It's All a Lie

By Sandraloli

24 11 2

[ROMANCE - DARK FANTASY] Seorang gadis yang dapat membunuh dan menghidupkan makhluk hidup hanya dengan satu s... More

Bab 2
Bab 3

Bab 1

12 3 1
By Sandraloli

Matahari mulai menyingsing dengan terik, tanda pagi telah terbit. Langit yang tampak gelap menjadi sangat cerah, diselingi oleh awan yang ikut bersapa ria. Itulah apa yang dianggap oleh semua orang, kecuali seorang gadis yang masih berada di atas ranjang tidurnya. Gadis itu menggeliat dengan gelisah, ia mengerang kecil disetiap geliatannya. Diiringi dengan suara dentingan dari rantai-rantai yang bersentuhan mengikuti gerak tangan dan kakinya. Bulir-bulir peluh mengalir dengan deras pada dahinya yang bekernyit.

Sang gadis terbangun dari mimpi buruknya dengan napas terengah - engah. Ia menggunakan tangan kanannya yang tertahan oleh borgol rantai, untuk menahan kepalanya yang terasa sangat berat seraya mengatur deru napasnya. Aileen, gadis yang selalu ditemani oleh mimpi buruk disetiap malamnya. Mimpi yang sama, yaitu, dibunuh, disiksa, dikuliti, dibunuh hidup-hidup dan semua penyiksaan lainnya. Dunia nyatanya maupun dunia mimpinya sama, penuh siksaan. Mimpinya pun kali ini dipenuhi oleh siksaan yang sangat menyakitkan.

Tubuhnya diikat di atas sebuah papan datar, tepat di atas dahinya terdapat sebuah timba. Ember itu berisi air yang terus-menerus menetes dari lubang kecil di tengahnya. Kakinya disirami dengan air garam, agar dijilati oleh seekor kambing dengan rakus. Aileen tahu penyebab dari semua ini, karena, dia adalah monster. Dan semua itu bermula pada saat itu.

***

"Ayah, Ibu, Aileen pergi bersama dengan teman Aileen yang lain, ya?" tanya Aileen kecil.

Ibunya dari dalam datang menghampiri Aileen. Ia mengelus pelan rambut anak satu-satunya itu. "Iya sayang, jangan terlalu larut. Nanti saat Ayahmu pulang melihat kamu tidak ada, ia akan marah besar." jawab Ibunya lembut.

"Iya, Ibu. Aku sayang Ibu."

Aileen mengecup pipi Ibunya, lalu pergi menghampiri temannya yang sedang menunggunya di luar pekarangan rumah milik Aileen. Sebelum ia pergi dengan temannya, Aileen selalu menyempatkan diri untuk melihat tamannya. Taman bunga yang Aileen buat bersama dengan Ibunya seminggu yang lalu. Digarap dengan sangat rapih dan teratur, lalu menanamkan bibit bunga matahari di dalam tanahnya. Aileen selalu menyiram tamannya setiap hari. Saat pagi maupun malam, tanpa terlambat sedikitpun.

Aileen melihat tunas kecil yang keluar dari tanah, lalu tersenyum senang. Ia menyentuh pelan kuncup tanamannya dengan hati-hati. "Cepatlah mekar, bunga. Agar Ibu bisa menikmati keindahan dirimu," bisik Aileen. "Aku pergi dulu, Ibu!"

Aileen berjalan dengan cepat menghampiri teman - temannya dengan riang. Ibunya hanya melambai-lambaikan tangannya, dan tersenyum melihat kepergian putri semata wayangnya. Ekspresi wajahnya berubah dengan cepat. Ia memandang taman yang baru saja dihampiri oleh anaknya. Kuncup tanaman yang baru setinggi dua sentimeter, langsung meninggi dengan cepat. Tanamannya tumbuh lebih cepat sejak disentuh oleh anaknya. Tanaman kecil yang masih berbentuk pucuk, dalam jangka waktu satu menit, menjadi tanaman dewasa dengan bunga matahari besar terpampang.

Ibunya berjalan dengan langkah lebarnya masuk ke dalam rumah. Ia berjalan ke dalam dapur lalu mengambil pisau dapur miliknya. Dia berjalan ke taman milik anaknya itu, lalu memangkas bagian-bagian dari sang tanaman. Ibunya mengambil tunas mungil cadangannya yang berada di gudang milik keluarganya. Dicabutnya dengan perlahan akar-akar tanaman sebelumnya lalu menggantinya dengan tunas mungil baru.

Ibunya menyeka peluh yang keluar dari dahinya dengan punggung tangannya, ia meletakkan kembali alat berkebun miliknya. Tanaman yang baru saja ia pangkas. Dibawa masuk ke dalam rumah, lalu dilempar ke dalam perapian rumah mereka yang masih menyala. Tanaman itu terbakar dengan perlahan, dengan warna hijau yang sangat subur, sekarang berubah menjadi abu.

Ia menatap perapiannya dengan tatapan yang sulit dimengerti. Terlihat seperti dingin tetapi juga terlihat sedih. Anak satu-satunya memiliki kekuatan aneh seperti ini. Tidak ada yang boleh mengetahui tentang hal ini. Bahkan, Aileen sendiri tidak pernah menyadari apa yang telah ia perbuat. Tentu saja itu karena Ibunya yang selalu menutupi semua hal-hal aneh itu.

"Ada apa?"

Sang Ibu menoleh ke arah sumber suara dengan kaget. Tangannya bergerak dengan kalut, Ibunya melihat kembali perapiannya. Ia menghela napasnya dengan berat. Sekarang ia yakin, ingin menyampaikan pikirannya yang terus - menerus terngiang di dalam benaknya.

"Sayang, aku rasa kita harus memberi tahu kenyataan yang ada pada saat ini. Aileen, anak kita, ia harus di beri peringatan agar tidak menyentuh sesuatu dengan sembarangan." jawab Ibunya.

Suaminya melihat ke arah tatapan istrinya lihat. Dari dalam perapian masih terlihat sisa - sisa dari batang tanaman yang masih belum terbakar dengan sempurna. "Kurasa memang itu jalan yang terbaik. Sebelum, para tetua dan tetangga lain mengetahui ada yang aneh dair Aileen."

Wajah yang terlihat tegas dan berwibawa itu tersenyum sedih. Mengapa harus anaknya yang harus mengalami keanehan itu. Kenapa harus Aileen? Itu yang ada di benaknya. Pilihan yang tepat untuk saat ini adalah melarang anaknya untuk bertindak ceroboh. Sebelum para tetua menuduh anaknya adalah seorang penyihir ataupun setan yang merasuki dirinya.

Sedangkan itu, di lain tempat, Aileen sedang bersama dengan teman - temannya bermain dengan riang. Mereka bermain bersama disebuah padang rumput dengan bunga - bunga yang bermekaran di sekitarnya. Disetiap jalan yang dipijaki Aileen selalu tumbuh tunas - tunas kecil, tanpa disadari Aileen. Bermain kejar - kejaran dengan temannya adalah salah satu permainan yang terbaik saat bersama. Dengan yang lain berlari ada yang mengejar, merupakan saat - saat kebersamaan yang sangat indah.

"Teman - teman, aku lelah," Aileen dengan napas yang tersengal - sengal, mengangkat tangannya dengan tinggi. Ia ingin beristirahat sejenak, Aileen selalu mendapatkan giliran mengejar teman - temannya karena ia selalu kalah dalam hal taruhan. Sebelum ia dapat menangkap salah satunya, ia akan terus menjadi penjaga.

"Baiklah, aku juga lelah berlari ke sana kemari. Aileen lambat sekali." jawab Lily, salah satu teman baik Aileen.

Aileen masih menyentuh kedua lutut dengan tangannya, berusaha untuk mengatur napasnya yang tidak karuan. "A-aku ini tidak sekuat kalian tahu." jawabnya.

"Iya, kami tahu. Aileen kami memang sangat lemah." Lily tersenyum meledek ke arah Aileen.

"Aku tidak lemah!"

Aileen mengerucutkan bibirnya dengan sebal. Teman - temannya mengajak Aileen untuk duduk di bawah pohon yang lumayan besar, untuk berteduh dari bawah sinar matahari. Mereka berusaha menghibur Aileen yang masih saja kesal dengan ledekannya. Tanpa Aileen sadari, sepasang menatapnya dengan teduh. Sang pemilik mata, menggeserkan tubuhnya dari tempat ia duduki untuk mendekati Aileen.

"Sudah, Aileen. Maafkan lah mereka dan berhentilah mengerucutkan bibirmu. Karena, saat tersenyum, kau sangat cantik."

Thomas, laki - laki yang menyukai Aileen. Ia jarang mengeluarkan suaranya, irit kata. Ketika bermain, ia hanya tersenyum manis kepada semua temannya. Aileen dan lainnya pun tanpa sadar, mengerti apa yang Thomas maksud maupun ingin ia sampaikan, meskipun ia tidak berbicara.

Aileen menoleh ke arah Thomas. Pipinya bersemu merah, mendengar apa yang diucapkan olehnya. Memang Thomas adalah laki - laki yang sangat baik. Tidak hanya baik, ia pun murah senyum dan senang menolong teman - temannya yang sedang dalam kesulitan. Thomas pernah mengaku pada Aileen, kalau ia menyukainya. Aileen juga menyukainya, tetapi mereka tidak menjalin hubungan seperti sepasang kekasih. Mereka masih menikmati masa - masa muda bersama dengan teman - teman lainnya. Aileen dan Thomas tidak ingin menimbulkan rasa canggung kepada teman yang lain bila mereka adalah sepasang kekasih.

"Iya, aku sudah tidak apa-apa," jawab Aileen tersenyum manis. "ini sudah terlalu larut, teman - teman. Bagaimana kalau kita kembali saja?"

Temannya yang lain menyetujuinya. Memang sebenarnya, saat ini sudah larut malam. Pukul lima sore. Anak - anak dilarang untuk keluar pada saat malam. Terutama untuk seorang perempuan, itu adalah hal yang paling tabu. Mereka bisa saja dicap sebagai perempuan yang nakal. Tentunya saat ini, Aileen dan teman - temannya sudah berumur tujuh belas tahun. Umur yang terbilang cukup matang untuk dinikahkan. Namun tetap saja, mereka masih terlihat polos seperti anak kecil yang lainnya.

Aileen berjalan pulang dengan sedikit cepat, ia melupakan perkataan Ibunya untuk kembali lebih awal. Tetapi, ada sesuatu yang mengalihkan perhatiannya. Bunga tulip yang tampak mulai mengering, terpampang jelas disekitarnya. Disempatkannya ia berhenti di taman, disentuhnya sejenak kelopak bunga yang terlihat sangat rapuh itu.

"Bunga yang malang, kuharap dengan air ini kau dapat tumbuh dengan subur kembali," jawabnya termenung.

Aileen membuka kotak bekalnya dan sedikit menuang air minumnya ke atas bunga yang baru saja disentuhnya. Merasa tanah disekitar bunga sudah lembab, ia kembali menutup botol minumnya lalu bergegas pulang untuk berkumpul kembali bersama orangtuanya. Sebelum ayahnya menceramahi dirinya, mengapa ia pulang sangat terlambat.

"Ayah, Ibu, aku kembali." sapa Aileen.

Ayah dengan wajah sengitnya sudah menatap dari ruang makan dengan duduk ditempat biasanya. Sedangkan Ibu, ia sedang menyiapkan makan malam untuk Aileen dan Suaminya. "Mengapa kau pulang sangat terlambat?"

"Uh, aku sudah pulang sedikit lebih awal, tetapi karena satu dua hal. Aileen jadi pulang sangat terlambat." balas Aileen.

Ayah Aileen memang sangat pemarah dan terlalu protektif dari dulu, berbanding terbalik dengan Ibunya yang sangat ramah dan sabar. Meskipun Ayahnya pemarah, ia tidak pernah bermain tangan dengan Aileen maupun Istrinya. Dia hanya marah dan berkata sedikit kasar, tetapi Ayahnya termasuk ke dalam kategori suami idaman.

"Memangnya ada apa, sayang? Bukankah Ibu sudah memberitahu dirimu untuk pulang lebih awal?" jawab Ibunya dengan lembut.

Aileen tampak menimbang - nimbang keputusannya, apakah ia harus memberitahukan orang tuanya. Ia takut orangtuanya akan semakin marah, setelah mendengarkan alasannya yang tidak jelas.

"Tidak apa - apa, sayang. Katakanlah."

"Itu, aku ... aku terlalu lama berada di taman bunga, karena melihat ada setangkai bunga tulip yang hampir mati. Jadi, aku menyiramnya saat itu jg." jawabnya hampir terisak.

Ayahnya masih menatap dingin anaknya. Ia paling tidak suka dengan anak yang tidak bertanggung jawab. Terlebih anak yang tidak menepati apa yang telah ia katakan. Setelah Aileen, mengatakan alasannya, raut wajah Ayahnya berubah. Dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Dahinya berkerut seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Apa ada seseorang bersamamu saat itu?" tanya Ayah.

Aileen mencoba mengingat keadaan saat ia berada di Taman bunga tadi, "Tidak ada siapapun, Ayah." jawab Aileen yakin.

"Jangan pernah kau berharap ataupun menyentuh sesuatu sembarangan, Aileen. Ingat kata - kata Ayah."

Ayahnya menekan setiap kalimat yang ia keluarkan. Ia berharap, anak semata wayangnya dapat mengerti apa yang dimaksudnya. Sang Ayah menoleh kepada Istrinya, untuk memberi penjelasan lebih pada anaknya. Ibunya dengan sedikit kalut, datang mendekati Aileen.

"Aileen sayang, kau memiliki sesuatu yang sangat spesial pada dirimu sayang." jelas Ibunya dengan penuh pengertian.

"Apa itu, Ibu?"

Aileen terheran-heran, ada apa gerangan dengan kedua orang tuanya. Mereka bersikap tidak seperti biasanya. Ia tahu kalau, ini adalah kesalahan dirinya karena terlambat pulang ke rumah. Tetapi Aileen tidak tahu, mengapa ia tidak boleh mengharapkan sesuatu, bahkan menyentuhnya.

"Ketika Aileen berharap sesuatu pada makhluk hidup, terlebih pada makhluk hidup yang sudah ingin tertidur lelap. Makhluk hidup tersebut akan mengikuti apa yang kau harapkan, sayang,"

"Mengapa bisa seperti itu, Ibu?" tanya Aileen yang masih kebingungan.

"Kau memiliki kekuatan seorang Malaikat, sayang. Itu adalah karunia terbesar untukmu, nak. Berhati - hati lah dalam bertindak sayang,"

Ibunya menoleh menatap anaknya, tersenyum sedih. "Tidak peduli apapun itu, Ayah dan Ibu akan selalu berada dipihakmu. Jadi, Ayah dan Ibu berharap, kau dapat memenuhi permintaan kami."

Aileen mengerutkan kedua alisnya. Ia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Ibunya. 'Mengapa Ibu menatapku dengan seperti itu?' Pertanyaan yang saat ini ada dibenaknya.

"Ibu mohon agar jangan berharap. Jangan pedulikan apapun itu. Saat itu, kau akan sangat bersyukur telah mendengarkan kata - kata Ibu. Kami sangat menyayangimu sayang."

Sang Ibu memeluk Aileen dengan sedikit erat. "Aku mengerti, Ibu. Aku tidak akan berharap apapun, aku akan mengikuti perkataan Ayah dan Ibu."

Isak tangis yang berusaha Ibunya tahan, akhirnya membuncah keluar setelah Aileen berkata itu. Ini bukan keinginannya, tetapi ia harus memaksa Aileen untuk mengikutinya. Dia tidak ingin anaknya sengsara ataupun berakhir tragis pada tangan para petinggi. Ibunya sendiri tidak ingin kebebasan yang dimiliki anaknya dikekang oleh mereka. Tapi apa daya, mereka harus melakukannya.

Ayahnya menekuk sedikit bibirnya ke atas, melihat anak semata wayangnya sangat penurut. Andai semua ini bertahan sampai selamanya. Tanpa perlu mengkhawatirkan hal yang tidak masuk akal itu.

"Jadi hari ini, Ibu memasak apa?" tanya Aileen ceria.

"Hmm ... Ibu membuat makanan favoritmu. Ratatouille."

"Wah! Aku tidak sabar lagi, Ibu!"

Matanya menatap dingin anak perempuannya, sang ayah tidak lagi menunjukkan senyum yang sebelumya tercetak pada wajahnya. Ditatapnya pula sebuah piring yang diletakkan di depannya. Tentu saja itu tidak akan mungkin terjadi. Karena sekecil apapun rahasia yang disimpan, akan ada saatnya untuk terbongkar.

***

"Ini sudah larut, sayang. Sebaiknya kau kembali ke tempat -"

Baru saja sang Ibu ingin memberitahu Aileen untuk masuk ke kamarnya, gemirisik dari ladang di luar rumahnya terdengar sangat mengganggu telinga mereka. Ibu Aileen yang sebelumnya masih kebingungan, seketika sadar akan maksud dari suara itu.

"Ayah! Para serigala kembali mengacaukan ladang kita!" teriak Ibu Aileen dengan panik, seraya berlari kembali ke kamar miliknya.

Aileen yang melihat Ibunya dalam keadaan panik pun ikut merasakannya. Ia tidak masuk ke dalam kamarnya sesuai yang diberitahu ibunya, justru ia berlari keluar rumah. Aileen merasa tidak tenang. Jika para serigala berulah dan mereka gagal panen, itu akan memperburuk keuangan mereka untuk sehari - hari.

Sekelompok serigala mulai memporak - porakkan ladang mereka. Aileen melihat dengan mata kepalanya sendiri. Bagaimana ladang mereka hancur berantakan, dan bagaimana seluruh mata merah yang menatapnya seperti sedang tersenyum licik. Didekat ladang mereka, ada sebuah taman kecil yang selalu dirawat Aileen dengan penuh kasih sayang. Dan sekarang, hancur lebur oleh satu serigala.

Aileen terpaku melihat semua itu. Hatinya seperti tersayat - sayat, tubuhnya berdiri kaku menatapnya. Rasanya seluruh otaknya tidak dapat berpikir dengan jernih, tangannya mengepal dengan kencang sampai telapak tangannya meneteskan darah. Kuku Aileen tertancap dalam pada telapak tangannya. Ia berjalan dengan pelan, mendekati serigala yang saat ini masih menginjaki taman miliknya. Para serigala itu seperti menyadari aura yang berasal dari Aileen, langsung menunduk. Mereka mengaing ketakutan, seperti melihat sesuatu yang lebih kuat dibandingkan pemimpin kawanannya.

Aileen mengulurkan tangannya ke leher serigala, yang masih menundukkan badannya di atas taman milik Aileen. Tangan kecil miliknya menyentuh dahi serigala itu dengan pelan. Matanya menatap serigala yang sangat ketakutan itu dengan dingin.

"Hancurlah," perintahnya pelan.

Mulai dari ekor sang serigala yang mulai membengkak, dan timbul gembungan berwarna merah darah. Seperti sebuah sel yang terus berkembangbiak dengan cepat, itu yang terjadi pada sang serigala. Pembengkakan berjalan dengan cepat, mulai mencapai kepala serigala yang masih disentuh oleh Aileen. Tepat sebelum menyentuh tangan mungil Aileen, ia menarik tangannya lalu berjalan mundur sedikit. Sang serigala terus mengaing dengan sangat kencang, sampai akhirnya berhenti. Tubuhnya hancur lebur seperti yang terjadi pada ladang mereka. Darahnya bercipratan kesegala arah. Wajah Aileen pun tak luput dari percikannya.

"Aah ... hancur." gumam Aileen dengan berirama senang.

Aileen bersenandung, sembari menyaksikan pertunjukkan yang ia buat sendiri. Tidak ada tersisa apapun dari seigala yang meledak itu. Bahkan tidak ada sehelai bulu pun. Aileen mengepalkan tangannya sekali lagi, pundaknya bergemetaran dengan hebat. Darahnya yang mulai mengering pada telapak tangannya, kini mulai terbuka lagi. Dengan darahnya yang masih mengalir pada kedua tangannya, ia menyentuh pipinya pelan.

"Apa ini ... apa yang telah ku perbuat," lirihnya.

Aileen tidak dapat berpikir jernih, jiwanya seperti terombang - ambing layaknya lautan yang tidak pernah diam. Angin malam yang dingin, dan para pohon yang berada disekitarnya menjadi saksi mati atas kejadian yang baru saja terjadi. Aileen terus bergumam dengan sangat pelan, suara yang hanya bisa ia dengan sendiri.

"Aku tidak percaya ini."

"Mengapa ..."

"Mengapa aku bisa merasa sangat lega dan sesenang ini?"

Continue Reading

You'll Also Like

990K 106K 63
(๐’๐ž๐ซ๐ข๐ž๐ฌ ๐“๐ซ๐š๐ง๐ฌ๐ฆ๐ข๐ ๐ซ๐š๐ฌ๐ข ๐Ÿ’) โš  (PART KE ACAK!) ๐˜Š๐˜ฐ๐˜ท๐˜ฆ๐˜ณ ๐˜ฃ๐˜บ ๐˜ธ๐˜ช๐˜ฅ๐˜บ๐˜ข๐˜ธ๐˜ข๐˜ต๐˜ช0506 า“แดสŸสŸแดแดก แด…แด€สœแดœสŸแดœ แด€แด‹แดœษด แด˜แดแด›แด€ ษชษดษช แดœษดแด›แดœแด‹ แดแด‡ษดแด…แดœแด‹แดœษดษข แดŠแด€...
2.9M 226K 44
Kalisa sungguh tidak mengerti, seingatnya dia sedang merebahkan tubuhnya usai asam lambung menyerang. Namun ketika di pagi hari dia membuka mata, buk...
223K 11.4K 32
"eh masak mati sih cuman kesedak jajan belum ketemu ayang yoongi elah" batin Aileen. Bukannya ke alam baka menemui kedua orang tuanya Aileen memasu...
1.3M 128K 48
Di novel 'Kisah Naqila', Nathaniel Varendra adalah sosok antagonis paling kejam. Ia bahkan tak segan membunuh seseorang yang dianggap mengusik ketena...