MANTAN [Singto x Krist] (TAMA...

Por trimoindragunawan

146K 12.8K 1.4K

Gimana ceritanya kalau mantan harus tinggal seatap? - Krist bekerja pada Peng-ibunya Singto-untuk membersihka... Más

Si Pemalas
Meet Again
Pemuda Berseragam
Di Bawah Bintang
Aku, Kamu Dan Perasaan
Makan Siang Spesial
Dating With Reality
Kita
Damn You
Break
Morning You
You And Me With This Felling
Morning Kiss
Dia Anakku
Coming Out
Ektra Chapter | Wedding Scene
PROMOSI

Can I Fell Happy?

7.1K 674 104
Por trimoindragunawan

Jangan tanya di mana lukaku.
Meski tak terlihat mata, percayalah,
Sakitnya tak terkira.

oOo


Kelas hari ini berakhir. Pen dan Krist memutuskan bersantai sejenak di bawah pohon dekat pagar kampus seperti biasa. Sesekali Krist terlihat menghela napas berat sembari mengaduk milk ice pink kesukaannya.

Diam-diam, Pen memperhatikan teman seperjuangannya yang terlihat muram. Gurat wajahnya terlihat lelah bahkan kantung matanya menghitam.

“Krist, apa kau bergadang semalaman?” tanya Pen dengan mulut tersumpal potato chips.

Kening Krist berkerut seakan tidak mengerti dengan pertanyaan Pen barusan. Nyatanya, ia memang bergadang hampir semalaman, matanya baru bisa terpejam saat jam menunjukan pukul setengah empat pagi.

Pikirannya tidak tenang. Kalut. Perdebatannya dengan Singto terus berlalu lalang tak kenal waktu.

Singto bilang dia menyukainya tapi dia bilang lagi dia bukan gay. Krist heran sendiri kenapa pria itu begitu mudah mengeluarkan kata-kata yang bahkan dia sendiri tidak mengerti.

Untuk kesekian kali, embusan napas gusar meluncur bebas dari hidungnya.

“Hey, kenapa kau malah bengong?”

Lamunan Krist buyar ketika tangan Pen dikibas-kibaskan depan wajahnya, jiwanya yang sempat melayang ke antah berantah tadi dipaksa kembali tiba-tiba.

“Eh, apa?” tanya Krist dengan ekspresi cengo.

Kali ini Pen yang menghela napas mendapati ekpresi pria di hadapannya seperti barusaja kena hipnotis pinggir jalan.

“Aku bertanya, apa tadi malam kau bergadang? Lihatlah kantung matamu itu,” ulang Pen dengan nada yang sengaja ditekankan.

Hooh, semalaman aku tidak bisa tidur,” jujur Krist sambil bertopang dagu.

“Kamu ada masalah? Tidak biasanya kau seperti ini,” celetuk Pen menggeser bungkus potato chips-nya yang sudah habis lalu mengambil snack rumput laut dari kantung di sebelahnya.

Krist menghisap dalam-dalam oksigen di sekitar untuk mengembangkan paru-parunya yang terasa menciut. Sebelum suaranya terlontar, tangan Pen lebih dulu menahan penjelasan Krist.

Pria itu merogoh saku celananya mengeluarkan ponsel yang meraung sejak beberapa detik yang lalu.

“Mama telepon,” beritahu Pen sembari mengangkat rendah ponselnya.

Panggilan tak berlangsung lama. Pen menjawabnya dengan kata-kata pendek seperti biasa.

“Aku disuruh pulang awal. Hari ini pasar sangat ramai dia memintaku untuk membantu,” jelas Pen.

“Aku ikut. Lagipula sudah lama aku tidak bertemu dengan ibumu.”

“Tidak!” tegas Pen. “Kurasa kau tahu alasannya. Aku tidak mau terlihat seperti anak malang yang memperhatikan ibuku lebih mesra denganmu.”

Krist terkekeh. Pen selalu saja mengungkitnya.

“Sebagai gantinya, aku akan datang ke apartemen Singto nanti malam. Kau berhutang penjelasan padaku, bung,” celetuk Pen bersemangat.

“Oke. Aku tunggu,” desis Krist.

“Sampai nanti,” ucap Pen sambil melambaikan tangannya dan dibalas Krist melambaikan tangan juga.

Lengang, hanya semilir angin sore yang berlalu lalang seakan berusaha menyejukan hatinya. Sambil mengaduk milk ice pink-nya yang tinggal setengah. Lagi-lagi hanya bayang-bayang Singto yang memenuhi setiap inci kepalanya.

Krist kembali menghela napas kemudian dia beranjak. “Sebaiknya aku pulang saja,” desahnya.

***

Gun dan Em saling tukar pandang bingung menyaksikan Singto seperti orang kesurupan meneguk berbotol-botol minuman yang ada tanpa kenal ampun.

Em mencekal lengan Singto yang sudah beranjak untuk meraih botol lainnya “Hentikan, kau sudah menghabiskan dua botol,” ingat Em.

Singto hanya menyengir lepas kendali, bahkan matanya sudah separuh terpejam. Tangan Em dikibaskannya, dengan enteng ia kembali meneguk air bening kekuningan itu.

Dia stres. Mungkin seperti ini yang dulu Krist rasakan. Singto masih tidak bisa membayangkan kalau dia di posisi Krist terlebih dahulu, hingga hari ini sudah berapa ratus botol minuman sebagai pelampiasan perasaannya.

Singto tumbang tepat tegukan terakhir botol ketiga. Tubuhnya tak bergerak sama sekali seperti orang yang barusaja kehilangan nyawanya.

“Karena ini aku tidak mau pergi minum bersamanya dalam keadaan tertekan. Dia bisa menggila,” desis Gun menatap iba Singto yang terkulai.

“Tetapi, bagaimanapun dia teman kita. Setidaknya kita harus antar dia sebelum diusir pegawai bar,” balas Em berdesis prihatin.

Singto merancau tidak jelas. Langkahnya yang sempoyongan membuat kedua temannya sedikit kewalahan. Disaat seperti ini, entah kenapa berat tubuhnya terasa menjadi lima kali lipat.

Tepat di muka bar, langkah ketiganya berhenti menatap Pie yang barusaja keluar dari mobil berwarna hitam berkikat. Langkahnya dibuat seseksi mungkin, gaun ketat yang ia kenakan nyaris tersikap membuat Em dan Gun tak bisa berkedip.

Rambutnya yang sebahu sesekali diterbangkan angin yang berlalu memperjelas leher jenjang putihnya menambah nilai plus dimata mereka.

“Biar aku yang antar dia,” celetuknya membuat Em dan Gun gelalapan sejanak karena terkejut.

“Eh, oke,” turut mereka membawa Singto masuk dalam mobil Pie.

“Pastikan dia selamat. Singto akan sangat menyebalkan kalau dia mabuk,” ucap Em sambil tersenyum lebar.

Pie mengangguk, dengan anggunnya ia membalas tersenyum lalu beranjak dari sana.

“Lakukan sekarang,” perintah Pie pada seseorang di seberang telepon.

Bibirnya menyunggingkan senyuman miring. Dengan tatapan licik ia memandang tubuh Singto yang tak sadarkan diri di sebelahnya.

Ditambahnya kecepatan mobil, jalur yang diambil bukan jalan ke apartemen melainkan ... Hotel!

***

Apartemen sepi. Singto rupanya belum pulang. Diliriknya ponsel yang barusaja ia raih dari saku tetapi pria itu tidak menghubunginya ataupun mengirim pesan. Apa dia marah? Tidak. Seharusnya Krist yang marah saat ini karena terus-terusan ia mainkan, dan bodohnya Krist dia masih terus berharap akan cintanya yang sulit sekali memudar.

“Dia normal. Dia menyukai perempuan,” ingat Krist pada dirinya agar membuang jauh-jauh bayangan gila yang terlintas.

Baru juga ponselnya mau ia masukan kembali dalam saku celana, benda pipih itu sudah keburu berdering menampilkan nama Pen sebagai pemanggilnya.

“Ada apa?” Tanya Krist ogah-ogahan.

“Bisakah kau memberiku sambutan sedikit hangat,” decak Pen dari ujung telepon.

Mata Krist bergulir malas. “Halo Pen, ada apa?” ulangnya dengan nada yang terkesan dibuat-buat.

Pria diujung sana kembali berdecak. “Aku akan terlambat tiba di sana, pembeli hari ini benar-benar meledak. Aku janji akan membawakanmu ayam goreng nanti,” terangnya.

“Oke. Aku akan menunggu. Bawa dua box, aku sangat lapar,” tawar Krist.

Pen kembali berdecak, tetapi tidak protes. “Oke.”

***

Pie menghela napas, setelah susah payah akhirnya berhasil juga membaringkan Singto di ranjang super empuk ini. Sesaat, matanya menilik tubuh pria kebanggaanya tanpa menyisakan seinci pun.

Kemeja putihnya tersingkap, memperlihatkan perut berototnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus di bawah pusar, semakin ke bawah terhalang karet bokser merah yang ia kenakan.

“Aku akan menjelaskan padamu apa itu arti cinta,” desis Pie penuh kemenangan.

Ia merangkak, menautkan bibir Singto dengan bibirnya yang penuh gairah. Pie mulai melumat, meneroboskan lidahnya menyapu habis rongga mulut Singto.

Pemanasannya terhenti, pria itu terlihat mulai membuka mata. Samar-samar ia bisa melihat seseorang tengah menatapnya dengan senyuman lebar.

“Krist.” Batin Singto girang tanpa mampu menyuarakannya.

Wajah itu kembali mendekat, melumat bibir bawah Singto dengan buasnya. Singto masih separuh sadar, tetapi dengan senang hati membalas lumatan itu.

***

Krist barusaja selesai mandi ketika sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk dalam ponselnya.

Usapannya mengeringkan rambut terhenti, menatap foto dua orang tanpa busana tengah bergumul mesra. Jantungnya seakan meletup, aliran darahnya tak lagi berjalan normal.

Beberapa detik kemudian disusul dengan masuknya sebuah potongan video seorang pria yang mengerang di atas wanitanya.

Kakinya lemas, hampir saja ia ambruk kalau tidak lekas berpegangan pada sofa. Tanpa sadar, sudut matanya kembali berair menatap Singto yang sedang bercinta.

Saking terpukulnya, Krist bahkan tidak sadar kalau dua orang pria antah berantah sudah berdiri di hadapannya. Krist gelagapan, mundur beberapa langkah karena terkejut.

“Siapa kalian!” serunya dengan suara bergetar.

Dua pria itu tak menjawab malah saling lempar senyum yang terlihat mengerikan.

Pria yang bertubuh sedikit lebih pendek mendekat lebih dulu menyergap Krist yang masih tercengang. Ia meronta, berusaha memukul dengan sebelah tangannya yang lepas dari cekalan.

Sialnya, temannya mendekat lalu melayangkan pukulan tepat di ulu hatinya. Krist langsung terkulai merasakan nyeri yang nyaris membuatnya muntah.

Tanpa ampun, mereka menarik kembali Krist agar lekas berdiri membelai-belai pipinya sambil menyeringai.

“Siapa kalian!” pekiknya lagi.

“Kami orang yang akan memuaskanmu,” jawab pria yang kebih pendek dengan entengnya.

“Lepaskan aku. Pergi.” Krist kembali meronta. Sebagai hadiah, sebuah pukulan telak mengenai wajahnya.

Krist telempar. Tubuhnya menghantam meja dengan berbagai hiasannya. Ia merintih, kali ini rasa nyerinya sudah merata ke seluruh tubuh.

“Tolong ...!” teriak Krist sekuat yang ia bisa kemudian hening setelah salah satu dari mereka menghantamkan patung keramik berbentuk ayam tepat di kepalanya.

Krist tak sadarkan diri, darah segar langsung mengalir cepat dari kening.

Bukannya merasa bersalah, kedua pria itu malah semakin beruntal melucuti pakaian Krist. Pandangannya bringas, menatap betapa mulusnya tubuh di hadapan mereka.

Pria yang lebih tinggi hendak melepaskan ikat pinggangnya, lalu terjungkal dihantam sebuah tendangan tiba-tiba di punggung.

Ohm beridiri di sana dengan murka bersama Pen yang membatu di tempatnya melihat keadaan Krist yang menyayat hati.

Pria yang lebih pendek menyerang. Dengan sigapnya kaki panjang Ohm kembali melayang menghantam tulang pipi.

Mereka menatap satu sama lain, lalu merangkak keluar dan lari kocar-kacir.

“Krist ...!” teriak Pen. Kantung berisi box ayam gorengnya jatuh begitu saja. “Kita harus membawa dia ke rumah sakit.” Panik Pen memapah sahabatnya.

Dengan tangkas Ohm langsung membopong Krist, bergerak secepat yang ia bisa sebelum semuanya terlambat.

Jika kalian bertanya apakah aku bisa bahagia? Jawabannya tidak. Pada akhirnya hanya sial dan kesedihan yang mengurung kehidupanku.

***




Oke. Jangan protes kenapa adegan naena-nya enggak detail. Pertama, saya mahluk tuhan paling volos yang enggak ngerti begituan 😂😂 pengalaman tidak lebih dari video 3gp enggak bisa kasih refrensi 💦

Jadi, kalian teruskan aja sendiri adegannya gimana enaknya ye. Gaya apa dan berapa jam baru kelar 😂

Kedua, itu yang naena Pie pemirsah. Dan saya enggak mau buat dia semakin seneng. Cepika cepiki saja sudah cukup keknya ye.

Intinya, ini chap paling argh buat saya. Jujur, saya enggak bisa buat yang nc. Kalau ada kursus nc bilang ye barangkali bisa belajar (LOL) 😂😂

Salam manis,
Dky_L

Seguir leyendo

También te gustarán

41.4K 1.5K 17
Disini diceritakan kisah ayon sebagai ketos yang dijodohkan dengan ledib si cuteboy Gimana kisahnya ya? Kalau penasaran baca aja Kalau gak suka yaud...
1.3K 71 39
cerita ini dari akun pertamaku, yang gk bisa aku login kembali. Jadi, aku tulis ulang di sini. dan juga semua cerita yang aku buat, aku salin semuan...
455K 45.9K 37
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
225K 33.8K 61
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...