Ujian Nasional

By KalaSanggurdi

8K 588 40

Ujian nasional tengah berlanjut di Indonesia pada tahun 2014. Sarah bersama teman-temannya tengah mempersiapk... More

Menteng: Rabu, 25 Desember 2013
Sawah Besar: Jumat, 24 Januari 2014
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 2
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 4
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 4 [Tambahan]
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 5
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 6
Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 6 [Tambahan]
[Tambahan] Matraman: Selasa, 15 April 2014
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 1
Sawah Besar: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 2
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 2
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 3
[Tambahan] Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 3
Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 4
Menteng: Selasa, 15 April 2014
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 1
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 2
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 3
Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 4
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 1
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 2
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 3
Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 4
Sawah Besar: Kamis, 14 April 2039

Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 3

360 30 1
By KalaSanggurdi

Robi bertanya kepada Arli, "Pak, saya masih bingung soal perkalian matriks yang ini. Kalau matriksnya begini, jadinya gimana ya pak?"

Arli menengok ke arah Robi. Ia berhenti menepuk pundak Sarah, yang matanya masih merah karena habis menangis. Gawai Arli dipasangkan pelantang telinga, yang dimaksudkan untuk membuat gawai tersebut menjadi radio kecil. Gawai tersebut menyala sedari satu jam yang lalu, dan disetel ke sebuah kanal berita negara.

Sebelumnya Arli diminta oleh Sarah untuk menyetel gawainya menjadi radio, karena gawai Sarah telah kehabisan baterai dan ia tidak membawa pengisi baterai. Sembari belajar hendaknya mendengar kabar tentang peperangan di Pekanbaru, ujar Sarah.

Sekitar dua puluh menit yang lalu, kanal berita negara yang terjaring oleh gawai Arli menceritakan kegagalan tentara Indonesia menghalau Malaysia. Riau telah menjadi lautan api, dan kerusakan terparah berada di Ranai. Di waktu yang bersamaan, sebelum pagi menjadi siang, tentara Indonesia dipukul mundur hingga ke Medan. Medan mengalami nasib membara yang sama dengan Riau.

Sarah tidak tahu nasib kedua orangtuanya, tetapi Diva tahu mengenai nasib orangtuanya sendiri. Bara api di Medan ternyata mempersatukan kedua orangtuanya kembali, dan kini mereka berada dalam lindungan tentara Bukit Barisan. Meskipun demikian, Diva berhenti tertawa atau tersenyum ringan setelah mendengar kabar itu. Kini Diva tersenyum kecut mendengar pertanyaan Robi yang memecah hening.

"Matriks yang film itu?" balas Novi tiba-tiba, yang sedari tadi memecahkan permen digital. Pandangannya tetap kepada layar gawainya.

"Bukan, yang di bola," ujar Robi.

"Itu hattrick, Rob," senyum Sarah tegar.

"Ha. Ha. Lucu. Banget. Udah, diem aja lu! Nggak tau orang lagi khawatir aja. Mentang-mentang negara lu nggak diserang," Amel sewot.

"Sudah," lerai Arli yang kemudian melihat soal matriks yang disuguhkan Robi, "Kalau matriksnya begini, gampang. Jadi, pertama, kamu hitung x sama a-nya, terus—"

"Perhatian, perhatian, warga Jakarta sekalian. Ini sistem peringatan darurat dari Satuan Radar 216⁴. Sekali lagi. Perhatian, perhatian, warga Jakarta sekalian. Ini sistem peringatan darurat dari Satuan Radar 216. Jakarta akan mendapat serangan udara. Jakarta akan mendapat serangan udara. Bagi para warga Jakarta, segera cari tempat berlindung terdekat. Kami ulangi..."

Pesan itu terulang berkali-kali tanpa henti dari gawai Arli. Semua menengok ke gawai yang terletak di atas meja guru itu. Semua diam.

"Apa?" ujar Novi.

Tak ada yang menjawab.

"Anak-anak..." Arli kebingungan meneruskan kata-katanya. Ia pun dapat melihat anak-anaknya sama bingungnya, dan sama dingin keringatnya. Ia mulai berpikir banyak hal dalam waktu yang singkat itu: adakah ia mendengar suara pesawat tempur, di mana tempat berlindung terdekat, apakah sekolah tempat mereka berada sudah menjadi tempat berlindung yang ideal, apakah sekolah akan diserang, bagaimana cara yang tepat untuk menenangkan anak-anak, bagaimana cara keluar dari sekolah bilamana diperlukan...

"Lebih baik kita ke bawah. Bahaya di lantai tiga," Diva memecah bingung Arli. Arli terkesima, lalu mengiyakan.

"Ayo, anak-anak, kita ke bawah. Ke titik kumpul. Harusnya masih ada beberapa caraka. Setelah itu kita tunggu kabar mengenai bala bantuan," ajak Arli.

"Ayo, Novi," ajak Sarah yang tak berani memegang Novi. Novi tidak menyahut, masih fokus dengan permen digitalnya.

"Kemas barang-barang kalian," ujar Arli lembut. Diva sudah siap dengan tas kecilnya, sedangkan Robi dengan ranselnya. Sarah masih mengurusi ransel Novi, meski sudah siap dengan tasnya sendiri.

Ketika semua orang telah berdiri, tinggallah Novi dengan gawainya. Sarah berusaha mengajaknya berjalan, "Ayo, Novi," tetapi Novi tidak beranjak.

Diva melihat sebentar, dan mengernyitkan alisnya. Ia bergegas menuju ke arah Novi dan dengan cekatan merebut gawainya. Novi terhentak, dan berteriak, "Punyaku!"

"Jalan," balas Diva cepat, "Sini ambil!"

Novi kembali berteriak, dan Diva siap-siap berlari sambil terkekeh. Berlarilah mereka berdua ke luar kelas, dengan Sarah dan Arli menggelengkan kepala sambil tersenyum di belakang. Robi hanya melihat dan ikut tersenyum.

Tiba-tiba, Novi berhenti. Pun juga dengan Diva, dan semua orang. Perlahan tapi pasti, Novi menutup kedua telinganya dengan tangannya. Ia yang merasakan paling duluan, kemudian disusul oleh Sarah yang mulai merasa tidak nyaman. Hingga pada akhirnya, Novi jatuh berlutut dan berteriak parau. Sarah dan Robi segera menutup telinga mereka, dan Diva melihat kilat hitam di langit melaju. Terlalu cepat untuk dikejar matanya.

Gemuruh suara itu masih belum selesai, tetapi Sarah memaksakan diri untuk terbiasa dan bergegas menuju Novi. Novi meringkuk, menangis menjerit-jerit, "Udah! Udah! Hentiin!"

Ketika sampai, Sarah berusaha membangunkan Novi agar ia dapat berjalan. Harus ia akui bahwa gemuruh tadi membuatnya lemah, ditambah dengan Novi yang tak mau diangkat.

Gemuruh kedua lewat, dan Novi kembali memekik. Semua melumpuh karena suara dahsyat itu, dan juga pusing serta kehilangan keseimbangan. Tak lama, terjadi gemuruh ketiga, tapi kali ini gemuruh tersebut juga dibarengi getaran kecil. Suaranya tidak lagi lesatan sayap-sayap hitam, melainkan dentuman nan dalam. Semua orang terjatuh, disertai beberapa bangku di dalam kelas serta sebuah lampu langit-langit tiga langkah di depan Diva.

"Ini ada apa?! Novi takut! Novi takut!" jerit Novi. Arli segera bangkit, tetapi hampir gagal berdiri karena dentuman dan getaran susulan, "Anak-anak! Cepat turun!"

Diva bangkit dan berlari menuju Sarah dan Novi, dengan sigap dan sekuat tenaga mengangkat Novi hingga berdiri. Diva kemudian menarik tangan Novi kuat-kuat hingga Novi tak punya pilihan selain ikut berlari bersama Diva. Sarah menyusul, diikuti oleh Robi dan Arli di belakang.

Diva dan Novi yang paling duluan sampai di tangga turun, tetapi dentuman dan getaran ketiga dengan cepat merampas keseimbangan mereka berdua. Sarah dan Robi bahkan tersungkur di belakang, sedangkan Arli berusaha untuk dapat tetap berdiri meski harus berhenti berlari. Dalam sepersekian detik, Diva menyadari bahwa Novi akan terjun bebas ke lantai dua atau berguling-guling melewati anak tangga. Dengan keseimbangannya yang tersisa, Diva menangkap kerah Novi dan menarik sekuat tenaga. Nahas, Diva tak cukup kuat, dan kini ia akan terbawa terjun bebas bersama Novi.

Sebelum ia dan Novi benar-benar terjun bebas, Diva menggunakan tangan kirinya untuk meraih pagar tangga. Ia berhasil, tetapi genggamannya tidak cukup kuat. Akhirnya, ia dan Novi terjatuh ke depan. Karena ia tahu pegangan di tangan kirinya tak cukup kuat, ia segera melepas pegangannya dan memeluk Novi seerat mungkin. Tubuhnyalah yang menjadi bantalan bagi Novi selagi mereka berdua berguling-guling menuju lantai dua.

Dentuman keempat beserta getarannya datang setelah Novi dan Diva tersungkur di lantai dua, sedangkan Sarah dan Robi berpengangan erat di pagar tangga. Arli melihat Diva. Paniknya menghilang ketika Diva terhuyung-huyung berusaha duduk, dan Novi terlihat tak apa-apa meski lemas. Setelah dentuman dan getaran keempat beserta susulannya sudah dibiasakan oleh semua orang, Sarah dan Robi bergegas turun ke lantai dua dan menghampiri Diva.

"Diva, Novi! Kalian nggapapa?!" teriak Sarah.

"Udah, cepet! Bantu gua diri!" Diva balas berteriak.

Sarah menyadari rok Diva yang sobek serta seragamnya penuh lubang karena jatuh yang dahsyat tadi, tetapi ia menyegerakan bantuannya. Jeda dentuman kelima dan keenam cukup lama, tetapi gemuruh sayap hitam semakin banyak dan melumpuhkan telinga semua orang. Sambil terhuyung-huyung, Robi dan Sarah membantu Diva serta Novi untuk berdiri. Arli menyusul, dan langsung menggantikan Sarah membantu Diva untuk turun ke lantai satu. Sarah dengan sigap menuntun Novi turun.

Dentuman ketujuh datang, dan dentuman itu bukan main dekatnya. Getaran yang terasa begitu dahsyat, dan Arli dapat melihat tiang sekolah mulai goyang. Tangga menuju lantai satu bergoyang luar biasa, dan hal ini kemudian membuat Arli berteriak ke arah Robi, "Duluan!"

Robi tak mengerti, dan ketika Arli berusaha mendorong Robi ke depan dengan dorongan satu tangannya, Robi baru mengerti. Ia langsung bergegas menyusul Sarah dan Novi yang mulai berlari ke tengah lapangan sekolah. Arli dengan sigap membopong Diva dan berusaha turun dengan cepat.

Persis ketika Diva dan Arli sudah tidak dinaungi langit-langit lantai satu, empat tiang lantai satu sekaligus patah, dan bagian gedung sekolah itu perlahan bergoyang dan bergoyang hingga akhirnya rubuh seketika.

Semua terperangah, dan terkumpul di tengah lapangan upacara sekolah. Arli dan Diva hampir ditimpa oleh reruntuhan sekolah, pikir Sarah, yang lega melihat mereka berdua keluar tepat waktu. Mas Joko dan Mas Danu, dua caraka sekolah, juga berkumpul di tengah lapangan; Sarah sendiri sedang memeluk Novi dan bersama Robi.

Setelah berhenti berlari, Arli melihat ke belakang. Ia melihat dengan saksama bagaimana seperempat gedung sekolah kini menjadi gunungan puing-puing. Diva berdeham, dan Arli baru menyadari beban badan Diva di kedua tangannya. Ia menurunkan Diva. Diva hanya tersenyum, "Makasih."

Diva kemudian berjalan menuju tengah lapangan, hendak bersatu dengan teman-temannya. Ia terhuyung-huyung karena rasa sakit di sekujur tubuhnya. Orang pertama yang ia lihat adalah Novi, yang telah ia selamatkan. Novi tengah menangis dan terpatung, tetapi bersih dari segala luka. Diva tersenyum melihatnya, sedangkan Novi tak mengerti mengapa Diva tersenyum kepadanya.

Tiba-tiba, ada dentuman kedelapan. Dentuman ini tidak hanya terdengar jelas, tetapi juga terlihat jelas. Dentuman itu berasal dari langit, dan Sarah dapat melihat sayap-sayap hitam beterbangan. Lebih banyak, dan terlihat menyerang satu sama lain. Tetapi dari asal dentuman itu, sepasang sayap hitam jatuh dalam kecepatan yang begitu tinggi.

Meski terlihat oleh Sarah, Sarah kembali terhuyung-huyung. Suara dentuman demi dentuman sepertinya merusak telinga, indra-indra serta keseimbangannya. Pun juga semua orang di sekitarnya, sedangkan Diva hampir jatuh karena suara keras yang memusingkan itu. Sayap hitam yang jatuh itu semakin membesar, dan Robilah yang pertama kali sadar bahwa sayap hitam itu menjadi terlalu besar.

Angin kencang menderu, menerbangkan semua dedaunan dan debu. Sayap hitam itu melintas di atas kepala semua orang yang berada di lapangan, dan menghantam gedung sekolah hingga tembus ke belakang dan menghantam dua gedung lain. Getaran yang terjadi karena sayap hitam raksasa itu tak ada duanya, dan membuat semua orang yang tak siap jatuh bertiarap. Di antara orang-orang yang jatuh adalah Robi serta para caraka, dan juga Diva.

Puing-puing gedung sekolah beterbangan. Batu-batu beton dan lidi-lidi baja terlempar dalam kecepatan tinggi. Sarah, melihat puing-puing melaju bagai peluru, langsung menghantam Novi hingga terjatuh bersamanya. Tapi apa daya, sesuatu terjadi kepada lengan kiri Novi, yang terdorong dengan kejam hingga terpental ke belakang—sendi sikunya mengikuti, hingga terpisah tulang lengan atas dan bawah Novi. Novi sendiri tak sempat berteriak.

Setelah hujan puing selesai, Sarah bangun perlahan. Ia melihat ke depan. Ia dapat melihat gedung tetangga. Di ujung penglihatannya, pesawat tempur bersarang di balik reruntuhan gedung tetangga satu lagi. Jauh rasanya. Sekolahnya seakan-akan menghilang, bersama dengan tembok pagar dan kantin. Seakan-akan, sekolahnya memang tidak pernah ada.

Di balik beberapa puing reruntuhan, Sarah dapat melihat kilau kemerahan. Ada yang ia kenal, yakni Mas Panca. Setidaknya, bagian atas Mas Panca. Sarah tak dapat melihat apa pun di bawah perut Mas Panca yang tergeletak tak bergerak di kejauhan, selain kilau merah serta beton dan bata. Ada yang tidak ia kenal, karena yang ia lihat hanya tangan. Sarah tak dapat mengidentifikasi caraka sekolah dari tangan belaka, dan entah siapa yang memiliki tangan tersebut, kini berada di dalam gunungan puing sekolah. Sarah juga melihat seorang guru, tetapi ia tidak dapat tahu siapa guru tersebut. Guru itu terlentang, dengan seragam khas guru, tetapi kepalanya terbenam bersama puing dan kilau merah.

Sarah berusaha mencerna apa yang ia lihat dengan saksama. Ia bertanya apakah ia bermimpi atau tidak. Ia menengok ke Robi, dan mendapati Robi sedang melotot melihat sesuatu. Ia menengok ke Novi, dan menyadari Novi sedang hiperventilasi dengan tangan kiri yang bengkok sendinya sudah tak lagi lazim. Ia menengok kepada Joko dan Danu, yang juga sedang melotot melihat sesuatu. Keduanya berbarengan melotot bersama Robi ke satu titik. Sarah, secara alamiah, menengok ke arah pandangan Robi serta kedua caraka. Setelah pekikan tajam dari Diva, Sarah mengerti apa yang ia lihat.

Pekikan Diva nyaring, tinggi, dan tajam. Hampir-hampir mistis. Sarah tak pernah mendengar pekikan seperti itu, apalagi dari temannya itu. Udara tiba-tiba mendingin, dan pekikan Diva berhenti, digantikan pekikan yang sama nyaring dan tajamnya, tetapi rendah bukan main. Setelah jelas bahwa yang dilihat Diva adalah kepala Arli yang dipecahkan lidi baja, Sarah membuang pandang ke arah lain. Pekikan Diva masih belum berhenti, dan Sarah berusaha menarik banyak napas serta menahan tangis. Dentuman demi dentuman menyebabkan getaran berketerusan, deru sayap-sayap hitam menyebabkan pengang telinga, tetapi ngeri yang dirasakan Sarah datang dari paraunya suara Diva.

Salah satu bom dari sepasang sayap hitam meledak lagi di daerah yang terlalu dekat, dan getaran serta puing-puing beterbangan kembali. Siswa-siswi yang ada masih begitu lemas untuk berjalan, tetapi kedua caraka yang tersisa dengan sigap memerintahkan siswa-siswi, "Ayo, dek! Cepat!"

Sarah dan Robi diseret oleh Jaka, selagi Jaka sendiri berusaha membopong Novi yang memekik dan lumpuh karena sakit di tangan kirinya. Danu dengan cepat menyeret Diva, tetapi ditolak dengan kasar hingga hampir terjatuh. Apa boleh buat, pikir Danu, dan ia membantu Jaka menggiring Sarah dan Robi keluar sekolah.

Di luar, secara mengejutkan, jalanan begitu sepi. Beberapa mobil terparkir sembarang di pinggir jalan, dan Jaka dapat melihat beberapa mobil ini berisi orang-orang yang tengah berlindung. Jaka melihat sekeliling: ada Sarah, Robi, dan Danu.

"Danu, mana neng Diva?"

"Nggak mau ikut dia!"

"Guoblok! Samperin!"

"Dianya kagak mau!"

"Ya udah, samperin!"

Danu ragu, tetapi ia kemudian berlari kembali ke dalam sekolah. Jaka kemudian melihat Sarah dan Robi, "Dek, ada yang punya mobil?" Jaka dijawab dengan gelengan. Ia kebingungan, dan tangannya mulai pegal membawa Novi yang bukan main lemas dan kesakitan.

"Ini temen kalian gimana?" sekali lagi Jaka dijawab dengan keheningan. Ia kemudian melihat sekeliling, mencari apakah satpam sekolah masih ada atau tidak. Karena ia tidak menemukan satpam, ia mencoba pergi ke pos satpam sekolah dan melihat ke dalamnya. Ia tetap tidak menemukan satpam, tetapi ia menemukan kunci mobil salah satu guru sekolah. Tanpa banyak pikir, ia menyuruh Robi mengambil kunci itu dan mencari mobilnya.

Setelah menemukan mobil dari kunci itu, Jaka meminta Robi dan Sarah membukakan pintu belakang dari mobil tersebut. Dengan hati-hati, ia menaruh Novi sambil kebingungan menangani tangan kirinya. Jaka kemudian menyuruh Sarah untuk masuk ke belakang mobil dan menemani Novi, sedangkan Robi untuk menemaninya di depan.

Ketika mobil menyala beserta AC-nya, barulah Jaka menenang. Ia menyadari bahwa ia tengah mencuri mobil seorang guru yang dapat membuatnya dipecat ataupun dipenjara. Pada umumnya mungkin demikian, tetapi ketika ia melihat kembali bagaimana sebagian besar gedung sekolah sudah rata dengan tanah, ia maklumi perbuatan ilegalnya.

"Kita harus ke rumah sakit!" ujar Sarah.

"Jangan, neng. Rumah sakit pasti penuh. Jauh juga—" Jaka terhenti sesaat ketika terjadi dentuman, "Abang ada kenalan."

"Kenalan apa, Mas? Dokter?"

"Tukang urut."

"Tukang urut?!"

"Deket dari sini. Kita benerin dulu tangan Neng Novi."

"Apa nggak bahaya, Mas?"

"Mau gimana lagi?!"

"Di mana, Mas?!"

"Di Senen."

Sarah terdiam sebentar, "Ya udah. Mas Danu sama Diva gimana?"

"Abang nggak tau neng. Neng Novi dulu aja. Nanti kita ke sini lagi!"

Sarah kini terdiam. Samar-samar, ia mulai merasakan sakit di badannya, goresan-goresan luka di wajah serta tangannya, dan rambutnya yang mulai keluar ke mana-mana dari kerudungnya. Setelah merapikan kerudungnya, ia memandang ke arah Novi. Novi setengah tersadar dengan keringat dingin, dan tangan kirinya mulai terlihat dihiasi warna biru sekaligus merah. Beberapa saat yang lalu, Novi kejang-kejang dan hiperventilasi. Kini ia begitu lemah dan tak berdaya.

Sarah memandang ke depan. Jaka disembunyikan kursi mobil, sedangkan Robi setengah disembunyikan. Sarah melihat Robi, dan menyadari banyak sobekan di bajunya. Ada sobekan besar di pinggangnya, dinodai warna merah. Ternyata sedari tadi, Robi memegang lukanya di situ. Mungkin karena puing-puing tadi. Meski terlihat parah, Robi terlihat tegar.

Sarah kemudian melihat dirinya sendiri. Ia dapat merasakan luka-luka kecil di wajah dan ujung jemarinya. Kuku kelingking kanannya hilang, dan ada luka besar menganga di lututnya. Ia baru merasakan pedih dari luka-lukanya ketika ia menyadari betul keberadaan mereka. Bajunya banyak sobek, dan sedikit dari perutnya ternyata terlihat sedari tadi oleh Jaka dan Robi. Tak ada yang membahas, atau sempat memerhatikan. Hanya Sarah. Ia berusaha menutupi, tetapi kancing yang seharusnya dapat menutupi perutnya sudah hilang dua. Setelah beberapa saat, Sarah menyerah dan membiarkan. Tak ada yang peduli, pikirnya.

Dan dalam perjalanan menuju Senen, dentuman-dentuman masih tersebar di mana-mana. Suara sayap hitam dan ledakan bom tidak dapat ditangkal oleh mobil yang kedap suara sekalipun. Sarah tak pernah dapat membiasakan dirinya untuk mendengar dua jenis suara itu, dan suara Diva di lapangan tadi. Ia memikirkan tentang Diva. Apa kabarnya? Apa ia baik-baik saja? Mas Danu ada di sana, pikir Sarah. Kita harus cari cara untuk dapat menghubungi mereka berdua, pikirnya lagi.

Sesaat, Sarah memikirkan kedua orangtuanya. Sedari tadi, Sarah tak tahu kabar mereka. Hanya saja, kini Sarah tahu, meskipun mungkin hanya sedikit saja, apa yang dirasakan oleh orangtuanya di Pekanbaru sana.


Betapa hatiku takkan pilu

Telah gugur pahlawanku

Betapa hatiku takkan sedih

Hamba ditinggal sendiri

Siapakah kini pelipur lara

Nan setia dan perwira

Siapakah kini pahlawan hati

Pembela bangsa sejati

Telah gugur pahlawanku

Tunai sudah janji bakti

Gugur satu tumbuh seribu

Tanah air jaya sakti

Gugur bungaku di taman bakti

Di ribaan pertiwi

Harum semerbak menambahkan sari

Tanah air jaya sakti⁵

[]


⁴ Satuan Radar Indonesia yang berada di Sukabumi, Jawa Barat.

⁵ Lagu "Gugur Bunga di Taman Bakti" karya Ismail Marzuki.

Continue Reading

You'll Also Like

6K 289 30
Di Cetak Berisi 152 halaman dengan enam catatan perjalanan :( mengenali diri sendiri, peran hidup & meningkatkan diri, bakat & mimpi, cinta, komunika...
70.3K 8.7K 24
Aku tidak buta warna. Aku tahu bagaimana indahnya pelangi. Aku pernah merasakan sinar matahari yang menyilaukan mata. Tapi sejak hari itu... mataku...
807K 134K 62
(Cerita ini akan kembali GRATIS pada 24 Juni 2024) Laras, seorang penulis underrated, menerima tawaran kerja sama dengan rumah produksi ternama demi...
8.7K 1K 16
SEBAGIAN PART CERITA INI DIHAPUS DEMI KEPENTINGAN PENERBITAN. *** Gue pikir, Caka sama saja dengan pelanggan lain yang datang buat protes, marah-mar...