Antipole

By nunizzy

2.1M 232K 31K

•Completed• Kita ada di kutub yang berbeda. Sekolah yang terkenal disiplin dan memiliki segudang presta... More

Prolog
1st Pole
2nd Pole
3rd Pole
4th Pole
5th Pole
6th Pole
7th Pole
8th Pole
9th Pole
10th Pole
11th Pole
12th Pole
13th Pole
14th Pole
15th Pole
16th Pole
17th Pole
18th Pole
19th Pole & QnA
20th Pole & Giveaway Time
21st Pole
22nd Pole
23rd Pole & Disclaimer
24th Pole
25th Pole
26th Pole
27th Pole
28th Pole
QnA
29th Pole
30th Pole
31st Pole
32nd Pole
33rd Pole
34th Pole
35th Pole
36th Pole & Promotion
37th Pole
38th Pole
Fun Facts
39th Pole
40th Pole
41st Pole
42nd Pole
43th Pole
44th Pole
45th Pole
46th Pole
47th Pole
48th Pole
49th Pole
50th Pole
51th Pole
52nd Pole & QnA#2
53th Pole
54th Pole
55th Pole
Sekilas Promo
QnA#2 (Part 1)
QnA#2 (Part 2)
56th Pole
57th Pole
58th Pole
Pidato Kenegaraan Antipole

Epilog

15.7K 1.5K 453
By nunizzy

EPILOG

~~||~~

Setahun Inara kuliah di Jerman, selama itu pula dirasakan banyak perubahan yang terjadi padanya. Masih terlalu sebentar, memang. Akan tetapi Inara merasa sekarang ia menjadi lebih mandiri, apalagi Gafar sering memintanya untuk memasak makan malam. Awalnya terasa berat, tetapi lama kelamaan Inara terbiasa dan menikmati rutinitas barunya.

Namun, malam ini ia tidak memasak karena Gafar makan di luar dengan temannya, dan Inara sedang malas. Alhasil, malam ini ia hanya membuat makanan yang tidak terlalu menghabiskan waktu dan tenaganya--oatmeal campur pisang.

Gadis itu tengah duduk santai di ruang tengah apartement yang ditinggalinya bersama Gafar. Seraya menyuapkan bubur sehatnya itu, ia terus fokus menonton acara talkshow di televisi.

Tiba-tiba pintu apartement-nya terbuka.

"Gila, dingin banget di luar." seorang lelaki jangkung masuk kemudian menutup pintu apartement dan menguncinya. Ia melepaskan coat yang dikenakannya, lalu menggantungnya di gantungan yang berada tepat di sebelah pintu.

"Lagian pergi pacaran malem-malem, dingin-dingin begini," cibir Inara.

"Siapa juga yang pacaran." Gafar melepas sarung tangannya dan melemparnya ke wajah Inara.

Inara menggerutu begitu dilempari sarung tangan. Namun, senyum jahilnya terbit.

"Cie! Kok mukanya merah?"

Gafar melengos. "Bikinin gue coklat anget, kek."

"Cie! Ngalihin pembicaraan." Inara meletakkan mangkuk buburnya, kemudian berjalan menuju pantry untuk membuatkan coklat panas.

"Ngeselinnya nggak hilang-hilang ya," ucap Gafar seraya mengeluarkan semua isi saku celananya dan meletakkannya di atas meja ruang tengah.

"Emang." Inara tertawa kecil.

Gafar mengacak rambut Inara sebelum masuk ke dalam kamarnya.

Setelah selesai membuat coklat hangat untuk Gafar, Inara menutupnya agar minumannya tidak cepat dingin, kemudian membawanya ke ruang tengah. Dilihatnya ponsel Gafar, uang, dan beberapa struk pembelian berantakan di atas meja.

"Kebiasaan." Inara menghembuskan napas pelan lalu merapikan barang-barang Gafar--setelah meletakkan cangkir coklat yang dibawanya di atas meja. Kakak laki-lakinya itu hobi sekali membuat dirinya susah.

Setelah rapi, Inara kembali bersantai sambil menikmati bubur oatmeal-pisangnya. Tiba-tiba sebuah notifikasi terpampang di layar ponsel Gafar, disertai dengan getaran. Penasaran, Inara mengintip layar ponsel Gafar. Ada sebuah chat LINE dari seseorang bernama Ryuki Tanaka.

Sontak saja Inara berteriak.

"PACARAN SAMA ORANG JEPANG NGGAK BILANG-BILANG!"

Beberapa saat kemudian, Gafar keluar dengan muka panik sembari berlari untuk mengambil ponselnya, diikuti dengan gelak tawa Inara.

# # #

Memasuki tahun keempat Inara tinggal di Jerman, ia benar-benar rindu dengan kampung halaman. Selama empat tahun ia merantau, baru sekali ia pulang ke Indonesia--dan ia tidak sempat bertemu dengan Rahagi. Jadwal kepulangannya tidak cocok dengan Rahagi. Saat ia pulang ke Indonesia, Rahagi baru saja akan pergi bertugas kembali.

"Pulang napa." terlihat kakaknya Naya, tengah menatapnya melalui layar ponsel, lengkap dengan earphone yang terpasang di kedua telinganya.

"Gue juga mau kali. Tapi gue lagi menata karir di sini, Kak."

"Emangnya lo nggak mau kerja di Indo aja?"

"Mau, tapi pengen aja punya pengalaman kerja di sini dulu."

"Hoo." Naya mengangguk paham. Sesaat suasana hening, sebelum akhirnya Naya mendehem. "Gimana?"

"Apanya?"

"Lo. Ke Rahagi."

Inara terdiam. Sudah lama ia tidak membahas tentang perasaannya kepada siapa pun. Setelah sekian banyak ia video call dengan kakaknya itu, baru kali ini Naya menanyakan tentang hal ini.

"Udah move on? Atau masih?"

Inara tersenyum kecut. "Ternyata move on nggak segampang itu ya."

"After all this time? Bahkan setelah kalian dipisahin sebegitu jauh selama 4 tahun ini?"

Inara mengangguk. "Gue masih sering kepikiran aja. Apalagi empat tahun ini bener-bener nggak ada komunikasi sama sekali, bahkan lewat chat sekali pun."

"Menurut gue, jarak dan waktu udah yang paling bener buat mastiin seberapa dalam perasaan kita ke seseorang. Dan menurut gue, lo udah sejatuh cinta itu, Na."

"Terus gue harus gimana, Kak?"

"Mungkin, coba bilang ke Mama?"

"Lo gila."

"Dari pada lo menderita karena keadaan yang lo ciptain sendiri?"

Inara hanya menggeleng, menunjukkan bahwa menurutnya hal itu sebaiknya tidak dilakukan.

"Eh, kemaren kata nyokap lo udah menemukan tambatan hati ya?" tanya Inara bersemangat--sekaligus mengalihkan pembicaraan karena suasana yang sebelumnya tercipta membuat dirinya tidak nyaman dan sedikit canggung.

"Cieilah, tambatan hati."

"Gue serius ini."

"Hahaha, iya. Dan lo pasti nggak nyangka siapa orangnya." Naya tersenyum malu-malu.

"Siapa?"

"Dia mau ngelamar gue ke rumah. Doain yak tahun depan gue nikah."

"WOW GERAK CEPAT JUGA. Siapa tuh? Gue kenal nggak?"

"Kenal banget."

"HAH? Siapa, siapa?"

Naya hanya tersenyum dengan pipinya yang memerah.

Mata Inara menyipit. "Bang Putra, ya?"

Bisa Inara lihat pupil Naya sedikit melebar.

"SERIUSAN KAK? HAHAHAH!"

"Heh jangan ngetawain gue!"

Inara masih terus tertawa sampai menangis. Sementara Naya hanya tersenyum kecut pura-pura kesal, padahal pipinya memerah karena tersipu.

"Nggak nyangka gue," ucap Inara dengan sisa-sisa tawanya. "Pokoknya lo harus traktir bayarin tiket pulang gue. Jangan lupa baju seragam gue tolong bayarin juga uang jahitnya."

"Ye, banyak mau lo."

# # #

Tahun ketujuh. Tiga tahun belakangan Inara mulai menikmati pekerjaannya di Jerman. Berkat kerja kerasnya, ia baru saja diangkat menjadi wakil kepala divisi marketing di perusahaan tempat ia bekerja. Sungguh sebuah pencapaian di usia muda, menurutnya.

"Nara pulang."

Ucapan itu sudah menjadi kebiasaannya ketika pulang. Entah ada atau tidak Gafar di apartemen, Inara refleks menyerukan kalimat tersebut.

"Eh ada siapa nih."

Kening Inara berkerut. Posisinya masih mengadap ke pintu--membelakangi ruang tengah apartemennya. Suara yang didengarnya barusan bukanlah suara Gafar.

Inara membalikkan badannya. Matanya melebar disertai dengan senyuman.

"Waa! Bang Dimas. Apa kabar?"

Dimas berdiri dan merentangkan tangannya ketika Inara berjalan ke arahnya, seakan-akan siap menerima jika Inara memeluknya. Namun, Gafar langsung merentangkan tangan kirinya di depan sahabatnya itu--tidak membiarkan Dimas nekat memeluk Inara.

"Nggak boleh," ucapnya.

"Abang lo cemburuan banget sih, Na." Dimas memanyunkan bibirnya lalu menurunkan kedua tangannya.

Inara hanya membalasnya dengan tawa.

"Ngomong-ngomong, gue baik. Lo sendiri? Malem banget pulang kerja. Jangan keseringan lembur. Tuh lihat, Gafar kesulitan banget hidupnya tanpa lo."

"Hahaha. Gue baik bang. Btw, coba tebak?"

"Apa?"

"Apa?"

Jawab Dimas dan Gafar bersamaan.

"Gue diangkat jadi wakil kepala divisi marketing!"

"Wuidih! Keren juga lo," komentar Gafar.

"Kalo gitu gue harus ditraktir nih," kata Dimas.

"Gue masakin aja deh. Bisa miskin gue kalo traktir lo, Bang."

"Masak apa? Air?"

"Yee, nggak! Masakan gue enak, tahu. Tanya aja noh." Inara menunjuk Gafar dengan dagunya.

"Masa?" tanya Dimas.

"Sebenernya gue dengan terpaksa harus jawab enak, biar dimasakin terus. Ntar beliau ini mogok masak bisa mati kelaperan gue. Mana kalo beli makanan di luar mahal."

"Kurang ajar! Jadi sebenernya masakan gue nggak enak?" Inara mencubit lengan Gafar.

"Tuh, kan. Aduduh," ringis Gafar begitu Inara memperkuat cubitannya.

"Uuuw, so sweet banget sih kalian. Jadi gemesss," komentar Dimas seraya mencubit pipi Gafar.

"Ya Allah, Dim. Udah tua bangka masih aja nggak berubah. Gimana pas udah nikah nanti." Gafar menggosok-gosok bagian pipinya yang menjadi sasaran cubitan Dimas, seakan-akan menghapus bekas cubitan Dimas yang masih tertinggal di pipinya.

"Hah? Lo mau nikah, Bang?"

"Nikah nggak ya..."

"Ih, apaan sih." Inara memutar bola matanya.

"Hahahahah. Iya."

"Hah? Seriusan?"

"Hah hah mulu lo kayak tukang keong," celetuk Dimas.

"Pfft... HAHAHAH!" tawa Inara pecah. Seingatnya ia pernah membaca jokes tersebut di Twitter. Namun, ia tetap tertawa ketika mendengarnya--apalagi disampaikan oleh Dimas dengan pembawaannya yang khas.

"Iya, jadi doi ke sini mau nganter undangan. Niat amat yak ke Jerman cuma buat nganter undangan doang. Horang kaya beda level emang," ucap Gafar seraya menunjuk undangan berwarna abu-abu yang terletak di atas meja.

"Nganter undangan doang?"

"Abang lo makin tua makin lebay ya, Na."

"Emang, Bang. Emang. Ngomong-ngomong, sama siapa, Bang?" Inara mengambil undangan tersebut dan membukanya. Tertulis nama lengkap Dimas di sana. Namun, bukan itu yang dicari Inara.

Tsania Gantari Awwalia.

"Namanya bagus," komentar Inara.

"Dia teman seangkatan gue tapi beda fakultas. Teman kantornya Naya juga."

Inara mengangguk. "Cepat banget ya waktu berlalu. Selamat, Bang! Maaf ya kayaknya gue nggak bisa dateng ke nikahan lo." Inara menatap Dimas sedih.

"Santai aja!" Dimas menepuk pundak Inara sekali. "Ntar kalo lo pulang, gue kenalin dah ke Tsania. Dia harus tahu siapa pahlawan Blackpole."

"Bisa aja lo, Bang."

# # #

Sembilan tahun lebih sudah Inara lalui di Jerman. Beberapa bulan lagi ia akan pulang ke Indonesia.

"Gue hamil."

"Eh tunggu gue belum pasang earphone-nya!" Inara dengan terburu-buru memasang earphone yang sudah tersambung di ponselnya, ke kedua telinganya. "Apa tadi?"

"Gue hamil."

Inara terdiam sejenak. Detik selanjutnya, pupilnya melebar. "Lo serius?!"

Naya mengangguk bahagia seraya menunjukkan test pack dengan dua garis.

"AAAA! I'm happy for you," seru Inara. Ia sangat bahagia karena apa yang dinanti-nanti oleh kakaknya selama lima tahun belakangan ini akhirnya terwujud. "Gue pulang sekitar enam bulan lagi. Ntar gue mau elus baby bumps-nya biar anak lo kayak gue, Kak."

"Ih, males banget."

"Jahat. Btw Bang Putra udah tahu?"

Naya menggeleng. "Lo orang pertama yang tahu. Baik kan gue. Lo harus berterima kasih."

"Ih, males banget," ucap Inara seraya meniru nada bicara Naya. "Cepetan kasih tahu Bang Putra! Gue nggak sabar denger lo ceritain gimana reaksinya. Terus-terus, mama juga harus segera tahu!"

"Ajak-ajak gue kek." Gafar tiba-tiba masuk ke kamar Inara.

"Utukutukutuk. Sini, sini," ucap Naya.

"Jijik," balas Gafar.

"Heh, nggak boleh gitu sama bumil."

"Hah?" Gafar menoleh kepada Inara dengan tatapan kaget. "Hamil?!" Kemudian Gafar menatap Naya melalui layar ponsel milik Inara. "LO HAMIL? Siapa yang hamilin lo hah biar gue hajar."

"Geblek. Lo kok jadi makin nggak waras sih, Bang." Inara memutar kedua bola matanya.

"Hamil?"

Tiba-tiba suara Putra terdengar dari tempat Naya.

"IYE KAKAK GUE HAMIL!" seru Gafar. "Tanggung jawab lo, Tra!"

# # #

Ada rasa yang memang seharusnya tidak dibiarkan tumbuh.

Ada pula yang sudah berjuang mati-matian untuk mempertahankan cintanya.

Ada yang sudah lama berusaha mendapatkan kembali kasihnya.

Ada juga yang memilih untuk mundur karena keadaan tidak sejalan dengan cinta.

Namun, ada cinta yang lebih besar.

Cinta yang ia dapat dari cinta pertamanya sejak ia lahir ke dunia.

Cinta yang ia dapat dari teman pertamanya saat ia baru pandai berbicara.

Cinta yang ia dapat dari orang-orang yang menunggunya di rumah.

Sampai kapan pun, ia akan mengutamakan cinta yang itu.

Bukan tentang cinta mana yang harus dikorbankan, tetapi tentang cinta yang harus dihargai dan dijaga sepenuh hati.

Biarlah perasaan yang baru tumbuh ini tetap tumbuh.

Hingga sampai pada satu titik di mana ia sudah tak mampu lagi untuk mekar.

Karena, sampai kapanpun ia tidak akan bisa dicabut.

Akan selalu ada tempat untuk cinta yang itu.

Meskipun semesta tidak mendukung.

Meskipun semesta menolak untuk mempersatukan mereka.

Toh, cinta tidak harus saling memiliki, bukan?

-Inara. (Gue munafik banget ya?)

Naya melipat kembali sobekan puisi yang ia ambil dari buku catatan Inara semasa kuliah di Jerman. Dengan air mata yang masih tersisa di pipinya, Naya menaburkan bunga di atas gundukan tanah yang masih basah. Di sampingnya, Putra merangkul sembari memayunginya.

Makasih, Na. Sampai kapan pun gue juga akan menjaga keluarga ini. Menghargai cinta yang nggak pernah putus dari Mama dan Papa. Selamat bertemu Papa di sana. Sampaikan salam gue.

Maaf ya, Na, jasad Rahagi nggak berhasil ditemukan. Semoga kalian berdua tenang di atas sana.

Lagi-lagi, air mata Naya mengalir di pipinya. Di sampingnya, Putra hanya terus mengelus pundak Naya. Ditatapnya batu nisan dengan ukiran nama Inara.

Makasih, Na. Blackpole berhutang banyak sama lo.

Putra menatap langit biru yang hari ini tidak diselimuti awan. Hari ini, kesedihan benar-benar merasuki relung hatinya. Dua anggota Blackpole kesayangannya--sekaligus adik iparnya, sudah tidak berada di dunia yang sama lagi dengannya.

~~||~~

12 Juni 2019

Continue Reading

You'll Also Like

1M 24.9K 22
[Revisi] Kanaya dan Samudera berteman sejak lama. Hampir semua tentang Samudera, Kanaya tahu. Tapi, berbeda dengan Samudera. Banyak hal yang tidak ia...
1.8M 92.4K 38
Hanya sedikit deskripsi, Keraguan Devan terus berlanjut hingga penantian Maura terbalaskan oleh si peragu. Warning; author tidak bertanggung jawab ji...
855K 32.7K 40
Kumpulan kisah kegilaanku di masa lalu.... Dalam revisi... Maaf jika nama-nama pemain diganti untuk menjaga privasi. 😊 #3 in humor (02.02.17)
28.3K 3.4K 35
sunwoo salah sambung.