Cinta dalam Secangkir Cappuci...

By ghivanchristine

1K 23 11

Perubahan itu pasti terjadi, bahkan orang yang dicinta pun bisa berubah More

Inikah Cinta ?
Di Ambang Keraguan
Dahulu Semua Indah
Love at First Sight
I Miss the Old You
Pertemuan Kedua
I Do Love You
He has changed

Pandangan Pertama dua cangkir Cappucino

476 4 2
By ghivanchristine

CINTA DALAM CAPPUCCINO

Harum kopi menyebar , ketika pintu café terdorong terbuka.

Melangkah masuk di antara kerumunan orang,

Mencari meja kosong di mana bisa melepas penat

Dan menyeruput secangkir cappuccino dingin di sore yang menyengat

Aaahh....semua meja terisi penuh...hilang sudah bayangan cappuccino dingin

Tapi.....wait.... AHA ..... sebuah meja bertempat duduk dua hanya terisi satu orang ...

Sepertinya kakiku bisa berisitirahat di salah satu bangku di sana.

Berharap sang penghuni terdahulu , berbaik hati berbagi tempat....

Mmmmh...gadis cantik yang baru saja membuka novel klasik ,

Menanti secangkir kopi atau.....juga menanti seseorang....

Berdiri mematung , di antara keinginan menghempaskan diri di sofa café

Dan keraguan kalau si gadis menanti seseorang......

Mungkin merasa diperhatikan, si gadis mengangkat wajahnya,

Menatap diriku dengan pandangan bertanya.....

Tersihir melihat wajah cantiknya mulutku membuka tak bersuara.

Dia menatapku sekali lagi, dengan mata hitam kelamnya , melihat sekeliling café dan menatapku kembali

Dan sungguh bodohnya diriku...hanya diam mematung...seperti terpaku di lantai kaca

"Mau duduk di sini...?' tunjuknya pada sofa di seberangnya .

Seperti orang yang tak kenal tata cara, tubuhku langsung menghempas nyaman di sofa putih tersebut. Dan barulah aku tersadar, betapa tidak sopannya sikapku.

Sang gadis tersenyum..." Café ini selalu ramai pada jam-jam seperti ini"

Sedetik kemudian , dia melambaikan tangan , memanggil seorang barista agar mendekati meja kami.

"Jangan lewatkan cappuccino di café ini." Senyumnya merekah saat sang barista berdiri di sisi meja kami.

"Miss Verlyn...mau tambah sesuatu ?" Tanya sang barista yang rupanya sudah mengenal gadis di hadapanku.

Sang gadis menggeleng, "Bukan saya, tapi bapak ini mungkin ingin memesan."

Dengan semangat sang barista, menyodorkan menu dan menyarankan beberapa menu drinks dan cake café mereka.

"You must try Tiramisu dan Opera Cake di café ini." Suara lembut sang gadis, ,membuatku mengangkat wajah dan sekali lagi bertemu dengan mata hitam kelamnya yang berbinar. Sedikit eye shadow warna perak yang dibubuhkannya justru seolah menambah daya tarik setiap kali matanya mengedip, mataku tak lepas memandangnya.

Oh betapa tak sopannya diriku....memandangi lekat-lekat gadis yang baru saja ditemui dan kami bahkan belum berkenalan. SUPER....SUPER KURANG AJAR sikapku ini , rutukku dalam hati.

Merasa jengah diperhatikan, sang gadis, kembali menunduk menekuni novel klasik yang tengah di bacanya.

Barista di sebelahku berdiri dengan kesabaran super, menanti pesananku. Tak enak hati membiarkannya berdiri lebih lama, Capuccino dan Opera Cake menjadi pilihanku.

Suasana mendadak sepi di meja kami,walaupun aku bisa mendengar dengung bising suara-suara pengunjung lain. Sang gadis tetap asyik membaca novelnya, tak sedetik pun dia menurun novelnya dan melihat diriku. Mungkin juga salahku, yang membuat kapok melihat teman semejanya.

Di ujung kanan, sebuah meja ditempat dengan 4 ladies yang asyik berceloteh sambil sesekali setiap dari mereka menoleh dan memencet gadget masing-masing. Para barista sibuk lalu lalang. Ya café kecil ini ramai sekali. Semoga saja saran sang gadis di seberangku ini tidak mengecewakan.

Menyibukkan diri , aku melirik layar ponsel android dan membaca beberapa pesan yang tertera. Tidak ada yang istimewa, kebanyakan berurusan dengan pekerjaan dan beberapa message ha ha hi hi dari teman.

"Silakan Mocchcino Chocolate anda, Miss Verlyn." Suara sang barista membuat kami berdua mengangkat wajah dari kesibukan masing-masing.

Verlyn mengucapkan terima kasih dan mulai menyesap perlahan minuman di hadapannya.

Aku hanya menatapnya tak tahu harus berkata apa. Bahkan ketika di menyesap minumannya, terasa anggun di mataku. Aku pura-pura berkonsentrasi pada ponselku daripada tertangkap basah sedang menatapnya kembali.

"Baru pertama kali kemari?'

Aku menengadah menatapnya.

"Baru pertama kali kemari?" ulangnya ,mungkin Karen tidak ada jawaban dariku.

Uhhh...BODOH sungguh kamu Evan.... ! Ingin sekali aku menjitak kepalaku.

Entah sudah berapa kali tindakan bodoh yang kulakukan di depan Verlyn yang anggun ini.

Aku menatapnya...dan memaksa mulutku mengeluarkan suara tapi yang terdengar hanya gumaman tak jelas. Seperti suara lenguhan sapi. ADUHHH....ini benar-benar memalukan.

Untungnya, Verlyn berbaik hati tidak menertawakan kebodohanku. Aku berderhem.

Berharap dalam hati kali ini yang keluar ada suara bukan lenguhan sapi.

"Ya , ini pertama kalinya. Saya sedang ke tempat klien, dan kebetulan melihat café ini. "

Verlyn mengangguk. Dia menunduk, menekuni Moccachino Chocolatenya.

"Kamu langganan di café ini?" aku memberanikan diri bertanya.

Dia mengangguk tersenyum, "Ya, aku biasa datang ke sini, setidaknya sebulan sekali. Terkadang bisa 2 atau 3 kali dalam sebulan."

"Tak heran, para barista mengenalmu."

Dia kembali mengangguk. " Ya. Rasanya aku sudah menjadi customer mereka, sejak café ini didirikan."

Aku hanya mengangguk , tidak ada ide percakapan. ADUH otakku ini sungguh tumpul kalau harus berhadapan dengan wanita cantik. Beda ketika aku berhadapan dengan klien, mempresentasikan blueprint bangunan , setiap kata mengalir bagai sungai dari mulutku. Tapi kini, tak satu pun kata bisa terangkai di hadaparan Verlyn. Benar-benar malapetaka.

Semeja dengan gadis cantik, tapi yang bisa aku lakukan hanya diam dan menatapnya (sembunyi-sembunyi, tentu saja, tidak ingin membuatnya jengah).

"Silakan Cappucino dan Opera cake , anda, Pak." Sang Barista menyelamatkan suasana yang super kaku ini.

"Ada pesanan yang lainnya, Pak?"

Aku menggeleng, "Tidak. Ini saja. Terima Kasih."

Bau harum Cappucino langsung menguar, menyeruak masuk ke paru-paruku. Harumnya sungguh nikmat. Keharuman yang menggugah selera.

"Wanginya harum sekali." Ujarku tak sengaja.

Rupanya Verlyn mendengarnya. Dia menurunkan novelnya, menutupnya dan meletakkannya di meja. Kali ini aku bisa melihatnya judulnya "Wuthering Height"

Dia tersenyum,"Sekarang coba dihirup...rasanya lebih tangguh dari wanginya."

Aku mengikuti sarannya, menyeruput Cappucino - ku. Tak bisa tidak, aku setuju dengannya. Rasanya benar-benar tangguh.

"Kamu benar. Rasanya sungguh nikmat."

Senyum di wajahnya semakin cerah, "Sekarang coba opera cakenya. " serunya tak sabar.

Aku tersenyum geli, melihat ekspersi wajahnya, ekspresi seorang anak yang baru saja membuat secangkir teh untuk papanya dan cepat-cepat meminta sang papa menghirup teh nya dan berharap mendapat pujian atas tehnya.

Aku menyuapkan sesendok ke dalam mulutku. Cakenya terasa lembut dan coklat yang dipake tidak terlalu manis, malah ada kesan sedikit pahit, yang justru membuat rasa cakenya semakin sempurna di lidah.

"Hmmm...tidak terlalu manis......" aku menggantung kata-kataku.

Si gadis mencondongkan badannya , menanti kau melanjutkan kata-kataku. Wajahnya terlihat tegang, seperti orang menanti hasil ujian.

"Ada sedikit rasa pahit coklat ...tapi aku setuju.. justru rasa pahit itu membuat rasa opera cake ini begitu nikmat."

Dia tersenyum sangat ceria. "Saya suka sekali rasa pahit coklat itu. Mungkin, karena saya tidak begitu suka manis. "

"Sama. Saya juga tidak terlalu suka manis. Opera cake ini benar-benar lezat." Aku kembali melanjutkan menyuapkan cake itu sepotong demi sepotong menggisi kerongkonganku.

"Terima kasih untuk sarannya."

Dia mengangguk tersenyum dan sesaat kemudian tangannya kembali meraih novel yang tertutup rapi di atas meja.

"Wuthering Height." . Perseteruan Heatcliff and Hindley. "Gumamku sebelum si gadis kembali tenggelam dalam novelnya.

Kali ini gumamanku membawa hasil.

Dia urung meraih novel di meja, alih-alih dia malah menatapku dengan penuh minat.

" Kamu juga membacanya?"

"Ya, aku pernah membacanya...akhir yang tragis bagi keluarga Earnshaw. Juga kepedihan cinta hingga akhir haya."

Gadis itu menatapku tak percaya, "kau benar-benar membacanya. Aku pikir tak ada cowok yang mau membaca novel ini. Karena terlalu mellow.:

"Wuthering Height karya Emily Bronte adalah novel yang bagus, kenapa aku tidak mau membacanya." Gurauku.

"Ah...ya ..mungkin cowok jaman dulu. Tapi cowok modern masa kini mana mau meluangkan sejenak waktunya membaca novel klasik.:

"Aku ini cowok modern lho, bukan cowok jaman dahulu." Sedikit tergelak , aku menanggapi celotehnya.

Dia menatapku dengan perasaan bersalah. Matanya menggelap. "Maaf, aku tak bermaksud menyinggungmu. Yang aku maksudkan. Sekarang ini, jarang sekali orang yang mau membaca cerita klasik. Apalagi cowok. Bagi mereka klasik itu membosankan."

Aku menyesap Cappucino ," Menurutmu begitu Miss Verlyn."

Seketika matanya terbelalak, wajahnya terkejut, "Kau...kau tahu namaku? Dari mana kau tahu namaku?"

Aku tergelak. Apakah gadis ini tidak menyadari kalau sang barista menyebutkan namanya beberap kali.

"Tenang saja. Aku ini bukan paranormal....."

Dia masih menatapku dengan heran.

"Tadi barista menyebut namamu beberapa kali. " aku melempar senyum kepadanya.

Mulutnya membentuk huruf O....

Aku mengulurkan tangan, "Rasanya tidak sopan, aku mengetahui nama gadis cantik tetapi tidak memberitahu namaku. Evan Staniwan"

Dia tersenyum dan menjabat tanganku.

"Verlyn Gustav"

"Jadi kamu pencinta novel klasik, Verlyn?"

Tersenyum sedetik, dia menunduk mengaduk Mocchacino Chocolatenya. "Novel klasik kelihatannya klise. Tapi novel klasik memiliki jalan cerita yang hidup hingga masa kini. Hanya karena klasik, orang menganggapnya kuno." Verlyn berhenti sejenak, matanya menatap mataku dalam-dalam. "Ya, saya sangat menyukai novel klasik. Ada banyak kisah dan intrik masa lalu yang sebenarnya masih up to date hingga masa kini, hanya saja karena kata klasik yang melekat, novel tersebut dianggap kuno. Klasik itu mengungkapkan kisah kehidupan, kebenaran dan keindahan dengan cara yang indah. Tapi, sayangnya klasik itu dianggap kuno. Sangat mungkin sekali, penggemarnya juga dianggap sebagai orang kuno, tidak modern." Seketika itu sinar di matanya meredup. Dia terdiam sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan. "Sebenarnya yang kuno itu tidak selalu jelek. Menurutku yang kuno bisa menjadi panutan dan sebenarnya layak diterapkan dalam dunia yang katanya serba modern, tapi serba kacau ini."

Verlyn menyandarkan tubuhnya ke sofa, meraih novel yang tergeletak di meja dan kembali meneruskan bacaannya yang tertunda. Seolah, dia kelelahan setelah berbicara panjang lebar atau dia merasa jengkel dengan pertanyaan yang aku ajukan.

Bertekad melanjutkan percakapan dan mengambil hati Verlyn, aku memaksa otakku berpikir keras, mencari kata yang cocok diucapkan.

"Menurutku, klasik itu indah."

Rupanya, otakku cukup mahir mencari kata. Mendengar ucapanku, Verlyn bereaksi, dia menutup bukunya dan memusatkan perhatiannya pada diriku.

"Oh ya....Why do you think so?" matanya menatapku penuh minat , mencari jawaban atas pernyataanku.

"Klasik itu abadi. Klasik itu tidak pernah lekang oleh waktu. Mungkin klise, tapi klasik itu selalu tidak pernah hilang. Orang akan selalu mencarinya. Klasik itu tidak kuno, karena dia adalah abadi dan keindahannya tidak hilang."

Bibir Verlyn melengkungkan sebuah sudut, tersenyum.

"Ya, klasik itu indah. Abadi....."

Betapa inginnya bibirku mengucap, "kamu adalah klasik bagiku, karena kamu begitu indah." Untungnya, otakku masih waras, sehingga dia sanggup menggerem sang lidah tak bertulang untuk berucap.

"Dan klasik itu jujur...."lidahku tiba-tiba mengucap tanpa terkontrol.

Verlyn terkekeh kecil, "Jujur...ya jujur....di masa di mana kejujuran adalah hal yang langka. Kejujuran dalam sepotong kisah ."

Aku terpana sejenak. Otakku mulai memutar setiap kata yang terucap dari bibir merah makhluk menawan di hadapanku ini, setiap tutur katanya begitu puitis.

"Apakah Verlyn seorang penulis?"

Matanya terbelak kaget sejenak. Tak lama, matanya kembali berbinar. "I love writing. Penulis ? Sementara ini hanya free-lance writer."

"Wow....it's great."

Verlyn terkekeh kecil, "Saya masih jauh dari Emily Bronte. Hanya penulis lepas yang tidak terkenal." Kembali dia menunduk, jemarinya mengetuk perlahan meja di hadapannya.

Setiap kali, Verlyn berbicara tentang klasik dan penulis, selalu ada dua nuansa tercipta. Pertama dia akan berbicara dengan semangat, tetapi setelah itu memudar, seolah merasa terbebani. Entah apa yang ada di pikirannya.

"Menjadi penulis itu hebat. Punya imajinasi yang luar biasa. Saya selalu kagum dengan penulis."

Verlyn tersenyum,"Do you like reading?'

"Suka sekali, tapi karena keterbatasan waktu. Pekerjaan yang tidak henti, waktu membaca saya terampas oleh waktu membuat presentasi untuk klien, kerja. Tapi, saya masih menyempatkan diri membaca, walaupun tidak terlalu banyak."

"Itu bagus. Luangkan sejenak waktu untuk membaca. Berhenti dari rutinitas dan fokuslah pada dunia buku, salah satu cari mengurangi stress."

Aku tertawa, "Benar.....cara ampuh dan bermanfaat."

Verlyn mengeluarkan buku dari tote-bag pinknya, menulis sesuatu di antara halamannya dan mengulurkannya padaku, "For you."

Aku menatap buku tersebut dan dirinya bergantian. Dia mengangguk kepadaku , "This is for you."

Buku itu berjudul "Jangan Ucapkan Cinta". Nama penulisnya dicetak dengan tinta perak Ver Lini G.

"Semoga Evan senang membaca buku saya." Ucapannya mengalihlan pandanganku dari buku tersebut.

"Ver Lini G is you?"

"Publisherku menyaranakan memakai nama Ver Lini G sebagai nama pena."

Aku membalik halaman novel tersebut, tertera di awal halaman, tanda tangan sang penulis .

"Semoga kamu tak keberatan membacanya."

Aku menggangguk dan menggeleng dan mengangguk dan kemudian tertawa, "Tentu saja. Eh, what I mean...I'll read if for sure. Ini hadiah yang luar biasa."

Verlyn tersenyum sangat manis (menurutku). "Thanks" Dia melirik jam tangan keramik putihnya. "Maaf saya harus pergi sekarang. Nice to meet you."

Walaupun kecewa, melihatnya harus pergi, tapi tak urung kusambut uluran tangannya. "Nice to meet you, too, Verlyn. Thanks for the novel."

Halus tangannya saat aku menjabatnya, terasa menggetarkan hatiku. Sekali lagi, Verlyn tersenyum. "Enjoy your coffee and the novel as well."

Seperti adegan yang sering terjadi dalam drama cinta, aku ingin sekali menahannya. Tapi sekali lagi, otakku masih bisa bekerja dengan baik, sehingga aku hanya duduk diam, memperhatikannya berjalan makin jauh dari padanganku.

Continue Reading

You'll Also Like

814K 52.4K 33
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
1.1M 112K 27
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...
395K 1.7K 16
⚠️LAPAK CERITA 1821+ ⚠️ANAK KECIL JAUH-JAUH SANA! ⚠️NO COPY!