupun menahan tongkatnya. “Dia melanggar daerahku, dan akulah yang berhak untuk menghukumnya! Dia adalah tawananku!”

Sin-kiam Mo-li mencegah wakil ketua Pat-kwa-pai itu turun tangan, bukan semata-mata untuk mempertahankan kekuasaannya di daerahnya sendiri, melainkan karena dia telah melihat wajah dan bentuk tubuh yang tertutup lumpur itu dan dia merasa amat tertarik. Pemuda ini amat tampan dan gagah! Inilah yang membuatnya menangani sendiri pemuda itu, membuatnya tunduk dan tidak membunuhnya. Kini ia melangkah maju menghadapi Hong Beng.

“Nah, orang muda. Apakah engkau sudah tahu akan dosamu, ataukah aku harus mengingatkanmu dengan kekerasan?” tanya Sin-kiam Mo-li, suaranya lembut dan pandang matanya berkilat. Tujuh orang tosu itu bukan orang bodoh dan merekapun tersenyum-senyum maklum, akan tetapi Sin-kiam Mo-li tidak perduli akan sikap mereka itu.

Hong Beng maklum bahwa kalau dia memper­gunakan kekerasan, dia akan kalah. Baru menghadapi wakil ketua Pat-kwa-pai yang bermuka merah itu saja dia akan menemui lawan tangguh yang sukar dikalahkan, apa lagi di situ terdapat tujuh orang tosu dan agaknya wanita ini sendiri memiliki kepan­daian yang tinggi. Melawan dengan kekerasan ber­arti mengantar nyawa. Pula, apa gunanya melawan? Bukankah anak perempuan yang dicarinya telah ber­ada di situ dan ternyata sama sekali bukan menjadi tawanan, bahkan menurut pengakuan Hong Li, tidak pernah anak itu diculik oleh Sin-kiam Mo-li? Apa alasannya untuk mengamuk di situ?

Diapun menjura dengan sikap hormat. “Aku telah melakukan kesalahan, memasuki daerah keku­asaan orang lain tanpa ijin. Semua ini terjadi karena salah sangka. Aku sedang mencari puteri bibi guruku yaitu Kao Hong Li yang kabarnya diculik orang. Ternyata ia berada di sini sebagai muridmu, oleh karena itu, aku kecelik dan mengaku salah. Terserah kepadamu, Sin-kiam Mo-li, kalau hendak mena­wan aku karena kesalahanku.”

Wanita itu tersenyum dan biarpun usianya sudah empatpuluh tahun, akan tetapi ia kelihatan masih muda dan masih cantik menarik. Memang wanita ini luar biasa, dapat menjaga kemudaannya sehingga ia kelihatan seperti baru berusia kurang dari tigapuluh tahun, masih cantik dengan sepasang matanya yang tajam penuh gairah dan semangat, mulutnya yang manis dengan bibir yang merah, kulit mukanya yang masih halus kemerahan belum ada keriput, se­dangkan tubuhnya masih padat dan langsing, tinggi ramping dan padat.

“Engkau murid keluarga Pulau Es, seorang pen­dekar yang gagah perkasa. Kesalahanmu tidak kau­sengaja, maka tentu saja aku dapat memaafkan. Akan tetapi sebagai balasannya, engkau harus bersikap bersahabat dengan kami. Sekarang tinggal engkau pilih, eh, siapa namamu, orang muda?”

“Namaku Gu Hong Beng.”

“Nah, Gu-taihiap....”     

“Ah, harap tidak berlebihan, aku bukan seorang pendekar besar kata Hong Beng, merasa malu karena baru saja dia tidak berdaya dan bahkan nyawanya diselamatkan oleh seorang anak perempu­an, bagaimana kini dia dapat menerima sebutan tai­hiap (pendekar besar)?

“Engkau memang patut disebut taihiap sebagai pewaris ilmu-ilmu yang hebat dari keluarga Pulau Es,” kata Sin-kiam Mo-li sambil memainkan matanya yang tajam dan jeli. Kalau menurut kei­nginan hatinya, ia ingin membasmi semua keluarga pendekar Pulau Es. Akan tetapi kini dipaksanya mulutnya untuk memuji-muji keluarga itu karena ia ingin sekali merayu dan menjatuhkan hati pemu­da yang telah membuatnya mengilar dan tergila-gila ini. “Sekarang tinggal engkau pilih. Kalau memang engkau menyesali kesalahanmu dan beriktikad baik, jadilah engkau tamuku yang terhormat selama satu bulan dan engkau boleh ikut berunding bersama kami mengenai urusan perjuangan yang amat pen­ting. Sebaliknya, kalau engkau memilih menjadi tawananku untuk menerima hukuman atas kesalah­anmu, terserah.”

Hong Beng mengerutkan alisnya. Andaikata di situ tidak ada tujuh orang tosu itu, agaknya ada ke­beratan baginya untuk memilih yang pertama, yaitu menjadi tamu wanita aneh ini. Akan tetapi, tujuh orang tosu pemberontak itu berada di situ dan me­reka hendak bicara tentang perjuangan! Dia tahu benar apa artinya perjuangan itu bagi para tosu Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Memang benar mereka itu selalu bermusuhan dengan pemerintah Mancu, namun di samping ini merekapun terkenal sebagaai orang-orang sesat yang mengelabuhi rakyat dan tidak segan melakukan segala macam bentuk kejahat­an yang kejam. Akan tetapi, kalau hanya menjadi tamu, apa salahnya. Dia boleh mendengarkan tanpa mencampuri, tanpa melibatkan dirinya.

Dia merasa serba salah, akan tetapi karena kea­daan mendesak, diapun menjura dan berkata, “Aku telah melakukan kesalahan, karena itu terserah ke­padamu. Kalau kesalahanku dimaafkan dan aku di­anggap sebagai tamu, aku merasa terhormat sekali dan mengucapkan terima kasih.”

Sin-kiam Mo-li tertawa dan tidak perduli akan sikap tujuh orang tosu yang rata-rata mengerutkan alis tanpa tidak setuju. Akan tetapi karena yang menjadi pemilik tempat itu adalah Sin-kiam Mo-li, merekapun tidak dapat mencegah. Thian Kek Seng-jin, tokoh Pek-lian-kauw itu, tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, kami bertujuh adalah tamu kehor­matan dari Sin-kiam Mo-li, dan kini Gu-taihiap juga menjadi tamu kehormatan, berarti antara kita telah terikat tali persahabatan yang akrab. Gu-tai­hiap, terimalah hormat pinto, Thian Kek Seng-jin dari Pek-lian-kauw!”

“Pinto Coa-ong Seng-jin, sutenya,” kata kakek kecil bongkok bermuka monyet yang memegang se­ekor ular hijau itu.

“Pinto Ang-bin Tosu dari Pek-lian-kauw juga,” kata tosu kecil muka merah.

“Dan pinto saudaranya berjuluk Im Yang Tosu,” kata tosu yang wajahnya membayangkan kecongkak­an, dengan mata sipit dan mulut tersenyum sinis.

“Ha-ha, kita sudah pernah berkenalan, Gu-taihiap. Pinto Ok Cin Cu dari Pat-kwa-pai dan dia itu Lam Cin Cu suteku, dan wakil ketua kami Thian Khong Cin-jin. Perkenalkan kami dari Pat-kwa-pai, ha-ha-ha!”

Hong Beng dengan perasaan amat tidak enak membalas penghormatan mereka dan menjawab, “Kita sama-sama menjadi tamu di sini, bukan ber­arti ada ikatan apa-apa di antara kita.”

Para tosu itu hanya tertawa dan dengan gembira Sin-kiam Mo-li lalu memberi tanda kepada tiga orang pelayannya yang cepat bermunculan dari bela­kang pohon karena sejak tadi merekapun berada di situ, siap menanti perintah pimpinan mereka setelah mereka tadi melaporkan tentang kemunculan pemuda lihai itu.

“Kalian layani Gu-taihiap untuk membersihkan diri. Berikan pakaian bersih, kemudian ajak dia menemuiku di ruangan tamu. Sediakan sebuah ka­mar untuk dia, kamar yang berada di sebelah kamarku. Layani dia baik-baik dan jangan ada yang kurang ajar! Awas, dia ini tamuku yang terhormat!”

Tiga orang wanita cantik itu saling pandang dan tersenyum, mengangguk. Mereka sudah cukup me­ngenal watak guru dan majikan mereka, dan mereka tahu bahwa Sin-kiam Mo-li tergila-gila kepada pemuda ini. Ucapannya tadi memeringatkan agar mereka bertiga tidak berusaha untuk “mendekati” pemuda itu yang sudah diaku sebagai milik pribadi Sin-kiam Mo-li! Sambil tersenyum ramah mereka lalu menggandeng tangan Hong Beng dan diajaknya pemuda itu pergi bersama mereka.

Ingin Hong Beng memberontak ketika kedua tangannya digandeng dengan sikap genit dan manja oleh Ang Nio dan Pek Nio, akan tetapi Hek Nio yang berjalan di belakangnya berbisik, “Taihiap, tanpa bimbingan kami, mana mungkin engkau akan dapat tiba di rumah kami dengan selamat?”

Hong Bengpun melemaskan kedua tangannya dan menurut saja dituntun oleh dua orang wanita cantik itu. Dia merasa tidak berdaya, dan merasa seperti seekor domba dituntun ke pejagalan. Apa gunanya meronta? Dia sudah menjadi tamu, dan terpaksa harus menerima pelayanan nyonya rumah!

Dia diajak melalui lorong yang berputar-putar, melalui lorong setapak dan kadang-kadang menye­berangi semak-semak, tidak melanjutkan jalan me­nurut lorong, dan akhirnya Hong Beng yang diam-diam mencurahkan perhatian, dapat mengetahui ra­hasia jalan itu. Ternyata lorong itu menurut garis­-garis pat-kwa dan selanjutnya, setiap kali membe­lok atau memilih jalan bercabang, dia menduga ter­lebih dahulu dan memang cocok. Giranglah hatinya dan dia lupa bahwa dia masih berada di bawah ke­kuasaan Sin-kiam Mo-li.

Hong Beng diajak ke kamarnya, sebuah kamar yang besar dan mewah, dan diapun dipersilahkan mandi membersihkan lumpur dan berganti pakaian kering yang sudah disiapkan pula. Akan tetapi ketika tiga orang gadis cantik itu hendak turun tangan me­mandikannya, dia menolak keras! “Apakah kalian berani hendak bersikap kurang ajar kepadaku? Akan kulaporkan kepada Mo-li!”

Benar saja, ancamannya ini berhasil baik. Tiga orang gadis itu mundur dengan wajah takut dan Ang Nio berkata, “Gu-taihiap tidak perlu marah. Kami bertiga tidak berniat kurang ajar, hanya bermaksud untuk membantu saja. Kalau taihiap tidak mau di­layani, silahkan mandi sendiri, akan tetapi yang ber­sih karena kalau tidak bersih tentu ada bau busuk dari lumpur itu dan kami akan mendapat marah besar.”

Hong Beng merasa diperlakukan seperti anak kecil, dimanja, akan tetapi walaupun dia merasa pa­nas di dalam hatinya, dia diam saja dan segera mandi. Segar rasa badannya, apa lagi setelah mengenakan pakaian bersih dan kering, pikirannya menjadi sema­kin tenang dan diam-diam dia bertanya di dalam hati, apa sebetulnya yang telah terjadi dengan diri Hong Li maka kini ia dapat menjadi anak angkat dan murid seorang wanita seperti Sin-kiam Mo-li. Dia teringat akan cerita Kao Cin Liong bahwa tadinya Hong Li diculik oleh seorang pendeta dari Tibet yang berjuluk Ang I Lama yang lihai ilmu silatnya dan pandai ilmu sihir pula. Kemudian, ketika bertemu dengan pendeta itu, Kao Cin Liong dan Suma Hui tidak mampu mendapatkan jejak Hong Li dan ter­nyata kakek pendeta itu tidak pernah melakukan penculikan. Bahkan kemudian kakek itu kabarnya tewas terbunuh dan para pendeta Lama menuduh suami isteri Kao itu yang telah membunuhnya. Dan kini, tahu-tahu Hong Li berada di tempat kediaman Sin-kiam Mo-li, bukan sebagai anak culikan, melainkan sebagai anak angkat dan juga murid! Ingin sekali dia dapat bertemu dengan anak itu dan mendengarkan keterangannya. Kalau sudah mendengar­kan keterangan anak itu, barulah dia akan bertin­dak, sedapat dan sekuat mungkin, untuk menghadapi Sin-kiam Mo-li sebagaimana mestinya. Apakah Sin-kiam Mo-li penolong anak itu? Kalau benar demikian, tentu saja dia tidak akan memusuhinya. Sementara ini dia akan bersikap biasa saja, sebagai seorang tamu yang dihormati dan menghormati nyo­nya rumah, dan diam-diam dia akan memperhatikan bagaimana hubungan antara Sin-kiam Mo-li dengan tujuh orang tosu itu dan apa saja yang akan mereka bicarakan tanpa mencampuri urusan mereka.

Begitu dia selesai berpakaian, tiga orang gadis pelayan itu telah memasuki kamarnya lagi dan me­ngatakan bahwa kini mereka bertugas mengantar Hong Beng ke ruangan makan seperti yang diperin­tahkan majikan mereka. Hong Beng mengangguk dan keluar bersama mereka tanpa membantah. Ha­tinya panas kembali dan merasa kesal sekali ketika dia melihat betapa tiga orang gadis itu mengamati­nya penuh perhatian, bahkan Ang Nio mengembang-kempiskan hidung sambil mendekatinya, jelas gadis itu mencium-cium ke arah tubuhnya!

“Hemm, taihiap tidak kotor lagi, tidak ada lagi bau lumpur yang busuk dan amis,” katanya lirih.

“Sekarang baunya sedap!” sambung Pek Nio dengan genit sekali. Akan tetapi Hong Beng tidak menanggapi, hanya cemberut saja dan ini sudah cu­kup untuk membuat mereka diam dan tidak berani melanjutkan godaan. Diam-diam Hong Beng bergi­dik. Sin-kiam Mo-li memiliki tiga orang pelayan yang cantik-cantik dan genit-genit. Dia tidak da­pat membayangkan bagaimana kalau dia terjatuh ke dalam kekuasaan tiga orang gadis ini. Mereka bersikap seperti tiga ekor harimau kelaparan menghadapi seekor kelenci saja. Tentu dia akan diterkam mereka dan dirobek-robek!

Ketika dia tiba di ruangan makan yang lebar dan mewah juga, dengan perabot yang serba mahal, Sin-kiam Mo-li sudah duduk di situ bersama tujuh orang tosu itu. Kini Sin-kiam Mo-li nampak lebih cantik, sudah berganti pakaian dan rambutnya disisir rapi, digelung dan dihias dengan tusuk konde ber­lian dan jepit rambut batu kemala. Ketika melihat Hong Beng yang mengenakan pakaian bersih berwarna biru itu, pakaian yang banyak dimiliki Sin-kiam Mo-li untuk diberikan kepada laki-laki yang diculiknya dan menjadi korbannya, wanita ini bang­kit berdiri.

Sepasang mata yang mencorong itu memandang kagum dan menyapu seluruh tubuh dan wajah Hong Beng tanpa berkedip, membuat pemuda itu merasa salah tingkah dan mengerutkan alisnya, berdiri saja dan balas memandang. Sin-kiam Mo-li tersenyum manis sekali.

“Gu-taihiap, setelah bertukar pakaian dan ber­sih, ternyata nampak tampan dan gagah bukan main, seperti tokoh Si Jin Kwi!” Ia memuji terang-te­rangan tanpa malu-malu lagi di depan para tosu yang tertawa-tawa. Hong Beng mengerutkan alis­nya yang hitam tebal itu semakin dalam, dan wajah­nya yang putih bersih itu mendadak berubah merah. Dia merasa malu dan juga marah karena pujian itu melampaui batas, tidak patut keluar dari mulut seo­rang wanita baik-baik, apa lagi di depan banyak orang. Orang macam apakah wanita ini, pikirnya. Dia tidak menjawab, hanya berdiri dengan kikuk.

Melihat ini, hati Sin-kiam Mo-li menjadi se­makin gembira. Jelas seorang pemuda yang masih hijau, seorang perjaka yang agaknya belum pernah berdekatan dengan wanita. Pikiran ini membuat jantungnya berdebar dan kalau tidak ditahannya, tentu air liurnya keluar dari tepi mulut seperti see­kor sapi kelaparan melihat rumput muda menghijau.

“Gu-taihiap, silahkan duduk,” katanya menun­juk ke sebuah bangku di sisi kanannya yang kosong. Dan karena tidak ada bangku lain yang kosong, se­mua sudah ditempati para tosu dan Sin-kiam Mo-li, hanya sebuah yang kosong di sebelah kanan wanita itu, dan agaknya memang sudah diatur demikian, terpaksa Hong Beng lalu duduk di situ. Baru saja dia duduk, dia merasa betapa lutut kirinya bersen­tuhan dengan lutut kanan wanita itu. Cepat dengan gerakan halus dia menarik lututnya dan merapatkan kedua pahanya.

Sin-kiam Mo-li tersenyum dan memberi isarat kepada tiga orang pelayannya. Ang Nio datang mem­bawa seguci arak dan dengan sikap manis ia menu­angkan arak merah ke dalam cawan kosong. Sin-kiam Mo-li menyerahkan secawan arak itu kepada Hong Beng.

“Terimalah cawan arak pertama sebagai ucapan selamat datang, taihiap!” katanya dan ketika Hong Beng menerima cawan arak itu, pemuda ini merasa betapa jari tangan yang halus lunak dan hangat menyentuh jarinya. Dia tidak berani menolak, lalu menghaturkan terima kasih sambil minum arak itu sampai habis. Arak yang manis dan enak. Akan tetapi Ang Nio memenuhi cawannya lagi dan Sin-kiam Mo-li menyodorkan arak dalam cawan itu sambil berkata,

“Cawan ke dua ini untuk menghormatimu seba­gai tamu kami, taihiap.”

Kembali Hong Beng minum arak itu tanpa mem­bantah. Para tosu tertawa dan suasana menjadi gembira ketika Pek Nio dan Hek Nio datang seperti menari-nari, membawa baki berisi mangkok-mang­kok penuh masakan yang beraneka macam, masih panas mengepul dan baunya sedap bukan main.

“Aihhh, bukan main sedapnya!” beberapa orang tosu berseru sambil mengecap-ngecapkan bibir. Segera masakan di dalam mangkok-mangkok besar itu diatur di atas meja dan Sin-kiam Mo-li mempersilahkan mereka makan minum. Hong Beng tidak bersiksp malu-malu karena memang perutnya juga sudah lapar. Diapun ikut memainkan sepasang sum­pitnya untuk memindahkan potongan-potongan da­ging dan sayur ke dalam perut melalui mulutnya, disiram oleh arak yang manis dan sedap.

Sebentar saja, sembilan orang itu telah makan sampai kenyang dan para tosu sudah menjadi sete­ngah mabok karena terlalu banyak minum arak. Hong Beng menjaga diri dan hanya minum kalau setengah dipaksa oleh Sin-kiam Mo-li. Wanita ini sendiri, biarpun tidak mabok, namun wajahnya yang putih cantik itu telah menjadi merah sekali dan sepasang matanya seperti berminyak dan mengkilat. Tiba-tiba ia menuangkan arak ke dalam cawan araknya sendiri yang masih ada setengahnya, lalu mengang­kat cawan arak itu diberikan kepada Hong Beng! Tentu saja pemuda ini ragu-ragu untuk menerima­nya. Cawan itu milik Sin-kiam Mo-li, dan tadi masih ada setengahnya! Akan tetapi Sin kiam Mo-li dengan senyum manis sekali dan memandang dengan penuh gairah, berkata dengan suara yang merdu merayu.

“Gu-taihiap, atas nama persahabatan antara kita, demi eratnya persahabatan kita yang mesra, sudilah engkau menerima arak ini, taihiap.” Bagaimana mungkin Hong Beng mampu menolak? Suguhan arak itu diberikan dengan alasan persahabatan dan kalau dia menolak, berarti dia tidak mau bersahabat! Dan sinar mata wanita itu demikian jeli, demikian penuh permohonan, sehingga diapun tidak tega lagi untuk menolak! Pemuda ini sama sekali tidak sadar bahwa Sin-kiam Mo-li telah mempergunakan ke­kuatan sihirnya, mulai merayunya melalui suguhan arak! Hong Beng minum habis arak itu dan ketika dia meletakkan cawan kosong itu di depan Sin-kiam Mo-li, wanita itu menurunkan tangannya seperti tidak disengaja, akan tetapi tangan itu kini menutup tangan kiri Hong Beng dan jari-jari tangan yang kecil panjang dan lunak hangat itu mencengkeram punggung tangan Hong Beng.

Seperti orang linglung, Hong Beng mengangkat muka memandang dan melihat betapa cantiknya wa­jah wanita di sebelahnya itu, yang memandang ke­padanya dengan sepasang mata seperti matahari kembar dan senyum yang lebih manis dan hangat dari pada arak yang diminumnya tadi. Hong Beng merasa betapa jantungnya berdebar keras, jalan da­rahnya berdenyut-denyut dan belum pernah rasanya dia melihat wanita secantik Sin-kiam Mo-li! Tan­pa disadarinya, diapun membalas senyum itu, bahkan dia membalikkan tangan kirinya dan jari-jari tangannya bertemu dengan jari tangan wanita itu, telapak tangan mereka juga bertemu dengan hangatnya.

“Ha-ha-ha, tiba saatnya bagi kita untuk bermesraan!” terdengar suara seorang di antara tosu-tosu itu dan ketika Hong Beng menengok, ternyata Ok Cin Cu telah menangkap pinggang ramping dari Hek Nio dan kini gadis berpakaian serba hitam itu telah ditarik ke atas pangkuannya! Hek Nio hanya terkekeh genit ketika tosu itu meraba-raba dan menciumnya.

“Siancai....!” kata Thian Kong Cin-jin, wakil ketua Pat-kwa-kauw dengan alis berkerut ketika melihat ulah anak buahnya itu. “Kita belum mengadakan rapat pembicaraan tentang perjuangan itu sampat matang. Urusan senang-senang boleh ditunda dulu.”

“Hai, Ok Cin Cu, jangan tamak engkau!” seru Ang Bin Tosu tokoh Pek-lian-kauw kepada tokoh Pat-kwa-kauw itu. “Kita ada bertujuh di sini, dan ceweknya hanya ada tiga orang! Harus dibagi rata!”

“Sebaiknya mereka melayani kita secara ber­gilir!”

“Diundi dulu, siapa yang paling dulu dan bagai­mana cara gilirannya menurut undian!”

Sambil tertawa-tawa, tujuh orang tosu itu mem­beri usul-usul. Akhirnya Sin-kiam Mo-li yang masih saling berpegang tangan dengan Hong Beng itu berkata,

“Cuwi totiang, harap jangan ribut-ribut. Kita di antara kawan sendiri, bukan? Dengarlah, urusan rapat, sebaiknya dilanjutkan besok siang karena ma­lam ini aku.... ehh,” ia menoleh kepada Hong Beng, “ingin beristirahat dulu. Dan tiga orang pembantuku boleh saja melayani kalian, dan memang sebaiknya diadakan undian sehingga tidak terjadi perebutan.” Ia lalu bangkit berdiri dan menarik Hong Beng bangun. Pemuda ini menurut saja ditarik bangkit seperti orang kehilangan semangat. Memang semangat dan kemauannya telah ditekan dan diku­rung oleh kekuatan sihir Sin-kiam Mo-li. “Tentang undian itu, silahkan atur sendiri, nah, aku mengun­durkan diri lebih dulu.”

Sin-kiam Mo-li menarik tangan Hong Beng dan seperti seekor kerbau yang diikat hidungnya kini ditarik ke pejagalan, Hong Beng menurut saja wa­laupun pandang matanya mulai bingung. Apa yang didengar dan dilihatnya di ruangan makan itu mem­buat bulu tengkuknya berdiri. Dia merasa ngeri dan muak sekali, akan tetapi sungguh aneh, tidak ada kemauan untuk meronta sama sekali ketika Sin-kiam Mo-li menariknya menuju ke kamar nyonya rumah itu!

Sejak kecil Hong Beng menerima gemblengan dari Suma Ciang Bun. Ilmu-ilmu dari Pulau Es adalah ilmu yang tinggi dan cara melatih sin-kang membuat batin Hong Beng kuat sekali sehingga ka­lau memang dia menyadari dan mengerahkan kekuatan batinnya, tidak mudah dia jatuh ke bawah pengaruh sihir. Akan tetapi, ketika dia makan minum dengan Sin-kiam Mo-li, wanita cantik yang cerdik dan dapat menduga akan kekuatan orang itu telah mempergunakan sihirnya secara perlahan-lahan, se­dikit demi sedikit sehingga tanpa disadarinya, Hong Beng tercengkeram olehnya.

Akan tetapi, begitu melihat suasana yang dianggapnya memuakkan di ruangan makan tadi, di mana para tosu memperebutkan tiga orang pelayan wanita itu, keheranan dan kemuakan menyelinap di dalam benak Hong Beng dan membuat dia bercuriga. Wa­laupun kemauannya sudah lemah dan dia membiar­kan dirinya ditarik oleh Sin-kiam Mo-li menuju ke dalam kamarnya, namun diam-diam Hong Beng mulai mengerahkan kekuatan batinnya.

Begitu masuk kamar, Sin-kiam Mo-li menen­dang daun pintu tertutup dan ia menarik Hong Beng ke tempat tidur, lalu menerkam pemuda itu, mende­kap dan menciuminya seperti seekor harimau me­nerkam domba, penuh dengan nafsu berahi. Akau tetapi, hal ini bahkan mempercepat kesadaran Hong Beng yang biarpun tadi dipengaruhi sihir, masih be­lum disentuh deh nafsu berahi.

“Ihhh....!” Dia membentak, meronta dan meloncat turun dari atas pembaringan.

Sin-kiam Mo-li mengembangkan kedua lengan­nya ke arah Hong Beng sambil bangkit duduk, sepa­sang matanya berminyak, mulutnya merintih-rintih akan tetapi ia masih mencoba untuk mengerahkan kekuatan sihirnya.

“Gu Hong Beng, kekasihku.... kita.... saling mencinta, ke sinilah, sayang, marilah kita bersenang­senang.... bukankah kita telah menjadi sahabat yang amat mesra dan akrab? Ke sinilah, taihiap, kekasihku tercinta....“

Akan tetapi, mendengar ucapan penuh rayuan yang amat asing baginya ini, kesadaran Hong Beng semakin pulih dan dia mengerutkan alisnya, lalu menudingkan telunjuknya dengan marah.

“Sin-kiam Mo-li, sungguh engkau perempuan yang tidak tahu malu, tidak mengenal kesusilaan. Apa yang telah kaulakukan? Aku bukanlah laki-laki pelacur seperti yang kaukira! Aku.... aku akan pergi dari sini, mengajak pergi nona Kao Hong Li!” Berkata demikian, Hong Beng hendak keluar dari dalam kamar itu.

“Berhenti....!” Tiba-tiba suara Sin-kiam Mo-li sudah berubah, dan ketika ia berkelebat menghadang di depan pintu, Hong Beng melihat betapa wajah yang tadi nampak cantik manis itu kini nampak seperti wajah iblis betina yang beringas, se­pasang mata itu mencorong penuh kekejaman dan mulut itu menyeringai mengerikan!

“Gu Hong Beng, laki-laki tak mengenal budi, tak tahu dicinta orang! Engkau sudah menentukan pilihanmu sendiri. Bukankah engkau memilih antara dua, yaitu menjadi tamu atau menjadi tawanan? Engkau memilih menjadi tamu dan aku memperlaku­kanmu seperti seorang tamu agung, akan tetapi apa balasanmu? Engkau malah menghinaku! Jangan harap engkau dapat keluar dari sini, apa lagi memba­wa muridku!” Berkata demikian, wanita yang marah itu maju menghampiri. “Masih kuberi kesempatan sekali lagi. Engkau mau melayani aku dan berse­nang-senang dengan aku selama sebulan ini, atau­kah engkau menjadi tawananku dan mungkin akan kubunuh?”

“Cih, perempuan tak tahu malu! Siapa takut mati? Lebih baik mampus dari pada menyerah kepadamu melakukan perbuatan hina dan rendah!”

“Keparat sombong! “ Sin-kiam Mo-li mem­bentak dan wanita ini sudah menerjang maju dengan pukulan dahsyat, menggunakan tangan kirinya me­nampar ke arah pelipis kepala Hong Beng. Pemuda ini sudah nekat. Bagaimanapun juga, tidak sudi dia memenuhi permtntaan wanita iblis cabul itu dan biarpun dia tahu bahwa dia berada di tempat ber­bahaya, namun dia lebih baik mati dari pada harus menyerah. Melihat datangnya pukulan dahsyat itu, diapun menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga Soat-im Sin-kang yang amat dingin, sedangkan tangan kirinya membarengi tang­kisan itu, mendorong ke arah lambung lawan yang terbuka.

“Dukkk....!” Dua lengan bertemu dan wanita itu cepat meliukkan tubuh menghindarkan dorongan ke arah lambungnya. Ia dapat merasa be­tapa tangkisan itu mengandung hawa amat dingin yang menyusup ke dalam tubuhnya. Cepat ia me­ngerahkan sin-kang melawan dan iapun tahu bahwa pemuda ini benar -benar tangguh, hal yang tidak aneh kalau diingat bahwa pemuda ini adalah murid keluarga Pulau Es yang terkenal memiliki sin-kang dahsyat, yaitu Hui-yang Sin-kang yang panas dan Soat-im Sin-kang yang amat dingin.

Maklum bahwa menghadapi pemuda ini dengan tangan kosong akan memakan waktu lama dan tidak mudah baginya untuk merobohkannya, Sin-kiam Mo-li lalu meloncat ke dekat meja dan menyambar sebatang kebutan bergagang emas yang bulunya merah, dan begitu dikelebatkannya kebutan ini, nam­pak sinar merah bergulung-gulung menyambar ke arah Hong Beng. Pemuda ini melawan sekuat tena­ga. Untuk menangkis dan menghindarkan diri dari kebutan berbulu merah yang mengandung racun itu, dia mengeluarkan ilmu silat Hong In Bun-hoat yang gerakan-gerakannya halus namun mengandung ke­kuatan sin-kang hebat sehingga dapat mendorong pergi ujung kebutan setiap kali ujung kebutan meng­ancam tubuhnya. Akan tetapi, karena dia tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang, sebuah tendangan kaki kiri Sin-kiam Mo-li yang dibarengi dengan menyambarnya kebutan itu, me­nyerempet pinggang pemuda itu sehingga dia terpelanting dan terhuyung. Marahlah Hong Beng. Dia lalu nekat dan dengan mengeluarkan suara meleng­king nyaring, dia menyerang dengan Ilmu Silat Cui-beng Pat-ciang yang hebat. Ilmu ini adalah ilmu sesat dari Pulau Neraka, dimiliki oleh guru Hong Beng dari nenek Lulu dan biarpun ilmu ini hanya terdiri dari delapan jurus, namun dahsyatnya bukan kepalang. Begitu Hong Beng menyerang, diam-diam Sin-kiam Mo-li terkejut karena kebutannya dapat terpukul membalik, bahkan dadanya nyaris terkena pukulan. Untung ia masih sempat membuang diri ke belakang sambil berjungkir balik lalu memutar kebutan di depan tubuh untuk menghalau serangan berikutnya.

Akan tetapi Hong Beng tidak mau memberi ke­sempatan lagi kepada lawannya. Dia mendesak maju dengan jurus berikutnya dari Cui-beng Pat-ciang (Delapan Jurus Pengejar Arwah)! Kembali kebut­an merah itu terpukul membalik dan dua pukulan tangan dari kanan kiri mengancam Sin-kiam Mo-li. Wanita ini terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa murid keluarga Pulau Es memiliki pukulan yang demikian mengerikan, yang sifatnya ganas dan lebih tepat kalau dimiliki golongan sesat. Karena tidak mengenal jurus-jurus ini, maka ia terdesak dan terpaksa ia kembali melempar tubuh ke belakang, mendekati dinding dan sekaligus ia mencabut seba­tang pedang yang tergantung di situ. Dengan pe­dang di tangan kanan dan kebutan di tangan kiri Sin-kiam Mo-li kini menyerang Hong Beng. He­bat memang wanita ini kalau sudah memainkan dua buah senjatanya. Pedangnya menyambar-nyambar ganas dan kebutannya membantu gerakan pedang, bahkan kedua senjata itu selain saling bantu dalam serangan, juga saling melindungi. Kalau pedang me­nangkis, kebutan menyerang dan sebaliknya. Dan Hong Beng yang bertangan kosong itu terdesak hebat! Ketika dia tersudut dan tidak ada jalan ke­luar lagi, pemuda ini menjadi nekat hendak mengadu nyawa. Sambil mengeluarkan pekik dahsyat, dia mengerahkan tenaganya dan memukul dengan Ilmu Silat Toat-beng Bian-kun, yang membuat kedua tangannya menjadi lemas seperti kapas, namun me­ngandung tenaga dahsyat yang dapat mencabut nyawa lawan dengan sekali pukul. Namun, pedang di tangan Sin-kiam Mo-li menyambar sedangkan kebutan­nya menotok ke arah pergelangan tangan yang me­mukul, Hong Beng tentu saja menarik tangannya karena maklum bahwa ujung kebutan itu beracun dan biarpun dia sudah miringkan tubuh, tetap saja pun­daknya tercium pedang sehingga bajunya robek ber­ikut kulit dan sedikit daging di pangkal lengan kiri­nya! Sebuah tendangan yang menyusul, membuat tubuhnya terlempar ke arah pintu kamar.

“Tukk!” Tubuh itu disambut oleh seorang tosu yang sudah menotoknya dengan ujung tongkat se­hingga Hong Beng roboh dengan kaki tangan lum­puh dan tidak mampu bergerak lagi.

“Ha-ha-ha, apakah pengantinmu ini banyak bertingkah, Mo-li?” kata Thian Kek Seng-jin, tokoh Pek-lian-kauw yang tadi menggunakan tong­kat naga hitamnya menotok Hong Beng yang sudah terluka. Tosu ini sedang menanti gilirannya karena ketika menarik undian, gilirannya adalah yang ter­akhir. Tiga orang tosu memasuki kamar bersama tiga orang gadis pelayan, sedangkan yang tiga orang lagi termasuk Thian Kek Seng-jin, menanti giliran mereka. Karena iseng, Thian Kek Seng-jin berjalan-jalan menuju ke kamar Sin-kiam Mo-li sehingga dia dapat merobohkan Hong Beng yang kebetulan terlempar, ke pintu ketika dia membuka daun pintu karena mendengar suara perkelahian di dalam ka­mar itu.

“Biar kubunuh saja tikus ini!” kata pula Thian Kek Seng-jin sambil menggerakkan tongkatnya.

“Jangan!“ teriak Sin-kiam Mo-li. “Dia men­jadi sandera yang berharga bagi kita.” Memang wa­nita itu cerdik. Mendapat tawanan murid keluarga Pulau Es merupakan modal yang baik, karena pe­muda itu dapat menjadi sandera yang tentu akan dihargai oleh keluarga Pulau Es. Selain itu, juga diam-diam ia masih mengharapkan untuk dapat mematahkan semangat pemuda ini dan suatu saat dapat menjatuhkan hati pemuda itu dan menariknya ke dalam pelukannya.

“Ha-ha-ha, pendapat itu boleh juga,” kata Thian Kek Seng-jin sambil tertawa. “Dan bagai­mana kalau pinto saja menggantikan pemuda ini untuk menghibur hatimu yang kecewa?”

Sin-kiam Mo-li mengangkat muka memandang tosu itu. Seorang tosu yang biarpun sudah tua, na­mun nampak penuh semangat. Tubuhnya kurus ke­ring, akan tetapi mukanya merah darah dan gerak-geriknya masih tangkas dan gesit, sepasang matanya bercahaya seperti mata kucing. Boleh juga, pikirnya, karena selain hatinya kesal atas penolakan Hong Beng dan ia membutuhkan teman untuk menghi­burnya, juga ia melihat keuntungannya kalau berbaik dengan tosu Pek-lian-kauw yang lihai dan mempunyai pengaruh besar di perkumpulannya itu.

Sin-kiam Mo-li tersenyum. “Baiklah, totiang. Akan tetapi bantu dulu aku melempar orang keras kepala ini ke dalam kamar tahanan karena tiga orang pelayanku sedang sibuk melayani para tosu lainnya.”

Tentu saja Thian Kek Seng-jin girang sekali. Dia bukanlah seorang pengejar wanita cantik seperti Ok Cin Cu dan yang lain, akan tetapi baginya jauh lebih menyenangkan menjadi teman tidur nyonya rumah yang biarpun sudah lebih tua namun jauh lebih cantik menarik dari pada tiga orang gadis pela­yan itu, apa lagi kalau dia memperoleh giliran paling akhir! Dia lalu menyambar tubuh Hong Beng, sekali mencokel dengan tongkatnya, tubuh pemuda itu ter­angkat naik dan dikempitnya.

“Ke mana dia harus dilempar?” tanyanya sambil menyeringai. Wajahnya yang kemerahan memang tidak begitu buruk seperti para tosu lainnya, maka tidak mengherankan kalau Sin-kiam Mo-li mene­rimanya.

“Mari ikuti aku,” kata wanita itu yang memasuki sebuah pintu rahasia di ruangan belakang. Pintu ini tersembunyi di balik sebuah almari yang digeser ke kiri dan di belakang pintu terdapat sebuah terowongan yang menuju ke bawah tanah. Kiranya rumah besar itu selain terjaga di sekelilingnya oleh tempat-tempat rahasia penuh jebakan, juga memiliki ruang­an bawah tanah yang cukup luas! Ia memasuki se­buah kamar tahanan di bawah tanah itu, kamar tahanan yang kuat karena dindingnya dilapisi baja dan pintunya juga dari baja dengan ruji-ruji sebesar lengan yang amat kokohnya pada jendela kamar itu. Dengan kasar Thian Kek Seng-jin melempar tubuh Hong Beng ke dalam kamar ini yang berlantai batu. Tubuh yang sudah lumpuh kaki tangannya dan tidak mampu bergerak itu terbanting ke atas lantai, kemu­dian daun pintunya ditutup dan dikunci dari luar oleh Sin-kiam Mo-li.

Kebetulan Hong Beng terjatuh dengan muka menghadap keluar, maka Sin-kiam Mo-li meman­dang kepadanya, lalu tersenyum dan berkata, “Gu Hong Beng, kalau aku menghendaki, saat ini engkau tentu sudah menjadi mayat.”

“Bunuhlah, tak perlu banyak cerewet. Siapa takut mati?” Hong Beng menjawab. Yang lumpuh hanya kaki dan tangannya, sedangkan anggauta tubuh lainnya tidak.

Sin-kiam Mo-li tidak marah, hanya tertawa. Kini ia sudah dapat mengatasi kekecewaan dan ke­marahannya. Menghadapi seorang pemuda gagah perkasa dan keras hati seperti murid keluarga Pulau Es ini tak boleh menggunakan kekerasan seperti terhadap pemuda lain yang pernah diculiknya, hal ini ia tahu benar. Maka, iapun ingin berganti siasat. “Justeru karena engkau tidak takut mati maka aku merasa sayang untuk membunuhmu. Nah, kuberi waktu kepadamu untuk merenungkan semua keada­anmu dan kuharap engkau tidak begitu tolol untuk mempertahankan kekerasan hatimu dan memilih mati secara konyol.” Setelah berkata demikian, Sin-kiam Mo-li tersenyum dan menggandeng tangan Thian Kek Seng-jin yang tertawa-tawa ketika me­reka berdua bergandeng tangan meninggalkan ruang­an bawah tanah itu.

Hong Beng menggeletak di lantai kamar tahanan itu. Sunyi bukan main di situ, tak terdengar suara apapun dan tidak terlihat sesuatu yang bergerak. Dia merasa seperti berada di dunia lain! Untung masih ada sebuah lampu lentera tergantung di luar kamar tahanan dan sinarnya memasuki kamar melalui jen­dela beruji baja. Hong Beng maklum bahwa dia tidak dapat mengharapkan bantuan dari luar. Mati hidupnya tergantung kepada dirinya sendiri dan se­lagi dia masih bernapas, dia tidak akan putus harap­an. Akan tetapi, bagaimanapun juga, kalau jalan keselamatannya harus melalui penyerahan diri kepada Sin-kiam Mo-li seperti yang dikehendaki wanita cabul itu, dia tetap menolak dan memilih mati! Dia sudah banyak mendengar dari suhunya dan juga dari pengalamannya di dunia kang-ouw tentang wanita cabul macam Sin-kiam Mo-li. Kalau sudah bosan kepada seorang laki-laki, tentu akan dibunuhnya.

Yang terpenting adalah membebaskan totokan ini, pikirnya. Maka Hong Beng lalu memejamkan kedua matanya, mengatur pernapasan dan perlahan-lahan mulai mengerahkan hawa murni di tubuhnya untuk membobolkan bendungan jalan darah yang tertotok. Totokan di punggung oleh tongkat tokoh Pek-lian-kauw tadi memang hebat dan melumpuh­kan kedua kaki tangannya.

Akhirnya, setelah dia mulai dapat mengumpulkan tenaga dan daya totokan itupun mulai melemah, dia mampu membebaskan diri dari totokan itu dan mam­pu menggerakkan kembali kaki tangannya. Hong Beng lalu bangkit duduk dan bersila, bersamadhi beberapa lamanya sampai tenaganya pulih kembali. Diperiksanya luka di pundak. Hanya luka lecet, tidak berbahaya dan darahnya sudah berhenti. De­ngan robekan ikat pinggang, dibalutnya pundak itu. Kemudian dia bangkit berdiri berjalan-jalan seben­tar untuk memulihkan kekakuan kedua kakinya, ba­ru dia mulai memeriksa kamar tahanan itu. Dico­banya ruji baja dan pintu, namun dia mendapat kenyataan bahwa dengan tenaga biasa, tak mungkin dia akan mampu lolos dari kamar baja ini seperti yang sudah diduga. Orang macam Sin-kiam Mo-li tak mungkin demikian ceroboh dalam membuat ka­mar tahanan. Tidak ada jalan lain baginya kecuali menanti apa yang akan datang menimpanya. Yang penting, dia sudah dapat bergerak dan masih hidup! Maka diapun kembali duduk bersila di tengah kamar itu, di atas lantai batu yang dingin.

Entah berapa lamanya dia bersamadhi, Hong Beng tidak tahu karena di dalam kamar tahanan itu tak pernah dapat didengar suara apa-apa, juga ha­nya lentera itu yang menerangi cuaca sehingga dia tidak mengenal waktu. Tiba-tiba telinganya yang terlatih mendengar langkah kaki lirih menghampiri kamarnya dan tak lama kemudian, dari jendela ter­dengar suara mendesis.

“Sssttt....!”

Hong Beng mengangkat muka dan melihat wajah gadis cilik yang mengaku bernama Kao Hong Li itu telah menjenguk dari luar ruji jendela. Cepat dia bangkit dan menghampiri.

“Suheng, aku menyesal sekali bahwa gara-gara aku engkau sampai tertangkap dan ditawan di sini kata Hong Li.

“Nona.... eh, sumoi Kao Hong Li, apakah engkau dapat membuka pintu ini dari luar?”

Gadis remaja itu menggeleng kepalanya. “Pe­nyimpan kunci adalah subo sendiri dan pintu ini tak mungkin dibuka tanpa kunci.”

Hong Beng mengerti. “Sumoi, kalau begitu, se­lagi ada kesempatan, ceritakanlah kepadaku semua pengalamanmu secara singkat saja. Bagaimana eng­kau yang katanya dahulu diculik seorang pendeta Lama, tahu-tahu dapat menjadi anak angkat dari murid Sin-kiam Mo-li.”

Tadi ketika diusir pergi oleh gurunya, Hong Li memasuki kamarnya dan anak ini mulai memutar otaknya. Hatinya merasa tidak senang kepada su­bonya dan timbul rasa penasaran, heran dan juga curiga terhadap subonya yang menjamu tujuh orang tosu yang kelihatan begitu kurang ajar, kasar dan ganas. Apa lagi ketika ia teringat kepada Gu Hong Beng, orang yang bahkan menjadi utusan ayah ibu­nya untuk mencarinya, hatinya dipenuhi rasa kha­watir. Malam itu, diam-diam ia keluar dari tempat tidurnya melakukan pengintaian dan dapat dibayang­kan betapa kaget rasa hatinya ketika ia melihat Gu Hong Beng dikempit oleh seorang tosu kurus kering yang berjalan menuju ke lorong bawah tanah bersa­ma subonya. Ia menanti sampai dua orang itu yang tertawa-tawa sambil bergandeng tangan keluar dari lorong bawah tanah. Hong Li bersikap hati-hati sekali, tidak berani segera memasuki lorong itu ka­rena ia khawatir kalau-kalau subonya akan kemba­li. Ia menanti sampai jauh malam. Setelah suasana sunyi, tidak nampak tiga orang gadis pelayan yang ia tidak tahu entah berada di mana, tidak nampak seo­rangpun di luar kamar, ia lalu menyelinap dan me­masuki lorong bawah tanah melalui pintu rahasia yang sudah dikenalnya. Seperti yang dikhawatirkan­nya, ia melihat pemuda itu telah berada di dalam kamar tahanan yang kokoh kuat itu.

“Aku memang diculik orang, suheng,” Hong Li mulai bercerita. “Penculikku adalah seorang kakek bernama Ang I Lama. Akan tetapi, di tangah per­jalanan, aku ditolong dan dilarikan oleh subo yang kemudian mengangkatku sebagai anak dan mengambil aku sebagai murid, setelah minta aku berjanji untuk menjadi muridnya selama lima tahun. Karena aku merasa berhutang budi, maka akupun berjanji dan aku menjadi muridnya sampai sekarang.”

Hong Beng mengerutkan alisnya. Kalau begitu, benar bahwa wanita iblis itu bukan penculik Hong Li, bahkan penolongnya! Lalu dia teringat akan ke­matian Ang I Lama yang kemudian dikabarkan bah­wa pembunuhnya adalah ayah ibu gadis remaja ini.

“Adik Hong Li, apakah engkau tahu apa yang selanjutnya terjadi dengan Ang I Lama, penculikmu itu?”

“Ah, dia telah datang ke sini untuk merampasku kembali, akan tetapi dalam perkelahian yang amat hebat, akhirnya dia terkena tusukan pedang subo dan dia melarikan diri, sampai sekarang tidak ada kabar ceritanya lagi.”

Hong Beng mengangguk-angguk, mengerti bahwa pembunuh Ang I Lama adalah Sin-kiam Mo-li pula. “Dengar, adik Hong Li, engkau telah terjatuh ke tangan orang yang amat jahat. Engkau tahu, orang yang menjadi gurumu itu bersekong­kol dengan para tosu Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, orang-orang yang amat jahat walaupun mereka berpakaian pendeta. Karena itu sekarang engkau pergilah meninggalkan tempat ini. Selagi ada kesempatan, sumoi. Mereka semua sedang bersenang-se­nang dan engkau tentu akan mampu keluar dari da­erah ini dengan selamat.”

“Pergi? Tapi.... ke mana....?” Ga­dis remaja itu memandang dengan mata terbelalak.

“Aku tidak tahu jalan pulang....“

“Pergilah, ke mana saja asal tidak di sini. Perlahan-lahan engkau dapat mencari jalan pulang. Percayalah kepadaku, demi keselamatanmu, pergilah dari sini malam ini juga....“

“Akan tetapi engkau sendiri menjadi tawan­an....”     

“Jangan hiraukan aku, sumoi. Yang penting engkau harus bebas dari neraka ini sebelum terjadi hal yang lebih buruk atas dirimu. Aku akan menanti kesempatan dan berusaha menyelamatkan diri.”

Akan tetapi gadis cilik itu menggeleng kepalanya. “Tidak mungkin, suheng. Aku tidak mungkin pergi dari sini meninggalkan subo.”

“Eh? Kenapa tak mungkin?” Hong Beng me­mandang heran.

“Lupakah kau akan ceritaku tadi? Aku telah diselamatkan subo dari tangan penculikku dan aku sudah berjanji dengan sumpah untuk menjadi murid­nya selama lima tahun. Sebelum lewat waktu itu, tak mungkin aku pergi meninggalkannya.”

“Akan tetapi, ia bukan orang baik-baik. Iaseorang yang jahat sekali, iblis betina yang kejam, ahh, engkau tidak dapat membayangkan betapa kejam dan jahatnya....“ Hong Beng bergidik membayang­kan gadis cilik ini menjadi murid seorang wanita seperti Sin-kiam Mo-li. “Engkau pergilah dari sini!”

“Tidak, suheng, bagaimanapun juga aku tidak akan pergi, kecuali kalau subo yang menyuruh aku pergi atau.... kalau subo sudah tidak ada lagi. Selama ia masih hidup dan tidak menyuruh aku pergi, aku tidak akan melanggar janji dan sumpahku sendiri!”

Hong Beng memandang kagum. Bagaimanapun juga, anak ini sungguh mengagumkan dan pantas menjadi puteri keluarga Kao, keturunan dari Pulau Es dan Gurun Pasir! Masih kecil namun sudah demikian gagah dan teguh memegang janji.

“Baiklah kalau begitu, pergilah keluar dari sini, sumoi, jangan sampai ketahuan orang lain bahwa engkau masuk ke sini.”

“Nanti dulu, suheng, aku harus mencari akal bagaimana untuk dapat membebaskan engkau dari sini. Kalau engkau dapat keluar dari kamar ini, lalu aku mengantarkan kau keluar dari daerah kami, tentu kau akan selamat.” Anak itu mengerutkan alisnya, berpikir mencari akal. Akan tetapi ia tidak dapat menemukan akal itu. “Aihh....“ ia mengeluh dan menggeleng kepala. “Satu-satunya jalan adalah mencuri kunci itu dari subo. Akan tetapi betapa mungkin kalau kunci itu selalu dikantonginya?”

Memang tidak mungkin, murid murtad!” Tiba-tiba terdengar suara Sin-kiam Mo-li dan wanita itu telah berdiri di ambang pintu! Hong Li mem­balikkan tubuhnya menghadapi subonya, sedikitpun tidak nampak takut! Bukan kebetulan saja Sin-kiam Mo-li memasuki lorong bawah tanah itu. Tadi se­bagai pengganti Hong Beng yang menolaknya ia mengajak Thian Kek Seng-jin ke dalam kamarnya.

Akan tetapi ia sama sekali tidak memperoleh kepuasan atau kesenangan bersama tosu ini, bahkan ia merasa muak dan akhirnya ia menyuruh tosu itu pindah ke kamarnya sendiri dengan alasan bahwa kepalanya pusing dan ia mau istirahat dan tidur sendiri. Dengan sikap penuh kemenangan Thian Kek Seng-jin meninggalkan kamar nyonya rumah itu, tidak merasa bahwa dia telah diusir oleh wanita can­tik itu karena sikap Sin-kiam Mo-li yang halus. Setelah tosu itu pergi, Sin -kiam Mo-li gelisah tak mampu pulas karena ia masih teringat kepada Hong Beng dan merasa penasaran. Akhirnya, ia tidak ta­han lagi dan keluar dari kamarnya, memasuki lorong bawah tanah dan ia mendengar ucapan terakhir dari muridnya. Tentu saja ia marah sekali melihat mu­ridnya berada di situ dan bercakap-cakap dengan tawanannya, apa lagi mendengar ucapan terakhir muridnya yang menyatakan ingin mencuri kunci kamar tahanan itu.

Akan tetapi, Hong Li menghadapi subonya dan sinar mata anak ini sama sekali tidak memperlihat­kan rasa takut. Ia menentang mata subonya yang mencorong itu dengan membuka matanya lebar-lebar penuh rasa penasaran.

“Subo, kenapa subo menangkap suhengku? Suheng Gu Hong Beng ini adalah murid dari paman­ku, dan dia datang ke sini karena hendak mencari aku yang hilang diculik orang. Subo harus membe­baskan dia agar dapat melapor kepada ayah ibuku bahwa aku berada dalam keadaan selamat dan menja­di murid subo di sini!”

Sin-kiam Mo-li memandang dengan mu­ka merah. Dalam keadaan biasa, tentu iapun merasa kagum melihat keberanian muridnya. Akan tetapi ia sedang kecewa dan marah karena penolakan Hong Beng, maka kini ia menjadi marah sekali.

“Bocah setan! Engkau malah hendak membela musuh? Dia melanggar daerahku tanpa ijin, bahkan telah menentang orang-orangku. Dan engkau hen­dak mencuri kunci membebaskannya. Anak tak me­ngenal budi kau!” Tiba-tiba tangannya menyam­bar dan biarpun Hong Li berusaha mengelak, tahu-tahu lengannya telah dapat ditangkap dan Sin-kiam Mo-li menyeretnya dan melemparkannya ke dalam kamar tahanan kosong di sebelah kamar tahanan Hong Beng itu, lalu mengunci pintunya dari luar.

“Nah, kalau engkau berpihak kepada musuh, berarti engkau memusuhi aku dan menjadi anak angkat dan murid yang durhaka dan murtad. Biarlah engkau merasakan hukuman selama beberapa hari­ di situ!” Setelah berkata demikian, Sin-kiam Mo-li meninggalkan lorong itu. Keinginannya untuk membujuk Hong Beng lagi menjadi hilang oleh ke­marahannya terhadap Hong Li.

“Ah, sungguh celaka, aku tidak mampu meno­longmu, bahkan aku yang membuatmu dimarahi su­bomu dan kini engkaupun ditangkap dan dihukum,” kata Hong Beng dengan hati menyesal bukan main. Bagaimana dia tidak akan menyesal? Tadinya, bi­arpun menjadi murid iblis betina, Hong Li hidup bebas dan gembira. Setelah dia datang dengan usa­hanya membebaskan Hong Li, dia sendiri tertangkap dan gadis cilik ini ditawan pula karena dia!

“Sudahlah, suheng, tidak perlu menyesal dan mengeluh. Aku malah ingin melihat apa yang akan dilakukan subo terhadap diriku, agar aku memper­oleh keyakinan orang macam apa adanya subo dan bagaimana perasaan hatinya terhadap diriku.”

“Hemm, engkau tidak tahu, sumoi. Subomu itu adalah anak angkat dari mendiang Kim Hwa Nio-nio, seorang di antara tokoh-tokoh pemberontak jahat yang tewas di tangan para pendekar termasuk keturunan Pulau Es dan Gurun Pasir! Kurasa ia tidak bermaksud baik terhadap dirimu, karena ia adalah musuh besar dari para pendekar.”

“Akan tetapi buktinya ia selalu bersikap baik kepadaku, dan baru sekarang ia marah kepadaku. Hal inipun karena kesalahanku sendiri. Biarlah, aku akan melihat bagaimana sikapnya selanjutnya.” Dan anak yang berhati tabah sekali ini lalu dengan tenang saja merebahkan diri di atas lantai dingin dan me­mejamkan matanya! Melihat ini, Hong Beng sema­kin kagum. Diapun lalu duduk bersila untuk ber­samadhi, mempersiapkan diri untuk menghadapi apapun juga.

“Sin-kiam Mo-li....! Aku Bi-kwi murid Sam Kwi datang berkunjung. Keluarlah dan temui aku karena aku tidak ingin melanggar daerahmu!”

Wanita itu adalah Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi, wanita yang cantik. Berbeda dari hari-hari kemarin semenjak ia menjadi isteri Yo Jin, kini ia kembali seperti sebelum itu, seperti ketika ia masih menjadi Bi-kwi yang sesat dan jahat. Kini ia mengenakan pakaian mewah sehingga membuat dirinya semakin cantik, apa lagi ia menambah pemerah bibir dan pipi, juga penghitam alis. Sebatang pedang tergantung di punggungnya. Ini merupakan siasat yang telah dia­turnya bersama Sim Houw dan Bi Lan. Untuk dapat mendekati Sin-kiam Mo-li dan menyelidiki apakah puteri keluarga Kao benar berada di situ, ia harus kembali menjadi Bi kwi murid Sam Kwi yang jahat, seorang tokoh dunia sesat yang ditakuti orang. Kini ia berdiri di luar hutan pertama dari daerah tempat tinggal Sin-kiam Mo-li dan beberapa kali ia me­ngeluarkan seruan itu dengan teriakan melengking nyaring karena didorong oleh tenaga khi-kang. Ia harus pandai bersandiwara, apa lagi di tempat itu terdapat para tosu Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang pernah bermusuhan dengannya karena ia mem­bela Yo Jin

Baru tiga kali ia mengulangi teriakannya, muncullah seorang gadis berpakaian serba hitam yang berwajah manis dan bersikap genit. Gadis ini adalah Hek Nio, seorang di antara tiga gadis pelayan Sin-kiam Mo-li. Ia diberi tugas untuk turun menyam­but tamu itu. Ketika Sin-kiam Mo-li mendengar suara itu, ia teringat bahwa mendiang ibu angkatnya memang bekerja sama dengan Sam Kwi, tiga orang datuk sesat yang terkenal. Karena nama Bi-kwi juga sudah terkenal di dunia kaum sesat, maka Sin-kiam Mo-li menganggapnya sebagai teman segolongan dan iapun mengutus Hek Nio untuk keluar menyambut, sedangkan Ang Nio dan Pek Nio sibuk bekerja di dapur setelah mereka bertiga semalam suntuk melayani tujuh orang tosu yang tak menge­nal lelah itu.

Melihat munculnya Hek Nio, Bi-kwi cepat maju menghampiri dan memberi hormat yang dibalas pula oleh Hek Nio dengan hormat karena pelayan inipun sudah pernah mendengar akan nama Bi-kwi yang lihai. Ia belum pernah bertemu dengan Bi-kwi, juga majikannya belum, akan tetapi tadi ia telah diberi­tahu akan ciri-ciri Bi-kwi oleh Sin-kiam Mo-li yang sudah mendengar pula tentang keadaan diri Bi -kwi.

“Benarkah saya berhadapan dengan Setan Cantik (Bi-kwi) Ciong Siu Kwi?” Hek Nio berkata, si­kapnya tetap menghormat.

“Benar, akan tetapi aku ingin bertemu dengan Sin-kiam Mo-li sendiri, bukan orang lain,” kata Bi-kwi hati-hati, akan tetapi sengaja memperlihat­kan sikap angkuh, seperti sikapnya dahulu sebelum ia menjadi nyonya Yo Jin.

Hek Nio menjura. “Maaf, saya adalah pelayan bernama Hek Nio yang diutus oleh majikan saya untuk menyambut tamu. Akan tetapi, bagaimana saya dapat yakin bahwa engkau adalah benar Bi-kwi Ciong Siu Kwi? Kata majikan saya, kalau bukan Bi-kwi yang sesungguhnya, tidak boleh masuk.”

“Huh, apakah Sin-kiam Mo-li begitu bodoh sehingga tidak mengenal mana orang aseli dan mana palsu? Mau bukti? Nah, inilah buktinya!” Tiba-tiba saja, secepat kilat menyambar, tubuh Bi-kwi sudah bergerak ke depan, akan tetapi yang meluncur maju hanya tangannya saja, sedangkan tubuhnya te­tap di tempat. Jarak antara ia dan pelayan itu ada satu setengah meter, akan tetapi lengannya dapat mulur dan tahu-tahu tangan itu telah mencengkeram tengkuk pelayan itu dan mengangkatnya lalu melem­parkannya ke atas! Tentu saja Hek Nio terkejut setengah mati. Iapun seorang yang sudah memper­oleh latihan yang cukup lihai. Ketika tadi tangan Bi-kwi bergerak ke depan, ia membuat perhitungan bah­wa tangan itu tidak akan mencapai dirinya. Akan tetapi siapa kira bahwa lengan itu dapat mulur dan tahu-tahu tengkuknya ditangkap dan tubuhnya di­lempar ke atas. Ia segera berjungkir balik dan dapat turun lagi di atas tanah dengan baik sehingga Bi-kwi mengangguk-angguk.

“Pelayan Sin-kiam Mo-li boleh juga!” kata­nya.

Kini Hek Nio tidak berani main-main lagi. Se­mua tanda-tanda yang diberikan majikannya me­mang cocok dengan keadaan tamu ini. Maka iapun memberi hormat lagi sambil berkata, “Marilah, toanio. Majikan kami telah menanti di ruangan tamu,” katanya sambil membalikkan tubuh dan me­langkah ke depan. Bi-kwi tersenyum mendengar dirinya disebut nyonya besar, dan iapun mengikuti Hek Nio, akan tetapi dengan hati-hati dan menjaga agar ia selalu menginjak tanah bekas injakan pelayan itu. Di sepanjang perjalanan ini ia membuat cacatan dalam hatinya agar hafal akan jalan-jalan di tempat penuh rahasia itu. Karena ia memang seorang yang amat cerdik, ia sudah dapat membuat peta di dalam ingatannya, dan tahulah ia bahwa rahasia tempat itu berdasarkan pat-kwa sehingga lebih mudah untuk mengenal rahasianya.

Ketika ia dibawa masuk ke dalam rumah sampai ke ruangan tamu, di situ telah menunggu Sin-kiam Mo-li dan tujuh orang tosu. Dua di antara mereka amat dikenalnya, yaitu Ok Cin Cu tokoh Pat-kwa-pai dan Thian Kek Seng-jin tokoh Pek-lian-pai!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Bi-kwi pernah bentrok dengan dua orang tosu ini ketika memperebutkan Yo Jin yang ditawan oleh kedua tosu itu. Dengan sikap tenang, senyum manis di mu­lut, Bi-kwi memasuki ruangan tamu dan langsung saja ia menghampiri Sin-kiam Mo-li yang duduk tegak dengan sikap angkuh dan pandang matanya tajam penuh selidik mengamati wajah Bi-kwi yang cantik.

Bi-kwi menjura ke arah Sin-kiam Mo-li dan berkata dengan sikap ramah sekali, “Benarkah aku berhadapan dergan Sin-kiam Mo-li yang terkenal itu? Sungguh mengagumkan, ternyata lebih cantik dari pada yang pernah kudengar!”

Senang juga hati Sin-kiam Mo-li mendapatkan pujian ini dan iapun bangkit berdiri, mempersilah­kan duduk sambil berkata, “Kiranya engkau yang berjuluk Bi-kwi? Memang julukan yang pantas, engkau cantik dan engkau cerdik, tentu juga pandai seperti setan!”

Bi-kwi tertawa. “Aih, Sin-kiam Mo-li sung­guh pandai memuji, membikin aku merasa malu saja.”

“Siancai....! Murid tercinta dari Sam Kwi tentu saja pandai!” tiba-tiba Thian Kong Cin-jin, wakil ketua Pat-kwa-pai berkata sambil tertawa. “Sebelum mati, tentu ketiga Sam Kwi telah mewaris­kan semua ilmu kepandaiannya kepada murid me­reka yang sangat tercinta!” Kakek ini memberi penekanan kepada kata “tercinta” dan para tosu yang berada di situ tertawa, karena mereka semua sudah mendengar bahwa selain menjadi murid Sam Kwi, Bi-kwi juga menjadi kekasih mereka. Akan tetapi hal seperti ini dianggap tidak aneh oleh kaum sesat, maka dengan sikap enak saja, tanpa malu-malu atau kikuk, Bi-kwi menatap wajah kakek itu dengan tersenyum mengejek.

“Apa salahnya? Kalau kedua pihak sudah saling setuju, cinta boleh dimainkan oieh siapa saja, bukan? Tidak benar demikiankah, Mo-li?”

“Hi-hik, sekali ini Thian Kong Cin-jin termakan pertanyaan sendiri yang usil,” kata Sin-kiam Mo-li, senang dan merasa cocok dengan Bi-kwi.

“Akan tetapi nanti dulu! Jangan terlalu percaya kepada wanita ini!” Tiba-tiba Ok Cin Cu berkata dengan lantang sambil bangkit berdiri dari bangku­nya, memandang kepada Bi-kwi. “Harap kalian semua ketahui bahwa pinto berdua Thian Kek Seng-jin, pernah bentrok dengan Bi-kwi, dan dalam ben­trokan itu, dia bekerja sama dengan seorang pende­kar! Jangan-jangan kedatangannya ini adalah se­bagai mata-mata dari para pendekar yang mengutus­nya!”

Semua orang terkejut dan Sin-kiam Mo-li juga bangkit, meraba gagang pedang di punggungnya sam­bil memandang kepada Bi-kwi dan membentak, “Keparat! Benarkah itu, Bi-kwi?”

Bi-kwi memang sudah memperhitungkan serangan yang datang dari dua orang tosu itu sebelum ia datang ke tempat ini, maka iapun bersikap tenang saja, malah tersenyum mengejek tanpa bangkit dari tempat duduknya dan memandang kepada Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin, kemudian menghadapi Sin-kiam Mo-li.

“Tidak kusangkal bahwa memang pernah aku bentrok dengan dua orang tua bangka tak tahu malu ini, akan tetapi sayang tosu Ok Cin Cu yang terhor­mat ini sama sekali tidak menceritakan sebab ben­trokan. Nah, Mo-li, aku mau bercerita, dan dua orang tosu tua bangka boleh mendengarkan dan membantah kalau ceritaku behong.”

Sin-kiam Mo-li mulai bimbang dan kecuriga­annya menipis melihat sikap Bi-kwi yang demikian tenang. Orang yang mengandung niat buruk tidak mungkin dapat setenang itu. “Ceritakanlah sebe­narnya!”

“Begini, Mo-li. Pada suatu hari aku mendapat­kan seorang kekasih baru yang amat kucinta. Akan tetapi pemuda kekasihku itu karena suatu percekcokan, telah ditawan orang yang dibantu oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin! Nah, karena aku harus membebaskan kekasihku itu, maka terjadi bentrok antara aku dan mereka berdua sehingga ter­jadi perkelahian. Engkau tentu tahu sendiri bagai­mana sakitnya rasa hati kalau kekasih diganggu orang, Mo-li. Apakah engkaupun tidak akan menjadi marah kalau kekasihmu yang baru saja kauperoleh dan sangat kaucinta, diganggu orang?”

Sin-kiam Mo-li mengangguk-angguk membe­narkan. “Akan tetapi, bagaimana kau dapat bekerja sama dengan orang dari golongan pendekar? Be­narkah itu?”

“Itupun ada ceritanya. Biar Ok Cin Cu melan­jutkan keterangannya yang bermaksud melempar­kan fitnah tadi. Ok Cin Cu, siapakah pendekar yang kaumaksudkan bekerja sama dengan aku itu?”

“Ha-ha-ha, jangan pura-pura menyangkal, manis. Dia adalah Pendekar Suling Naga!”

“Ahh....!” Sin kiam Mo-li terkejut ka­rena iapun sudah mendengar akan kehebatan pende­kar ini yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Ia memandang kembali kepada Bi-kwi de­ngan alis berkerut dan mata mengandung kecurigaan. “Benarkah engkau bekerja sama dengan Pendekar Suling Naga dalam bentrokan melawan kedua orang totiang ini, Bi-kwi?”

Bi-kwi masih tetap tenang dan tersenyum sim­pul mengandung ejekan kepada dua orang tosu itu. “Tidak kusangkal, akan tetapi hal itupun ada penjelasannya. Biarlah kulanjutkan ceritaku, Mo-li, dan juga para totiang yang lain agar mendengarkan dan mempertimbangkan secara adil.” Bi-kwi berhenti sebentar dan memandang kepada para tosu yang ha­dir bergantian dengan sinar mata yang bercahaya te­rang dan senyum manis sehingga di luar kesadaran mereka, para tosu yang terpesona oleh kecantikan wanita ini mengangguk.

“Sudah kuceritakan tadi betapa kekasih baruku ditawan oleh mereka berdua. Aku berusaha untuk membebaskannya sehingga terjadi bentrokan di anta­ra kami. Kemudian, Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin menemui aku dan mengajukan usul, yaitu, Thian Kek Seng-jin minta kepadaku untuk mem­bantu mereka berdua untuk menyerang dan melawan seorang pendekar keluarga Pulau Es yang bernama Suma Ciang Bun. Dan aku sudah memenuhi permin­taan itu sampai akhirnya kami bertiga berhasil melu­kai pendekar itu yang melarikan diri. Hei, Thian Kek Seng-jin, tidak benarkah ceritaku ini? Tidak benarkah bahwa aku telah membantu kalian menye­rang Suma Ciang Bun dan melukainya?”

Thian Kek Seng-jin tidak dapat membantah dan diapun mengangguk.

“Nah, begitu baru laki-laki jujur,” kata Bi-kwi. Ceritanya bahwa ia membantu mereka mengalahkan pendekar keluarga Pulau Es telah mendatangkan ke­san baik dalam hati Sin-kiam Mo-li. “Selain Thian Kek Seng-jin, juga Ok Cin Cu minta kepadaku un­tuk melayani nafsu berahinya semalam suntuk. Kalau aku memenuhi kedua permintaan itu, baru mereka akan membebaskan kekasihku itu. Dan akupun dengan hati rela telah memenuhi permintaan Ok Cin Cu. Hei, Ok Cin Cu, bukankah aku telah melayani dan tidur bersamamu selama semalam suntuk?”

Ok Cin Cu bersungut-sungut. “Tidak ada be­danya tidur ditemani sesosok mayat!”

“Tentu saja, aku tidak cinta padamu dan hatiku sedang kesal karena kalian menawan kekasihku, mana mungkin aku bersikap hangat?” Bi-kwi tertawa dan Sin-kiam Mo-li juga tersenyum. Melihat ben­tuk tubuh Ok Cin Cu yang perutnya gendut sekali itu, mukanya pucat kuning dan rambutnya yang pu­tih riap-riapan, wanita mana yang akan timbul se­leranya berdekatan dengan dia?

“Nah, aku telah memenuhi permintaan mereka berdua, membantu mereka mengalahkan keluarga pendekar Pulau Es dan melayani Ok Cin Cu semalam suntuk, akan tetapi apa yang mereka la­kukan? Mereka tidak mau membebaskan kekasih­ku, bahkan menyerang dan hendak membunuh aku!”

“Hemmm....!” Sin-kiam Mo-li melirik ke arah kedua orang tosu itu yang diam saja tak da­pat membantah.

“Karena aku tidak dapat mengalahkan pengeroyokan mereka dan tidak berhasil membebaskan ke­kasihku, aku berduka sekali dan kebetulan aku bertemu dengan sumoiku, murid ke dua dari Sam Kwi yaitu Siauw-kwi. Nah, pada waktu itu Siauw-kwi sedang berpacaran dengan Pendekar Suling Naga. Mendengar kesulitanku, sumoi Siauw-kwi lalu membantuku dan pacarnya, yaitu Pendekar Suling Naga, membantu pula sehingga akhirnya aku berhasil mem­bebaskan kekasih baruku itu. Nah, apakah hal itu berarti aku bekerja sama dengan seorang pendekar untuk menentang kedua orang tosu ini? Pertemuan­ku dengan dia hanya kebetulan saja dan pendekar itu tidak membantuku, melainkan membantu sumoi­ku Siauw-kwi yang menjadi pacarnya.”

Sin-kiam Mo-li menarik napas lega dan me­noleh kepada Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin. “Benarkah keterangannya itu, ji-wi totiang?”

“Benar, akan tetapi sumoinya yang berjuluk Siauw-kwi dan bernama Can Bi Lan itu telah ber­gabung dengan para pendekar!” kata Ok Cin Cu, masih bersungut-sungut karena diam-diam dia merasa jengkel mengenang betapa wanita cantik ini pernah melayaninya dengan dingin seperti mayat.

“Memang ada perbedaan antara aku dengan Siauw-kwi. Ia condong bekerja sama dengan para pendekar karena ia tergila-gila kepada Pendekar Suling Naga, bahkan ketika terjadi pertempuran an­tara kelompok yang dipimpin oleh Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nio-nio, dengan kelompok para pende­kar, iapun membantu para pendekar, bahkan bentrok dan berkelahi dengan aku sendiri! Akan tetapi, ketika ia melihat aku berduka karena kehilangan kekasih baruku, ia lalu membantu dan karena aku ingin sekali mendapatkan kekasihku yang tertawan, tentu saja bantuannya kuterima. Harapanku untuk menyelamatkan kekasihku habis ketika dua orang tosu ini melanggar janji dan menipuku!”

Sin-kiam Mo-li percaya akan keterangan Bi-kwi karena dua orang tosu itu tidak membantah. Akan tetapi, hatinya masih tak senang mendengar betapa Bi-kwi pernah dibantu oleh Pendekar Su­ling Naga, musuh besarnya karena di dalam pertem­puran itu, yang membunuh ibu angkatnya, Kim Hwa Nio-nio, adalah Pendekar Suling Naga itulah!

“Bi-kwi, apakah sejak itu engkau tidak pernah lagi berhubungan dengan Pendekar Suling Naga?”

“Huh, untuk apa berhubungan dengan dia? Ber­temupun aku tidak pernah! Sebelum dia membantu Siauw-kwi yang membantuku, pendekar itu dan semua temannya adalah musuh-musuh besarku. Sampai sekarangpun, para pendekar adalah musuh besarku!”

“Ha-ha, pendekar mana, Bi-kwi? Coba se­butkan!” kata Thian Kek Seng-jin.

“Tosu bau, pendekar mana lagi kalau bukan keturunan keluarga Pulau Es? Engkau sudah melihat dengan kedua matamu sendiri betapa aku membantu kalian mengalahkan dan melukai Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es!” Sikap Bi-kwi yang membenci Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin ini memang tidak mengherankan yang lain karena tentu Bi-kwi masih mendendam oleh pelanggaran janji dan penipuan itu.

“Bi-kwi, siapakah kekasihmu itu dan di mana dia sekarang?” Sin-kiam Mo-li bertanya, tertarik melihat betapa seorang seperti Bi-kwi yang terkenal mempunyai kesukaan yang sama dengannya, dapat membela seorang kekasih seperti itu.

Bi-kwi tersenyum lebar. “Aih, Mo-li, seperti tidak tahu saja. Mana aku dapat tahan bersama seorang kekasih lebih dari tiga bulan? Aku sudah bosan dan sudah lama dia kusingkirkan.” Kemudian agar tidak harus melalui ujian dengan pria lain, apa lagi dengan tosu-tosu buruk di situ yang meman­dang kepadanya seperti segerombolan bandot meli­hat rumput muda, iapun menyambung, “Terus te­rang saja, Mo-li, sudah beberapa lamanya aku menjauhkan diri dari laki-laki. Aku sudah muak de­ngan mereka dan sebagai gantinya, aku lebih mende­katkan diriku dengan sesama wanita.”

“Ehhh....?” Sin-kiam Mo-li membelalakkan matanya memandang rekannya itu. “Apa.... apa maksudmu?”

Terdengar Ok Cin Cu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, pantas saja ketika melayani aku, begitu di­ngin! Tidak tahunya engkau telah mengubah kesu­kaanmu, Bi-kwi. Mo-li, agaknya dalam hal kese­nangan dunia, engkau biarpun lebih lihai dari Bi-kwi, namun kalah pengalaman. Bi-kwi telah menjadi seorang pencinta kaumnya sendiri, suka berhubung­an dengan sesama wanita, seperti juga beberapa orang di antara kami lebih suka berdekatan dengan pria­-pria muda remaja dari pada dengan gadis-gadis.”

Sin-kiam Mo-li belum pernah mendengar akan hal yang dianggapnya aneh sekali itu, maka ia hanya bengong. Dan memang pengakuan Bi-kwi bahwa ia kini tidak suka kepada pria melainkan suka berdekatan wanita merupakan satu di antara siasatnya. Ia sedang menyelidiki lenyapnya puteri keluarga Kao, seorang gadis remaja berusia tigabelas tahun, dan sudah mengenal pula orang macam apa adanya Sin-kiam Mo-li. Kalau ia mengaku sebagai orang yang suka menggauli sesama wanita maka apabila benar-benar Kao Hong Li berada di situ dan ma­sih hidup, lebih banyak kesempatan baginya untuk mendekatinya tanpa dicurigainya! Dan ia memiliki alasan untuk mendekati gadis remaja itu.

“Wah, aneh sekali Apa senangnya.... dengan sesama wanita?” kata Sin-kiam Mo-li tanpa ma­lu-malu, sedangkan para tosu itu hanya tertawa-tawa saja.

“Ah, engkau belum tahu, Mo-li. Kalau engkau sudah merasakan senangnya, engkaupun akan sepen­dapat dengan aku, tidak lagi suka kepada laki-laki yang memuakkan.”

Suasana menjadi gembira dan legalah hati Bi- kwi karena kini sikap mereka itu ramah dan senang, seolah-olah ia telah diterima di antara mereka dan tidak lagi dicurigai. Akan tetapi, tiba-tiba Ok Cin Cu yang cerdik berkata kepada Sin-kiam Mo-li. “Mo-li, kalau kawan kita Bi-kwi ini demikian membenci pendekar keluarga Pulau Es, bahkan kini membenci pria pula, kenapa tidak suruh dia saja membunuh tikus itu?” Hati Ok Cin Cu masih penuh kebencian dan dendam kepada Hong Beng karena memang pemuda itu musuh besarnya, terutama sekali melihat betapa nyonya rumah agaknya tergila-gila pada pemuda itu.

­Sin-kiam Mo-li mengerutkan alisnya. Usul yang baik, pikirnya. Inilah bukti yang paling baik untuk melihat apakah benar Bi-kwi datang dengan iktikad baik ataukah menyimpan rahasia dan menja­di kaki tangan musuh.

“Hemm, baik juga. Pemuda itu berani menolak­ku, dan berkeras kepala. Memang sebaiknya kalau Bi-kwi yang membunuhnya, akan tetapi tidak seka­rang. Yang paling perlu sekarang aku ingin bertanya kepadamu, Bi-kwi. Apakah maksud kunjunganmu yang tiba-tiba ini?” Berkata demikian, sepasang mata yang mencorong itu ditujukan kepada wajah Bi-kwi dengan penuh selidik.

Bi-kwi tadi sudah terkejut setengah mati bah­wa ia akan diserahi tugas membunuh seorang pemu­da. Akan tetapi diam-diam ia mencatat kata-kata lanjutan dari Sin-kiam Mo-li yang menyatakan betapa pemuda itu telah menolaknya! Hal ini ber­arti bahwa Sin-kiam Mo-li jatuh hati kepada pe­muda itu, entah siapa dan pemuda itu telah meno­lak cintanya! Kini ditanya oleh Sin-kiam Mo-li tentang maksud kedatangannya, ia menjawab de­ngan lancar dan tenang karena memang sebelumnya sudah diatur terlebih dulu sebagai siasatnya.

“Mo-li, seperti engkau ketahui juga, tiga orang guruku....”

“Juga kekasihnya.... heh-heh....” Ok Cin Cu mengejek.

“Benar, juga kekasihku, mereka telah tewas oleh para pendekar. Akan tetapi, para pendekar keturun­an keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir itu semuanya demikian lihai sehingga seorang diri saja, apakah dayaku? Aku ingin sekali membalas dendam, namun tahu akan kelemahan sendiri. Oleh karena itu, aku lalu teringat kepadamu, Mo-li. Bukankah engkau murid dari mendiang Kim Hwa Nio-nio, bahkan kabarnya juga anak angkatnya? Nah, Kim Hwa Nio-nio juga tewas dalam pertempuran itu. Aku yakin bahwa engkau tentu juga menaruh dendam. Karena musuh-musuh kita sama, maka kurasa alangkah baiknya kalau kita bergabung untuk menghadapi mereka. Karena itulah aku datang ke sini, Mo-li.”

Sin-kiam Mo-li mengangguk-angguk dan memandang kepada tujuh orang tosu itu. “Bagaimana pendapat kalian, para totiang? Aku sendiri setuju untuk menerimanya sebagai sekutu karena Bi-kwi adalah tenaga yang amat baik, hal ini sudah banyak kudengar.”

Para tosu itu lalu saling pandang dan dari pan­dang mata mereka, merekapun setuju dan senang kalau menerima bantuan seorang seperti Bi-kwi. “Akan tetapi, tidak mudah untuk bekerja sama de­ngan kami, Mo-li. Kepada dirimu, kami sudah percaya sepenuhnya. Akan tetapi kalau Bi-kwi ingin bekerja sama dengan kita, sebaiknya kalau ia meme­nuhi beberapa syarat terlebih dulu,” kata Ok Cin Cu.

Bi-kwi menjebikan bibirnya memandang kepa­da Ok Cin Cu. Dalam kehidupan para tokoh sesat, memang tidak banyak dipergunakan tata susila dan sopan santun, sudah biasa mereka itu mengemukakan perasaan hatinya secara terbuka, bahkan perasaan tidak senangpun tidak disembunyikan.

“Ok Cin Cu, tosu tua bangka yang bau! Kalau syarat itu kau yang mengajukan aku tidak sudi ka­rena engkau akan menipuku lagi! Biarlah syaratnya ditentukan oleh Sin-kiam Mo-li. Tentu saja ka­lau disuruh melayani laki-laki, betapapun muda dan gantengnya, aku berkeberatan karena aku sudah tidak dapat lagi melayani pria setelah aku lebih ber­dekatan dengan wanita. Apalagi disuruh melayani ka­lian ini, terutama sekali engkau, Ok Cin Cu. Aku tidak sudi! Nah, syarat apa yang diajukan agar kalian percaya kepadaku?” Biarpun di luarnya Bi-kwi bersikap tenang dan memantang, namun jantungnya berdebar penuh ketegangan karena maklum bahwa ia tentu takkan mampu melakukan perbuatan yang jahat dan kejam, yang berlawanan dengan suara ha­tinya yang sudah berubah sama sekali itu. Ia dapat menyamar sebagai tokoh sesat, karena hal itu hanya lahiriah saja. Akan tetapi betapa mungkin batinnya dapat berubah menjadi jahat kembali? Lebih baik mati!

“Mo-li, tidak ada bukti yang lebih baik dari pada menyuruh ia membunuh pendekar yang menjadi tawananmu itu. Kalau ia mau membunuhnya, baru­lah kami percaya kepadanya,” kata Ok Cin Cu, ma­rah karena ucapan Bi-kwi tadi menyinggung harga dirinya sebagai seorang pria.

Sin-kiam Mo-li mengangguk. “Bukti itupun baik sekali. Bi-kwi, mari ikut bersamaku!”

Bi-kwi menahan guncangan hatinya dan dengan sikap dibuat tenang iapun mengikuti Sin-kiam Mo-li, diikuti pandang mata dan tawa tujuh orang tosu itu. Sin-kiam Mo-li membawa Bi-kwi menuruni lorong di bawah tanah. “Hemm, menjemukan sekali tosu-tosu tua bangka itu!” Bi-kwi mengomel. “Mereka masih tidak percaya bahwa aku adalah musuh besar keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Pada hal, tiga orang guruku tewas di tangan para pendekar itu. Berilah orang-orang dari keluarga itu kepadaku dan akan kubunuh semua mereka!”

Sin-kiam Mo-li menghentikan langkahnya di jalan tangga yang menuruni lorong itu. “Ketahuilah bahwa aku mempunyai dua orang tawanan dan ke­duanya adalah anggauta keluarga dan murid dari pa­ra pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir”

“Ahh....! Benarkah itu, Mo-li? Siapakah mereka?” tanya Bi-kwi terkejut bukan dibuat-buat.

Sin-kiam Mo-li tersenyum bangga akan keberhasilannya. “Pertama-tama, aku telah berhasil menculik puteri keturunan Pulau Es dan Gurun Pasir.”

“Benarkah? Hebat! Siapa ia?” Bi-kwi pura-pura bertanya pada hal jantungnya berdebar tegang karena ternyata dugaan Bi Lan dan Sim Houw benar, perempuan iblis inilah yang telah menculik Kao Hong Li itu.

“Ia benama Kao Hong Li, puteri dari pendekar Kao Cin Liong keturunan Gurun Pasir dan Suma Hui keturunan Pulau Es. Akan tetapi tak seorangpun yang menyangka padaku, dan baru-baru ini malah kuki­rim potongan rambutnya dan hiasan rambutnya ke­pada keluarga Kao yang mengadakan pesta ulang ta­hun!”

“Ihhh! Jadi engkaukah yang melakukan hal itu, yang melempar fitnah kepadaku?” Bi-kwi berseru kaget sekali, dan diam-diam ia waspada. Kalau wa­nita ini yang melakukan penukaran bingkisan di da­lam pesta ulang tahun Kao Cin Liong itu, berarti Mo-li sudah tahu akan kehadirannya dan tentu me­naruh curiga akan hubungannya yang baik dengan pa­ra pendekar!

“He-he, kaukira aku begitu bodoh untuk pergi sandiri ke sana? Ketika mendengar bahwa Kao Cin Liong mengadakan pesta ulang tahunnya aku lalu mengirimkan dua benda itu untuk membuat mereka gelisah dan berduka, dan aku menyuruh seorang te­man yang boleh dipercaya untuk mengirim sumbangan itu tanpa diketahui siapa pengirimnya. Dia adalah Sai-cu Sin-touw (Copet Sakti Kepala Singa), seo­rang kawan baik yang ahli untuk mencuri atau mencopet dengan kecepatan luar biasa. Dan dia sendiri­pun membenci para pendekar karena seringkali dia bentrok dengan mereka dan pernah beberapa kali dihajar.”

“Ah....!“ Bi-kwi bernapas lega. Tahulah ia kini siapa orang brewok yang menurut para pelayan dalam pesta telah masuk ke dalam dapur pura-pura mabok, kemudian menaruh racun dalam arak. Kira­nya itu adalah Sai-cu Sin-touw kaki tangan Sin-kiam Mo-li. Pantas saja dapat menukar bingkisan­nya tanpa ada yang mengetahuinya, karena dia me­mang ahli copet sesuai dengan julukannya.

“Dalam satu dua hari ini tentu dia kembali dan ingin aku mendengar laporannya, hi-hi-hik!”

Celaka, pikir Bi-kwi. Kini ia harus mengubah sikapnya, tidak mungkin lagi ia dapat berpura-pura tidak tahu akan penculikan itu. “Aihh, kiranya dia itu orangmu!” katanya lagi dengan sikap kaget dan memandang kepada nyonya rumah dengan mata ter­belalak. “Sungguh suatu hal yang amat kebetulan sekali. Apakah barangkali engkau pula yang me­nyuruh Sai-cu Sin-touw itu melempar fitnah ke­padaku?”

Sin-kiam Mo-li memandang tajam. “Dua kali engkau mengatakan melempar fitnah. Apa mak­sudmu?”

“Ketahuilah, Mo-li. Kao Cin Liong mengirim undangan dan membolehkan siapa saja mendatangi ulang tahunnya. Aku mendengar akan hal itu dan aku ingin sekali tahu apa yang terjadi dan ingin pula melihat-lihat keadaan semenjak tiga orang suhuku tewas. Maka aku nekat mendatangi pesta itu. Dan terjadilah fitnah itu. Orangmu itu telah me­nukar bingkisanku dengan bungkusan terisi rambut dan hiasan rambut itu. Dan tentu saja akulah yang dituduh menculik puteri mereka dan mereka me­nyerangku! “

“Ehh? He-he-he, sungguh lucu. Aku belum tahu akan hal itu karena Sin-touw belum kembali. Akan tetapi usahanya itu baik pula karena dia hen­dak mengacaukan pesta itu, dan karena iseng dan karena tahu pula bahwa engkau musuh mereka, maka dia sengaja menukar bingkisan itu. Hi-hik, sungguh lucu.”

“Memang dia telah berhasil mengacaukan pesta dengan menaburkan racun ke dalam arak. Lagi-lagi aku yang menjadi pelampiasan amarah mereka. Ten­tu saja aku terpaksa melarikan diri menghadapi de­mikian banyaknya pendekar yang marah kepadaku. Dan akupun lalu lari ke sini untuk berlindung dan bersekutu denganmu.”

Sin-kiam Mo-li terkekeh geli, sedikitpun tidak menaruh curiga kepada Bi-kwi karena wanita ini demikian berterus terang dan tidak nampak khawa­tir sama sekali. Kalau nanti utusannya itu pulang, tentu ia akan mendengar laporannya dan ia akan tahu apakah Bi-kwi membohong ataukah tidak.

“Ah, sungguh lucu sekali. Sai-cu Sin-touw memang pandai berulah. Kalau dia pulang aku akan memberi banyak hadiah kepadanya.”

“Akan tetapi kenapa engkau menahan anak itu dan tidak kaubunuh saja?” Bi-kwi bertanya, se­ngaja bertanya dengan sikap kejam untuk memperli­hatkan betapa bencinya ia kepada keluarga para pendekar itu.

“Aku suka kepadanya. Ia anak manis dan ber­bakat. Dan aku menculiknya dengan menyamar se­bagai Ang I Lama sehingga aku muncul sebagai penolong bagi anak itu. Maka aku lalu mengambil ia sebagai muridku, agar aku dapat lebih lama me­nikmati kemenangan ini dan kelak baru aku akan memukul benar-benar, entah dengan cara bagai­mana.”

“Akan tetapi, kenapa sekarang kautawan?” Bi-kwi mendesak, heran.

“Ia mulai memberontak dan berpihak kepada seorang tawanan lain yang baru saja datang menye­rahkan diri. He-heh, kau tentu tidak akan mampu menduga siapa orang itu. Dialah yang akan kami minta agar kau membunuhnya. Dia datang untuk mencari Hong Li, akan tetapi aku berhasil menang­kapnya. Dia tampan dan gagah, dan aku..... hemm, aku suka padanya. Akan tetapi pemuda tak tahu diri itu berani menolak cintaku! Mestinya sudah kubunuh dia, akan tetapi entah bagaimana, aku sayang untuk membunuhnya, Bi-kwi. Kau tentu tahu bagaimana rasanya hati kalau sudah ter­gila-gila. Dia bernama Gu Hong Beng, murid dari musuhmu, Suma Ciang Bun tokoh Pulau Es itu.”

“Aihh! Dia memang musuh besarku! Sudah beberapa kali dia bentrok dengan aku, bahkan ketika terjadi keributan di pesta, dialah yang menyerangku paling hebat, bahkan dia yang mengejar-ngejarku. Kiranya dia sudah tiba di sini? Tentu dalam usa­hanya mengejarku!”

“Aku percaya padamu, Bi-kwi. Akan tetapi para tosu itu tidak percaya, maka sebaiknya engkau bunuh saja dia.”

“Apa sukarnya membunuh seekor harimau se­kalipun kalau dia sudah berada di dalam kandang. Mari kita lihat.” Bi-kwi memutar otaknya untuk mencari akal karena tentu saja ia tidak mau mem­bunuh Hong Beng, walaupun untuk menyelamatkan dirinya dan menyelamatkan Hong Li sekalipun. Mo­li mengajaknya memasuki ruangan tahanan dan di sana, di dalam dua kamar tahanan yang berdamping­an, Bi-kwi melihat seorang anak perempuan ber­usia kurang lebih tigabelas tahun yang manis sedang duduk bersandar dinding, dan di kamar lain nampak Hong Beng duduk bersila! Bi-kwi menahan pera­saannya lalu ia menghampiri dan tertawa mengejek.

“Hi-hik, kiranya Gu Hong Beng manusia som­bong itu kini telah tak berdaya, di dalam kerangkeng seperti seekor monyet!” Ia tertawa dan suaranya penuh sindiran.

Mendengar suara ini, Hong Beng membuka matanya memandang dan ketika dia melihat bahwa yang mengejeknya itu bukan lain adalah Bi-kwi yang datang bersama Sin-kiam Mo-li, mukanya menjadi merah sekali dan matanya memancarkan sinar berapi. Dia meloncat berdiri, bagaikan seekor harimau ingin dia dapat keluar dari kerangkeng un­tuk menerjang wanita itu. Dia bertolak pinggang dan menuding dengan telunjuk kirinya ke arah muka Bi-kwi.

“Bi-kwi, setan perempuan yang busuk! Pe­rempuan busuk macam engkau ini selamanya akan tetap jahat dan busuk! Ternyata benar dugaanku bahwa engkau bekerja sama dengan Sin-kiam Mo-li untuk menculik adik Hong Li. Terkutuk engkau, Bi -kwi!”

Bi-kwi juga terkekeh mengejek. “Heh-heh, engkau seorang pemuda yang sombong dan go­blok!” Kemudian setelah memandang ke arah Hong Li yang juga memandang tanpa bangkit dari duduk­nya, Bi-kwi berkata kepada Sin-kiam Mo-li, “Hemm, keenakan dia kalau dibunuh begitu saja, Mo-li. Membunuh dia apa sih sukarnya? Akan tetapi dia terlalu enak. Mari kita bicara di sana.” Ia lalu mengajak Mo-li keluar dari tempat tahanan itu sampai tidak nampak oleh Hong Beng.

“Mo-li, sebetulnya sayang kalau dia dibunuh begitu saja. Aku sudah sering bentrok dengan dia dan tahu betul bahwa dia adalah seorang perjaka emas!”

“Perjaka emas? Apa maksudmu?”

“Aih, kiranya engkau belum banyak pengalam­an dalam hal ini walaupun kita tadinya memiliki kesukaan yang sama, Mo-li. Dia seorang perjaka aseli yang bertulang baik dan berdarah bersih. Siapa yang pertama kali melakukan hubungan dengan se­orang perjaka emas, tentu ia akan menjadi awet mu­da dan tak pernah dapat kelihatan tua!”

“Hemm, memang tadinya aku sayang kepadanya. Akan tetapi walaupun aku tadinya telah mempergu­nakan sihir, dia tetap menolak keinginanku.”

“Hemm, mudah saja, Mo-li. Aku dapat meng­gunakan akal sehingga dia akan berubah menjadi seperti seekor kuda jantan yang jinak dan akan me­layani segala keinginanmu dengan senang hati.”

“Ah, benarkah itu, Bi-kwi? Aku akan berte­rima kasih sekali kalau benar engkau mampu mem­buatnya jinak untukku!” kata Sin-kiam Mo-li dengan wajah berseri.

“Akan tetapi, aku mempunyai satu permintaan yang kuharap akan kausetujui sebagai upahku. Aku melihat anak perempuan itu.... hemm, ia ha­nyalah anak dari musuh-musuh kita dan ia sudah tidak mentaatimu lagi. Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak mempunyai selera lagi terhadap pria, akan tetapi melihat seorang gadis remaja.... hemm, bolehkah aku meminjam tawananmu itu untuk se­malam saja, Mo-li? Dengan demikian, kita berdua dapat bersenang-senang, engkau bersama pemuda yang ganteng dan gagah itu, dan aku bersama gadis remaja itu.”

Mo-li sudah terlalu bernafsu untuk memikirkan hal lain. Apa lagi kini muridnya itu telah berubah, mungkin telah membencinya. “Baik, begitu pemu­da itu mau memenuhi keingtnanku, anak perempuan itu boleh kaumiliki semalam. Lakukanlah cepat, aku sudah tidak sabar lagi untuk melihatnya.”

“Mo-li, engkau tahu bahwa tujuh orang tosu itu seperti anjing-anjing yang mengilar melihat kita berdua. Mereka itu seperti hendak berebut dan akan menerkamku kalau saja aku mau melayani mereka. Kalau mereka melihat kita berdua bersenang-se­nang dan tidak memperdulikan mereka, tentu mem­buat mereka iri dan marah, mungkin mereka akan menyatakan tidak setuju dengan niat kita. Karena itu, sebaiknya hal ini kita lakukan di luar pengeta­huan mereka dan caranya terserah kepadamu untuk mengaturnya.”

Sin-kiam Mo-li mengerutkan alisnya dan me­lihat kebenaran ucapan Bi-kwi. Memang tujuh orang tosu itu sudah dilayani oleh tiga orang pela­yannya, akan tetapi agaknya tiga orang itu untuk mereka masih kurang dan mereka memang selalu mengincarnya dan juga mengincar Bi-kwi seperti yang dapat ia lihat dari pandang mata mereka ter­hadap Bi-kwi tadi. “Jangan khawatir, dapat dia­tur,” katanya dan iapun menarik sehelai tali yang tergantung di sudut lorong. Tak lama kemudian, muncullah Ang Nio yang mendengar suara panggilan rahasia itu.

“Engkau cepat cari perempuan secukupnya un­tuk menemani tujuh orang tosu tamu kita itu. Beri­kan bayaran secukupnya. Aku dan Bi-kwi tidak ingin diganggu malam ini,”

Ang Nio tersenyum girang. Ia dan dua orang kawannya sudah merasa muak dengan tujuh orang tosu yang terpaksa harus mereka layani itu. Kini, Mo-li menyuruh ia mencari tujuh orang perempuan dari dusun di kaki bukit. Kalau ia membayar mahal, tentu banyak yang mau dan hal ini berarti ia dan kawan-kawannya akan bebas dari cengkeraman to­su-tosu tua yang rakus itu.

“Sekarang bagaimana, Bi-kwi?”

“Mo-li, sebaiknya kita lakukan usaha penjinak­an pemuda itu malam nanti kalau para tosu sudah sibuk bersenang-senang di kamar masing-masing. Sementara ini, kita beritahukan kepada mereka bah­wa pembunuhan atas diri pemuda itu ditunda karena engkau hendak menaklukkan dia terlebih dulu de­ngan bantuanku.”

Sin-kiam Mo-li merasa agak kecewa bahwa tidak sekarang saja ia dapat mendekap pemuda itu, akan tetapi karena ia tidak mau terganggu oleh para tosu, iapun setuju. Mereka keluar lagi dari lorong bawah tanah dan memasuki ruangan tamu di mana para tosu masih makan minum sambil mengobrol dan tertawa-tawa. Biarpun mereka mengenakan jubah pendeta, namun sikap mereka jauh dari pada patut untuk menjadi pendeta-pendeta yang hidup saleh.

Melihat munculnya dua orang wanita itu, Ok Cin Cu yang masih mendongkol terhadap Bi kwi segera berkata, “Wah, kalian nampaknya tidak se­perti orang-orang yang baru saja membunuh musuh. Apakah tikus itu sudah dibunuh?”

“Begitu melihat Bi-kwi, dia mencak-mencak dan memaki-maki. Jelaslah bahwa dia amat mem­benci Bi-kwi.”

“Tentu saja,” kata Bi-kwi, “sudah beberapa kali aku berkelahi melawan dia dan gurunya.”

“Akan tetapi, aku tidak ingin dia mati begitu saja. Terlalu enak dan terlalu mudah baginya. Aku ingin menaklukkannya dulu, mempermainkan dan menghinanya sampat puas, baru aku akan membu­nuhnya,” sambung Sin-kiam Mo-li.

“Ha-ha-ha, bagaimana mungkin, Mo-li Dengan sihirmupun engkau tidak dapat menunduk­kan dia malam itu,” kata Thian Kek Seng-jin.

“Akan tetapi kini ada Bi-kwi yang akan mem­bantuku. Ia mempunyai cara untuk menjinakkan pemuda itu untukku. Biarkan aku bersenang-senang, dan jangan khawatir karena sekarang aku sedang memesan beberapa orang gadis cantik dari dusun untuk menemani kalian bertujuh.”

Mendengar ini, tujuh orang tosu itu menjadi gembira dan mereka tidak lagi menyatakan ketidakcocokan atau kecurigaan mereka terhadap rencana Mo-li dan Bi-kwi.

Malam itu, setelah para tosu memasuki kamar mereka bersama para wanita dusun yang didatangkan Ang Nio, Sin-kiam Mo-li dan Bi-kwi memasuki lorong bawah tanah. Bi-kwi memberi tahu kepada Mo-li bahwa ia memiliki minuman yang akan dapat merampas semangat Hong Beng, membuat pemuda itu lupa diri dan tentu akan menuruti semua per­mintaan Sin-kiam Mo-li.

“Akan tetapi bagaimana engkau akan dapat memaksanya untuk minum?”

“Serahkan saja kepadaku, Mo-li. Aku mempunyai akal dan engkau sebaiknya jangan ikut mende­kat agar Hong Beng tidak menjadi curiga. Biarkan aku sendiri menghadapnya dan aku akan dapat membujuknya untuk minum obatku itu.”

“Baik, akan tetapi jangan sampai engkau gagal, Bi-kwi.” Kata-kata ini mengandung ancaman.

“Jangan khawatir, Mo-li, pasti berhasil. Akan tetapi ingat akan janjimu, begitu dia kelihatan menurut, gadis remaja itu harus diserahkan kepadaku.”

“Baik.”

“Nah, kau menanti dan mendengarkan dari sini saja, sebaiknya aku sendiri, yang menghadapinya,” kata Bi-kwi. Ia lalu memasuki ruangan kamar ta­hanan dan di bawah sinar lampu lentera yang cukup terang, ia melihat betapa Hong Li rebah terlentang di atas lantai, sedangkan Hong Beng sudah duduk bersila lagi. Di sudut terdapat mangkok-mangkok dan sumpit, sisa makanan yang diberikan kepada mereka oleh Hek Nio.

Melihat munculnya Bi-kwi, Hong Beng menge­rutkan alisnya dan tetap saja duduk bersila. Sin-kiam Mo-li yang bersembunyi, mengikuti semua perca­kapan mereka dengan penuh perhatian. Ia seorang wanita yang cukup cerdik dan tidak ingin dikelabuhi, maka biarpun ia sudah percaya kepada Bi-kwi, te­tap saja ia mengikuti semua peristiwa di ruangan tahanan itu dengan penuh perhatian. Ia merasa aman dan yakin bahwa hanya ia seoranglah yang dapat membebaskan Gu Hong Beng maupun Kao Hong Li, karena kunci kedua kamar tahanan itu selalu berada di saku bajunya.

“Perempuan iblis jahanam terkutuk! Mau apa engkau masuk ke sini? Mau membunuhku? Silah­kan, aku tahu bahwa engkau hanyalah seorang pe­ngecut yang beraninya hanya terhadap orang yang sudah tidak berdaya!” terdengar Hong Beng mem­bentak dengan suara marah dan mengandung penuh kebencian sehingga hati Sin-kiam Mo-li menjadi kecil. Bagaimana mungkin Bi-kwi dapat membu­juk pemuda yang demikian membencinya?

“Gu Hong Beng, engkau laki-laki yang sama sekali tidak mengenal budi,” terdengar Bi-kwi ber­kata. “Butakah matamu, tidak dapatkah engkau melihat betapa Sin-kiam Mo-li telah jatuh cinta kepadamu? Kalau engkau seorang pemuda yang berakal sehat, tentu engkau memilih hidup dengan menemani Sin-kiam Mo-li bersenang-senang. Mengapa engkau demikian keras kepala, bukankah engkau adalah seorang laki-laki yang dewasa dan normal?” Sambil berkata-kata dengan suara mem­bujuk ini, di luar tahunya Sin-kiam Mo-li karena Bi-kwi memegang kertas bertulis itu di depan pe­rutnya sehingga Hong Beng saja yang dapat memba­canya, Bi-kwi memberi tanda dengan kedipan mata kepada pemuda itu sementara mulutnya terus mem­bujuk.

Sejenak Hong Beng tertegun. Tulisan itu mudah dibaca karena tulisannya besar dan jelas. Dia cepat membaca

“Aku datang untuk membebaskan engkau dan Hong Li. Bersikaplah bermusuhan denganku, kemudian minum obat yang kuberikan, lalu pu­ra-pura mabok terbius. Selanjutnya, pura-pu­ra lemas saja dan serahkan kepadaku, jangan bergerak sebelum kuberitahukan.”

Hong Beng selesai membaca dan biarpun dia masih belum percaya benar, namun dia tahu bahwa tentu wanita ini datang bersama Sim Houw dan Bi Lan yang hendak menyelamatkan Hong Li.

“Sudahlah, perempuan siluman, jangan membujuk, percuma saja!” katanya sambil memberi isa­rat dengan matanya bahwa dia mengerti. “Lebih baik bunuh saja aku dari pada harus tunduk dan melakukan perbuatan hina itu!”

“Gu Hong Beng, pemuda tolol! Engkau masih muda belia, tampan dan gagah. Apakah kau lebih suka mati konyol dan menolak kesenangan yang da­pat kaunikmati? Sekali lagi, maukah engkau me­nyerah dan menuruti semua keinginan Sin-kiam Mo-li? Ingat, kalau engkau menolak, aku sudah menerima perintah untuk membunuhmu sekarang juga.”

Tanpa menanti sebentarpun, tanpa keraguan sedikitpun, Hong Beng membentak, sesuai dengan su­ara hatinya, juga sesuai dengan permintaan Bi-kwi dalam surat agar dia bersikap bermusuhan. “Kepa­rat, tulikah engkau? Aku tidak sudi, sekali tidak sudi dan selamanyapun tidak sudi. Mau bunuh, le­kas bunuh, siapa takut mati?”

Tiba-tiba terdengar suara halus dari kamar ta­hanan di sebelah, “Hemm, suara Gu-suheng demi­kian gagah perkasa, sedangkan suara perempuan ini seperti siluman tukang bujuk yang tak tahu malu!” Itulah suara Hong Li yang ikut merasa tegang dan marah.

“Aih, adik manis, jangan terlalu galak, nanti kemanisanmu berkurang! Engkau tunggu saja, engkau akan menikmati kesenangan luar biasa dengan aku.” kata Bi-kwi, sengaja berkata demikian untuk le­bih meyakinkan hati Mo-li yang mengintai dan mendengarkan.

“Siluman jahat, tak perlu engkau membujuk dan merayu aku!” Hong Li membentak marah dan Bi-kwi mengeluarkan suara ketawa mengejek.

“Siluman jahat, tak perlu banyak cakap lagi. Kalau engkau datang hendak membunuhku, laku­kanlah. Aku akan menghadapi kematian dengan kedua mata terbuka! Jangan harap engkau akan dapat membuat aku ketakutan dengan bujukan dan ancaman!”

“Hemm, jadi engkau tetap memilih mampus? Engkau tidak takut mati? Hemm, aku masih be­lum mau percaya. Engkau tentu ingin memperguna­kan kepandaianmu untuk mencoba menipuku dan membuat aku lengah. Kalau memang benar engkau memilih mati, nah, ini aku membawakan sebotol kecil racun. Beranikah engkau meminumnya? Engkau akan mati dengan tenang, seperti orang per­gi tidur saja. Ataukah engkau memilih mati kuse­rang dengan jarum-jarum beracun dari luar kamar tahanan? Nah, minumlah ini kalau memang benar engkau tidak takut mati, bukan hanya bualan sombong belaka!”

Dari tempat persembunyiannya, Mo-li meng­intai dengan jantung berdebar. Maukah pemuda itu minum obat yang akan membuatnya tunduk dan jinak seperti yang dijanjikan oleh Bi-kwi kepada­nya?

“Gu-suheng, jangan percaya omongan siluman itu! Dari suaranya saja aku tahu bahwa ia seorang manusia siluman yang jahat, kata-katanya penuh dengan bujuk-rayu dan tipu. Jangan mau minum racun itu!” terdengar suara Hong Li yang merasa khawatir sekali. Ia tidak dapat melihat apa yang terjadi di kamar tahanan sebelah, akan tetapi dapat mendengar percakapan mereka.

Akan tetapi Hong Beng, setelah bertemu pan­dang yang penuh arti dengan Bi-kwi, menerima botol kecil berisi cairan bening itu, dan berkata de­ngan lantang karena diapun tahu bahwa sikap Bi-kwi yang penuh rahasia itu menunjukkan bahwa ada orang lain, tentu iblis betina Sin-kiam Mo-li, yang melakukan pengintaian. “Hemm, siapa takut mati?” Dan diapun membuka tutup botol dan me­minumnya sampai habis. Diam-diam dia merasa geli karena tahu bahwa yang diminumnya itu hanya­lah air putih biasa saja, tidak mengandung apa-apa yang mencurigakan! Dan kini Bi-kwi yang bermain sandiwara. Suaranya terdengar girang sekali.

“Hi-hik, kaukira aku pura-pura dengan ancaman kosong? Ha, lihat betapa wajahmu telah menjadi pucat, tubuhmu menjadi lemas. Ha-ha, ya, engkau boleh berusaha mengerahkan sin-kangmu, Gu Hong Beng, akan tetapi percuma saja. Semua ke­mauanmu telah lenyap, dan engkau menjadi penurut. Engkau akan mendengarkan semua perintah dan mentaatinya tanpa melawan sedikitpun. Ha-ha-ha!” Dan Hong Beng yang sebetulnya tidak merasakan sesuatu, kini melakukan apa yang dikatakan Bi-kwi. Dengan ilmu sin-kangnya, dia dapat menahan dan memperlambat jalan darah dan membuat mukanya tampak pucat, lalu tubuhnya terhuyung dan kalau dia tidak berpegang kepada jeruji, tentu dia sudah roboh. Kepalanya menunduk dan tergantung seo­lah-olah kepala itu terasa berat dan pening, mata­nya terpejam.

“Mo-li, ke sinilah dan lihat hasilnya!” Bi-kwi berseru ke belakang dan Sin-kiam Mo-li cepat berlari mendekati kamar tahanan itu. Ia menemukan Hong Beng dalam keadaan tak berdaya, bergantung ke jeruji jendela dan nampak pucat dan lemas. Gi­ranglah harinya melihat ini.

“Dia akan melakukan apa saja yang kauperin­tahkan, Mo-li.”

“Ah, terima kasih, Bi-kwi. Aku akan mem­bawanya ke kamarku sekarang juga.”

“Aih, jangan lupa membuka kamar tahanan sebelah, Mo-li.”

“Jangan khawatir. Nih kuncinya, kaubuka sen­diri. Akan tetapi, jangan sampai ia terluka atau terbunuh, engkau hanya boleh meminjamnya saja untuk memuaskan seleramu yang gila. Aku masih belum selesai dengan anak itu!”

“Baiklah, siapa mau mencelakakannya? Aku.... aku sayang pada anak-anak seperti itu, bagaikan kuncup bunga yang mulai mekar, hi-hik!”

Kedua orang wanita itu membuka pintu kamar tahanan. Melihat masuknya seorang wanita yang tidak dikenalnya, akan tetapi yang diketahuinya ada­lah wanita yang dimakinya siluman tadi, yang tentu telah membius atau meracuni Gu Hong Beng seperti yang didengarnya tadi, Hong Li menjadi marah se­kali. Begitu pintu kamar tahanan itu dibuka dari luar, dara cilik ini menyambut Bi-kwi dengan ma­kian.

“Siluman betina keparat!” dan iapun sudah menerjang dan menyerang dengan nekat, bagaikan seekor anak harimau yang marah. Akan tetapi, tentu saja serangannya itu tidak ada artinya bagi seorang wanita selihai Bi-kwi. Dengan cekatan, wanita ini menyambut tubuh kecil yang menyerangnya itu dengan tangkapan tangan kiri se­dangkan tangan kanannya sudah menotok pundak Hong Li. Anak itu terkulai lemas dan segera dipondongnya sambil tertawa kecil.

Sementara itu, melihat pintu kamar tahanannya terbuka dan melihat Sin-kiam Mo-li masuk, su­kar sekali bagi Hong Beng untuk menahan dirinya untuk tidak menerjangnya. Akan tetapi dia teringat akan pesan Bi- kwi. Dia harus berhati-hati karena Bi-kwi bermaksud untuk menyelamatkan Hong Li. Kalau dia sembrono dan menurutkan nafsu hati lalu menyerang Mo-li, jangan-jangan dia membuat ka­piran semua rencana Bi-kwi yang belum diketahui­nya bagaimana. Karena itu, ketika Mo-li menyentuh lengan dan pundaknya untuk meyakinkan diri, dia membuat tubuhnya lumpuh dan jalan darahnya ber­jalan lambat sehingga wanita itu percaya bahwa dia benar-benar berada dalam pengaruh bius yang amat kuat. Diapun membiarkan saja wanita itu merang­kulnya, menciumnya lalu tertawa kecil dan menun­tunnya keluar dari dalam kamar penjara.

Ia bertemu dengan Bi-kwi di luar kamar tahanan, dan melihat Hong Li sudah terkulai lemas dipanggul oleh Bi-kwi. Bi-kwi tersenyum kepadanya.

“Bagaimana Mo-li? Tidak manjurkah obatku?”

“Memang ampuh, dan aku berterima kasih ke­padamu, Bi-kwi,” kata Sin-kiam Mo-li sambil merangkul pinggang Hong Beng.

“Gu Hong Beng....“ kata Bi-kwi dan Mo-li mengira bahwa rekannya itu akan mengejek tawanannya, akan tetapi ternyata panggilan itu oleh Bi-kwi disambung dengan seruan, “.... serbuuu....!” Dan ia sendiri mengirim tamparan keras ke arah kepala Mo-li! Tentu saja Sin-kiam Mo-li terkejut bukan main. Cepat ia miringkan tubuhnya mengelak dan tamparan yang amat berbahaya itu, akan tetapi pada saat itu, Hong Beng juga sudah menyerangnya. Pemuda ini tadi dirangkul pinggang­nya, maka hantaman Hong Beng yang amat dekat itu sukar sekali dielakkan dan biarpun ia sudah membuang diri, tetap saja punggungnya terkena pu­kulan tangan Hong Beng.

“Bukk!“ Tubuh Sin-kiam Mo-li terpelanting keras dan ketika ia meloncat berdiri, dari mulutnya keluar darah segar! Wanita ini ternyata kuat sekali karena hantaman itu tidak membuatnya lemah. Ia bahkan mencabut pedangnya dan memandang de­ngan mata penuh kemarahan kepada Bi-kwi dan Hong Beng.

“Bi-kwi.... manusia hina, khianat dan curang!” bentaknya.

“Hong Beng, bawa ia keluar dari sini, suruh ia menjadi penunjuk jalan. Cepat.... biar kuha­dapi siluman ini!” kata Bi-kwi sambil melempar­kan tubuh Hong Li yang diam-diam telah ia be­baskan totokannya kepada Hong Beng. Pemuda itu cepat menangkap Hong Li dan dipondongnya gadis cilik itu, kemudian maklum bahwa yang terpenting adalah menyelamatkan Hong Li, dia meloncat keluar dari tempat tahanan itu.

Mo-li hendak mengejar, akan tetapi Bi-kwi sudah menghadang di depannya dan Bi-kwi juga mencabut pedangnya, menghadang Mo-li sambil ter­senyum mengejek.

“Nah, sekarang kita boleh mengadu kepandaian, Mo-li. Akulah lawanmu!”

Saking marahnya, Sin-kiam Mo-li tidak mam­pu mengeluarkan suara, bahkan saking marahnya, ia tidak ingat untuk berteriak minta bantuan para pe­layan dan juga para tamunya untuk mencegah Hong Beng dan Hong Li melarikan diri. Mulutnya me­nyeringai penuh kebencian, sepasang matanya mencorong seolah-olah ia hendak menelan Bi-kwi bu­lat-bulat. Kemudian ia mengeluarkan suara me­lengking nyaring dan pedangnya berubah menjadi sinar berkelebat, tahu-tahu pedang itu telah me­nyambar dan menusuk ke arah dada Bi-kwi.

“Cringgg....!” Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dua batang pedang bertemu dan Bi-kwi merasa betapa telapak tangannya panas dan lengan kanannya tergetar hebat. Maklumlah ia bahwa Sin-kiam Mo-li memang sesuai dengan julukan­nya, Iblis Betina Berpedang Sakti, amat hebat ilmu pedangnya. Oleh karena itu, sambil melawan de­ngan pedang, Bi-kwi mengeluarkan ilmu-ilmu ta­ngan kosongnya yang tak kalah hebatnya. Ia mengisi tangan kirinya dengan ilmu yang disebut Kiam-ciang (Tangan Pedang), ilmu dari Sam Kwi yang amat terkenal. Dengan ilmu ini, tangan kirinya kalau dipergunakan untuk menyerang, tiada ubah­nya sebatang pedang pula, yang selain amat kuat, juga dapat membabat anggauta tubuh lawan sampai buntung, bahkan lengan kiri ini berani menangkis senjata tajam karena telah dilindungi kekebalan Kiam-ciang. Di samping ini, ia juga merobah-ro­bah ilmu pedangnya karena memang wanita ini telah mewarisi semua ilmu dari ketiga orang gurunya, yaitu mendiang Hek Kwi Ong si Raja Iblis Hitam, Im­ kan-kwi si Iblis Akhirat dan Iblis Mayat Hidup yang ketiganya merupakan datuk sesat yang terkenal dengan julukan Sam Kwi (Tiga Iblis).

Akan tetapi sekali ini Bi-kwi bertemu lawan yang amat tangguh pula. Sin-kiam Mo-li adalah anak angkat mendiang Kim Hwa Nio-nio, sudah mewarisi semua ilmu dari nenek sakti itu dan di­tambah dengan pengalamannya yang luas, ia meru­pakan seorang wanita yang amat lihai, bukan saja dalam ilmu silat, melainkan juga memiliki kekuatan batin yang hebat karena ia pernah mempe­lajari ilmu sihir. Kalau saja ia tidak menghadapi seorang yang juga sudah matang seperti Bi-kwi, ten­tu ia dapat menjatuhkan lawan dengan ilmu sihirnya. Bahkan kinipun, dengan mengeluarkan lengkingan-lengkingan tajam yang mengandung kekuatan batin, beberapa kali Bi-kwi merasa jantungnya tergetar dan terguncang hebat yang hampir saja melumpuh­kannya. Namun, maklum akan kesaktian lawan, Bi-kwi mengerahkan segala tenaga dan kemampuannya untuk melakukan perlawanan dengan amat gigihnya.

Hong Beng yang memondong Hong Li keluar dari kamar tahanan itu menurutkan petunjuk Hong Li. Ternyata lorong yang membawa mereka ke atas itu tidak terjaga. Tiga orang pelayan agaknya sedang asyik melayani tujuh orang tosu bersama wanita-wanita dusun. Hong Li minta turun dari pondong­an karena tubuhnya sudah terasa segar kembali dan gadis inilah yang menjadi petunjuk jalan untuk ke­luar dari daerah berbahaya itu. Akan tetapi, tiba-tiba Hong Beng teringat akan Bi-kwi. Bagaimana dia dapat melarikan diri meninggalkan Bi-kwi di tempat berbahaya itu? Selama ini dia telah salah sangka terhadap Bi-kwi, bahkan terhadap Bi Lan dan Sim Houw! Dia telah menganggap bahwa Bi-kwi seorang wanita iblis yang tak mungkin menjadi baik kembali. Akan tetapi, kini dia melihat kenyatan betapa keliru pendapatnya itu, pendapat yang dulu didorong oleh perasaan iri dan cemburu karena cintanya terhadap Bi Lan gagal. Kini baru nampak olehnya, Bi-kwi telah menjadi seorang wanita yang gagah perkasa. Hal ini telah dibuktikannya. Bi-kwi rela mengorbankan diri, menghadapi Sin-kiam Mo-li yang demikian lihai­nya, yang masih dibantu tujuh orang tosu. Bi-kwi mengorbankan diri demi menyelamatkan dia dan Hong Li. Dan bagaimana mungkin dia sekarang melarikan diri meninggalkan wanita itu begitu saja diancam bahaya maut?

“Sumoi, tentu engkau tahu jalan keluar, bu­kan?”

“Tentu saja, aku sudah hafal jalan di sini dengan semua rahasianya, jangan khawatir, suheng. Aku akan membawamu keluar dari sini dengan aman.”

“Bukan itu yang kukhawatirkan, sumoi. Engkau sekarang larilah secepatnya keluar dan di luar daerah ini, carilah sepasang pendekar yang bernama Sim Houw dan Can Bi Lan, lalu bawalah mereka masuk untuk membantu kami. Aku harus cepat kembali untuk membantu nona Ciong Siu Kwi.”

“Siapakah itu?”

“Wanita tadi....”

“Ah,.... siluman itu?”

“Tidak, sumoi. Ia hanya pura-pura, termasuk siasatnya agar dipercaya oleh Sin-kiam Mo-li. Ia datang untuk menyelamatkan engkau dan ia datang bersama Sim Houw dan Bi Lan itulah. Sudah, aku tidak dapat bicara banyak, engkau cepatlah lari mencari bantuan mereka. Kalau terlambat, mungkin nona Ciong dan aku akan tewas di tangan Mo-li dan tujuh orang tosu itu!” Tanpa menanti jawaban, Hong Beng melompat dan lari kembali ke arah ba­ngunan besar di tengah hutan dan rawa itu.

Sejenak Hong Li berdiri bingung, akan tetapi iapun dapat menangkap apa yang terjadi menurut cerita Hong Beng tadi, maka iapun cepat melompat dan melanjutkan larinya keluar dari daerah itu. Ia merasa khawatir sekali akan keselamatan pemuda yang menjadi suhengnya itu, dan ia harus dapat ce­pat menemukan sepasang pendekar seperti yang d­katakan oleh Hong Beng tadi. Juga kini Hong Li baru melihat kenyataan betapa gurunya, Sin-kiam Mo-li, yang selama ini dianggapnya menjadi ibu angkat dan gurunya, amatlah jahatnya. Maka iapun tidak ragu-ragu untuk membantu Gu Hong Beng, kalau perlu ia bahkan siap untuk menentang keja­hatan subonya sendiri.

Perkelahian antara Bi-kwi dan Mo-li berjalan dengan amat serunya dan selama itu, keduanya masih nampak seimbang. Biarpun Mo-li lebih kuat dalam tenaga sin-kang, namun kekurangan Bi-Kwi diim­bangi dengan kemenangannya dalam ilmu silat yang banyak ragamnya, terutama sekali Sam-kwi Cap-sha-kun ciptaan terakhir yang merupakan ciptaan gabungan dari ketiga orang tokoh sesat itu. Akan tetapi, setelah berkelahi selama empatpuluh jurus lebih, tiba-tiba bermunculan tujuh orang tosu Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang menjadi tamu di rumah itu. Akhirnya mereka mendengar juga akan perkelahian itu ketika seorang di antara tiga pelayan yang kebetulan mempunyai keperluan ke belakang, mendengar suara denting pedang beradu yang keluar dari lorong rahasia bawah tanah. Ang Nio, pelayan ini, cepat memasuki lorong dan melihat betapa Mo-li berkelahi mati-matian melawan Bi-kwi, sedang­kan dua orang tawanan telah kosong, Ang Nio ce­pat berlari ke atas memberi tahu kepada tujuh orang tosu itu dan minta bantuan. Tujuh orang tosu itu cepat berlompatan keluar dari dalam kamar sambil membetulkan pakaian mereka dengan tergesa-gesa, lalu mereka memasuki lorong bawah tanah.

Melihat betapa Mo-li berkelahi dengan mati-matian melawan Bi-kwi, merekapun tanpa dimin­ta sudah maju mengepung. Melihat munculnya tujuh orang musuh baru ini, Bi-kwi maklum bahwa ia terancam bahaya maut, namun ia sudah nekat. Ia rela mati, namun hatinya lega karena Hong Beng dan Hong Li tentu sudah dapat keluar dengan selamat. Ia tidak takut mati, apa lagi mati sebagai seorang gagah yang menentang kejahatan. Suaminya yang amat dicinta tentu maklum, dan akan merasa bang­ga pula dengan kematiannya. Maka, dengan penuh semangat, pedang di tangan dan tubuh basah oleh peluh, ia siap untuk mempertahankan nyawanya sampai titik darah terakhir.

Sementara itu, Sin-kiam Mo-li sudah marah sekali kepada Bi-kwi. Demikian besar rasa marah dan bencinya sehingga ia berseru kepada tujuh orang tosu yang membantunya, “Jangan bunuh perempu­an keparat ini! Boleh buntungi kaki tangannya, akan tetapi jangan buntungi lehernya. Aku ingin menangkapnya hidup-hidup, menyiksanya sepuas hatiku. Pengkhianat keji ini harus mengaku menga­pa ia membalik dan membela para pendekar!”

Seruan yang timbul dari kebencian dan kema­rahan yang bergelora ini bahkan menolong nyawa Bi-kwi. Kalau saja tidak ada larangan itu, para tosu maju mengeroyok, agaknya tidak sampai sepu­luh jurus Bi-kwi akan roboh dan tewas! Akan tetapi, karena dilarang membunuh oleh Mo-li, tu­juh orang tosu itupun menyerang tanpa mengguna­kan senjata dan mereka tidak melakukan serangan maut, melainkan berusaha merobohkan saja dan menangkapnya. Dan tidaklah mudah menangkap seorang yang demikian lihainya seperti Bi-kwi tanpa membunuhnya!

Bi-kwi yang hendak mempertahankan nyawa­nya sampai napas terakhir, menggunakan seluruh ke­pandaiannya. Baru sakarang inilah selama hidupnya ia menghadapi lawan yang demikian kuatnya. De­lapan orang yang rata-rata memiliki tingkat yang tinggi, dan melawan seorang saja dari mereka sudah sukarlah baginya untuk keluar sebagai pemenang. Apa lagi dikeroyok delapan! Ia merobah-robah ilmu silatnya, bahkan ketika dalam benturan pedang yang amat dahsyatnya pedangnya dan juga pedang di tangan Sin-kiam Mo-li terlempar dan jatuh, ia melanjutkan perlawanan dengan kedua tangan ko­song. Mo-li juga tidak mengambil pedangnya kare­na ia merasa yakin bahwa dibantu oleh tujuh orang tosu itu, tanpa pedangnyapun ia akan mampu me­nangkap Bi-kwi.

Dalam usahanya untuk membela diri dan kalau mungkin merobohkan para pengeroyoknya, Bi-kwi mempergunakan Hek-wan Sip-pat-ciang (Delapan Belas Jurus Silat Lutung Hitam) yang merupakan ilmu khas dari mendiang Raja Iblis Hitam. Dengan ilmu silat ini, kedua lengan Bi-kwi dapat mulur sampai dua kali lipat ukuran biasa! Tentu saja ilmu ini hebat bukan main dan para pengeroyoknya ka­dang-kadang berseru kaget dan hampir celaka oleh serangan ilmu ini. Untung mereka itu berdelapan sehingga yang lain cepat membantu kalau ada yang terdesak. Juga dalam menghadapi sambaran pukulan atau tendangan lawan, Bi-kwi melindungi dirinya dengan Ilmu Kebal Kulit Baja yang dipelajarinya dari mendiang Iblis Akhirat, juga tendangan Pat-hong-twi yang dapat dilakukan ke arah delapan penjuru dengan susul-menyusul dan cepat serta kuat sekali. Pernah pula ia mengeluarkan pukulan Hun-kin-tok-ciang (Tangan Beracun Putuskan Otot) dari mendiang Iblis Mayat Hidup. Di samping semua ilmu ini, Ilmu Pukulan Kiam-ciang (Tangan Pedang) masih terus dipergunakannya sehingga menggiriskan para pengeroyoknya, walaupun para pengeroyok itu memiliki ilmu yang tinggi.

Sudah berulang kali Bi-kwi menerima tendang­an dan pukulan. Akan tetapi berkat perlindungan Ilmu Kebal Kulit Baja, ia tidak menderita luka wa­laupun pakaiannya sudah robek sana-sini dan selu­ruh tubuh terasa nyeri-nyeri karena biarpun tidak terluka, tetap saja guncangan-guncangan yang dite­rimanya membuat tubuhnya nyeri semua. Ia semakin terdesak dan agaknya tak lama lagi ia akan kehabis­an tenaga dan napas dan akan roboh tak berdaya sehingga ia akan menjadi korban kebencian Sin-kiam Mo-li yang ingin menyiksanya habis-habisan sebelum membunuhnya!

Pada saat ia kembali menerima sebuah tendangan yang kuat dari Ok Cin Cu, tosu yang agaknya juga amat membencinya karena pernah Ok Cin Cu dikecewakan oleh pelayanannya yang dingin, sehing­ga tubuhnya terbanting dan bergulingan, dan ia ter­paksa menangkis dengan kedua lengannya karena ketika ia bergulingan itu datang tendangan bertubi-tubi, muncullah Gu Hong Beng!

Tanpa banyak cakap lagi, Hong Beng menyerbu dan menyerang Ok Cin Cu sehingga tosu ini terpe­lanting oleh sambaran angin pukulannya yang panas karena dia menyerang dengan pengerahan tenaga Hui-yang Sin-kang, satu di antara ilmu sin-kang dari Pulau Es! Hui-yang Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Api) mengeluarkan hawa panas dan amat kuat se­hingga biarpun Ok Cin Cu tidak terkena pukulan secara langsung, tetap saja dia terpelanting! Semua orang terkejut dan melihat munculnya pemuda ini, Sin-kiam Mo-li menjadi girang. Kiranya pemuda ini belum melarikan diri! Kini ia akan dapat me­nangkapnya dan menyiksanya bersama Bi-kwi.

“Tangkap pemuda jahanam ini pula!” bentak­nya dan ia sendiri sudah menyerang Hong Beng de­ngan dahsyatnya. Pemuda ini juga amat membenci Sin-kiam Mo-li, maka diapun mengerahkan tena­ganya dan menangkis.

“Desss....!” Keduanya terdorong ke bela­kang. Hong Beng merasa lega dan juga kagum meli­hat betapa Bi-ikwi yang dikeroyok delapan orang lihai itu masih dalam keadaan selamat, walaupun pakaiannya sudah compang-camping dan wajahnya sudah pucat, dengan tubuh basah oleh keringat dan tampaknya wanita itu lelah sekali. Namun, melihat Hong Beng, Bi-kwi terkejut.

“Bagaimana dengan Hong Li?” tanyanya sambil meloncat ke belakang menghindarkan serangan dua orang lawan.

“Harap jangan khawatir, ia sudah selamat,” kata Hong Beng, makin kagum karena dalam keadaan nyawanya sendiri terancam bahaya, wanita itu masih teringat kepada anak itu.

“Kenapa kau mencari penyakit dan tidak pergi saja?” kata pula Bi-kwi, agak menyesal mengapa pemuda ini kembali untuk menyerahkan nyawa.

“Ciong-lihiap, aku masih belum begitu tersesat untuk membiarkan engkau sendiri terancam bahaya. Mari kita hajar iblis-iblis ini!” kata Hong Beng.

Bi-kwi terbelalak dan wajahnya menjadi cerah sekali, sepasang matanya bersinar dan mencorong mendengar betapa ia disebut Ciong-lihiap oleh mu­rid tokoh Pulau Es itu. Ia tertawa.

“He-he-he, engkau benar sekali, Gu-taihiap! Mari kita basmi siluman-siluman jahat ini!” Dan seperti memperoleh tenaga baru, sebuah tendangan kilat mengenai paha Im Yang Tosu, membuat tosu Pek-lian-kauw yang menjadi seorang di antara pengeroyok itu terpelanting dan ketika meloncat ba­ngun, kakinya agak terpincang. Dia menyumpah-nyumpah dan menerjang lagi.

Dengan penuh semangat, dua orang itu menga­muk dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepan­daian mereka. Namun, delapan orang pengeroyok­nya adalah orang-orang pandai yang setingkat de­ngan mereka, maka perlahan-lahan, mulailah Bi-kwi dan Hong Beng terdesak lagi. Mereka sudah mulai menerima hantaman-hantaman dan hanya karena kekebalan tubuh mereka dan besarnya sema­ngat mereka saja kedua orang gagah ini masih terus melakukan perlawanan seperti dua ekor harimau yang sudah terluka dan tersudut, pantang menyerah sebelum rohoh!

Sementara itu, dengan cepat sekali Hong Li lari menyusup-nyusup keluar dari daerah yang berbaha­ya karena penuh dengan perangkap-perangkap itu. Berkat kecerdikannya, karena ia sudah hafal benar keadaan di daerah itu, ia mampu berlari keluar di tempat gelap tanpa terancam jebakan dan akhirnya sampai juga ia di luar daerah tempat tinggal gurunya. Sampai di sini, Hong Li merasa bingung sekali. Ia disuruh mencari dua orang gagah yang hanya diketa­hui namanya saja, yaitu Sim Houw dan Can Bi Lan. Akan tetapi ia belum pernah bertemu dengan mere­ka dan tidak tahu bagaimana wajah mereka. Ia tidak akan mengenal mereka dan ke manakah ia harus mencari mereka? Akan tetapi Hong Li adalah seorang anak yang cerdik sekali. Ia membayangkan keadaannya. Kini ia dapat menduga bahwa kalau suhengnya yang bernama Gu Hong Beng itu datang sendirian untuk menyelamatkannya, maka wanita yang disebut Bi-kwi oleh gurunya itu datang ber­tiga bersama mereka yang kini harus dicarinya. Dan agaknya Bi-kwi itu mengenal subonya, maka mem­pergunakan siasat berkunjung kepada gurunya seba­gai seorang sahabat dan kemudian bergerak dari dalam. Kalau demikian halnya, sudah pasti kedua orang temannya itu menunggu di luar hutan ini dan kini berada di suatu tempat tersembunyi. Mencari mereka tidaklah mungkin karena mereka bersembu­nyi, maka iapun lalu mulai memanggil-manggil de­ngan suara nyaring.

“Orang-orang gagah yang bernama Sim Houw dan Can Bi Lan....! Ji-wi (kalian) keluarlah! Sahabat ji-wi Bi-kwi berada dalam bahaya!”

“Sim Houw dan Can Bi Lan....!”

Hong Li berjalan ke sana-sini sambil berteriak­-teriak. Usahanya berhasil. Belum sepuluh kali ia memanggil kedua nama itu. Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depannya berdiri seorang laki-laki dan seorang perempuan yang da­pat dilihatnya dalam cuaca remang-remang yang ditimbulkan oleh sinar laksaan bintang di langit.

“Siapakah engkau?” yang wanita menyapanya dengan suara tegas setengah menghardik.

“Aku Kao Hong Li....“

“Ahhh....!” Dua orang itu cepat memegang lengannya dengan lembut.

“Kiranya adik Hong Li....! Apa artinya teriakanmu tadi?” tanya yang wanita. “Aku yang bernama Can Bi Lan, aku sumoi dari Bi-kwi itu, dan aku sumoi dari ayahmu....“

“Sumoi dari ayah?”

“Tidak ada waktu untuk bicara tentang itu. Hong Li, katakanlah, apa yang telah terjadi dan bagaianana engkau dapat sampai ke sini?”

“Engkau benar, bibi. Tidak banyak waktu untuk bicara. Kalianlah yang dicari oleh mereka yang kini berada dalam bahaya besar. Mereka berdua terancam bahaya maut. Di sana ada.... Sin-kiam Mo-li dan tujuh orang tosu itu....“

“Berdua? Suci Bi-kwi dengan siapa?”

“Ia bersama suheng Gu Hong Beng. Tadinya suheng tertawan. Lalu muncul bibi Bwi-kwi yang berhasil membebaskan aku dan suheng. Akan tetapi suheng menyuruh aku berlari sendiri dan dia kembali untuk membantu bibi Bi-kwi. Mari, mari cepat, biar aku menjadi penunjuk jalan. Ji-wi harus mem­bantu mereka!” Tanpa menanti, jawaban, Hong Li sudah melompat ke dalam hutan. Dua orang itu ka­gum dan merekapun cepat mengikuti jejak Hong Li yang mulai menyusup-nyusup ke dalam hutan itu menuju ke tempat tinggal Sin-kiam Mo-li.

Kedatangan Bi Lan dan Sim Houw sungguh pada saat yang tepat sekali. Ketika mereka tiba di dalam rumah itu, mereka dihadang oleh tiga orang wanita yang bukan lain adalah Pek Nio, Ang Nio dan Hek Nio tiga orang pelayan dan juga pembantu dan murid Sin-kiam Mo-li.

“Mereka adalah pembantu-pembantu Sin-kiam Mo-li,” bisik Hong Li kepada dua orang itu.

“Tunggu! Siapa kalian dan mau apa?” bentak Pek Nio dengan pedang melintang di depan dada.

Bi Lan yang sudah mendengar bisikan Hong Li tadi membentak, “Menggelinding pergi kalian!” Dan iapun menerjang ke depan. Tiga orang wanita pelayan itu menyambutnya dengan serangan pedang, akan tetapi begitu Bi Lan menggerakkan kaki ta­ngannya, tiga orang itu berpelantingan ke kanan kiri dan terbanting keras, tak dapat bangkit kembali!

Hong Li kagum bukan main melihat ini. Bibi gurunya! Adik seperguruan ayahnya! Demikian lihai!

“Mari, mari ke sini, bibi!” katanya sambil lari masuk ke dalam rumah itu, diikuti oleh Bi Lan dan Sim Houw. Hong Li membuka pintu rahasia dan merekapun memasuki terowongan bawah tanah.

Kalau tadi Bi Lan dan Sim Houw masih heran dan bingung, belum percaya penuh akan keterangan Hong Li bahwa Bi-kwi berada di situ bersama Gu Hong Beng, kini mereka dapat melihat sendiri. Me­mang Hong Beng bersama Bi-kwi yang sedang di­kurung dan terdesak hebat oleh delapan orang pe­ngeroyok itu! Sejenak mereka merasa kaget dan heran sekali. Hong Beng bekerja sama dengan Bi-kwi menghadapi pengeroyokan delapan orang mu­suh! Sukar untuk dapat dipercaya karena mereka tahu betapa besarnya perasaan benci dalam hati Hong Beng terhadap Bi-kwi. Agaknya pemuda itu telah sadar sekarang dan hal ini membuat Bi Lan demiki­an girangnya sehingga ia berteriak nyaring.

“Hong Beng, jangan takut aku datang memban­tu!”

Sim Houw juga tidak banyak cakap lagi. Begitu tiba di situ, pendekar Suling Naga ini menggunakan pandang matanya yang tajam mencorong itu untuk menelitii keadaan. Dia melihat bahwa baik tingkat kepandaian Hong Beng maupun Bi-kwi tidak kalah oleh tingkat masing-masing pengeroyok, dan dia merasa yakin bahwa Bi Lan akan mampu mengalah­kan setiap dari mereka, kecuali wanita cantik itu yang amat lihai. Bi Lan akan mampu menahan dua orang lawan, Hong Beng dan Bi-kwi menghadapi dua orang lawan dan dia sendiri akan menghadapi empat orang lawan termasuk wanita itu yang dia sangka tentulah Sin-kiam Mo-li adanya. Maka dia­pun sudah mencabut suling naga dari pinggangnya dan bersama dengan Bi Lan dia menyerbu ke dalam arena perkelahian. Ruangan di depan kamar-kamar tahanan itu cukup luas sehingga daa dapat mengge­rakkan pedangnya yang luar biasa itu dengan lelua­sa.

Munculnya dua orang ini mengejutkan Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya. Akan tetapi tidak membuat mereka menjadi gentar. Bagaimanapun ju­ga, mereka berjumlah delapan orang, merupakan ke­kuatan yang sukar dilawan. Mo-li maklum bahwa kawan-kawannya adalah tokoh-tokoh pilihan dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, maka munculnya dua orang yang membantu Bi-kwi dan Gu Hong Beng tidak membuat ia menjadi gentar. Ia sudah menyambar pedangnya dan meloncat ke depan menyambut Sim Houw dan karena ia ingin cepat-cepat menye­lesaikan perkelahian ini, tangan kirinya juga sudah melolos kebutan bulu merah bergagang emas dan be­gitu tubuhnya menerjang ke depan, pedangnya me­nusuk dada Sim Houw dan kebutannya menyambar ke arah muka pendekar itu.

“Tranggg! Trakkk!”

“Aihhhh....!” Sin-kiam Mo-li menjerit ketika tubuhnya terhuyung ke belakang seperti di­ sambar petir.

“Dia Pendekar Suling Naga....!” teriak Thian Kek Seng-jin yang pernah kalah oleh pende­kar ini. Demikian pula Ok Cin Cu terkejut melihat munculnya pendekar yang membuatnya gentar itu.

Mendengar ini, Sin-kiam Mo-li terkejut. Ia sudah mendengar nama besar pendekar yang baru muncul ini dan kini ia memandang ke arah pedang berbentuk suling naga itu. Akan tetapi ia tidak me­rasa gentar karena ia dibantu oleh teman-temannya dan bersama tiga orang tosu iapun menerjang lagi ke depan, sekali ini lebih berhati-hati agar jangan ben­trok senjata secara langsung karena ia tahu bahwa tenaga sin-kangnya masih kalah jauh dibandingkan pendekar ini.

Bi Lan sudah menghadapi dua orang tosu, yaitu Ok Cin Cu dan sutenya, yaitu Lam Cin Cu, dua orang tokoh Pat-kwa-pai. Bi-kwi melawan Im Yang Tosu sedangkan Hong Beng berkelahi melawan Ang Bin Tosu, keduanya dari Pek-lian-pai. Ada­pun Sim Houw dikepung oleh Sin-kiam Mo-li yang dibantu oleh Thian Kek Seng-jin dan Coa-ong Seng-jin dari Pek-lian-pai, dan Thian Kong Cin-jin yang merupakan tosu paling tangguh di antara mereka bertujuh, karena tosu ini adalah wakil ketua Pat-kwa-pai.

Hong Li berdiri agak jauh, nonton perkelahian itu dengan pandang mata penuh kagum ditujukan kepada Sim Houw dan Bi Lan. Dan kini, sungguh amat mengejutkan pihak Mo-li, pertempuran itu berjalan dengan seimbang! Andaikata Bi-kwi ti­dak demikian lelah dan nyeri-nyeri tubuhnya karena tadi menerima banyak pukulan, seperti juga halnya Hong Beng, tentu ia dan Hong Beng sudah mampu merobohkan lawannya yang hanya seorang saja. Bi Lan yang tadi sudah melihat kelihaian para tosu, ki­ni mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, membuat kedua orang pengeroyoknya cukup repot walaupun kedua orang pengeroyok itu mempergunakan tong­kat untuk menyerangnya dan gadis itu hanya berta­ngan kosong saja.

Hong Beng juga sudah menerima beberapa pu­kulan keras ketika dia membantu Bi-kwi tadi sehingga gerakannya tidak leluasa, juga tenaganya banyak berkurang. Untung dia memiliki sin-kang yang amat kuat dari gurunya, sin-kang istimewa dari keluarga Pulau Es, maka biarpun lawannya, Ang Bin Tosu dari Pek-lian-pai juga merupakan tokoh li­hai, sudah berusaha untuk mengalahkannya, tetap saja kakek tosu sesat itu tidak mampu mendesak Hong Beng. Bahkan ketika Hong Beng memainkan Liong-in Bun-hoat, ilmu silat yang amat tinggi dan sukar dilawan, yang halus namun mengandung ke­kuatan dahsyat, Ang Bin Tosu terkena dorongan tangan kiri Hong Beng dan kakek ini terhuyung lalu terpaksa meloncat ke belakang.

Pada saat itu, Bi-kwi yang keadaannya lebih pa­rah dari Hong Beng, terdesak hebat dan sebuah sa­puan tongkat panjang dari lawannya, yaitu Im Yang Tosu, membuat ia roboh terguling. Memang aneh, tadi ketika hanya berkelahi berdua saja dengan Hong Beng, dia begitu gigih, akan tetapi setelah datang bala bantuan, Bi-kwi merasa betapa tubuhnya lelah dan lemah. Hal ini mungkin karena tadi ia tidak melihat adanya harapan dan hal itu membuatnya nekat, dan kini, kelegaan hati melihat kemunculan Bi Lan dan Sim Houw membuat daya tahan batinnya bahkan melemah. Untung Hong Beng cepat menu­bruk ke depan dan menghantam punggung Im Yang Tosu dengan pengerahan tenaga Soat-im Sin-kang yang berhawa dingin.

“Bukkk!” punggung itu kena dihantam telapak tangan Hong Beng, keras sekali karena pemuda ini khawatir sekali dan ingin menyelamatkan Bi-kwi yang terancam maut oleh serangan susulan Im Yang Tosu yang menghantamkan tongkatnya ke arah ke­pala Bi-kwi. Pukulan tangan Hong Beng itu sede­mikian kuatnya sehingga tubuh Im Yang Tosu ter­pelanting keras, menggigil dan tidak mampu bangun kembali, bahkan tidak lagi mampu berkutik! Meli­hat rekannya roboh, Ang Bin Tosu marah sekali dan dengan teriakan marah dia menubruk ke arah Hong Beng. Pada saat itu, Hong Beng yang tadi menggu­nakan seluruh tenaganya memukul Im Yang Tosu, berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Dia memang sudah amat lelah dan sudah banyak mene­rima pukulan ketika bersama Bi-kwi menghadapi pengeroyokan delapan orang itu. Maka pengerahan tenaga sepenuhnya tadi membuat dia terhuyung dan terengah dan dalam keadaan seperti itu Ang Bin Tosu menyerangnya dengan pukulan dahsyat dari belakang!

“Desss....!” Pada saat yang amat berbaha­ya bagi Hong Beng itu, Bi-kwi menerjang ke de­pan dan menyambut serangan tosu itu untuk menye­lamatkan Hong Beng. Hebat sekali benturan tangan itu, dan akibatnya, tubuh Bi-kwi yang sudah amat lelah dan lemah itu terjengkang dan wanita itupun roboh pingsan. Akan tetapi, Ang Bin Tosu juga ter­huyung ke belakang dan terengah-engah karena benturan tenaga itu amat hebat, membuat isi dada­nya terguncang dan tergetar.

Melihat betapa dia terlepas dari bahaya maut karena pertolongan Bi-kwi, sehingga wanita itu roboh tak bergerak lagi, Hong Beng menjadi marah sekali kepada Ang Bin Tosu.

“Tosu jahat!” bentaknya dan diapun menerjang tosu yang sedang terhuyung itu. Ang Bin Tosu yang kehilangan tongkatnya, menangkis dengan kedua lengannya, akan tetapi pukulan Hong Beng amat he­batnya sehingga tangkisan itu runtuh dan telapak tangan kiri Hong Beng mengenai dada Ang Bin To­su. Kakek ini mengeluh dan roboh terjengkang, tak dapat bergerak lagi.

Sementara itu pedang suling naga di tangan Sim Houw membuat empat orang pengeroyoknya kocar-kacir. Pedang itu menyambar-nyambar menjadi gulungan sinar yang amat panjang dan kuat, menge­luarkan bunyi melengking-lengking seperti orang bermain suling. Empat orang itu berusaha untuk mendesaknya, namun sebalilknya mereka berempat yang terdesak dan permainan senjata mereka menja­di kacau-balau. Mula-mula Thian Kong Cin-jin yang lebih dulu menjadi korban sinar pedang suling naga. Sim Houw melihat betapa di antara empat orang pengeroyoknya, yang paling tangguh adalah wakil ketua Pat-kwa-pai ini dan Sin-kiam Mo-li. Oleh karena itu, ketika mendapatkan kesempatan diapun menujukan sinar pedangnya mendesak Thian Kong Cin-jin. Ketika kakek ini memutar tongkat­nya untuk melindungi dirinya dari sinar pedang, Sim Houw meloncat dan menendang ujung tongkat itu dan pada saat tongkat itu menyeleweng dan ter­buka lubang, Sim Houw memasukinya dengan sinar pedangnya.

“Crettt!” Robeknya jubah di bagian pundak disusul mengalirnya darah dan pundak itu telah ter­luka pedang dan seketika lengan kanan Thian Kong Cin-jin menjadi lumpuh kehilangan tenaga dan tongkatnyapun terlepas. Pada saat itu, tiga orang pengeroyok sudah menerjang dengan cepat sehingga Sim Houw harus meloncat mundur dan melindungi tubuhnya dengan sinar pedang sulingnya sehingga serangan senjata tiga orang pengeroyok itu dapat di­tangkis semua. Pada saat itu, Bi Lan berhasil mero­bohkan Lam Cin Cu dengan tamparan tangan kiri­nya yang mengenai pelipis tosu itu. Lam Cin Cu roboh tak berkutik lagi dan melihat robohnya sute ini, Ok Cin Cu terkejut dan juga gentar. Dia meloncat jauh ke belakang dengan muka pucat, apa lagi melihat betapa Im Yang Tosu dan Ang Bin Tosu juga sudah roboh.

Bi Lan kini menerjang ke dalam pertempuran membantu Sim Houw. Tentu saja tiga orang penge­royok Sim Houw menjadi semakin repot. Tadi saja mengeroyok Pendekar Suling Naga, mereka sudah kewalahan. Apa lagi kini Bi Lan maju membantu kekasihnya. Biarpun gadis ini hanya bertangan kosong, namun tangan kakinya tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan senjata. Yang merasa penasar­an dan marah sekali adalah Sim-kiam Mo-li. Ia mengandalkan tujuh orang tosu yang menjadi seku­tunya itu dan kini sudah ada tiga orang tosu tewas, bahkan Thian Kong Cin-jin sudah terluka pundaknya dan tidak mampu melanjutkan perkelahian. Ok Cin Cu yang belum terluka itu agaknya sudah menjadi gentar dan menjauh, sehingga yang membantu Mo-li tinggal dua orang lagi, yaitu Thian Kek Seng-jin dan Coa-ong Seng-jin dari Pek-lian-pai.

Biarpun para pengeroyok itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, kalau Sim Houw menghen­daki, dengan ilmu pedang Suling Naga, agaknya su­dah sejak tadi dia akan mampu merobohkan seorang atau dua orang di antara mereka kalau dia bermaksud membunuh mereka. Justeru karena dia mena­han diri agar tidak membunuh lawan maka sukar baginya untuk merobohkan mereka dan baru saja dia berhasil melukai Thian Kong Cin-jin. Kini, masuknya Bi Lan membuat keadaan menjadi lain. Kalau Sim Houw mengendalikan gerakannya agar jangan membunuh lawan sebaliknya Bi Lan ma­suk dan menerjang dengan serangan dahsyat yang penuh niat membunuh lawan!

Dan mudah diduga bahwa kebencian Bi Lan di­jatuhkan kepada Sin-kiam Mo-li karena wanita inilah yang telah menculik Hong Li. “Perempuan iblis, bersiaplah untuk mampus!” bentak Bi Lan. Begitu ia terjun ke dalam pertempuran itu dan lang­sung saja ia menyerang Sin-kiam Mo-li. Wanita ini menyambut dengan sepasang senjatanya, kebutan dan pedang, yang dengan dahsyat menyambut serang­an Bi Lan dengan tusukan pedang dan sabetan cambuk ke arah muka gadis itu.

Bi Lan bukan tidak tahu akan hebatnya lawan dari gerakan yang amat cepat dan mengandung angin keras itu, maka iapun cepat mengelak ke samping dan dengan tubuh setengah berjongkok dari samping kakinya mencuat dalam tendangan kilat ke arah lu­tut Mo-li. Perlu diketahui bahwa seperti juga Bi-kwi, Bi Lan telah mewarisi ilmu dari ketiga orang gurunya, dan ilmu tendangan Pat- hong-twi (Ten­dangan Delapan Penjuru Angin) merupakan satu di antara ilmu dari mendiang Iblis Akhirat yang sudah dilatihnya dengan amat baik. Maka tendangan yang datangnya tiba-tiba itu amat dahsyat, tak tersangka dan juga selain cepat, mengandung tenaga yang kuat sekali. Sementara itu, melihat betapa kekasihnya mnenghadapi Sin-kiam Mo-li, Sim Houw merasa khawatir. Di antara tiga orang pengeroyoknya, Mo­li merupakan lawan yang paling tangguh. Maka me­lihat majunya Bi Lan yang menghadapi Mo-li, dan kini kekasihnya itu diserang dengan hebat menggu­nakan kebutan dan pedang, Sim Houw menubruk ke depan sambil memutar pedang suling naga di ta­ngan kanannya sambil mengerahkan tenaga.

Pada saat itu, Sin-kiam Mo-li sedang mengha­dapi tendangan dari bawah yang dilakukan oleh Bi Lan dalam posisi setengah berjongkok. Ia mengenal serangan dahsyat dan cepat tubuhnya mencelat ke belakang untuk menghindarkan diri dari tendangan itu. Dan pada saat itu, terdengar suara suling naga melengking ketika Sim Houw memutarnya dan me­nerjangnya. Mo-li membalikkan tubuhnya, menang­kis sinar pedang Sim Houw dengan pedangnya, se­dangkan kebutan merahnya diputar ke belakang un­tuk melindungi dirinya kalau-kalau Bi Lan menye­rang lagi. Akan tetapi Bi Lan sudah diserang oleh Thian Kek Seng-jin. Kakek ini lihai sekali, maka Bi Lan harus mencurahkan kepandaiannya untuk menghadapi tongkat kakek itu, sebatang tongkat naga hitam dan mereka terlibat dalam perkelahian yang seru.

“Tranggg....!” Terdengar Sin-kiam Mo-li menjerit karena pedangnya patah menjadi dua po­tong ketika bertemu dengan pedang suling naga dan telapak tangan yang memegang gagang pedang itu­pun lecet berdarah! Maklumlah Sin-kiam Mo-li bahwa ia dan kawan-kawannya takkan menang kalau melanjutkan pertempuran itu. Maka sambil me­mutar kebutannya untuk melindungi dirinya, ia me­ngeluarkan teriakan malengking dan tubuhnya meloncat jauh ke luar melalui terowongan itu. Melihat ini Ok Cin Cu, Thian Kong Cin-jin, Thian Kek Seng-jin, dan Coa-ong Seng-jin, empat orang to­su yang masih hidup, maklum bahwa keadaan amat berbahaya. Merekapun mengeluarkan suara meleng­king dan berlompatan untuk melarikan diri. Ketika Bi Lan hendak mengejar, Sim Houw memegang lengannya sambil berteriak, “Awas....!”

Mereka berloncatan mundur pada saat terdengar ledakan-ledakan dan tempat itu menjadi gelap oleh asap hitam! Kiranya para tosu itu mempergunakan alat-alat peledak untuk mencegah pihak musuh melakukan pengejaran. Bi Lan cepat menarik tangan Hong Li dan mereka bertiarap seperti yang lain, khawatir kalau-kalau asap hitam itu beracun. Akan tetapi ternyata tidak. Asap itu hanya menggelapkan tempat itu dan tidak mengandung racun. Ketika Bi Lan, Hong Beng yang sudah kelelahan dan Sim Houw mengejar keluar, ternyata empat orang tosu dan Sin-kiam Mo-li telah hilang tak nampak pula jejaknya. Mereka lalu kembali ke dalam ruang­an bawah tanah, menggotong keluar Bi-kwi yang masih pingsan. Setelah berada di atas dan di tem­pat yang bersih dengan hawa yang segar, mereka bertiga memberikan pertolongan kepada Bi-kwi. Akan tetapi ternyata bahwa Bi-kwi hanya kehabisan tenaga, terlalu lelah dan biarpun ia banyak menerima pukulan seperti juga Hong Beng, namun tidak menderita luka yang parah.

Begitu siuman dari pingsannya dan melihat Hong Beng berlutut paling dekat dengannya, Bi-kwi ter­senyum kepada pemuda itu dan bertanya lirih, “A­pakah aku sudah mati?”

Hong Beng menggeleng kepala dan berkata, “Tidak, engkau masih hidup seperti juga kami semua.”

Agaknya baru Bi-kwi teringat dan ia cepat bertanya, “Bagaimana dengan Hong Li?”

“Suci, ia selamat berkat bantuanmu,” kata Bi Lan dan Hong Li segera mendekat. Melihat betapa Hong Beng, Bi Lan, Sim Houw dan Hong Li berada di situ dalam keadaan selamat, Bi-kwi bangkit du­duk dan wajahnya menjadi cerah gembira.

“Aih, kita telah berhasil! Lalu bagaimana de­ngan mereka? Mo-li dan para tosu itu?” Ia me­lihat ke kanan kiri lalu memandang ke arah tubuh tiga orang tosu yang rebah tak bergerak lagi, tubuh Ang Bin Tosu, Im Yang Tosu, dan Lam Cin Cu, se­dangkan empat orang tosu lain bersama Sin-kiam Mo-li tidak nampak berada di situ.

“Tiga orang tosu dan tiga orang pelayan tewas, yang lain-lain melarikan diri bersama Sin-kiam Mo-li,” kata Bi Lan.

“Sayang,” Bi-kwi bangkit berdiri. “Iblis itu jahat dan palsu, dalam kesempatan ini kita gagal membasminya, lain kali ia akan menjadi ancaman bagi kita semua.” Ia memandang kepada Sim Houw dan pandang matanya seperti menegur mengapa Pendekar Suling Naga itu tidak mencegah mereka melarikan diri karena ia tahu bahwa hanya pendekar ini yang memiliki kemampuan untuk membasmi mereka.

“Ciang-lihiap, mereka mempergunakan alat pe­ledak dan menghilang di balik tabir asap hitam se­hingga kami tidak berdaya mengejar mereka,” kata Hong Beng.

Bi-kwi memandang wajah pemuda itu dan me­narik napas lega sambil tersenyum gembira. “Satu hal yang amat menggembirakan hatiku di samping berhasilnya usaha kita menyelamatkan Kao Hong Li dari tangan Sin-kiam Mo-li adalah bahwa kini Gu-taihiap tidak lagi memusuhi aku!”

Wajah Gu Hong Beng berubah merah karena dia merasa tak enak dan malu kalau dia ingat akan si­kapnya sendiri di masa lalu terhadap wanita ini, juga terhadap Sim Houw dan Bi Lan.

“Mataku terbuka sekarang dan aku menyadari kesalahanku. Biarlah aku mempergunakan kesem­patan ini untuk mohon maaf dari kalian bertiga atas sikapku yang tidak adil dan penuh dengan prasangka dan kecurigaan terhadap kalian. Aku telah dibuta­kan oleh ketinggian hati dan iri....“ katanya sambil memandang kepada Sim Houw.

Sim Houw tersenyum dan mengangguk. “Hidup adalah belajar, saudaraku, dan pengalaman merupa­kan guru yang amat baik. Orang yang menyadari kesalahan langkah di waktu lalu, merupakan orang yang beruntung sekali dan kalau dia dapat merobah kesalahannya itu seketika berdasarkan kesadaran, maka dia seorang yang beruntung sekali.”

Hong Li memegang tangan Hong Beng. “Su­heng, sebenarnya apakah yang telah terjadi dengan aku? Sungguh sampai sekarang aku masih bingung memikirkan tentang subo....eh, Sin-kiam Mo-li itu. Selama ini kuanggap ia seorang yang amat baik kepadaku, bersikap baik dan penuh kasih, seolah-olah aku ini anaknya atau muridnya sendiri yang terkasih. Baru setelah suheng muncul dan aku membela suheng, ia bersikap buruk dan keras kepa­daku. Apa sebenarnya yang telah terjadi ketika aku diculik oleh Ang I Lama?”

“Anak yang baik, akulah yang dapat menjelaskan kepadamu karena baru saja aku mendengar sendiri dari Sin-kiam Mo-li. Ketika engkau diculik, yang melakukannya adalah seorang kakek berjubah pendeta Lama yang sudah tua, bukan? Dia meng­aku bernama Ang I Lama, akan tetapi sesungguhnya penculikmu itu bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li sendiri. Selain memiliki ilmu silat tinggi dan ilmu sihir, juga Mo-li pandai menyamar. Di tengah per­jalanan, ia menipumu dan berpura-pura menjadi penolongmu dengan mengusir Ang I Lama.”

“Akan tetapi, mengapa ia harus berbuat demi­kian, bibi?” Hong Li bertanya penasaran, tidak melihat apa gunanya Mo-li berbuat seperti itu.

“Maksudnya semula adalah untuk sekali berte­puk mendapatkan dua ekor lalat, pertama, menculikmu untuk menghancurkan hati orang tuamu yang dianggapnya musuh besar karena orang tuamu adalah keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Dan ke dua, untuk mengadu domba antara orang tuamu dengan Ang I Lama, seorang pendeta Lama di Tibet yang dihormati oleh para pendeta Lama. Sin-kiam Mo-li, adalah anak angkat dan murid terkasih dari mendiang Kim Hwa Nio-nio yang tewas di tangan Pendekar Suling Naga, yaitu Sim-taihiap ini, ketika para pendekar bentrok dengan Kim Hwa Nio-nio dan kawan-kawannya.”

“Kalau begitu, tentu ia amat membenciku. Akan tetapi kenapa setelah menculikku, ia tidak membu­nuhku, bahkan bersikap baik kepadaku, mengambil aku sebagai murid, bahkan sebagai anak angkat?”

“Tadinya memang ia bermaksud membunuhmu, akan tetapi agaknya ia tertarik dan suka kepadamu, Hong Li,” jawab Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi.

“Kukira bukan hanya karena tertarik dan suka,” sambung Bi Lan. “Lebih tepat lagi kalau ia me­mang merencanakannya, mendidik Hong Li agar ke­lak dapat diarahkan untuk memusuhi keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir!”

Kao Hong Li mengerutkan alisnya. “Sungguh keji sekali kalau begitu. Akan tetapi kenapa kemu­dian datang seorang kakek bernama Ang I Lama yang persis dengan kakek yang dulu menculik aku dan terjadi perkelahian antara kakek itu dan subo.... eh, Sin-kiam Mo-li?”

Bi Lan yang kini memberi keterangan. “Gara-­gara Mo-li mengaku sebagai Ang I Lama, ayah dan ibumu mencari Ang I Lama ke Tibet dan hampir terjadi bentrokan antara mereka. Akan tetapi orang tuamu tahu bahwa Ang I Lama memang tidak ber­salah dan menduga bahwa ada orang lain yang mem­pergunakan nama kakek pendeta Lama yang saleh itu, maka dengan kecewa dan berduka mereka pu­lang. Ang I Lama sendiri merasa penasaran karena namanya dipergunakan orang. Dia melakukan pe­nyelidikan dan akhirnya dapat menduga bahwa Sin-kiam Mo-li yang menyamar sebagai dirinya dan datang untuk menegurnya dan membebaskanmu. Akan tetapi dia kalah dan bahkan terluka lalu tewas di de­pan para pendeta Lama. Karena kata-kata ter­akhir darinya menyebut nama orang tuamu, para pendeta Lama menyangka bahwa Ang I Lama terbu­nuh oleh orang tuamu. Di sini, siasat yang diper­gunakan Sin-kiam Mo-li hampir berhasil, yaitu mengadu domba antara orang tuamu dengan para pendeta Lama.”

“Jahat sekali....!” Hong Li kembali ber­seru penasaran.

“Masih ada lagi,” kini Gu Hong Beng yang melanjutkan. “Orang tuamu mengadakan pesta ulang tahun, dengan maksud mengumpulkan semua tokoh kang-ouw agar mereka membantu mendengarkan di mana kau berada dan siapa yang menculikmu. Dan ketika semua orang hadir, Sin-kiam Mo-li menyuruh pembantunya untuk mengacaukan pesta itu dengan mengadu domba antara orang tuamu dengan Ciong-lihiap ini, dengan jalan menukar bingkisan Ciong-lihiap dengan bingkisan lain yang ber­isi segumpal rambutmu dan hiasan rambutmu. Ten­tu saja hal itu menggegerkan, dan celakanya, aku sendiri yang tolol percaya sehingga menjatuhkan fitnah kepada Ciong-lihiap....“

“Aih, Gu-taihiap, harap jangan sebut-sebut lagi urusan itu. Melihat betapa kini engkau merobah sikapmu kepadaku saja sudah mendatangkan keba­hagiaan besar di dalam hatiku. Siapa orangnya yang takkan curiga kepadaku mengingat akan masa lalu­ku?”

“Suci, jangan bicara seperti itu! Pada akhirnya semua orang akan tahu bahwa engkau benar-benar telah kembali ke jalan benar,” kata Bi Lan.

“Tepat sekali!” Hong Beng berseru. “Aku tadinya lupa bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini yang tanpa dosa, dan bahwa orang yang pernah bergelimang dosa sekalipun dapat bertaubat dan menjadi orang yang baik. Aku telah bersikap bodoh dan tidak adil terhadap Ciong-lihiap, saudara Sim Houw dan Bi Lan. Biarlah dalam kesempatan ini aku mengaku salah dan mohon maaf sebesarnya!” Tanpa ragu-ragu Hong Beng lalu menjura ke arah tiga orang itu yang cepat membalas. Hanya Bi Lan yang membalas agak ragu, karena bagaimanapun juga hatinya masih panas kalau teringat akan sikap Hong Beng kepadanya.

Mereka lalu bersepakat untuk membakar saja sarang Sin-kiam Mo-li itu. Berkobarlah api membakar rumah yang penuh rahasia itu, membakar selu­ruh isi rumah berikut jenazah tiga orang tosu dan tiga orang pelayan wanita. Api berkobar besar me­nyambut munculnya matahari pagi dan empat orang gagah itu mengiringkan Kao Hong Li meninggalkan bukit itu dan kembali ke Pao Teng.

Kao Cin Liong dan isterinya, Suma Hui, me­nyambut kedatangan rombongan yang membawa puteri mereka itu dengan kebahagiaan besar. Suma Hui merangkul puterinya sambil mengucurkan air mata dan suami isteri ini, yang ditemani oleh Suma Ciang Bun, menghaturkan terima kasih kepada Bi-kwi, Bi Lan dan Sim Houw. Pandangan Suma Ciang Bun terhadap Sim Houw dan Bi Lan yang memang sudah meragukan sikap muridnya, kini menjadi ce­rah, bahkan diapun merasa kagum terhadap Bi-kwi. Juga Kao Cin Liong dan isterinya kini tanpa ragu menganggap Bi-kwi sebagai seorang wanita berjiwa pendekar yang gagah perkasa dan pantas dianggap sebagai rekan.

Setelah menyerahkan Hong Li, Sim Houw dan Bi Lan lalu menceritakan kepada suami isteri itu tentang semua rahasia di balik petistiwa yang me­nodai nama suami isteri itu, tentang siasat yang dilakukan oleh Sin-kiam Mo-li untuk mengadu domba dan menjatuhkan nama keturunan Pulau Es dan Gurun Pasir.

Legalah hati Kao Cin Liong. Selain puterinya telah dapat ditemukan kembali, juga sekaligus nama keluarganya dapat dibersihkan. Diapun cepat mem­buat surat penjelasan dan mengirimkan surat kepada para pendeta Lama di Tibet, menerangkan tentang perbuatan Sin-kiam Mo-li menculik puterinya de­ngan menyamar sebagai Ang I Lama dan kemudian melukai pendeta itu sampai tewas.

Sim Houw dan Bi Lan lalu berpamit untuk pergi ke Gurun Pasir, menghadap Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, yaitu kakek Kao Kok Cu dan nenek Wan Ceng, mohon doa restu mereka karena mereka telah berhasil melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka oleh kakek dan nenek suami isteri yang sakti itu, dan mohon doa restu agar mereka dapat melangsungkan perjodohan antara mereka.

Beberapa bulan kemudian, pernikahan antara Can Bi Lan dan Pendekar Suling Naga Sim Houw dilangsungkan dengan sederhana, dihadiri oleh kelu­arga Pulau Es dan Gurun Pasir, dan para pendekar dan sahabat mereka sehingga cukup meriah. Ketika mereka menikah, Bi Lan berusia duapuluh tahun dan Sim Houw berusia tigapuluh lima tahun.

Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi bersama suaminya, Yo Jin, datang hadir dan karena semua pendekar telah mendengar belaka akan semua jasa Bi-kwi, dan mereka mendengar bahwa kini Bi-kwi benar-benar telah menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan menentang kejahatan, maka semua orang bersikap ramah dan hormat kepadanya, melupakan masa lalunya. Juga kedua saudara kembar, Gak jit Kong dan Gak Goat Kong, datang bersama isteri mereka, Souw Hui Lan, dan putera mereka yang masih kecil. Hadir pula kakek Cu Kang Bu dan isterinya, Yu Hwi, dan putera mereka, Cu Kun Tek yang pernah pula jatuh cinta kepada Bi Lan. Gu Hong Beng dan gurunya, Suma Ciang Bun, membantu Kao Cin Liong dan Suma Hui yang men­jadi tuan rumah dan wali karena pernikahan itu di­langsungkan di Pao-teng, di rumah suami isteri ini. Bahkan kakek Kao Kok Cu dan nenek Wan Ceng hadir pula di dalam pesta perayaan itu. Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng juga hadir. Bahkan Tiong Khi Hwesio juga hadir. Dan yang mendatangkan kegembiraaan besar adalah hadirnya kakek sakti Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng, bersama dua orang muridnya, yaitu Suma Lian dan Pouw Li Sian! Tidak ketinggalan pula pendekar sakti Kam Hong dan isterinya, Bu Ci Sian. Di antara para tamu, ter­dapat pula wakil-wakil dari partai-partai persi­latan dan pendekar-pendekar yang terkenal di wak­tu itu.

Dan peristiwa yang menggembirakan ini menjadi penutup dari cerita Suling Naga ini, agar tidak terlalu panjang dan bertele-tele. Tentu saja kisah ini masih ada kelanjutannya yang akan menceritakan keadaan keturunan para pendekar itu setelah menjadi dewa­sa, seperti Suma Lian, Pouw Li Sian, Kao Hong Li, putera Gak kembar dan lain-lain. Juga mencerita­kan kembali tokoh-tokoh dalam cerita ini,, terutama sekali Gu Hong Beng dan Cu Kun Tek yang semen­jak ditolak cinta mereka oleh Can Bi Lan, belum juga menemukan penggantinya. Dan munculnya tokoh-tokoh baru akan membuat cerita lanjutan Suling Naga menjadi kisah yang tidak kalah seru dan menariknya dibandingkan dengan kisah lain, dan semua itu akan memadatkan kisah baru “PEK HO COAN” (Kisah Si Bangau Putih) yang menjadi lan­jutan dari kisah Suling Naga ini.

Seperti biasa, pengarang menutup kisah ini de­ngan harapan semoga di samping menjadi bacaan penghibur, ada pula manfaat yang dapat dipetik dari kisah ini, dan sampai jumpa di dalam karangan men­datang.

T A M A T

Continue Reading