Hey Pak Dokter, Ayo Menikah!

By Myadd01

195K 15.4K 1.2K

A romace comedy Sebelumnya Raine tidak pernah begitu semangat dalam menjalani hidup. Kira-kira seminggu yang... More

prolog
1. Senyum Dong Pak Dokter!
2. Pasien Tidak Waras?
3. Pacar?
4. Tante Cantik
5. Pacar Beneran
6. Lelaki Tidak Peka
7. Perjanjian (Deal)
9. Calon Mertua Galak
10. Kari Terong
11. Perhatian
12. Perusuh Hari Minggu
13. Menjauh
14. Menunggu
15. Wisata Malam
16. Cinta Sepihak
17. Mencari Raine
18. Salah Paham
19. Apa Kamu Gila?!
20. Capek
21. Sebuah Akhir
22. Ending

8. Persiapan Bertemu Calon Mertua

6.1K 541 16
By Myadd01

Usai menyelesaikan pemeriksaan dan menyerahkan resep obat, Gatra tersenyum, menatap anak yang duduk di hadapannya bersama sang ibu. Terhitung, sudah tiga kali ini mereka membuat jadwal kunjungan dengan dokter ahli kardiologi itu untuk memeriksakan keadaan jantungnya.

Namanya Aika, usianya masih delapan tahunan, tapi sudah menderita gangguan irama jantung (aritmia). Sebenarnya tidak semua aritmia berbahaya, ada beberapa orang yang mempunyai aritmia, tapi tidak menyadarinya. Namun, aritmia yang diderita Aika sudah tergolong parah. Saat kelelahan, detak jantung Aika jadi tidak stabil, bahkan terkadang berakhir pingsan. Sangat disayangkan ketika anak-anak yang masih leluasa bermain, harus terganggu dengan penyakit yang merupakan salah satu penyebab kematian terbesar itu.

Namun, dibalik semua itu Gatra cukup bersyukur melihat Aika didampingi ibu yang begitu menyayanginya. Wanita itu begitu lembut, Gatra dapat melihat ketulusan di sana. Terkadang Gatra ingat tentang dirinya sendiri, tapi toh ia tidak ingin terlalu memikirkan hal itu lagi.

"Bilang apa sama Pak Dokter?" tanya si ibu yang Gatra kenal bernama Anita itu setelah ia menyerahkan resep obat yang akan ditebus di apotek.

"Makasih, Pak Dokter Gatra yang ganteng." Aika mengedipkan sebelah matanya. Gatra terkekeh pelan. Anak itu memang ceria.

"Yaudah, Pak Dokter, Aika sama Mama pulang dulu. Assalamualaikum."

"Walaikumsalam, Aika cantik. Ingat kalo mau sembuh harus?"

"Jaga pola hidup sehat dan nggak lupa minum obat," jawab Aika riang.

"Pinter!"

Anita beranjak. "Yasudah, kami permisi, Pak."

Gatra mengangguk. "Iya, hati-hati, Mbak."

Selepas kepergian ibu dan anak itu, Gatra merenung. Ia berpikir Aika yang punya segudang masalah dalam hidup saja masih biasa riang dan tersenyum tulus. Tidak seperti dirinya, yang tersenyum saja terkadang lupa bagaimana caranya.

Fyi, orangtua Aika sudah bercerai. Gatra mengetahiu itu saat ia menanyakan ke mana ayah Aika, karena selalu ibunya yang menghantar. Anita menjawab ia sudah berpisah dengan suami. Bisa dipastikan Aika mempunyai nasib yang sama sepati dirinya. Namun, bedanya anak itu selalu semangat dalam menjalani hidup. Gatra merasa malu pada anak kecil. Nyatanya ia lebih kecil secara pemikiran.

Gatra membereskan mejanya. Hari ini ia pulang lebih awal, sekitar pukul dua siang. Seketika ia merana gulana. Rencananya setelah ini ia akan menjemput Raine ke kampus, menghantar gadis itu ke salon, dan berlanjut ke rumah ibunya. Sungguh, hari ini akan panjang.

****

Mata kuliah berakhir, Raine segera keluar. Tadi Gatra sudah menelfon berkali-kali dan mengirimi pesan kalau laki-laki itu sudah mrnunggu di parkiran.

"Rain!" panggil Niken menyusul Raine.

"Buru-buru banget sih?"

"Kan tadi gue udah cerita," jawab Raine tidak sabaran.

"Cie ... yang mau ketemu calon mertua, cie ... gimana, Rain, udah siap kalo diajak nikah?"

Tanpa menanggapi omongan Niken, Raine melanjutkan langkah. Jantungnya terasa berdebar-debar. Calon mertua? Ia merasa geli sendiri memikirkannya.

Suara klakson mobil dari belakang membuatnya menoleh. Ia hapal betul siapa pemilik mobil SUV itu. Mobil tersebut berjalan pelan menyampinginya.

"Rain, balik bareng yok," tanya si pemilik mobil sambil melongokkan wajah, karena terhalang perempuan yang duduk di jok sampingnya.

"Ih, apaan sih, Gav? Kita kan mau langsung makan. Aku udah laper banget ini. Ayok cepet!"

Della melirik Raine sinis. Gavin berdecak. "Makan bareng sama Rain kan bisa. Lagipula kasian kan Rain pulang sendiri."

"Ish ...!" Della hanya melengos sambil menggerutu tidak jelas.

"Eh, maaf ya. Gue nggak balik sendiri kok. Tuh, gue udah dijemput pacar," tunjuk Raine ke mobil hitam yang terlihat dari tempat mereka berada.

Gavin menjamkan penglihatannya. "Loh, itu bukannya mobilnya Om Gatra. Lo dijemput sama dia?"

"Yap," jawab Raine menatap Della sambil tersenyum jumawa.

"Sungguh keajaiban yang sulit dipercaya." Gavin menggeleng dramatis. "Yaudah gue duluan ya."

Mobil Gavin melaju lambat, membunyikan klakson sekali ketika melewati mobil Gatra sebelum akhirnya melaju cepat.

Mempercepat langkah, Raine membuka pintu mobil, lalu masuk ke dalam. Ia tersenyum, Gatra menoleh sekali, lalu melajukan mobilnya kembali.

Mata Raine mengedar, mengitari setiap inci mobil Gatra. Kondisi di dalamnya wangi dan tertata rapi. Telunjuk Raine kemudian mencolek kaca mobil. Sepertinya pemilik mobil ini tidak membiarkan sedikitpun debu menempel. Gatra benar-benar pembersih.

Ini kali pertama ia naik mobil ini. Terasa nyaman, tetapi hening. Di balik kemudi Gatra hanya diam, fokus ke jalanan.

"Kita mau langsung ke rumah Ibu Pak Dokter?"

"Enggak."

"Terus kita mau ke mana dulu?"

"Udahlah. Kamu nggak usah kebanyakan tanya, ikut aja."

Raine mengatupkan bibir. Baiklah, untuk kali ini ia tidak akan cerewet. Biarkan ia menurut saja ke mana Gatra akan membawanya.

Mobil Gatra berhenti parkiran salah satu pusat perbelanjaan, Jakarta Pusat. Mereka turun, Gatra berjalan lebih dulu. Raine menyamai langkahnya sambil bertanya, "Kok kita ke sini, Pak?"

Lelaki berkemeja abu itu menoleh. "Kamu pikir saya mau mengajak kamu bertemu ibu saya dengan penampilan seperti ini?"

Gatra menatap dari atas ke bawah. Raine memakai kemeja dan celana jeans. Rambutnya dicepol atas. Sangat tidak layak ia membawa Raine bertemu ibunya dengan keadaan seperti ini. Gadis itu harus dipermak dulu.

"Jadi saya?"

"Sudahlah ayo ikut saja." Tanpa sadar Gatra menarik tangan Raine, mengajaknya ke salah satu stand pakaian wanita. Begitu tersadar ia langsung melepaskan tangannya.

Gatra menggaruk tengkuk. "Pilih saja pakaian yang menurut kamu cocok. Dan tentunya juga layak untuk dibawa bertemu ibu saya."

"Maksudnya Pak Dokter mau beliin Rain baju?"

"Hm, cepet gak pake lama."

Raine masuk ke dalam toko berdinding kaca tersebut. Baju-baju di dalam terlihat menakjubkan. Pakaian perempuan muda maupun dewasa semua tersendia. Tampak gerliy dan pasti harganya tidak murah. Ia jadi sungkan untuk memilih.

"Gimana kalo Pak Dokter aja yang milihin?"

Gatra berdecak. "Kamu itu manja sekali sih, Rain. Tinggal milih aja kok susah."

"Hehe, abisnya Rain bingung."

"Lalu menurut kamu saya nggak lebih bingung? Saya kan laki-laki. Mana saya tau baju yang cocok untuk perempuan."

"Yang mana aja deh, terserah."

Untuk mempersingkat waktu, Gatra akhirnya mengalah. Ia pun menghampiri pekerja perempuan di sana, meminta untuk memilihkan baju yang cocok untuk Raine.

"Nggak mau itu kurang bahan."

"Nggak mau, itu warnanya mencolok banget."

"Ih, Rain kurang suka, masa bunga bunga."

"Apalagi itu hijau toska. Terus maniknya terlalu rame."

Gatra mengusap wajahnya, merasa frustrasi. Katanya tadi terserah, sampai ditunjukkan baju ke delapan pun masih belum ada yang cocok. Dasar perempuan, memang ribet!

"Mbak, yang itu aja," tunjuk Gatra ke terusan selutut warna pink salem yang dipegang pekerja itu.

"Tapi, masa pink?"

"Rain." Gatra menatapnya, Raine menghela napas, lalu mengangguk.

"Ayo, cepet. Abis ini kita ke salon."

"Apa? Ke salon juga?"

"Hm."

"Tapi.... "

"Rain."

"Oke, Pak Dokter."

****

Mereka akhirnya sampai di tujuan utama. Raine menatap rumah bertingkat itu dengan pandangan getir. Tiba-tiba keberaniannya menguap sekian persen. Entah mengapa ia merasa gugup, sesuatu yang jarang dirasakannya.

Ketika Gatra hendak turun, Raine mencegah. Lelaki itu menoleh, menggedikkan dagu ke atas, bertanya.

"Pak, kalo sekarang saya udah pantes belom buat ketemu calon mertua?"

"Hm."

"Kok hm doang sih? Itu kan artinya ambigu, gak bisa mendefinisikan sesuatu.

Gatra menghela napas. "Iya, Rain."

"Iya apa? Iya pantes apa iya gak pantes?"

"Iya, pantes?"

"Iya pantes karena apa?"

"Ya, karena pantes."

"Ishh, pantes kan ada alasannya. Nah, alasannya itu apa?" Raine mengedipkan mata, berharap Gatra mengatakan sesuatu yang membuat hatinya berbunga. Namun, yang diharapkan hanya menatap datar, lalu keluar tanpa memperdulikan celotehannya.

"Ih, tungguin, Pak. Rain kan pake heels, kalo Rain kesandung lagi gimana?"

Gatra membuang napas, berhenti sejenak, menunggu gadis cerewet itu menghampiri.

"Pak, gandeng dong biar kayak sepasang kekasih pada umumnya," kata Raine saat mereka berjalan beriringan.

"Nggak usah drama. Emangnya kita lagi nyebrang jalan apa?"

"Ck, dasar lelaki kaku."

"Apa?"

"Enggak, ini lo rambut Rain abis disemprot gak tau kenapa kok berasa kaku."

Gatra tidak membalas. Raine menunggu di ruang tamu, sementara lelaki itu masuk ke dalam memanggil ibunya.

Sembari menunggu, ia mengeluarkan kaca, memeriksa rambutnya. Gatra mengelurkan modal yang lumayan banyak untuk semua ini. Lelaki itu membelikan baju, heels, tas, dan menghantarnya ke salon. Raine sudah seperti cewek matre yang dibelikan barang-barang pacarnya.

Toh, Raine tidak meminta, Gatra sendiri yang punya rencana. Sekali lagi, ia memeriksa riasan di wajah. Hari ini ia terlihat beda, lebih dewasa dari sebelumnya. Meski tidak memuji, tapi beberapa kali ia sempat menangkap Gatra mencuri pandang ke arahnya.

Begitu mendongak, ia nyaris tak berkedip menatap wanita yang berjalan mendahului Gatra. Wanita yang ia taksir umurnya sudah lebih dari setengah abad itu, terlihat tetap menawan dengan penampilan selayaknya sosialita kelas tinggi. Kilau emas juga tidak luput menghias di beberapa bagian tubuhnya. Baru pertama melihat, Raine hampir dapat menebak bagaimana karakternya.

Bahkan, cara duduknya saja terlihat anggun. Raine terus mengamati, hingga tanpa sadar ia sudah diamati dan dinilai.

****

Continue Reading

You'll Also Like

127K 6.1K 87
Yang namanya pelakor mana ada yang baik semua pelakor itu jahat . petikan kata itu selalu terngiang ngiang di telingaku . Terinspirasi dari film Kore...
1.2M 16K 23
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
3.8K 294 48
Hendri adalah lelaki berusia 21 tahun, merupakan anak dari seorang aktor terkenal bernama Taufan. Suatu hari ada masalah yang membuat Taufan dan Hend...
53.6K 3K 35
Seorang hafidza penghafal Al-Qur'an yang memiliki masa lalu kelam. Di usia 15 tahun masa depannya sudah hancur karena diperkosa saudara tirinya sendi...