Ujian Nasional

By KalaSanggurdi

8K 588 40

Ujian nasional tengah berlanjut di Indonesia pada tahun 2014. Sarah bersama teman-temannya tengah mempersiapk... More

Menteng: Rabu, 25 Desember 2013
Sawah Besar: Jumat, 24 Januari 2014
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 2
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 3
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 4 [Tambahan]
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 5
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 6
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 6 [Tambahan]
[Tambahan] Matraman: Selasa, 15 April 2014
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 2
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 2
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 3
[Tambahan] Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 3
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 4
Menteng: Selasa, 15 April 2014
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 1
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 2
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 3
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 4
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 1
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 2
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 3
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 4
Sawah Besar: Kamis, 14 April 2039

Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 4

320 23 0
By KalaSanggurdi

Danu kembali ke lapangan upacara sekolah. Baru ia dalami pikiran saat itu, tentang bagaimana gedung sekolah sudah hampir rata dengan tanah. Hanya sekitar setengah yang masih berdiri kokoh, dan dua-tiga pohon yang tidak tumbang.

Di lapangan itu Danu melihat dua manusia. Satu bersimbah darah, satu lagi tergeletak kaku dengan lidi baja di kepalanya. Sepertinya beberapa menit setelah ditinggal, Diva berusaha membangunkan Pak Arli. Pun kini, gadis itu terlihat masih mencoba membangunkan. Ketika Danu mencoba mendekati, sayup-sayup terdengar bisikan Diva dengan kata-kata seperti "sayang" dan "cinta" di antaranya.

Suara Diva hampir tidak terdengar karena gemuruh sayap-sayap hitam di langit, tetapi Danu kini mengerti dan mengonfirmasi curiganya selama tiga tahun terakhir. Suara yang ia dengar di satu toilet sekolah yang sepi, di UKS ketika jam pelajaran, dan di ruang BK ketika anak-anak telah pulang, adalah suara Diva dan Arli. Sempat ia menduga bahwa itu suara penunggu sekolah, dan teman-teman carakanya hanya mengiyakan serta ikut ketakutan. Kini ia tahu siapa penunggu sekolah itu.

Danu berusaha mendekat dan memegang pundak Diva, hendak menyadarkannya. Tangannya diusir. Sekali lagi, dan diusir lagi. Semakin ia memaksa, semakin cepat tangannya diusir, dan semakin keras Diva mencoba memekik dengan sisa suaranya. Danu hendak mencoba lagi, tetapi datang dentuman dan getaran yang membuatnya waspada.

Tiga-empat dentuman setelah itu, Danu melihat di langit bayang-bayang hitam yang saling beradu. Satu di antaranya jatuh di langit barat, dan disusul satu lagi di langit utara. Ia tak tahu apakah sayap-sayap hitam itu semuanya musuh, atau beberapa di antaranya adalah Angkatan Udara Indonesia. Dentuman demi dentuman kembali datang, dan getaran kembali terasa. Danu tak lagi sabar, dan memegang kencang lengan Diva lalu berlari memisahkan gadis itu dari kekasihnya.

Diva terhentak, meraung dengan suaranya yang sudah habis, menggapai-gapai Arli yang semakin jauh. Kakinya dipaksa berjalan, dan hampir-hampir terseret. Dentuman kencang terjadi begitu dekat dengannya dan Danu, membuat keduanya jatuh, dan sebagian gedung sekolah rubuh lagi. Reruntuhan sekolah ini kemudian mengubur Arli, yang disambut oleh pekikan lemah Diva. Danu yang melihat kejadian tersebut kembali berdiri dan menyeret Diva dengan kasar. Mereka berdua pergi dari lapangan upacara.

Ketika Danu sampai di parkiran mobil, ia berhenti memaksa Diva berjalan. Diva jatuh berlutut, menangis dan memekikkan suara yang tidak keluar. Setelah itu, Diva lelah, dan terjatuh. Ia pingsan. Danu gelagapan melihat Diva pingsan, dan segera menggendongnya. Tangannya langsung lembab dengan darah yang membanjiri seragam Diva. Lembab itu, bau itu, warna itu, semua mengingatkan Danu ketika ia harus mengurusi kucing kampung peliharaan keluarganya yang terlindas truk dulu. Danu meringis, tetapi ia tidak tega. Ia kemudian membawa Diva ke pos satpam.

Danu menyadari salah satu kunci mobil guru telah hilang, dan ketika menengok ke arah mobil-mobil yang terparkir, mobil dari kunci tersebut juga telah menghilang. Ia ingat bahwa orang-orang yang selamat hanya yang tersisa di lapangan upacara tadi, dan mengerti bahwa ia ditinggal. Setelah diam sesaat, Danu berteriak dan menghantam meja pos satpam dengan tinjunya. Kenapa aku tidak ditunggu, pikir Danu.

Hanya tersisa satu lagi kunci mobil guru, dan itu adalah kunci mobil Arli. Mobilnya pun masih ada. Danu berpikir. Ia menimbang-nimbang apakah ia akan dijemput oleh Jaka atau tidak. Jaka jelas mencuri mobil salah satu guru, dan hal itu dimungkinkan karena keadaan yang genting—dan guru yang memiliki telah terkubur bersama reruntuhan gedung sekolah. Apakah ia harus melakukan hal yang sama? Apakah ia harus menunggu? Jika ia mengambil mobil Arli, akan ke mana ia? Bagaimana dengan Diva? Begitu banyak pertanyaan di kepalanya kini, dan ia hanya menyambut datangnya pertanyaan itu dengan tinju kedua ke meja pos satpam. Ia dibayar untuk membersihkan noda tahi siswa yang tak menyiram toilet dan siraman es jeruk yang ditumpahkan siswi tak bertanggung jawab. Ia tak pernah dibayar untuk menghadapi hujan api dari langit.

Danu memikirkan orangtuanya di Semarang: kabar mereka, dan kabar mereka ketika mereka mendengar berita mengenai Jakarta nanti. Danu memikirkan pertanyaan tentang kapan ia akan menikah, kapan ia akan pulang, dan kapan ia akan beranak. Rencana ia kini menjadi tidak menentu. Ia tak tahu apakah ia masih dapat menjadi caraka di sekolah yang sudah begitu hancur. Ia tak tahu apakah ia dapat pulang ke Semarang. Kini, ia memikirkan kontrakan kecilnya di pemukiman kumuh Jakarta Utara. Iya, mungkin aku harus pulang dulu, pikirnya.

Kemudian ketika Danu menengok ke arah Diva, ia kembali mempertanyakan niatnya untuk pulang. Bagaimana dengan gadis ini, pikirnya. Gadis ini tidak bisa dibiarkan sendiri jika aku akan pulang, pikirnya. Tapi ketika ia terbangun nanti, apa yang akan ia pikirkan ketika melihat dirinya berada di kasur kontrakanku, pikirnya lagi. Danu takut gadis ini berpikir macam-macam, tetapi ia juga tidak tahu harus mengapakan gadis itu. Ia kembali meninju meja, dengan sejentik air mata di ujung matanya. Danu berteriak kencang dan lama.

Danu kemudian menarik napasnya dengan dalam dan cepat, berkali-kali. Ia berusaha menahan tangis. Ia tak tahu harus apa. Ingin ia menangis, tetapi ia ragu karena sudah entah berapa tahun ia tak menangis.

Ketika Danu hendak duduk, ia menyadari bahwa ia hampir menduduki tubuh Diva yang terbaring di kursi panjang pos satpam. Ia tak jadi duduk, dan karenanya ia hanya dapat melihat Diva. Ia melihat wajah Diva yang penuh luka kecil, dengan matanya yang bengkak karena menangis. Baju Diva basah kuyup dengan darah Arli. Danu merasa bahwa seragam Diva harus dilepas, pun seragamnya sudah hampir tak berbentuk.

Danu melepas seragam Diva dengan membuka kancingnya satu per satu. Ia jijik dengan basahan darah tiap kali ia harus menyentuh seragam Diva, tetapi ia terus melakukannya. Danu kemudian membuka bajunya. Bau keringatku, pikirnya, tapi setidaknya lebih baik daripada bersimbah darah.

Ketika ia selesai membuka bajunya, ia hendak mendudukkan Diva agar mudah dilepas seragamnya. Sesaat. Danu terhenti dan tertegun. Ia melihat batik di ulu hati Diva, dan pakaian dalam yang dulu dipakai Diva saat malam tahun baru. Pada detik-detik itu Danu menyadari bahwa Arli begitu beruntung. Darah Danu mengalir panas, dan napasnya mulai tak teratur. Ia kembali membayangkan suara-suara yang ia dengar dulu di UKS, ruang BK, dan toilet sekolah. Ia memerhatikan bagaimana rusuk Diva kembang kempis karena bernapas. Ia memerhatikan bibir Diva yang sedikit sobek dan berdarah. Ia membayangkan apa yang dilakukan Arli kepada Diva tiap harinya.

Danu tak menyangkal bahwa Diva sangat cantik, dan tubuhnya sangat gemulai. Tinggi badannya sendiri hampir dikalahkan oleh gadis itu. Kini gadis itu terbaring di depannya, dengan kulit yang terlihat terlalu banyak. Meskipun kulit-kulit itu dihiasi luka dan biru lebam, Danu tak memungkiri pemandangan indah yang ia lihat. Matanya mengarah ke rok Diva, dan memerhatikan kulit yang dipaparkan sobekan rok ketat itu. Ia memerhatikan keserasian pakaian dalam atas dan bawah Diva, dan ia meneguk ludahnya sendiri.

Tak akan ada yang melihat. Tak akan ada yang bertanya. Semua orang sedang sibuk dengan nyawanya masing-masing. Aku pun akan kabur jauh-jauh ke Semarang setelah ini. Mengapa tidak? Pikiran-pikiran itu menghantui Danu pada detik yang lama itu. Ia membuang jauh-jauh semua pikiran yang tadi hampir membuatnya menangis: semua keputusasaannya, semua amarahnya, semua kesedihannya. Setidaknya biarkan aku menikmati apa yang takkan bisa lagi kunikmati, pintanya kepada nasib.

Perlahan, Danu memegang rok Diva. Rok itu pun bersimbah darah seperti seragamnya. Danu jijik, dan segera melepas jemarinya dari rok tersebut. Ia berusaha membuka ritsleting rok tersebut yang berada di punggung bawah Diva. Ia membalikkan Diva, dan melihat batik di atas tulang ekor Diva. Darahnya semakin memanas. Ia membuka ritsleting itu, dan pelan-pelan membuang rok yang basah kuyup itu. Pemandangan yang dilihat Danu kini tak ada duanya.

Tiba-tiba, gawai Danu berdering. Azan shalat Maghrib. Ia mematikan gawai itu, dan juga hasratnya. Berkali-kali ia istigfar. Ia memegang dahinya dan bersender ke jendela pos satpam. Ia menangis, mengutuk dirinya sendiri atas apa yang hampir ia lakukan. Dentuman dan gemuruh di langit kembali ada di indra-indranya. Ia sadar sepenuhnya.

Danu kembali ke tujuan utamanya. Ia mengambil bajunya, dan kini berusaha mendudukkan Diva. Takut Diva kembali terjatuh, ia menahan kepala Diva dengan satu tangannya ke depan pusarnya. Perlahan, ia melepaskan seragam Diva.

Diva terbangun. Dalam sadarnya, ia merasakan hangat kulit di wajahnya, dan benda keras panas di balik sebuah kain. Ia menyadari pakaiannya sedang dilucuti, dan ia sudah tak lagi memakai roknya. Menyadari apa yang sedang terjadi, Diva berteriak kencang dan berusaha melepaskan kepalanya dari cengkeraman tangan laki-laki hidung belang yang sedang melecehkannya. Danu tegertak, dan tak sengaja menguatkan cengkeramannya. Hal itu membuat Diva semakin panik.

Segera, Diva menggunakan kedua tangannya untuk membebaskan dirinya dari cengkeraman Danu. Ia mendorong dengan kuatnya hingga Danu terlempar ke belakang. Danu panik, dan dalam takutnya ia berusaha kembali mendekati Diva. Danu berusaha melanjutkan niatnya mengganti baju Diva, tetapi Diva segera melipat kakinya dan meluncurkan tendangan ke perut Danu. Danu tersentak dan memuntahkan ludah.

Diva kembali berteriak, dan Danu masih sempoyongan. Dengan cepat, Diva melirik ke ruang pos satpam tersebut. Ia menemukan asbak besar yang terbuat dari kaca, dan berusaha bangun.

"Neng!" ujar Danu, berusaha berbicara. Hanya kata itu yang keluar sebagai pembelaan dan penjelasan tentang apa yang tengah terjadi.

Diva tak mendengar, dan kembali berteriak. Danu sempoyongan berusaha menenangkan dengan kembali mendekati Diva, tetapi Diva kembali mendorong Danu kencang-kencang hingga terpental dirinya ke kaca pos satpam. Kaca itu pecah karena kuatnya dorongan Diva, dan Danu kehilangan setengah dari kesadarannya. Diva lekas bangun, meraih asbak kaca itu, dan menerjunkan asbak tersebut ke kepala Danu. Sekali, dua kali, tiga kali, dengan tiap hantaman diiringi teriakan Diva.

Pada hantaman keempat, Diva berhenti. Segera ia sadari bahwa kepala Danu sudah pecah, dan badannya jatuh tertancap di pecahan kaca jendela pos satpam. Danu sudah tak bernyawa. Beberapa saat kemudian, karena tak imbang, badan Danu terjatuh keluar dari pos satpam kecil itu.

Setengah sadar, Diva melihat hasil dari aksinya. Napasnya beradu, dan kepalanya memanas. Ia membuang asbak kaca yang berat itu ke lantai, dan terduduk. Ia menutup mulutnya dengan tangannya, dan memelototi pemandangan luar pos satpam. Kini ia sadar apa yang baru saja ia lakukan, dan ia sadar apa yang baru saja terjadi. Aku hampir saja diperkosa oleh salah satu caraka, pikirnya.

Diva mengatur napas dan mencoba mengumpulkan semua kewarasannya. Lama ia terduduk, hingga langit jingga memerah, dan langit ungu mulai membungkus Jakarta. Ia selesaikan tangisnya, dan mencari seragamnya. Ia pakai kembali seragam dan roknya, dan ia keluar dari pos satpam itu.

Gemuruh sayap hitam beserta dentuman masih tersebar ke penjuru langit. Sekilas, Diva masih dapat memerhatikan bayang hitam di langit yang menghitam. Ia menyadari posisinya sekarang, dan hendak kembali ke lapangan upacara. Hanya saja, naluri bertahan hidup memaksanya untuk meninggalkan sekolah. Pada saat itu, Diva menuruti nalurinya, dan keluar dari sekolah.

Sempoyongan, Diva melihat ke sekitar. Suasana sepi, dan hanya ada beberapa mobil terpakir di jalan. Beberapa pohon tumbang, dan beberapa gedung hancur. Asap di mana-mana, masih terlihat meskipun langit mulai gelap.

Diva menyadari salah satu dari sepatunya sudah rusak, dan akhirnya melepaskan kedua sepatunya. Nalurinya mengundangnya untuk pulang ke apartemennya dan bertemu kakaknya, tetapi apartemen tersebut berada di Karet. Ia terbiasa diantar-jemput oleh Arli, dan diturunkan di dekat sekolah agar mereka berdua tak terlihat selalu berdua. Ia pun tak dapat mengendarai mobil maupun motor, karena kakaknya serta Arli sudah mengantarnya ke mana-mana. Ia pun masih tak hafal rute kendaraan umum untuk ke Karet. Lagipula, apakah kendaraan umum masih berfungsi dengan seluruh sayap hitam yang memborbardir Jakarta, tanyanya.

Ia mencari tasnya di sekitar pos satpam, hanya untuk teringat bahwa tasnya terkubur di reruntuhan gedung sekolah. Di dalam tas itu ada dompet dan peranti pengisi baterai gawai. Gawainya aman di dalam roknya, tetapi layarnya sudah retak. Fungsi gawainya dipertanyakan hingga ia dapat mencari cara untuk mengisi baterai gawainya. Mengejutkannya, Diva mendapati gawai Novi di kantung dada seragamnya. Baterainya masih tersisa, meskipun layarnya sedikit retak. Hanya saja, Diva tidak tahu kata kunci gawai Novi. Keberadaan gawai Novi itu tidak berguna untuk menghubungi siapa pun, termasuk kakaknya dan keluarganya di Medan maupun saudaranya di Matraman.

Persetan, pikirnya, lebih baik aku bergerak sekarang. Setelah menghembuskan satu napas kencang-kencang, Diva bergerak. Ia berjalan cepat menuju Karet, dan berharap bertemu orang baik yang mau mengantarnya di jalan nanti. Hanya saja, setelah apa yang ia alami barusan, ia tak mau berharap banyak dengan orang asing. Lebih baik aku berjalan sendiri ketimbang diperkosa lagi, pikirnya.

Baru berjalan sepuluh menit, telapak kaki Diva sudah luka terkena serpihan batu. Ia masih di Sawah Besar, dan perjalanan menuju apartemen dengan menggunakan kaki yang terluka akan menjadi perjalanan yang begitu lama. Seragamnya yang mulai lengket dengan darah dan roknya yang tak karuan semakin membuatnya risih dan takut bertemu lelaki jahat di jalan. Tapi ia tak punya apa-apa. Ia tak punya siapa-siapa. Harapannya adalah pulang, dan mencari kakaknya.

Diva berjalan dan berjalan: di aspal, di trotoar, di tanah. Ia melewati persimpangan, bangkai mobil tabrakan, bangkai manusia, dan bangkai gedung. Ia melihat api, orang menjarah toko, dan hal-hal menyeramkan. Diva masih tak percaya bahwa Jakarta diserang. Diva masih tak percaya bahwa semua hal yang ia lihat, semua hal yang terjadi, adalah bagian dari peperangan antar Indonesia dengan Malaysia.

Diva berjalan, dan berjalan. Di pikirannya terbentang ingatan mengenai kakaknya, ibunya, dan ayahnya. Ia mengingat tadi siang, ketika ia ditelepon ibunya, dan bahwa ia belum sempat mendengar suara ayahnya. Sudah berapa tahun semenjak terakhir kali aku mendengarmu ayah, pikirnya. Kini ayah dan ibunya dipersatukan oleh peperangan. Mungkin setelah perang ini, keluargaku akan utuh lagi, pikirnya.

Diva berjalan, dan berjalan. Hingga saat ia kehabisan ingatan untuk dikenang, ia masih belum keluar dari Sawah Besar. Hingga saat ia dapat melihat bulan, hingga sayap hitam tak lagi terlihat di langit hitam meski gemuruh dan dentuman mereka masih terdengar, Diva pun tak kunjung meninggalkan Sawah Besar.

Diva berjalan, dan berjalan. Ia tak tahu berapa lama lagi ia akan sampai ke Karet. Telapak kakinya mulai berdarah, dan betis serta pahanya mulai tak dapat ia rasakan. Tenggorokannya mulai kering, begitu juga dengan darah di seragam serta roknya. Matanya mulai berkunang-kunang, tetapi ia pun juga tak dapat melihat apa pun. Jakarta gelap gulita. Mungkin salah satu dentuman dari sayap hitam itu menghancurkan pembangkit listrik Jakarta. Yang ia lihat hanya lampu-lampu kendaraan, bara api di kejauhan, dan cahaya bintang yang dulunya tak pernah ia lihat di langit Jakarta.

Diva berjalan, dan berjalan. Tiap kali ia melihat kerusuhan di depannya, ia menghindar dan mengambil jalan lain. Tiap kali ia melihat beberapa orang sedang menjarah toko-toko, ia menghindar dan mengambil jalan lain. Tiap kali ia melihat seorang ibu menangisi anaknya yang mati bersimba darah, ia menghindar dan mengambil jalan lain. Mungkin ia sudah mengitari berbagai jalan karena menghindari manusia lain. Tapi ia tak mau ambil risiko, dan menghindar ketika ia melihat manusia lain.

Diva berjalan, dan berjalan. Apakah ia sudah keluar dari Sawah Besar, apakah ia sudah setengah jalan, ia tidak tahu. Sebentar lagi ia akan ambruk, tetapi naluri bertahan hidupnya memaksanya untuk terus berjalan. Hanya kakaknya yang ia pikirkan.

Diva berjalan, dan berjalan

Continue Reading

You'll Also Like

428K 37K 57
jatuh cinta dengan single mother? tentu itu adalah sesuatu hal yang biasa saja, tak ada yang salah dari mencintai single mother. namun, bagaimana jad...
69.9K 3.7K 3
Ketika cinta yang tulus ternodahi dengan sebuah kata ketidak percayaan #Romance #Rainin In #Family NOTE : Cerita ini adalah adaptasi dari cerita sebe...
466K 3.6K 16
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...
27.4K 1.8K 31
[antologi puisi] duduklah, kan ku suguhkan kidung-kidung yang terasingkan. mi-casa, 2018 [] start : 2018/11/11 finish : 2019/08/25 pict from Pinterest