[BAHASA] Bukan Logika - Fanfi...

By kittyseia

5.7K 863 167

Hasil usaha pertamaku nulis fanfiksi Bahasa Indonesia! (Terharu) Please, be gentle with me na.. Ini adalah BL... More

Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13

Extra - Lebih Menarik dari Langit

387 48 6
By kittyseia

A/N : Ah.. nanti ada kok lanjutannya.. Plotnya masih belum solid tapi. Huhu Keasikan lanjut cerita yang lain. Orz

Anyway, ini sebenernya dibuat untuk menyambut Hujan Meteor di akhir April kemarin.. Tapi ya udahlah ya.. T^T

shintalucu semangat ujiannya! XD

****

"Kak Arthit." Kongphob memanggil kakak kesayangannya itu yang baru saja keluar dari tempat kostnya di Amphawa. Ia lambaikan tangannya dan menegakkan diri dari kap mobil, agar Kak Arthit bisa lebih jelas melihatnya. Ada senyum yang merekah ketika mulut Kak Arthit menganga, kehabisan kata karena Kongphob tahu-tahu sudah ada di sana, tanpa memberitahu.

"Kongphob!" Kak Arthit buru-buru mendekati. Wajahnya masih seperti tidak percaya kalau Kongphob ada di depannya. "Kok kamu ke sini nggak bilang-bilang?!"

Kongphob hanya membalas dengan cengiran. Sebelum kepalanya dipukul, buru-buru ia menambahkan. "Ya kan surprise, Kak. Kakak sendiri yang janji mau pergi denganku." Ia juga tidak lupa mengerucutkan bibirnya dan memberikan puppy-eyed look buat Kak Arthit. Biar dia luluh.

Kak Arthit hanya memutar bola matanya, sepertinya tampang itu mulai tidak mempan. Kongphob harus berpikir cara lain agar bisa meluluhkan Kak Arthit. "Ya tapi kan bagusnya bilang dulu. Gimana kalau ternyata aku ada acara?"

"Ah, itu.. aku udah tanya Bang Knot. Katanya kalian free untuk weekend ini." Kongphob memberikan senyum manis tanpa rasa bersalah pada pacarnya itu.

Oh. Pacar.. hati Kongphob semakin berbunga-bunga hanya karena satu kata itu. Bahkan Kak Arthit yang sedang sumpah-serapah merutuki Bang Knot di hadapannya ini terlihat begitu imut sekarang.

"So? Mau kemana kita?" Kak Arthit bertanya setelah puas memarahi Bang Knot lewat pesannya. "Aku belum sarapan nih. Pagi banget kamu datangnya."

"Sarapan di jalan aja gimana? Aku juga belum makan." Pinta Kongphob. "Dan bawa baju ganti. Aku mau bawa kakak ke satu tempat. Kita nginap semalam."

----

Ada yang sedang cemberut di sebelahnya, menatapnya penuh dengan kecurigaan saat Kongphob tengah mengemudi dengan santai. "Masih jauh?" kata si pemilik wajah yang cemberut dan curiga itu.

"Sabar, Kak.. bentar lagi sampai. Janji."

"Aku udah bosen~"

"Sebentar lagi.."

"Kamu daritadi bilangnya sebentar lagi! Ini rumah-rumah udah pada jarang tahu! Mau kamu bawa kemana aku, hah?!" Kali ini sebuah pukulan pelan mendarat di bahu. Tapi tetap saja Kongphob tidak menggubris.

Deretan rumah-rumah memang sudah mulai berkurang, tergantikan dengan jejeran pohon yang tinggi menjulang. Suhu udara di luar juga semakin dingin. Kak Arthit memang tidak tahu, Kongphob ingin mengajaknya ke villa di perkebunan milik keluarga.

"Sebentar lagi. Aku kan udah bilang, aku mau ajak ke tempat yang bagus buat foto."

"Ya tapi kan nggak harus sejauh ini.." bibir Kak Arthit mengerucut. Kongphob jadi takut kalau-kalau ekspresi pacarnya itu bisa permanen setelah ini. Mereka memang sudah cukup lama di perjalanan, dan wajar Kak Arthit mulai kehabisan sabar. Tapi demi malam ini, Kongphob rela Kak Arthit melakukan apa pun padanya.

Untunglah gerbang menuju perkebunan sudah di depan mata. Kongphob dengan cekatan mengganti gigi dan memelankan mobil, berhenti tepat di samping pos satpam dimana seorang penjaga langsung menghampiri.

"Oh.. Den Kongphob. Mari masuk, villanya udah siap." Pak Penjaga tersenyum ramah begitu melihat wajahnya, dan langsung menyuruh temannya menaikkan palang.

"Terima kasih, Pak. Mari.." Kongphob tentu saja membalas senyuman dan berusaha seramah mungkin. Ia membiarkan sepasang mata yang memicing ke arahnya, meminta jawaban.

Kak Arthit mampu menahan diri untuk tidak bertanya hingga mobil sekali lagi berhenti, kini tepat di sebuah rumah berlantai dua yang asri. "Jadi kita dimana sih ini?"

Senyuman manis terulas di wajah Kongphob, sebuah jawaban dengan mudah ia keluarkan. "Ini villa keluarga. Kak Arthit belakangan baca berita? Katanya mau ada hujan meteor malam ini. Aku ingin motret itu."

Sebuah pengertian terpancar dari mata Kak Arthit. "Hm.. tapi perlu ya kita ke sini? Villanya gede banget."

Ups. Kalau sampai Kak Arthit tahu ada villa lain yang lebih besar dari ini di puncak.. Kongphob masih bingung bagaimana memberitahu Kak Arthit. Jadi, mau tidak mau ia harus sedikit berbohong di sini. Ia berikan senyuman yang sedikit dipaksakan sambil tangannya membuka seatbelt. "Oh ya? Nggak juga kok. Kita perlu pergi ke tempat yang agak tinggi dan lapang. Di sini memadai."

Sepertinya Kak Arthit tidak sadar kalau ada yang aneh, dan hanya mengangguk dan membuka seatbelt-nya. Mereka berdua masing-masing hanya membawa satu ransel, dengan Kongphob membawa tas lain penuh dengan peralatan untuknya memotret malam nanti.

Mereka langsung disambut oleh Mbak Pla di pintu masuk dan harus menolak secara halus berulang kali saat ia ingin membawakan bawaan mereka. Kak Arthit apalagi, ia terlihat sangat tidak enak karena harus menolak.

"Nggak apa-apa kok, Mbak. Kita kan cuma semalam. Nggak usah repot-repot." Sekali lagi Kak Arthit harus menolak tawaran Mbak Pla untuk dibuatkan minuman atau dibawakan makanan ringan. Kongphob harus menyembunyikan senyum.

"Biar aja, Mbak. Aku mau antar Kak Arthit ke kamarnya." Akhirnya Kongphob menyela. Mbak Pla mengangguk mengerti dan meninggalkan mereka untuk menyiapkan makan malam. Di sudut mata, Kongphob bisa melihat bagaimana Kak Arthit menghela nafas lega.

"Risih?" Ia berceletuk. Kak Arthit mengangguk.

"Aku nggak biasa. Di rumah juga cuma bertiga, nggak ada yang bantu."

Definitely, Kongphob merasa ia lebih baik tidak cerita tentang keluarganya pada Kak Arthit untuk saat ini. "Oh.. ya udah. Santai aja. Ayo, aku antar ke kamar kakak."

"Hm?" Kak Arthit yang memiringkan kepalanya terlihat begitu manis. Rasanya Kongphob ingin mencium. Eh..

"Atau.." ia tidak bisa tidak menggoda. "Mau sekamar aja sama aku?"

"Gila!" Serta-merta wajah Kak Arthit memerah dan melempar makian padanya. Segera saja pacarnya ini memalingkan muka dan dengan marah memilih pergi dengan random-nya. Ia pergi ke arah teras yang menghadap kebun belakang.

"Kak Arthit.. kamar Kakak bukan ke arah itu." Panggil Kongphob geli. Langkah Kak Arthit langsung berhenti dan ia pun mematung. Demi kelancaran malam ini, Kongphob menahan diri untuk tidak tertawa. Ia bisa melihat telinga pacarnya itu merah dari kejauhan. Dengan perasaan senang, ia memberanikan diri meraih tangan Kak Arthit dan menuntunnya ke arah kamar yang sudah disiapkan. Mereka berjalan dalam diam.

"Met istirahat ya, Kak." Ia berbisik saat hendak meninggalkan Kak Arthit di kamar, dan langsung kabur sebelum Kak Arthit bisa merespon.

"Ughh.. Kongphob!" Terdengar suara Kak Arthit dari kejauhan.

----

Mereka memutuskan untuk makan malam lebih cepat, karena harus tidur lebih awal untuk mengejar hujan meteor di tengah malam. Kongphob harus memberi isyarat pada Mbak Pla untuk membiarkan Kak Arthit yang bersikeras membantu membereskan meja setelah selesai.

"Nanti aku bangunin jam 12 ya, Kak." Ujar Kongphob saat tiba di depan pintu kamar Kak Arthit. Kakak kesayangannya ini hanya mengangguk pelan sebagai jawaban sebelum masuk ke kamar.

Perasaan Kongphob campur aduk. Ada rasa senang, antusias, dan lelah. Ia hampir tidak tidur dalam waktu 48 jam ini, terlalu bersemangat. Untung Kak Arthit tidak benar-benar menolak saat ia meminta untuk ditemani, kalau tidak.. ia yakin bisa menangis di pojokan nanti.

"Den Kongphob?" Mbak Pla menyahut dari belakang.

"Ya, mbak?"

"Anu, udah disiapin ya semuanya untuk malam ini." Mbak Pla tersenyum hangat saat menjelaskan. Kongphob membalas senyumannya. Ini bukan kali pertama keluarganya melakukan stargazing. Para staf sudah mengerti apa yang harus dipersiapkan. Hanya tinggal menunggu waktunya tiba saja.

Kongphob memaksakan diri untuk pergi tidur dan memasang alarm. Selepas jam 12 ia terbangun dan menyiapkan diri, sebelum membangunkan Kak Arthit. Ia sudah hafal dari pengalaman kalau Kak Arthit itu heavy-sleeper, dan pasti menggerutu panjang saat dibangunkan.

"Kak Arthit.." ia mengetuk pintu kamar pacarnya itu beberapa kali. Tidak ada jawaban. Seperti dugaan Kongphob. Sambil menghela nafas dan senyum tersungging di wajah, Kongphob mengetuk pintu beberapa kali lagi, menunggu. Penasaran, ia akhirnya perlahan memutar gagang pintu. Benar saja, tidak dikunci.

Pintu perlahan terbuka, Kongphob menyusupkan kepala melihat ke dalam. Kamar itu bukan kamar paling besar yang ada di villa, tapi masih cukup luas setelah ranjang dan perabotan-perabotan dari kayu terpasang di sana. Ia bisa melihat gundukan terbungkus selimut di atas ranjang yang ada di sisi kiri ruangan; Kak Arthit belum bangun.

"Kak Arthit.." ia panggil lagi pacarnya sambil masuk ke ruangan. Tangan menggapai hendak membangunkan, tapi harus terhenti setelah melihat wajah Kak Arthit yang tidur.

Wah.. Manis..

Ada perasaan tidak tega di hati Kongphob, yang menyebabkannya mempertimbangkan acara di malam ini. Ia dudukkan diri, bersila di sisi ranjang dengan wajah cemberut. Bingung..

Jam dinding di sisi kanan ruangan terus berdetak, menunjukkan bahwa perdebatan dirinya sudah berlangsung cukup lama. Akhirnya Kongphob memutuskan untuk mencoba membangunkan sekali lagi. Kalau tidak bangun.. ia akan pergi sendiri.

"Kak Arthit.." ia goyangkan badan Kak Arthit yang masih terbungkus selimut. Ada kerutan di dahi, antara tidak tega membangunkan dan keinginan untuk menghabiskan waktu melihat meteor bersama.

"Hmm.." ada jawaban! Erangan terdengar dan wajah Kak Arthit mengerut, tidak senang ada yang mengganggu tidur.

"Kak Arthit.. udah waktunya pergi." ujar Kongphob.

"..hah?" mata Kak Arthit terbuka sebelum mengerjap berkali-kali, membangunkan diri sempurna. "Ohh.. Kong?"

Suara bangun tidur Kak Arthit, ditambah dengan panggilan sayangnya yang masih jarang ia ucapkan membuat hati Kongphob berderu kencang. Ia merasa sesak nafas saking senangnya. Ada senyum yang mengembang. "Jadi kan kita lihat meteor?"

"Ah.. ya ya ya. Bentar.." ada kilasan di mata Kak Arthit yang mengatakan bahwa ia ingat. Sambil mengangguk, Kak Arthit memaksa badannya untuk duduk, menggeliat meregangkan badan yang kaku karena tidur. "Sorry. Kayaknya aku lupa pasang alarm."

"Nggak pa-pa, Kak." Kan jadinya aku bisa lihat wajah tidur Kakak.

Alis Kak Arthit naik sebelah meliriknya, seakan tahu apa yang ada di pikiran. Kongphob hanya bisa memberikan cengiran dan tampang polos, tidak mau mengaku apa-apa.

Hanya butuh waktu singkat sampai mereka berdua duduk kembali di dalam mobil yang melaju, membawa mereka naik ke arah puncak sebelum Kongphob membelokkan mobilnya. Jalan itu gelap tanpa ada penerangan. Kak Arthit mengerutkan kening.

"Kamu yakin ke arah sini?" satu-satunya cahaya hanya berasal dari lampu mobil. Ada perasaan takut di dada.

"Yakin, Kak." jawab Kongphob enteng. Ia masih hafal jalan ke sini, meski baru pertama kali membawa mobil sendiri. Lagipula, perkebunan ini milik keluarganya, walaupun tersesat banyak staf yang tahu tentangnya. Belum lagi.. tidak ada penerangan memang perintah darinya.

"Gelap begini. Ada rumah-rumah nggak sih di daerah sini?"

"Ada.. Tenang, Kak. Sebentar lagi sampai." Kongphob memang meminta agar penerangan tidak dinyalakan di sekeliling tempat yang dituju. Agar mereka bisa melihat hujan meteor dengan lebih jelas.

"Ini.." mata Kak Arthit mengerjap saat mobil berhenti. Tepat di depan mereka ada sebuah bangunan yang terbuat dari kayu. Ia lalu memandang Kongphob bingung.

"Ini semacam gazebo, Kak. Nanti juga ada semacam dek tanpa atap supaya kita bisa melihat langit malam." jelas Kongphob. Gazebo ini sengaja dibuat ketika Mama tertarik dengan stargazing saat Kongphob masih SMA.

Sekali lagi mata Kak Arthit membelalak ketika sudah sampai di gazebo. Dek yang dikatakan Kongphob ini begitu luas, bisa menampung hingga puluhan orang. Dengan bantuan cahaya remang-remang dari senter, Kak Arthit juga melihat ada tumpukan selimut yang dibentang di tengah, lengkap dengan meja kecil di sebelahnya yang penuh dengan makanan dan minuman ringan.

"Kongphob.."

"Ya, Kak?" Kongphob merasa tidak ada yang salah dan malah merasa puas dengan persiapan yang sudah dilakukan oleh Mbak Pla dan yang lain.

"Ini siapa yang nyiapin?" ada nada suara yang sedikit nyaring dari Kak Arthit yang membuat Kongphob bingung.

"Mbak Pla." jawabnya polos.

"Kok ngerepotin sih? Lagian, kalau ada yang nyuri gimana? Lebay banget ini!"

Kongphob jadi salah tingkah. Tidak mau mengatakan kalau perkebunan ini miliknya, jadi tidak mungkin ada yang mencuri.. salah. Tapi kalau tidak bilang.. salah. "Erm.. Mbak Pla harusnya nyiapinnya setelah jam 12, sih.. Nggak lama setelah aku bangun."

Kak Arthit melotot ke arahnya, membuatnya makin kikuk. "Ini.. Mbak Pla biasanya kayak gini waktu keluargaku stargazing. Sumpah!"

Mata Kak Arthit berubah memicing curiga, kemudian ia mendengus dan menggerutu pelan. Kongphob yakin ia mendengar kata-kata seperti 'dasar manja' dan 'orang kebanyakan duit' dari mulutnya.

Untunglah Kak Arthit tidak mengatakan apa-apa lagi tentang hal ini, dan membuat dirinya nyaman di atas tumpukan selimut. Kongphob sendiri sibuk melihat-lihat bintang melalui teleskop yang sudah disiapkan, mencoba mencari-cari sudut yang tepat untuk memotret. Setelah itu ia juga menyiapkan kameranya, memastikan semuanya sudah lengkap dan dapat segera digunakan.

"Oh! Di sana!" Kak Arthit tiba-tiba menunjuk di atas langit saat ia baru saja berbaring di sebelahnya. Mata Kongphob mengerjap, memburu meteor yang ditunjuk oleh Kak Arthit. Sayangnya ia terlambat, mulutnya mengerucut dan Kak Arthit tertawa geli melihatnya.

"Nanti juga ada lagi." Kak Arthit memberikan cengiran sombong padanya. Tapi mata Kongphob malah jadi tertumbu di wajah di sebelahnya. Sepertinya mereka tidak sadar, tapi badan mereka mendekat hingga nyaris bersentuhan. Wajah Kak Arthit ada di situ, tepat di sebelahnya, begitu dekat hingga kalau-kalau Kongphob memajukan wajahnya sedikit saja, mungkin tak hanya hidung mereka yang bersentuhan.. tapi juga bibir.

Di sini, walaupun nyaris tidak ada penerangan di sekeliling, Kongphob bisa melihat bagaimana mata Kak Arthit berbinar-binar, bersemangat memandang langit malam. Ada guratan merah di pipinya, dan senyum merekah lebar.

Kongphob merasa jatuh cinta lagi padanya.

"Ohh.. ada lagi!" bahkan suara dari Kak Arthit tidak mampu memalingkan wajahnya untuk melihat mencari. Hingga akhirnya Kak Arthit sadar akan hal itu.

"..Kongphob? Kok nggak lihat ke atas? Tadi meteornya banyak banget!"

Kongphob merasa mulutnya begitu kaku untuk digerakkan. Mengulum bibir dan merekahkan senyuman, akhirnya kata-kata ini yang bisa diucapkan; "Habis wajah Kakak lebih menarik dari langit."

Sukses besar, menurutnya, karena wajah Kak Arthit langsung memerah luar biasa dan pacarnya ini tidak mampu membalasnya. Yang bisa ia lakukan hanya menepuk bahunya dengan agak keras.

Oh.. bahkan telinga Kak Arthit juga merah!

Suffice to say, foto-foto yang ada di kamera Kongphob dari malam itu penuh dengan wajah Kak Arthit. Hujan metoer? Err.. sepertinya hanya ada beberapa saja foto untuk itu. Karena Kongphob baru ingat untuk mengambil fotonya saat sudah puas mengambil foto Kak Arthit.

****

Continue Reading

You'll Also Like

225K 7.7K 98
Ahsoka Velaryon. Unlike her brothers Jacaerys, Lucaerys, and Joffery. Ahsoka was born with stark white hair that was incredibly thick and coarse, eye...
74K 1.7K 32
!Uploads daily! Max starts his first year at college. Everything goes well for him and his friends PJ and Bobby until he meets Bradley Uppercrust the...
941K 21.6K 49
In wich a one night stand turns out to be a lot more than that.
167K 17.6K 23
"𝙏𝙤𝙪𝙘𝙝 𝙮𝙤𝙪𝙧𝙨𝙚𝙡𝙛, 𝙜𝙞𝙧𝙡. 𝙄 𝙬𝙖𝙣𝙣𝙖 𝙨𝙚𝙚 𝙞𝙩" Mr Jeon's word lingered on my skin and ignited me. The feeling that comes when yo...