MAHKOTA KERTAS [tamat]

By fatayaable

28.5K 4.3K 2K

Hai, Pembaca. Perkenalkan namaku Sabrina. Sekarang aku kelas XI di SMA Arcapella. Ya... hidupku biasa saja. A... More

PROLOG
SATU
DUA (a)
DUA (b)
TIGA
EMPAT
PERKENALAN
LIMA
ENAM
TUJUH
DELAPAN
SEMBILAN
SEPULUH
SEBELAS
DUA BELAS
TIGA BELAS
LIMA BELAS
ENAM BELAS
TUJUH BELAS
DELAPAN BELAS
SEMBILAN BELAS
DUA PULUH
Trailer
DUA PULUH SATU
DUA PULUH DUA
DUA PULUH TIGA
DUA PULUH EMPAT
DUA PULUH LIMA
DUA PULUH ENAM
DUA PULUH TUJUH
DUA PULUH DELAPAN
EPILOG

EMPAT BELAS

492 92 15
By fatayaable

"Bri...," teriakan Sadam dari ruang keluar tamu melengking sampai ruang makan. Aku yang tengah membantu Tante Gina menyiapkan makan siang hampir saja menumpahkan air saat menuang ke dalam gelas. "Hape lo nih geter mulu dari tadi. Ganggu gue tidur aja."

Aku mendesah. Rupanya dia tertidur sedari tadi. Pantas saja suasana rumah hening sekali. Hanya ada suara alat masak yang saling beradu sedari tadi.

"Siapa, Dam?"

"Aduh, Bri. Gue enggak bisa melek. Lo lihat aja sendiri. Gue enggak bisa gerak ini."

Aku meletakkan gelas terakhir di sisi piring yang kosong, lalu menuju ruang tamu. Kini aku sedang berada di rumah Sadam. Belajar kelompok tentunya adalah alasan klise yang kugunakan untuk menghindari suasana rumah yang semakin kelam. Aku penat terlalu lama di sana. Melihat sikap dingin Mama dan mendapatkan tatapan tak mengenakkan dari Mia hanya ingin membuatku menangis.

Maka, inilah yang menjadi tempat pelarianku, selain sekolah. Tante Gina tentunya menerimaku dengan tangan terbuka. Entah apa yang dikatakan Sadam kepada ibunya perihal diriku setelah kejadian beberapa hari yang lalu. Aku hanya butuh sosok ibu saat ini.

Kuambil ponsel di meja dan duduk di sofa tepat di sisi kiri Sadam. Dia benar-benar tertidur. Kebiasaannya tidak pernah berubah. Sesaat keningku mengernyit melihat nomor yang tak dikenal tertera di layar. Dengan ragu, aku menjawab teleponnya, "Ha-halo."

"Halo. Apa bener ini nomernya Sabrina?"

"Iya, ini Sabrina. Ini siapa, ya?"

Terdengar tawa renyah dari seberang sana. "Aku kira kamu ngasih nomer orang lain ke aku."

Kerutan di keningku semakin dalam. "Siapa, sih?" Suaraku semakin terdengar ketus.

"Sorry, Bri. Ini aku, Adera. Masih inget, kan?"

Aku mengembuskan napas lega. "Ohh, Kak Dera. Kukira tadi siapa. Maaf aku enggak ngenalin suara Kakak." Aku melirik ke arah Sadam. Takut dia terganggu. "Hmm, sebentar ya, Kak." Aku hendak bangkit untuk keluar, tapi jemari Sadam tiba-tiba menggenggam tangan kananku.

"Sadam, lepasin gue," kataku ketika ponsel sudah kujauhkan dari telinga.

Dan yang terjadi selanjutnya adalah Sadam mengeratkan genggamannya. Aku mendesah. Tumben sekali Sadam seperti ini.

"Kak, maaf ya. Nanti kuhubungi lagi."

"O iya, Bri. Aku cuma mau ngajak ngajar bareng anak-anak besok. Kebetulan besok itu komunitasku ngadain event membaca dongeng. Kamu bisa enggak?"

"Besok, ya? Hmm," mataku melihat sekilas ke arah Sadam, "nanti malam aku kabarin deh, Kak." Tanpa menunggu lama, aku langsung mematikan ponsel. Urusan meminta maaf kepada Adera nanti malam saja. "Lo kenapa, Dam? Enggak biasanya lo kayak gini."

Sadam tak menjawab. Tapi aku yakin dia mendengarnya.

"Dam, tadi Kak Dera ngajakin ke acara membaca dongeng. Gue ikut, ya!"

"Dera siapa?" tanya Sadam masih dengan mata terpejam.

"O iya. Gue belum cerita soal itu. Sorry." Aku duduk bersandar dan aku mulai menceritakan pertemuanku dengan Adera.

Sadam membuka matanya ketika aku usai bercerita. Raut wajahnya tak bisa kubaca. Tebakanku sepertinya ada sisi tak suka ketika dia mendengar nama Adera disebut. Tapi, kenapa? Apa dia cemburu?

Kuhela napas. "Jadi, apa gue boleh nerima ajakan Kak Dera?"

"Selama kegiatannya itu positif dan bikin lo seneng, ikutan aja."

"Asyik. Thanks, Dam." Senyumku mengembang sambil menepuk-nepuk tangannya. "Eh, tapi lo enggak cemburu, kan?"

Sadam terdiam. Aku sengaja memancingnya agar dia tidak merasa ditinggalkan ketika nanti aku sibuk mengikuti acara tersebut.

"Lo mau gue jujur apa enggak?"

"Enggak! Soalnya kalau lo jujur, gue pasti enggak dibolehin dateng."

"Sok tahu! Lo boleh dateng, kok. Asal sama gue datengnya."

Kupasang wajah datar. "Bilang aja lo enggak mau gue tinggalin."

Sadam mengacak-acak rambutku. "Anak pintar."

Tanduk di kepalaku sudah siap untuk keluar ketika ponselku kembali bergetar. Aku langsung melihat layar ponsel; Ayah. Segera saja aku mengangkatnya karena belakangan ini Ayah terlihat tidak sehat. "Assalamuallaikum, Ayah. Ada apa telepon Bri? Ayah butuh sesuatu? Nanti Bri beliin. Atau Ayah mau Bri pulang sekarang? Bri langsung pulang kok, Yah."

Aku terus saja berbicara tanpa henti. Aku sungguh khawatir dengan kondisi Ayah. Dan selama berbicara tadi, mataku dan mata Sadam saling berpandangan.

"Sabrina, ngomongnya kok cepet banget? Ayah sampe pusing dengernya."

"Maafin Bri deh, Yah. Soalnya Bri takut Ayah kenapa-napa. Ayah kan lagi sakit."

Terdengar helaan napas berat Ayah. "Ayah enggak apa-apa, Nak. Kamu tenang aja."

"Terus?"

"Gini. Apa kamu bisa ke kafe yang deket sekolahmu sekarang? Ada yang pengin Ayah sampein ke kamu."

Alisku bertaut. Pandanganku mengarah ke sembarang arah. Pasti ada sesuatu yang sangat penting. "Oh. Oke. Bri ke sana sekarang."

Setelah ponsel kumatikan, kulihat Sadam. Cowok itu sepertinya tengah menunggu penjelasan dariku. Kuacak-acak rambutnya, lalu berkata, "Anak pintar, gue balik dulu, ya.

***

Kami memasuki kafe Ice Cream selang setengah jam setelah makan siang di rumah Sadam. Iya, kami. Aku dan Sadam. Tadi cowok itu memaksa untuk ikut setelah kubilang akan bertemu dengan Ayah di kafe ini.

Aku mengedarkan pandangan ke seantero kafe, mencari Ayah. Beberapa saat kemudian, aku melihat Ayah berjalan dari arah toilet. Wajahnya begitu pucat. Aku langsung saja menghampirinya.

"Ayah!" Aku memeluknya, lalu membantunya berjalan. Aku duduk tepat di sebelah Ayah, sedangkan Sadam tengah membeli minuman. Kedua tanganku tak lepas menggenggam jemari Ayah. "Ayah enggak apa-apa, kan? Kenapa enggak istirahat di rumah aja, sih?"

Ayah tersenyum. "Ayah enggak apa-apa, Bri. Kamu tenang aja, ya."

Aku menggeleng cepat. "Enggak. Ayah tuh pucet banget. Ayah harus istirahat total di rumah. Apa kita ke dokter aja? Ayo ke dokter aja, Yah." Aku melihat ke arah Sadam sekilas yang meletakkan tiga gelas air jeruk dingin di meja. Lalu, aku melihat ke arah Ayah lagi. "Ayolah, Yah. Aku enggak mau Ayah kenapa-napa."

"Kamu segitu sayangnya sama Ayah, ya?"

Pertanyaan Ayah membuatku terdiam. Hatiku mencelus ketika aku menyadari siapa sebenarnya diriku. Miris sekali hidupku. Lalu, aku tersenyum tipis. "Ayah ngomong apa, sih? Ya jelaslah Bri sayang sama Ayah. Sayang banget malah."

"Terima kasih, Nak, udah hadir dalam hidup Ayah."

Aku terhenyak. Mataku pun mulai basah. "Ayah...."

"Ayah minta maaf udah nyembunyiin kebenaran ini selama bertahun-tahun."

Air mataku menetes. Aku memeluk Ayah dari samping. Pandanganku terarah kepada Sadam. Dia menatap lurus ke arahku. "Ayah enggak usah minta maaf. Bri malah mau berterima kasih sama keluarga ini. Terutama sama Ayah. Makasih, Yah, udah ngerawat Bri dari kecil." Aku melonggarkan pelukanku dan menatap Ayah. "Rasa sayang yang Ayah kasih ke aku udah banyak banget."

Ayah tersenyum. "Sabrina," panggilnya.

"Iya, Yah."

Ayah menoleh ke arah Sadam. "Sadam."

"Iya, Om."

"Om titip Sabrina sama kamu, ya. Tolong jagain dia."

Sadam mengangguk. "Pasti, Om."

Keningku mengernyit. "Maksud Ayah?" Apa mungkin aku akan diusir dari rumah? Pikiranku mulai kacau.

"Ayah enggak tahu apa yang akan terjadi nantinya. Tapi Ayah akan tetap mempertahankanmu, Bri. Itu janji Ayah kepada ibumu."

"Ibu?"

"Iya. Dulu kami bersahabat. Namanya Shania. Dia adalah satu-satunya gadis yang berhasil membuat Ayah jatuh cinta." Ayah tersenyum. "Bukan hanya dari kata-kata lembut yang setiap hari Ayah dengar, tapi juga dari sikap dan perilakunya." Ayah meremas jemariku. "Ibumu sangat baik kepada semua orang, Bri."

"Terus Ibu sekarang di mana?" tanyaku.

"Kamu inget cerita tentang cinta pertama Ayah?"

Aku berpikir sejenak. "Yang waktu di mobil, Yah?"

Ayah mengangguk.

Aku menyandarkan punggung ke bantalan sofa. "Jadi, aku enggak punya siapa-siapa?"

"Maaf, Nak. Ayah dulu enggak bisa ngejaga ibumu karena Ayah harus menuruti perintah dari almarhum kedua orangtua Ayah untuk menikahi perempuan yang dijodohkan dengan Ayah."

Aku tidak bisa berkata apa pun. Sakit di kepalaku tiba-tiba datang tanpa permisi. Jadi yang bisa kulakukan hanyalah mendengarkan penjelasan Ayah. Kuharap setelah ini tidak ada lagi rasa sakit.

Sadam berpindah tempat duduk ke sampingku. Dia membimbingku untuk bersandar di bahunya. Sepertinya dia tahu kalau aku sedang butuh dekapan. Meski begitu, jemariku tetap menggenggam jemari Ayah.

"Dulu, saat usiamu dua tahun, rumah yang kalian tempati mengalami musibah kebakaran karena terjadi konsleting listrik. Dan rumah Ayah waktu itu enggak jauh dari rumah kalian." Ayah menghela napasnya. "Ibumu lari ke Ayah sambil menggendongmu. Dia titipin kamu ke Ayah. Tapi setelah itu ...."

Ayah mungkin tak tega melanjutkannya melihatku mulai terisak.

"Ayah kandungku di mana?" Setidaknya aku harus tahu keberadaannya. Mungkin aku bisa mencarinya nanti.

Ayah mengelus kepalaku. "Ayahmu tiada ketika usiamu sepuluh bulan. Dia mengalami kecelakaan mobil sepulang kerja."

Kepalaku semakin kutenggelamkan di bahu Sadam yang bidang. Sadam pun mengelus bahkan mencium puncak kepalaku dan berbisik, "Yang tenang, ya. Gue yakin lo bisa." []

Continue Reading

You'll Also Like

PLAYER By ri

Teen Fiction

322 62 17
Haniara mencintai Kadavi, namun tidak berlaku sebaliknya. --- Rabu, 20 Desember 2023
576K 22.4K 35
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
6.9M 292K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.8M 326K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...