Xavier & Zeva

By MbakTeya

16.4M 222K 6.9K

#Sleep With the Boss Zeva sangat terkejut saat terbagun dia berada dalam pelukan Xavier Boss tempatnya bekerj... More

Satu
Dua
Tiga
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Ebook

Empat

613K 21.5K 323
By MbakTeya

Selamat sore, selamat beristirahat dan selamat membaca semua

====

"Diam!" Bentak Xavier mendengar tangisan Zeva yang membuatnya bertambah pusing. Bergerak gelisah, dia mengacak rambut. Membodohi diri sendiri dan pusing memikirkan hidupnya kini.

Tangisan Zeva yang tak berhenti, membuatnya semakin marah. "Kamu tahu, saya tidak sudi memiliki anak bersamamu."

Zeva mengangguk, dia tahu. Bahkan dia tak berharap Xavier akan menikahinya. "Saya mohon Pak, biarkan saya mempertahankan anak ini." Hanya itu yang diinginkannya. Dia ingin merawat dan membesarkan anak yang sudah dititipkan kepadanya.

"Dan meminta saya bertanggung jawab, jangan harap." Xavier menatap Zeva tajam, dia mendengkus jijik menatap gadis itu.

Menggeleng lemah, Zeva berkata, "Saya akan pergi. Saya akan meninggalkan kota ini asal diperbolehkan mempertahankan anak ini." Demi melindungi anak ini, bahkan dia rela harus meninggalkan kota kelahiran. Kota yang membuatnya memiliki banyak penghasilan.

"Anak ini tak bersalah Pak. Dia tidak tahu apa-apa," kata Zeva lagi mencoba merayu. Dia berharap banyak Xavier akan berubah pikiran.

Xavier menggeleng tegas, dia menunjuk Zeva dengan jarinya. "Pilihanmu hanya satu, gugurkan kandunganmu itu," kata Xavier. "Saya akan mencari dokter yang ahli dalam hal ini." Berbalik ke arah pintu, sudah saatnya dia pergi, basa-basinya cukup sampai di sini saja.

"Pak... Pak. Anda mau ke mana? Pak saya mohon."

Teriakan dan permohonan Zeva dianggapnya angin lalu, kini tiba saatnya dia menyusun skenario pemecatan Zeva dan juga mencari dokter yang mau dan ahli dalam bidang ini.

Sepeninggallan Xavier, Zeva ketakutan setengah mati. Dia memohon-mohon pada dokter yang merawatnya agar diizinkan pulang. Bersyukur setelah lebih satu jam meminta akhirnya dia bisa keluar dari rumah sakit setelah menanda tangani surat yang menyatakan jika terjadi sesuatu padanya, rumah sakit tak akan bertanggung jawab.

Tak masalah bagi Zeva, karena sekarang juga dia akan pergi dari kota ini.

Xavier memang memaksa menggugurkan kandungan ini, tapi mana sudi dia menurut. Xavier hanya bos dalam hidupnya, tidak lebih.
Lagi pula dia lebih memilih meninggalkan kenyamanan di kota ini dari pada harus melenyapkan satu nyawa.

Menenangkan detak jantung, Zeva melangkah dengan sembunyi-sembunyi. Dia menaiki undakan tanggah apartemen, andai tidak tinggal di sini, risiko bertemu Xavier akan semakin menipis.

"Itu Zeva bukan sih?"

Suara dari arah belakang membuat Zeva bergegas bersembunyi di balik tembok. Dia menyentuh jantungnya yang berdebar.

"Kayaknya. Kok berani ya dia ke sini lagi. Bukanya sudah keluar ya?"

"Gak tahu, mungkin ada barang yang mau di ambil. Sayang ya, kerjaanyakan bagus. Pak Xavier juga terlihat senang bekerja dengannya."

"Sangat. Tapi mau bagaimana lagi, ini juga salahnya. Mungkin dia malu ketahuan hamil"

"Sebenarnya info itu datangnya dari mana sih?"

"Nana, kamu tahu kan dia teman satu unit Zeva. Saat kembali dari jalan-jalan dia mendapati apartemen yang berantakan dan ada empat alat tes kehamilan di kamar mandi Zeva. Semuanya positif."

"Yang di IG stori Nana itu ya."

"Iya. Kasihan Zeva, memiliki teman sekamar seperti Nana."

"Nana kan memang dari dulu cemburu sama Zeva. Awas ya kalau kamu kayak gitu sama aku."

"Hahaha... gak lah. Kamu juga awas kalau gitu sama aku."

Zeva membekam mulut, dia tidak menyangka kehamilannya sudah di dengar oleh rekan kerjanya, dan apa itu tadi.

Dia sudah keluar?

Sejak kapan. Apa ini ulah Xavier. Tega sekali lelaki itu, menghalalkan segara cara agar dia pergi dari hidupnya.

Mengusap setetes air mata, Zeva ingin kembali melangkah. Dia harus cepat pergi dari sini.

"Kamu dengar itu?"

Langkah Zeva terhenti, dia berbalik dam terkejut melihat Xavier berada di dekatnya.

"Pak," kata Zeva serak.

"Kenapa kamu ke sini? Apa maumu?"

Zeva menelan ludah, susah payah dia masuk dengan sembunyi-sembunyi. Akhirnya ketahuan juga. Menghela napas, Zeva berkata, "Ada beberapa barang yang harus saya ambil, Pak."

Xavier berdecih, dia menatap Zeva tajam. "Segera ambil dan pergi dari sini. Di luar akan ada mobil hitam yang menunggumu. Naiklah ke sana, aku sudah menemukan dokter aborsi terbaik."

"Apa? Saya tidak mau!"

Bergerak cepat, Xavier membekap mulut Zeva. "Ssshh jangan berteriak. Kalau kamu masih mau selamat." Ancam Xavier. Zeva terisak, air matanya mengalir deras. "Jangan menangis karena saya tidak akan peduli."

Xavier terdiam, dia menyeret Zeva ke kamar gadis itu. "Ambil apa yang kamu buktikan sekarang. Karena setelah kembali dari dokter kamu tidak diizinkan ke sini lagi."

Tanpa kata, Zeva menyusun semua barang miliknya. Masih banyak tersisa, tapi nanti dia akan meminta tolong Nana untuk mengirimkan ke alamat barunya. Sekarang dia hanya bisa membawa barang-barang yang sangat dibutuhkan.

"Saya berubah pikiran, kamu ikut saya saja."

Zeva menggigit bibir bawahnya gelisah. "Saya akan pergi, Pak."

"Tidak itu bukan pilihan bagus. Bisa saja suatu hari nanti kamu akan kembali dengan membawa seorang anak."

Tertunduk sedih, Zeva berkata, "Ibu saya membuang saya dari bayi, Pak. Saya di besarkan bersama anak-anak tidak beruntung lain. Kami hidup satu atap dengan keluarga yang tak bisa memiliki keturunan."

"Apa hubungannya dengan saya. Cerita sedihnya tak akan membuat saya berubah pikiran."

Xavier memang tak punya hati. "Biarkan saya membesarkan anak ini, Pak. Saya tidak ingin seperti Ibu kandung saya, yang tega membuang anaknya sendiri," kata Zeva mengusap air mata.

"Saya menyuruhmu menggugurkan. Bukan membuangnya."

"Bapak jahat. Bapak tidak punya
hati."

Zeva mendorong Xavier hingga terjatuh, saat lelaki itu hendak bangkit dia kembali mendorong koper besar miliknya hingga menimpa tubuh lelaki itu.

"Zeva ... kembali kamu!"

Zeva tidak peduli. Dia terus berlari dengan membawa dua koper lain. Sampai di depan pintu, Zeva berbalik. "Saya benci Anda," kata Zeva sebelum menutup pintu dan menguncinya.

Menarik napas lega, Zeva terus melangkah. Tiba di lantai dasar, dia terteguh untuk beberapa detik, sebelum kembali bersembunyi melihat mobil hitam di depan sana.

Zeva gelisah, dua orang lelaki di samping mobil itu terlihat memperhatikan dengan teliti semua wanita yang masuk dan keluar dari gedung ini.

Bersandar di tembok, Zeva memejamkan mata. Kenapa sulit sekali hidupnya tenang? Kenapa Xavier jahat sekali padanya.

Menguatkan tekad, Zeva merogoh ponsel dari sakunya. Dia nekat menghubungi Xavier untuk meminta lelaki itu menyuruh pergi orang suruhannya.

"Kembali, Zeva!"

Sambutan yang diterima Zeva sangat tidak menyenangkan, tapi dia tidak peduli. "Suruh pergi orang suruhan Bapak. Jika tidak-" Zeva sengaja menghentikan ucapannya.

"Apa?"

"Saya akan laporkan masalah ini pada orang tua Bapak dan Bu Aera," kata Zeva tanpa beban.

"Kamu mengancam saya?"

"Tidak ada kata ancaman untuk menyelamatkan diri." Zeva memejamkan mata, keringat dingin mengaliri tangan dan pelipisnya. Tubuhnya bergetar, dia takut. Namun, jika tidak begini, dia tidak yakin akan bisa pergi dari kota ini dengan utuh.




Wkwkw Si Zeva kok jadi nekat begini ya.

Kalau Xavier gak mau, gimana coba 😂😂😂

Jangan lupa tinggalkan jejak 😉😉

Minggu 9 Juni 2019

Continue Reading

You'll Also Like

7.8M 224K 37
Jika dia berpikir akan menjadikanku salah satu permen karetnya -Habis manis sepa dibuang- berarti dia salah memilih wanita. Aku pastikan tidak akan m...
7M 346K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
1.4M 189K 57
Type istri idaman Janu Praba Cakrawala itu gadis seperti Kanina; cerdas, dewasa, mandiri, serta selalu membuat nyaman. Konyolnya dia justru dijodohka...
6.6K 1.4K 32
Kenapa harus 3 tahun? Kenapa kau pergi meninggalkan ku Waktu terus berjalan Meski perlahan namun pasti Melenyapkan sebuah kisah Antara kamu dan aku ...