monotone (terjemahan)

Od natsumi-shirayuki

163K 15.5K 7.3K

Více

Chapter 1. Calm (Tenang)
Chapter 2: Chance (Kesempatan)
Chapter 3: Something (Sesuatu)
Chapter 5: Clouded (Mendung)
Chapter 6: Golden (Keemasan)
Chapter 7: Frozen (Beku)
Chapter 8: Glass (Kaca)
Chapter 9: Human (Manusia)
Chapter 10: Fracture (Retakan)
Chapter 11: Shatter (Hancur)
Chapter 12: Alone (Sendirian)
Chapter 13: Easier (Lebih Mudah)
Chapter 14: Unsteady (Goyah)
Chapter 15: Clarity (Kejernihan)
Chapter 16: Butterflies (Kupu-kupu)

Chapter 4: Lullaby (Pengantar Tidur)

10.5K 1.1K 643
Od natsumi-shirayuki


WangJi tidak tersiksa oleh mimpi buruk seperti kakaknya. Kalau dia bermimpi, maka mimpi itu hanya akan memudar begitu dia terbangun. Berulang-ulang kali, dia memimpikan wajah yang tak jelas, sosok yang berusaha dia raih namun selalu terlepas dari jemarinya. Berulang-ulang kali, dia memanggil Wei Ying namun lelaki itu tidak pernah menjawab. Tidak pernah melihat ke arahnya.

Kini Wei Ying kembali, wajahnya terlihat jelas—tapi hanya itu saja. Dia masih tidak melihat WangJi. Dia tidak tersenyum; tidak mengakuinya atau mendengar saat WangJi memanggil namanya. Wajah Wei Ying hampa dan dia masih sejauh dulu. Wangji tidak akan pernah bisa menggapainya.

Itu membuat WangJi kembali ke hari yang dia harap bisa terlupakan. Pertumpahan darah di Nightless City dulu selalu menyiksa WangJi setiap malam semenjak kematian Wei Ying. WangJi menyalahkan dirinya sendiri karena tidak bisa menggapai Yiling Laozu tepat waktu, atau bahkan menghentikan shijie tercintanya dari kondisi sekarat. Setelah tahun-tahun tanpa akhir berlalu, setiap detailnya mulai buram tapi perasaannya tidak. Rasa sakit di hatinya masih ada, sekuat hari dia berdiri di depan Wei Ying dengan jemari gemetar di atas guqin. Wei Ying tertawa dengan sorot kesintingan yang jelas di mata merahnya. Dia menatap WangJi seolah membencinya. Mungkin Wei Ying memang membencinya. WangJi bisa memberinya banyak alasan untuk membencinya.

Sudah kuduga dari awal bahwa kita akan bertarung sungguhan seperti ini cepat atau lambat. Lagipula kau selalu menganggapku tidak baik.

WangJi mencoba menyelamatkannya, namun Wei Ying malah mengira lelaki itu akan menyakitinya. Bahkan saat WangJi mendorong dan menepis semua orang supaya menyingkir dari jalan untuk menghentikan Wei Ying yang lepas kendali, dia masih saja terlambat. WangJi tidak berjuang cukup keras. Dia melihat rasa sakit di mata Wei Ying dan berjuang memutuskan hendak berbuat apa. Terlambat.

Bahkan sampai sekarang pun sama saja. Di mimpinya, dia melihat Wei Ying dari kejauhan, menatap sesuatu yang tidak bisa WangJi lihat. Lagi, dia tidak menghiraukan WangJi di sana. Tidak peduli seperti apa Giok itu berusaha meraihnya, Wei Ying masih terlalu jauh.

Wangji ingin meraihnya. Dia ingin ada untuknya kali ini, tapi WangJi bahkan tidak tahu harus memulai dari mana. Dia tidak tahu apa yang menyakiti Wei Ying, terlebih lagi cara untuk menolongnya. Seperti biasa, dia tetap tidak berguna, dan dia takut kehilangan Wei Ying untuk yang kedua kalinya.

WangJi tidak tersiksa oleh mimpi buruk seperti kakaknya, tapi dia tersiksa oleh pikirannya. Pikiran berupa perasaan yang tidak akan pernah diutarakan dengan lantang. Kata-kata yang selalu tersimpan sampai hatinya membentur sangkar dan terus perih selama dua ribu tahun ini. Saat tidur, WangJi tidak mendapat mimpi buruk. Dia mendapat kenyataan; kenyataan bahwa dirinya tidak berguna, dan akan selamanya tak berguna. Malam begitu panjang dan dia terbangun dengan perasaan takut yang memualkan bahwa dia tidak akan pernah berubah dan akan terus mengecewakan Wei Ying lagi dan lagi.

Pagi datang. Sinar matahari memancar menembus korden dan tubuh Wangji otomatis mulai berpakaian. Dia bergerak tanpa berpikir, menolak menghiraukan mimpi yang memenuhi pikirannya sepanjang malam. Dia mendengar alarm SiZhui berdering di ruangan sebelah, diikuti suara remaja itu yang bangun.

Hari ini adalah hari baru. Setiap paginya, WangJi menekan masa lalu ke belakang pikiran dan berusaha fokus pada hari yang akan dihadapi. Dia penasaran apakah dirinya akan bertemu Wei Ying, apakah mereka akan berbicara seperti dulu. Seperti biasa, selain kerinduan untuk bertemu lelaki itu, Wangji juga mengharapkan datangnya keajaiban hari ini yang membawa perubahan. Mungkin hari ini akan menjadi hari dia selangkah lebih dekat dengan Wei Ying.

Hari ini hari baru, dan Lan WangJi masih saja seorang lelaki bodoh yang jatuh cinta.



---



Minggu ini hampir berakhir tapi tidak ada perkembangan apa pun dengan Jin Ling. Malah semakin buruk saja. Jin Ling jelas-jelas lebih memilih terjun dari tebing daripada memperlakukan Wei Ying dengan respek yang sama. Paling jauh, dia hanya akan berinteraksi dengan Wei Ying saat sedang diabsen. Selain dari itu, dia akan menyuruh guru itu untuk enyah atau dia yang akan pergi dengan mengentakkan kaki layaknya anak bandel yang dewasa.

Sebenarnya bukan itu yang dikhawatirkan Wei Ying. Jing Ling bisa mencemooh Wei Ying sesuka hatinya dan Wei Ying tidak akan peduli. Yang dia khawatirkan adalah murid-murid lain. Semakin Jin Ling menunjukkan perilakunya, maka semakin parah rumor tentangnya yang menyebar. Wei Ying mulai sakit kepala dengan semua omongan mereka bahwa Jin Ling adalah anak kaya yang sombong dan tidak punya sopan santun, bahwa dia dikeluarkan dari sekolah lamanya karena berperilaku tidak baik dan hanya bisa mendatangkan masalah—dan itu bahkan tidak bisa dibandingkan dengan rumor lain tentang orangtua Jin Ling yang tidak menginginkannya.

SMA terus-menerus menjadi beban terberat bagi Wei Ying, tapi dia menolak berdiri di sini tanpa melakukan apa pun untuk Jin Ling.

Setelah makan siang, dia bertemu Lan SiZhui yang hendak pergi.

"SiZhui, bisa bicara sebentar sebelum pergi?" panggil Wei Ying.

Remaja itu mendongak, menutup resleting tasnya dan menghampiri meja Wei Ying dengan senyum sopan di wajahnya seperti biasa. Kenapa setiap murid tidak bisa seperti SiZhui? Menjadi guru pasti akan sepuluh kali lipat lebih mudah.

"Ya, Wei-laoshi?"

Wei Ying melirik seisi kelas. Untung saja Jin Ling sudah keluar untuk menuju ke kelas berikutnya.

"Sudah bicara dengan Jin Ling?"

Ekspresi di wajah SiZhui sudah memberinya jawaban. SiZhui menggaruk belakang lehernya, senyumnya kini terlihat lebih tegang.

"Ah... JingYi dan saya sudah mencoba. Tapi saya pikir dia tidak ingin bicara."

Wei Ying menghela napas. Tidak terkejut sama sekali tapi rasanya tetap saja membikin frustrasi. Jika saja Jiejie masih di sini, dia pasti akan—

Tidak, diamlah. Wei Ying menyingkirkan pemikiran bodoh itu sebelum dia mulai menyelam ke alasan kenapa Jiejie tidak ada di sini.

"Aku penasaran. Apa kau akan keberatan kalau kuminta untuk terus mencoba membuat Jin Ling nyaman di sini?" tanya Wei Ying. "Aku tahu dia bisa sulit dihadapi, tapi kupikir ada baiknya jika dia punya teman sepertimu dan JingYi."

Tanpa jeda, SiZhui menganggukkan kepala. "Tentu saja saya tidak keberatan, Wei-laoshi. Saya akan terus mencoba."

Wei Ying tersenyum dan menahan dorongan untuk mengacak-acak rambut SiZhui. Guru seharusnya tidak pilih kasih, tapi Wei Ying diam-diam mengakui bahwa SiZhui adalah murid favoritnya, bahkan meski anak ini baru mulai bersekolah di sini sebulan yang lalu.

"Terima kasih, SiZhui. Kuhargai itu."

Dia mengizinkan SiZhui pergi, berdoa pada dewa apa saja di atas sana bahwa Jin Ling akan berhenti bersikap sesulit ini. Sudah jelas terlihat Wei Ying sendiri tidak bisa melakukan apa pun, jadi mungkin SiZhui dan kekuatan mukhjizat akan berhasil.

Sepanjang sisa Jumat siang, kekhawatirannya bisa sedikit berkurang. Setidaknya dia berhasil bertahan hidup sepanjang minggu menjadi guru Jin Ling. Semoga saja minggu depan menjadi lebih baik.

Begitu sekolah usai dan murid-murid membanjir keluar dari gedung, Wei Ying mendengar teriakan menggema dari ruangan sebelah. Awalnya dia mengira itu hanya beberapa murid yang terlalu bersemangat menghadapi akhir pekan, tapi kemudian dia mendengar suara benturan. Dengan serta-merta dia pun bangkit dari tempat duduknya.

Tidak butuh waktu lama baginya untuk menyadari bahwa itu bukan suara penuh semangat menantikan akhir pekan. Saat ini kepala Jin Ling sedang dikunci dengan lengan oleh beberapa murid dari kelas lain. Jin Ling meneriakkan serangkaian umpatan yang Wei Ying tahu sudah dipelajari dari Jiang Cheng. Yang lebih mengejutkan lagi, SiZhui muncul entah dari mana dan mulai menepis murid itu, diikuti JingYi yang menonjok muka murid itu dengan teriakan yang kelewat antusias.

Mereka terus berkelahi, sama sekali tidak menyadari Wei Ying berada di pintu masuk.

"Nona kecil itu bahkan tidak bisa bertarung dengan benar!" Salah seorang murid mengejek. "Apa yang akan kaulakukan? Menangis ke ibumu?"

Murid-murid itu tertawa. Jin Ling mengepalkan tangannya. Hal berikutnya yang Wei Ying tahu, Jin Ling sudah menyambar kursi dan benar-benar akan melemparkannya ke wajah orang itu.

Mengesankan, memang. Tapi Wei Ying tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut.

"Hei, hei, hei!" Dia berhasil menyeret murid itu tepat waktu. "Apa-apaan yang terjadi di sini?"

Dia melepaskan murid itu dan menarik kerah belakang Jin Ling, menghentikannya dari melempar kursi lain lagi. Jin Ling berteriak dan memberontak, nyaris seperti kucing marah. Bahkan dia juga mendesis ke arah Wei Ying.

"Lepaskan aku!"

Wei Ying mengguncang dia. "Tidak akan kalau kau mau terus membuat onar!"

Untung saja kedatangan Wei Ying membuat murid-murid itu berhenti, kini ada rasa bersalah di wajah mereka. Lagipula jumlah mereka tidak banyak; hanya Jin Ling, SiZhui, JingYi, dan tiga murid lain yang tidak perlu repot-repot dia ingat namanya.

Tetap saja, Wei Ying tidak bisa menyembunyikan rasa syoknya. "SiZhui, kukira perilaku semacam ini hanya berasal dari JingYi, bukan kau."

"Hei!" JingYi mencebikkan bibir, menyilangkan lengan dengan marah.

"Diamlah," ujar Wei Ying, kini beralih ke remaja-remaja yang lain. "Jangan kira kalian akan lepas juga. Apa gunanya mencari gara-gara dengan murid baru?"

"Dia yang mulai—!"

Jin Ling memberontak dari Wei Ying lagi. "Tidak!"

"Aku tidak peduli siapa yang mulai! Kalian semua membuatku sakit kepala! Hukuman setelah pulang sekolah untuk kalian semua!"

"Apa?" Jin Ling berusaha keras memberontak dari cengkeraman Wei Ying. Nyaris lucu. "Sekarang sudah jam pulang sekolah!"

"Yeah, itu artinya kalian dapat hukuman sekarang!"

"Kau tidak bisa melakukan itu!"

Wei Ying menyelentik kepalanya. "Yeah, aku bisa—dan sedang kulakukan. Kalian semua, datanglah ke kelasku!"

"Aku tidak mau! Kau tidak bisa memaksaku!"

Wei Ying menghela napas. Cengkeramannya di kerah belakang Jin Ling makin mengerat dan secara harfiah dia menyeretnya maju. "Baiklah, aku akan menyeretmu sendiri."

Wajar saja jika Jin Ling tidak puas dengan ini semua, begitu pula dengan Wei Ying karena, ya tuhan, Jin Ling sanggup berteriak tepat di telinganya. Gendang telinga Wei Ying barangkali akan berdarah begitu melempar Jin Ling masuk ke kelas. Entah keajaiban apa yang membuat Jin Ling tetap di tempat duduknya, terlihat sangat mirip seperti balita yang merajuk dengan lengan terlipat dan cemberut berlebihan di wajahnya.

Bocah bandel, pikir Wei Ying. Bahkan Jin ZiXuan dulu tidak seperti ini. Terlebih karena Wei Ying dan Jiang Cheng akan menonjoknya dulu sebelum dia bisa bertingkah arogan. Dan tindakan Wei Ying bisa dibenarkan karena Jin ZiXuan punya keberanian untuk membuat Jiejie menangis. Tindakannya benar-benar bisa dibenarkan.

Waktu hukuman berjalan lambat. Wei Ying menyibukkan diri memakai telepon sekolah untuk menelepon orangtua murid, mengabari bahwa anak mereka tidak diculik dalam perjalanan pulang, melainkan mendapat masalah. Namun rasanya tetap lucu mendengar kakek JingYi mengeluh padanya selama beberapa menit sebelum menggerutu sendiri dan menutup telepon. JingYi mendapat hukuman nyaris setiap hari; pasti kakeknya sudah mengira hal ini akan terjadi .

Dia juga menelepon Jin ZiXuan, meski dia ingat lelaki itu akan kembali ke Lanling sekarang ini, sepertinya akan mempersiapkan penerbangan ke Amerika besok.

Jin ZiXuan menghela napas saat Wei Ying memberitahunya.

"Masih belum seminggu," ujarnya. "Terima kasih sudah memberitahuku. Aku akan meminta Jiang Cheng untuk menjemputnya."

Wei Ying bersyukur Jin ZiXuan tidak melihatnya mengernyit ke telepon.

Hebat. Itu artinya dia harus bertemu Jiang Cheng nanti.

Dia sengaja menelepon ayah SiZhui paling akhir. Mereka belum bicara sejak minum kopi bersama meski terkadang Wei Ying melihat lelaki itu menjemput SiZhui saat pulang sekolah. Separuh dirinya tergoda untuk menyapa—tapi buat apa? Tidak mungkin dia menggunakan nomor yang diberikan JingYi, jadi percuma saja menjadi akrab dengan Mr. Lan.

Butuh waktu cukup lama sampai Mr. Lan mengangkat teleponnya. Wei Ying penasaran kalau dia kesulitan mengangkat telepon lagi seperti terakhir kali.

"Halo, Mr. Lan? Ini guru SiZhui," ucapnya setelah panggilan diangkat.

Selama sedetik, hanya ada keheningan. Wei Ying berharap dia tidak salah sambung.

"Ya?" Oh. Ini memang dia.

"Aku hanya menelepon untuk mengabari bahwa anakmu sedang bersamaku sekarang. Dia tertangkap sudah berkelahi dengan murid lain."

"Hmm. Aku mengerti."

Itu saja? Itu saja? Wei Ying menunggunya mengatakan hal lain tapi ternyata tidak.

"Ya..." Wei Ying berdeham canggung. "Kalau ingin menjemputnya, tolong jemput satu jam lagi."

"Aku akan ke sana nanti."

Wei Ying menghabiskan sisa jam itu untuk mengoreksi jawaban yang seharusnya selesai tadi malam. Pada titik tertentu, dia mendengar suara dengkuran yang berasal dari arah JingYi dan melihat SiZhui menyikut pemuda itu dari sudut matanya. JingYi tersentak bangun, hampir jatuh dari kursinya.

"Dasar bodoh," gumam Jin Ling.

JingYi meremat selembar kertas dan melemparnya ke belakang kepala Jin Ling. "Diam!"

Wei Ying tidak mau repot memperingatkan mereka. Dia tetap tenang, hanya berfokus pada tumpukan PR yang perlu dikoreksi. Jam hampir berakhir, kemudian dia akhirnya bisa mendapat ketenangan—

Bola kertas terlempar tepat di matanya.

"Kalian semua, diamlah sebelum aku memaksa kalian untuk tetap di sini satu jam lagi!"

Para remaja itu membeku, duduk tegak di bangku masing-masing. Ada paduan suara dari Maaf, Wei-laoshi sebelum keheningan melingkupi ruangan itu sekali lagi.

Wei Ying menghela napas panjang dan kembali mengoreksi. Untung saja jam bergerak lebih cepat dan tidak ada lagi kertas atau kursi yang dilempar-lempar.

Satu per satu murid dijemput orangtua mereka. Wei Ying harus memastikan wajahnya tetap tenang saat kakek JingYi secara harfiah menyeret cucunya keluar dari kelas sambil dijewer, menceramahinya tentang bagaimana menjadi seorang gentleman yang baik. Teriakan horor JingYi masih terdengar bahkan setelah dia meninggalkan ruangan. Bocah yang malang.

Yang terakhir di sana adalah Jin Ling dan SiZhui. Wei Ying tidak bisa duduk tenang di bangkunya atau fokus mengoreksi jawaban karena dia tahu Jiang Cheng akan tiba di sini kapan saja. Dia berharap lelaki itu akan bergegas dan semuanya bisa cepat selesai.

Harapannya terkabul cukup cepat. Jiang Cheng memasuki kelas, masih mengenakan seragam polisinya. Seperti dugaan, Jin Ling langsung beranjak ke sisi Jiang Cheng dan menempel pada lengannya. Mereka berdua menatap Wei Ying seolah dia baru saja mengurung Jin Ling di menara selama sepuluh tahun.

"Seharusnya aku tahu," ujar Jiang Cheng.

Wei Ying tidak ingin mendapat reaksi apa-apa darinya. Dia pun membolak-balik halaman buku sekolah di atas meja dan menjaga suaranya tetap datar.

"Hukuman tetap hukuman. Dia sudah berkelahi dengan murid lain."

"Mereka yang mulai!" teriak Jin Ling.

"Memangnya kau punya hak untuk menghukumnya?"

Wei Ying berhenti membolak-balik halaman. Dia tidak menengadah tapi dia tahu benar apa yang Jiang Cheng maksudkan. Halaman itu dicengkeram makin erat lalu perlahan dibalik. Kata-kata tidak berarti apa-apa buatnya. Dia tahu Jiang Cheng sedang memperhatikan setiap pergerakannya, menunggunya bereaksi.

"Tidak ada hubungannya, Jiang Cheng," ucap Wei Ying. Butuh segalanya untuk menjaga suaranya tetap datar. "Ini sekolah."

Jiang Cheng mencerca, "Seharusnya kau tidak perlu menjadi gurunya."

Wei Ying memang lemah. Namun harga dirinya lebih lemah lagi. Dia menengadah, membalas pelototan Jiang Cheng.

"Aku tidak bisa apa-apa, bukan? Jin ZiXuan-lah yang memindahkan dia ke sini," ujarnya. "Kau bisa mengeluh semaumu, tapi aku hanya melakukan pekerjaanku."

Ujung bibir Jiang Cheng melengkung naik membentuk senyum mengejek. Itu jenis senyum yang akan membuat Wei Ying gusar bertahun-tahun yang lalu.

"Hanya melakukan pekerjaanmu? Kau tiba-tiba menjadi penuh tanggung-jawab begini?"

Wei Ying membuang muka. Jiang Cheng jelas-jelas memancing perkelahian, tapi dia menolak membuatnya puas. Tidak di sini. Tidak sekarang. Tidak lagi.

"Tidak ada lagi yang perlu dikatakan. Kau bisa membawa Jin Ling pulang sekarang."

Tidak ada yang pergi. Wei Ying menahan pandangannya pada tulisan ceker ayam di buku muridnya ini, membaca kata-kata yang tidak bisa dia cerna. Dari sudut matanya, dia melihat Jiang Cheng tidak bergerak sedikit pun. Tentu saja tidak akan. Dia tidak akan pernah membiarkan Wei Ying yang terakhir bicara. Mereka berdua punya kebiasaan buruk untuk berpegang erat pada harga diri mereka.

Wei Ying membalik halaman lain. Dia bersyukur Jiang Cheng tidak bisa melihat tangannya yang gemetar dari tempatnya berdiri.

Saat Jiang Cheng bicara, suaranya kecil. Tapi cukup keras untuk tertangkap telinga Wei Ying.

"Dasar pengecut."

Alis Wei Ying berkedut. Dia menatap halaman buku di hadapannya dan terlambat menyadari bahwa cengkeramannya begitu erat. Halaman itu kini telah kusut.

Dia mencoba menelan sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya dan mendongak. SiZhui berada di sudut ruangan, melirik antara dia dan Jiang Cheng. Lagi, harga diri Wei Ying berkobar dan dia berharap tidak ada siapa pun yang melihat hal ini terjadi antara dirinya dengan lelaki yang pernah dia panggil adik itu.

"Jiang Cheng, kau ingin aku berkata apa?" tanya Wei Ying, menyingkirkan buku-buku sekolah di hadapannya. Dia bangkit berdiri, berpegangan pada sisi meja. "Aku hanya melakukan apa yang akan dilakukan seorang guru dan memberinya hukuman! Ini bukan tentang masa lalu!"

"Bukan tentang masa lalu? Tentu saja kau akan membuang hal semacam itu dengan mudah! Kau selalu kabur dan berbuat sesuka hatimu!"

Jin Ling menarik lengan Jiang Cheng. "Paman, ayo pergi—"

"Diam, Jin Ling! Keluar dari sini!"

Ada kilatan sakit di wajah Jin Ling sebelum dia lari keluar dan membanting pintu di belakangnya.

Wei Ying melirik SiZhui sebelum pemuda itu meninggalkan kelas juga, memanggil-manggil dan mengejar Jin Ling.

Sekarang mereka sendirian. Wei Ying berjalan mengitari meja, menutup jarak antara dirinya dan Jiang Cheng. Mereka tidak terlalu dekat sampai berhadapan muka, tapi cukup untuk membuat guru itu merasa tercekik.

Namun dia tidak akan membiarkan Jiang Cheng melihat itu. Dia menatap matanya lekat-lekat.

"Ini bukan tempat untuk memperdebatkan hal itu," ujarnya. "Kukira kita sudah memutuskan sejak lama bahwa kau tidak ingin mendengar apa pun yang kukatakan."

"Aku tidak mau kau dekat-dekat dengan Jin Ling."

Tentu saja. Wei Ying nyaris tertawa. Jiang Cheng sama sekali tidak mau berbasa-basi. Dia menggelengkan kepala dan berharap bisa membuat Jiang Cheng mengerti.

"Aku bisa apa! Bicaralah dengan Jin ZiXuan kalau kau ingin memindahkan Jin Ling lagi!"

Jiang Cheng tidak mengucapkan apa-apa. Dia mengeluarkan suara tak puas lalu menyilangkan lengan, bibirnya mencebik. Mungkin memang benar dialah yang lebih sering menjaga Jin Ling, tapi itu tidak mengubah fakta bahwa Jin ZiXuan masih ayah Jin Ling. Mereka berdua tahu itu.

Berapa lama sejak hubungannya dengan Jiang Cheng renggang begini? Lima belas tahun? Atau lebih? Hubungan mereka sudah tegang sebelum pernikahan Jiejie, sebelum peristiwa itu terjadi. 'Renggang' terdengar terlalu kurang jika dibandingkan dengan seperti apa mereka sekarang. Kebencian dari tatapan Jiang Cheng ke Wei Ying begitu kuat dan jelas. Bahkan tidak akan berlebihan jika mengira Jiang Cheng akan menukar nyawa Wei Ying agar orangtuanya bisa kembali. Mungkin ya. Mungkin tidak. Kemungkinannya ada, dan rasanya menyakitkan. Hubungan mereka bukan hanya merenggang. Di kehidupan lain, Jiang Cheng pasti tidak akan ragu untuk membunuhnya.

Seandainya Wei Ying memang punya kehidupan yang lain, akan sehancur apa jadinya?

Wei Ying-lah yang lebih dulu membuang muka. Dia menghela napas, mendadak merasa sangat lelah.

"Tapi kau seharusnya memikirkan apa yang baik untuknya," ujar Wei Ying, suaranya rendah. "Apa adil membuatnya terus pindah ke sekolah berbeda tanpa memberinya kesempatan untuk mencari teman?"

Jiang Cheng maju selangkah. Selama sedetik singkat, Wei Ying mengira lelaki ini akan menghajarnya.

"Kau tidak punya hak apa pun untuk mengatakan apa yang baik untuknya!"

Seharusnya dia sudah memperkirakan tanggan seperti itu. Bodoh sekali dia masih saja merasa sakit hati setelah sekian tahun ini.

Wei Ying mengepalkan tangan. "Dia keponakanku juga."

Jiang Cheng bergerak lebih cepat dari kedipan matanya. Dalam sedetik, dia menutup jarak di antara keduanya dan menyambar kerah Wei Ying. Wajahnya terpilin oleh amarah dan tangannya juga gemetaran. Wei Ying pun gemetar. Dia ingin mengira rasa gemetar ini karena udara musim dingin. Dia tidak peduli jika Jiang Cheng menghajarnya. Lelaki itu sudah pernah menghajarnya, dan Wei Ying juga balas menonjoknya. Mereka sudah pernah bertarung sengit dan berakhir dengan keduanya babak belur dan berdarah-darah, meneriakkan umpatan ke satu sama lain. Itu tidak ada artinya. Memang seharusnya percuma.

Wei Ying meletakkan tangan di dada Jiang Cheng tapi tidak sampai hati mendorongnya mundur.

"Kau tidak pantas mengatakan itu," desis Jiang Cheng. "Kau tidak punya urusan apa-apa dengan keluargaku ini."

Pada akhirnya, Jiang Cheng tidak perlu menghajarnya. Namun Wei Ying tetap mengernyit seperti habis ditonjok. Dia pun mendorong Jiang Cheng.

"Percuma saja bicara denganmu. Pergilah."

Jiang Cheng tidak mengatakan apa pun lagi. Dia tersenyum mengejek dan meninggalkan ruangan. Wei Ying pun akhirnya bisa bernapas.

Di perdebatan kali ini, dia-lah yang terakhir berbicara, tapi sama sekali tidak ada kemenangan yang terasa. Tidak saat matanya serasa tersengat oleh perkataan Jiang Cheng dan dia mengingat dirinya tidaklah sekosong seperti yang dia pikirkan.

Wei Ying lebih memilih merasa kosong. Dia berharap tidak merasakan apa-apa.

Dia mengertakkan gigi dan menggelengkan kepala. Beberapa menit berikutnya dia habiskan dengan memelototi meja, mata menyusuri garis-garis kayunya. Dia menghitung setiap garis dan lengkungannya, sia-sia mencoba mengabaikan emosi yang sudah terbiasa dia abaikan. Dia benci melihat Jiang Cheng. Dia benci berdebat dengan Jiang Cheng. Terlebih lagi, dia berharap bisa membenci Jiang Cheng, tapi satu-satunya orang yang bisa dia benci adalah dirinya sendiri.

Pintu berderit terbuka.

Kepala Wei Ying langsung mendongak dan melihat sosok lelaki tinggi berpakaian putih. Mr. Lan membuka pintu tapi terlihat ragu untuk masuk. Pasti dia sudah mendengar pembicaraannya dengan Jiang Cheng barusan.

Hari ini rambutnya diikat dalam gelungan rendah, beberapa helai lolos dan membingkai wajahnya. Dia mengenakan kaus biru di balik mantel putih panjang dan segala sesuatu tentang dirinya terlihat begitu bersih. Dia berjalan masuk ke ruang kelas dan itu membuat Wei Ying sebal bagaimana seseorang bisa terlihat begitu murni sementara dirinya di sini merasa seperti kotoran.

Tapi dia tidak boleh meledak marah pada Mr. Lan. Dia pun menghirup napas dalam-dalam dan berharap wajahnya tidak mengkhianati apa pun.

"Oh, Mr. Lan." Wei Ying memaksa senyum di bibirnya. "Maaf, apa kau datang untuk menjemput SiZhui?"

Mr. Lan mengangguk.

"Oke. Well..." Wei Ying bersusah-payah mencari sesuatu untuk dikatakan. Kepalanya masih terjebak dengan pikiran tentang Jiang Cheng dan Jin Ling, dan dia benci pada kemungkinan orang asing seperti Mr. Lan bisa mendengar semuanya.

Dia mundur selangkah dan mengalihkan perhatiannya dengan mengumpulkan buku-buku di atas meja. Entah karena apa, dia yakin bisa merasakan tatapan Mr. Lan terpaku padanya.

"Sepertinya SiZhui sedang di luar. Kau bisa menjemputnya sekarang—"

"Wei Ying."

Wei Ying membeku. Namanya terdengar aneh saat keluar dari bibir Mr. Lan. Perlahan dia melirik dari balik pundaknya, kening berkerut. Seingatnya dia tidak pernah memperkenalkan diri ke lelaki itu. Dia memang memperkenalkan diri ke kakak-nya saat Mr. Lan mengantarnya pulang, tapi tidak pada dia secara langsung.

"Apa kita akrab?" tanya Wei Ying.

Mr. Lan membelalakkan mata sebelum mengalihkan pandangannya.

"Maafkan aku, Mr. Lan. Kau seharusnya tidak mendengar yang tadi." Dia beralih kembali mengumpulkan buku satu per satu. "Kurasa sekarang kau sudah tahu apa yang terjadi pada SiZhui, jadi aku tidak akan membuang waktu untuk mengulanginya lagi. Tapi tolong beritahu SiZhui untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi. Aku bahkan tidak tahu kenapa dia bisa terlibat. Dia adalah orang terakhir yang kukira akan terlibat dalam suatu perkelahian..."

Wei Ying berbicara asal. Dia pun segera menutup mulut dan berharap Mr. Lan mengetahui maksudnya.

Tidak ada suara pintu tertutup, atau langkah kaki, atau apa pun yang mengindikasikan kepergian Mr. Lan. Wei Ying pun mengertakkan giginya.

"Terima kasih atas waktunya, Mr. Lan," kata Wei Ying, suaranya sedikit meningkat. "Itu saja untuk hari ini."

Tetap saja tidak terjadi apa-apa. Wei Ying berbalik. Mr. Lan masih tidak bergerak sama sekali dan terus menatap Wei Ying dengan ekspresi yang tidak bisa dia baca.

"Mr. Lan?" panggil Wei Ying lagi. "Tidak ada hal lain lagi."

Mata Mr. Lan menyipit. "Tidak."

"Tidak?"

"Kau sedang marah."

Apa?

Wei Ying tertawa tapi ada beban tak nyaman yang tidak bisa disingkirkan dari dalam dadanya. "Tidak."

Mr. Lan tidak mengucapkan apa-apa. Wei Ying melihatnya mengepalkan tangan.

Kenapa dia masih tidak mau bergerak? Apa yang dia inginkan?

"Lagipula," Wei Ying meneruskan, "maafkan kelancanganku, tapi ini bukan masalahmu. Tidak ada hubungannya denganmu."

Yang ada hanya keheningan. Bahkan di luar ruang kelas ini, Wei Ying tidak bisa lagi mendengar suara karyawan sekolah dari kejauhan yang masih berada di sini juga. Seakan-akan hanya dirinya dan Mr. Lan yang tersisa di sini.

"Ada apa?" desak Wei Ying, ketidaksabaran mulai merambati suaranya.

"Wei... Wei Ying."

Menakjubkan bagaimana sesuatu yang simpel seperti namanya dipanggil seseorang bisa membuat Wei Ying merasa sangat kacau. Dia tidak menyukainya. Bahkan bisa dibilang dia tidak mengenal lelaki ini sama sekali, tapi dia malah menyebut nama Wei Ying dengan perasaan yang terlalu kuat untuk bisa Wei Ying mengerti. Dia pun melangkah mundur dan mengepalkan tangan, jemarinya terbenam di telapak tangannya.

"Kita belum pernah saling memperkenalkan diri dengan benar. Bukankah sedikit terlalu lancang jika kau memanggil namaku begitu? Aku bahkan tidak tahu harus memanggilmu bagaimana."

Kali ini Mr. Lan merespons dengan cepat. "Lan Zhan."

"Lan Zhan?"

"Ya."

Lan Zhan. Wei Ying mencoba mengeja nama di lidahnya. Lan Zhan.

"Hmm." Dia mengangguk dan menahan dorongan mengulangi nama itu di kepalanya. "Well, kau bisa pergi sekarang, Lan Zhan. Maafkan aku sudah membuang waktu dari jadwalmu, tapi kau tidak perlu terus berada di sini."

Dan tetap saja, dia tidak bergerak. Kesabaran Wei Ying pun makin menipis.

"Kau akan pergi ke mana sekarang?" Mr. Lan—Lan Zhan—bertanya.

Kerutan di kening Wei Ying makin mendalam. "Huh? Rumah, sepertinya? Kenapa bertanya begitu?"

"Biar kuantar pulang."

Dia segera menggelengkan kepala. "Tidak, terima kasih. Aku masih... punya kerjaan di sini."

Suara jarum jam berdetak di dinding terdengar keras, terlalu keras. Wei Ying menghitung detik demi detik dan penasaran jika Lan Zhan akan benar-benar pergi. Apa dia ingin mendiskusikan sesuatu? Apa ada yang salah? Kesabaran bukanlah salah satu sifat Wei Ying. Dia bagus dalam menghadapi kebanyakan orang dan menyembunyikan segalanya di balik senyuman, tapi dia tidak pernah bagus dalam hal bersabar. Kebutuhan, mungkin. Membodohi orang lain lebih mudah daripada membodohi diri sendiri.

Kini dia tidak punya tenaga untuk membodohi Lan Zhan. Wei Ying menghela napas, memijat kepalanya yang berdenyut sakit.

"Ayolah, Lan Zhan, pergilah. Hanya karena kita pernah minum kopi bersama tempo hari bukan berarti kau perlu memastikan aku baik-baik saja."

Lan Zhan mengerutkan kening.

"Apa benar begitu? Kau mengira karena kita pernah jalan sekali, maka kau perlu peduli padaku?" Wei Ying pun tertawa lagi. Rasanya hampa. Dia tidak tahu apanya yang lucu. "Jangan khawatir, kau tidak perlu mempedulikanku. Tolong pedulikan hidupmu sendiri."

Mr. Lan menggelengkan kepala. "Bukan itu."

"Kalau begitu apa? Kenapa kau masih di sini?"

Dia tidak bermaksud menaikkan nada bicaranya. Perkataan itu bergema di ruang kelas kosong ini dan dia tahu Lan Zhan tidak akan melewatkan amarah di balik suaranya. Wei Ying mengernyit dan memutar badan, duduk kembali di depan meja. Dia mulai mencorat-coret buku salah satu murid, mengecek jawaban yang tepat. Sementara itu, mata emas Lan Zhan masih fokus padanya, mengikuti setiap goresan pena di tangannya. Mungkin dia bisa melihat tangan Wei Ying sedang memegang pena itu terlalu erat.

"Pergilah, Mr. Lan," ujar Wei Ying lagi. Kali ini lebih lemah. Lelah. "Tolong, pergilah."

Seperti Jiang Cheng, Wei Ying-lah yang terakhir bicara. Lan Zhan mengangguk kaku dan akhirnya, akhirnya pergi. Dia menutup pintu. Dan Wei Ying sendiri lagi.

Dia tidak membiarkan dirinya menghela napas lega. Wei Ying memindai setiap buku, menandai satu per satu sampai tangannya sakit dan perasaan kebas di dadanya kembali lagi. Ketika rampung, dia menatap dinding di seberangnya, mendengarkan napasnya yang tak beraturan. Di luar, suara rinai hujan lembut mulai terdengar lagi, bergabung dengan keheningan ini.

Dia masih tidak bergerak, bahkan tidak saat hujan semakin menderas. Perutnya berbunyi dan kepalanya berdenyut sakit, tapi setidaknya itu membantunya mengalihkan pikiran.

Lan Zhan. Lan Zhan. Ada rasa familier yang terasa, nyaris seperti Wei Ying pernah bertemu seseorang dengan nama yang sama sebelumnya—tapi dia tahu bahwa itu tidak benar.

Dia sudah kelewatan batas. Tidak seharusnya dia meneriaki lelaki itu tadi. Biasanya Wei Ying mampu mengontrol hal seperti ini, tapi ada sesuatu dari cara Lan Zhan menatapnya. Dia tidak tahu apa itu dan hingga kini dia masih tidak tahu. Simpati? Kasihan? Wei Ying tidak menginginkan itu, apalagi dari orang asing.

Suara ponsel bergetar adalah satu-satunya hal yang menarik Wei Ying dari pikirannya sendiri. Dia menghela napas dan mengeluarkan benda itu dari saku. Seperti biasa, ternyata Wen Qing.

Wei Ying mengerang. Dia lupa sudah mengundang sahabatnya untuk nonton film malam ini. Sebelumnya dia sudah membatalkannya; jadi kalau Wei Ying membatalkannya lagi, wanita itu pasti akan membunuhnya.

Setidaknya itu akan menghentikannya dari merundung ditemani sebotol vodka malam ini.



--



"Hei, kau tidak memperhatikan filmnya sama sekali."

Wei Ying mengerjap, melirik kembali ke arah TV bertepatan saat tangan karakter utamanya digigit zombie. Ini ide Wei Ying untuk menonton film zombie, dan biasanya dia akan berteriak keras-keras sementara Wen Qing akan menertawakan betapa memalukannya dia. Malam ini, dia bahkan tidak berkedip, apalagi menonton ke arah layar.

"Maaf," Wei Ying menghela napas. "Aku sedang banyak pikiran."

Wen Qing memakan segenggam popcorn dan berguling di sofa untuk menatapnya. Sebelah alis terangkat, dia menunggu Wei Ying memberitahunya apa yang sudah terjadi.

Wei Ying sedang tidak mood untuk membicarakan itu. Dia pun mencuri sejumlah popcorn dari mangkuk Wen Qing dan menghindar saat wanita itu mencoba menepis tangannya. Seperti biasa, Wen Qing tidak mendesaknya lebih jauh apabila Wei Ying enggan menjelaskan masalahnya. Mereka sudah lama saling mengenal sehingga tahu itu tidak akan berhasil.

"Dan aku kemari untuk mengalihkan pikiranmu," Wen Qing berujar, menyingkir dari sofa. Wei Ying menyambar mangkuk popcorn-nya setelah dia pergi dan memakan sisanya.

Filmnya sudah terlupakan dan suara zombie memakan manusia hidup-hidup hanya menjadi musik background. Wen Qing berjalan ke arah raknya, menggumamkan sesuatu tentang mencari film yang lebih bagus—bukan berarti Wei Ying akan memperhatikannya juga. Di saat seperti ini, yang dia inginkan hanyalah tidur.

Wei Ying mengambil alih tempat Wen Qing di sofa dan berguling ke dalam selimut tebal. Ada remah popcorn di mana-mana; jelas sekali sahabatnya itu benar-benar menganggap ini rumahnya sendiri seperti biasa. Sambil menggerutu, Wei Ying menggoyangkan selimut untuk menyingkirkan remahan itu, tapi tetap saja percuma karena dia masih bisa merasakan remahannya saat ingin membungkus dirinya seperti gulungan sushi di atas sofa.

Sementara itu, Wen Qing sedang mencari sesuatu yang bagus dengan memindainya. Wei Ying mengabaikannya dan lebih memilih memejamkan mata.

"Apa ini?"

Matanya pun langsung terbuka dan melihat Wen Qing melambaikan sepotong kertas.

Wei Ying mengerutkan kening, berdiri dan memincingkan matanya. Apa pentingnya sepotong kertas? Sepertinya itu juga sudah kusut...

Oh, tunggu.

Dia mengerang, kembali merosot dan membungkus dirinya ke dalam selimut tebal.

"Ugh, aku lupa soal itu."

"Oh? Ini nomor siapa?"

"Hanya pria yang baru-baru ini kutemui. Bukan apa-apa."

Wen Qing melicinkan kertas itu di tangannya, "Kau menjalin hubungan lagi dengan seseorang?"

Wei Ying mengerutkan kening. "Tidak. Itulah sebabnya kertas itu kuremas."

"Bagaimana kau bisa dapat nomornya?"

Cengiran gila JingYi melintas di kepalanya. Wei Ying pun bergidik ngeri.

"Ada bocah di sekolah yang memberikan itu padaku."

"Oke, sekarang aku jadi makin bingung. Apa ini orangtua murid?"

Wei Ying menghirup napas dalam-dalam. "Sudah kubilang itu tidak penting. Kami memang pernah minum kopi bersama dan dia juga pernah mengantarkanku pulang, itu saja."

"Kedengarannya dia lebih baik dari orang-orang yang pernah kaupacari dulu."

"Haha, lucu sekali."

Wen Qing memutar bola matanya dan duduk bersila di atas lantai, masih menatap potongan kertas itu. Akhirnya dia menghentikan film itu saat ada satu lagi karakter yang bersimbah darah di layar sampai membuat sakit kepala Wei Ying makin parah.

"Dia baik, tidak?"

Wei Ying mengerutkan kening dan menggosok matanya, menguap lagi. "Hm? Biasa saja, sepertinya. Sangat mewah dan terlihat pintar."

"Sudah jelas lebih baik. Kau harus menelepon dia."

Itu membuat Wei Ying terbangun dan melotot ke arah sahabatnya ini. "Tidak."

Wen Qing menghela napas. "Kenapa kau mengincar orang berengsek tapi malah menolak orang baik?"

"Hei, Wen Ning itu temanku dan kau tahu hubungan kami tidak akan berhasil."

Wen Qing tidak pernah membiarkan Wei Ying lupa bahwa dia pernah menolak adiknya. Well, sebenarnya tidak bisa dihitung menolak kalau keduanya sama-sama memutuskan bahwa tidak akan ada yang berhasil di antara mereka, bukan? Lagipula bagaimana bisa kau bersama dengan seseorang yang masih memanggilmu 'Tuan'? Wen Ning adalah salah satu dari sedikit teman yang masih bersamanya setelah semua yang telah terjadi. Wei Ying tidak ingin merusak pertemanan itu dengan bermain-main dengannya sebagaimana dia bermain-main dengan sembarang orang.

"Haha, aku tahu," Wen Qing menyeringai. "Lagipula kau terlalu berantakan untuk adikku."

Dia ada benarnya, tapi tidak seharusnya juga dikatakan.

Wen Qing melambaikan potongan kertas itu. "Tapi menurutku, apa yang salah dengan orang ini?"

"Tidak ada. Aku hanya tidak mau repot dengan hal seperti itu sekarang."

Mungkin jika dia bertemu Lan Zhan beberapa tahun yang lalu, dia pasti tidak akan membuang waktu dan langsung melompat padanya. Tapi sekarang? Sekarang Wei Ying lelah dan butuh upaya besar untuk mau dekat dengan siapa pun.

"Tempo hari kau memaksaku menonton The Notebook bersamamu dan kau menangis sepanjang film."

"Itu karena The Notebook film sedih. Apa maksudmu?"

Wen Qing menggelengkan kepala dan duduk. "Tidak, orang yang menangisi The Notebook hanyalah orang tolol atau yang ingin punya pacar. Faktanya, kebanyakan orang yang menangis saat menonton film romantis sebenarnya karena mereka diam-diam menginginkannya. Tapi kau menangis heboh selama dua jam penuh."

Ekspresi di wajah Wen Qing terlihat seperti sedang menjelaskan prosedur detail dari metode transplantasi otak, bukannya menjelaskan kenapa seseorang menangisi film The Notebook.

"Memang sedih!" Wei Ying berujar lagi. "Mereka mati di akhir filmnya!"

"Dan kau juga mulai minum lagi! Kau kira aku tidak tahu?"

"Karena hidup itu menyebalkan!"

Wen Qing melempar bantal ke wajahnya, tenaganya agak berlebihan. Wei Ying mengerang dan bersembunyi di balik selimut, berharap kepada Buddha supaya dia bisa membatalkan malam menonton film ini. Atau paling tidak, dia seharusnya mengajak Wen Ning saja... Tapi jika Wen Qing tahu Wei Ying hanya mengundang adiknya, dia pasti akan menghajar Wei Ying hingga babak belur. Lupakan saja fakta bahwa Wen Qing seorang dokter. Mengurusi hidup orang lain sepertinya tidak akan dihitung jika namamu adalah Wei Ying.

Wen Qing melempar bantal kedua padanya. "Hidupmu akan terus menyebalkan kalau kau tidak berbuat sesuatu!"

Wei Ying mengabaikannya dan terus memejamkan mata di balik selimut.

"Apa dia tinggi? Menarik?"

Terus abaikan dia.

Bantal ketiga terlempar ke arahnya.

"Kenapa itu penting sekali?" seru Wei Ying, kepalanya melongok keluar dari selimut.

Wen Qing menyambar bantal lain, tanpa ragu bersiap melemparkan yang satu ini juga. Persetan dengan hobinya mengumpulkan begitu banyak bantal di ruang tamunya. Dan persetan dengan kemampuan membidik Wen Qing itu.

"Well, bagaimana?"

Wei Ying mengerang entah yang keberapa kalinya hari ini. Dia bangkit duduk dan melontar tangan ke udara. Wajah Lan Zhan melintas di pikirannya.

"Yeah, dia tinggi dan tampan, oke?" ujarnya. "Seakan-akan dia baru melangkah keluar era Cina Kuno—tapi seperti kataku tadi, aku tidak mau."

Yang dilakukan Wen Qing hanyalah mengangguk. Dia menatap potongan kertas itu sekali lagi tanpa mengucapkan apa pun. Wei Ying nyaris syok. Apa dia sudah menyerah?

Kemudian Wen Qing menyergap meja dan merebut ponsel Wei Ying, lalu berlari ke arah dapur. Jantung Wei Ying serasa tenggelam. Dia pun segera berjuang keluar dari sofa, tersandung selimut dan mendengarkan tawa setan Wen Qing di penjuru apartemennya.

"Oi, apa yang kaulakukan? Wen Qing! WEN QING!"



--



Sudah lama sejak terakhir kali WangJi merasakan bobot guqin di punggungnya. Dengan cekatan, dia mengikuti kakaknya, memindai sekeliling kantor polisi untuk berjaga-jaga apabila ada polisi yang bersembunyi di balik bayangan. Tidak ada siapa pun. Kebanyakan dari mereka entah sedang berpatroli mengelilingi kota atau tidur di ruangan karyawan karena Nie MingJue sudah pulang. Wangji mengerutkan kening melihat keteledoran mereka. Setidaknya itu memudahkan mereka menyelinap masuk ke kantor polisi ini.

Tindakan seperti ini memang sembrono, tapi hanya inilah satu-satunya pilihan untuk mengambil kembali pedang XiChen. Bukan masalah besar untuk menyelinap ke kantor polisi. Selama berabad-abad, kedua Giok itu telah mengasah kultivasi mereka sampai dikaruniai kemampuan yang tidak dimiliki kultivator normal. Energi spiritual mengerkah di ujung jemari mereka dan mereka bisa dengan mudah menyalurkannya ke benda lain, misalnya benda-benda di sekitar mereka. Kemampuan itu jarang mereka gunakan, terlebih lagi di dunia yang kini menyangkal keberadaan kultivasi ini.

Namun malam ini lain cerita. Menyusup ke dalam bangunan ini tidak membutuhkan upaya yang terlalu besar. Saat mereka masuk, WangJi memetik senar guqin-nya dan mengirimkan riak-riak yang membekukan kamera di area ini. Tidak merusak, kamera-kamera itu hanya dikacaukan supaya jejak mereka berdua tidak terekam.

Mengambil kembali pedang XiChen tidak akan memerlukan banyak waktu. WangJi terus mengikuti kakaknya.

"Aku bisa merasakannya di dekat sini. Sepertinya hanya dijaga satu orang," bisik XiChen. "Tetap saja, mari kita berhati-hati."

WangJi mengangguk. Satu orang tidak akan terlalu sulit untuk ditundukkan. Tidak butuh waktu lama sampai mereka menemukan pengawasnya yang sedang tertidur di depan pedang XiChen. Pengawas itu duduk di atas kursi, kepalanya menunduk kemudian terlonjak bangun lagi begitu hampir jatuh dalam tidurnya. Sepertinya mereka berdua tidak perlu menahan orang itu. Kalau dia terus tertidur, maka XiChen akan mampu memegang Shuoyue kembali dengan mudah—

Suara nyaring terdengar dari kantung WangJi. XiChen terlonjak mundur, menatapnya ngeri.

"WangJi," desisnya.

WangJi tidak perlu diberitahu dua kali. Dia pun merogoh pakaian dan mengguncang-guncang ponsel yang lampunya masih berkedip-kedip itu. WangJi tidak tahu cara menghentikannya.

"A-Apa?" Polisi di belakang mereka terlonjak dan memutar badan. "Hei—!"

Melesat maju, WangJi menusuk titik tekanan di tulang belakang orang itu tanpa ragu. Dalam hitungan detik, lelaki itu terhuyung mundur, mengeluarkan suara tak jelas sebelum ambruk ke lantai. Ada suara gedebuk keras saat kepalanya menghantam ujung meja.

Pengawas itu tergeletak di kaki mereka, matanya terpejam rapat. Tak bergerak lagi.

WangJi menunduk untuk meraba nadinya. Dia masih hidup, untung saja. Tujuan awalnya adalah untuk melumpuhkan lelaki itu sementara waktu ini, bukannya membuat dia tidak sadarkan diri.

XiChen menghela napas, memijit pangkal hidungnya sambil menghirup napas dalam-dalam. Tatapan yang dia layangkan ke WangJi sama sekali tidak senang, tapi dia tidak mengucapkan apa pun lagi saat mereka mengangkat pria pingsan itu.

"Nyaris saja, WangJi," ujar XiChen begitu pengawas itu dikembalikan ke kursinya. "Tolong atur ponselmu dalam mode silent."

Alis Wangji berkerut. Dia menekan berbagai simbol dan ikon di layar ponsel. Menempatkan mantra pembungkam di ponselnya akan lebih mudah daripada mencoba mencari tahu di mana pilihan untuk menghidupkan mode silent, begitulah yang XiChen tangkap darinya.

"Bagaimana?" tanya WangJi kemudian.

Sang kakak hanya bisa mengembuskan apa yang disebut napas penuh derita. Dia mengambil ponsel itu dari tangan WangJi dan menyetelnya.

"Kau dapat pesan," ujar XiChen. "Dari... Well. Lihatlah sendiri."

Kebingungan, WangJi pun mencondongkan tubuhnya untuk mengintip layar itu.

WangJi kebingungan, itu pernyataan yang kurang. Faktanya, WangJi menghabiskan waktu cukup lama menatap layarnya, mencoba mengartikan apa yang sebenarnya terjadi. Dia berpikir Wei Ying sedang mencoba menghubunginya, tapi kenapa kalimatnya begini? Apa ini sejenis bahasa modern yang hanya bisa diartikan lewat teknologi?

"Apa dia baik-baik saja?" tanya XiChen tak lama kemudian.

"Aku tidak tahu," WangJi mengakui. "Apa ini bahasa lain?"

XiChen menggelengkan kepala. "Aku yakin dia hanya asal menekan tombol keyboard-nya. Aku sendiri tidak yakin alasannya apa."

Mereka menatap pesan-pesan itu selama beberapa menit sebelum XiChen menghela napas lagi. "Well, kau tidak bisa meneleponnya sekarang."

WangJi mengangguk. Dia mengambil ponselnya dari XiChen dan segera mengetikkan balasan, terkejut melihat Wei Ying merespons kurang dari beberapa detik.

XiChen mengerutkan kening dari balik pundaknya. "Mungkin dia sedang mabuk? Beritahu dia kau akan meneleponnya nanti."

WangJi memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku, menyingkirkan rasa penasarannya yang membara supaya fokus pada hal yang lebih mendesak. Tak peduli seperti apa dia ingin berbicara dengan Wei Ying, melakukannya di tempat ini hanya akan membawa lebih banyak masalah.

"Maafkan aku," WangJi memberitahu kakaknya. XiChen menghela napas lagi, tapi kali ini ada kepuasan di matanya.

Tanpa membuang waktu lagi, XiChen mengambil pedang dari dalam peti penyimpannya. Kuncinya dengan mudah dirusak oleh si Giok, dan XiChen pun tersenyum kecil saat Shuoyue kembali padanya lagi. Dia menimbang-nimbang pedang itu di tangannya, seolah membiasakan diri dengan kehadiran pedang itu lagi.

"Ayo," ucapnya setelah itu. "Mari kita pergi."

Sebelum pergi, mereka memastikan polisi pengawas tadi masih tak sadarkan diri. Beruntung sekali, mungkin pukulan di kepalanya tadi akan membuatnya lupa pada kilasan wajah kedua Giok itu.

Udara malam terasa menyegarkan saat mereka akhirnya keluar dari kantor polisi. XiChen menyembunyikan pedangnya ke dalam tas qiankun dan WangJi melakukan hal yang sama dengan guqin-nya. Kalau melihat mereka, tidak ada yang akan menduga kejahatan apa yang baru saja mereka lakukan.

"Cepat atau lambat, mereka akan segera tahu pedangnya menghilang," ujar XiChen begitu mereka kembali ke mobil WangJi.

WangJi menghidupkan mesin mobilnya. "Tidak ada barang bukti, mereka tidak akan bisa berbuat apa pun padamu."

"Mari berharap begitu." XiChen meregang dan menguap sedikit. "Apa kau akan meneleponnya? Dia memintamu meneleponnya, bukan?"

WangJi belum lupa. Dia ingat bagaimana Wei Ying menyuruhnya pergi tadi siang, rasa kesal di mata kelabunya yang tak terbantahkan saat WangJi menolak pergi. Seperti biasa, Wei Ying selalu mengejutkannya dengan tindakan yang tak terduga. Dua ribu tahun berlalu dan dia masih tidak bisa mengikuti kecepatan perubahan mood dan pikiran lelaki itu.

Meski begitu, dia tidak bisa melangkah pergi sekalipun ingin. WangJi mengeluarkan ponselnya dan menelepon nomor yang tadi mengiriminya pesan.

Responsnya datang secara kilat.

"LEPASKAN AKU—OH, halo!!"

WangJi mengerutkan kening. "Kau bukan Wei Ying."

Itu suara perempuan. Kedengarannya agak familier, tapi WangJi tidak bisa mencocokkannya dengan wajah mana pun sekarang ini.

"Tidak, dia di sini," ucapnya.

Ada suara gemerisik dan hening di seberang telepon. Kerutan di kening WangJi semakin dalam saat dia mendengar jeritan sakit dan teriakan lain. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Lan Zhan, Lan Zhan."

WangJi menegakkan tubuh begitu mendengar suara Wei Ying.

"Maafkan aku, temanku ini benar-benar menyusahkan—ow! Jangan memukulku! Ow!"

Suaranya terlalu keras bahkan XiChen pun menatap ponselnya dengan bingung. Dia bertemu pandang dengan mata WangJi kemudian mengangkat bahu.

"Wei Ying," panggil WangJi.

"Ya, ya, ini aku. Ta-da." Dia tertawa gugup. "Tapi sebenarnya aku tidak bermaksud meneleponmu. Akan kututup teleponnya sekarang—"

Lagi, ada suara jeritan sakit. Dari teriakan Wei Ying itu, dia samar-samar bisa mendengar suara seorang wanita di belakangnya.

"Bicaralah dengannya, dasar bodoh!" ujarnya.

WangJi tidak yakin mesti merasa khawatir atau tidak.

"Oke, oke—ah. Lan Zhan, halo lagi." Wei Ying masih tertawa tapi bahkan WangJi pun tahu tawa itu dipaksakan. "Kukira kau sedang sibuk menyusup ke kantor polisi sekarang."

XiChen menghela napas mendengar perkataannya itu.

"Kami sudah selesai," kata WangJi.

"Oh. Oke. Kuanggap kau tidak sedang di penjara...?"

"Tidak."

"Itu bagus—maksudmu, menyusup ke tempat mana pun itu tidak bagus. Aku tidak mendukung perilaku semacam itu, Lan Zhan. Aku sama sekali tidak mengira kau seperti kriminal. Apa kakakmu itu pengaruh yang buruk buatmu?"

XiChen mengangkat sebelah alis, jelas-jelas merasa tersinggung.

"Kakakku tidak seperti itu."

"Haha, bercanda, aku hanya bercanda." Terdengar suara gemerisik lagi, seolah ada yang menghalangi suaranya. Samar-samar WangJi mendengar Wei Ying berbicara meskipun teredam. "Aku sedang bicara dengan dia, oke?!"

Saat dia bicara lagi, suaranya terdengar lebih jelas. Suara Wei Ying memenuhi penjuru mobil ini.

"Dengar, um. Aku minta maaf soal yang tadi. Aku agak tidak sopan padamu padahal kau mencoba bermaksud baik."

"Tidak apa-apa."

"Baiklah." Wei Ying menghela napas. "Terima kasih. Haha, ternyata lebih mudah dari yang kukira."

WangJi pun tidak bisa menahan diri untuk bertanya. "Siapa yang sedang bersamamu?"

"Perempuan yang tadi? Dia temanku. Dia, uh, yang meneleponmu tadi. Maaf lagi."

"Hmm."

Hening. WangJi berharap dia bisa melihat wajah Wei Ying daripada hanya berbicara dengannya lewat sambungan telepon.

"Aku... aku harus pergi. Aku tidak ingin mengganggumu."

Dia menggeleng. "Kau tidak menggangguku."

"Oh," suara Wei Ying naik sedikit. "Itu bagus. Well, sekarang kau punya nomorku jadi... kalau perlu bicara denganku tentang urusan sekolah, kirimi saja aku pesan. Atau telepon saja kalau mau."

"Aku mengerti."

"Kalau begitu... sampai jumpa."

WangJi tidak ingin membiarkannya pergi. Seperti biasa, dia tidak tahu harus berkata apa, seperti layaknya orang bodoh.

"Sampai jumpa," ujarnya tak rela. "Semoga... malammu menyenangkan."

"Kau juga. Sampai ketemu lagi, Lan Zhan."

Dan begitu saja, dia menghilang. WangJi mengembalikan ponsel ke sakunya lagi sambil menghela napas panjang. Dia tidak merasa tak bersyukur; dia bersyukur bisa berbicara dengan Wei Ying lagi, dan kali ini bukan karena Wei Ying sedang marah. Tapi itu tidak menghentikan rasa frustrasi karena dirinya sangat jauh dari Wei Ying. Lelaki periang itu selalu menjadi teka-teka buat WangJi, tapi sekarang semakin parah saja karena dia tidak bisa mengetahui apa yang sudah Wei Ying alami selama hidupnya.

WangJi ingin tahu segalanya, tapi dia tidak tahu bagaimana cara mengetahui atau menanyakannya. Dia bahkan tidak tahu jika dirinya pantas untuk hal semacam itu.

"Ada apa?" tanya XiChen, suaranya terdengar lembut.

WangJi memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa. Toh kakaknya juga akan tahu. Dia memang senantiasa terlalu bagus dalam membaca adiknya.

"Lebih sulit bicara dengan dia, bahkan sampai sekarang," ujarnya.

XiChen menyentuh pundak WangJi. "Itu memang wajar, WangJi. Mereka tidak mengenal kita seperti kita mengingat mereka."

WangJi mengatupkan bibir. "Apa benar..."

Dia berhenti, bersusah payah mencari kata-kata yang tepat.

"Apa maksudmu?"

"Aku benar aku pantas..."

Lagi, suaranya memudar. Dia memincingkan mata ke jalanan di depan mereka.

"Apa benar kau pantas untuk mengharapkan Wei WuXian, meskipun dia seperti orang yang baru?"

Tentu saja XiChen tahu. WangJi mengertakkan gigi begitu mendengar keraguannya disuarakan.

"Dia masih sama," ujarnya. "Tapi aku tidak tahu apa pun tentang dia."

Wei Ying tetaplah Wei Ying, tidak peduli siapa dia. Wei Ying tidak pernah dimiliki WangJi, tidak sekarang, tidak selamanya. Sepanjang waktu di masa lalu, bahkan saat Wei Ying masih berada dalam jangkauannya, WangJi tidak pernah bisa mendekat untuk menyentuh hatinya. Wei Ying menganggapnya tidak ada, sama seperti bagaimana lelaki itu menganggapnya sekarang ini. Semuanya masih sama.

Apa dia memang  berhak mengharapkan Wei Ying untuk yang kedua kalinya? WangJi tidak peduli jika Wei Ying dulu membencinya; yang dia inginkan hanyalah agar Wei Ying aman dari segala bahaya yang menghadangnya.

Sulit merasa seperti ini, di saat dia sendiri tidak tahu bahaya apa yang mengelilingi Wei Ying di kehidupan yang sekarang. Dia ingin melindunginya dan mencintainya seperti yang senantiasa dia lakukan—tapi bagaimana?

XiChen meremas pundaknya. Saat WangJi menengadah, kakaknya itu sedang tersenyum padanya.

"Kurasa... kurasa kita sudah hidup terlalu lama, WangJi," ujarnya. "Ini saatnya kau melakukan apa pun yang membuatmu bahagia. Jangan biarkan kesempatan ini terlepas."

Bahagia. Dia mengucapkan kata itu seolah WangJi semestinya tahu apa maknanya. Apa itu kebahagiaan? Apa dia mengingat bagaimana rasanya tersenyum tulus, merasa ringan di hatinya yang berlawanan dengan rasa berat saat menolak pergi?

Itu terlalu berat untuk dipikirkan. WangJi menggeleng pada dirinya sendiri dan mulai menghidupkan mesin mobil sekali lagi. Mereka tidak lagi mengucapkan apa-apa.

Di atas mereka, bulan bersinar terang seperti pada malam dia bertemu Wei Ying. Dia mengingat aura putih bulan itu yang nyaris sama membutakan seperti senyum Wei Ying. Sejak saat itu, WangJi tidak bisa lagi memahami emosinya, selamanya teralihkan oleh lelaki yang menyebalkan itu, yang terus saja membuatnya kebingungan bahkan hingga hari ini.



--



Wen Qing sudah kehabisan bantal untuk dilemparkan ke arahnya. Jadi sekarang dia mengguncang-guncang Wei Ying begitu keras sampai dia bisa mendengar suara otaknya sendiri yang mulai menyerah padanya.

"Urusan sekolah? Urusan sekolah?"

Wei Ying memberontak lolos darinya. Semuanya terasa berputar-putar. Sial, dia perlu minum.

"Apa lagi yang harusnya kami bicarakan?!"

Wen Qing melontar tangannya ke udara. "Entahlah, apa saja selain urusan sekolah!"

Kelelahan, Wei Ying pun ambruk kembali ke sofa dan menguburkan wajahnya ke salah satu bantal. Dia tergoda untuk berteriak ke bantal itu tapi baru akan dia lakukan begitu Wen Qing pergi. Itu pun kalau dia mau pergi.

Wei Ying pun memutar pandangan untuk memelototinya. "Aku tidak tahu kenapa kau ngotot sekali ingin aku jadian dengan orang lain. Aku tidak masalah kalau sendirian kok."

"Dan lagipula," dia melanjutkan, "Aku nyaris tidak tahu apa-apa soal orang itu! Dia baru selesai menyusup ke kantor polisi! Siapa yang nekad melakukan itu? Bagaimana kalau dia ternyata gila?"

"Kau juga begitu!"

Wei Ying mengerucutkan bibirnya. "Terima kasih! Tapi, serius, kenapa kau ngotot sekali?"

Wen Qing tidak pernah terlalu peduli soal hubungan percintaan Wei Ying. Dia akan peduli jika lelaki itu pulang saat malam, separuh mati karena alkohol atau seks buruk atau kencan yang buruk. Berulang-ulang kali Wei Ying memilih ke tempat Wen Qing dulu, muntah-muntah sampai pingsan dan wanita itu akan merawatnya hingga sehat kembali. Saat bangun, Wen Qing akan memukulnya dan Wei Ying akan berjanji tidak akan minum separah itu lagi, atau dia tidak akan pergi kencan yang dia tahu akan berakhir dengan buruk, atau dia akan berhenti bermain-main dengan orang lain dan lebih fokus pada kehidupannya sendiri. Berulang-ulang kali, lagi dan lagi dan lagi.

Wen Qing menghela napas dan duduk di ujung sofa sambil menunduk menatapnya.

"Aku tidak suka melihatmu kesepian, Wei Ying."

"Aku tidak—"

Wen Qing memukul ringan kakinya, tapi ada kesungguhan di tatapannya.

"Berhenti membohongi dirimu sendiri. Kau tidak bisa terus seperti ini selamanya."

"Lalu apa lagi yang lebih baik? Mengalihkan diriku dengan orang asing? Mabuk setiap malam sampai kau harus datang untuk menyeretku pulang?"

Mata Wen Qing memincing. "Tidak. Bukan itu. Kau tidak boleh melakukan itu lagi."

Wei Ying tidak mengucapkan apa pun. Dia juga tidak ingin kembali ke saat-saat seperti itu. Distraksi semacam itu memang bagus meski mengelabui, tapi beban menghancurkan yang mengikuti setelah menyadari bahwa inilah yang pantas dia dapatkan, itu membuatnya gila. Wei Ying mengira dirinya bisa larut dalam alkohol dan atensi, mengira tidak peduli apa pun yang terjadi pada dirinya sendiri.

"Kau... sebaiknya berhenti mencoba menyimpan semuanya sendiri," ujar Wen Qing. "Kau juga pantas dicintai, dasar bodoh."

Wei Ying ingin menertawakan itu. Ternyata Wen Qing sudah terlalu sering nonton The Notebook.

"Cinta? Belum-belum sudah cinta?" Dia duduk, menggeleng padanya. "Tolonglah, aku baru sekali minum kopi dengan orang itu. Aku bahkan tidak mengenalnya."

"Kalau begitu coba cari tahu tentang dia!"

Apa gunanya? Wei Ying terlalu lelah untuk berdebat dengannya tapi apa gunanya? Sekalipun dia bicara dengan Mr. Lan, akan ke mana arahnya? Dia tidak ingin komitmen. Dia tidak bisa membayangkan komitmen. Sesuatu seperti itu; tidak tercipta untuk orang sepertinya. Dia tidak pantas mendapatkannya.

"Kau terlalu memusingkan itu, bukan berarti aku akan menikah dengan lelaki itu, kan," ujar Wei Ying.

Ugh. Seperti katanya, dia tidak akan dekat dengan lelaki itu. Mereka bisa berbicara sebanyak yang mereka mau tapi tetap saja tidak akan mengarah ke mana-mana.

"Terserah, lihat, aku sudah menambahkan dia ke daftar kontakku sekarang, puas?" Wei Ying menunjukkan ponselnya ke Wen Qing, bergegas mengetikkan semua detail nomor Lan Zhan. Untuk membuat Wen Qing berhenti merecokinya, Wei Ying bahkan memberi Lan Zhan nama yang special, hanya untuk dia.

Wen Qing memutar bola matanya. "Suami Masa Depan? Serius? Kau akan menelan perkataanmu sendiri, Wei Ying."

Wei Ying mendorong ringan pundak wanita itu. "Ini cuma bercanda, oke? Ayolah, tersenyumlah. Aku melakukan apa yang kausuruh. Puas sekarang?"

Wen Qing mendorong lelaki itu, lebih keras. Wei Ying pun terdorong hingga jatuh ke sofanya sambil merengek.

"Kita lihat saja nanti," ujar Wen Qing.



--



Mendekati tengah malam dan Wei Ying tidak bisa tidur meskipun hari ini benar-benar membuatnya kelelahan. Bahkan setelah Wen Qing akhirnya pergi, yang bisa Wei Ying lakukan hanyalah berbaring di ranjangnya dan menatap langit-langit kamar. Bosan, dia scrolling layar ponselnya untuk membunuh waktu sampai benar-benar tertidur.

Tidak ada yang menarik di Instagram maupun Twitter, bahkan tidak juga di YouTube. Wei Ying menguap, bergerak gelisah di ranjang. Tidak peduli berapa kali dia mengatur posisinya, dia masih tidak bisa merasa nyaman.

Setidaknya besok akhir pekan. Kalau tidak bisa tidur malam ini, Wei Ying hanya akan berhibernasi sepanjang akhir pekan seperti layaknya orang dewasa yang produktif.

Menyerah, Wei Ying kembali menyambar ponselnya, tak mengejutkan lagi, dia masih tidak menemukan apa pun yang menarik secara online. Dia berpikiran untuk mengirim pesan ke Wen Qing tapi segera mengurungkan niatnya. Wanita itu sudah membuat Wei Ying cukup trauma hari ini.

Wen Ning sekarang pasti juga sudah tidur. Dia punya shift pagi selama akhir pekan...

Sial, hidup rasanya berat jika kau hanya punya dua teman.

Wei Ying berhenti pada kontak baru yang hampir terlupakan. Jemarinya melayang-layang di dekat nomor itu, penasaran apabila dia perlu menghapusnya sekarang karena Wen Qing tidak ada.

Atau...

Dia terlalu lelah untuk berpikir. Dan terlalu bosan. Wei Ying tidak punya alasan untuk membenarkan kenapa dia tiba-tiba mengetik pesan untuk Mr. Lan, tapi persetan saja. Toh hubungan mereka tidak buruk—dan mereka memang saling memanggil dengan nama masing-masing, bahkan meski Wei Ying masih lebih memilih memanggilnya Mr. Lan.

Mengirim pesan padanya sekarang tidak akan terlalu buruk, bukan?

Balasannya sangat cepat. Mungkin Lan Zhan juga sedang kesulitan tidur.

Tanpa sadar, Wei Ying tersenyum. Dia pun langsung menekan pipinya dan merengut. Sial, dirinya pasti lebih lelah dari yang dia kira. Pesan Lan Zhan punya kapasitas emosi seperti sendok tapi Wei Ying tetap saja tersenyum seperti orang tolol.

Baiklah, mungkin Wei Ying memang sedikit bersenang-senang dengan lelaki ini—tapi itu hanya karena Mr. Lan sangat kaku dan tegang! Bahkan lewat pesan sekalipun! Wei Ying duduk di ranjangnya dan segera menelepon si tutor musik itu, tersenyum lebar saat panggilannya langsung diangkat.

"Lan Zhan, selamat malam," ujarnya.

"Selamat malam."

Nah kan. Sangat monoton! Lan Zhan beruntung ada serak menenangkan di suaranya yang dalam, apalagi saat Wei Ying menempelkan ponsel itu di telinganya.

"Mana mungkin kau memainkan piano di jam segini," ujarnya. "Ini sudah hampir tengah malam."

"Aku sedang merencanakan pelajaran JingYi akhir pekan ini."

"JingYi bisa bermain piano?"

Piano adalah hal terakhir yang akan Wei Ying hubungkan dengan remaja yang terlalu periang itu. Kazoo, mungkin. Atau drum. Drum pasti cocok.

"Tidak, tapi aku mengajarinya."

Wei Ying menyeringai. "Semoga beruntung."

Wei Ying menggeliat-geliat di ranjangnya, mengubur dirinya ke dalam selimut.

"Ayo," ujar Wei Ying. "Mainkan lagu untukku."

"Lagu apa?"

"Apa saja, aku tidak keberatan."

Hening cukup lama. Dia bisa mendengar suara Lan Zhan bergerak, lalu kursi berderit di lantai. Kemudian suara bernada tinggi dari piano.

Awalannya lambat, lembut, nyaris rapuh. Wei Ying memejamkan mata sambil menghela napas dan mendengarkan nada-nadanya merambat naik, semakin cepat. Nada-nada itu menari di sekelilingnya dan jantung Wei Ying seperti mengikuti naik turun setiap melodinya. Ada kesedihan di lagu itu, tapi nada tingginya terasa penuh harap. Wei Ying menahan napas karena takut mengganggu musik itu, hanya berbaring saja di sana dan membiarkan Lan Zhan memainkan cerita yang tak terucapkan.

Wei Ying bersusah payah mengeluarkan suara begitu Lan Zhan berhenti.

"Lagu apa itu? Kau yang mengarangnya?"

"Ya."

"Apa namanya?"

"Aku masih belum menamainya."

"Lagunya bagus, aku suka. Apa ada cerita di balik lagu itu?"

Jeda. Suara Lan Zhan terdengar tenang. "Aku... membuatnya untuk seseorang."

"Oh?" Wei Ying tidak menduga itu. "Romantis sekali."

Pantas saja lagunya terdengar sangat sedih, nyaris penuh kerinduan. Dia berharap tidak menanyakannya tadi karena sekarang rasanya dia sudah menyinggung urusan personal orang, sesuatu yang tidak seharusnya dia campuri.

"Kurasa tidak seharusnya kau memainkan lagu itu untukku kalau itu untuk orang lain," ucap Wei Ying, mencoba tertawa paksa. "Simpanlah untuk orang yang kaucintai, Lan Zhan!"

Ada jeda lagi. Wei Ying mendengarnya menghela napas dari seberang telepon.

"Tidak. Tidak apa-apa."

"Baiklah kalau begitu..."

Lan Zhan mulai memainkan lagu yang sama lagi, kali ini sambil menggumamkan nadanya. Suaranya begitu dalam, enak didengar dan senada dengan nada-nada pianonya. Tak lama kemudian, kelopak mata Wei Ying terasa makin berat dan dia menguap panjang.

"Ah, kalau begini terus kau akan membuatku tidur," ujarnya, membekap mulutnya.

Suara musik berhenti.

"Tidak, teruskan saja. Itu seperti lagu pengantar tidur. Aku suka suaramu. Kecuali... kau lebih ingin bicara?"

Lan Zhan mengambil napas dalam-dalam. "Aku... Aku ingin bicara denganmu."

Mata Wei Ying terbuka lebar. Barangkali karena kurang tidur, dia menganalisis respons Lan Zhan terlalu berlebihan.

"Kau terdengar sulit mengakuinya, haha."

Dia menguap lagi, matanya basah. Saat melirik jam, dia menyadari sekarang sudah jam dua belas lebih sepuluh. Dia sudah bicara dengan Lan Zhan hampir setengah jam lamanya?

"Kau terdengar lelah," kata Lan Zhan.

"Sepertinya begitu. Hari ini saaaaaangat panjang."

"Tidurlah."

"Segera... segera..." Wei Ying menggosok matanya. "Kau mau bernyanyi untukku sampai aku tertidur?"

"Kalau itu maumu."

Sekali lagi, dia memainkan lagu yang sama sambil menyenandungkan nadanya. Wei Ying tidak pernah menyangka Lan Zhan akan sehebat ini dalam menyanyikan lagu pengantar tidur. Semua pertahanan dirinya langsung runtuh oleh nyanyian Lan Zhan. Dia tidak bisa menahan kelopak matanya yang tertutup dan tubuhnya yang berangsur merileks. Di kepalanya, Wei Ying melihat bayangan lelaki anggun yang duduk di depan piano, mata terpejam dengan jemari yang menari di atas tuts piano. Bahkan pemandangan seperti itu saja sanggup membuat lelaki ini menghela napas, semakin membuat Wei Ying terlelap dalam tidurnya.

"Selamat tidur, Lan Zhan," gumamnya.

Wei Ying mendengar suara menenangkan Lan Zhan di tengah musiknya, mendoakannya bermimpi indah.



--



Di alam mimpinya, Wei Ying tengah berada di dalam gua, menyaksikan nyala api mengerkah sewarna amber dan emas di dinding batu yang gelap. Dia sangat lelah, dan lapar, dan kesakitan. Sulit rasanya bernapas atau tetap terjaga, tapi ada seseorang di sini yang mendesaknya untuk tetap membuka mata. Wei Ying hanya bisa tersenyum.

"Bagaimana kalau kau menyanyikan lagu untukku?" pintanya.

Kawannya tidak tersenyum balik. Tidak pernah. Wajahnya seperti khayalan yang tidak bisa Wei Ying fokuskan. Dia hanya bisa melihat sepasang mata emas yang berkobar lewat nyala api.

Kemudian gua itu terisi suaranya yang menggema lembut. Suaranya menenangkan segala masalah di hati Wei Ying dan membuatnya melupakan demam yang saat ini dia derita. Wei Ying menghela napas, membaringkan kepalanya dan bersandar pada dinding. Dia terombang-ambing dalam alam mimpi, seperti api yang bergeletar oleh irama suara lelaki asing ini.

Lagu itu membawanya sepanjang malam, lewat mimpi yang akan terus menjadi mimpi, lewat kilatan buram dari jubah putih dan sepasang mata emas.



--


Bersambung.


Terima kasih untuk reverielotus dan Chan_Kaizu yang sudah membantu proofread dan edit gambar message-nya ❤❤



Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

1M 84.2K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
72.4K 7.4K 23
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...
194K 9.5K 32
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
48.2K 4.1K 84
#taekook #GS #enkook "Huwaaaa,,,Sean ingin daddy mommy. Kenapa Sean tidak punya daddy??" Hampir setiap hari Jeon dibuat pusing oleh sang putra yang...