Detektif Roy : Keparat-kepara...

By A-Sanusi

61.1K 8.3K 924

AKP ... ah, Komisaris Roy kini harus berhadapan dengan musuh yang mendeklarasikan perang dengannya. Namun, ti... More

1. The Unforgiven
2. Pathfinder
3. Orion
4. Désolé
5. Lumina
6. Model and Simulation
7. Fake Empire
8. In the Air Tonight
10. Bury the Hatchet II
11. Fundamental Elements of Madness
12. Believe in Me
13. Bedebah-bedebah Metropolitan
14. Light it Up
15. MNG
16. Juntos
17. Keparat-Keparat Metropolitan
18. Schrodinger
19. Through it All
20. Through it All II
21. Acid Rain
22. Acid Rain II
23. Ending
It's finished & FAQ & etc
Serial Detektif Roy akan hadir dalam bentuk Audiobook
Serial Roy sudah hadir dalam bentuk Audiobook walaupun masih dikit pisan
Perpisahan?

9. Bury the Hatchet

2.2K 311 6
By A-Sanusi

Jemariku bergelayut di atas papan tombol. Namun, hanya jai tengah kananku yang bergerak, berfungsi sebagai pemencet tombol arah yang menaik turunkan halaman pekerjaan. Mulutku menguap ketika kantung mataku tak kuasa menahan beban. Aku hampir tertidur, ditandai dengan kepala yang goyah, bergerak ke kanan dan ke kiri sebelum, otakku kembali dalam keadaan sadar. Laporan yang AKP Rama kerjakan membuatku terpaksa berjaga. Namun, itu semua bukan salahnya, karena memang akulah yang memintanya untuk mengirimkan laporan itu—sebagai bentuk antisipasi seandainya ada hal yang seharusnya tak dituliskan di laporan ini.

Sejauh yang kubaca, tampaknya AKP Rama mengerjakan tugasnya sebaik mungkin. Tulisannya rapi—secara struktur dan bukan bentuk tulisan, teliti, serta tak kutemui kalimat-kalimat janggal yang biasanya tersimpan karena terlalu buru-buru mengetik. Bahkan, saking detail dan terlalu mendalam, rasa kantuk yang kualami semakin menguat.

Waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam ketika dokumen yang kubuka berada pada halaman terakhir. Membuatku segera mematikan komputer, menarik flash drive yang berisi dokumen itu, serta bersiap-siap untuk pulang.

Laporan yang merekam kekejian terhadap Loka itu akan digunakan untuk memberatkan Januar dalam persidangan. Jadi, hilangnya beberapa jam dalam hidupku tetap setimpal, tak kurasakan kerugian apapun, setidaknya hingga saat ini. Kesempurnaan laporan merupakan salah satu aspek penting yang harus dibuat oleh siapapun, termasuk untuk kasus ini. Tidak lucu, kan, kalau Januar sampai keluar dari jeratan hukum hanya karena kesalahan tik yang membuyarkan seluruh kronologi kejadian? Menulis tanggal dua puluh lima menjadi lima belas, misalnya.

Ketika aku keluar ruangan, suasana yang sepi langsung melanda, menemani langkah-langkahku di sepanjang koridor. Suara mesin komputer yang sebelumnya memenuhi indera pendengaranku menjadi hal yang paing kurindukan. Beberapa teman kantorku—yang tak begitu ramah—melewatiku tanpa sapaan sama sekali. Mungkin mereka mengantuk, sama sepertiku. Jadi, kuabaikan anggapan bahwa orang-orang di sekitarku adalah orang sombong.

Aku pikir, dengan selesainya membaca laporan yang AKP Rama berikan padaku, aku dapat melenggang bebas, berjalan tanpa beban pikiran. Namun, kini kasus yang menimpa Yusup malah merasuki otakku. Pikiranku kembali kacau, membuatku perlu beberapa detik dalam memutar kunci mobil untuk menyalakan mesin.

Seminggu telah berlalu semenjak terakhir, aku dan Wijaya, berkunjung ke sekolah Yusup. Dan dalam rentang waktu itu, tentu tak kami sia-siakan dengan berharap pada sebuah keajaiban, menunggu informasi lanjutan yang membukakan jalan baru untuk kami, Yusup ditemukan di negara lain, misalnya. Namun, dalam rentang waktu yang cukup panjang itu, aku dan Wijaya mengunjungi beberapa tempat serta kerabat yang kami duga kenal dengan Yusup, termasuk orang tuanya.

Aku cukup terkejut ketika mengetahui bahwa sang ayah dari Yusup merupakan mantan polisi. Laki-laki itu—yang memperkenalkan dirinya dengan nama Jajang—baru pensiun beberapa tahun lalu. Tentu, keterkejutan yang sama timbul dari Pak Jajang, karena memikirkan bagaimana mungkin aku—orang bodoh yang tidak pernah memiliki hubungan dengan kasus ini—secara tiba-tiba tertarik dengan kasus hilangnya Yusup. Lalu, entah karena insting polisinya yang keluar secara mendadak atau apa, Pak Jajang segera menginterogasiku, menanyakan seluruh motivasiku untuk kembali membuka kasus ini, yang tentu saja kujawab dengan santai.

"Hanya ingin mencari kebenaran yang sesungguhnya," kataku, dengan wajah serius bak seorang aktor yang tengah memainkan peran penting.

Berkenaan dengan informasi yang Ibu Ai berikan, Pak Jajang mengonfirmasi pernyataan itu. Para polisi yang menangani kasus Yusup akhirnya sepakat untuk menutup kasus itu dengan kaburnya sang korban atas tekanan yang diberikan oleh teman-teman beserta gurunya, membuatku merasa sedikit tolol karena menganggap semua orang yang mengetahui kasus itu—termasuk Ibu Ai—menganggap Yusup sebagai korban penculikan. Sialan, kenapa aku tak tanya-tanya dulu, sih? Dan memang benar-benar sialan, kenapa mereka tak menuliskan isi laporan sedetail-detailnya?

Ketika Pak Jajang terpaksa kembali memutar memori dalam otaknya, sang istri menjamuku dengan secangkir teh. Kemudian, telinganya yang tajam menangkap pembicaraan kami—sebelum perempuan itu menginterupsi kami dengan cangkir tehnya—dan memilih untuk bergabung ke dalam percakapan. Mata sayunya memberikan kesan yang sama dengan Pak Jajang—membuka luka lama atas memori yang ingin dihilangkan.

Raut wajah mereka—sang pasangan suami istri itu—tak dapat berbohong. Matanya mendayu, mulutnya dilumat habis dengan intensitas air liur yang tinggi, keduanya memberikan pandangan dengan kesan yang sama: masih tidak rela dengan kesimpulan yang diambil. Bagi mereka, Yusup tak memiliki alasan untuk meninggalkan rumah, membuat mereka yakin bahwa ada hal yang tak beres yang tengah terjadi.

Sedikit penggalan cerita menarik yang dapat kudapatkan adalah bagaimana berbedanya tanggapan mereka—Pak Jajang dan istrinya—terhadap anaknya. Kesan pemalas yang sejauh ini kudapatkan disangkal dengan mentah-mentah. Alis mereka menukik tajam begitu mendengar cerita yang keluar dari mulutku.

"Yusup belajar terus, kok, di rumah." Pak Jajang memberikan tatapan terkejutnya. Kumis yang menyeruak di antara hidung dan bibirnya bergerak ke atas dan ke bawah.

"Bukankah seharusnya Anda, Pak, atau Ibu, melihat rapor anak Anda?"

Pak Jajang tertegun. Ludah yang diteguknya menandakan rasa keraguan, membuatku berasumsi bahwa ia—juga istrinya yang tak memberikan sedikitpun argumen—tak pernah memperhatikan hasil belajar Yusup.

"Anda tak pernah mengambil rapor anak Anda?" Aku bertanya, mengeluarkan kalimat yang membuat mereka terkejut untuk kedua kalinya.

"Yusup selalu bilang rapornya bisa diambil sendiri." Pak Jajang membalas.

"Bagaimana dengan setelahnya? Apakah Anda tak pernah mengeceknya, Pak?"

"Yusup selalu bilang nilainya aman. Kami percaya saja karena di rumah dia selalu belajar."

Di saat yang bersamaan, istri Pak Jajang melenguh pelan. Matanya mengerjap beberapa kali setelah ia lemparkan kepalan tangan ke depan mulutnya. Aku pikir perempuan itu akan memberitahuku sesuatu, tetapi tampaknya ia hanya membatu, tak mengucapkan apapun.

Aku sendiri sebenarnya menjadi sedikit ragu. Sebelumnya, aku tak pernah melihat data nilai Yusup yang—wali-wali kelasnya katakan—amatlah buruk. Aku tak dapat mengonfirmasi pernyataan itu biarpun memang secara logika pernyataan yang kuterima itu seharusnya kredibel dan dapat dipercaya. Maksudku ... siapa lagi orang yang tahu secara pasti nilai-nilai hasil belajarmu selain guru yang mengajar?

Satu individu dengan dua pribadi yang berbeda, dari masing-masing sudut pandang yang berbeda, biasanya tidak akan berakhir dengan baik. Aku tidak dapat langsung mengatakan bahwa ada keanehan pada Yusup, dapat berubah menjadi anak yang rajin dan malas di saat yang bersamaan. Bisa saja Yusup hanya pura-pura belajar di rumahnya, kan?

Seluruh adegan itu—percakapan yang kulakukan dengan orang tua Yusup—membuatku secara tak sadar malah terdiam mematung dengan mesin mobil yang masih menyala, tetapi rem tangan belum kulepaskan. Gila, berapa menit aku diam gara-gara itu?

Hampir kulajukan mobilku, sampai akhirnya satu pemikiran terakhir terlintas di dalam benakku, bagaimana besarnya dukungan mereka—Pak Jajang dan istrinya—untuk menyemangatiku kembali membuka kasus ini, mengungkapkan kejadian yang sebenarnya. Ah, ya, tentu saja dengan catatan, tak pernah kuungkapkan terlibatnya para polisi korup itu. Mampus saja, bisa-bisa mereka mengamuk dan mengacak-acak kantor jika tahu orang dalam terlibat dalam hilangnya anak mereka.

Namun, belum sempat kuinjak pedal gas, sebelah tanganku segera menjamah permukaan celana, hingga akhirnya merogoh saku di mana kusimpan ponsel yang sedari tadi beum kusentuh.

Aku membuka percakapan, bertanya apakah Wijaya masih terjaga atau tidak. Status online-nya memberitahuku bahwa ia masih berada dalam jaringan sekitar tujuh menit lalu, dan aku harap dalam rentang waktu yang sempit itu, ia belum tidur, terlelap, meninggalkan seluruh kesibukan dunia nyata untuk bersenang-senang di dalam bawah sadar.

Untungnya, tanpa menunggu waktu yang lama, Wijaya membalas.

"Ada apa, Pak?"

Aku yang tak ingin berbasa-basi segera meneleponnya. Toh dia masih terjaga, kan?

Wijaya segera mengangkat panggilanku, menyapa dengan suara yang sedikit tertahan. Mungkin, istrinya tengah terlelap saat ini. Bahkan, secara samar dapat kudengar pintu yang terbuka dari seberang suara.

"Ada beberapa hal yang ingin kubicarakan denganmu," tukasku dengan cepat.

"Berkaitan dengan kasus Yusup?"

"Benar."

"Maaf, Pak, saya belum memikirkan kasus itu lagi."

Memang, beberapa saat setelah kami mulai menyelidiki kasus Yusup, Wijaya mendapatkan perintah untuk memimpin jalannya kasus lain. Kasus pembunuhan biasa, bukan luar biasa hingga memerlukan penyelidikan mengerikan yang melibatkan banyak pihak. Namun, bagian terburuknya adalah aku tak dapat menginterupsi pekerjaannya. Alasannya? Jelas karena kasus Yusup belum dibuka kembali secara resmi.

"Aku mengerti. Tenang saja, Wijaya. Lagipula aku meneleponmu malam-malam begini hanya ingin meminta pendapatmu."

"Benarkah, Pak?"

Kuputar kembali kunci mobil, mematikan mesin, membuat suara Wijaya terdengar lebih jelas tanpa adanya gangguan.

"Sebenarnya ide ini sudah cukup lama berada di otakku. Aku tidak menyukainya, tetapi kurasa aku tidak memiliki pilihan lain."

Wijaya tak menjawab, tetapi aku yakin dia masih menyimak seluruh ucapanku.

"Apa kaupikir Januar akan membeberkan kasus Yusup kepada kita jika seandainya ... kita ... memaksa?"

Aku bergumam pelan. Rasa gundah muncul begitu kuucapkan nama Januar. Dalam bayanganku, siluet lelaki brengsek itu kembali menyembul. Wajahnya yang menyeringai tanpa dosa membuatku bergidik. Transisi luar biasa yang dilakukan, berpura-pura sebagai orang yang bersalah hingga menjadi bedebah sialan yang pantas mati, cukup membuatku geram. Mungkin, perasaan-perasaan itu muncul karena alasan yang lebih pribadi, tetapi tak dapat kusangkal jika aku benar-benar ingin meludahi namanya.

Di samping itu, Wijaya mendesis. Tampaknya, keraguan muncul dari benaknya.

"Sebenarnya saya sendiri sudah memikirkannya, Pak."

"Lalu?"

"Saya tidak yakin, Pak. Maksud saya, saya tak berada di lokasi ketika Anda ... menangkapnya." Suaranya terputus, tetapi panggilan masih tersambung. Aku menunggu beberapa saat dalam jeda itu, sebelum akhirnya kembali kudengar suara Wijaya. "Saya asumsikan jika Pak Januar bukan orang yang suka berkoordinasi."

"Ya, dia benar-benar menyebalkan. Apa kau mendengar rekaman yang kubuat? Saat Januar mengakui perbuatannya?"

"Belum, Pak."

"Apa aku boleh mengirimkannya padamu sekarang dan meminta pendapatmu?" Aku bertanya. "Ah, lalu, maaf, Wijaya, aku mengganggumu malam-malam begini. Jika tidak bisa pun tidak apa-apa."

"Tidak masalah, Pak. Lagipula saya sedang tidak bisa tidur."

"Jadi, aku boleh mengirimkannya?"

"Tentu."

"Oke. Tunggu sebentar."

Secara tak sengaja, panggilan itu kuputuskan. Padahal, aku hanya ingin menghilangkan jendelanya untuk sementara waktu, ketika aku memilah-milah rekaman yang menyimpan bukti pengakuan Januar atas pembunuhan Loka. Identitasnya yang unit—judul dokumen dengan tanggal dan jam pembuatan rekaman—membuatku tak memerlukan waktu yang cukup lama untuk mendapatkannya.

Kukirimkan dokumen itu pada Wijaya dengan waktu unggahan selama beberapa detik, sebelum akhirnya kutelepon kembali anak itu.

"Rekamannya sudah kukirimkan."

"Akan saya cek, Pak."

"Terima kasih," tukasku.

"Ah, selain itu, Pak, berkaitan dengan cerita Anda mengenai pengakuan orang tua korban, saya rasa besok bisa saya cek nilai-nilai Yusup, sekalian mengantar Riska ke sekolah. Bagaimana?"

"Kalau kau tidak keberatan."

"Tentu saja tidak, Pak. Apa ada lagi yang ingin Anda bicarakan, Pak?"

Aku bergumam pelan. Aku ingin membicarakan Luthfi, bagaimana orang gila itu mampu menebak dengan tepat sang pembunuh Loka, membantuku mencari bukti keberadaan polisi korup hingga membuat Januar bertekuk lutut. Mungkin, termasuk salah satu orang yang tepat jika kumintai bantuan dalam penyelidikan kasus ini. Namun, pada akhirnya niat itu kuurungkan. Selain karena Luthfi pasti akan mengamuk jika kuceritakan apa yang terjadi pada malam itu, ketika ia mengikat kedua lengan Januar dengan cable tie, aku tak dapat menghubunginya lebih dulu. Dan yang pasti, aku tidak bisa menunggunya menghubungiku terlebih dahulu.

Akhirnya, kuakhiri pembicaraan, membuatku memutuskan panggilan untuk kedua kalinya sambil menunggu respon Wijaya yang—entah benar atau tidak—mendengarkan rekaman itu. Namun, rasa tanggung akibat menunggu dan keinginan untuk pulang pada akhirnya malah membuatku menarik kunci, membuka pintu, keluar, dan kembali menutupnya serta memastikan bahwa mobilku aman untuk ditinggalkan.

Mataku masih terasa berat, aku tak menyangkal. Namun, itulah alasan utama aku kembali masuk ke dalam ruanganku yang dingin dan sepi.

Aku duduk sembari membenamkan wajah, menyimpannya di atas meja yang sudah tak dipenuhi berkas-berkas kasus. Tanpa sadar, aku tertidur sebelum mendapatkan balasan dari Wijaya.

Continue Reading

You'll Also Like

2.9K 237 10
sori pria dengan sikap ceria nya dan pria penyuka bunga matahari,namun sayang sekali sori sejak lahir tidak sempurna dia mengalami kebutaan permanen...
7.7K 380 5
Bagio, seorang walikota petahana, harus melakukan segala cara untuk memenangkan pemilihan umum. Ia akan melakukan apapun, bahkan dengan cara kotor se...
6.2M 481K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...
10.4K 2.1K 124
Bab 228+ Bahasa Indonesia